9 Asma Bronkiale.docx

  • Uploaded by: Fifit SiePutry BintaNgnya Kudaci
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 9 Asma Bronkiale.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,480
  • Pages: 35
MAKALAH ASMA BRONKIAL

Oleh : Aldania Fajrin 6120018040

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA 2018

1. Definisi Asma Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan proses yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu hiperresponsif dari bronkial, inflamasi dan remodeling saluran pernafasan. 2. Patofisiologi Asma Penyempitan Saluran Napas Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada saluran napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mucus (N Miglino, 2011). Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator. Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural atau disebut juga ”remodelling”. Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway remodeling. Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses remodeling ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal terjadinya proses ini kadangkadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan proses remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses dari remodeling ini dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular matrik di dalam dan sekitar otot halus bronkial, dan peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau hiperplasia.

Hiperreaktivitas saluran napas Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos (I Bara, 2010). 3. Faktor Pencetus Asma Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host factor) dan faktor lingkungan. a. Faktor host  



Genetik



Obesitas



Jenis kelamin b. Faktor

lingkungan





Rangsangan alergen.

   



Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.



Infeksi.



Merokok



Obat.



Penyebab lain atau faktor lainnya.

4. Gambaran Klinis Asma Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja, nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada pasien asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.

5.

Diagnosis Asma

Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala : - bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan. - gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak. - gejala timbul/memburuk di malam hari. - respons terhadap pemberian bronkodilator. Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga (atopi), riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan pengobatan. Adapun beberapa tanda dan gejala yang dapat meningkatkan kecurigaan terhadap asma adalah :



1. Di dengarkan suara mengi (wheezing) sering pada anak-anak Apabila didapatkan pemeriksaan dada yang normal, tidak dapat mengeksklusi diagnosis sama, apabila terdapat :

1. Memiliki riwayat dari: a. Batuk, yang memburuk dimalam hari b. Mengi yang berulang c. Kesulitan bernafas d. Sesak nafas yang berulang 2. Keluhan terjadi dan memburuk saat malam 3. Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu 4. Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat keluarga asma atau penyakit atopi 5. Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar : a. Bulu binatang b. Aerosol bahan kimia c. Perubahan temperatur d. Debu tungau e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker) f. Beraktivitas g. Serbuk tepung sari h. Infeksi saluran pernafasan i. Rokok j. Ekspresi emosi yang kuat 6. Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian penderita dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada pengukuran faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas (N Miglino, 2011). Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas, reversibiliti kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiper-responsif jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain yang berperan untuk diagnosis antara lain uji provokasi bronkus dan pengukuran status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam mengidentifikasi faktor pencetus.

6.

Klasifikasi Asma

Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis (Sebelum Pengobatan) Derajat asma Gejala Gejala malam I. Intermiten Bulanan  Gejala < 1x/minggu  ≤ 2x/bulan  Tanpa gejala diluar serangan  Serangan singkat II. Persisten Ringan Mingguan  Gejala > 1x/minggu, tapi <  > 2x/bulan 1x/hari  Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur bronkodilator  Membutuhkan setiap hari III. Persisten Sedang Harian  Gejala setiap hari  >1x/minggu

Faal paru APE ≥ 80%  VEP1 ≥ 80% nilai prediksi  APE ≥ 80% nilai terbaik  Variabilitas APE < 20% APE ≥ 80%  VEP1 ≥ 80% nilai prediksi  APE ≥ 80% nilai terbaik  Variabilitas APE 20-30%

APE 60-80%  VEP1 60-80% nilai prediksi  APE 60-80% nilai terbaik

 Serangan menggangu aktivitas

 Variabilitas APE > 30%

dan tidur

 Membutuhkanbronkodilator setiap hari IV. Persisten Berat

Kontinyu  Gejala terus menerus  Sering kambuh  Aktivitas fisik terbatas

 Sering

APE ≤ 60%  VEP1 ≤ 60% nilai prediksi  APE≤ 60% nilai terbaik  Variabilitas APE > 30%

Klasifikasi Derajat Asma pada Penderita dalam Pengobatan Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian

Gejala dan faal paru dalam pengobatan Tahap I: Intermiten Gejala < 1x/mggu Serangan singkat Gejala malam < 2x/bln Faal paru normal diluar serangan Tahap II: Persisten Ringan Gejala >1x/mggu, tapi <1x/hari Gejala malam >2x/bln, tapi <1x/mggu Faal paru normal diluar serangan Tahap III: Persisten Sedang Gejala setiap hari Serangan mempengaruhi tidur dan aktivitas Gejala malam >1x/mggu 60%
Tahap 1 Intermiten

Tahap 2 Pesisten ringan

Tahap 3 Persisten sedang Persisten sedang

Intermiten

Persisten ringan

Persisten ringan

Persisten sedang

Persisten berat

Persisten sedang

Persisten berat

Persisten berat

Persisten berat

Persisten berat

Persisten berat

7. Asessment Penilaian asma seharusnya menilai juga pengendalian asma (pengendalian gejala dan resiko terjadinya efek samping dikemudian hari), masalah terapi, terutama dalam hal teknik penggunaan inhaler dan kepatuhan, serta komorbid yang dapat berkontribusi terhadap keparahan gejala dan kualitas hidup yang buruk.

Kontrol gejala asma Dalam 4 minggu ini, pasien mempunyai :

Level control gejala asma Terkontrol

Terkontrol

Tidak

baik

sebagian

terkontrol



Gejala

asma

pada

pagi Tidak ada

hingga siang hari lebih dari

1-2 dari

3-4 dari

pertanyaan ini

pertanyaan ini

2 kali dalam seminggu? 

Terbangun saat tidur karena asma?



Penggunaan “reliever” pada gejala lebih dari 2 kali dalam seminggu



Apa

ada

keterbatasan

aktivitas akibat asma Faktor resiko pada asma Penilaian faktor risiko pada saat diagnosis dan secara berkala terutama pada pasien yang mengalami eksaserbasi Pengukuran FEV1 pada mulai awal terapi , setelah 3- 6 bulan dengan terapi kontroler untuk mencatat fungsi paru paru lalu secara periodik Mempunyai gejala asma yang tidak terkontrol merupakan faktor risiko untuk eksaserbasi Faktor risiko lain yang dapat memicu eksaserbasi meskipun pada pasien dengan gejala minimal adalah : 

Penggunaan SABA dengan dosis tinggi ( dapat meningkatkan mortalitas jika >1x 200 dosis tiap kaleng tiap bulan



Penggunaan ICS tidak benar : ICS tanpa resep dokter,teknik penggunaan inhaler tidak benar



FEV1 rendah terutama jika <60%



Reversibilitas bronkodilator tinggi



Masalah psikologi atau sosialekonomi



Terpapar pada rokok, allergen



Komorbiditas : obesitas, kronik rhinosinusitis, alergi makanan



Sputum atau darah eosinophilia



Peningkatan FENO ( pada orang dewasa dengan alergi asma yang

menggunakan ICS) 

Kehamilan



Pernag diintibasi atau dalam perawatan intensif karena asma

Lebih dari satu eksaserbasi yang parah pada 12 bulan terakhir Faktor resiko pada limitasi aliran udara 

Lahir sebelum waktunya, berat badan lahir kurang, dan dengan berat badan berlebih



Perawatan ICS kurang



Terpapar asap rokok, kimia, dan lingkungan pekerjaan yang tidak tepat

FEV1 rendah , hipersekresi mucus kronik, sputum atau darah eosinophilia Faktor risiko untuk efek samping obat 

Sistemik : konsumsi kortikosteroid oral pada jangka waktu yang panjang, dosis tinggi ICS dan mengkonsumsi P450 inhibitor

 

Lokal : Dosis tinggi ICS atau teknik inhaler tidak tepat

Penilaian resiko pada asma Komponen kedua dari penilaian kontrol asma adalah untuk mengidentifikasi apakah pasien berisiko terhadap komplikasi asma, terutama eksaserbasi, keterbatasan aliran udara, dan efek samping obat. Gejala asma, meskipun penting dan mereka sendiri merupakan prediktor kuat risiko eksaserbasi di masa depan, tidak cukup untuk menilai asma karena: -

Gejala asma dapat dikontrol dengan plasebo atau dengan penggunaan β2agonist (LABA) jangka panjang yang tidak tepat yang menyebabkan peradangan jalan napas.

-

Gejala pernapasan dapat disebabkan oleh kondisi lain seperti keadaan fisik yang tidak sehat, atau komorbiditas seperti disfungsi saluran napas bagian atas.



-

Kecemasan atau depresi dapat berkontribusi pada pelaporan gejala.

-

Beberapa pasien memiliki beberapa gejala walaupun fungsi paru-paru rendah. Eksaserbasi Kontrol gejala asma yang buruk dapat meningkatkan risiko eksaserbasi. Namun, beberapa faktor risiko independen telah diidentifikasi, yaitu faktor yang saat ini,

meningkatkan risiko eksaserbasi pasien bahkan jika gejalanya sedikit. Faktorfaktor risiko ini termasuk riwayat ≥1 eksaserbasi pada tahun sebelumnya, kepatuhan yang buruk, teknik inhaler yang salah, sinusitis kronis dan merokok, yang semuanya dapat dinilai dalam perawatan primer 

Batasan aliran udara ‘Fixed Tingkat rata-rata penurunan FEV1 pada orang dewasa sehat yang tidak merokok adalah 15-20 mL / tahun. Orang dengan asma mungkin mengalami penurunan yang lebih cepat dalam fungsi paru-paru dan mengembangkan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya dapat dibalikkan, sering dikaitkan dengan dispnea yang lebih persisten. Faktor risiko independen yang telah diidentifikasi untuk pembatasan aliran udara tetap termasuk paparan asap rokok atau agen berbahaya, hipersekresi lendir kronis, dan eksaserbasi asma pada pasien yang tidak menggunakan ICS. Anak-anak dengan asma yang persisten mungkin telah mengurangi pertumbuhan fungsi paru-paru, dan beberapa berisiko mengalami penurunan fungsi paru-paru pada awal masa dewasa.



Efek samping obat Pilihan dengan obat apa pun didasarkan pada manfaat dan risiko. Kebanyakan orang yang menggunakan obat asma tidak mengalami efek samping. Risiko efek samping meningkat dengan dosis obat yang lebih tinggi, Efek samping sistemik yang dapat dilihat dengan ICS jangka panjang dan dosis tinggi termasuk mudah memar ; peningkatan risiko osteoporosis, katarak, dan glaukoma yang berkaitan dengan usia dan supresi adrenal. Efek samping lokal ICS termasuk oral thrush dan dysphonia. Pasien berisiko lebih besar mengalami efek samping ICS dengan dosis yang lebih tinggi atau formulasi yang lebih kuat, sedangkan untuk efek samping lokal, dikarenakan teknik inhalasi yang salah.



Peran fungsi paru-paru dalam menilai kontrol asma 

Hubungan fungsi paru-paru dengan pengukuran kontrol asma Fungsi paru tidak berkorelasi kuat dengan gejala asma pada orang dewasa atau anak-anak. FEV1 rendah adalah prediktor independen yang kuat terhadap risiko eksaserbasi, bahkan setelah penyesuaian frekuensi gejala.Fungsi paru-paru harus

dinilai pada saat diagnosis atau mulai pengobatan; setelah 3–6 bulan perawatan dengan pengontrol untuk menilai FEV1 terbaik pasien; dan secara berkala sesudahnya. Sebagai contoh, pada sebagian besar pasien dewasa, fungsi paru-paru harus dicatat setidaknya setiap 1-2 tahun, tetapi harus lebih sering pada pasien berisiko tinggi termasuk mereka yang mengalami eksaserbasi dan pada mereka yang beresiko mengalamai penurunan fungsi paru. 

Menafsirkan fungsi interval paru pada asma Level FEV1 yang rendah : -

Mengidentifikasi pasien yang berisiko eksaserbasi asma, tidak tergantung pada tingkat gejala, terutama jika FEV1 diperkirakan <60% diprediksi.

-

Merupakan faktor risiko penurunan fungsi paru-paru, terlepas dari kadar gejala.

-

Jika gejalanya sedikit, menunjukkan keterbatasan aktivitas, atau yang adanya keterbatasan aliran udara yang buruk, yang mungkin disebabkan olehperadangan jalan napas yang tidak diobati.

Normal atau FEV1 yang tinggi pada pasien dengan gejala pernapasan sering (terutama ketika bergejala): -

Meminta pertimbangan penyebab alternatif gejala; misalnya penyakit jantung, atau batuk karena post-nasal drip atau penyakit gastroesophageal reflux.

Reversibilitas bronkodilator persisten: -

Menemukan reversibilitas bronkodilator yang signifikan (peningkatan FEV1> 12% dan> 200 mL dari nilai normal) pada pasien yang menggunakan kontroler, atau yang telah mengambil β2-agonis kerja singkat dalam waktu 4 jam, atau LABA dalam waktu 12 jam.



Menafsirkan perubahan fungsi paru dalam praktik klinik Dengan perawatan ICS reguler, FEV1 mulai membaik dalam beberapa hari, dan mencapai puncak setelah sekitar 2 bulan. Pembacaan FEV1 tertinggi pasien harus didokumentasikan, karena ini memberikan perbandingan yang lebih berguna untuk praktik klinis daripada prediksi FEV1. Beberapa pasien mungkin mengalami penurunan fungsi paru-paru yang lebih cepat daripada rata-rata, dan

mengalami keterbatasan aliran udara 'tetap' (tidak dapat dibalikkan). Sementara percobaan ICS / LABA dosis tinggi dan atau kortikosteroid sistemik mungkin tepat untuk melihat apakah FEV1 dapat ditingkatkan, dosis tinggi tidak boleh dilanjutkan jika tidak ada respons. Variabilitas antara kunjungan FEV1 (≤12% minggu ke minggu atau 15% dari tahun ke tahun pada individu sehat13) membatasi penggunaannya dalam menyesuaikan pengobatan asma dalam praktik klinis. Perbedaan minimal yang penting untuk perbaikan dan memburuknya FEV1 berdasarkan persepsi perubahan pasien telah dilaporkan sekitar 10% . 

Pemantauan PEF Setelah diagnosis asma dibuat, pemantauan PEF jangka pendek dapat digunakan untuk menilai respons terhadap pengobatan, untuk mengevaluasi pemicu (termasuk di tempat kerja) untuk gejala yang memburuk, atau untuk menetapkan garis dasar untuk rencana aksi. Setelah memulai ICS, PEF terbaik pribadi (dari pembacaan dua kali sehari) tercapai rata-rata dalam 2 minggu. Rata-rata PEF terus meningkat, dan variabilitas PEF diurnal menurun, selama sekitar 3 bulan. Variasi berlebihan dalam PEF menunjukkan asma yang kurang optimal mengontrol, dan meningkatkan risiko eksaserbasi. Pemantauan aliran ekspirasi puncak jangka panjang (PEF) sekarang umumnya hanya direkomendasikan untuk pasien dengan asma berat, atau mereka dengan gangguan persepsi keterbatasan aliran udara. Untuk praktik klinis, menampilkan hasil DTP pada grafik standar dapat meningkatkan akurasi interpretasi.



Penilaian tingkat keparahan asma Tingkat keparahan asma dinilai secara retrospektif dari tingkat pengobatan yang diperlukan untuk mengendalikan gejala dan eksaserbasi. Hal ini dapat dinilai setelah pasien menjalani perawatan pengontrol selama beberapa bulan dan, dosis pengobatan diturunkan untuk melihat efektivitas minimum pasien. Tingkat keparahan asma dapat dinilai ketika pasien telah menjalani perawatan pengontrol reguler selama beberapa bulan: -

Asma ringan adalah asma yang dikontrol dengan baik dengan pengobatan (yaitu dengan obat pereda yang diperlukan saja, atau dengan penggunaan kotroler intensitas rendah seperti ICS dosis rendah, leukotrien antagonis reseptor

-

Asma sedang adalah asma yang terkontrol dengan baik dengan pengobatan mis. ICS / LABA dosis rendah.

-

Asma parah adalah asma yang memerlukan pengobatan mis. ICS / LABA dosis tinggi. Sementara banyak pasien dengan asma yang tidak terkontrol mungkin sulit untuk diobati karena perawatan yang tidak memadai atau tidak tepat, atau masalah yang terus-menerus karena kepatuhan atau komorbiditas seperti rinosinusitis kronis atau obesitas.

8. Tatalaksana Tujuan jangka panjang tatalaksana asma adalah mengontrol timbulnya gejala dan mengurangi resiko berulangnya serangan. Hal ini akan mengurangi beban pada pasien, mencegah kerusakan saluran nafas, dan mengurangi efek samping pengobatan. Pengobatan pada pasien asma sangat bersifat individual dan diperlukan kerjasama yang baik antara dokter dan pasien. Dalam manajemen asma berbasis kontrol, pengobatan farmakologis dan nonfarmakologis disesuaikan dalam siklus yang berkelanjutan dan melibatkan penilaian, pengobatan dan review. Untuk pasien yang dalam perawatan primer, kontrol gejala adalah panduan yang baik untuk mengurangi resiko terjadinya eksaserbasi. Oleh karena itu, dalam manajemen berbasis kontrol, kedua domain manajemen asma (kontrol gejala dan resiko eksaserbasi) harus diperhitungkan ketika memilih pengobatan asma dan diperlukan peninjauan respon terapi.

Terapi asma Jika dibandingkan dengan obat yang digunakan untuk penyakit kronis lainnya, sebagian besar obat yang digunakan untuk pengobatan asma memiliki rasio terapi yang sangat baik. Pilihan farmakologi untuk pengobatan asma jangka panjang terbagi menjadi tiga kategori utama berikut ini : 1. Obat pengontrol (controller) digunakan untuk perawatan pemeliharaan rutin. Digunakan untuk mengurangi peradangan saluran nafas, mengendalikan gejala, dan mengurangi resiko dimasa depan, misalnya eksaserbasi dan penurunan fungsi paru. 2. Obat pereda (reliever) digunakan pada semua pasien untuk menghilangkan gejala, termasuk pada asma yang berat dan eksaserbasi. Obat ini juga direkomendasikan untuk pencegahan jangka pendek dari bronkoskonstriksi yang disebabkan oleh olahraga. 3. Penambahan terapi lainnya yang diberikan pada pasien asma berat, mulai dipertimbangkan pada pasien yang mengalami gejala asma persisten dan eksaserbasi terus menerus walaupun sudah diberikan terapi yang optimal. Terapi pemeliharaan asma harian harus dimulai secapat mungkin setelah diagnosis asma ditegakkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, berdasarkan bukti klinis sebagai berikut : - Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan fungsi paru lebih baik dibandingkan jika pemberiaannya dilakukan setelah muncul gejala selam 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu tersebut makan dibutuhkan dosis ICS yang lebih tinggi. - Pasien yang tidak menggunakan ICS dan mengalami eksasebasi akan mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebar daripada pasien yang telah menggunakan ICS - Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari alergen, iritan, dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.



Step 1 Pilihan terapi : short acting β2 agonist (SABA) inhalasi SABA inhalasi bekerja sangat efektif untuk menghilangkan gejala asma dengan cepat. Namun, tidak ada bukti yang cukup tentang keamaan mengobati asma dengan SABA sana, sehingga pilihan terapi lainnya harus disediakan untuk pasien asma dengan gejala pada siang hari sesekali (misalnya kurang dua kali dalam sebulan) dengan durasi yang singkat, tanpa terbagun pada malam hari, dan dengan fungsi paru yang normal. Gelaja asma yang sering atau adanya faktor resiko terjadinya eksaserbasi misalnya FEV1 <80% terbaik atau prediksi, atau terjadi eksaserbasi dalam 12 bulan sebelumnya mengindikasikan perlunya terapi untuk mengontrol asma Pilihan terapi lainnya : kortikosteroid inhalasi dosis rendah dapat diberikan disamping terapi SABA inhalasi untuk mengurangi resiko eksaserbasi. Pada pasien dewasa, antikolinegik inhalasi seperti ipratropium bromide, SABA oral, atau teofilin kerja pendek dapat dipertimbangkan sebagai terapi alternatif selain SABA untuk mengurangi gejala asma. Meskipun obat tersebut memiliki

onset kerja yang lebih pendek dibandingkan dengan SABA inhalasi dan memiliki resiko yang tinggi terjadinya efek samping terutama pada SABA oral dan teofilin. Terapi dengan LABA kerja cepat seperti formoterol memiliki efektivitas yang sama dengan SABA sebagai reliever medication untuk dewasa dan anak, namun pemberian yang sering tanpa kortikosteroid inhalasi tidak dianjurkan karena memiliki resiko untuk terjadinya eksaserbasi. 

Step 2 Pilihan terapi : kortikosteroid dosis rendah dan SABA bila dibutuhkan Terapi dengan kortikosteroid inhalasi dosis rendah dapat mengurangi gejala asma, meningkatkan fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup, dan menurunkan kejadian eksaserbasi. Pilihan terapi lainnya : anti-leukotrien kurang efektif dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi. Obat tersebut dapat digunakan untuk initial controlled treatment pada pasien yang tidak dapat menggunakan kortikosteroid inhalasi, pasien yang tidak tahan dengan efek samping kortikosteroid inhalasi, dan pasien dengan rhinitis alergi. Pilihan terapi yang tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin : sustained-release theophylline karena memiliki efek samping yang mengancam jiwa bila diberikan pada dosis tinggi.



Step 3 Pilihan terapi : kombinasi kortikotsteroid inhalasi/LABA sebagai terapi maintenance dan SABA bila dibutuhkan atau kombinasi kortikosteroid dosis rendah/formoterol (budesonide/beclometasone) sebagai terapi maintenance dan reliever. Pilihan terapi tergantung pada usia. Untuk orang dewasa dan remaja, ada dua pilihan kombinasi kortikotsteroid inhalasi/LABA sebagai terapi maintenance dan SABA bila dibutuhkan

atau

kombinasi

kortikosteroid

dosis

rendah/formoterol

(budesonide/beclometasone) sebagai terapi maintenance dan reliever. Saat ini direkomendasikan terapi kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi//LABA inhalasi sebagai

pengobatan

propionat/formoterol,

asma

termasuk

fluticasone

dosis

rendah

furoate/vilanterol,

dari

fluticasone fluticasone

propionate/salmeterol,

beclometasone/formoterol,

budesonide/formoterol

dan

mometasone/formoterol. Untuk dosis maintenace dan reliever dapat diresepkan beclometasone/formoterol atau budesonide/formoterol dosis rendah. Pada pasien beresiko, kortikosteroid inhalasi/formoterol sebagai maintenance dan reliever secara signifikan mengurangi eksaserbasi. Pada pasien dewasa dengan rhinitis alergi dan sensitif pada house dust mite dengan eksaserbasi akut dipertimbangkan pemberian sublingual allergen immunitherapy (SLIT), asalkan FEV1 > 70% prediksi. 

Step 4 Pilihan terapi : kombinasi dosis rendah kortikosteroid inhalasi/formoterol sebagai terapi maintenance dan reliever atau kombinasi dosis menengah kortikosteroid inhalasi/LABA ditambah SABA bila diperlukan. Untuk pasien dewasa dan remaja dengan lebih dari 1 kali eksaserbasi pada tahun sebelumnya, kombinasi dosis rendah kortikosteroid /formoterol sebagai terapi maintenance dan reliever lebih efektif dalam menurunkan terjadinya eksaserbasi dibandingkan dengan dosis yang sama dengan terapi maintenance kortikosteroid inhalasi/LABA atau dosis yang lebih tinggi dari kortikosteroid. Pilihan terapi lainnya : Tiotropium (long-acting muscarinic antagonist) dapat digunakan sebagai terapi pada pasien dengan riwayat eksaserbasi. Tiotropium tidak dianjurkan pada anak < 12 tahun. Pada pasien dewasa dengan rhinitis alergi dan sensitif pada debu tungau dengan eksaserbai akut dapat dipertimbangkan pemberian sublingual allergen immunotherapy (SLIT), asalkan FEV1 > 70% prediksi. Kombinasi dosis tinggi kortikosteroid inhalasi daoat dipertimbangkan untuk pasien dewasa dna remaja, namun meningkatan dosis pada kortikosteroid inhalasi memberikan efek yang kecil dan peningkatan terjadinya efek samping termasuk supresi adrenal. Pilihan lain untuk dewasa atau remaja yang dapat ditambahkan pada dosis menengah atau dosis tinggi kortikosteroid inhalasi tapi kurang efektif dibandingkan LABA, yaitu LTRA atau low dose sustained-release theophylline.



Step 5 Pilihan terapi : rujuk ke spesialis untuk dilakukan pertimbangan terapi Pada pasien

Pilihan pengobatan yang dapat diberikan pada step 5 yaitu : -

Penambahan tiotropium (long-acting miscarinic antagonist) pada pasien usia ≥ 12 tahun dengan asma yang tidak dapat dikontol dengan kortikosteroid inhalasi/LABA. Peningkatan tiotropium (5 mikro gram sehari sekali dengan inhaler) dapat meningkatkan fungsi paru.

-

Penambahan anti-IgE pada pasien ≥ 6 tahun dengan moderate or evere alelergic asthma yang tidak terkontrol dengan 4 step.

-

Penambahan anti-interleukin-5 (subcutaneus mepolizumab untuk pasien ≥ 12 tahun dan reslizumab untuk pasien ≥ 18 tahun) atau anti-interleukin-5 (subcutaneus benralizumab untuk pasien usia ≥ 12 tahun), dengan severe eosinophilic asthma yang tidak terkontrol dengan 4 step

-

Sputum guided treatment untuk pasien dengan gejala yang persisten dan atau eksaserbasi walaupun dengan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi atau IC/LABA, pengobatan dapat disesuaikan dengan eosinofil > 3%. Pada asma berat strategi ini dapat menurunkan terjadinya eksaserbasi dan atau dosis rendah kortikosteroid inhalasi.

-

Penambahan terapi dengan bronchial thermoplasty dapat dipertimbangkan untuk dewasa dengan asma berat.

-

Penambahan dosis rendah kortikosteroid oral (≤ 7.5 mg/hari) mungkin efektif pada pasien dewasa dengan asma berat.

Tatalaksana asma lainnya menurut GINA 2018 : 1. Imunoterapi allergen Terapi allergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi memegang peranan utama dalam asma, misalnya pada asma dengan allergic rhinoconjunctivitis. Terdapat dua pendekatan utama yaitu subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan sublingual immunotherapy (SLIT). Pada pasien dengan asma dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan penurunan gejala dan kebutuhan pengobatan, serta penurunan responsivitas terhadap alergen. Efek samping dari SCIT adalah reaksi

anafilaksis yang dapat mengancam nyawa/ sedangkan SLIT sangat bermanfaat untuk dewasa dan anak-anak. Studi tentang SLIT pada tungau debu rumah pasien dengan asma dan rhinitis menunjukkan penurunan secara bermakna penggunaan ICS. Efek samping SLIT adalah gejala oral dan gastrointestinal yang ringan. 2. Vaksinasi Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut pada asma. Pada pasien dengan asma derajat sedang dan berat disarankan untuk mendapatkan vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi vaksin ini tidak dapat menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma. 3. Bronchial thermoplasty Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan asma yang tidak terkontrol walaupun sudah diberikan regimen terapi yang optimal. Terapi ini dilakukan dengan tiga

bronchoscopy

yang terpisah dengan

gelombang

radiofrekuensi lokal. Pada pemantauan jangka panjang akan terjadi penurunan jumlah serangan, tetapi butuh pemeriksaan lebih lanjut untuk merekomendasikan metode ini.

4. Vitamin D Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar serum vitamin D yang rendah terkait dnegan penurunan fungsi paru, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan penurnan respons kortikosteroid. Sampai saat ini suplementasi vitamin D belum bisa dikaitkan dengan peningkatan kontrol asma dan penurunan eksaserbasi.

Tatalaksana non-farmakologis : Selain tatalaksana farmakologis, terapi non-farmakologis dapat dipertimbangkan untuk membantu meningkatkan kontrol gejala dan/atau mengurangi resiko dimasa depan. Berikut beberapa intervensi non-farmakologis yang dapat dilakukan : -

Berhenti merokok dan menghindari paparan asap rokok

-

Aktivitas fisik

-

Menghindari paparan pekerjaan

-

Menghindari obat-obat yang dapat menyebabkan perburukan asma

-

Diet

-

Mengindari paparan alergen dari luar

-

Penurunan berat badan

9. Tatalaksana Eksaserbasi Eksaserbasi merupakan gejala akut dan sub-akut yang memburuk fungsi paru-paru. Penurunan aliran udara pada saat ekspirasi dapat diukur dengan pengukuran fungsi paruparu seperti puncak aliran ekspirasi (PEF) atau volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1), dibandingkan dengan fungsi paru-paru pasien sebelumnya. Pengukuran ini adalah indikator yang lebih dapat diandalkan untuk menilai keparahan eksaserbasi daripada gejala. Eksaserbasi parah berpotensi mengancam jiwa dan pengobatannya membutuhkan penilaian yang cermat dan pemantauan ketat. 

Manajemen eksaserbasi asma di rumah (oleh diri sendiri)

Semua pasien dengan asma harus diberikan edukasi termasuk pemantauan gejala dan atau fungsi paru-paru, rencana tindakan asma tertulis, dan tinjauan berkala oleh profesional kesehatan. 1.

Perawatan untuk rencana tindakan asma tertulis Rencana tindakan asma tertulis membantu pasien mengenali dan merespons secara tepat terhadap asma yang memburuk. Harus mencakup instruksi khusus bagi pasien tentang perubahan pada obat pereda dan pengontrol, cara menggunakan kortikosteroid oral (OCS) jika diperlukan dan kapan serta bagaimana mengakses perawatan medis.

2. β2-agonis short-acting inhalasi Dosis yang berulang dengan bronkodilator β2-agonis kerja pendek (SABA) inhalasi memberikan bantuan sementara. Kebutuhan akan dosis berulang selama lebih dari 1-2 hari menandakan mungkin perlunya meningkatkan dosis. Ini sangat penting jika ada kurangnya respons terhadap peningkatan penggunaan terapi β2agonis. 3. Kortikosteroid inhalasi

Dosis ICS setidaknya dua kali lipat dikaitkan dengan peningkatan hasil asma dan penurunan pemanfaatan layanan kesehatan. Hanya satu studi kecil penggandaan ICS telah dilakukan pada anak-anak. Ada bukti yang muncul pada orang dewasa dan anak-anak bahwa dosis ICS yang lebih tinggi dapat membantu mencegah memburuknya asma yang berkembang menjadi eksaserbasi parah. Pasien yang meningkatkan dosis ICS mereka (rata-rata setara 2000mcg / hari BDP) setelah PEF mereka turun secara signifikan sehingga tidak lagi membutuhkan OCS. Pada dewasa dengan eksaserbasi akut dosis tinggi ICS selama 7-14 hari (500-1600 mcg setara BDP-HFA) memiliki equivalen terhadap short acting OCS. 4. Kombinasi ICS dosis rendah (budesonide atau beclometasone) dengan LABA onset cepat (formoterol) Kombinasi LABA onset cepat (formoterol) dan ICS dosis rendah (budesonide atau beclometasone) dalam inhaler tunggal karena pengontrol dan obat pereda efektif dalam meningkatkan kontrol asma, dan pada pasien berisiko, mengurangi eksaserbasi yang membutuhkan OCS, dan rawat. Kombinasi ICS / formoterol inhaler dapat dipakai hingga dosis formoterol total maksimum 72 mcg dalam sehari. Manfaat dari rejimen ini dalam mencegah eksaserbasi tampaknya karena intervensi pada tahap awal asma yang memburuk. 5. Kombinasi ICS / LABA kombinasi lainnya Untuk orang dewasa yang menggunakan kombinasi ICS / LABA sebagai obat pengontrol pemeliharaan dosis tetap, dosis ICS dapat ditingkatkan dengan menambahkan inhaler ICS yang terpisah. 6. Kortikosteroid oral Biasanya, OCS jangka pendek digunakan (mis. 40-50 mg / hari biasanya selama 5-7 hari,) untuk pasien yang: • Gagal merespons peningkatan obat pereda dan pengontrol selama 2-3 hari • Memburuk dengan cepat atau yang memiliki PEF atau FEV1 <60% dari nilai terbaik atau prediksi pribadi mereka • Memiliki riwayat eksaserbasi berat mendadak.

Pasien harus diberitahu tentang efek samping yang umum, termasuk gangguan tidur, peningkatan nafsu makan, refluks, dan perubahan suasana hati. 7. Meninjau respons Pasien harus menemui dokter mereka segera atau datang ke unit perawatan akut jika asma mereka terus memburuk meskipun mengikuti rencana tindakan asma tertulis mereka, atau jika asma mereka tiba-tiba memburuk. 8. Tindak lanjuti setelah eksaserbasi yang dikelola sendiri Setelah eksaserbasi dikelola sendiri, pasien harus pergi penyedia layanan kesehatan primer mereka untuk pemeriksaan lebih lanjut (misalnya dalam 1-2 minggu), untuk penilaian kontrol gejala dan faktor risiko tambahan untuk eksaserbasi dan untuk mengidentifikasi penyebab potensial dari eksaserbasi. Perawatan kontroler umumnya dapat dilanjutkan sesuai dengan dosis sebelumnya 2-4 minggu setelah eksaserbasi.

6.1 Manajemen eksaserbasi asma di layanan primer Terapi awal utama meliputi pemberian berulang bronkodilator inhalasi kerja pendek, pengenalan kortikosteroid sistemik awal, dan suplementasi oksigen aliran terkontrol. Tujuannya adalah untuk dengan cepat meringankan obstruksi aliran udara dan

hipoksemia,

mengatasi

inflamasi

yang

mendasarinya,

dan

mencegah

kekambuhan. Penilaian keparahan eksaserbasi dilakukan dengan anamnesis mengenai riwayat asma dan pemeriksaan fisik yang relevan dan dilakukan bersamaan dengan inisiasi terapi segera, dan mendokumentasikan dalam catatan.

Jika pasien menunjukkan

tanda-tanda eksaserbasi parah atau yang mengancam jiwa, pengobatan dengan SABA, oksigen terkontrol, dan kortikosteroid sistemik harus dimulai.



Riwayat Riwayat harus mencakup: -

Waktu timbulnya dan penyebab (jika diketahui) dari eksaserbasi ini

-

Beratnya gejala asma, termasuk olahraga yang membatasi atau mengganggu tidur

-

Gejala anafilaksis

-

Faktor risiko apa pun untuk kematian terkait asma

-

Semua obat pereda dan pengontrol saat ini, termasuk dosis dan perangkat yang ditentukan, pola kepatuhan, apa saja perubahan dosis terbaru, dan respons terhadap terapi saat ini.



Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik harus menilai: -

Tanda-tanda keparahan eksaserbasi dan tanda-tanda vital (mis. tingkat kesadaran, suhu, denyut nadi, laju pernapasan, tekanan darah, kemampuan untuk menyelesaikan kalimat, penggunaan otot-otot aksesori, mengi).

-

Faktor-faktor rumit (mis. Anafilaksis, pneumonia, pneumotoraks)

-

Tanda-tanda kondisi alternatif yang dapat menjelaskan sesak napas akut (mis. Gagal jantung, jalan napas atas) disfungsi, benda asing yang dihirup atau emboli paru).



Penilaian obyektif Penilaian obyektif juga diperlukan karena pemeriksaan fisik saja mungkin tidak menunjukkan tingkat keparahan eksaserbasi. -

Tingkat saturasi <90% pada anak-anak atau orang dewasa menandakan perlunya terapi agresif.



PEF pada pasien yang berusia > 5 tahun

Terapi eksaserbasi pada layanan primer 

β2-agonis short-acting inhalasi Untuk eksaserbasi ringan hingga sedang, pemberian SABA inhalasi berulang (hingga 4-10 puff setiap 20 menit selama satu jam pertama) biasanya merupakan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai pembalikan cepat pembatasan aliran. Setelah satu jam pertama, dosis SABA yang dibutuhkan bervariasi mulai dari 4–10 isapan setiap 3–4 jam hingga 6–10 isapan setiap 1-2 jam, atau lebih sering. Tidak diperlukan SABA tambahan jika ada respons yang baik terhadap pengobatan awal (mis. DTP> 60-80% dari yang diprediksi atau yang terbaik secara pribadi selama 3-4 jam). Pengiriman SABA melalui pMDI dan spacer atau DPI mengarah ke peningkatan serupa dalam fungsi paru-paru seperti pengiriman melalui nebulizer. Namun, pasien

dengan asma berat akut tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Rute pemberian yang paling hemat biaya adalah pMDI dan spacer. 

Terapi Oksigen terkontrol Untuk mencapai saturasi oksigen arteri 93-95% (94-98% untuk anak-anak 6-11 tahun), oksigen harus diberikan dengan kanul atau masker hidung. Pada eksaserbasi berat, terapi oksigen aliran rendah terkontrol menggunakan oksimetri nadi untuk mempertahankan saturasi pada 93-95% dikaitkan dengan hasil fisiologis yang lebih baik dibandingkan dengan terapi oksigen 100% aliran tinggi. Setelah pasien stabil, pertimbangkan untuk menghentikan menggunakan oksigen menggunakan oksimetri untuk memandu kebutuhan akan terapi oksigen yang sedang berlangsung.



Kortikosteroid sistemik Dosis kortikosteroid sistemik yang direkomendasikan pada dewasa yaitu prednisolone 1 mg/kgBB/hari, maksimal 50 mg/hari dan pada anak usia 6-11 tahun diberikan prednisolone 1-2 mg/kgBB/hari, maksimal 40 mg/hari. Kortikosteroid sistemik dapat diteruskan hingga 5-7 hari. Pasien diberi edukasi tentang efek samping yang dapat terjadi, termasuk gangguan tisur, peningkatan nafsu makan, dan perubahan mood.



Obat pengontrol Pasien yang sudah diresepkan obat pengontrol harus diberikan saran tentang meningkatkan dosis untuk 2-4 minggu ke depan. Pasien yang saat ini tidak minum obat pengontrol biasanya harus memulai terapi yang mengandung ICS karena eksaserbasi yang memerlukan perawatan medis menunjukkan bahwa pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan eksaserbasi di masa depan.



Antibiotik (tidak disarankan) Bukti tidak mendukung peran antibiotik dalam eksaserbasi asma kecuali ada bukti kuat infeksi paru-paru (mis. Demam dan dahak purulen atau bukti radiografi pneumonia). Pengobatan agresif dengan kortikosteroid harus dilakukan sebelum antibiotik dipertimbangkan.



Meninjau respons

Selama perawatan, pasien harus dimonitor, dan pengobatan dititrasi sesuai dengan respon mereka. Pasien dengan respons yang sedikit atau lambat terhadap pengobatan SABA harus dimonitor secara ketat. Bagi banyak pasien, fungsi paruparu dapat dipantau setelah terapi SABA dimulai. Pengobatan tambahan harus dilanjutkan sampai PEF atau FEV1 mencapai level yang lebih tinggi atau (idealnya) kembali ke kondisi terbaik pasien sebelumnya.

6.2 Manajemen eksaserbasi asma di IGD



Riwayat Riwayat harus mencakup: -

Waktu timbulnya dan penyebab (jika diketahui) dari eksaserbasi ini

-

Beratnya gejala asma, termasuk olahraga yang membatasi atau mengganggu tidur

-

Gejala anafilaksis

-

Faktor risiko apa pun untuk kematian terkait asma

-

Semua obat pereda dan pengontrol saat ini, termasuk dosis dan perangkat yang ditentukan, pola kepatuhan, apa saja perubahan dosis terbaru, dan respons terhadap terapi saat ini.



Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik harus menilai: -

Tanda-tanda keparahan eksaserbasi dan tanda-tanda vital (mis. tingkat kesadaran, suhu, denyut nadi, laju pernapasan, tekanan darah, kemampuan untuk menyelesaikan kalimat, penggunaan otot-otot aksesori, mengi).

-

Faktor-faktor rumit (mis. Anafilaksis, pneumonia, pneumotoraks)

-

Tanda-tanda kondisi alternatif yang dapat menjelaskan sesak napas akut (mis. Gagal jantung, jalan napas atas) disfungsi, benda asing yang dihirup atau emboli paru).



Penilaian obyektif Penilaian obyektif juga diperlukan karena pemeriksaan fisik saja mungkin tidak menunjukkan tingkat keparahan eksaserbasi. -

Pengukuran fungsi paru ini sangat dianjurkan. Jika memungkinkan, dan tanpa menunda pengobatan, PEF atau FEV1 harus dicatat sebelum pengobatan dimulai, walaupun spirometri mungkin tidak dapat dilakukan pada anak-anak dengan asma akut. Fungsi paru-paru harus dipantau pada satu jam dan pada interval sampai respon yang jelas terhadap pengobatan telah terjadi atau plateu tercapai.

-

Saturasi oksigen harus dipantau secara ketat, lebih disukai dengan oksimetri nadi. Tingkat saturasi <90% pada anak-anak atau orang dewasa menandakan perlunya terapi agresif. Saturasi harus dinilai sebelum oksigen dimulai, atau 5 menit setelah oksigen diberikan atau ketika saturasi stabil.

-

Pengukuran gas darah arteri tidak diperlukan secara rutin: Mereka harus dipertimbangkan untuk pasien dengan PEF atau FEV1 <50%, atau bagi mereka yang tidak menanggapi pengobatan awal atau memburuk. Oksigen terkontrol tambahan harus dilanjutkan sementara gas darah diperoleh. PaO2 <60 mmHg (8 kPa) dan PaCO2 normal atau meningkat (terutama> 45 mmHg, 6 kPa) menunjukkan kegagalan pernapasan. Kelelahan dan mengantuk menunjukkan bahwa pCO2 mungkin meningkat dan intervensi jalan napas mungkin diperlukan.

-

X-ray dada (CXR) tidak direkomendasikan secara rutin Pada orang dewasa, CXR harus dipertimbangkan jika dicurigai adanya proses kardiopulmoner yang rumit atau alternatif (terutama pada pasien yang lebih tua), atau untuk pasien yang tidak menanggapi pengobatan di mana pneumotoraks mungkin sulit. Untuk mendiagnosis secara klinis. Demikian pula, pada anak-anak, CXR rutin tidak dianjurkan kecuali ada tanda-tanda fisik yang menunjukkan pneumotoraks, penyakit parenkim atau benda asing yang dihirup.



Terapi eksaserbasi pada IGD 

Terapi Oksigen terkontrol Untuk mencapai saturasi oksigen arteri 93-95% (94-98% untuk anak-anak 611 tahun), oksigen harus diberikan dengan kanul atau masker hidung. Pada eksaserbasi berat, terapi oksigen aliran rendah terkontrol menggunakan oksimetri nadi untuk mempertahankan saturasi pada 93-95% dikaitkan dengan hasil fisiologis yang lebih baik dibandingkan dengan terapi oksigen 100% aliran tinggi. Setelah pasien stabil, pertimbangkan untuk menghentikan menggunakan oksigen menggunakan oksimetri untuk memandu kebutuhan akan terapi oksigen yang sedang berlangsung.



β2-agonis short-acting inhalasi

Untuk eksaserbasi ringan hingga sedang, pemberian SABA inhalasi berulang (hingga 4-10 puff setiap 20 menit selama satu jam pertama) biasanya merupakan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai pembalikan cepat pembatasan aliran. Setelah satu jam pertama, dosis SABA yang dibutuhkan bervariasi mulai dari 4–10 isapan setiap 3–4 jam hingga 6–10 isapan setiap 1-2 jam, atau lebih sering. Tidak diperlukan SABA tambahan jika ada respons yang baik terhadap pengobatan awal (mis. DTP> 60-80% dari yang diprediksi atau yang terbaik secara pribadi selama 3-4 jam). Pengiriman SABA melalui pMDI dan spacer atau DPI mengarah ke peningkatan serupa dalam fungsi paru-paru seperti pengiriman melalui nebulizer. Namun, pasien dengan asma berat akut tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Rute pemberian yang paling hemat biaya adalah pMDI dan spacer. 

Epinefrin (untuk anafilaksis) Epinefrin intramuskular (adrenalin) diindikasikan sebagai tambahan terapi standar untuk asma akut yang terkait dengan anafilaksis dan angioedema. Ini tidak diindikasikan secara rutin untuk eksaserbasi asma lainnya.



Kortikosteroid sistemik Kortikosteroid sistemik mempercepat resolusi eksaserbasi dan mencegah kekambuhan, dan harus digunakan pada semua kecuali eksaserbasi paling ringan pada orang dewasa, remaja dan anak-anak 6–11 tahun. Jika memungkinkan, kortikosteroid sistemik harus diberikan kepada pasien dalam waktu 1 jam setelah penyajian. Penggunaan kortikosteroid sistemik sangat penting di unit gawat darurat jika: -

Pengobatan SABA awal gagal mencapai perbaikan gejala yang bertahan lama

-

Eksaserbasi berkembang saat pasien menggunakan OCS

-

Pasien memiliki riwayat eksaserbasi sebelumnya yang membutuhkan OCS

Rute pemberian: pemberian oral sama efektifnya dengan intravena. Rute oral lebih disukai karena lebih cepat, kurang invasif dan lebih murah. OCS membutuhkan setidaknya 4 jam untuk menghasilkan perbaikan klinis. Kortikosteroid intravena dapat diberikan ketika pasien tidak bisa menelan; jika

pasien muntah; atau ketika pasien membutuhkan ventilasi atau intubasi noninvasif. Dosis: 1 mg prednisolon / kg / hari atau setara hingga maksimal 50 mg / hari Durasi : pemberian 5 dan 7 hari pada orang dewasa telah terbukti sama efektifnya dengan pemberian 10 dan 14 hari masing-masing, biasanya dianggap cukup. Pasien harus diberitahu tentang efek samping yang umum, termasuk gangguan tidur, peningkatan nafsu makan, refluks dan perubahan suasana hati. 

Kortikosteroid inhalasi DI IGD, kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dapat diberikan 1 jam pertama setelah timbulnya gejala.

6.3 Terapi lainnya :



-

Ipratropium bromide

-

Aminofilin dan teofilin

-

Magnesium

-

Helium oxygen therapy

-

Leukotriene receptor antagonist

-

Kombinasi ICS/LABA

-

Antibiotic (tidak direkomendasikan)

-

Sedatif

-

Non-ivasive ventilation (NIV)

Meninjau respons Selama perawatan, pasien harus dimonitor, dan pengobatan dititrasi sesuai dengan respon mereka. Pasien dengan respons yang sedikit atau lambat terhadap pengobatan SABA harus dimonitor secara ketat. Bagi banyak pasien, fungsi paruparu dapat dipantau setelah terapi SABA dimulai. Pengobatan tambahan harus dilanjutkan sampai PEF atau FEV1 mencapai level yang lebih tinggi atau (idealnya) kembali ke kondisi terbaik pasien sebelumnya.



Manajemen pengobatan setelah keluar dari rumah sakit Obat – obatan Kortikosteroid inhalasi (ICS)

Mulailah ICS sebelum pasien KRS. Pasien yang telah mendapat obat yang mengandung ICS harusnya dosis ditingkatkan selama 2-4 minggu dan harus diingatkan tentang pentingnya kepatuhan dengan penggunaan sehari-hari. Kortikosteroid oral (OCS) Meresepkan paling tidak 5-7 hari OCS untuk orang dewasa (prednisolon atau setara 1 mg / kg / hari hingga maksimum 50 mg / hari) . Melihat kemajuan terapi sebelum menghentikan OCS. Jika OCS yang diberikan deksametason, pengobatan hanya untuk 1-2 hari. Untuk pasien dengan yang

kepatuhan

rendah,

kortikosteroid

intramuskular

dapat

dipertimbangkan. Faktor risiko yang berkontribusi pada eksaserbasi Identifikasi faktor-faktor yang mungkin berkontribusi pada eksaserbasi dan terapkan strategi untuk mengurangi faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Eksaserbasi yang cukup parah sehingga memerlukan rawat inap, pengobatan jangka panjang yang tidak memadai, masalah dengan kepatuhan, dan atau kurangnya rencana tindakan asma tertulis, serta faktor-faktor yang tidak dapat dihindari seperti infeksi saluran pernapasan karena virus. Keterampilan manajemen diri dan rencana tindakan asma tertulis Tinjau teknik penggunaan inhaler Tinjau teknik dengan PEF meter jika diperlukan Berikan rencana tindakan asma tertulis atau tinjau rencana pasien yang ada, baik pada saat dipulangkan atau sebagai sesegera mungkin sesudahnya. Mengevaluasi respons pasien terhadap eksaserbasi. Jika tidak memadai, tinjau rencana aksi dan berikan panduan tertulis untuk membantu apabila asma memburuk lagi. Tinjau penggunaan kontroler pasien sebelum dan selama eksaserbasi. Apakah meningkat segera dan seberapa banyak meningkat? Apakah OCS ditambahkan dan jika tidak, mengapa tidak? Pertimbangkan untuk

memberikan kursus singkat OCS untuk menghadapi eksaserbasi berikutnya. Kontrol pada dokter Janji temu dalam 2-7 hari setelah pemulangan untuk memastikan bahwa perawatan dilanjutkan, bahwa gejala asma terkontrol dengan baik, dan bahwa fungsi paru-paru pasien meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Global Initiative for Asthma (GINA). (2017). Global Strategy for Asthma Management and Prevention. GINA.

Related Documents

Asma'
June 2020 38
Asma
November 2019 62
Asma
November 2019 54
Asma
June 2020 40
Asma
November 2019 54

More Documents from ""