PRESENTASI KASUS RHINITIS ALERGI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu THT Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh : Faizal Muttaqin 20184010068
Diajukan kepada : dr. Bakti Setio Gustomo, Sp.THT-KL
BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2019
i
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS RHINITIS ALERGI
Telah dipresentasikan pada tanggal : 3 Januari 2019
Oleh : Faizal Muttaqin 20184010068
Disetujui oleh : Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu THT RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo
dr. Bakti Setio Gustomo, Sp.THT-KL
ii
KATA PENGANTAR Assalamualaikum, Wr.Wb Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT.
Karena atas karunia dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul : “Rhinitis Alergi” Penulis menyadari sepenuhnya keterbatasan yang dimiliki, tanpa kerja keras, dan bantuan dari semua pihak serta pertolongan Allah SWT, maka presentasi kasus ini tidak dapat terselesai dengan baik. Pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan terimakasih: 1. dr. Bakti Setio Gustomo, Sp.THT-KL, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan di RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang telah berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai selesainya penulisan presentasi kasus ini. 2. Seluruh tenaga medis dan karyawan di poli THT RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang telah berkenan membantu dalam proses berjalannya Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan. 3. Keluarga dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan. Mengingat penyusunan presentasi kasus ini masih jauh dari kata sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi
iii
masukan berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan presentasi kasus selanjutnya. Wassalamualaikum, Wr.Wb Wonosobo, 3 Januari 2019
Penulis
iv
DAFTAR ISI PRESENTASI KASUS .......................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... v BAB I ...................................................................................................................... 1 LAPORAN KASUS ............................................................................................... 1 A. IDENTITAS PASIEN .............................................................................. 1 B. ANAMNESIS ........................................................................................... 1 C. PEMERIKSAAN FISIK ........................................................................... 3 D. WORKING DIAGNOSIS ........................................................................ 5 E. DIAGNOSA BANDING .......................................................................... 5 F.
PENATALAKSANAAN ......................................................................... 5
G. PROGNOSIS ............................................................................................ 5 BAB II .................................................................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 6 A. DEFINISI ................................................................................................. 6 B. ANATOMI ............................................................................................... 6 C. FISIOLOGI ............................................................................................ 12 D. EPIDEMIOLOGI ................................................................................... 15 E. ETIOLOGI ............................................................................................. 15 F.
PATOFISIOLOGI .................................................................................. 16
G. KLASIFIKASI RHINITIS ALERGI ...................................................... 18 H. PENEGAKAN DIAGNOSIS ................................................................. 19
v
I.
TATALAKSANA .................................................................................. 20
BAB III ................................................................................................................. 26 KESIMPULAN .................................................................................................... 26 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 27
vi
BAB I LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN Nama
: Ny. S
Umur
: 59 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Wadaslintang, Wonosobo
Agama
: Islam
Status
: Menikah
B. ANAMNESIS 1.
Keluhan Utama Ingus bening encer dan sering bersin-bersin.
2.
Riwayat Penyakit Sekarang Seorang pasien wanita usia 59 tahun datang ke poli THT dengan keluhan ingus bening encer sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan sering bersin-bersin ketika terkena debu atau asap rokok, serta banyak keluar ingus yang encer, gatal di tenggorokan dan telinga. Keluhan batuk (-), pilek (+), mimisan (-), hidung tersumbat (-), gangguan penciuman (-), nyeri pada daerah wajah (-).
3.
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi disangkal
1
Riwayat diabetes mellitus disangkal Riwayat asma (+) Riwayat alergi obat atau makanan disangkal Riwayat sering batuk dan pilek (+) Riwayat keluar darah dari hidung atau mimisan disangkal Riwayat trauma disangkal 4.
Riwayat Penyakit Keluarga Riawayat penyakit kronis disangkal Riwayat tumor dan keganasan di keluarga disangkal
5.
Anamnesis Sistemik -
Sistem serebrospinal : pasien dalam kesadaan sadar, pusing (-), nyeri kepala (-)
-
Sistem respirasi : sesak (-), pilek (+), hidung terasa keluar ingus encer, batuk (-)
-
Sistem CV : dada tidak berdebar, nyeri dada (-)
-
Sistem digestif : BAB lancar, lendir (-), darah (-), mual (-), muntah (-)
-
Sistem Urogenital : BAK lancar kuning jernih, nyeri (-)
-
Sistem muskuloskeletal : Nyeri otot dan sendi (-)
6. Resume Anamnesa Seorang wanita, 59 tahun mengeluh hidung keluar ingus bening encer dan sering bersin-bersin ketika terkena debu dan asap rokok sejak
2
kurang lebih 10 tahun yang lalu disertai gatal pada tenggorokan dan telinga.
C. PEMERIKSAAN FISIK 1.
KEADAAN UMUM & TANDA VITAL Keadaan Umum
: baik
Kesadaran
: compos mentis (E4V5M6)
Vital Sign Tekanan Darah
: 138/87 mmHg
Nadi
: 93 x/menit
Respirasi
: 21 x/menit
Temperatur
: 36,5 °C
SpO2
: 99%
2. STATUS GENERALISATA KEPALA a.
Bentuk : mesocephal simetris
b. Muka : tidak terdapat luka ataupun jejas, nyeri pada pipi kanan dan kiri (-) c.
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokhor (+/+)
d. Hidung : tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak ada deformitas pada tulang hidung, sekret (+), darah (-) CND : CN lapang, massa (-), SD (-), concha inferior hipertrofi (+) CNS : CN lapang, massa (-), SD (-), concha inferior hipertrofi (+)
3
e.
Telinga AD : MAE lapang, MT intak, serumen minimal AS : MAE lapang, MT intak, serumen minimal
f.
Mulut dan Mandibula : Bibir simetris, tidak tampak pucat dan kering, tonsil tidak edem dan tidak hiperemis, gigi lengkap tidak ada caries.
LEHER Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP tidak meningkat THORAX Pulmo Inspeksi : Pergerakan dada simetris Palpasi
: Vocal fremitus (+) simetris
Perkusi
: Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+ Cor Inspeksi
: ictus cordis tak terlihat
Palpasi
: ictus cordis tak teraba
Auskultasi : SI-SII reguler. Tidak ada suara tambahan. ABDOMEN Inspeksi : datar, jejas (-) Auskultasi : bising usus (+) dbn Palpasi
: supel, nyeri tekan (-)
Perkusi
: timpani
4
EKSTREMITAS Sianosis (-) & CRT <2 detik pada seluruh ekstremitas Tangan
: akral hangat +/+, oedem (-)
Kaki
: akral hangat +/+, oedem (-)
D. WORKING DIAGNOSIS Rhinitis alergi
E. DIAGNOSA BANDING Sinusitis Rhinitis vasomotor Rhinitis medikamentosa
F. PENATALAKSANAAN -
Cefixime
-
Oxymetazoline HCl
-
Methyl prednisolone
G. PROGNOSIS Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad santionam
: dubia ad bonam
Ad functionam
: dubia ad bonam
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Definisi rhinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. B. ANATOMI Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah: 1.
Pangkal hidung (bridge)
2.
Dorsum nasi
3.
Puncak hidung
4.
Ala nasi
5.
Kolumela
6.
Lubang hidung (nares anterior)
6
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh : -
Superior : os frontal, os nasal, os maksila
-
Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan kartilago alaris minor Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior
menjadi fleksibel. Perdarahan : 1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna). 2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna, cabang dari A. Karotis interna) 3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis) Persarafan : 1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis) 2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
7
Kavum Nasi Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas – batas kavum nasi : Posterior
: berhubungan dengan nasofaring
Atap
: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan sebagian os vomer
Lantai
: merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
Medial
: septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela.
Lateral
: dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus
8
sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini. Perdarahan : Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama – sama arteri. Persarafan : 1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N. Etmoidalis anterior 2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus. Mukosa Hidung Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
9
permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang paling sulit didiskripsikan oleh karena bentuknya yang sangat bervariasi pada setiap individu, ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maxilla, sinus etmoid, sinus frontal dan sinus sfenoid. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi dan menghasilkan mukus dan silia, sekret disalurkan kedalam rongga hidung melalui ostium masing-masing
10
sinus. Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok anterior yang terdiri sinus frontalis, sinus maksila dan sinus etmoid anterior, muara sinus. kelompok ini bermuara di meatus media, dekat infundibulum, sedangkan kelompok posterior terdiri dari sinus etmoid posterior dan sphenoid, ostiumnya terletak di meatus superior.
Sinus maksila atau antrum Highmore adalah suatu rongga pneumatic berbentuk piramid yang tak teratur dengan dasarnya menghadap ke fosanasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Sinus ini merupakan sinus yang terbesar diantara sinus paranasal. Pengukuran volume sinus maksila dapat di lakukan dengan dua cara, yaitu rontgenologik dan manometrik. Pada saat lahir volume sinus maksila dan sekitarnya berukuran 6 – 8 ml dan penuh dengan cairan, sedangkan volume sinus maksila orang dewasa kira -kira 15 ml. Tidak ada perbedaan kapasitas antara laki-laki dan perempuan.
Ukuran kedua sinus maksila kanan dan kiri tidak selalu sama, tetapi diantara sinus paranasal yang lain, sinus maksila yang paling simetris antara kanan dan kiri serta paling sedikit mengalami variasi dalam perkembangan. Besar kecilnya rongga sinus maksila terutama tergantung pada tebal tipisnya dinding sinus. Ukuran rata-rata pada bayi baru lahir 7 - 8 x 4 – 6 mm dan untuk 15 tahun 31 – 32 x 18 – 20 x 19 – 20 mm serta pada orang dewasa diperoleh ukuran sumbu anteroposteror 34 mm, tinggi 33 mm dan lebar 23 mm.
11
Sinus mempunyai beberapa dinding, anterior dibentuk oleh permukaan maksila os maksila, yang disebut fosa kanina. Dinding posterior dibentuk oleh permukaan infratemporal maksila. Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral rongga hidung. Dinding superior dibentuk oleh dasar orbita dan dinding inferior oleh prosesus alveolaris dan palatum.
Kompleks Osteomeatal (KOM)
Kompleks osteomeatal (KOM) daerah yang rumit dan sempit pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muaramuara saluran dari sinus maksila, sinus etmoid anterior. Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan penting dalam terjadinya sinusitis. Pada potongan koronal sinus paranasal terlihat gambaran suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan astiumnya dan ostium sinus maksila.
C. FISIOLOGI 1. Sebagai jalan nafas Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama
12
seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. 2. Pengatur kondisi udara (air conditioning) Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C. 3. Sebagai penyaring dan pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh : Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi Silia Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
13
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime. 4. Indra penghidu Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. 5. Resonansi suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. 6. Proses bicara Proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. 7. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas. (Sherwood, 2001)
14
D. EPIDEMIOLOGI Prevalensi rinitis alergi terus meningkat sepanjang 50 tahun terakhir. Perkiraan yang tepat tentang prevalensi rinitis alergi agak sulit yaitu berkisar 4-40%. Penyebab belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya berkaitan dengan meningkatnya polusi udara, populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah atau kantor, dan lain-lain (Ikawati, 2011). Lebih dari 500 juta orang di dunia menderita rinitis alergi, dengan 50% penderitanya adalah remaja. Usia ratarata terjadinya rinitis alergi adalah antara usia 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang pada usia 20 tahun, namun di Amerika Serikat rinitis alergi biasanya dimulai pada usia di bawah 20 tahun (Pinto and Jeswani, 2010). E. ETIOLOGI Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams dkk, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa allergen sekaligus. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Allergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik di antaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker dkk, 1994).
15
F. PATOFISIOLOGI a. Sensitisasi Respon imun dalam alergi diawali dengan proses sensitisasi di mana ketika suatu allergen terhirup, maka Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel langerhans pada epitelium yang melapisi saluran paru-paru dan hidung, akan memproses dan mengekpresikan alergen tersebut pada permukaan sel. Allergen tersebut kemudian akan dipresentasikan kepada sel lain yang terlibat dalam respon imun, khususnya sel t-limfosit. Melalui beberapa
interaksi
sel
spesifik
kemudian
sel
b-limfosit
akan
bertransformasi menjadi antibody secretory cell, yaitu sel plasma. Pada respon alergi, sel plasma tersebut memproduksi antibodi IgE yang seperti isotip imunoglobulin lainnya, mampu berikatan dengan allergen spesifik melalui sisi Fab-nya. Ketika IgE sudah terbentuk dan memasuki sirkulasi, ia akan berikatan melalui sisi Fc-nya dengan reseptor afinitas tinggi di sel mast, sementara sisi reseptornya yang bersifat spesifik terhadap allergen akan siap untuk berinteraksi dengan allergen pada paparan berikutnya. Sel lain yang telah diketahui mampu mengekspresikan reseptor afinitas tinggi kepada IgE antara lain adalah basofil, sel langerhans, dan monosit yang teraktivasi. Produksi antibody IgE yang bersifat allergen-spesific inilah yang menimbulkan respon imun yang disebut sensitisasi (World Allergy Organization, 2003).
16
b. Reaksi alergi fase cepat Merupakan reaksi cepat yang terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin, triptase, dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2), dan bradikinin. Mediatormediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari anastomosis arteri yang menyebabkan terjadi edema, berkumpulnya darah pada karvenous sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. c. Reaksi alergi fase lambat Reaksi alergi fase lambat terjadi 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel post-kapiler yang menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM) di mana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel pada dinding endotel. Faktor kemotaktik seperti interleukin-5 (IL-5) menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast, limfosit, neutrofil, dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic
17
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan hiperresponsivitas hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung. G. KLASIFIKASI RHINITIS ALERGI a. Rinitis alergi berdasarkan waktunya digolongkan menjadi tiga, yaitu: 1) Seasonal (hay fever) Terjadi sebagai respon terhadap allergen spesifik seperti pollen, rerumputan, dan alang-alang) pada waktu yang dapat terprediksi tiap tahunnya (musim semi dan/atau gugur) dan umumnya memicu simptom-simptom akut lebih banyak. 2) Perrenial (intermittent or persistent) Dapat terjadi kapanpun sepanjang tahun, sebagai respon terhadap allergen non-musiman seperti dust mites, bulu hewan, jamur, dan biasanya menimbulkan simptom yang lebih kronis. b. Klasifikasi menurut WHO ARIA tahun 2001 berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: 1) Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari per minggu atau kurang dari 4 minggu. 2) Persisten (menetap)
: bila gejala lebih dari 4 hari per
minggu dan lebih dari 4 minggu.
18
c. Derajat berat ringannya, yaitu: 1) Ringan
: bila tidak ditemukan gangguan tidur, aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu. 2) Sedang-berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan yang disebut diatas. H. PENEGAKAN DIAGNOSIS a. Anamnesis Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Bersin ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluarnya ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, kadang-kadang disertai banyak air mata yang keluar (lakrimasi). Seringkali gejala yang timbul tidak legkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang dikeluhkan pasien. b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior dapat ditemukan mukosa
hidung yang bervariasi dari tampak normal sampai edema, basah, berwarna
pucat
atau keabuan disertai rinore encer dengan jumlah
bervariasi. Meskipun tidak selalu ditemukan,
tetapi
merupakan
gejala/tanda yang khas pada rinitis alergi ini adalah allergic shiner, allergic solute, dan allergic crease.
19
Allergic shiner adalah
warna kehitaman
pada daerah
infra
orbita yang terjadi karena adanya stasis dari vena yang mengakibatkan edema mukosa hidung dan sinus. Allergic solute adalah sering mengusap hidung
dengan
punggung
tangan
ke atas karena gatal, sedangkan
allergic crease adalah timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagiasepertiga bawah, karena kebiasaan mengusap hidung. c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan meliputi
penunjang
untuk
mendiagnosis
rinitis
alergi
pemeriksaan eosinofil sekret hidung, jumlah eosinofil dalam
darah tepi, kadar Ig E spesifik dan tes kulit. Diantara pemeriksaan tersebut yang paling sering digunakan adalah tes kulit, karena sederhana (mudah pelaksanaannya), murah, cepat, aman, cukup sensitif dan spesifik. Dasar tes kulit adalah menguji ekstrak alergen yang terikat pada sel mast di jaringan kulit. Teknik tes kulit ada 2 macam yaitu tes epidermal dan tes intra dermal. Diantara kedua tes tersebut yang sering dilakukan adalah yang epidermal yaitu skin prick test. I.
TATALAKSANA 1) Terapi non-farmakologi Salah satu terapi alergi adalah pencegahan terhadap paparan allergen. Namun, pencegahan alergi tidak mudah, apalagi jika allergen penyebabnya belum bisa dipastikan. Rumah harus kerap dibersihkan, tidak boleh memelihara binatang, sebaiknya tidak menggunakan bantal atau kasur kapuk (diganti dengan busa atau springbed) dan sebaiknya
20
tidak menggunakan karpet. Jika memungkinkan, perlu digunakan penyaring udara berupa Air Conditioner (AC) atau High Efficiency Particulate Air (HEPA) filter. Hindarkan berada dekat bunga-bunga pada musim penyerbukan, dan gunakan masker pada saat berkebun (Ikawati, 2011). 2) Terapi farmakologi Tujuan terapi farmakologi untuk rinitis alergi adalah mencegah dan mengurangi atau meminimalkan gejala. Obat-obat yang digunakan antara lain adalah: antihistamin, dekongestan nasal, kortikosteroid nasal, antikolinergik dan golongan kromolin (Ikawati, 2011). Obat-obat yang digunakan a. Oral antihistamin (H1-blocker) H1-blocker atau H1-antihistamin adalah senyawa yang memblokir histamin pada reseptor H1. H1-antihistamin oral efektif mengatasi gejala- gejala rinitis yang diperantarai oleh histamin, seperti rinore, bersin, hidung gatal dan gejala-gejala pada mata, tapi kurang efektif untuk mengatasi hidung tersumbat. Obat golongan ini terbukti aman untuk anak-anak. Oral antihistamin generasi pertama menimbulkan efek samping yang signifikan akibat sifat sedatif dan antikolinergiknya (ARIA, 2008). Contoh obat golongan ini antara lain adalah cetirizin, loratadin, dan fexofenadin. b. Lokal H1 antihistamin (intranasal, intraokular)
21
Intranasal
H1-antihistamin
beraksi
efektif
di
tempatnya
diadministrasikan dalam mengatasi gejala hidung gatal, kemerahan, tersumbat dan bersin-bersin. Intraokular H1-antihistamin efektif dalam mengurangi gejala alergi di mata. Onset aksi obat golongan ini adalah sekitar 20 menit, dengan aturan pakai dua kali sehari (ARIA, 2001). Contoh obat golongan ini adalah azelastin, levocabastin dan olopatadin. c. Lokal glukokortikosteroid Intranasal glukokortikosteroid adalah obat dengan efikasi paling baik dalam penanganan rinitis alergi maupun non-alergi. Contoh obat golongan ini adalah metilprednisolon, flutikason, mometason, dan lain
sebagainya.
glukokortikosteroid
Keuntungan untuk
menggunakan
penanganan
rinitis
intranasal
alergi
adalah
konsentrasi obat yang tinggi pada nasal mukosa dapat tercapai tanpa adanya efek sistemik yang tidak diinginkan. Obat golongan ini efektif memperbaiki semua gejala rinitis alergi maupun gejala-gejala pada mata. Bila gejala hidung tersumbat dan gejala-gejala lain sering diderita pasien, maka obat golongan ini adalah first line therapy yang direkomendasikan di atas obat golongan lain. Melihat dari mekanisme aksinya, efek obat ini baru muncul 7-8 jam setelah pemakaian, namun efikasi maksimum kemungkinan baru tercapai dalam 2 minggu (Bousquet dkk., 2001). d. Oral/intramuskular glukokortikosteroid
22
Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan tidak merespon terhadap obat-obatan lain atau intoleran terhadap sediaan intranasal, perlu ditangani dengan glukokortikosteroid sistemik (misal: prednisolon) jangka pendek. Glukokortikosteroid dapat diberikan dalam sediaan oral ataupun depot-injection (misal: metilprednisolon). Pemberian jangka panjang yaitu selama beberapa minggu, dapat menimbulkan efek samping sistemik yang bermakna. Penggunaan intramuskular glukokortikosteroid tidak disarankan (Bousquet dkk, 2001). e. Lokal kromon (intranasal, intraokular) Obat golongan ini dikenal sebagai penstabil sel mast, karena bekerja dengan mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan mediator, termasuk histamin. Contoh obat golongan ini adalah kromoglikat dan nedokromil. Efek sampingnya yang paling sering adalah iritasi lokal yaitu bersin dan rasa perih pada membran mukosa hidung (Ikawati, 2011). f. Dekongestan Obat golongan ini merupakan golongan simpatomimetik yang beraksi pada reseptor α-adrenergik pada hidung yang menyebabkan vasokonstriksi,
menciutkan mukosa
yang membengkak, dan
memperbaiki pernapasan. Contoh obat golongan ini antara lain adalah pseudoefedrin dan oxymetazolin (intranasal). Penggunaan agen topikal yang lama dapat menyebabkan rinitis medicamentosa,
23
oleh karena itu durasi terapi dengan dekongestan topikal sebaiknya dibatasi 3-5 hari. Sedangkan dekongestan oral secara umum tidak direkomendasikan, karena efek klinisnya masih meragukan dan banyak memiliki efek samping (Ikawati, 2011). g. Intranasal antikolinergik Obat golongan ini beraksi dengan memblokir saraf kolinergik, efektif untuk pasien rinitis alergi maupun non-alergi, yang menderita gejala rinore. Efek samping topikal jarang ditemui, dan intensitasnya bersifat dose-dependent (Bousquet dkk, 2001). Contoh obat golongan ini adalah ipratropium. h. Antileukotrien Obat ini bekerja dengan memblokir reseptor leukotrien. Contoh obat golongan ini adalah montelukast, pranlukast dan zafirlukast. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa obat ini lebih efektif ketimbang placebo dan setara dengan oral H1-antihistamin, tetapi kurang unggul dibanding intranasal glukokortikosteroid dalam menangani rinitis alergi seasonal (Bousquet dkk, 2001). 3) Imunoterapi Imunoterapi atau terapi desensitisasi juga bermanfaat dalam terapi rinitis alergi. Tetapi obat ini hanya efektif jika allergen spesifiknya diketahui. Obat injeksi ini mengandung zat-zat allergen yang dianggap dapat memicu timbulnya gejala alergi. Imunoterapi diindikasikan bagi pasien yang tidak mempan terhadap farmakoterapi yang diberikan, sulit
24
melakukan penghindaran allergen, dan telah tersedia ekstrak allergen yang sesuai. Imunoterapi dikontraindikasikan bagi pasien yang menderita asma yang tidak stabil, penyakit paru atau kardiovaskuler yang berat, penyakit autoimunitas dan kanker serta ibu hamil, karena beresiko menyebabkan reaksi anafilaksis sistemik pada janinnya (Ikawati, 2011). 4) Operatif Tindakan konkotomi parsial (pemotongan konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractired, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan kauterisasi menggunalan AgNO3 25% atau triklor asetat.
25
BAB III KESIMPULAN
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Etiologi rhinitis alergi terbanyak pada dewasa adalah alergen inhalan sedangkan pada anak-anak adalah alergen ingestan. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan hidung tersumbat, keluar ingus encer dan banyak, bersin-bersin setelah terkena debu atau asap kendaraan, rasa gatal pada mata. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan cavum nasi lapang, concha inferior hiperemis, sekret encer dan jernih. Penatalaksanaan untuk rhinitis alergi terutama adalah menghindarkan pasien dari alergen, sehingga pasien diberi saran untuk selalu memakai masker ketika membersihkan rumah atau keluar rumah, dan tatalaksana farmakologis.
26
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1997. ARIA. World Health organization initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma. Allergy clinical immunology : S147-S276. 2001. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea & Febiger 14th edition. Philadelphia 1991. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C. 1994. Ear, Nose, and Throat Desease. Edisi kedua. Thieme. New York. Bousquet J, Cauwenberge P V., Khaltaev N., 2001. ARIA workshop group. World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma. Allergy clinical immunology : S147-S276. 2001. Hamadi, Fauziah. Gambaran Histopatologi Polip Nasi, Referat. Jakarta: Bagian THT FKUI; 2002. P1-14. Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta: Bursa Ilmu. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 – 114. Penerbit Media Aesculapius FK-UI 2000. Pinto, J. M. and Jeswani, S. 2010. Rhinitis in the Geriatric Population, AACI, 6:10-21. Sherwood et al, 2001. Fisiologi Manusia : Dari sel ke Sistem, edisi ke 2, Jakarta :EGC. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi VII cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2012. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000. Von Pirquet c. Klinische studien uber vaccination und vaccinale allergie. J immunol 1986. 133 : 1594-1600. WHO/WAO. Prevention of allergy and allergic asthma [Internet]. Geneva: WHO; 2003. World Allergy Organization.
27