8.bab I

  • Uploaded by: Defri Elias Simatupang
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 8.bab I as PDF for free.

More details

  • Words: 2,731
  • Pages: 14
1

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kehidupan ini terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”. Demikian jugalah yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup (Sumardjo, 2002 : 107). Proses kehidupan menuju kematian merupakan proses yang pasti dijalani setiap manusia dan mahluk hidup yang lain. Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Kelangsungan sesudah mati belum dapat dijelaskan dengan penalaran yang logis, sepertinya akan selalu menjadi misteri. Namun sudah sejak dahulu kala, manusia telah memiliki semacam bentuk konsep kepercayaan tentang kelangsungan hidup sesudah kematian. Menurut Koentjaraningrat (1985 : 237), di dalam banyak konsep religi suku-suku

di Indonesia, kematian menunjukkan adanya kepercayaan bahwa

seseorang yang sudah tidak hidup lagi, akan menjadi makluk halus. Makluk halus diungkapkan seolah-olah memiliki kepribadian tersendiri karena jiwanya telah berubah menjadi ruh. Pada berbagai bahasa daerah di Indonesia, terdapat dua macam istilah yang khusus membedakan ungkapan kata untuk “jiwa”, dan ungkapan untuk “ruh”. Hal ini sebagai tanda bahwa dalam alam pikiran berbagai suku bangsa di Indonesia, kedua paham itu dibedakan dengan sangat jelas penggunaannya. Dalam bahasa Batak Toba misalnya, kata untuk “jiwa” adalah tondi, sedangkan kata untuk “ruh” adalah begu. Dalam bahasa Mentawai kata untuk jiwa adalah ketsat, sedangkan kata untuk

2

ruh adalah sanitu, dalam bahasa Jawa misalnya, kata untuk Jiwa adalah nyawa, sedangkan kata untuk ruh adalah arwah, dsb (Koentjaraningrat, 1985 : 237). Kepercayaan manusia akan adanya ruh yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia bermula dari kepercayan akan adanya kekuatan-kekuatan tertentu yang ada di sekitar tempat tinggalnya, seperti batu besar atau pohon besar. Kepercayaan terhadap batu yang mempunyai pengaruh tertentu terhadap manusia sampai saat ini masih berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Kepercayaan semacam

ini

diperkirakan

yang

mendasari

pendirian

bangunan

megalitik

(Wiradnyana, 1995 : 39). Bangunan megalitik berguna sebagai media penghubung kepada arwah nenek moyang. Para pendukung budaya megalitik percaya bahwa arwah nenek moyang mereka dapat memberikan berkah apabila membantu perjalanannya ke dunianya yang baru (Geldern, 1945 : 149). Penelitian terhadap peninggalan tradisi megalitik yang sudah mati menunjukkan beragam perkiraan fungsi bangunan yang semuanya berkaitan dengan upacara-upacara pemujaan dengan arwah nenek moyang. Oleh Sumijati Atmosudiro (Atmosudiro, 1981 : 39), fungsi-fungsi itu kemudian dirangkum menjadi tiga yaitu : 1. sebagai sarana atau tempat pemujaan dengan bentuk yang digunakan berupa menhir, bangunan berundak, 2. sebagai perwujudan nenek moyang atau penolakan bala dengan bentuk-bentuk seperti arca sederhana, 3. sebagai wadah penguburan antara lain : waruga, dolmen, dan kalamba. Selain ketiga kelompok tersebut, masih ada juga bangunan-bangunan megalitik yang belum jelas fungsinya seperti lumpang batu, batu berlubang.

3

Pengkajian kebudayaan megalitik itu dapat dimasukkan dalam kajian religi, yang tidak semata dikaji secara kebendaan (fisik), tetapi juga melibatkan aspek gagasan yang mendasar dari tampilan luar benda itu (meta-fisik). Dalam ilmu arkelogi, kajian religi mempelajari asal-usul perkembangan, dan tindakan religius melalui budaya bendawi yang saling berkaitan. Melalui tinggalan budaya materi religius, para arkeolog mencoba bercerita tentang praktek-praktek peribadatan, ritus, upacara-upacara, mitos, atau kalau mungkin tentang konsep-konsep dan ajaran manusia pendukung budaya materi religius tersebut (Sonjaya, 2003 : 12). Maka secara sadar atau tidak sadar, kajian Arkeologi-religi sering bersinggungan dengan pembahasan dimensi ruang yang tidak nyata atau secara umum dikenal dengan sebutan alam gaib. Alam gaib sebagai dunianya para ruh nenek-moyang, dipandang dalam berbagai macam rasa oleh para pelaku budaya megalitik. Ekspresi rasa cinta, hormat, bakti, tetapi juga takut, ngeri, atau dengan suatu campuran dari berbagai macam rasa itu, mendorong manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan untuk semakin menjalin hubungan dengan dunia gaib. Hal ini dapat disebut

sebagai

sebuah

kelakuan

keagamaan

atau

religious

behaviour

(Koentjaraningrat, 1985 : 243). Kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku, disebut sebagai upacara keagamaan (religious ceremonies) atau ritus (rites). Menurut Koentjaraningrat ( Koentjaraningrat, 1985 : 243), secara umum komponen upacara keagamaan dapat terbagi empat, yaitu : a. tempat upacara, b. saat

4

upacara, c. benda-benda dan alat upacara, dan d. orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Di dalam melakukan kelakuan-kelakuan keagamaan yang bersifat baku itu, manusia selalu dihinggapi semacam emosi keagamaan. Emosi keagamaan menyebabkan manusia bersikap sesuai dengan suatu getaran yang menggerakkan jiwanya dan sering tercurah saat menghadapi sebuah upacara adat religius (Koentjaraningrat, 1987 : 80). Contoh yang dapat diberikan untuk semakin memahami emosi keagamaan itu adalah seperti pada saat aktivitas penguburan. Aktivitas penguburan adalah bagian dari ritual kematian dimana banyak manusia dalam keadaan perasaan sedih sering ditemukan menyertakan bekal-bekal kubur di dalam kuburan si mati. Emosi keagaman pada contoh itu adalah perasaan sedih manusia yang ditinggalkan si mati, namun hal itu tidak berhenti begitu saja. Mereka mengekspresikan kepercayaan mereka melalui bekal kubur sebagai tanda kepercayaan akan adanya kehidupan sesudah kematian. Pada masa lalu upacara kematian memegang peranan yang penting sebagai salah satu bentuk upacara keagamaan dalam tradisi megalitik. Kematian seseorang yang telah memiliki keturunan, diyakini akan mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena kedudukannya kelak adalah sebagai

leluhur yang

disembah. Hal ini dapat dilihat dari temuan kubur-kubur megalitik dengan patungpatung leluhur sebagai objek pemujaan (Soejono, 1975 : 24). Menurut Marett (seorang filsuf, peneliti kepercayaan primitif), orang-orang yang memiliki sebuah perasaan yang menghubungkan antara emosi keagamaan dengan benda-benda sebagai objek pemujaan, akan menghasilkan suatu bentuk

5

adat-istiadat kematian yang akan diakui masyarakat. Perasaan itu terhadap objek pemujaan adalah rasa ”taqwa”, yaitu suatu gabungan rasa takut, kagum, hormat, dan juga cinta (Pritchard, 1984 : 43-44). Ritual penguburan orang yang sudah mati merupakan suatu adat-istiadat kematian yang dilakukan masyarakat megalitik di tempat yang sering dihubungkan dengan asal-usulnya. Kematian itu sendiri dianggap tidak membawa perubahan esensial dalam kedudukan dan sifat seseorang. Hal itu karena manusia yang telah mati tetap akan mempunyai kedudukan yang sama seperti ketika masih hidup (Soejono, 1984 : 210). Adanya kepercayaan tersebut mengakibatkan kuburan merupakan tempat yang dipakai sebagai tempat berbagai upacara keagamaan. Hal ini dapat dimengerti karena kubur dibayangkan sebagai tempat yang paling mudah untuk menjalin komunikasi dengan para roh nenek moyang. Mereka tidak perlu lagi harus pergi jauh-jauh ke puncak gunung yang tinggi, seberang lautan, di dalam hutan belantara atau di bawah bumi, sebagaimana kepercayaan beragam suku bangsa di Indonesia (Koentjaraningrat, 1985 : 239). Sebelum masuknya agama Kristen ke daerah mereka, suku bangsa Batak percaya bahwa kematian merupakan masa transisi saat manusia akan berpindah dari kehidupan alam nyata menuju kehidupan alam orang mati. Mereka menyatakan bahwa orang yang mati hanya raganya saja, sedangkan jiwanya berjalan terus menempuh perjalanan ke alam lain (Siahaan, 1964 : 45). Maka sudah sepantasnya ada campur tangan orang yang masih hidup untuk membantu orang mati, saat akan berpindah ke alam kehidupannya yang baru. Konsep kepercayaan ini memunculkan

6

daya cipta dalam mengekspresikan cara atau tingkah laku orang yang ditinggalkan si mati saat hendak mengantarkan si mati ke alam lain. Hal ini yang pada akhirnya berkembang menjadi sebuah upacara kematian yang dapat disebut juga sebagai upacara penguburan primer. Setelah lama dikubur, ternyata keluarga yang ditinggalkan masih merasa perlu mengekspresikan konsep kepercayaannya itu lagi. Konsep kepercayaan awal, dari hanya untuk mengantarkan si mati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan orang-orang mati yang telah berada di alam lain. Cara pengekspresiannya adalah dengan mengumpulkan seluruh tulang belulang orang-orang mati ke dalam satu wadah kubur baru dalam sebuah upacara keagamaan. Konsep kepercayaan seperti ini merupakan cikal bakal munculnya kebudayaan ritual kematian dalam suku bangsa Batak pra-Kristen yang dinamakan upacara penguburan sekunder mangongkal holi. Istilah sekunder dipakai karena sebelumnya telah dilakukan upacara penguburan (primer) pada saat kematiannya. Oleh karena itu ketika diupacarakan lagi melalui aktivitas penggalian tulang-belulang si mati dari kubur primer, untuk dikuburkan kembali ke dalam kubur sekunder, dapatlah disebut sebagai upacara penguburan sekunder. Mangongkal holi berarti menggali tulang-belulang orang mati untuk dikuburkan di tempat yang lain. Dalam bahasa batak Toba, holi berarti tulang atau tulang belulang. Disebut juga saring-saring yaitu tulang tengkorak orang yang meninggal (Sinaga, 1999 : 112). Berdasarkan buku Pedoman Pelaksanaan Adat Batak dalihan natolu, alasan secara logika pengadaan upacara mangongkal holi adalah untuk memindahkan dan mengubur tulang si mati ke batu napir (Sihombing,

7

1989 : 44). Batu napir adalah bangunan kuburan komunal yang terbuat dari bahan batu yang di dalamnya disediakan kapling-kapling kuburan untuk lima atau tujuh orang yang memiliki hubungan satu keluarga (Sinaga, 1999 : 121). Ritual mangongkal holi dilakukan sebagai bentuk penghormatan pada orang tua termasuk di dalamnya kakek dan leluhur. Bila ada yang berpendapat bahwa hormat kepada orang tua hanya dilakukan pada masa hidupnya, maka orang Batak memiliki

sedikit

perbedaan

yang

cenderung

menjadi

unik.

Mereka

tetap

menghormati orang tua mereka meskipun telah lama mati dengan cara memelihara kuburannya atau menyimpan tulang-belulangnya di dalam kubur sekunder (batu na pir) (Sinaga, 2000 :112 - 118). Namun ada juga yang mengatakan bahwa upacara mangongkal holi merupakan sebuah pemborosan karena pembuatan makam yang indah untuk tulang-belulang yang meninggal tidak mungkin bisa dinikmatinya lagi. Upacara mangongkal holi telah menjelma menjadi sebuah kesempatan menunjukkan pamer status sosial bagi anak cucunya yang telah meraih kesuksesan (Situmorang, 1992 : 212. Rambey : 2001, Silalahi, 2005). Dari pengamatan sekilas pada data etnografi upacara mangongkal holi, penulis melihat adanya beberapa transformasi yang terjadi, pada beberapa unsur upacara tersebut. Rentang masa yang panjang dari masa megalitik hingga sekarang, sangat mungkin mengakibatkan terjadinya transformasi sosial budaya masyarakat Batak yang awalnya terisolir di Pulau Samosir. Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba membahas seberapa jauh transformasi pada upacara mangongkal holi terjadi dari masa dahulu hingga sampai masa terkini.

8

Berdasarkan kamus riset (Komaruddin : 1984), kata “transformasi” diartikan sebagai perubahan bentuk atau struktur dari sebuah bentuk ke bentuk lainnya. Transformasi terhadap upacara mangongkal holi tidak hanya akan ditinjau dari perubahan bentuk fisik kubur masyarakat Batak tetapi juga dilihat dari aspek ide atau gagasan (ideology) terlaksananya upacara itu, perilaku manusianya sendiri yang menjalankan ritual upacara mangongkal holi, dan peralatan yang diciptakan manusia pendukung budaya tersebut untuk dipakai sebagai alat bantu dalam penyelenggaraan upacara tersebut. Upacara penguburan sekunder mangongkal holi menarik untuk dipelajari, karena kajian secara ilmiah terhadap bentuk kebudayaan seperti itu di Indonesia masih sangat jarang. Melalui penelitian disiplin ilmu arkeologi, diharapkan upacara itu semakin jelas dipahami maknanya oleh masyarakat umum terutama generasi penerus suku bangsa Batak. Mereka semakin cenderung tidak mengerti akan identitas asli suku mereka akibat semakin hilang ditelan perubahan zaman. Melalui pemahaman tersebut, diharapkan muncul kesadaran untuk melestarikan upacara tersebut sebagai kekayaan budaya warisan

nenek moyang, dan tentu saja

bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya disiplin ilmu arkeologi.

B. RUMUSAN MASALAH Dari uraian di atas, ada masalah menarik dalam Upacara Penguburan Sekunder Mangongkal Holi pada masyarakat Batak Toba di wilayah kabupaten Toba Samosir, yang hendak dikaji lebih lanjut melalui disiplin ilmu Arkeologi. Masalah yang akan dijawab dirumuskan sebagai berikut :

9

1. Bagaimana proses ritual upacara mangongkal holi berlangsung pada masa pra Kristen dan Kristen ?

2. Bagaimana bentuk transformasi wujud kebudayaan (ide atau gagasan, aktivitas atau perilaku dan artefak) pada upacara mangongkal holi ?

Tujuan penelitian upacara mangongkal holi ini adalah untuk melihat adanya fenomena transformasi pada salah satu unsur kebudayaan, yaitu religi pada masyarakat Batak Toba. Fenomena transformasi kebudayaan religi merupakan gejala perubahan kepercayaan atau agama orang Batak secara berkesinambungan dari pra-Kristen menjadi Kristen yang masih dapat dirasakan pada masa sekarang.

C. METODE PENELITIAN Fenomena menjelaskan

transformasi

faktor-faktor

yang

dapat

dianalisis

mengakibatkan

secara terjadinya

metodologis perubahan

untuk demi

perubahan. Etnografi adalah pekerjaan pendeskripsian suatu kebudayaan dengan tujuan untuk mendapatkan pandangan hidup dari sudut pandang emik (pendukung kebudayaan yang dikaji atau yang dideskripsi) atau sudut pandang etik (orang-orang dari luar kebudayaan yang dikaji atau yang dideskripsi) (Spradley, 1997 : 3). Dapat ditarik sebuah pemahaman, bahwa etnoarkeologi merupakan ilmu arkeologi yang menggunakan pendekatan dengan menggunakan data etnografi untuk menangani masalah-masalah Arkeologi (Mundarjito, 1981: 17). Dalam penelitian ini, etnoarkeologi tidak hanya sekedar membuat sebuah dokumentasi upacara kematian atau penguburan sekunder, yang lazim digunakan

10

sebagai analogi dalam memecahkan masalah-masalah rekonstruksi kebudayaan pada masyarakat yang sudah punah, dengan hanya menyisakan sisa-sisa budaya materi (data Arkeologis) saja. Pemakaian pendekatan etnoarkeologi dalam penelitian ini, diharapkan akan mampu menghasilkan model-model upacara kematian atau penguburan sekunder dari beberapa dimensi waktu. Hasil dari penelitian etnoarkeologi ini adalah sebuah hipotesis tentang terjadinya transformasi budaya pada upacara mangongkal holi dari masa pra-Kristen ke masa sesudah terjadinya misi pengkristenan hingga sampai masa terkini. Analisis data bersifat kualitatif, karena yang akan diteliti berupa upacara yang berkonteks dengan ideologi manusia yang tidak dapat dihitung besarannya. Metode kualitatif ini lebih peka dalam menyesuaikan dengan nilai data bila dibandingkan dengan kuantitatif. Adapun beberapa prinsip dasar yang digunakan sebagai

karakteristik penelitian kualitatif (Moleong,1996 : 4-8) adalah sebagai

berikut : 1. Peneliti sebagai alat (instrumen) yang dapat menilai dan mempertanggung jawabkan kebenaran ilmiah dari penelitiannya. 2. Peneliti menggunakan penalaran logika secara induktif yang menarik kesimpulan umum akan dari data-data tiap kesimpulan khusus. 3. Deskriptif analitis. Peneliti mendeskripsikan data dengan menginterpretasikannya secara tepat dan bertanggung jawab, untuk memperoleh fakta atau gejala tertentu yang didapat dari hasil penelitian.

11

4. Adanya “batas” yang ditentukan oleh “fokus”. Peneliti membatasi penelitiannya atas dasar fokus penelitian yang sudah jelas, yaitu transformasi unsur kebudayaan religi pada upacara mangongkal holi dari masa pra Kristen hingga masa Kristen. 5. Desain penelitian bersifat sementara. Peneliti telah menyusun secara terusmenerus desain penelitian yang mudah disesuaikan dengan kenyataan lapangan (tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku), selama tidak keluar dari jalur fokus penelitian yang telah ditetapkan sejak awal. 6. Peneliti melaporkan hasil penelitiannya (hipotesis) kepada orang yang dijadikan sebagai

sumber

mengetahuinya,

data.

Hal

disamping

ini akan

disebabkan menjadi

karena

lebih

baik

pemberi

data

berhak

verifikasinya

apabila

dikonfirmasikan ulang dengan orang-orang yang ada kaitannya dengan yang diteliti. Dari prinsip-prinsip dasar tahapan penelitian diatas, tahapan penelitian akan dilakukan dalam empat tahap yaitu : 1. Tahap Pengumpulan data 1.a. Studi kepustakaan dan dokumentasi Studi kepustakaan merupakan tahapan pengumpulan data sekunder, yang mendukung terhadap penelitian ini. Dalam kasus penelitian terhadap upacara mangongkal holi, transformasi kebudayaan diteliti melalui data sejarah, data arkeologis, dan data etnografi. Data sejarah diperoleh melalui sumber-sumber lisan maupun tulisan (buku-buku sejarah, arsip, sumber dari internet) yang menerangkan tentang adanya upacara tersebut dalam masyarakat Batak dari masa terawal hingga masa terkini. Data arkeologis diperoleh melalui temuan tinggalan artefaktual seperti kubur-kubur sekunder di Pulau Samosir dan pengamatan jenis-jenis benda

12

artefaktual yang pernah dideskripsikan pada sumber-sumber arsip dan benda-benda artefaktual yang dipakai pada saat upacara mangongkal holi sampai saat ini. Data etnografi diperoleh melalui pengamatan langsung (observasi partisipatif) pada saat penyelenggaraan sebuah ritual upacara mangongkal holi. Selain itu, data dapat juga diperoleh melalui pencarian dokumentasi foto atau video tentang upacara mangongkal holi. Selain itu, data dapat diperoleh dari sumber lain seperti pencarian data melalui situs internet, dokumentasi hasil foto / gambar yang pernah diterbitkan, pengamatan melalui beberapa dokumentasi video upacara mangongkal holi yang pernah berlangsung. 1.b.Observasi ke lapangan Data primer diperoleh melalui observasi partisipasi di lapangan. Dalam observasi dilakukan wawancara. Tehnik wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas berstruktur dan responden diarahkan peneliti bercerita seluas-luasnya tentang objek material maupun non material dari upacara mangongkal holi tersebut. Kegiatan wawancara juga berguna untuk mencocokkan keterangan yang diperoleh dari sumber lainnya. Hasil wawancara ini tidak dapat begitu saja digunakan namun harus dikritik dahulu kebenarannya sehingga akan didapat data-data yang cukup valid. Kritik kebenaran hasil wawancara dapat dilakukan melalui perbandingan jawaban yang diperoleh dari para informan yang menggunakan pertanyaan yang sama. Jawaban-jawaban dari para informan akan dipilih berdasarkan jawaban yang memiliki tingkat kebenaran yang tertinggi dari sudut pandang penulis dan penulis bertanggung jawab akan pemilihan jawaban itu.

13

2. Klasifikasi data Keseluruhan data objek penelitian baik berupa data sejarah, data arkeologi, maupun data etnografi dideskripsikan kemudian berdasarkan masa pra-Kristen atau masa sesudah pengkristenan, sehingga diharapkan akan dapat dilihat perbedaan yang menguatkan akan hipotesis terjadinya transformasi budaya pada upacara mangongkal holi.

3. Analisis Data Dalam penelitian ini, data etnografi upacara mangongkal holi pada masa sekarang akan dibandingkan dengan data upacara mangongkal holi pada masa lampau. Wujud transformasi terhadap upacara mangongkal holi tersebut akan dilihat melalui hasil data-data perbandingan yang muncul, apakah telah terjadi perubahanperubahan wujud kebudayaan (dalam bentuk ide atau gagasan, aktivitas atau perilaku, maupun kelengkapan upacara atau artefak). Tahapan ini juga akan melihat secara kualitatif faktor internal dan eksternal yang membuktikan telah terjadi transformasi budaya. Adapun cara menganalisisnya berdasarkan parameter wujud kebudayaan itu sendiri, yaitu : wujud ide atau gagasan, wujud aktivitas atau tingkah laku, dan wujud kebendaan atau artefak. Ketiga variabel wujud kebudayaan tersebut masing-masing terdiri dari berbagai komponen parameter pengamatan, yang dapat dijabarkan pada bagan dibawah ini :

14

pengamatan transformasi budaya upacara mangongkal holi gagasan / ide Pelaku dan aktivitas budaya materi 1. Makna dan fungsi 1.Tata cara ritual 1. Perlengkapan upacara upacara terhadap 2. Pelaku upacara 2. Wadah kubur penyembahan atau penghormatan kepada leluhur 4. Tahap kesimpulan Pada tahap ini, diharapkan penelitian telah memberikan suatu gambaran yang jelas berupa hipotesis untuk menjawab sejauh mana telah terjadi transformasi kebudayaan dalam upacara mangongkal holi tersebut.

Related Documents

Pkn Kelas 8bab 1
December 2019 16
! I I ! I I
June 2020 67
I
November 2019 59
I '
July 2020 37
I
November 2019 52
I
July 2020 43

More Documents from ""