BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Medulla spinalis adalah saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari sistem saraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang belakang. Fungsi utama medulla spinalis adalah transmisi pemasukan rangsangan antara perifer dan otak. Medulla spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat. Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut conus terminalis atau conus medularis. Terbentang dibawah cornu terminalis serabut- serabut bukan saraf yang disebut bukan filum terminale yang merupakan jaringan ikat. Terdapat 31 pasang saraf spinal, 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf torakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral dan 1 pasang saraf coxigeal. Akar saraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan cauda equine. Setiap pasangan saraf keluar melalui intervertebral foramina. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF. Cedera medura spinalis (CMS) sekunder akibat trauma tulang belakang merupakan salah satu cedera hebat yang memberikan siknifikansi besar dalam kehidupan manusia, yakni dalam hal tingkat morbiditas dan mortalitas, perubahan aktivitas sehari-hari, dan biaya yang harus ditanggung oleh pasien, keluarga, dan masyarakat. Pasien dengan cedera medulla spinalis memerlukan penyesuaian terhadap berbagai aspek, antara lain masalah mobilitas yang terbatas, psikologis, urologis, pernafasan, kulit, disfungsi seksual, dan ketidakmampuan untuk bekerja.
1
1.2. Tujuan Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi syarat dalam kepaniteraan klinik senior pada Departemen Neurologi RSUD Kota Solok. 1.3. Manfaat 1.3.1. Bagi Penulis. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan laporan kasus ini adalah untuk menambah pengetahuan bagi penulis tentang cedera medulla spinalis terutama mengenai penegakan diagnosa dan penatalaksanaan penyakit tersebut.
1.3.2. Bagi Pembaca. 1. Dapat meningkatkan pengetahuan tentang cedera medula spinalis 2. Dapat meningkatkan pengetahuan tentang penegakan diagnosa dan penatalaksanaan bagi teman sejawat. 3. Membantu memberikan informasi tambahan pada pembaca mengenai cedera medulla spinalis.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Medulla Spinalis Medulla spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat ,lanjutan dari medulla oblongata yang menembus foramen occipital magnum, dikelilingi dan dilindungi oleh tulang belakang (vertebrae) dibungkus oleh tiga lapisan mening : - duramater - arachnoid - piamater Medulla spinalis berakhir di caudal sebagai conus medularis yang berbentuk kerucut setinggi V.Lumbal 1- 2. Piamater berlanjut ke caudal dari puncak conus medullaris sebagai filum terminalis sampai ke segmen pertama vertebrae coccygeus Pia-arachnoid dan duramater berlanjut sampai setinggi V.sakralis ke 2 ditempat ini bersatu dengan filum terminalis. Subarachnoid space dengan cairan cerebrospinal meluas sampai V.sakralis ke 2
3
SUBSTANSIA ALBA DAN GRISEA Medulla spinalis tersusun sebagai substansia alba (putih) yang mengelilingi substansia grisea (kelabu) berbentuk seperti kupu-kupu. a. SUBSTANSIA GRISEA • terdiri dari serabut yang sedikit bermielin dan tanpa mielin • Berjalan sejajar dengan sumbu panjang • Tidak mempunyai badan sel b. SUBSTANSIA GRISEA • Terdiri dari badan sel • Sebagian besar tanpa mielin • Beberapa serabut dgn sedikit mielin yg terletak tegak lurus pada sumbu panjang medulla spinalis. Terdapat perbedaan regional antara subst. alba dan grisea pada beberapa ketinggian medulla spinalis. Jumlah subst. grisea pada tiap ketinggian medulla spinalis sebagian besar berhubungan dengan banyaknya persarafan perifer. Subst. grisea yg paling besar terdapat pada segmen spinal setinggi intumesensia servikal dan lumbosakral mensarafi anggota gerak atas dan bawah. Segmen torakal dan lumbal atas mempunyai subst. grisea yang relatif sedikit, ok mensarafi daerah torak dan abdomen.
4
c. GANGLION SPINAL DAN RADIKS Tiap saraf spinal mempunyai : - radiks dorsalis - radiks ventralis Radiks Dorsalis (Sensorik) • Terdiri dari serabut aferen/sensorik yang meneruskan rangsang (input) dari reseptor sensorik dalam tubuh ke medulla spinalis • Mengandung ganglion spinal (akar dorsal sensorik) yang terletak didalam foramen intervertebralis. Saraf yang keluar dari medulla spinalis melalui foramen intervertebralis saraf spinal. Tiap saraf spinal didistribusikan ke segmen ataupun daerah spesifik
5
pada tubuh Akar dorsal pada tiap saraf spinal yang mengurus persarafan sensorik pada segmen tubuh DERMATOM Radiks ventralis (motorik) • Terdiri dari serabut saraf eferen (motorik) yang badan selnya terletak didalam subst.grisea melalui radiks motorik dan saraf spinal menuju otot dan kelenjar tubuh. • Pada bagian distal terdiri dari empat ramus : - ramus dorsal : otot-otot intrinsik punggung - ramus ventral : otot leher, dada, abdomen, ekstremitas - ramus komunikans : truncus sympaticus - ramus mening rekuren : selaput menings Ramus ventral saraf spinal akan membentuk pleksus yang akan menjadi tempat asal saraf perifer. C : menunjukkan segmen atau saraf spinal cervical T : menunjukkan segmen atau saraf spinal torakal L : menunjukkan segmen atau saraf spinal lumbal S : menunjukkan segmen atau saraf spinal sakral Co : menunjukkan segmen atau saraf spinal coccygeus Pleksus brachialis berasal dari saraf spinal C5 – T1/2 mensarafi ekstremitas atas.
6
Substansia alba pada tiap bagian medulla spinalis tersusun menjadi 3 funiculus (kolom):
7
• Funiculus posterior terletak diantara septum median posterior dan cornu posterior • Funiculus lateralis terletak diantara cornu posterior dan fissure mediana anterior • Funiculus anterior Funiculus tersebut dibagi lagi menjadi berkas Serabut tractus / fasciculus traktus Ascendens Traktus pada Funiculus Anterolateralis • Traktus spinothalamicus : serabut radiks posterior aferen berakhir pada sel substansia gelatinosa, menyilang di commisura alba, dan naik ke thalamus dalam funiculuslateralis. • Traktus spinothalamicus anterior : serabut afferan berakhir pada radiks dorslais, menyilang ke sisi sebelahnya dan naik melalui funiculus anterior menuju thalamus. • Traktus spinotectalis Traktus pada funiculus lateralis • Traktus spinocerebellaris posterior, dari nucleus dorsalis ( clarke) menuju cerebellum pada funiculus lateralis ipsilateral. • Traktus spino cerebellaris anterior, dari radiks posterior naik pada sisi yang sama dan sisi sebelahnya di pinggir ventrolateral medulla spinalis menuju cerebellum. • Traktus spino-olivarius • Traktus spinovestibularis
Traktus desendens • Traktus corticospinalis • Traktus extrapiramidalis • Traktus vegetatif
8
SIRUKULASI DARAH PADA MEDULLA SPINALIS Medulla spinalis mendapat darah dari arteri dari sejumlah arteri spinalis kecil yang merupakan cabang dari : a.vertebralis, a. cervicalis ascendens, a.cervicalis interna, a.intercostalis, a.lumbalis dan a.sakralis. arteri tsb berjalan bersama saraf spinal menyusup melalui duramater membagi menjadi a.radikular dorsal dan a.radikular ventral. Arteri -arteri ini membentuk tiga saluran (traktus) logitudinal utama sepanjang seluruh medulla spinalis : - a.spinalis anterior (tract.a.longitudinalis anterior) pada fissura mediana anterior -Sepasang arteri spinalis posterior (traktus arteri longitudinalis posterior) Anastomose dari cabang-cabang arteri spinalis anterior dan posterior vasokorona arteria
9
2.2 Definisi Cedera medulla spinalis Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai cedera atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional, baik secara sementara maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Beberapa literatur membedakan SCI sebagai traumatic spinal cord injury (TSCI) dan nontraumatic, sedangkan pada literatur lainnya menggunakan istilah SCI sebagai TSCI. 2.3 Epidemiologi Cedera Medulla Spinalis Tingkat insidensi di Indonesia per tahun mencapai 40 kasus baru per 1 juta penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per tahun. Sekarang ini, diperkirakan terdapat sekitar 183.000-230.000 pasien dengan cedera medulla spinalis yang masih bertahan hidup di Indonesia. Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30 tahun). Hampir seluruh pasien cedera medulla spinalis (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria: wanita yaitu 4:1) karena resiko yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera yang berhubungan dengan rekreasi (seperti diving).2,10 Tingkat mortalitas yang tinggi (50%) pada cedera medula spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien yang masih bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%. Tingkat harapan hidup pada pasien dengan cedera medulla spinalis menurun secara drastis apabila dibandingkan pada populasi normal dan tingkat mortalitas jauh lebih tinggi tahun pertama, apabila dibandingkan di tahun-tahun berikutnya.2 2.4 Etiologi Cedera Medulla Spinalis Sejak tahun 2005 etiologi utama CMS antara lain kecelakaan lalu lintas (39,2%),
jatuh
(28,3%),
kekerasan
(luka
tembak,
14,6%),
olah
raga
(terutama diving, 8,2%), akibat lainnya dari mencakup 9,7%. Beberapa literatur mendokumentasikan etiologi yang serupa, namun dengan sedikit variasi pada proporsinya. Etiologi nontraumatik, antara lain gangguan vaskular, autoimun, degeneratif, infeksi, iatrogenik, dan lesi onkogenik.
10
Gambar Etiologi Cedera Medula Spinalis
2.5 Patofisiologi Cedera Medulla Spinalis 2.5.1 Mekanisme Cedera Lokasi SCI berturut-turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal (level C5-C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis. Mekanisme cedera umumnya merupakan aspek utama yang menentukan lokasi cedera medulla spinalis, contohnya motor vehicle accident (MVA) atau kecelakaan lalu lintas umumnya melibatkan cedera daerah servikal (akibat hiperekstensi dan hiperfleksi), jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi tergantung bagian yang terjatuh menumpu ke tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki menumpu melibatkan daerah thoracolumbar akibat fraktur kompresi atau burst fracture, jatuh di tangga dimana leher menumpu tangga melibatkan hiperekstensi leher dan cedera servikal), jatuh dengan bokong menumpu tanah melibatkan daerah lumbar). Cedera pada medulla spinalis dapat terjadi secara mandiri, namun seringkali tulang belakang juga ikut mengalami cedera secara bersamaan karena trauma yang dialami. Hal penting yang perlu diketahui adalah walaupun derajat kerusakan kolumna vertebralis yang parah umumnya menyebabkan cedera medulla spinalis yang serius, namun hubungan tersebut tidak selalu terjadi. Kerusakan minor dari kolumna vertebralis umumnya tidak menyebabkan defisit neurologis, namun tetap mungkin menyebabkan defisit neurologis yang serius. Seperti telah disinggung pada paragraf sebelumnya, mekanisme cedera selain dapat menentukan tingkat cedera medulla spinalis, juga menentukan jenis cedera pada kolumna vertebralis. Trauma dapat menyebabkan cedera pada medulla spinalis melalui
11
kompresi langsung dari tulang, ligamen atau diskus, hematoma, gangguan perfusi dan atau traksi. Cedera
pada
medulla
spinalis
dan
kolumna
vertebralis
dapat
diklasifikasikan menjadi fraktur-dislokasi, fraktur murni, dan dislokasi murni (dengan frekuensi relatif 3:1:1). Ketiga tipe dari cedera tersebut terjadi melalui mekanisme yang serupa, antara lain kompresi vertikal dengan anterofleksi (cedera fleksi) atau dengan retrofleksi (cedera hiperekstensi). Pada cedera fleksi, kepala tertunduk secara tajam ketika gaya diberikan. Kedua vertebra servikal yang bersangkutan akan mengalami stres maksimum dan batas anteroinferior dari korpus vertebra yang berada diatas akan terdorong kebawah (kadang terbelah menjadi dua). Fragmen posterior dari korpus vertebra yang mengalami fraktur akan terdorong kebelakang dan memberikan kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture). Mekanisme cedera ini merupakan jenis yang paling sering pada daerah servikal
dan
umumnya
melibatkan
daerah
C5/C6
(terjadi
subluksasi/dislokasi). Seringkali, terdapat robekan dari interspinous dan posterior longitudinal ligaments sehingga menyebabkan cedera ini tidak stabil. Cedera yang lebih ringan dari mekanisme fleksi hanya menyebabkan dislokasi. Cedera medulla spinalis terjadi akibat kompresi atau traksi dan menyebabkan adanya kerusakan langsung atau vaskular.
12
Gambar Mekanisme cedera fleksi dan dislokasi dari C5-C6 dengan robekan pada interspinous dan posterior longitudinal ligaments, kapsul facet, dan diskus intervertebralis posterior.
Gambar Mekanisme cedera anterofleksi
13
Pada cedera hiperekstensi terjadi kompresi vertikal dengan posisi kepala ekstensi (retrofleksi). Stres utama terjadi pada daerah posterior (lamina dan pedikel) dari vertebra servikalis bagian tengah (C4-C6), dimana dapat terjadi fraktur unilateral, bilateral, dan robekan dari ligamen anterior. Cedera hiperekstensi dari medulla
spinalis
umumnya
terjadi
tanpa
terlihat
adanya
kerusakan
vertebra atau misalignment dari vertebra, walaupun begitu, cedera medulla spinalis yang terjadi dapat menjadi serius dan permanen. Cedera tersebut dapat terjadi akibat penonjolan ligamentum flavum atau dislokasi vertebra yang sementara karena robekan ligamen (ketika di-xray atau CT-scan alignment sudah kembali normal). Walaupun, penggunaan CT-scan dan x-ray tulang belakang lateral dapat digunakan untuk melihat cedera tulang belakang (perlu dilakukan fleksi dan ekstensi dari leher), adanya robekan dan penonjolan ligamen dari dislokasi vertebra dapat dilihat dengan menggunakan MRI. Selain itu, cedera medulla spinalis yang terjadi dapat diakibatkan oleh central cervical cord syndrome. Cedera dengan mekanisme ini umumnya melibatkan orang tua dan pasien dengan spinal canal stenosis.
14
Gambar Mekanisme cedera hiperekstensi. Mekanisme cedera lainnya yaitu cedera kompresi. Pada cedera dengan mekanisme ini, korpus vertebra mengalami pemendekkan dan mungkin terjadi wedge compression fracture atau burst fracture dengan aspek posterior dari korpus masuk ke dalam kanal spinalis. Wedge fracture umumnya stabil karena ligamentum intak, namun apabila terdapat fragmen yang masuk kedalam kanal spinalis dan biasanya terdapat kerusakan ligamen sehingga tergolong tidak stabil. Apabila terjadi kombinasi gaya rotasi, dapat terjadi tear drop fracture (digolongkan tidak stabil).
15
16
Gambar Cedera kompresi.
17
2.5.2 Patofisiologi molekuler Adanya trauma pada medulla spinalis menyebabkan munculnya gejala dan tanda klinis akibat dari cedera primer dan sekunder. Terdapat 4 jenis mekanisme cedera primer pada medulla spinalis, antara lain benturan dengan kompresi persisten, benturan dengan kompresi sementara, distraksi, dan laserasi/ transection. Mekanisme cedera primer yang paling umum adalah benturan disertai kompresi persisten, yang terutama terjadi pada burst fracture dengan retropulsi dari fragmen tulang yang memberikan kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture), fraktur-dislokasi, dan ruptur diskus akut. Mekanisme kedua yaitu benturan dengan kompresi sementara yang contohnya terjadi pada cedera hiperekstensi di individu dengan penyakit degenerasi servikal. Distraksi yaitu regangan kuat yang terjadi pada medulla spinalis akibat gaya fleksi, ekstensi, rotasi atau dislokasi yang menyebabkan (dapat menyebabkan gangguan perfusi) merupakan mekanisme ketiga. Cedera distraksi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya cedera medulla spinalis tanpa ditemukan adanya kelainan pada pencitraan radiologi. Mekanisme cedera terakhir yaitu laserasi dapat disebabkan oleh cedera karena roket, luka karena senapan api, dislokasi dari fragmen tulang yang tajam, dan distraksi hebat. Laserasi dapat menyebabkan transection total sampai cedera minor. Seluruh mekanisme cedera primer menyebabkan kerusakan pada substansia kelabu bagian sentral, tanpa kerusakan substansia alba (bagian perifer). Adanya kecenderungan cedera pada bagian substansia kelabu dispekulasikan merupakan akibat konsistensi yang lebih lunak dan adanya pembuluh darah yang lebih banyak. Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pembuluh darah (microhemorrhage) dalam hitungan menit awal pascatrauma sampai beberapa jam kedepan yang berlanjut mengakibatkan iskemia dan hipoksia medulla spinalis. Kerusakan terjadi akibat dari kebutuhan metabolisme yang tinggi dari medulla spinalis. Selain pembuluh darah, neuron juga mengalami kerusakan (ruptur akson dan membran sel neuron) dan transmisinya terganggu akibat adanya edema pada daerah cedera. Edema hebat medulla spinalis terjadi dalam hitungan menit
awal
dan
nantinya
berlanjut
18
menyebabkan
iskemia
cedera
sekunder. Substansia kelabu mengalami kerusakan ireversibel dalam 1 jam pertama setelah cedera, sedangkan substansia alba dalam 72 jam setelah cedera. Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder dari cedera medulla spinalis. Mekanisme cedera sekunder, meliputi shok neurogenik, gangguan vaskular berupa perdarahan dan iskemia-reperfusi, eksitotoksisitas, kerusakan sekunder akibat kalsium, gangguan cairan-elektrolit, cedera imunologis, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya.
Gambar Cedera primer dan sekunder dari Spinal Cord Injury Cedera medulla spinalis menyebabkan terjadinya shok neurogenik. Terdapat beberapa interpretasi dari definisi shok ini, namun dalam literatur umumnya didefinisikan sebagai perfusi jaringan yang inadekuat akibat parese serius pada vasomotor (yang berakibat gangguan keseimbangan dari vasodilasi dan vasokontriksi pada arteriole dan venules). Neurogenik shok merupakan akibat dari shok spinal yang merupakan manifestasi dari cedera medulla spinalis. Cedera
19
primer menyebabkan peningkatan ion potassium pada rongga ekstraselular sehingga mengakibatkan hilangnya aktivitas somatik, refleks, dan autonomik dibawah level kerusakan tersebut. Shok neurogenik disebabkan karena hilangnya tonus simpatis yang berakibat munculnya bradikardia, hipotensi dengan penurunan resistensi perifer dan cardiac output. Shok ini umumnya bermanifestasi antara 4-6 jam setelah cedera diatas level T6 terjadi. Shok spinal dan neurogenik merupakan kondisi sementara yang dapat bertahan antara 48 jam sampai 6 minggu pascacedera (sangat bervariasi).
Gambar Patofisiologi dari shok neurogenik. 2.5.3 Defisit neurologis pada cedera medulla spinalis Shok spinal atau fase tidak adanya aktivitas medulla spinalis (penurunan fungsi motorik, sensorik, refleks dan otonom) terjadi pasca-cedera hebat pada medulla spinalis. Durasi shok spinal bervariasi dari periode 48 jam sampai 6-8 minggu. Pada fase shok spinal, tidak mungkin seorang tenaga kesehatan dapat
20
menilai status neurologis sesungguhnya (akibat cedera) dari pasien tersebut. Status neurologis hanya dapat dinilai setelah fase tersebut selesai dimana diagnosis dari cedera komplit atau inkomplit dari medulla spinalis dapat ditegakkan. Menurut American Spinal Injury Association (ASIA), cedera medulla spinalis komplit didefinisikan sebagai cedera yang melibatkan seluruh segmen sakral dari medulla spinalis yaitu S4 dan S5 (fungsi sensorik dan motorik tidak ada sama sekali), sedangkan cedera inkomplit tidak melibatkan dua segmen sakral tersebut (fungsi S4-S5 masih ada antara fungsi motorik dan atau sensorik) dan dapat masuk dalam salah satu dari 4 sindrom klasik medulla spinalis (Anterior cord syndrome, posterior cord syndrome, central cord syndrome, dan Brown-Sequard syndrome) ataupun gabungan dari sindrom-sindrom tersebut.
Gambar Sindrom klasik medulla spinalis. (a) central cord syndrome, (b) anterior cord syndrome, (c) brown sequard syndrome, dan (d) posterior cord syndrome Pada lesi komplit atau complete cord transection terjadi disrupsi dari traktus sensorik
(termasuk
traktus
spinotalamik
21
anterior
dan
lateral),
motorik
(kortikospinal anterior dan lateral), dan fungsi otonom dari level lesi kebawah. Pada complete cord transection, terdapat dua fase, meliputi fase arefleksia (fase shok spinal) dan fase hyperrefleksia. Presentasi klinis pada fase arefleksia untuk pasien dengan lesi komplit adalah tetraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik pada segmen servikal dari medulla spinalis karena adanya kerusakan elemen saraf dalam kanal spinalis yang melibatkan kelemahan pada keempat ekstremitas, dan organ-organ pelvis), paraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik pada segmen torakal, lumbal, atau sakral (tetapi tidak servikal) akibat dari kerusakan elemen saraf dalam kanal spinalis (sebagaimana didefinisikan oleh International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury revisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA), arefleksia, anestesia pada level dibawah lesi, shok neurogenik (hipotensi dan hipotermia tanpa takikardia kompensasi), gangguan nafas (pada lesi servikal atas), hilangnya tonus rektum dan buli-buli, retensio urin dan usus menyebabkan ileus, dan priapism. Pada fase hiperrefleksia, seluruh aktifitas refleks kembali dan meningkat tonusnya. Babinski sign (dorsifleksi dari ibu jari), refleks achilles, patellar, bulbocavernous, dan refleks lainnya akan kembali dan meningkat. Refleks miksi dan defekasi akan meningkat dan tidak dapat dikendalikan. Central Cord syndrome (CCS) atau Schneider syndrome merupakan salah satu sindrom lesi inkomplit dari medulla spinalis yang paling umum dan terjadi akibat cedera hiperekstensi pada daerah servikal dengan kompresi medulla spinalis oleh osteophyte secara anterior dan ligamentum flavum secara posterior. Sindrom ini merupakan akibat dari proses patologi yang terjadi di dalam dan sekitar kanal sentralis sehingga pada lesi awal (lesi kecil) hanya traktus spinotalamik yang mengalami penyilangan pada daerah tersebut saja yang terlibat. Seiring dengan meluasnya lesi ke lateral, traktus kortikospinal akan terlibat dan menyebabkan kelemahan motorik yang lebih bermakna di ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas bawah (tekanan sentral menyebabkan lesi lebih berat pada traktus yang lebih medial yaitu traktus kortikospinal untuk ekstremitas atas). Penurunan fungsi sensorik umumnya minimal, berbentuk shawl-like (seperti syal) atau nonspesifik
22
dan terjadi dibawah lesi. Disfungsi buli-buli yang menyebabkan retensio urin terjadi pada beberapa kasus.
Gambar Central Cord Syndrome Anterior Cord Syndrome atau Anterior Spinal Artery Syndrome merupakan sindroma klinis pada cedera medulla spinalis akibat retropulsi dari tulang atau diskus yang mengakibatkan kompresi dan mengganggu perfusi dari medulla spinalis anterior (anterior spinal artery). Hal ini menyebabkan kerusakan pada traktus kortikospinal dan spinotalamik, tetapi tidak pada traktus kolumna dorsalis (perfusi utama berasal dari posterior spinal artery). Sindrom ini umumnya terjadi setelah cedera fleksi atau kompresi (axial loading). Adanya kelemahan motorik, dan sensorik pada beberapa level dibawah level motorik tanpa adanya gangguan bermakna pada fungsi proprioseptif, raba halus, dan getaran sugestif mengarahkan diagnosis pada anterior cord syndrome.
23
Posterior cord syndrome merupakan cedera pada daerah posterior medulla spinalis yang menyebabkan hilangnya fungsi proprioseptif, getaran, dan two-point discrimination. Sindrom ini jarang terjadi pada TSCI, dan seringnya terasosiasi dengan multiple sclerosis. Adanya tanda Romberg yang positif, gaya jalan ataksik (atau stomping), dan tanda Lhermitte yang positif merupakan tanda utama dari sindrom ini. Brown-Séquard’s syndrome (BSS) terjadi karena hemisection dari medulla spinalis akibat trauma tembus (baik karena pisau maupun luka tembak) atau fraktur tulang belakang. Kondisi ini jarang terjadi, dan umumnya datang dengan presentasi berupa parase motorik ipsilateral dibawah lesi, hilangnya fungsi sensorik untuk nyeri, temperatur, dan raba pada kontralateral dari lesi, dan hilangnya fungsi proprioseptif ipsilateral dari lesi. Conus medullaris syndrome melibatkan level T11-L1. Sindrom ini terjadi akibat cedera pada thorakolumbal yang menyebabkan fragmen tulang atau diskus mengkompresi daerah medulla spinalis. Adanya disfungsi miksi dini dan saddletype anesthesia, kelemahan flaccid ekstremitas bawah yang simetris, nyeri minimal (bila dibandingkan dengan nyeri hebat pada cauda equina syndrome) membedakan sindrom ini dengan cauda equina syndrome. Spinal cord concussion mengakibatkan adanya hilangnya atau penurunan fungsi medulla spinalis secara sementara. Patofisiologi terjadinya masih belum jelas, namun dianggap menyerupai cerebral concussion. Penyembuhan terjadi dalam 6 jam sampai 48 jam. 2.6 Diagnosis 2.6.1 Evaluasi klinis Evaluasi klinis pada pasien dengan CMS membutuhkan penilaian status neurologis lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi klinis awal dilakukan observasi primer. Pada observasi primer, ABC (Airway, Breathing, Circulation) dinilai terlebih dahulu. Setelah ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka penilaian status neurologis baru dilaksanakan (Disability). Dugaan terhadap adanya CMS didapatkan melalui anamnesis yang menyeluruh baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan
24
dengan trauma pada daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya defisit motorik atau sensorik. Selain itu, CMS akut harus diduga apabila ditemukan adanya gejala otonom (retensio urin, konstipasi, ileus, hipotermia, hipotensi, bradikardia), defisit motorik (hemiplegia, tetraplegia, paraplegia), dan sensorik (hemianestesia, hemihipestesia). Penggunaan Kriteria NEXUS (the National Emergency XRadiography Utilization Study) Low-Risk Criteria atau CCR (The Canadian CSpine Rule) digunakan untuk mengidentifikasikan resiko rendah kemungkinan terjadinya
cedera
servikal
pada
pasien
trauma. NEXUS Low-Risk
Criteria meliputi, tidak adanya nyeri tekan pada daerah garis tengah posterior (posterior midline cervical-spine tenderness), tidak adanya tanda-tanda intoksikasi (alkohol), kesadaran normal (GCS 14 kebawah dianggap tidak normal), tidak ada defisit neurologis fokal (setelah pemeriksaan neurologis lengkap), dan tidak ada cedera yang nyeri dan mendistraksi (fraktur, nyeri visceral, crush injury, luka bakar, dan nyeri lainnya). Pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detil (fungsi motorik, sensorik, dan fungsi sfingter) diperlukan untuk melihat perjalanan klinis dari CMS. Praktik klinik
yang
umum
dilakukan
adalah
mendefinisikan
CMS
sesuai
dengan International standards for neurological classification of spinal cord injury yang dikeluarkan oleh ASIA. Langkah-langkah dalam penilaian status neurologis berturut-turut, antara lain menentukan level sensorik untuk sisi kanan dan kiri dengan key sensory points, menentukan level motorik dengan key motor muscles, menentukan single neurological level, menentukan apakah cedera komplit atau
inkomplit
berdasarkan
ada-tidaknya sacral
sparing, dan
terakhir
menentukan ASIA impairment scale. Level sensorik didefinisikan sebagai dermatom intak yang paling kaudal untuk fungsi nyeri dan raba kasar (memiliki nilai 2/normal/intak), fungsi sensorik pada level dibawahnya tidak normal. Nilai level sensorik pada kanan dan kiri mungkin memiliki perbedaan, sehingga nilai keduanya harus ditentukan. Level motorik ditentukan dengan mengevaluasi key muscle paling rendah dengan kekuatan minimal 3 (dalam posisi telentang), dengan fungsi motorik pada segmen diatas level tersebut memiliki kekuatan 5. Single Neurological Level ditentukan dengan level neurologik paling rostral (paling atas)
25
diantara 4 level yang ditemukan (level sensorik dan motorik kanan, level sensorik dan motorik kiri). Pemeriksaan bulbocavernous reflex (BCR) atau Osinski reflex merupakan pemeriksaan refleks yang penting untuk menentukan muncul dan selesainya periode dari shok spinal. Reflex ini melibatkan level S2-S4 medulla spinalis. Tidak adanya BCR tanpa adanya CMS pada bagian sakral mengindikasikan adanya shok spinal, dan umumnya refleks ini akan kembali pertama kali setelah periode shok spinal
berakhir.
Tidak
adanya sacral
sparing setelah
BCR
kembali
mengindikasikan bahwa cedera komplit dari CMS. Di sisi lain tidak adanya BCR pada keadaan dimana diduga tidak terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya lesi pada cedera pada conus medullaris atau cauda equina. 2.6.2 Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi dengan standar yang tinggi merupakan aspek krusial dalam mendiagnosis cedera spinal. Plain x-ray posisi lateral dan anteroposterior merupakan pemeriksaan yang fundamental untuk mendiagnosis cedera spinal, sedangkan pemeriksaan CT dan MRI dapat digunakan untuk evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan CT-Scan jauh lebih superior dibandingkan plain x-ray karena dapat melihat dari potongan sagittal, koronal, atau potongan lainnya sesuai dengan keinginan. Namun, apabila CT-Scan tidak tersedia, plain x-ray tetap memberikan gambaran penting untuk screening dari fraktur dan dislokasi. Pemeriksaan MRI yang normal memperbolehkan dilepasnya collar support dan mobilisasi dini, hal ini dikarenakan MRI servikal dapat memperlihatkan setiap cedera pada daerah servikal dari medulla spinalis, kompresi dari radiks, herniasi diskus, dan cedera pada ligamen dan jaringan lunak. Pemeriksaan foto x-ray pada daerah servikal harus melibatkan seluruh tulang dari servikal (C1-C7) dan bagian atas dari T1 untuk menghindari tidak teridentifikasinya cedera pada segmen bawah servikal, apabila masih tidak dapat melibat bagian cervico-thoracic junction (CTJ) dapat digunakan swimmer’s view atau traksi lengan. Interpretasi dari gambaran radiologi x-ray servikal dapat dilakukan dengan “ABCs”, alignment,
bones,
cartilages, dan soft
tissues.
Alignment ditelusuri menggunakan 4 garis utama seperti pada Gambar dibawah
26
(perbedaan >3,5 mm antara vertebra satu dengan yang lainnya dianggap abnormal, dibawah <5mm unilateral facet dislocation dan diatasnya bilateral), bone dilihat apakah
adanya
fraktur
adanya displacement dari facet
atau
tidak
joints dan
(tipe pelebaran
fraktur), cartilage dinilai diskus
intervertebralis,
dan soft tissues dinilai adanya pelebaran anterior dari tulang belakang (nilai normal untuk lebar jaringan prevertebral C4 keatas adalah 1/3 lebar korpus vertebra tersebut, dan C4 kebawah 100% lebarnya).
Gambar Garis Alignment dari gambaran lateral
2. 7 Tatalaksana Cedera Medulla Spinalis Kerusakan medulla spinalis akibat dari cedera primer umumnya tidak dapat diperbaiki sehingga seluruh usaha dikerahkan untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut yang belum terjadi (sekunder) dan komplikasi-komplikasi 27
dari cedera tersebut. Prinsip utama dari tatalaksana CMS, antara lain mencegah kerusakan sekunder dari CMS, reduksi dan stabilisasi dari cedera (tulang dan ligamen),
mencegah
dan
menangani
komplikasi
dari
CMS,
dan
rehabilitasi. Berdasarkan waktu penanganannya tatalaksana CMS dibagi menjadi dua fase, antara lain fase pra-rumah sakit dan fase di rumah sakit. 2.7.1
Penanganan pra-rumah sakit Prinsip penanganan awal pada umumnya serupa pada pra-rumah sakit
maupun di rumah sakit yaitu prinsip Advance Trauma Life Support yang mengutamakan Circulation
survei
primer
ABCD
(Airway,
Breathing,
dan Disability) untuk merestorasi tanda-tanda vital dan survei
sekunder. Survei sekunder pada fase ini umumnya hanya fokus terhadap gejala dan tanda klinis CMS (nyeri di leher atau punggung, nyeri tekan pada tulang belakang, paraplegia/tetraplegia,
paraesthesia,
inkontinensia,
priapism,
peningkatan
temperatur dari kulit atau eritema). Titik utama yang membedakan penanganan prarumah sakit dengan di rumah sakit adalah tindakan imobilisasi dari tulang belakang serta memindahkan pasien ke unit gawat darurat (UGD) rumah sakit. Diperkirakan sampai 25% dari CMS mengalami perburukan setelah trauma terjadi, baik ketika dalam perjalanan ke rumah sakit atau dalam penanganan awal (4%
diakibatkan
karena
tidak
adanya
tindakan
imobilisasi
yang
adekuat). Mobilisasi dengan perhatian khusus dan penggunaan teknik tertentu sangat krusial pada pasien CMS karena dapat memperburuk cedera yang dialami pasien. Posisi netral (anatomis), stabilisasi dengan rigid collar ditambah dengan karung pasir (sandbags) atau bolster di kedua sisi leher dan wajah, spinal board, penggunaan metode log-roll dan spinal lift untuk memindahkan pasien dengan minimum 4 penolong merupakan teknik-teknik untuk imobilisasi tulang belakang agar tidak mengalami cedera lebih lanjut. Tindakan imobilisasi terus dipertahankan sampai pasien terbukti tidak mengalami CMS. Dalam literatur, umumnya apabila MRI sudah menyatakan tidak ada kelainan pada daerah tulang belakang maka penggunaan collar sudah dapat dilepas.
28
Survei primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-tanda vital yang ada merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali menemukan pasien trauma, kemudian disusul dengan survei sekunder secara cepat untuk melihat gejala dan tanda klinis untuk CMS. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pasien dengan CMS dapat mengalami respiratory insufficiency akibat dari lesi CMS yang tinggi (parese nervus phrenikus) dan syok neurogenik yang menyebabkan hipotensi sehingga tatalaksana awal untuk mencegah kerusakan sekunder akibat hipoksia dan hipotensi tersebut harus dideteksi dan ditangani secara cepat dan adekuat. Intubasi harus dilakukan bila memang dibutuhkan, tidak hanya untuk memberikan oksigenasi yang adekuat, tetapi juga untuk mempertahankan patensi jalan napas. Pada pasien CMS yang tidak stabil membutuhkan dokter atau paramedis yang berpengalaman dalam teknik intubasi orotrakeal tanpa melakukan tindakan hiperekstensi dari leher karena tindakan tersebut dapat memperparah CMS dan menyebabkan kematian. Adanya penemuan dari tekanan sistolik dibawah 90 mmHg dan bradikardia (nadi dibawah 60 kali/menit) menandakan terjadinya syok neurogenik (hipovolemik bila takikardia). Syok neurogenik diatasi dengan pemasangan dua IV line large bore (16-18 G), pemberian cairan isotonis, penggunaan vasopressor (norepinefrin) dan atropine untuk meningkatkan nadi. 2.7.2 Penanganan di rumah sakit Penanganan di rumah sakit mencakup seluruh sistem yang mungkin mengalami komplikasi dari CMS, yaitu mulai dari sistem respiratorik, kardiovaskular, urologi, gastrointestinal, kulit, sampai tindakan reduksi baik nonoperatif maupun operatif. Prinsip awal saat menerima pasien di UGD rumah sakit umumnya sama, yaitu ditindaklanjuti sesuai penanganan trauma (ATLS) yaitu survei primer dan sekunder. Apabila pada saat diterima di rumah sakit belum dilakukan tindakan imobilisasi tulang belakang, maka tindakan awal yang harus dilakukan adalah tindakan imobilisasi. Hal yang berbeda dengan penanganan pra-rumah sakit adalah pada pemeriksaan neurologis harus dilakukan secara lengkap (apabila tanda-tanda vital ABC sudah stabil). Pemeriksaan neurologis yang lengkap dilakukan
29
sesuai International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury revisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA. Pada saat pemeriksaan neurologis awal dapat ditentukan level ketinggian lesi, lesi komplit atau inkomplit, dan ada-tidaknya fase shok spinal. Pemeriksaan radiologi kemudian dilakukan untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan terjadinya CMS. Berikut langkah-langkah penatalaksanaan dari CMS : 1. Lakukan tindakan segera pada cedera medulla spinalis. Tujuannya adalah mencegah kerusakan lebih lanjut pada medulla spinalis. Sebagian cedera medulla spinalis diperburuk oleh penanganan yang kurang tepat, efek hipotensi atau hipoksia pada jaringan saraf yang terganggu. a. Letakkan pasien pada alas yang keras dan datar untuk pemindahan b. Beri bantal, guling atau bantal pasir pada sisi pasien untuk mencegah a. pergeseran b. Tutupi dengan selimut untuk menghindari kehilangan panas badan. c. Pindahkan pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas penanganan kasus cedera medulla spinalis 2. Perawatan khusus. a. Komosio medula spinalis : fraktur atau dislokasi tidak stabil harus disingkirkan. Jika pemulihan sempurna pengobatan tidak diperlukan b. Kontusio/transeksi/kompresimedula spinalis. 3. Kortikosteroid: a. Metil prednisolon 30 mg/kgBB bolus intravena selama 15 menit dilanjutkan dengan 5,4 mg/kgBB/jam, 45 menit. Setelah bolus, selama 23 jam hasil optimal bila pemberian dilakukan < 8 jam onset b. Deksametason ( dosis : 16-48 mg/hari), tambahkan profilaksis stres ulkus : antasid/antagonis H2 4. Tindakan operasi diindikasikan pada : a. Reduksi terbuka pada dislokasi b. Fraktur servikal dengan lesi parsial medulla spinalis.
30
c. Cedera terbuka dengan benda asing/tulang dalam kanalis spinalis d. Lesi parsial medula spinalis dengan perdarahan yang progresif 5. Perawatan umum. a. Perawatan vesika urinaria dan fungsi defekasi b. Perawatan kulit/dekubitus c. Nutrisi yang adekuat d. Kontrol nyeri : analgetik, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), dll. 6. Fisioterapi, terapi vokasional, dan psikoterapi sangat penting terutama pada pasien yang mengalami skuele neurologis berat dan permanen.
BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien
31
Nama
: Tn. J
Alamat
: Solok
Pekerjaan
: Wiraswasta
Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Laki
Umur
: 47 tahun
Masuk RS
: 29 Mei 2017
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 29 Mei 2017 jam 20.00 WIB. 3.2. Keluhan Utama
:
Kedua kaki tidak dapat digerakan sejak kurang lebih 3 jam SMRS. 3.3.Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pasien mengeluh kedua kakinya tidak dapat digerakan seluruhnya secara tiba- tiba setelah pasien jatuh dari pohon dalam keadaan terduduk kurang lebih 3 jam SMRS. Kelumpuhan hanya dirasakan pada kedua kaki pasien, sedangkan tangan atau bagian tubuh pasien yang lain masih dapat digerakan. Sakit kepala, kelainan penglihatan, atau pendengaran tidak dirasakan pasien. Pasien mengeluh BAB dan BAK tidak dapat dikontrol. Pasien masih dapat berkomunikasi dengan baik dan ingat kejadian saat terjatuh dari pohon. Sebelumnya pasien dapat berjalan dengan normal tanpa gangguan. Setelah jatuh dari pohon, pasien menyangkal pingsan, kejang, mual, atau muntah. Selain tidak dapat digerakan, pasien mengeluh kedua tungkainya pun mati rasa dari pinggang hingga telapak kaki. Keluhan tersebut dirasakan bersamaan dengan kelumpuhan pada kedua kaki. Sebelum masuk rumah sakit pasien belum mengkonsumsi obat untuk menghilangkan gejalanya.
3.4.Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma sebelumya disangkal
32
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat stroke disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
Riwayat merokok (+)
Riwayat kejang disangkal
Riwayat operasi pada daerah punggung disangkal
3.5.Riwayat Penyakit Keluarga
:
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat sakit kencing manis disangkal
Riwayat stroke disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
Riwayat kejang disangkal
3.6.Riwayat Pribadi dan Sosial
:
Pasien adalah seorang Laki-laki berumur 47 tahun.bekerja sebagai wiraswasta, memiliki seorang istri dan 2 orang anak. Pasien mempunyai kebiasaan merokok 1 bungkus sehari dan riwayat minum kopi segelas sehari. 3.7 Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum
: Sedang
Kesadaran
: Compos Mentis Kooperatif
Tekanan darah
: 140/100 mmHg
Nadi
: 80 x/menit, reguler
Nafas
: 20 x/menit
Suhu
: 36,6o C
Status Generalisata Mata
: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher
: tidak teraba pembesaran KGB, JVP 5-2 cm H2O
Thorak 33
Paru Inspeksi
: Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi
: fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi
: sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi
: suara nafas normal vesikular, ronki dan wheezing di kedua lapangan paru tidak ada
Jantung Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: ictus cordis tidak teraba
Perkusi
: batas jantung dalam batas normal
Auskultasi
: bunyi jantung 1 dan 2 positif, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen Inspeksi
: simetris, perut pasien tidak membuncit, tidak ada pembesaran vena/venektasi
Palpasi
: tidak ada nyeri tekan, tidak ada nyeri lepas, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi
: timpani
Auskultasi
: ada bising usus normal
Pemeriksaan Neurologis 1. Glassgow Coma Scale
: E4M6V5 = 15
2. Tanda Rangsangan Meningeal : a. Kaku Kuduk
: tidak ada
b. Brudzinki I
: tidak ada
c. Brudsinki II
: tidak ada
d. Tanda kernig
: tidak ada
3. Tanda Peningkatan TIK
:
a. Pupil
: isokhor, diameter 3mm / 3mm
b. Refleks cahaya
: +/+
c. Muntah Proyektil
: Tidak ada
4. Pemeriksaan Nervus Cranialis
34
a. N I
: Nervus Olfactori
Penciuman
Kanan
Kiri
Subjektif
Normal
Normal
Objektif dengan
Normal
Normal
Penglihatan
Kanan
Kiri
Tajam penglihatan
Normal
Normal
Lapang pandang
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Melihat warna
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Funduskopi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
bahan
b. N II
: Nervus Opticus
c. N III
: Nervus okulomotorius Kanan
Kiri
Bola mata
Tenang
Tenang
Ptosis
Tidak ada
Tidak ada
Gerakan bulbus
Bebas ke segala Bebas ke segala arah
arah
Strabismus
Tidak ada
Tidak ada
Nistagmus
Tidak ada
Tidak ada
Ekso/endoftalmus
Tidak ada
Tidak ada
Pupil
Isokor
Isokor
-
Bentuk
Bulat
Bulat
-
Reflek cahaya
Ada
Ada
-
Reflek
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Reflek konvergen Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
akomodasi -
d. N IV : Nervus Troklearis
35
Kanan Gerakan
mata Positif
Kiri Positif
kebawah Sikap bulbus
Tenang
Tenang
Diplopia
Tidak ada
Tidak ada
e. N V
: Nervus Trigeminus
Motorik Membuka mulut
Normal
Menggerakkan rahang
Normal
Menggigit
Normal
Mengunyah
Normal
Sensorik Divisi optalmika
Tidak dilakukan
-
Reflek kornea
Tidak dilakukan
-
Sensibilitas
Tidak dilakukan
Divisi maksila
Tidak dilakukan
-
Reflek masseter
Tidak dilakukan
-
Sensibilitas
Tidak dilakukan
Divisi mandibular
Tidak dilakukan
-
Tidak dilakukan
Sensibilitas
f. N VI : Nervus abdusen Kanan Gerakan mata lateral Positif
Kiri Positif
Sikap bulbus
Dalam batas normal Dalam batas normal
Diplopia
Tidak ada
Tidak ada
g. N VII : Nervus Facialis Kanan
36
Kiri
Raut wajah
Simetris, masked faced
Sekresi air mata
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Fisura palpebra
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Menggerakkan dahi Menutup mata
Normal Normal
Normal
Mencibir atau bersiul
Normal
Memperlihatkan gigi
Normal
Sensasi 2/3 lidah Hiperakustik
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
h. N VIII : Nervus Vestibulokoklearis Kanan
Kiri
Suara berbisik
Positif
Positif
Detik arloji
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Renne tes
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Weber tes
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Swabach tes -
Memanjang
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-
Memendek
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Nistagmus -
Pendular
Negatif
Negatif
-
Vertikal
Negatif
Negatif
-
Siklikal
Negatif
Negatif
posisi Negatif
Negatif
Pengaruh kepala
i. N IX : Nervus Glossofaringeal
37
Sensasi
lidah
1/3 Tidak dilakukan
Reflek muntah/
Tidak dilakukan
belakang
gangguan reflek
j. N X
: Nervus Vagus
Arcus faring
Simetris
Uvula
Ditengah
Menelan
Normal
Artikulasi
Normal
Suara
Normal
k. N XI : Nervus Assesorius Menoleh kekanan
Normal
Menoleh kekiri
Normal
Mengangkat
bahu Normal
kanan Mengangkat bahu kiri
Normal
l. N XII : Nervus Hipoglosus Kanan Kedudukan
lidah Normal
dalam Kedudukan
lidah Normal
dijulurkan Tremor
Negatif
Fasikulasi
Negatif
Atrofi
Negatif
5. Pemeriksaan koordinasi
38
Cara berjalan
Normal
Disatria
Tidak ada
Romberg test
Tidak dilakukan Disfagia
Tidak ada
Ataksia
Tidak dilakukan Supinasi
Tidak dilakukan
pronasi Rebound
Tidak dilakukan Tes jari hidung
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Tes hidung jari
Tidak dilakukan
phenoment Tes tumit lutut
6. Pemeriksaaan fungsi motorik Badan
Berdiri
Respirasi
Normal
Normal
Duduk
Normal
normal
dan Normal
berjalan
Ekstremitas
Tremor
Tidak Ada
Atetosis
Tidak ada
Mioklonik
Tidak ada
Khorea
Tidak ada
Superior
Inferior
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Gerakan
Normal
Normal
Normal
Normal
Kekuatan
5555
5555
1111
1111
Trofi
Eutrofi
Eutrofi
Eutrofi
Eutrofi
Tonus
Normal
Normal
Normal
Normal
39
7. Pemeriksaan Refleks: Refleks fisiologis : Bisep :
++
APR : -
Trisep :
++
KPR : -
Refleks patologis :
Babinsky
(-/-)
Gordon(-/-)
Chaddock (-/-)
Schaffer(-/-)
Oppenheim (-/-)
Hoffman trommer (-/)
8. Pemeriksaan sensibilitas Sensibilitas taktil
Tidak dilakukan
Sensibilitas nyeri
Tidak dilakukan
Sensibilitas termis
Tidak dilakukan
Pengenalan 2 titik
Tidak dilakukan
Pengenalan rabaan
Tidak dilakukan
Fungsi Luhur Kesadaran Reaksi Bicara
Normal
Tanda Demensia
Tidak ada
Refleks glabela
Tidak dilakukan
Fungsi
Tidak
Refleks Snout
intelektual
dilakukan
Reaksi emosi
Tidak
Refleks
Tidak
dilakukan
menegang
dilakukan
Refleks
Tidak
palmomental
dilakukan
dilakukan
Fungsi otonom a. Miksi
: Normal
b. Defekasi
: Normal
c. Sekresi keringat
: Normal
Tidak
40
3.8 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium : Darah Rutin Hemoglobin
: 13,1
RDW
: 12
Leukosit
: 9,0
MPV
: 7,0
Eritrosit
: 5,0
Limfosit
:2
Hematocrit
: 40,3
Monosit
: 0,4
Trombosit
: 300
Granulosit
: 15
MCV
: 29
PCT
: 0,3
MCH
: 30
PDW
: 13,5
MCHC
: 32
Kimia Klinik GDS
: 105
SGPT
: 37
GDP
: 99
SGOT
: 40
GD 2 jam PP
: 120
Cholesterol
: 190
Ureum
: 19,5
HDL
: 45
Kreatinin
: 0,81
LDL
: 130
Asam urat
: 5,5
Trigliserid
: 90
Rontgen lumbosacral : X-FOTO VERTEBRAE LUMBO SACRAL AP/LATERAL
Aligment relative baik
Tak tampak osteofit
Tampak kompresi pada vertebrae torakalis 11 dan lumbal 2
Tak tampak listesis
Tak tampak penyempitan diskus intervertebralis
KESAN :
KOMPRESI PADA VERTEBRAE TORAKALIS 11 DAN LUMBAL 2
41
3.9 Diagnosis Diagnosis klinis
: Paraparastesi + paraplegia
Diagnosis topis
: Medula spinalis
Diagnosis etiologi
: Trauma medula spinalis
Diagnosa sekunder
: Hipertensi stage 1
3.10 Penatalaksanaan: 1. Non medikamentosa o
Edukasi kepada pasien tentang penyakit dan pengobatan yang diberikan.
o
Bed rest total
o
Fisioterapi
o
Pasang DC
2. Medikamentosa
Pasang O2
Infus RL 20 tpm
Injeksi metilprednisolon 30 mg/KgBB dlm 15 menit dilanjutkan 5,4 mg/KgBB/ jam selama 23 jam
Injeksi ranitidin 2 x 1
Injeksi piracetam 2 x 3 gram
Injeksi meticobalamin 1 x 500 gram
3.11 Prognosa a. Quo at vitam
: dubia ad malam
b. Quo at fungtional
: dubia ad malam
c. Quo at sanationam
: dubia ad malam
42
BAB IV ANALISIS KASUS Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berumur 47 tahun dengan diagnosis klinik Paraparastesi, paraplegia. Diagnosa ditegakan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang kemudian dibandingkan dengan literatur. Dari anamnesa tersebut didapatkan seorang pasien laki- laki usia 39 tahun mengalami kelumpuhan dan mati rasa pada kedua kakinya, kesulitan untuk mengontrol BAB dan BAK. Keluhan kemungkinan disebabkan oleh adanya cedera pada medulla spinalis yang dialami kurang lebih 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pada cedera medulla spinalis dapat didapatkan keluhan berupa kelemahan, kelumpuhan, kesemutan, kehilangan refleks pada bagian tubuh yang persarafannya terganggu akibat adanya lesi pada medulla spinalis pada segmen tersebut. Cedera medulla spinalis dapat dibagi menjadi dua berdasarkan etiologinya yaitu cedera medulla spinalis traumatik dan non traumatik. Pada pasien ini didapatkan riwayat merokok (ada), dan riwayat minum kopi(ada). Ini juga dapat dipikirkan sebagai faktor –faktor pencetus timbulnya hipertensi. Berdasarakan pada data- data pemeriksaan pada pasien, maka didapatkan keluhan kelumpuhan dan mati rasa pada kedua kaki, dan tidak bisa mengontrol BAB dan BAK diawali dengan adanya trauma medulla spinalis. Trauma medulla spinalis pada kasus ini diakibatkan oleh adanya kompresi pada tulang vertebrae thorakalis 11 dan lumbal 2. Kompresi pada kasus ini menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis yang jenisnya adalah transeksi medulla spinalis, karena adanya gejala yang sesuai dengan lesi jenis ini yaitu hilangnya kemampuan motorik dibawah tingkat lesi, hilangnya sensasi sensorik dibawah tingkat lesi, dan hilangnya semua refleks dibawah tingkat lesi. Pada kasus ini karena lesi berada pada segmen vertebrae thorakalis 11 dan vertebrae lumbal 2, maka terjadi gangguan pada fungsi neurologis dibawah tingkat lesinya yaitu kelumpuhan, hilangnya fungsi sensorik pada kedua kaki, hilangnya refleks, dan kontrol untuk BAB dan BAK.
43
Terapi umum yang diberikan kepada pasien yaitu edukasi tentang perjalanan penyakit dan pengobatan yang diberikan serta fisioterapi Terapi khusus antara lain : Injeksi metilprednisolon 30 mg/KgBB dlm 15 menit dilanjutkan 5,4 mg/KgBB/jam selama 23 jam, Injeksi ranitidin 2 x 1, Injeksi piracetam 2 x 3 gram, Injeksi meticobalamin 1 x 500 gram.
44
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Cedera medura spinalis (CMS) sekunder akibat trauma tulang belakang merupakan salah satu cedera hebat yang memberikan siknifikansi besar dalam kehidupan manusia, yakni dalam hal tingkat morbiditas dan mortalitas, perubahan aktivitas sehari-hari, dan biaya yang harus ditanggung oleh pasien, keluarga, dan masyarakat. Pengetahuan akan struktur neuroanatomi medulla spinalis adalah kebutuhan mendasar yang diperlukan untuk mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan oleh cedera medulla spinalis. Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30 tahun) dengan perbandingan rasio pria : wanita yaitu 4:1. Etiologi CMS antara lain kecelakaan lalu lintas (39,2%), jatuh (28,3%), kekerasan (luka tembak, 14,6%), olah raga (terutama diving, 8,2%), akibat lainnya dari mencakup 9,7%. Lokasi SCI berturut-turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal (level C5C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis. Mekanisme cedera, antara lain cedera fleksi, hiperekstensi, dan kompresi. Diagnosis dari CMS dilakukan secara pemeriksaan klinis dan evaluasi radiologis. Penanganan CMS sesuai dengan prinsip ATLS dan meliputi penanganan pra-rumah sakit dan di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
45
1. Kenneth W.Linsay : Spinal cord compresion Neurology and neurosurgery Ilustrated, department of neurosurgery Southern General Hospital,Glosgow 377 388. 2. Hamid. A. Penatalaksanaan Kedaruratan medulla Spinal Gya Baru, Jakareta 2004 :83-93 3. Marjono.M : Neurologik klinis dasar, Mekanisme Proses Imunologik di Susunan Saraf Dian Ralcyat. Jakarta. 1997:346-347 dan Petofisiologi susunan Neuromuskular hal : 27-3 7. 4. Mark Mumenthaler,M.D, Neurologic Diffential Diagnosis, Thieme Siratton Inc, New York 1985: 12-14
46