BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh satu dari 4 virus dengue berbeda dan diketahui terdapat 4 serotipe yaitu virus dengue serotipe 1, 2, 3 dan 4. Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes terutama Aedes aegypti yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit yang banyak menelan korban dan sering menimbulkan suatu Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan kematian yang besar. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Menurut data
World Health Organization penyakit demam berdarah dengue
pertama kali dilaporkan di Asia Tenggara pada tahun 1954 yaitu di Filipina, selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami wabah DBD, namun sekarang DBD menjadi penyakit endemik pada lebih dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi terjadinya kasus DBD. Jumlah kasus di Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat telah melewati 1,2 juta kasus ditahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010. Perkembangan kasus DBD di tingkat global semakin meningkat (WHO, 2014). DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat terutama di Indonesia. Pada tahun 2015, tercatat terdapat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yakni sebanyak 100.347 penderita DBD dan sebanyak 907 penderita meninggal dunia pada tahun 2014. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan iklim dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan. Distribusi kasus DBD berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2012-2015, yaitu persentase penderita laki-laki dan perempuan
1
Univeristas Muhammadiyah Palembang
2
cenderung sama, hal ini menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kemungkinan yang sama untuk terkena DBD, atau dapat dikatakan bahwa kejadian DBD tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Pada tahun 2016 Golongan terbanyak yang mengalami DBD di Indonesia pada umur 5-14 tahun mencapai 43,44% dan umur 15-44 tahun mencapai 33,25% (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Penyakit demam berdarah dengue lebih sering terjadi pada anak, batasan usia anak menurut Kementerian Kesehatan adalah 0-18 tahun dan usia dewasa di atas 18 tahun, kemungkinan penyebabnya berkaitan dengan kebiasaan nyamuk Aedes aegypti yang aktif menggigit pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00–12.00 dan 15.00–17.00, pada jam tersebut adalah jam bermain anak, kebiasan tidur siang pada golongan umur muda terutama anak-anak, selain itu kepekaan anak terhadap gigitan nyamuk juga masih kurang karena ketika bermain anak-anak cenderung bergerak aktif sehingga gigitan nyamuk sering terabaikan, kemudian suhu badan tinggi pada anak baru akan diketahui apabila anak tersebut berinteraksi dengan orang tuanya, sehingga sering kali demam pada anak tidak dapat dideteksi secara dini dan kasus DBD banyak terjadi pada anak-anak dikarenakan faktor dari imun anak tersebut (Sutanto, 2008). Situasi demam berdarah dengue di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2016 terjadi peningkatan kasus dibandingkan tahun 2015. Pada tahun 2016 jumlah kasus mencapai 3.549 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 23 orang. Sementara pada tahun 2015 jumlah penderita DBD sebanyak 3.401 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 16 orang (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan, 2016). Kota Palembang adalah ibukota Provinsi Sumatera Selatan yang mempunyai luas wilayah 400.61 km2 dengan jumlah penduduk sebesar 1.580.517 jiwa, yang berarti setiap km2 di huni oleh 3.94 jiwa. Di kota Palembang ditemukan penderita DBD sebanyak 438 kasus pada tahun 2013 meningkat pada tahun 2014 sebesar 622 kasus dan meningkat lagi pada tahun 2015 sebesar 979 kasus (Dinas Kesehatan Kota Palembang, 2016).
Universitas Muhammadiyah Palembang
3
Puskesmas Taman Bacaan Palembang merupakan Puskesmas yang terletak di Seberang Ulu II, wilayah kerjanya meliputi 3 Kelurahan yaitu Kelurahan Tangga Takat, 16 Ulu dan Kelurahan Sentosa, dengan luas wilayah kerjanya ± 987 Ha. Puskesmas Taman Bacaan merupakan urutan ke-12 dari 39 Puskesmas di kota Palembang terbanyak penderita DBD dan merupakan Puskesmas tertinggi jumlah penderita DBD dari 4 Kecamatan yang berada di Seberang Ulu yaitu Kecamatan Seberang Ulu I, Seberang Ulu II, Kertapati, dan Plaju (Dinas Kesehatan Kota Palembang, 2016). Menururt data profil Puskesmas Taman Bacaan Palembang (2017) tercatat pada tahun 2016 terdapat 61 orang dan pada tahun 2017 terdapat 49 orang datang berobat dengan gejala demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung selama 2-7 hari disertai dengan 2 atau lebih tanda-tanda: mual, muntah, bintik perdarahan, dan nyeri sendi. Larva Aedes aegypti dan Aedes albopictus hidup pada wadah air buatan manusia yang berada di dalam dan luar rumah dan biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Hasil penelitian di Singapura pada tahun 1996 telah diketahui habitat perindukan Aedes sp. di rumah tangga (domestik) antara lain ember, drum, tempayan, baskom (21,9%), diikuti tempat air yang bekas (18,7%), tempat air hiasan, seperti vas bunga, pot tanaman (17,0%), lekukan pada lantai (8,7%) dan terpal/plastik (8,3%). Telur Aedes aegypti biasanya menempel pada dinding tempat penampungan air. Telur Aedes aegypti membutuhkan waktu 2 hari untuk menetas menjadi jentik. Dari telur sampai menjadi nyamuk dewasa membutuhkan waktu 9-10 hari (Hasyimi, 2008). Pemberantasan nyamuk penular DBD terutama dilakukan terhadap jentiknya yaitu melalui kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). PSN DBD sebagai kegiatan yang strategis sampai saat ini belum optimal dilaksanakan, terbukti dengan masih tingginya kasus di daerah endemis DBD di Kota Palembang. Hal ini mengindikasikan adanya tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang lolos dari program PSN yang dilakukan masyarakat selama ini. Keberhasilan kegiatan PSN DBD dapat diukur dari Angka Bebas Jentik (ABJ). ABJ adalah persentase antara rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik terhadap seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa. Kementerian Kesehatan RI (2016) menetapkan bahwa ABJ yang dianggap aman untuk
Universitas Muhammadiyah Palembang
4
penularan penyakit DBD adalah ≥ 95% (dari 100 rumah yang diperiksa yang mempunyai jentik tidak boleh lebih dari 5%) ABJ dapat menggambarkan besaran masalah DBD. Data angka bebas jentik di Indonesia pada tahun 2012 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2011 yaitu dari 76% menjadi 79%. Data ABJ DBD di Kota Palembang tahun 2015 diperoleh sebesar 85,4% atau 51533 rumah yang diperiksa, ditemukan jentik sebanyak 7537 rumah. Keberhasilan kegiatan PSN DBD dapat diukur dengan ABJ, apabila ABJ ≥95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Hasil penelitian Wati (2009), di Kelurahan Ploso, Kecamatan Pacitan, menemukan bahwa keberadaan jentik dalam kontainer secara statistik mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD dengan nilai p = 0,001. Sejalan dengan penelitian Jata (2016) dilakukan uji chi Square di peroleh nilai signifikansi di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan sebesar p=0,00 lebih kecil dari α= 5 % (0,00 < 0,05) dan di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Timur sebesar p=0,00 lebih kecil dari α = 5% (0,00< 0,05). Hal ini menunjukkan ke dua wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan dan Puskesmas I Denpasar Timur ada hubungan keberadaan jentik di kontainer air/TPA responden dengan kejadian DBD. Demikian juga halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Usman (2002) di Bandar Lampung yang dipublikasikan pada tahun 2004, menemukan bahwa penghuni rumah dengan TPA berjentik mendapatkan risiko terjadinya DBD sebesar 5,2 kali lebih besar dibanding penghuni rumah dengan TPA tidak berjentik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Murdani (2016) di Banyuwangi didapatkan bahwa terdapat hubungan walaupun tidak terlalu kuat antara angka bebas jentik dengan kejadian DBD, satu daerah akan terbebas dari kejadian DBD apabila didukung daerah sekitarnya juga terbebas dari jentik. Berdasarkan masalah tersebut peneliti merasa tertarik melakukan penelitian mengenai hubungan kejadian demam berdarah dengue dengan angka bebas jentik di wilayah kerja Puskesmas Tamana Bacaan Palembang.
Universitas Muhammadiyah Palembang
5
1.2.
Rumusan Masalah Apakah ada hubungan antara kejadian demam berdarah dengue pada anak dengan angka bebas jentik di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang?
1.3.
Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui adanya hubungan antara kejadian demam berdarah dengue pada anak dengan angka bebas jentik di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang. 1.3.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian yang akan dicapai adalah sebagai berikut: 1. Untuk
mengetahui
kejadian
demam
berdarah
dengue
berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang. 2. Untuk
mengetahui
kejadian
demam
berdarah
dengue
berdasarkan umur anak di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang. 3. Untuk mengetahui angka bebas jentik di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang.
1.4.
Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu kedokteran dan menambah wawasan pengetahuan mengenai penyakit demam berdarah dengue dan pencegahan penyakit demam berdarah dengue melalui program pemberantasan sarang nyamuk DBD yang dapat diukur dari angka bebas jentik. 1.4.2. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Bagi peneliti, dapat menambah pengalaman dan juga wawasan dalam melakukan penelitian.
Universitas Muhammadiyah Palembang
6
b.
Bagi Pemerintah dan bagi Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk dapat meningkatkan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) untuk mencegah penyakit demam berdarah dengue lebih meluas.
Universitas Muhammadiyah Palembang
7
1.5.
Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
Penulis
Judul Penelitian
Desain Penelitian
Hasil
Penelitian Agus Putra Pemetaan Kejadian Penelitian
ini Hasil
Murdani,
DBD
Santi
Angka Bebas Jentik cross sectional
Martini dan dan
Berdasarkan menggunakan
Jenis
Infeksi
Dengue
penelitian
desain menunjukkan
bahwa
terdapat
hubungan
walaupun tidak terlalu kuat
Windhu
Virus
di
antara angka bebas jentik
Purnomo
Kabupaten
dengan kejadian DBD, satu
Banyuwangi tahun
daerah akan terbebas dari
2016
kejadian
DBD
apabila
didukung daerah sekitarnya juga terbebas dari jentik. Sondang
Hubungan
Penelitian
Pasaribu,
Frekuensi
menggunakan
Devi Nurani Pemberantasan Santi, Indra Sarang Chahaya
Nyamuk
ini Persentase
analisis korelasi
desain jentik
angka
tidak
bebas
memiliki
hubungan yang signifikan dengan
kejadian
demam
Dan Angka Bebas
berdarah dengue dari segi
Jentik
Dengan
tempat dapat dikarenakan
Kejadian
Demam
pelaksanaan
Berdarah
Dengue
jentik berkala yang belum
Pada
Periode
mencakup keseluruhan kota
pemeriksaan
Januari-Desember
medan yakni hanya sekitar
Tahun 2012 Di Kota
70,7% dari seluruh rumah
Medan, 2014.
yang ada. Dengan demikian angka bebas jentik tidak menggambarkan yang
sesunguhnya
tidak
sesuai
kondisi serta dengan
harapan.
Universitas Muhammadiyah Palembang
Widia
Eka Beberapa
Wati,
Dwi Yang Berhubungan menggunakan
Astuti, Darnoto
Sri Dengan Demam
Faktor Penelitian
ini Hasil
penelitian
desain menunjukkan
ada
Kejadian cross sectional
hubungan
antara
Berdarah
keberadaan jentik Aedes
Dengue (DBD) Di
aegypti
pada
kontainer
Kelurahan
Ploso
(P=0,001) dengan kejadian
Kecamatan Pacitan
DBD di Kelurahan Ploso
Tahun 2009
Kecamatan Pacitan tahun 2009.
8
Universitas Muhammadiyah Palembang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Definisi Demam Berdarah Dengue Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok (Suhendro et al., 2014).
2.1.2. Etiologi Demam Berdarah Dengue
Demam dengue atau demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106. Demam berdarah disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe yang berbeda (DEN 1-4). Infeksi oleh satu serotipe menghasilkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe itu tetapi tidak pada serotipe yang lain (Henchal & Putnak, 2013). Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus (Suhendro et al., 2014). Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain. Seseorang yang tinggal
9
Universitas Muhammadiyah Palembang
di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat (Dahlan, 2008). Penyakit demam berdarah dengue lebih sering terjadi pada anak, batasan usia anak menurut Kementerian Kesehatan adalah 0-18 tahun dan usia dewasa di atas 18 tahun, kemungkinan penyebabnya berkaitan dengan kebiasaan nyamuk Aedes aegypti yang aktif menggigit pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00–12.00 dan 15.00–17.00, pada jam tersebut adalah jam bermain anak, kebiasan tidur siang pada golongan umur muda terutama anak-anak, selain itu kepekaan anak terhadap gigitan nyamuk juga masih kurang karena ketika bermain anak-anak cenderung bergerak aktif sehingga gigitan nyamuk sering terabaikan, kemudian suhu badan tinggi pada anak baru akan diketahui apabila anak tersebut berinteraksi dengan orang tuanya, sehingga sering kali demam pada anak tidak dapat dideteksi secara dini dan kasus DBD banyak terjadi pada anak-anak dikarenakan faktor dari imun anak tersebut (Sutanto, 2008).
2.1.3. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh nyamuk yang penyebarannya paling cepat di dunia yang dapat menginfeksi lebih dari 100 juta manusia setiap tahunnya. Penyakit DBD dapat menyebabkan 20 hingga 25.000 kematian terutama pada anak-anak dan ditemukan di lebih dari 100 negara. Negara yang menjadi daerah endemis DBD setiap tahunnya adalah Amerika, Asia, Afrika, dan Australia. Virus dengue dapat ditularkan melalui dua cara yaitu: nyamuk membawa virus dari primata non-manusia ke primata non-manusia dan nyamuk membawa virus dari manusia ke manusia. Vektor utama penyakit ini adalah nyamuk betina dari spesies Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Spesies nyamuk ini cenderung hidup di dalam ruangan dan aktif di siang hari. Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak 10
Universitas Muhammadiyah Palembang
mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya). Penularan secara perinatal, melalui transfusi darah, ASI, dan dengan transplantasi organ telah banyak dilaporkan (Guo et al., 2017). Demam berdarah dengue masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya morbilitas dan kepadatan penduduk, jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah. Di indonesia, demam berdarah dengue pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968 dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia, dengan angka kematian mencapai 41,3%. Sejak saat itu, penyakit ini menyebar ke seluruh Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Pada tahun 2015, tercatat terdapat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yakni sebanyak 100.347 penderita DBD dan sebanyak 907 penderita meninggal dunia pada tahun 2014. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan iklim dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Menurut Penelitian yang dilakukan Yusnia (2009) didapatkan bahwa kasus DBD lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 107 kasus (52,2%) daripada jenis kelamin perempuan sebanyak 98 kasus (47,8%). Distribusi kasus DBD berdasarkan jenis kelamin pada tahun 20122015, yaitu persentase penderita laki-laki dan perempuan cenderung sama, hal ini
menggambarkan
bahwa
laki-laki
dan
perempuan
mempunyai
kemungkinan yang sama untuk terkena DBD, atau dapat dikatakan bahwa kejadian DBD tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Tidak adanya pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian DBD dikarenakan baik perempuan maupun laki-laki memiliki potensi yang sama untuk terkena penyakit DBD, karena baik laki-laki maupun perempuan ratarata memiliki tempat beraktivitas yang hampir sama seperti rumah, selain itu nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit DBD tidak memiliki karakter atau kecenderungan yang bersifat subyektif lebih sering mengigit orang
11
Universitas Muhammadiyah Palembang
berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Perempuan dan laki-laki memiliki potensi yang sama untuk terkena gigitan nyamuk Aedes aegypti (Umaya, 2013). Pada tahun 2016 Golongan terbanyak yang mengalami DBD di Indonesia pada umur 5-14 tahun mencapai 43,44% dan umur 15-44 tahun mencapai 33,25% (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue yaitu: 1) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan mengigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2) Pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3) Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (Suhendro et al., 2014). Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undiffrentiated febrile illness), dengue fever, Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS), yang terakhir dengan mortalitas tinggi yang disebabkan renjatan dan perdarahan hebat. Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini dapat disamakan dengan sebuah gunung es. DBD dan DSS sebagai kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan puncak gunung es yang kelihatan diatas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (demam dengue dan silent dengue infection) merupakan dasar gunung es. Diperkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit, telah terjadi 150-200 kasus silent dengue infection (Dahlan, 2008). 2.1.4. Patogenesis Demam Berdarah Dengue Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti. Hingga kini sebagian besar masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun (Diamond & Pierson, 2015). 12
Universitas Muhammadiyah Palembang
The immunological Enhancement Hypothesis Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antiboy dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu (1) Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesificty. Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat (Diamond & Pierson, 2015). Aktivasi Limfosit T Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD. Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN- α dan γ). Pada infeksi sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4+ dan CD8+ spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan (Diamond & Pierson, 2015). Hipotesis kedua patogensis DBD mempunyai konsep dasar bahwa keempat serotipe virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai akibat serotipe/ galur serotipe virus dengue yang paling virulen (Diamond & Pierson, 2015). Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: a) Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun selular terhadap
13
Universitas Muhammadiyah Palembang
virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu Th1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10; c) Monosit dan makrofag berperan dalam proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d) Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a (Diamond & Pierson, 2015). Infeksi
virus
dengue
menyebabkan
aktivasi
makrofag
yang
memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-heper dan T-sitotoksik sehingga di produksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (Platelet Activating Factor), IL-6, dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocaran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivitas oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma (Diamond & Pierson, 2015). Trombositopenia Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 710 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit (John, Abraham & Gubler, 2013). Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis Kelaianan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa trombopalstin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP). Koagulopati
14
Universitas Muhammadiyah Palembang
terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel (John, Abraham & Gubler, 2013).
2.1.5. Gambaran Klinis Demam Berdarah Dengue Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue dan sindrom dengue diperluas (Suhendro et al., 2014). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2–7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat (Suhendro et al., 2014). Penderita penyakit yang memenuhi sekurang-kurangnya 2 kriteria klinis dan 2 kriteria laboratorium di bawah ini: Kriteria klinis: 1. Panas mendadak 2-7 hari tanpa sebab yang jelas 2. Tanda-tanda perdarahan (sekurang-kurangnya uji torniquet positif) 3. Pembesaran hati 4. Syok Kriteria laboratorium: 1. Trombositopenia (Trombosit ≤100.000/μl) 2. Hematokrit naik >20% Atau: Penderita
yang
menunjukkan
hasil
positif
pada
pemeriksaan
Hemagglutination Inhibition (HI) test atau hasil positif pada pemeriksaan antibodi dengue Rapid Diagnostic Test (RDT)/ ELISA (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2016). a. Demam Dengue Masa tunas berkisar antara 3-15 hari, pada umumnya 5-8 hari. Permulaan penyakit biasanya mendadak. Gejala prodorma meliputi nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, mengigil dan malaise. Pada umumnya ditemukan sindrom trias, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan
15
Universitas Muhammadiyah Palembang
timbulnya ruam. Ruam biasanya timbul 5-12 jam sebelum naiknya suhu pertama kali, yaitu pada hari ketiga sampai hari kelima dan biasanya berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam mula-mula dilihat di dada, tubuh serta abdomen dan menyebar ke anggota gerak dan muka. Pada lebih dari separuh penderita gejala klinis timbul mendadak, disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata, punggung, otot dan sendi disertai rasa mengigil (Dahlan, 2008). Pada beberapa penderita dapat dilihat kurva yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua penderita sehingga tidak dapat dianggap patognomonik. Perasaan tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium dini penyakit sering timbul perubahan dalam indra pengecap. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis dan disuria (Dahlan, 2008). Kelainan darah tepi pada penderita demam dengue ialah leukopenia selama periode pra-demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia pada masa penyakit menular yang disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis pada periode memuncaknya penyakit dan pada masa konvalesen. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu (Dahlan, 2008). b. Demam Berdarah Dengue (DBD) Kasus DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah (Dahlan, 2008). Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DBD dari demam dengue ialah meningginya permeabilitas dinding
pembuluh
darah,
menurunya
16
volume
plasma,
hipotensi,
Universitas Muhammadiyah Palembang
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Gejala yang harus dipertimbangkan dalam diferensiasi DBD dari demam dengue ialah: 1. DBD pada umumnya disertai pembesaran hati. 2. Leukositosis seringkali ditemukan pada DBD, berlainan dengan demam dengue yang pada umumnya disertai leukopenia berat. 3. Manifestasi perdarahan seperti petekie, ekimosis, uji tornikuet positif dan trombositopenia lebih menonjol pada DBD. 4. Limfadenopatia, ruam makulopapular dan mialgia bersifat lebih ringan daripada DBD. (Dahlan, 2008). Menurut WHO untuk membuat diagnosis DBD ditetapkan sebagai berikut: 1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari. 2. Manifestasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji tornikuet positif dan salah satu bentuk lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis dan perdarahan gusi), hematemesis. 3. Pembesaran hati. 4. Renjatan yang ditandi nadi lemah, cepat disertai tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistol menurun sampai 80 mmHg atau kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, penderita menjadi gelisah, timbul sianosis di sekitar mulut. (Dahlan, 2008). c. Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium seringkali ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit di bawah 100.000/mm3 ditemukan di antara hari ketiga sampai ketujuh sakit. Meningkatnya hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma yang biasanya ditemukan, juga pada kasus derajat ringan, walaupun tentunya tidak sehebat seperti dalam keadaan renjatan.
Hasil
laboratorium
lain
yang
sering
ditemukan
ialah
hipoproteinemia, hiponatremia, peninggian sedikit kadar transaminase serum dan urea nitrogen darah. Pada beberapa penderita ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit bervariasi antara leukopenia dan leukositosis.
17
Universitas Muhammadiyah Palembang
Kadang-kadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat sementara (Dahlan, 2008). WHO membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat, yaitu sebagai berikut: 1. Derajat I
: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan ialah uji torniquet positif. 2. Derajat II
: Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain. 3. Derajat III
: Ditemukannya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat,
hipotensi disertai kulit dingin. 4. Derajat IV
: Nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah yang tidak
dapat diukur. (Dahlan, 2008). 2.1.6. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna (Suhendro et al., 2014). Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh karena itu masyarakat/orang tua diharapkan untuk waspada jika melihat tanda/gejala yang mungkin merupakan gejala awal perjalanan penyakit DBD. Tanda/gejala awal penyakit DBD ialah demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, terus menerus, badan lemah, dan anak tampak lesu. Pertama ditentukan terlebih dahulu adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok (gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terus menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam, maka pasien perlu dirawat. Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet: apabila uji tourniquet positif lanjutkan dengan pemeriksaan trombosit, apabila
18
Universitas Muhammadiyah Palembang
trombosit ≤100.000/ul pasien dirawat untuk observasi. Apabila uji tourniquet positif dengan trombosit >100.000/ul atau normal atau uji tourniquet negatif, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun. Nilai gejala klinis dan lakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap kali selama anak masih demam. Bila terjadi penurunan kadar Hb dan/ atau peningkatan kadar Ht, segera dirawat. Beri nasehat kepada orang tua: anak dianjurkan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lainlain, serta diberikan obat antipiretik golongan parasetamol (kontraindikasi golongan salisilat). Bila klinis menunjukkan tanda-tanda syok seperti anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, muntah, lemah, dianjurkan segera dibawa berobat ke dokter atau puskesmas, dan rumah sakit (Soedarmo dkk, 2012). Fase Demam Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39oC dengan dosisi 10-15 mg/kgBB/ kali (Soedarmo dkk, 2012). Penggantian Volume Plasma Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum peroral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadi syok (2) nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung derajat dehidrasi dan kehilangan tergantung dari derjat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+ (50X20) = 2500 ml (Soedarmo dkk, 2012).
19
Universitas Muhammadiyah Palembang
2.1.7. Pencegahan Demam Berdarah Dengue Pencegahan adalah proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu tidak terjadi (Soedarto, 2012). a. Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Pencegahan dengue terutama diarahkan pada pemberantasan nyamuk yang menjadi vektor penularan dengue dan membersihkan sarang-sarangnya. Tindakan pencegahan harus dilakukan sebelum terjadinya masa penularan (yaitu selama dan sesudah musim hujan) dan pada saat terjadi epidemik (Soedarto, 2012). 1.
Mencegah gigitan nyamuk Nyamuk penular dengue mengigit mangsanya siang hari, untuk menghindari gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan:
Mengenakan pakaian yang menutupi seluruh bagian dan anggota badan
Mengoleskan pengusir nyamuk pada anak dan orang lanjut usia
Menggunkan obat nyamuk bakar atau obat nyamuk asap listrik
2.
Mencegah nyamuk berkembang biak Nyamuk penular dengue hidup dan berkembang biak di dalam dan disekitar rumah. Untuk mencegah nyamuk dengue berkembang biak di genangan air jernih atau air hujan, dapat dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:
Buanglah air yang terdapat di dalam alat pendingin, tangki, tong, dan wadah berisi air lain jika tidak lagi digunakan.
Keluarkan dari dalam rumah semua benda yang berisi air, misalnya cawan alas tanaman hias.
Buanglah dua hari sekali yang terdapat pada penampungan air lemari es.
Semua wadah penampung air, misalnya gentong atau ember penyimpanan air minum, harus selalu ditutup rapat.
20
Universitas Muhammadiyah Palembang
Buanglah atau timbun dengan tanah semua sampah padat yang dapat menampung air hujan, misalnya kaleng, botol plastik (Soedarto, 2012).
b. Pemberantasan Vektor Empat prinsip dalam membuat perencanaan pemberantasan vektor, yaitu: 1. Mengambil manfaat dari adanya perubahan musiman keadaan nyamuk oleh pengaruh alam, dengan melakukan pemberantasan vektor pada saat kasus penyakit DBD paling rendah. 2. Memutuskan lingkaran penularan dengan cara menahan kepadatan vektor pada tingkat yang rendah untuk memungkinkan penderita pada masa viremia sembuh sendiri. 3. Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah dengan potensi penularan tinggi, yaitu daerah padat penduduknya dengan kepadatan nyamuk cukup tinggi. 4. Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat penyebaran seperti sekolah, rumah sakit, serta daerah penyangga sekitarnya. (Fathi, 2008). Pemberantasan vektor dapat dilakukan pada stadium dewasa maupun stadium jentik: 1. Pemberantasan vektor stadium dewasa Pemberantasan vektor penyakit DBD pada waktu terjadi wabah sering dilakukan fogging atau penyemprotan lingkungan rumah dengan insektisida malathion yang ditunjukan pada nyamuk dewasa. Caranya adalah dengan menyemprot atau mengasapkan dengan menggunakan mesin pengasap yang dapat dilakukan melalui darat maupun udara. Namun kegiatan ini tanpa didukung dengan aplikasi abatisasi, dalam beberapa hari akan meningkat lagi kepadatan nyamuk dewasanya, karena jentik yang tidak mati oleh pengasapan akan menjadi dewasa untuk itu, dalam pemberantasan vektor stadium dewasa perlu disertai aplikasi abatisasi (Ambarwati, 2016).
21
Universitas Muhammadiyah Palembang
2. Pemberantasan vektor stadium jentik Pemberantasan vektor stadium jentik dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida maupun tanpa insektisida. a. Pemberantasan jentik dengan insektisida Insektisida yang digunakan untuk memberantas jentik Aedes aegypti disebut larvasida yaitu abate (temephos). Abate SG 1% diketahui sebagai larvasida yang paling aman dibanding larvasida lainnya. Abate dapat ditaburkan ke dalam air maka butiran pasirnya akan jatuh sampai ke dasar dan racun aktifnya akan keluar serta menempel pada pori-pori dinding tempat air, dengan sebagaian masih tetap berada dalam air (Fathi, 2008). b. Pemberantasan jentik tanpa insektisida Cara pemberantasan vektor stadium jentik tanpa menggunakan insektisida lebih dikenal dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Kegiatan ini merupakan upaya sanitasi untuk melenyapkan container yang tidak terpakai agar tidak memberi kesempatan pada nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak pada kontainer tersebut. PSN dilakukan dengan cara: 1. Kimia: pemberantasan larva dilakukan dengan larvasida yang dikenal dengan istilah abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah temefos. Formulasi temefos yang digunakan ialah granules (sandgranules). Dosis yang digunkan 1 ppm atau 10 gram (± 1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Abatisasi dengan temefos tersebut mempunyai efek residu 3 bulan. 2. Biologi: misalnya memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan guppy). 3. Fisik: cara ini dikenal dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) yaitu menguras bak mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum, dan lain-lain), serta mengubur atau memusnahkan barang bekas (Seperti: kaleng, ban, dan lain-lain). Pengurasan TPA
22
Universitas Muhammadiyah Palembang
perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak ditempat itu. (Fathi, 2008).
2.1.8. Penularan Demam Berdarah Dengue Penyakit demam berdarah ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang mengandung virus dengue. Nyamuk Aedes aegypti betina sering mengisap darah manusia pada waktu pagi dan sore hari. Nyamuk ini gemar hidup ditempat-tempat yang gelap atau terhindar dari sinar matahari. Penyakit DBD ini sering terjadi di daerah tropis dan muncul pada musim penghujan (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Kemampuan terbang nyamuk Aedes sp. Betina rata-rata 40 meter, namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh. Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah maupun tempat umum. Nyamuk Aedes aegypti dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian ±1.000 m dpl, suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembang biak (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
2.1.9. Hubungan Host, Agent, dan Environment Segitiga epidemiologi (trias epidemiologi) merupakan konsep dasar epidemiologi yang memberikan gambaran tentang hubungan antara tiga faktor utama yang berperan dalam terjadinya
penyakit dan masalah kesehatan
lainnya. Segitiga ini merupakan gambaran interaksi antara tiga faktor yakni host (tuan rumah atau penjamu), agent (agen atau faktor penyebab), dan environment (lingkungan). Timbulnya penyakit berkaitan dengan terjadinya ketidakseimbangan interaksi antara ketiga faktor ini, keterhubungan interaksi penjamu, agen dan lingkungan ini merupakan suatu kesatuan yang dinamis yang berada dalam keseimbangan pada seorang individu yang sehat. Jika terjadi gangguan terhadap keseimbangan hubungan segitiga inilah yang akan menimbulkan status penyakit (Bustan, 2012).
23
Universitas Muhammadiyah Palembang
Gangguan keseimbangan yang memungkinkan terjadinya penyakit berkaitan dengan: 1. Tersedianya penjamu yang rentan (susceptible host) 2. Keterpaparan oleh faktor agen yang potensial berisiko (faktor risiko) 3. Keadaan perubahan lingkungan yang mendukung keterpaparan oleh agen dan penjamu yang makin rentan (Bustan, 2012).
Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi Sumber: Pengantar Epidemiologi, Bustan 2012
Bentuk interaksi segitiga epidemiologi juga dikemukakan berupa timbangan
keseimbangan.
Suatu
penyakit
timbul
karena
terjadi
ketidakseimbangan antara agen, penjamu dan lingkungan. Maka dapat dikatakan bahwa individu yang sehat adalah keadaan dimana ketiga faktor ini dalam keadaan seimbang (Bustan, 2012). Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment) yang digambarkan sebagai segitiga (Bustan, 2012). Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Perubahan pada satu komponen akan mengubah ketiga komponen lainnya, dengan akibat menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit. Komponen untuk terjadinya penyakit DBD yaitu:
24
Universitas Muhammadiyah Palembang
1. Faktor Penjamu (host atau tuan rumah) Penjamu adalah manusia atau makhluk hidup lainnya, termasuk burung dan artropoda, yang menjadi tempat terjadi proses alamiah perkembangan penyakit. Faktor penjamu yang berkaitan dengan kejadian penyakit berupa : umur, jenis kelamin dan status gizi (Bustan, 2012). Yang termasuk dalam kelompok faktor penjamu dalam hal ini adalah: a. Genetik Contohnya sickle cell disease. b. Umur Ada kecenderungan penyakit menyerang umur tertentu. c. Jenis kelamin Ditemukan penyakit yang terjadi lebih banyak atau hanya mungkin pada wanita. d. Suku/ras/warna kulit Dapat ditemukan perbedaan antara ras kulit putih (white) dengan orang kulit hitam (black) di Amerika. e. Keadaan fisiologi tubuh Kelelahan, kehamilan, pubertas, stress atau keadaan gizi. f. Keadaan imunologis Kekebalan yang diperoleh karena adanya infeksi sebelumnya. g. Tingkah laku (behaviour) Gaya hidup (life style), personal hygine, hubungan antarpribadi dan rekreasi. (Bustan, 2012). 2. Faktor Agent Agent (faktor penyebab) adalah suatu unsur organisme hidup atau kuman infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Yang dapat dimasukan sebagai faktor agen adalah: a. Faktor nutrisi (gizi)
25
Universitas Muhammadiyah Palembang
Bisa dalam bentuk kelebihan gizi misalnya tinggi kadar kolestrol atau kekurangan gizi baik lemak, protein dan vitamin. b. Penyebab kimiawi Misalnya zat-zat beracun (karbon monoksida), abses, cobalt atau zat allergen. c. Penyebab fisik Misalnya radiasi dan trauma mekanik (pukulan, tabrakan). d. Penyebab biologis
Metazoa
:cacing
tambang,
cacing
gelang,
schistosomiasis.
Protozoa
: amoeba, malaria.
Bakteri
: syphillis, typoid, pnumonia, tuberkulosis.
Fungi (jamur) : histoplasmosis, taenia pedis.
Rickettsia
: Rocky mountain spotted faver.
Virus
: campak, cacar (smallpox), poliomyelitis,
virus dengue. Dalam hal ini yang merupakan faktor agen ialah penyebab biologis yaitu: virus dengue yang menyebabkan penyakit demam berdarah dengue
yang
termasuk
kelompok
B
arthropoda
born
virus
(arvoviroses). Anggota dari genus Flavivirus, famili flaviviridae yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor infeksi DBD (Bustan, 2012). 3. Faktor Enviroment (Lingkungan) Lingkungan adalah semua faktor luar dari suatu individu yang dapat berupa lingkungan fisik, biologis dan sosial. Yang tergolong dalam faktor lingkungan meliputi: a.
Lingkungan fisik
: geologi, iklim dan geografi.
b.
Lingkungan biologis : kepadatan penduduk.
c.
Lingkungan sosial
:migrasi/urbanisasi,
lingkungan
kerja,
keadaan perumahan dan keadaan sosial masyarakat. (Bustan, 2012).
26
Universitas Muhammadiyah Palembang
2.1.10. Nyamuk Sebagai Vektor Penyakit Nyamuk adalah serangga yang tersebar di seluruh dunia kecuali Antartika. Nyamuk dapat hidup antara 5.500 meter di atas permukaan laut sampai 1.250 meter di bawah permukaan laut. Nyamuk tidak hanya menghisap darah manusia dan hewan, tetapi juga dapat menjadi vektor penyakit (Agoes, 2009). Vektor penyakit adalah suatu organisme yang mentransmisikan patogen dan parasit dari manusia atau hewan yang terinfeksi ke lainnya dan menyebabkan penyakit yang serius pada populasi manusia. Vektor-vektor tersebut umumnya adalah serangga penghisap darah yang menerima mikroorganisme penyebab penyakit saat menghisap darah manusia atau hewan, kemudian memasukkan mikroorganisme tersebut pada manusia yang lain saat menghisap darah lagi. Secara global, terdapat lebih dari 1 miliar kasus dan lebih dari 1 juta kematian akibat penyakit yang ditularkan oleh vektor (WHO, 2014).
2.1.11. Toksonomi Aedes aegypti Toksonomi nyamuk Aedes aegypti menurut Universal Toxonomic Service (2012), sebagai berikut a.
Kingdom
: Animalia
b.
Filum
: Arthropoda
c.
Kelas
: Insekta
d.
Ordo
: Diptera
e.
Subordo
: Nematocera
f.
Famili
: Cullicidae
g.
Sub Famili
: Culicinae
h.
Tribus
: Culicini
i.
Genus
: Aedes
j.
Spesies
: Aedes aegypti
27
Universitas Muhammadiyah Palembang
2.1.12. Siklus Hidup Aedes aegypti Menurut Ideham dan Pusarawati (2009) siklus hidup serangga terbagi menjadi 3 jenis sebagai berikut: a.
Ametamorfosis Serangga
pada
jenis
siklus
hidup
ini
tidak
mengalami
metamorfosis, sehingga siklus hidupnya adalah telur yang kemudian menjadi nimfa (hanya satu stadium) dan menjadi dewasa. b.
Simple Metamorphosis (Metamorfosis Sederhana) Metamorfosis jenis ini berbeda dengan ametamorfosis karena adanya perbedaan pada fase nimfa. Pada metamorfosis sederhana, fase nimfa terdiri dari beberapa stadium.
c.
Complete Metamorphosis (Metamorfosis Lengkap) Pada metamorfosis ini, telur menetas menjadi larva, kemudian menjadi pupa dan menjadi dewasa.
Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu serangga yang bermetamorfosis lengkap, sehingga pada siklus hidupnya terdapat fase telur, fase larva, fase pupa dan fase dewasa. Nyamuk betina aedes aegypti meletakkan telurnya pada dinding tempat perindukan 1-2 cm di atau permukaan air. Seekor nyamuk betina Aedes aegypti dapat meletakkan rata-rata 100 butir per kali bertelur. Kemudian, setelah 2 hari, telur menetas menjadi larva, lalu melepaskan kulitnya sebanyak 4 kali, tumbuh menjadi pupa dan kemudian menjadi dewasa (Ideham dan Pusarawati, 2009).
Gambar 2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sumber: Sutanto, I. 2008
28
Universitas Muhammadiyah Palembang
2.1.13. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti a. Telur Aedes aegypti : 1)
Ukuran telur 0,8 mm dengan warna hitam.
2) Diletakkan satu persatu pada dinding bagian dalam dari container air. 3) Jumlah telur 100 – 300 butir untuk setiap ekor. 4) Menetas setelah 1 – 2 hari setelah terendam air. 5) Telur dapat bertahan pada keadaan kering dalam waktu yang lama (>1tahun) (Goddard, 2008).
Gambar 2.3. Telur Aedes aegypti Sumber: Sutanto, I. 2008
b. Jentik/Larva 1)
Jentik/larva hidup di air akan mengalami empat masa.
2) Pertumbuhan yang ditandai dengan pergantian kulit (moling). 3) Pada pergantian kulit terakhir akan menjadi kepompong. 4) Jentik/larva, belum bisa dibedakan antara jantan dan betina (Agoes, 2009).
29
Universitas Muhammadiyah Palembang
Gambar 2.4.Larva Nyamuk Aedes Aegypti Sumber: Sutanto, I. 2008
c. Pupa/Kepompong 1) Pupa/ kepompong hidup di air. 2) Pupa/ kepompong belum bisa dibedakan jantan dan betina. 3) Menetas menjadi nyamuk setelah 1-2 hari (Agoes, 2009).
Gambar 2.5. Pupa Nyamuk Aedes aegypti Sumber: Sutanto, I. 2008
d. Nyamuk Dewasa 1)
Tubuh kecil hidup di dalam dan di luar rumah.
2)
Warnanya hitam dengan bercak putih di badan dan di kaki.
3) Pada saat hinggap posisi kepala dan abdomen tidak dalam satu sumbu.
30
Universitas Muhammadiyah Palembang
4) Hinggap pada tempat gelap dan pakaian yang bergantungan. 5) Biasa menggigit/menghisap darah pada siang dan sore hari sebelum gelap. 6) Jarak terbang ± 100 meter. 7) Bersifat
Anthropophilik,
walaupun
mungkin
akan
menghisap darah hewan berdarah panas lain yang ada. 8) Umur nyamuk jantan ± 1 minggu, umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Goddard, 2008).
Gambar 2.6. Nyamuk Dewasa Aedes aegypti Sumber: Goddard, 2008
2.1.14. Pengertian Angka Bebas Jentik Angka Bebas Jentik (ABJ) adalah persentase antara rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik terhadap seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa. Kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti di suatu tempat dapat diketahui dengan cara survei jentik yang diukur menggunkan indeks ABJ (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2.1.15. Faktor Yang Berhubungan Dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) Faktor yang berhubungan dengan ABJ mengadopsi teori HL Blum yang dikutip Notoatmodjo (2008), dimana derajat kesehatan dipengaruhi oleh faktor
31
Universitas Muhammadiyah Palembang
lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Faktor yang berhubungan dengan ABJ dijelaskan sebagai berikut: a. Faktor Lingkungan Karakteristik wilayah yang berhubungan dengan kehidupan Aedes aegypti sebagai berikut: 1.
Suhu udara Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan Aedes aegypti. Rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-30oC. Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah (10oC), tetapi metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhunya turun sampai di bawah suhu kritis 4,5oC. Pada suhu yang lebih tinggi dari 35oC juga mengalami perubahan dalam arti lebih lambatnya prosesproses fisiologis (Rasmanto, dkk, 2016).
2.
Kelembaban Udara Kelembaban akan berpengaruh terhadap umur nyamuk. Pada kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk akan menjadi pendek dan tidak bisa menjadi vektor karena tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah. Kelembapan optimum bagi kehidupan nyamuk adalah 70% sampai 90% (Arianti & Athena, 2014).
3.
Curah Hujan Populasi nyamuk Aedes aegypti biasanya meningkat pada musim hujan, karena sarang-sarang nyamuk akan terisi oleh air hujan. Peningkatan populasi nyamuk ini akan berarti meningkatnya kemungkinan bahaya penyakit demam berdarah dengue di daerah endemis. Negara di daerah tropis mempunyai curah hujan yang cukup banyak minimal sehari dalam satu bulan dengan volume curah hujan 30 ml. Ada daerah yang sepanjang tahun mendapat hujan seperti daerah tropis di Indonesia, sehingga sangat menguntungkan untuk nyamuk berkembang biak. Outbreak KLB dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan berkaitan dengan
32
Universitas Muhammadiyah Palembang
datangnya musim penghujan. Hal tersebut sejalan dengan peningkatan aktivitas vektor dengue yang justru terjadi pada musim penghujan. Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, tetapi dalam garis besar dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat antara bulan September sampai Februari yang mencapai puncaknya pada bulan Januari (Arianti & Athena, 2014). 4.
Keberadaan Sampah Padat Keberadaan sampah padat disekitar rumah merupakan salah satu faktor yang dapat memicu peningkatan jumlah vektor DBD. Sampah padat seperti kaleng, botol bekas, sampah tanaman seperti tempurung kelapa, ban motor/mobil bekas yang tersebar di sekitar rumah berpotensi untuk menampung air sehingga dapat sebagai
tempat
perkembangbiakan
nyamuk
(Kementerian
Kesehatan RI, 2011). 5.
Keberadaan Kontainer Kontainer merupakan tempat-tempat penampungan air di dalam dan disekitar rumah yang menjadi tempat perindukan utama nyamuk. Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak (perindukan) di tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari dan barang-barang lain memungkinkan air tergenang yang tidak beralaskan tanah, misalnya:
Tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari, misalnya: bak mandi, atau WC, tempayan, drum, dan lainlain.
Bukan tempat penampungan air (non TPA) yaitu tempat atau barang-barang yang memungkinkan air tergenang, seperti tempat minum burung, vas bunga atau pot tanaman air, kontainer bekas seperti: kaleng bekas dan ban bekas, botol dan plastik.
33
Universitas Muhammadiyah Palembang
Tempat penampungan alami, seperti: lubang potongan bambu, lubang pohon, pelepah daun (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
b. Faktor Perilaku 1.
Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2008) pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan hal ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, raba, dan rasa. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata, telinga, pengetahuan, atau kognitif
merupakan
domain
yang
sangat
penting
untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi dan domain penting seseorang untuk melakukan tindakan (Notoatmodjo, 2008). 2.
Sikap Sikap adalah pernyataan-pernyataan evaluatif baik itu menyenangkan maupun tidak menyenangkan mengenai objek, orang atau peristiwa,
dalam Notoatmodjo (2008), sikap
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku (Notoatmodjo, 2008). 3.
Motivasi Motivasi merupakan kondisi yang menggerakan dari pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal. Mangkunegara (2011), berpendapat bahwa “ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja”.
34
Universitas Muhammadiyah Palembang
c. Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan dalam hal ini dilihat upaya pencegahan DBD yang dilakukan oleh jumantik. Jumantik berperan penting dalam upaya pencegahan DBD. Peran jumantik dalam pencegahan DBD adalah sebagai anggota Pemantauan Jentik Berkala (PJB) di rumah-rumah dan tempat umum, memberikan penyuluhan kepada keluarga dan masyarakat, melakukan PSN bersama warga (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Tugas Jumantik selama upaya pencegahan DBD dijelaskan sebagai berikut: 1. Pemantauan Jentik Berkala (PJB) PJB adalah pemantauan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau kader atau jumantik di rumah warga dan tempattempat umum. PJB dilakukan minimal 1 minggu sekali untuk melihat keberhasilan PSN DBD baik itu dirumah warga maupun tempat-tempat umum (Kementerian Kesehatan RI, 2011). PJB perlu dilakukan secara rutin sebagai upaya pemberantasan jentik. PJB dilakukan seminggu sekali dapat mempengaruhi ABJ (Chadijah, dkk, 2011). Kunjungan yang berulang-ulang untuk pemantauan jentik disertai dengan penyuluhan masyarakat tentang penyakit DBD diharapkan masyarakat dapat melaksanakan PSN DBD secara teratur dan terus-menerus (Kementerian Kesehatan RI, 2011). 2. Penyuluhan Penyuluhan kesehatan adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia baik secara individu, kelompok maupun masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan nilai kesehatan sehingga dengan sadar mengubah perilakunya menjadi perilaku sehat. Tujuan kegiatan penyuluhan adalah memahami tugasnya sebagai kader dalam mencegah penyakit DBD dan dapat melakukan penyuluhan
35
Universitas Muhammadiyah Palembang
secara
perorangan
maupun
penyuluhan
kepada
kelompok
masyarakat (Muninjaya, 2008). 3. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD PSN DBD merupakan kegiatan memberantas telur, jentik, dan kepompong nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) di tempat perkembangbiakannya untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan DBD bisa dicegah dan dikurangi (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Kegiatan PSN bisa dilakukan dengan cara 3M plus yaitu:
Menguras tempat-tempat penampungan air secara rutin, seperti bak
mandi
dan
kolam.
Sebab
bisa
mengurangi
perkembangbiakan dari nyamuk itu sendiri atau memasukan beberapa ikan kecil kedalam kolam atau bak mandi lalu taburkan serbuk abate.
Menutup tempat-tempat penampungan air, jika setelah melakukan aktivitas yang berhubungan dengan tempat itu sebaiknya ditutup agar nyamuk tidak bisa mengembang bahkan telurnya kedalam tempat penampungan air. Nyamuk demam berdarah sangat menyukai air yang bening.
Menggunakan alat pelindung diri: memakai lengan panjang, celana
panjang,
menggunakan
anti
nyamuk,
menjaga
kebersihan dan kerapian.
Pencahayaan dan ventilasi yang baik serta memadai.
Pengasapan atau fogging yang bermanfaat membunuh nyamuk (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2.1.16. Pemantauan Jentik Aedes Aegypti Salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan PSN DBD adalah meningkatnya angka bebas jentik. Angka bebas jentik diperoleh dengan melakukan survei atau pemeriksaan di tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Pemeriksaan jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut: 36
Universitas Muhammadiyah Palembang
Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik. a.
Untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar, seperti: bak mandi, tempayan, drum, dan bak air lainnya. Jika pada pandangan (penglihatan) pertama tidak menemukan jentik, ditunggu kira-kira ½- 1 menit untuk memastika bahwa jentik tidak ada.
b.
Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti: vas bunga/pot tanaman air/botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu dipindahkan ke tempat yang lain.
c.
Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya keruh, biasanya digunakan senter (Departmen Kesehatan RI, 2006).
Metode pemantauan jentik dibagi menjadi dua, yaitu metode pemantauan dengan single larva dan visual. Uraian metode tersebut sebagai berikut: a.
Single larva adalah metode yang dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.
b.
Visual adalah metode yang dilakukan dengan cara melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. Program DBD biasanya menggunakan cara visual (Departmen Kesehatan RI, 2006).
Ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti adalah sebagai berikut: a.
Angka Bebas Jentik (ABJ) Angka Bebas Jentik adalah ukuran yang digunakan untuk mengetahui kepadatan jentik dengan cara menghitung rumah atau bangunan yang tidak dijumpai jentik dibagi dengan seluruh jumlah rumah atau bangunan.
ABJ =
Jumlah rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik Jumlah rumah atau bangunan yang diperiksa
37
x 100%
Universitas Muhammadiyah Palembang
b.
House Index (HI) HI =
c.
Jumlah rumah atau bangunan yang ditemukan jentik Jumlah rumah atau bangunan yang diperiksa
x 100%
Container Index (CI) Jumlah 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟 dengan jentik
CI = Jumlah 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟 yang diperiksax 100%
d.
Breteau Index (BI) Jumlah container dengan jentik dalam 100 rumah atau bangunan.
Dalam Program Pengendalian Penyakit DBD, indikator yang dipakai untuk menentukan bebas tidaknya suatu wilayah dari DBD adalah ABJ. ABJ yang dianggap aman untuk penularan penyakit DBD adalah ≥95% (dari 100 rumah yang diperiksa yang mempunyai jentik tidak boleh lebih dari 5%) atau HI <5%, angka CI di atas 10% sangat potensial bagi penyebaran penyakit DBD, angka BI di atas 50% sangat potensial bagi penyebaran penyakit DBD. Angka bebas jentik dan House Index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Tingginya tingkat kepadatan nyamuk Aedes aegypti akan meningkatkan risiko penularan virus dengue. Selama jentik yang ada di tempat-tempat perindukan tidak diberantas, akan muncul nyamuk-nyamuk baru yang menetas dan penularan virus dengue akan terulang kembali (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Angka Bebas Jentik yang masih tinggi menunjukkan transmisi nyamuk Aedes aegypti tinggi sehingga penyebaran nyamuk semakin cepat dan semakin mudah terjadinya penularan penyakit DBD (Marza, 2016).
38
Universitas Muhammadiyah Palembang
2.1.17. Profil Puskesmas Taman Bacaan Palembang Puskesmas Taman Bacaan terletak di Kecamatan Seberang Ulu II tepatnya di Kelurahan Tangga Takat. Puskesmas ini terletak di pinggir Sungai Musi
sehingga
masyarakat
yang
memerlukannya
mudah
untuk
menjangkaunya. Puskesmas Taman Bacaan terletak di Jl. KHA. Azhari Kelurahan Tangga Takat Kecamatan Seberang Ulu II. Letak Puskesmas ini tepatnya dilorong Taman Bacaan dan mudah dijangkau oleh masyarakat. Wilayah kerjanya meliputi 3 kelurahan yaitu Kelurahan Tangga Takat, Kelurahan 16 Ulu dan Kelurahan Sentosa, dengan luas wilayah kerjanya
±
987 Ha (Puskesmas Taman Bacaan Palembang, 2017). Tabel 2.1 Jumlah Kelurahan, RW, dan RT Menurut Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Taman Bacaan Tahun 2017 No
Kelurahan
RW
RT
1
TANGGA TAKAT
10
38
2
16 ULU
21
75
3
SENTOSA
12
46
Jumlah
3 Kelurahan
37 RW
150 RT
39
Universitas Muhammadiyah Palembang
2.2.
Kerangka Teori
Faktor Lingkungan: 1. Suhu Udara 2. Kelembapan Udara 3. Curah Hujan 4. Keberadaan Sampah Padat 5. Keberadaan Kontainer Faktor Perilaku:
Kepadatan vektor
Demam
1. Pengetahuan
DBD diukur
Berdarah
2. Sikap
melalui ABJ
Dengue
3. Motivasi
Pelayanan Kesehatan: 1. Pemantauan Jentik Berkala 2. Penyuluhan 3. Pemberantasan sarang Nyamuk
: Diteliti : Tidak diteliti
Gambar 2.7. Kerangka Teori Sumber: Notoatmodjo (2008)
40
Universitas Muhammadiyah Palembang
2.3.
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. H0 : Tidak ada hubungan antara kejadian demam berdarah dengue dengan angka bebas jentik di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang 2. Ha : Ada hubungan antara kejadian demam berdarah dengue dengan angka bebas jentik di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang
41
Universitas Muhammadiyah Palembang
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian Penelitian yang akan dilakukan merupakan observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Dalam studi ini, variabel bebas dan tergantung dinilai secara simultan pada suatu saat. Jadi tidak ada follow up pada studi cross sectional (Sastroasmoro, 2014).
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2018 di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi a.
Populasi Target Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh pasien anak.
b. Populasi Terjangkau Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah seluruh pasien anak yang datang berobat dengan gejala demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung selama 2-7 hari dan disertai dengan 2 atau lebih tanda-tanda: mual, muntah, bintik perdarahan, dan nyeri sendi di Puskesmas Taman Bacaan Palembang tahun 2016 dan 2017. 3.3.2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien anak yang datang berobat dengan gejala demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung selama 2-7 hari dan disertai dengan 2 atau lebih tanda-tanda: mual, muntah, bintik perdarahan, dan nyeri sendi di Puskesmas Taman Bacaan Palembang tahun 2016 dan 2017.
42
Universitas Muhammadiyah Palembang
3.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi a.
Kriteria Inklusi 1.
Pasien anak yang datang berobat ke Puskesmas Taman Bacaan Palembang pada bulan Januari 2016-Desember 2017.
2.
Mengalami gejala demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung selama 2-7 hari dan disertai dengan 2 atau lebih tanda-tanda: mual, muntah, bintik perdarahan, nyeri sendi.
b.
Kriteria Eksklusi 1.
Sebelumnya pernah menderita penyakit DBD.
2.
Pasien anak yang tidak disertai dengan gejala diare.
3.3.4. Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik total sampling yaitu seluruh subjek studi populasi dijadikan sampel yang didiagnosis menderita demam berdarah dengue yang memenuhi kriteria inkulusi dan eksklusi.
3.4. Variabel Penelitian 3.4.1. Variabel Bebas Variabel bebas pada penelitian ini adalah angka bebas jentik. 3.4.2. Variabel Terikat Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian demam berdarah dengue pada anak.
43
Universitas Muhammadiyah Palembang
3.5. Definisi Operasional Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Penelitian
Operasional
Alat
Skala
Ukur
Ukur
Kejadian
Kejadian penyakit Observasi
Data
demam
demam
sekunder
Menderita
berdarah
dengue pada anak sekunder
Puskesma
Demam
s
Berdarah
berdarah data
dengue pada berdasarkan anak
diagnosis
Taman
0=
Bacaan
Dengue
laboratorium,
Palemban
1=
batasan umur anak
g tentang
Tidak
menurut
kejadian
Menderita
kementerian
demam
Demam
berdarah
Berdarah
dengue
Dengue
dan
dokter
Nominal
Hasil Ukur
kesehatan 2011
tahun
yaitu
0-18
tahun
pada anak
Angka
Ukuran keberadaan Observasi
Laporan
Bebas jentik
jentik di rumah atau data
pemantau
jentik yang
bangunan
an jentik
ditemukan
sekunder
berdasarkan
hasil
Nominal
Jumlah
dihitung
pemantauan jentik
dengan
berkala
dengan
rumus ABJ
rumus:
jumlah
0 = ≥95%,
rumah
atau
bebas jentik
bangunan
yang
1= < 95%,
ditemukan
tidak bebas
tidak
jentik/jumlah
jentik
rumah
atau
bangunan
yang
diperiksa x 100%
44
Universitas Muhammadiyah Palembang
3.6. Cara Pengumpulan Data 3.6.1. Jenis Data Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari Puskesmas Taman Bacaan Palembang berupa data demam berdarah dengue dan data angka bebas jentik. 3.6.2. Metode Pengumpulan Data Data pasien demam berdarah dengue pada anak dan data angka bebas jentik diperoleh dari bagian penyimpanan data di Puskesmas Taman Bacaan Palembang tahun 2016 dan 2017, dilakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2018.
3.7. Cara Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1. Cara Pengolahan Data Data yang di peroleh akan diolah menggunakan program statistik komputer ver. 16 for windows, kemudian di lakukan analisis. a. Editing Merupakan kegiatan pemeriksaan data yang telah terkumpul untuk mengetahui data yang terkumpul cukup baik dan dapat diolah dengan baik. b. Coding Merupakan kegiatan mengubah data berupa huruf menjadi data berbentuk angka. c. Processing Setelah dilakukan coding, selanjutnya dilakukan pemasukan (entry) data dari hasil penelitian dan diproses melalui program statistik ke dalam komputer dengan program SPSS ver. 16 for windows. d. Cleaning Dilakukan pemeriksaan kembali data yang sudah dimasukkan apakah ada kesalahan atau tidak. 3.7.2. Cara Analisis Data Pengelolaan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program statistical for windows untuk mendapatkan hasil analisis data
45
Universitas Muhammadiyah Palembang
univariat dan bivariat. Teknik pengelolaan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Teknik perhitungan deskriptif. Teknik yang digunakan adalah frekuensi dan persentase untuk melihat distribusi responden berdasarkan umur anak dan jenis kelamin. 2. Teknik Fisher’s exact test. Uji Fisher’s exact test digunakan untuk menguji hubungan antara kejadian demam berdarah dengue pada anak dengan angka bebas jentik di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang.
46
Universitas Muhammadiyah Palembang
3.8. Alur Penelitian Alur penelitian pada penelitian skripsi kali ini adalah sebagai berikut: Sampel Penelitian Seluruh pasien anak yang datang berobat dengan gejala demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung selama 2-7 hari dan disertai dengan 2 atau lebih tanda-tanda: mual, muntah, bintik perdarahan, dan nyeri sendi di Puskesmas Taman Bacaan Palembang tahun 2016-2017
Kriteria Inklusi dan Ekslusi Seluruh pasien anak yang datang berobat dengan gejala demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung selama 2-7 hari dan disertai dengan 2 atau lebih tanda-tanda: mual, muntah, bintik perdarahan, dan nyeri sendi, sebelumnya tidak pernah menderita serta tidak disertai dengan gejala diare di Puskesmas Taman Bacaan Palembang Tahun 2016 dan 2017
Data Angka Bebas Jentik (ABJ) yang didapat dari data Puskesmas Taman Bacaan Palembang.
Uji Fisher’s Exact Test
Gambar 3.1. Skema Alur Penelitian
47
Universitas Muhammadiyah Palembang
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang. Puskesmas Taman Bacaan terletak di Kecamatan Seberang Ulu II tepatnya di Kelurahan Tangga Takat. Wilayah kerjanya meliputi 3 kelurahan yaitu Kelurahan Tangga Takat, Kelurahan 16 Ulu dan Kelurahan Sentosa, dengan luas wilayah kerjanya ± 987 Ha. Berdasarkan hasil penelitian yang diambil dari data Puskesmas Taman Bacaan Palembang periode Januari 2016 – Desember 2017 didapatkan sebanyak 99 anak datang berobat ke Puskesmas Taman Bacaan Palembang dengan gejala DBD. Dari hasil data tersebut terdapat 78 anak menderita DBD dan 21 anak tidak menderita DBD. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling. 4.1.1. Analisis Univariat A. Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.1. Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Perempuan
Kejadian DBD Menderita DBD Tidak Menderita DBD Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase (n) (%) (n) (%) 40 40,4 8 8,1
Total
%
48
48,5
Laki-laki
38
38,4
13
13,1
51
51,5
Total
78
78,8
21
21,2
99
100
Berdasarkan tabel 4.1, terdapat 78 anak (78,8%) menderita DBD dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 40 anak (40,4%) dan jenis kelamin laki-laki berjumlah 38 anak (38,4%) serta 21 anak (29,6%) tidak menderita DBD dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 8 anak (8,1%) dan jenis kelamin laki-laki berjumlah 13 anak (13,1%). 48
Universitas Muhammadiyah Palembang
B. Distribusi Kasus Berdasarkan Kelompok Umur Tabel 4.2. Distribusi Kasus Berdasarkan Kelompok Umur Umur (Tahun)
<5 5-14 15-18 Total
Kejadian DBD Menderita DBD Tidak Menderita DBD Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase (n) (%) (n) (%) 16 16,2 6 6,1 55 55,6 14 14,1 7 7,1 1 1,0 78 78,8 21 21,2
Total
22 69 8 99
%
22,2 69,7 8,1 100
Berdasarkan tabel 4.2, frekuensi penderita demam berdarah dengue berdasarkan umur, didapatkan jumlah pasien DBD anak umur <5 tahun sebanyak 16 orang (16,2%), umur 5-14 tahun sebanyak 55 orang (55,6%) dan umur 15-18 tahun sebanyak 7 orang (7,1%). Frekuensi tidak menderita demam berdarah dengue umur <5 tahun sebanyak 6 orang (6,1%), umur 5-14 tahun sebanyak 14 orang (14,1%) dan umur 15-18 tahun sebanyak 1 orang (1,0%).
C. Angka Bebas Jentik Di Wilayah Kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang Tabel 4.3 Distribusi Angka Bebas Jentik Di Wilayah Kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang Kelurahan
Tangga Takat 16 Ulu Sentosa
Berdasarkan
Jumlah Rumah/Bangunan Yang Diperiksa 987 999 991
tabel
4.3
Jumlah Rumah/Bangunan yang Positif Jentik 88 65 43
diketahui
bahwa
hanya
ABJ (%)
91,0 93,4 95,6
1
kelurahan
melaksanakan PSN DBD dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) ≥95%, yaitu Kelurahan Sentosa dengan persentase ABJ sebesar 95,6%, jumlah rumah yang diperiksa di Kelurahan Sentosa sebanyak 991 rumah dan didapatkan 43 rumah positif jentik. 49
Universitas Muhammadiyah Palembang
Kelurahan Tangga Takat dan Kelurahan 16 Ulu melaksanakan PSN DBD dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) <95%. Kelurahan Tangga Takat dengan persentase ABJ sebesar 91,0%, jumlah rumah yang diperiksa 987 rumah dan didapatkan 88 rumah positif jentik. Kelurahan 16 Ulu dengan persentase ABJ sebesar 93,4%, jumlah rumah yang diperiksa 999 rumah dan didapatkan 43 rumah positif jentik.
4.1.2. Analisis Bivariat A. Hubungan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Anak Dengan Angka Bebas Jentik Tabel 4.4 Hubungan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Anak Dengan Angka Bebas Jentik
Angka Bebas Jentik Bebas Jentik Tidak Bebas Jentik Total
Kejadian DBD Pada Anak Menderita Tidak DBD % Menderita DBD 11 11,1 11
%
Total
%
P
11,1
22
22,2
0,001
67
67,7
10
10,1
77
77,8
78
78,8
21
21,2
99
100
OR = 0,149 (CI 95% = 0,051 – 0,434)
Dari tabel 4.4 dapat dilihat bahwa kelurahan bebas jentik dan menderita DBD sebanyak 11 orang sedangkan kelurahan bebas jentik dan tidak menderita DBD sebanyak 11 orang. Kelurahan yang tidak bebas jentik dan menderita DBD sebanyak 67 orang lebih banyak daripada kelurahan yang tidak bebas jentik dan tidak menderita DBD sebanyak 10 orang. Hasil uji Fisher’s exact test menunjukkan tingkat signifikasi (p) sebesar 0,001 dimana signifikasi α < 0,05 sehingga Ha diterima hal ini menunjukkan ada hubungan antara kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) pada anak dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Nilai OR yang didapat adalah 0,149 dengan CI 95% antara 0,051-0,434. 50
Universitas Muhammadiyah Palembang
4.2. Pembahasan 4.2.1. Analisis Univariat A. Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kejadian DBD pada anak sebanyak 78 anak (78,8%) menderita DBD dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 40 anak (40,4%) dan jenis kelamin laki-laki berjumlah 38 anak (38,4%) serta 21 anak (29,6%) tidak menderita DBD dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 8 anak (8,1%) dan jenis kelamin laki-laki berjumlah 13 anak (13,1%). Dari hasil penelitian diketahui kejadian DBD pada anak lebih banyak diderita anak dengan jenis kelamin perempuan dibandingkan jenis kelamin laki-laki. Menurut penelitian yang dilakukan Yusnia (2009) didapatkan bahwa kasus DBD lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin lakilaki sebanyak 107 kasus (52,2%) daripada jenis kelamin perempuan sebanyak 98 kasus (47,8%). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu (2014) menunjukkan bahwa sebagian besar kasus DBD berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 50,71% dan pada laki-laki sebesar 49,29%. Hal ini menggambarkan bahwa kejadian
DBD di masyarakat tidak tergantung dengan jenis kelamin penderita, dan perbedaan jumlah kasus DBD antara laki-laki dan perempuan tidak terlalu besar. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2016) distribusi kasus
DBD berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2012-2015, yaitu persentase penderita laki-laki dan perempuan cenderung sama, hal ini menggambarkan
bahwa
laki-laki
dan
perempuan
mempunyai
kemungkinan yang sama untuk terkena DBD, atau dapat dikatakan bahwa kejadian DBD tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Tidak adanya pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian DBD ini dikarenakan baik perempuan maupun laki-laki memiliki potensi yang sama untuk terkena penyakit DBD, karena baik laki-laki maupun perempuan rata-rata memiliki tempat beraktivitas yang hampir sama seperti rumah, selain itu nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
51
Universitas Muhammadiyah Palembang
penyakit DBD tidak memiliki karakter atau kecenderungan yang bersifat subyektif lebih sering mengigit orang berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Perempuan dan laki-laki memiliki potensi yang sama untuk terkena gigitan nyamuk Aedes aegypti (Umaya, 2013).
B. Umur Berdasarkan hasil penelitian didapatkan umur terbanyak yang menderita demam berdarah dengue adalah kelompok umur 5-14 tahun dengan persentase sebesar 55,6%. Hasil Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Sari (2005) yaitu pada golongan umur kurang dari 15 tahun banyak menderita DBD. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian oleh Wahyono (2010) yaitu distribusi kasus berdasarkan kelompok umur terlihat bahwa proporsi kelompok umur yang paling banyak terkena adalah umur 5-9 tahun dan 10-14 tahun. Hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa DBD menyerang kelompok umur balita sampai dengan umur sekitar 15 tahun (Umaya, 2013). Kementerian Kesehatan RI (2016) mencatat jumlah penderita DBD di Indonesia pada bulan Januari-Februari 2016 sebanyak 8.487 orang penderita DBD dengan jumlah kematian 108 orang. Golongan terbanyak yang mengalami DBD di Indonesia pada umur 5-14 tahun mencapai 43,44%. Penyakit DBD dapat menyebabkan 20 hingga 25.000 kematian terutama pada anak-anak dan ditemukan di lebih dari 100 negara (Guo, 2017). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dardjito (2008) di Purwokerto yang mengatakan hal ini didukung oleh kebiasaan masyarakat bahwa anak-anak kebanyakan aktivitas di dalam rumah, sehingga kemungkinan kontak dengan nyamuk Aedes aegypti lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa muda maupun orang tua kebanyakan aktivitasnya di luar rumah.
52
Universitas Muhammadiyah Palembang
Penyakit demam berdarah dengue lebih sering terjadi pada anak, kemungkinan penyebabnya berkaitan dengan kebiasaan nyamuk Aedes aegypti yang aktif menggigit pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00 – 12.00 dan 15.00 – 17.00, pada jam tersebut adalah jam bermain anak, kebiasan tidur siang pada golongan umur muda terutama anak-anak, selain itu kepekaan anak terhadap gigitan nyamuk juga masih kurang karena ketika bermain anak-anak cenderung bergerak aktif sehingga gigitan nyamuk sering terabaikan, kemudian suhu badan tinggi pada anak baru akan diketahui apabila anak tersebut berinteraksi dengan orang tuanya, sehingga sering kali demam pada anak tidak dapat dideteksi secara dini dan kasus DBD banyak terjadi pada anak-anak dikarenakan faktor dari imun anak tersebut (Sutanto, 2008). Orang dewasa mempunyai daya tahan tubuh/sistem pertahanan tubuh yang kuat dan baik dibandingkan anak-anak sehingga ketika virus dengue masuk dengan sendirinya virus ini akan dilawan oleh tubuh (Dahlan, 2008).
C. Angka Bebas Jentik Di Wilayah Kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa hanya 1 kelurahan melaksanakan PSN DBD dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) ≥95%, yaitu Kelurahan Sentosa sedangkan Kelurahan Tangga Takat dan Kelurahan 16 Ulu melaksanakan PSN DBD dengan ABJ <95%. Pemberantasan nyamuk penular DBD terutama dilakukan terhadap jentiknya yaitu melalui kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Keberhasilan kegiatan PSN DBD dapat diukur dari Angka Bebas Jentik (ABJ). Angka Bebas Jentik (ABJ) adalah persentase antara rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik terhadap seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa. Kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti di suatu tempat dapat diketahui dengan cara survei jentik yang diukur menggunakan indeks ABJ (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
53
Universitas Muhammadiyah Palembang
Menurut Notoadmodjo (2008) faktor yang berhubungan dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu faktor lingkungan, faktor perilaku dan faktor pelayanan kesehatan. Faktor lingkungan yang didapat dari hasil observasi dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang diketahui bahwa masih terdapat rumah warga pada kelurahan tangga takat yang masih terdapat jentik nyamuk Aedes aegypti.
Selain
faktor
lingkungan,
tingkat
pendidikan
juga
mempengaruhi ABJ. Menurut Badan Pusat Statistika Kota Palembang (2018) di Kecamatan Sebrang Ulu II tingkat pendidikan penduduk kelurahan Tangga Takat dan 16 Ulu masih rendah dibandingkan dengan
tingkat
pendidikan
di
Kelurahan
Sentosa.
Menurut
Notoadmodjo (2008) seseorang dengan pengetahuan tinggi cenderung lebih tahu dan peduli dengan kesehatan, seseorang berpengetahuan akan lebih mengerti tentang pesan kesehatan dan lebih mudah menerima saran.
4.2.1. Analisis Bivariat A. Hubungan Angka Bebas Jentik dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Anak Tahun 2016 dan 2017 Berdasarkan hasil analisis uji Fisher’s exact test didapatkan bahwa terdapat hubungan kejadian Demam Berdarah Dengue pada anak dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) di Wilayah Kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang dengan nilai signifikannya adalah 0,001 (p<0,05) sedangkan nilai OR dari uji statistik sebesar 0,149 yang berarti kelurahan tidak bebas jentik memiliki risiko sebanyak 0,149 kali untuk mengalami demam berdarah dengue. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Wati (2009), di Kelurahan Ploso, Kecamatan Pacitan, menemukan bahwa keberadaan jentik dalam kontainer secara statistik mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD dengan nilai p = 0,001. Sejalan dengan penelitian Jata (2016) dilakukan uji chi Square di peroleh nilai signifikansi di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan sebesar
54
Universitas Muhammadiyah Palembang
p=0,00 lebih kecil dari α= 5 % (0,00 < 0,05) dan di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Timur sebesar p= 0,00 lebih kecil dari α = 5% (0,00< 0,05). Hal ini menunjukkan ke dua wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan dan Puskesmas I Denpasar Timur ada hubungan keberadaan jentik di kontainer air/TPA responden dengan kejadian DBD. Demikian juga halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Usman (2002) di Bandar Lampung yang dipublikasikan pada tahun 2004, menemukan bahwa penghuni rumah dengan TPA berjentik mendapatkan risiko terjadinya DBD sebesar 5,2 kali lebih besar dibanding penghuni rumah dengan TPA tidak berjentik. Dari hasil penelitian ini didapatkan adanya hubungan antara angka bebas jentik (ABJ) dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD). Keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di suatu wilayah merupakan indikator terdapatnya populasi nyamuk Aedes aegypti di wilayah tersebut. Dalam program pengendalian penyakit DBD, indikator yang dipakai untuk menentukan bebas atau tidaknya suatu wilayah dari DBD adalah Angka Bebas Jentik (ABJ). ABJ <95% atau House Indeks (HI) >5%, berarti di tempat tersebut terdapat populasi nyamuk penular DBD (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Tingginya tingkat kepadatan nyamuk Aedes aegypti akan meningkatkan risiko penularan virus dengue. Selama jentik yang ada di tempat-tempat perindukan tidak diberantas, akan muncul nyamuk-nyamuk baru yang menetas dan penularan virus dengue akan terulang kembali. Angka Bebas Jentik yang masih tinggi menunjukkan transmisi nyamuk Aedes aegypti tinggi sehingga penyebaran nyamuk semakin cepat dan semakin mudah terjadinya penularan penyakit DBD (Marza, 2016).
4.3. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pada data angka bebas jentik yang ada di Puskesmas Taman Bacaan Palembang. Data ABJ perbulan dan
55
Universitas Muhammadiyah Palembang
tanggal pemeriksaan ABJ yang ada di Puskesmas Taman Bacaan Palembang masih belum lengkap.
56
Universitas Muhammadiyah Palembang
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kejadian demam berdarah dengue di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang berdasarkan jenis kelamin penderita DBD pada anak dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 40 anak (40,4%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 38 anak (38,4%). 2. Kejadian demam berdarah dengue pada anak didapatkan umur terbanyak yang menderita demam berdarah dengue adalah kelompok umur 5-14 tahun sebanyak 55 anak (55,6%) sedangkan kelompok umur <5 tahun sebanyak 16 anak (16,2%) dan kelompok umur 15-18 tahun sebanyak 7 anak (7,1%). 3. Hanya 1 Kelurahan yang melaksanakan PSN DBD dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) ≥95%, yaitu Kelurahan Sentosa sebesar 95,6% sedangkan Kelurahan Tangga Takat dan Kelurahan 16 Ulu melaksanakan PSN DBD dengan ABJ <95%.
5.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran yang diberikan yaitu: 1. Bagi Peneliti Selanjutnya Dapat melakukan penelitian mengenai faktor-faktor lain seperti faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan yang belum diteliti yang berhubungan dengan angka bebas jentik dan kejadian demam berdarah dengue. 2. Bagi Masyarakat Hendaknya masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang lebih mengetahui tentang kegiatan 3M plus yaitu menguras tempat
penampungan
air
secara
rutin,
menutup
tempat-tempat
penampungan air, menggunakan alat pelindung diri, pencahayaan dan 57
Universitas Muhammadiyah Palembang
ventilasi yang baik serta memadai, mengganti air vas bunga atau membuang air pada wadah/tempat-tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali dan menaburkan bubuk larvasida (abatisasi) di tempat-tempat yang sulit dikuras. 3. Bagi Petugas Kesehatan Setempat Agar aktif memberikan penyuluhan kesehatan tentang penyakit demam berdarah dengue dan cara pencegahan melalui kegiatan 3M plus sehingga dapat menurunkan kejadian demam berdarah dengue pada wilayah tersebut, diharapkan petugas setempat dapat melakukan kegiatan fogging rutin pada setiap pergantian musim untuk dapat mencegah penyakit demam berdarah dengue. Diharapkan juga petugas kesehatan setempat dapat mengunjungi rumah-rumah warga lebih dari satu kali dalam satu tahunnya.
58
Universitas Muhammadiyah Palembang
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, R & Natadisastra. 2009. Parasitolgi Kedokteran Ditinjau Dari Organ Tubuh Yang Diserang. EGC. Jakarta. Hal 150-162. Ambarwati, Sri, D., & Dewi, A. 2016. Foging Sebagai Upaya Untuk Memberantas Nyamuk Penyebar Demam Berdarah Di Dukuh Tuwak Desa Gonilan, Kartasura, Sukoharjo. 9 (2), 130-138. Agustus 5, 2018. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/1094/3.%20AMB ARWATI.pdf;sequence=1. Arianti, J., & Athena, A. 2014. Model Prediksi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan Faktor Iklim di Kota Bogor, Jawa Barat. Buletin Penelitian Kesehatan. 42 (1), 249-256. Agustus 5, 2018. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/view/3663. Badan Pusat Statistika Kota Palembang. 2018. Kecamatan Seberang Ulu II Dalam Angka. Palembang: Badan Pusat Statistika Bustan, N. M. 2012. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta. Hal 32. Chadijah, S., dkk. 2011. Peningkatan Peran Serta Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD di Dua Kelurahan di Kota Palu Sulawesi Tengah. Media Litbang Kesehatan. 21 (4), 183-190. Agustus 7, 2018. https://media.neliti.com/media/publications/150157-ID-peningkatanperanserta-masyarakat-dalam.pdf. Dahlan, A., & Aminullah, A. 2008. Buku Ilmu Kesehatan Anak. Jilid II. 11 th ed. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Hal 609. Dartjito, E., Yuniarno, S., & Wibowo, C. 2008, 20 September. Beberapa Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kabupaten Banyumas. Jurnal Media Litbang Kesehatan 28 (3). November 30, 2018. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/1080 Departmen Kesehatan RI. 2006. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Depkes RI. Diamond, M. S., & Pierson, T. C. 2015, July 30. Molecular Insight into Dengue Virus Pathogenesis and its Implication for Disease Control. HHS Public Access, 162 (3), 488-492. Agustus 27, 2018. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4522276/pdf/nihms708449. pdf. Dinas Kesehatan Kota Palembang. 2016. Profil Kesehatan Kota Palembang tahun 2015. Palembang. Dinas Kesehatan Kota Palembang.
59
Universitas Muhammadiyah Palembang
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. 2016. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Palembang. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Fathi, S. K., & Chatarina, U. W. 2008. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku Terhadap Penularan Demam Beradarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2 (1), 1-10. Agustus 5, 2018. https://www.researchgate.net/publication/277826202. Goddard, J. 2008. Physician’s Guide to Arthropods of Medical Importance Fifth Edition. New York: Taylor & Francis Group. Hal 277-278. Guo et al. 2017, July 12. Global Epidemiologi of Dengue Outbreaks in 19902015: A Systematic Review and Meta-Analysis. Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, 7 (1), 317. Agustus 27, 2018. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5506197/pdf/fcimb-0700317.pdf. Hartoyo, E. 2008. Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue Pada Anak. 10 (3), 145-150. Agustus 5, 2018. https://saripediatri.org/index.php/saripediatri/article/viewFile/662/597. Hasyimi, M. 2008. Pengamatan Tempat Perindukan Aedes Aegypti Pada Tempat Penampungan Air Rumah Tangga Pada Masyarakat Pengguna Air Olahan. J.Ekol. Kes. 3 (1), 37-42. Agustus 6, 2018. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/jek/article/view/1328. Henchal, E. A., & Putnak, J. R. 2013, Agustus 30. The Dengue Viruses. Clinical Microbiology Reviews, 3 (4), 376-396. Agustus 27, 2018. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC358169/pdf/cmr000490090.pdf. Ideham, B. dan Pusarawati, S., 2009. Penuntun Praktis Parasitologi Kedokteran Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 51-54. Jata, D., Putra, N. A., & Pujaastawa, I. 2016. Hubungan perilaku masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk dan faktor lingkungan dengan kejadian DBD di Wilayah Puskesmas I Denpasar Selatan dan Puskesmas Denpasar Timur. Ecotrophic, 10, 19. John, A. L., Abraham, S. N., & Gubler, D. J. 2013, May 8. Barriers To Preclinical Investigation Of Anti-Dengue Immunity And Dengue pathogenesis. Nature Reviews Microbiology, 11 (1), 420-425. Agustus 27, 2018. https://www.nature.com/articles/nrmicro3030. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Kemenkes RI. Kementrian Kesehatan RI. 2012. Petunjuk Teknis Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) oleh Juru Pemantau Jentik (Jumantik). Jakarta: Kemenkes RI.
60
Universitas Muhammadiyah Palembang
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pengendalian Demam Berdarah Dengue Untuk Pengelola Program DBD Puskesmas. Jakarta: Kemenkes RI. Kementerian Kesehatan RI. 2016. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI. Kementerian Kesehatan RI. 2016. Petunjuk Teknis Implementasi PSN 3M Plus Dengan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik. Jakarta: Kemenkes RI. Kurniawan, T. P. 2015, Desember 5. Studi Angka Bebas Jentik (ABJ) dan Indeks Ovitrap di Perum Pondok Baru Permai Desa Bulakrejo Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Kesehatan, 1 (2), 72-76. Agustus 5, 2018. file:///C:/Users/ASUS/Downloads/4596-9994-1-SM%20(10).pdf. Marza, R.F., Shodikin. 2016, Desember 10. Karakteristik Tempat Perindukan Dan Kepadatan Jentik Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Padang, 10 (73), 185-193. Desember 31, 2018. https://anzdoc.com/karakteristik-tempat-perindukan-dan-kepadatan-jentiknyamuk-.html. Mangkunegara, A.A. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal 36-42. Muninjaya, A.A.G. 2008. Manajemen Kesehatan. Jakarta: EGC. Hal 52-57. Murdani, A.P., Martini, S., & Purnomo, W. 2016. Pemetaan Kejadian DBD Berdasarkan Angka Bebas Jentik dan Jenis Infeksi Virus Dengue di Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto, 1 (3), 30-43. Agustus 5, 2018. http://jurnalonline.lppmdianhusada.ac.id/index.php/jkk/article/viewFile/39/1 8. Notoatmodjo, S. 2008. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Hal 147-150. Pasaribu, S., Santi, D. N., & Chahaya, I. 2014. Hubungan Frekuensi Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Angka Bebas Jentik Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Periode Januari-Desember Tahun 2012 di Kota Medan. Jurnal Universitas Sumatera Utara Fakultas Kedokteran, 3 (1), 27-39. Agustus 5, 2018. https://jurnal.usu.ac.id/index.php/lkk/article/view/4043. Peraturan Menteri Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 828/MENKES/SK/IX/2008 Tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. www.depkes.go.id diakses 5 Agustus 2018. Puskesmas Taman Bacaan Palembang. 2017. Data Profil Puskesmas Taman Bacaan Palembang Tahun 2017. Palembang: Puskesmas Taman Bacaan Palembang. 61
Universitas Muhammadiyah Palembang
Rasmanto, M. F, dkk. 2016 Model Prediksi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan Unsur Iklim di Kota Kendari Tahun 2000-2015. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. 1 (3), 1-14. Agustus 7, 2018. https://media.neliti.com/media/publications/186554-ID-model-prediksikejadian-demam-berdarah-d.pdf. Sari, C. 2005. Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan Penyakit Malaria Dan Demam Berdarah Dengue. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat. 1 (2), 110. November 30, 2018. http://www.rudyct.com/PPS702ipb/09145/cut_irsanya_ns.pdf. Sastroasmoro, S & Ismael, S. 2014. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Ke-5. Jakarta: Sagung Seto. Hal 130. Soedarmo, S, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hal 160-173. Soedarto. 2012. Demam Berdarah Dengue Dengue Haemoragic Fever. Jakarta: Sugeng Seto. Hal 135-140. Soegeng, S. 2004. Demam Berdarah Dengue. Surabaya: Universitas Airlangga. Hal 70-78. Suhendro, et al. 2014. Demam Berdarah Dengue. In: Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC. Hal 539-543. Sungkar. 2010. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Dan Kepadatan Aedes Aegypti Di Kecamatan Bayah, Provinsi Banten. Makara Kesehatan, 14 (1), 37-45. Agustus 5, 2018. http://journal.ui.ac.id/index.php/health/article/viewFile/644/629. Sutanto, I. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 250-269. Usman, Sarif. 2002. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Bandar Lampung Tahun 2002. Tesis FKM-UI. Umaya, R., Faisya, A., & Sunarsih, E. 2013. Hubungan Karakteristik Pejamu Lingkungan Fisik dan Pelayanan Kesehatan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Wilayah Kerja Puskesmas Talang Ubi Pendopo Tahun 2012. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 4 (03), 262-269. November 30, 2018. Universal Taxonomic Services. 2012. Taxon: Aedes aegypti (Linnaeus, 1762) – Yellow Fever Mosquito. The Taxonomicon. Agustus 8, 2018. http://taxonomicon.taxonomy.nl/TaxonTree.aspx. Wahyono, dkk. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD). Pusat Data Dan Surveilans Epidemiologi. Jakarta: Direktorat
62
Universitas Muhammadiyah Palembang
Jendral Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Wati, W.E., Astuti, D., & Damoto, S. 2009. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan. Surakarta: Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah. World Health Organization (WHO). 2014. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Depkes RI. Yusnia, S. 2009. Analisis Spasiotemporal Kasus DBD Di Kecamatan Tembalang Bulan Januari-Juni 2009. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
63
Universitas Muhammadiyah Palembang
Lampiran 1. Tabulasi Data Responden
No
Nama
Jenis Kelamin
Umur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Ag MH RN PM EK PF NA DP SW SRA MR MA BP AA MRI Y SM NA N MO RS NT AAQ MF MD NA RB DA BE AN SH DW NF M FA AS AN SA DS NM SAT
2 2 2 1 1 1 2 1 1 1 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 2 1 1 2 2 1 2 2 1 1 1 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1
2 2 1 2 2 2 2 3 2 2 2 1 2 2 1 2 1 3 2 3 2 2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 1 2 1 2 64
Kejadian DBD Pada Anak 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0
Angka Bebas Jentik 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 1
Universitas Muhammadiyah Palembang
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87
RF AW AF SR RI FA WU BA RS AR UC TD AF MS ADA BU AAH RH AD RAP NRF TAP SRS MKN MDM MZAS ART MA RIJ PNA RC YA SDA VS MR MAF HP BA MA V N MAG A RO MHD MA
1 2 2 1 1 2 1 2 1 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 1 1 1 1 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 2 1 1 2 1 1 2 2
2 2 2 1 3 2 3 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 3 2 1 1 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 3 2 2 1 2 2 2 2 2
65
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0
Universitas Muhammadiyah Palembang
88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
A MR YAF AP MFF I MAAP FA HR MAP MGG MR
2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2
1 2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 1
1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1
Keterangan: Jenis Kelamin
: 1. Perempuan 2. Laki-laki
Umur
: 1. < 5 tahun 2. 5-14 tahun 3. 15-18 tahun
Kejadian DBD pada anak
: 0. Menderita Demam Berdarah Dengue 1. Tidak Menderita Demam Berdarah Dengue
Angka Bebas Jentik
: 0. ≥95%, bebas jentik 1. < 95%, tidak bebas jentik
66
Universitas Muhammadiyah Palembang
Lampiran 2. Hasil Olah Data SPSS Hasil Pengolahan Data Dengan Software SPSS 16.0 Frequency Table
Jenis Kelamin * Kejadian DBD Pada Anak Crosstabulation Kejadian DBD Pada Anak
Menderita DBD Jenis Kelamin
Perempuan
Count
8
48
37.8
10.2
48.0
% within Jenis Kelamin
83.3%
16.7%
100.0%
% within Kejadian DBD Pada Anak
51.3%
38.1%
48.5%
% of Total
40.4%
8.1%
48.5%
38
13
51
40.2
10.8
51.0
% within Jenis Kelamin
74.5%
25.5%
100.0%
% within Kejadian DBD Pada Anak
48.7%
61.9%
51.5%
% of Total
38.4%
13.1%
51.5%
78
21
99
78.0
21.0
99.0
78.8%
21.2%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
78.8%
21.2%
100.0%
Count Expected Count
Total
Total
40
Expected Count
Laki-laki
Tidak Menderita DBD
Count Expected Count % within Jenis Kelamin % within Kejadian DBD Pada Anak % of Total
67
Universitas Muhammadiyah Palembang
Umur * Kejadian DBD Pada Anak Crosstabulation Kejadian DBD Pada Anak Menderita DBD Umur
1
Count
6
22
17.3
4.7
22.0
% within Umur
72.7%
27.3%
100.0%
% within Kejadian DBD Pada Anak
20.5%
28.6%
22.2%
% of Total
16.2%
6.1%
22.2%
55
14
69
54.4
14.6
69.0
% within Umur
79.7%
20.3%
100.0%
% within Kejadian DBD Pada Anak
70.5%
66.7%
69.7%
% of Total
55.6%
14.1%
69.7%
7
1
8
Count Expected Count
3
Count Expected Count
6.3
1.7
8.0
87.5%
12.5%
100.0%
% within Kejadian DBD Pada Anak
9.0%
4.8%
8.1%
% of Total
7.1%
1.0%
8.1%
78
21
99
% within Umur
Total
Total
16
Expected Count
2
Tidak Menderita DBD
Count Expected Count % within Umur % within Kejadian DBD Pada Anak % of Total
78.0
21.0
99.0
78.8%
21.2%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
78.8%
21.2%
100.0%
Angka Bebas Jentik Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Bebas Jentik
22
22.2
22.2
22.2
Tidak Bebas Jentik
77
77.8
77.8
100.0
Total
99
100.0
100.0
68
Universitas Muhammadiyah Palembang
Lampiran 3. Hasil Olah Data Analisis Bivariat
Angka Bebas jentik * Kejadian DBD Pada Anak Crosstabulation Kejadian DBD Pada Anak
Menderita DBD Angka Bebas jentik
Bebas Jentik
Count
Tidak Bebas Jentik
Total
Tidak Menderita DBD
Total
11
11
22
Expected Count
17.3
4.7
22.0
% within Angka Bebas jentik
50.0%
50.0%
100.0%
% within Kejadian DBD Pada Anak
14.1%
52.4%
22.2%
% of Total
11.1%
11.1%
22.2%
67
10
77
Expected Count
60.7
16.3
77.0
% within Angka Bebas jentik
87.0%
13.0%
100.0%
% within Kejadian DBD Pada Anak
85.9%
47.6%
77.8%
% of Total
67.7%
10.1%
77.8%
78
21
99
Expected Count
78.0
21.0
99.0
% within Angka Bebas jentik
78.8%
21.2%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
78.8%
21.2%
100.0%
Count
Count
% within Kejadian DBD Pada Anak % of Total
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
Df
14.026a
1
.000
11.899
1
.001
12.353
1
.000
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid
Casesb
Exact Sig. (1sided)
.001 13.885
1
.000
99
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,67. b. Computed only for a 2x2 table
69
Universitas Muhammadiyah Palembang
.001
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Angka Bebas jentik (Bebas Jentik / Tidak Bebas Jentik) For cohort Kejadian DBD Pada Anak = Positif DBD For cohort Kejadian DBD Pada Anak = Negatif DBD N of Valid Cases
70
Lower
Upper
.149
.051
.434
.575
.375
.880
3.850
1.886
7.857
99
Universitas Muhammadiyah Palembang
Lampiran 4. Foto Pada Saat Penelitian
Gambar 1. Foto Bersama Dengan Kepala Bagian Sanitasi Puskesmas Taman Bacaan Palembang
Gambar 2. Laboratorium Tempat Pemeriksaan Penunjang DBD
71
Universitas Muhammadiyah Palembang
Gambar 3. Bubuk Abate Untuk Pemberantasan DBD
Gambar 4. Abate Cair Untuk Pemberantasan DBD
72
Universitas Muhammadiyah Palembang
Gambar 5. Observasi Lingkungan Di Wilayah Kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang (Tempat Penampungan Air)
Gambar 6. Observasi Lingkungan Di Wilayah Kerja Puskesmas Taman Bacaan Palembang
73
Universitas Muhammadiyah Palembang