General Business Environment Makalah Kecil
Social Environment : Mengelola Hubungan Perusahaan dengan Karyawan melalui Penguasa Lokal di Tangerang Dosen : Dr. Nicolaas Warouw
Oleh: Franseda 08/271238/PEK/12636 Reguler 21 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA JAKARTA
2009
PENDAHULUAN Lingkungan Sosial Hubungan di antara perusahaan dengan karyawan serta lingkungan sekitar merupakan bentuk interaksi sosial yang harus dikelola dengan baik. Karyawan sebagai sumber daya bagi perusahaan harus dikelola secara optimal untuk menjamin kelangsungan operasi perusahaan. Sebuah studi terhadap hubungan perusahaan – karyawan – lingkungan telah dilakukan banyak peneliti terdahulu. Secara khusus di Indonesia, penelitian terhadap bentuk interaksi sosial ini dapat dilihat pada daerah Tangerang. Bagian lingkungan sosial yang terlibat dalam hubungan di Tangerang ialah para jawara atau penguasa lokal yang dianggap berkuasa di daerah setempat. Para jawara ini memiliki berbagai bentuk hubungan, seperti hubungan professional (mensupport keamanan pabrik), hubungan kekeluargaan (menjadi induk semang karyawan), atau hubungan negatif (meminta jatah gaji bulanan karyawan). Tangerang Tangerang merupakan salah satu kota penyokong yang berada di sebelah barat ibukota Jakarta. Kemajuan Tangerang sebagai kota industri tidak lepas dari peran pemerintah yang menggeser aktivitas ekonomi dari ibukota karena masalah kepadatan penduduk.1 Pesatnya kemajuan industri di Tangerang membawa arus perpindahan penduduk sebagai sumber daya bagi perusahaan – perusahaan yang beroperasi di Tangerang. Perpindahan tersebut juga tidak lepas dari bentuk industri di Tangerang yang sebagian besar padat karya dan menyerap banyak tenaga kerja. Mayoritas pekerja luar daerah yang bekerja di Tangerang menetap di daerah tersebut yang berdekatan dengan tempat bekerja. Warouw (2003) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa area industri dan pemukiman warga berada 1
Mather, C. (1993) Industrialization in the Tangerang Regency of West Java : Women Workers
and the Islamic Patriarchy, Bulletin of Concerned Asian Scholars.
pada satu daerah tanpa pembatasan yang jelas. Model pemukiman warga lebih dikenal dengan istilah kampung dengan karakteristik kolektivitas yang kuat di antara warganya termasuk para pekerja pendatang. Kejawaraan Interaksi lingkungan sosial di daerah industri Tangerang tidak lepas dari dinamika penguasa lokal atau yang dikenal dengan jawara. Jawara ialah istilah bagi individu sebagai penguasa lokal yang disegani dan dihormati karena memiliki kekuatan fisik dan batin (ilmu silat dan sihir). Untuk menggambarkan proses kemunculan kaum jawara bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan karena keterbatasan sumber sejarah yang menyinggung tentang proses kemunculan mereka. Sampai saat ini belum ada kesepakatan sejak kapan kaum jawara ini muncul di tengahtengah kehidupan masyarakat Banten2. Perdebatan Hubungan antara perusahaan – karyawan – pengusaha lokal harus dijaga agar tercipta keseimbangan sehingga segalanya berjalan lancar. Jawara atau penguasa lokal memiliki kekuasaan serta pengaruh di daerah mereka yang notabene juga sebagai lokasi perusahaan dan tempat bermukim pekerja. Pada beberapa situasi jawara memiliki hubungan dan konotasi negatif yang merugikan perusahaan dan pekerja. Bagaimana mengelola jawara atau penguasa lokal ini agar tercipta hubungan yang harmonis dan seimbang.
2
Falah, M. (2006), Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak, Universitas
Padjajaran.
ANALISIS Organisasi beroperasi di lingkungan sosial yang dinamis dan beragam. Perusahaan mengalami hubungan interaksi kompleks dengan lingkungan sosial dan masyarakat.3 Perusahaan yang beroperasi di Tangerang memiliki hubungan dengan lingkungan sosial serta para pekerja yang harus dijaga keseimbanganya. Hubungan tersebut didasarkan pada model berikut : PERUSAHAAN
PENGUASA LOKAL
PEKERJA
Perusahaan – Penguasa Lokal Hubungan perusahaan dengan penguasa lokal yang terjadi saat ini merupakan bentuk simbiosis yang sama – sama memberikan keuntungan. Perusahaan dapat memberdayakan penguasa lokal untuk mengelola para karyawan yang tinggal di daerah setempat. Warouw (2003) dalam penelitannya memaparkan beberapa contoh kerjasama antara penguasa lokal yang diberdayakan sebagai alat kontrol perusahaan terhadap para karyawannya. Efektivitas penguasa lokal sebagai alat kontrol sangat kuat dan mampu menekan pergerakan para pekerja yang berpotensi melakukan aksi – aksi seperti demo, mogok kerja, dan sebagainya. Hubungan yang
tercipta
saling
menguntungkan
kedua
pihak,
perusahaan
dapat
mengkompensasi jasa penguasa lokal dalam bentuk non-uang, seperti pemberian ibadah haji, dan hak pengelolaan limbah.
3
Brook & Weatherson (2000), The Busines Environment: Challenges and Changes, Financial
Times, Prentice Hall.
Penguasa Lokal - Pekerja Penggunaan jasa penguasa lokal sebagai alat kontrol perusahaan merupakan sebuah pemberdayaan para jawara sehingga tercipta keseimbangan. Jawara dan keluarganya sebagai penduduk asli tentu tidak mau untuk menjadi bagian perusahaan
secara
memberdayakan
formal
mereka
(menjadi
merupakan
pekerja jalan
perusahaan),
keluar
dalam
sehingga
menciptakan
keseimbangan hubungan. Ada beberapa faktor yang membentuk kekuasaan jawara yang perlu dipahami oleh perusahaan agar dapat membina hubungan yang baik, antara lain : 1. Kesaktian Kesaktian atau ilmu yang dimiliki oleh para jawara baik secara fisik maupun kebatinan berfungsi sebagai tameng diri. Fungsi ini berkembang seiring situasi yang dimulai mulai Kesultanan Sunda sampai masa penjajahan dan kemudian digunakan untuk melindungi keluarga serta lingkungan di bawah kekuasaanya. Pada bentuk interaksi sosial penguasa lokal - pekerja di Tangerang, sisi positif yang dapat diambil dari kesaktian para jawara yang menaungi para pekerja yaitu memberikan kepastian rasa aman. Rasa aman merupakan salah satu bagian kebutuhan pekerja sebagai individu. 2. Kharisma Jawara merupakan sebuah lembaga adat dan mereka dipandang sebagai kelompok elite dalam stratifikasi sosial masyarakat Banten. Seorang jawara dengan kharisma yang kuat memiliki pengaruh pada lingkungan sekitar dan pekerja. Perusahaan dapat menggunakan kharisma jawara sebagai perwakilan perusahaan terhadap para pekerja, sehingga dapat menjadi penyampai pesan ataupun informasi bagi para pekerja di bawah naungan jawara.
3. Kepemimpinan Fakor kepemimpinan yang dibawa oleh kekuasaan yang dimiliki oleh jawara digunakan untuk memimpin para masyarakat dan pekerja yang berada di daerah setempat. Umumnya secara administratif para penguasa lokal ini dijadika ketua lingkungan seperti ketua RT atau ketua RW. Faktor kepemimpinan dapat digunakan perusahaan dalam mempermudah koordinasi para pekerja yang bertempat tinggal di daerah jawara. 4. Keberanian Faktor keberanian merupakan salah satu faktor dari jawara yang sering dikonotasikan negatif. Seiring berkembang jaman, banyak bermunculan jawara – jawara yang tidak memiliki sisi tradisi atau adat. Faktor keberanian dapat menjadikan seseorang dianggap jawara. Banyak hal negatif yang timbul dari jawara – jawara baru yang tidak memiliki sisi tradisi yang kuat. Hal ini akhirnya mengarah pada bentuk premanisme seperti pemerasan baik terhadap pekerja maupun perusahaan. Premanisme Premanisme yang terbentuk oleh jawara – jawara tanpa tradisi dapat dikendalikan oleh beberapa subyek lain. Banten dikenal dengan istilah negeri ulama dan jawara Di daerah banten, selain jawara, kaum ulama juga merupakan subyek yang memiliki kekuatan yang sama dengan jawara.. Pada umumnya, jawara sangat patuh kepada ulama. Semangat dalam jiwa mereka diperoleh dari para ulama (Fallah, 2006). Kaum ulama serta pengikut mereka dapat dijadikan kontrol atas tindakan para jawara yang bertindak seenaknya. Perusahaan dapat membentuk hubungan baru dengan para ulama yang berpengaruh di Banten untuk mengontrol para jawara – jawara yang tindakannya mengarah pada bentuk premanisme. Meskipun bentuk kontrol yang terbentuk bukan mengarah pada tindakan represif namun sebagai pengawas tindakan jawara yang mengambil keuntungan sendiri dan merugikan pihak lain. Jawara bersama-sama dengan ulama merupakan dua komunitas sosial
yang begitu kental dalam kehidupan masyarakat Banten. Hubungan yang terbentuk dapat dilihat seperti berikut :
KAUM ULAMA
PERUSAHAAN
PENGUASA LOKAL
PEKERJA
Hubungan diantara lingkungan sosial yang terjadi di Tangerang harus melibatkan setiap lembaga sosial yang memiliki pengaruh dan kekuatan, termasuk kaum ulama. Kaum ulama yang dipandang agamis dijadikan kontrol terhadap jawara – jawara yang bertindak seenaknya dan diluar kewajaran. Selain itu para jawara juga harus memiliki satu pemimpin tunggal yang memimpin perkumpulan jawara untuk mengkoordinir para jawara di daerah Banten. Dengan demikian akan tercipta interaksi sosial yang saling mengawasi dan saling menguatkan.
REKOMENDASI Lingkungan sosial merupakan lingkungan dinamis yang harus dikelola oleh perusahaan agar tiap lembaga sosial yang terlibat di dalamnya dapat diberdayakan sehingga menjaga keseimbangan interaksi sosial dan saling menguntungkan. Beberapa rekomendasi bagi perusahaan di Tangerang untuk mengelola lingkungan sosial yang dapat diambil atas analisis diatas ialah : 1. Perusahaan harus dapat menciptakan hubungan dengan lembaga – lembaga sosial yang ada di lingkungan mereka. 2. Perusahaan dapat menggunakan para penguasa lokal (jawara) sebagai alat kontrol terhadap karyawan yang bertempat tinggal di lingkungan jawara. 3. Kaum ulama juga merupakan lembaga sosial yang cukup kuat di daerah Banten. Kaum ulama dapat digunakan sebagai alat kontrol terhadap jawara – jawara non tradisi yang mengarah pada premanisme. 4. Perusahaan mengkompensasi atas penggunaan jasa jawara melalui program – program sosial yang dikoordinir oleh jawara dan kaum ulama.
REFERENSI Brook, I., Weatherson, J., 2000, The Busines Environment: Challenges and Changes, Financial Times, Prentice Hall. Falah, M., 2006, Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak, Universitas Padjajaran. Mather, C., 1993 Industrialization in the Tangerang Regency of West Java : Women Workers and the Islamic Patriarchy, Bulletin of Concerned Asian Scholars. Warouw, N., 2003., Community-Based Agencies as the Entrepreneur’s Instruments of Control in Post-Soeharto’s Indonesia, Universitas Gadjah Mada.