BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan tentang teori “Defisit volume cairan pada pasien gastroenteritis”. Pada bab ini juga akan disajikan materi sebagai berikut: konsep gastroenteritis, konsep defisit volume cairan pada pasien gastroenteritis, dan asuhan keperawatan gastroenteritis dengan masalah defisit volume cairan.
2.1 Konsep Gastroenteritis 2.1.1 Definisi Gastroenteritis Gastroenteritis merupakan peradangan pada lambung, usus kecil, dan usus besar dengan berbagai kondisi patologis dari saluran gastrointestinal dengan manifestasi diare dengan atau tanpa disertai muntah, serta ketidaknyamanan abdomen.
Pada
gastroenteritis,
diare
merupakan
keadaan
dengan
peningkatan frekuensi, konsistensi feses yang lebih cair, feses dengan kandungan air yang banyak, dan feses yang disertai darah atau lendir (Muttaqin dan Sari, 2011). 2.1.2 Etiologi Gastroenteritis 1) Infeksi virus Norovirus
atau
norwalk
virus
merupakan
penyebab
utama
gastroenteritis. Cara transmisi adalah fekal-oral, manusia ke manusia, air yang terkontaminasi feses norovirus. Masa inkubasi 12-48 jam dengan gejala awal mual, diare, muntah, nyeri kepala dan hipertermi (Suharyono, 2008). 6
7
2) Infeksi bakteri Berbagai agen bakteri yang masuk ke saluran gastrointestinal dapat memberikan respon peradangan. Pada kondisi ini, hygiene dan sanitasi yang kurang. Cara transmisi adalah fekal-oral, manusia ke manusia, air yang terkontaminasi feses dan bakteri meliputi Shigella, Salmonella, C.jejuni, E.coli, V.cholera, C. Difficile, Clostridium, parahaemolyticus, dan V.vulnificus (Diskin, 2008). 3) Infeksi parasit Berbagai agen penyakit bisa menginvasi saluran gastrointestinal dan memberikan respon peradangan dengan manifestasi diare, mual dan muntah.
Agen
parasit
tersebut
meliputi:
Giardia,
Amebiasis,
Cryptosporidium, dan cyclospora (Diskin, 2008). 4) Toksisitas makanan Kondisi toksisitas makanan bila memberikan respon peradangan dengan manifestasi diare. agen toksisitas bisa dihasilkan oleh toksin (S. aereus, B. Cereus) dan post kolonosasi kuman (CDC, 2007).
2.1.3
Tanda dan Gejala 1) Diare Defekasi dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair, kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml dalam 24 jam, pada kasus gastroenteritis diare secara umum terjadi karena adanya peningkatan sekresi air dan elektrolit (Simadibrata, 2011).
8
2) Mual dan Muntah Mekanisme muntah yang disebabkan oleh gastroenteritis belum sepenuhnya diketahui, tetapi terjadi karena peningkatan stimulus perifer dan saluran cerna melalui nervus vagus atau melalui serotonin yang menstimulasi reseptor 5HT3 pada usus. Pada gastroenteritis akut iritasi usus dapat merusak mukosa saluran cerna dan mengakibatkan pelepasan serotonin dari sel-sel chromaffin yang selanjutnya akan ditransmisikan langsung ke pusat muntah atau melalui chemoreceptor trigger zone. Pusat muntah selanjutnya akan mengirimkan impuls ke otot-otot abdomen, diafragma dan nervus viseral lambung dan esofagus untuk mencetuskan muntah (Chow, 2010). 3) Turgor kulit menurun Akibat banyaknya cairan yang hilang dan pemasukan yang tidak adekuat (Muttaqin & Sari, 2011). 4) Nyeri Perut Kebanyakan penderita mengeluh sakit perut. Hal yang perlu ditanyakan apakah nyeri perut yang timbul hubungannya dengan makanan, timbul terus menerus, adakah penjalaran ke tempat lain dan bagaimana sifat nyerinya. Lokasi dan kualitas nyeri perut dari berbagai orang berbeda (Hadi, 2007). 5) Demam Peningkatan suhu tubuh merupakan respon sistemik dari invasi agen infeksi penyebab gastroenteritis. Penurunan volume cairan tubuh yang
9
terjadi secara akut akan merangsang hipotalamus dalam meningkatkan suhu tubuh (Muttaqin, 2011).
2.1.4
Anatomi dan Fisiologi Gastrointestinal Susunan pencernaan terdiri dari 2 bagian: 1) Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang diantara gusi, gigi, bibir dan pipi. a)
Bibir Terdiri atas dua lipatan daging yang membentuk gerbang mulut. Di sebelah luar ditutupi kulit dan di sebelah dalam ditutupi selaput lendir (mukosa). Otot orbikularis oris menutup bibir; levator anguli oris mengangkat dan depresor anguli oris menekan ujung mulut. Tempat bibir atas dan bawah bertemu membentuk sudut mulut (Pearce, 2009).
b) Pipi Mengandung otot buksinator mastikasi. Lapisan epitelial pipi merupakan mukosa yang mengandung papila-papila (Pearce, 2009). c) Geligi Geligi ada dua macam; gigi sulung dan gigi tetap (gigi permanen) gigi sulung mulai tumbuh pada anak-anak umur 6-7 bulan. Lengkap pada umur 2½ tahun jumlahnya 20 buah disebut juga gigi susu, terdiri dari 8 buah gigi seri (dens insisivus), 4 buah gigi taring (dens kaninus) dan 8 buah gigi geraham (molare)
10
sedangkan gigi tetap (gigi permanen) tumbuh pada umur 6-18 tahun, jumlahnya 32 buah, terdiri dari 8 buah gigi seri (dens insisivus), buah gigi taring (dens kaninus) 18 buah gigi geraham (molare), dan 12 buah gigi geraham (premolare). Fungsi gigi terdiri dari: gig seri untuk memotong makanan, gigi taring gunanya untuk memutuskan makanan yang keras dan liat, dan gigi geraham gunanya untuk mengunyah makanan yang sudah dipotong-potong (Syaifuddin, 2008). 2) Bagian rongga mulut atau bagian dalam a)
Palatum Terdiri atas dua bagian yaitu palatum durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari sebelah tulang maksilaris dan lebih kebelakang yang terdiri dari dua palatum. Palatum mole (palatum lunak) terletak dibelakang yang merupakan lipatan menggantung yang dapat bergerak, terdiri atas jaringan fibrosa dan selaput lendir (Pearce, 2009).
b) Lidah Terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir, kerja otot lidah ini dapat digerakkan ke segala arah. Lidah dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: Radiks Lingua (pangkal lidah), Dorsum Lingua (punggung lidah dan apek Lingua (Ujung lidah). Pada pangkal lidah yang kebelakang terdapat epiglotis berfungsi untuk menutup jalan napas pada waktu menelan, pada punggung lidah
11
terdapat puting-puting pengecap atau ujung syaraf pengecap (Syaifuddin, 2008). d) Kelenjar saliva Sekresi pencernaan yang terdapat dalam kavitas oris adalah saliva, yang diproduksi oleh tiga pasang kelenjar ludah glandula salivaria, glandula parotidea yang terdapat tepat dibawah telinga ke bagian depan dan glandula submaksilaris yang terdapat pada pojok belakang mandibula dan kelenjar sublingualis yang terdapat dibawah dasar mulut. Sekresi saliva berlangsung terus-menerus tetapi jumlah berbeda dalam situasi yang berbeda (Scanlon & Tina, 2007). e)
Faring (tekak) Faring atau tekak terletak dibelakang hidung, mulut dan laring (tenggorokan). Faring berupa saluran berbentuk kerucut dari membran berotot (muskulo membranosa) dengan bagian lebar di sebelah atas dan berjalan dari dasar tenggorakan sampai ketinggian vertebra servikal keenam, yaitu ketinggian tulang rawan krikoid, tempat faring tersambung dengan esofagus. Dibagi menjadi Nosofaring terletak dibelakang hidung yang terdapat di lubang saluran Eustakhius, Faring oralis terletak dibelakang mulut sedangkan tonsil terletak di dinding lateral daerah faring, Faring laringeal ialah bagian terendah yang terletak dibelakang laring (Pearce, 2009).
12
f)
Esofagus Saluran muskular yang menyalurkan makanan dari faring menuju lambung. Gerakan peristaltik esofagus akan mendorong makanan dalam satu arah dan memastikan makanan masuk kedalam lambung. Pada tempat persambungan dengan lambung, lumen (kavitas) esofagus dikelilingi oleh sfingter esofagus inferior (lower esophageal sphincter/LES), yang merupakan otot polos sirkular. Ketika LES relaksasi, makanan akan memasuki lambung, dan ketika berkontraksi akan mencegah masuknya isi lambung kedalam esofagus (Scanlon & Tina, 2007).
g) Gaster (lambung) Merupakan struktur berbentuk kantong yang dapat kolaps, terletak dibagian kiri atas rongga perut tepat dibawah diafragma yang melekat ke ujung bawah esofagus ditepi atasnya. Lambung mempunyai permukaan lateral yang disebut kurvatura mayor dan permukaan medial yang disebut kurvatura minor. Lambung dibagi menjadi empat daerah utama yaitu kardia, fundus, badan dan pilorus dan mempunyai dua sfingter yaitu kardia yang melindungi jalan masuk ke lambung dan pilorus yang menjaga jalan keluar ke duodenum (Estrada, 2014). h) Intestinum Minor (usus halus) Adalah bagian dari sistem pencernaan yang berpangkal pada pylorus dan berakhir pada seikum, panjang kurang lebih 6 meter. Lapisan ini terdiri dari :
13
1) Dinding lapisan luar
adalah membran serosa,
yaitu
peritonium yang membalut usus dengan erat (Pearce, 2009). 2) Dinding lapisan berotot terdiri atas dua lapis serabut saja; lapisan luar terdiri atas serabut longitudinal dan dibawah terdapat lapisan tebal terdiri atas lapisan sirkular (Pearce, 2009). Sedangkan pergerakan usus halus ada 2, yaitu: a. Kontraksi pencampur (segmentasi) ialah gerakan yang memisahkan beberapa segmen usus karena diikat gerakan konstriksi serabut sirkuler. Hal ini memungkinkan isi yang cair sementara bersentuhan dengan dinding usus untuk digesti dan absorbsi (Pearce, 2009). b. Gerakan pendulum atau ayunan menyebabkan isi usus bercampur. Dua cairan pencerna masuk duodenum melalui saluran salurannya, yaitu empedu melalui hati dan getah pankreas dari pankreas (Pearce, 2009). Intestinum minor (usus halus) terdiri dari: 1.
Duodenum (usus 12 jari) Panjang ±25 cm, berbentu melenkung ke kiri. Pada lengkungan ini terdapat pankreas. Saluran empedu akan memasuki deudenum ini pada bagian ampula vater (ampula hepatopankreatik) (Scanlon & Tina, 2007).
14
2.
Yeyenum dan Ileum Jejenum dan ileum mempunyai panjang sekitar ±6 meter. Dua perlima bagian atas adalah jejenum dengan panjang ±23 meter dan iluem dengan panjang 4-5 meter. Lekukan jejenum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritonium yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium. Akar mesenterium memungkinkan keluar dan
masuknya
cabang-cabang
arteri
dan
vena
mesenterika superior, pembuluh limfe dan saraf keruang antara 2 lapisan peritoneum. Sambungan antara jejenum dan ileum tidak berbatas tegas. Ujung bawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantaraan lubang orifisium ileosakalis, bagian ini terdapat katup valvula sekalis atau valvula baukhini yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolon asenden tidak masuk kembali ke ileum (Syaifuddin, 2008). i)
Intestinum mayor (Usus besar) Panjang ±1,5 meter dengan lebar 5-6 cm. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam keluar: selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang, dan jaringan ikat (Scanlon & Tina, 2007). Lapisan usus besar terdiri dari:
15
1) Seikum Dibawah seiukum terdapat appendiks vermiformis yang berbentuk seperti cacing sehingga disebut umbai cacing dengan panjang ±6 cm (Sloane, 2007). 2) Kolon Adalah bagian usus besar dari seikum sampai rektum. Kolon memiliki tiga devisi yaitu; a. Kolon asendens Merentang dari seikum sampai ketepi bawah hati disebelah kanan dan membalik secara horisontal pada fleksura hepatika (Sloane, 2007). b. Kolon tranversa Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ketepi lateral ginjal kiri. Tempatnya memutar ke bawah pada fleksura splenik (Sloane, 2007). c. Kolon desenden Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum (Sloane, 2007). 3) Appendiks (Usus buntu) Melekat pada sekum, yang merupakan suatu saluran kecil dengan ujung buntu dan banyak mengandung jaringan limfatik (Scanlon & Tina, 2007).
16
4) Kolon sigmoid Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuk menyerupai huruf S dan ujung bawahnya berhubungan dengan rektum. Kolon berfungsi sebagai tempat absorbsi air dan elektrolit serta kimus dan menyimpan feses sampai dapat dikeluarkan. Pergerakan kolon ada 2 macam : a.
Pergerakan pencampur (haustrasi) yaitu kolon gabungan otot polos dan longitudinal namun bagian luar usus besar yang tidak terangsang menonjol keluar seperti kantong (Scanlon & Tina, 2007).
b.
Pergerakan pendorong (Mass Movement) yaitu kontraksi usus besar ya
c.
ng mendorong feses ke arah anus. Rektum dan anus terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan os koksigis (Scanlon & Tina, 2007).
5) Rektum dan Anus Bagian dari saluran cerna yang menghubungkan rektum dan luar tubuh. Terletak diantara pelvis yang dindingnya diperkuat oleh sfingter ani internus, sfingter levator ani dan sfingter ani eksternus (Syaifuddin, 2008).
17
2.1.5
Perubahan Fisiologi Pada Penderita Gastroenteritis 1) B1 (Breathing) Sistem Pernapasan Sistem pernapasan akan mengalami perubahan apabila terjadi perubahan akut terhadap kondisi defisit volume cairan dan elektrolit. Bila terjadi asidosis metabolik penderita akan tampak pucat dan pernapasan cepat dan dalam (Kusmaul) (Muttaqin & sari, 2011). 2) B2 (Blood) Sistem Kardiovaskular dan Hematologi Respon akut akibat kehilangan cairan tubuh akan mempengaruhi volume vaskular, yang menghasilkan aliran balik vena. Curah jantung menurun, tekanan darah menurun, perfusi jaringan dan organ berkurang, denyut nadi cepat dan lemah, serta pasien mempunyai risiko timbulnya tanda dan gejala syok (Tambayong, 2012). 3) B3 (Brain) Kepala, neurosensori, dan Fungsi Sistem saraf Pusat Pada pasien dengan dehidrasi berat akan menyebabkan penurunan perfusi serebral dengan manifestasi sakit kepala, perasaan lesu, gangguan mental seperti halusinasi dan delirium (Vardy, 2009). 4) B4 (Bladder) Sistem Genitourinarius Pada kondisi dehidrasi berat akan didapatkan penurunan urine output. Semakin berat kondisi dehidrasi, maka akan didapatkan kondisi oliguria sampai anuria dan pasien mempunyai risiko untuk mengalami gagal ginjal akut (Muttaqin & sari, 2011). 5) B5 (Bowel) Sistem Gastrointestinal Pemeriksaan gastrointestinal yang didapatkan berhubungan dengan berbagai faktor seperti onset, kondisi hidrasi, dan tingkat toleransi
18
individu (usia, malnutrisi, penyakit kronis, dan penurunan imunitas). Pada pemeriksaan gastrointestinal perubahan yang akan didapat: a. Peningkatan bising usus lebih dari 25 kali/menit yang berhubungan dengan
mortilitas
usus
dari
peradangan
pada
saluran
gastrointestinal (Muttaqin & sari, 2011). b. Pada penderita dehidrasi berat akan terlihat lemas, sering BAB pada anak dengan diare akut akan didapati kembung, distensi abdomen (Muttaqin & sari, 2011). Pada anus akan ditemukan lecet karena seringnya BAB dan feses menjadi lebih asam akibat banyaknya asam laktat. Pada pemeriksaan feses didapatkan, (Muttaqin & sari, 2011) : a. Konsentrasi
cair berhubungan dengan kondisi lazim dari
gastroenteritis. b. Feses bercampur lendir dan darah yang berhubungan dengan ulserasi kolon. c. Feses seperti air tajin (air beras) pada pasien kolera. d. Feses berwarna lebih gelap dan kehijau-hijauan berhubungan dengan kondisi malabsorbsi atau bercampur garam empedu. 6) B6 (Bone) Sistem Muskuloskletal dan Integumen Respon dehidrasi dan penurunan volume cairan tubuh akut akan menyebabkan kelemahan fisik umum. Pada kondisi diare kronis dengan deplesi nutrisi dan elektrolit akan didapatkan kram otot ekstremitas yang ditandai dengan, (Muttaqin & sari, 2011) : a. turgor kulit menurun < 3 detik
19
b. Mata cekung, membran mukosa kering dan disertai penurunan berat badan akut. c. Diaforesis.
2.1.6
Perubahan Psikologis Pada Penderita Gastroenteritis Faktor psikologis yaitu rasa takut dan cemas yang sering terjadi pada penderita gastroenteritis (Wijaya & Putri, 2013).
2.1.7
Patofisiologi Kondisi peradangan pada gastrointestinal disebabkan oleh infeksi dengan melakukan
invasi
pada
mukosa,
memproduksi
enterotoksin
dan
memproduksi sitotoksin. Mekanisme ini menghasilkan peningkatan sekresi cairan dan absorbsi cairan sehingga akan terjadi dehidrasi dan hilangnya nutrisi dan elektrolit. Mekanisme dasar yang menyebabkan diare meliputi hal-hal berikut ini: 1) Gangguan osmotik, kondisi ini berhubungan dengan asupan makanan atau zat yang sukar diserap oleh mukosa intestinal dan akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus mengeluarkan sehingga muncul diare (Diskin, 2008). 2) Respon inflamasi mukosa, terutama pada seluruh permukaan intestinal akibat produksi enterotoksin dari agen infeksi memberikan respon peningkatan aktivitas sekresi air dan elektrolit oleh dinding usus ke
20
dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul oleh peningkatan rongga usus (Wijaya & Putri, 2013). 3) Gangguan mortilitas usus, terjadinya hiperperistaltik usus akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare, sebaliknya bila peristaltik menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang juga dapat mengakibatkan diare (Wijaya & Putri, 2013). Usus halus menjadi bagian absorbsi utama dan usus besar melakukan absorbsi air yang akan membuat solid dari komponen feses, dengan adanya gangguan dari gastroenteritis akan menyebabkan absorbsi nutrisi dan elektrolit oleh usus halus, serta absorbi air menjadi terganggu (Diskin, 2008). Kondisi ini juga terjadi akibat masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati asam lambung yang kemudian berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang akan menimbulkan diare. Pada manifestasi lanjut hilangnya cairan dan elektrolit memberikan manifestasi pada kehilangan asam basa dan gangguan sirkulasi yaitu terjadinya gangguan keseimbangan asam basa (metabolik asidosis). Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bikarbonat bersama feses. Metabolik lemak tidak sempuna sehingga benda kotor tertimbun dalam tubuh dan terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anoreksia jaringan. Produk metabolik yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria atau anuria) dan terjadi pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler (Levine, 2009).
21
2.1.8 Pathway Gastroenteritis Bagan 2.1 Pathway Defisit Volume Cairan Pada Penderita Gastroenteritis Faktor makanan (makanan basi, beracun, alergi makanan)
Faktor infeksi (bakteri, virus, parasit)
masuk ke dalam tubuh
Mencapai usus halus
Faktor malabsorbsi (karbohidrat, protein, lemak)
Makanan tidak diserap oleh usus Infeksi usus halus Peningkatan tekanan osmotik dalam lumen usus
Menstimulasi dinding usus halus
Hipersekresi air dan elektrolit usus meningkat
Peningkatan isi (rongga) lumen usus.
hiperperistaltik
Peningkatan percepatan kontak antara makanan dan air dengan mukosa usus
Penyerapan makanan, air, elektrolit terganggu
Gastroenteritis
Output cairan dan elektrolit berlebih
Dehidrasi
Defisit volume cairan
(Suradi & Rita, 2011)
22
2.1.9
Komplikasi 1) Dehidrasi, menurut Moorhead (2013) : a. Dehidrasi ringan Kehilangan cairan 2-5% dari BB dengan gambaran klinik turgor kulit normal, suara serak, haus, gelisah, denyut nadi 90-110 kali/menit, pengeluaran urine (1300 ml/hari) ,kesadaran baik, penderita belum jatuh pada keadaan syok. b. Dehidrasi sedang Kehilangan cairan 5-8% dari BB dengan gambaran klinik turgor kulit jelek, suara serak, membran mukosa kering, pengeluaran urine kurang, suhu tubuh meningkat, penderita jatuh pada keadaan pre syok dengan nadi cepat dan dalam. c. Dehidrasi berat Kehilangan cairan 8-10% dengan gambaran klinik rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urine gelap, lemah, lesu, takikardi, mata cekung atau cowong, pengeluaran urine tidak ada, hipotensi, ekstremitas dingin, penurunan kesadaran, otot kaku sampai dengan sianosis.
2) Syok hipovolemik Kehilangan cairan dan elektrolit, memicu syok hipovolemik dan hilangnya elektrolit seperti hipokalemia (kalium <3 mEq/L) dan asidosis metabolik. Pada hipokalemia waspadai tanda-tanda penurunan tekanan darah (Ardiansyah, 2012)
23
3) Intoleransi laktosa sekunder Sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan vili mukosa usus halus (Wijaya & Putri, 2013)
2.1.10 Pemeriksaan Diagnostik Pengkajian diagnostik terdiri atas pemeriksaan laboratorium, menurut Lavine (2009) meliputi : 1) Pemeriksaan darah rutin untuk mendeteksi kadar BJ plasma dan mendeteksi adanya kelainan pada peningkatan kadar leukosit. 2) Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dengan menentukan Ph keseimbangan analisa gas darah atau astrup ( Ph normal : 7,357,45). 3) Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalsium, kalium dan fosfat. 4) Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahuhui faal ginjal. Dengan batas normal ureum : 20-40 mg/dl dan batas normal kreatinin : 0,6 – 15 mg/dl. Kadar kreatinin menunjukan keseimbangan antara produksi dan ekskresi oleh ginjal, karena ini dihasilkan oleh massa otot dan tidak dipengaruhi oleh diet, hidrasi atau metabolisme jaringan. Kadar kreatinin serum akan meningkat sesuai penurunan fungsi ginjal. 5) Pemeriksaan feses, untuk mendeteksi agen penyebab. pH dan kadar gula dalam tinja jika diduga terdapat intoleransi glukosa.
24
6) Pemeriksaan enzim, untuk menilai keterlibatkan rotavirus dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay).
2.1.11 Penatalaksanaan 1) Pengganti Cairan dan Elektrolit a) Rehidrasi oral Dilakukan pada semua pasien diare akut yang masih mampu minum. Rehidrasi oral terdiri dari 3,5 g natrium klorida, 2,5 g natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida dan 2,5 g glikosa/liter. Rehidrasi oral dapat juga duat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2-4 sendok makan gula per liter air. Dua buah pisang atau satu cangkir jus jeruk juga dapat diberikan untuk mengganti kalium. Selain itu, minum air yang banyak serta berikan oralit (Ardiansyah, 2012). b) Cairan Parenteral Pengganti cairan dapat menggunakan rumus metode pierce berdasarkan berat badan atau berat ringannya dehidrasi. 1. Dehidrasi ringan Kebutuhan cairan 5% x kgBB 2. Dehidrasi sedang Kebutuhan cairan 8% x kgBB 3. Dehidrasi berat Kebutuhan cairan 10% x kgBB
25
2) Pengobatan Diatetik (Makanan) Terapi diatetik adalah pemberian makan dan minuman khusus kepada pasien dengan tujuan meringankan, menyembuhkan, serta menjaga kesehatan pasien. Hal yang perlu diperhatikan adalah pemberian makanan yang mengandung cukup kalori, protein, mineral dan vitamin, serta makanan yang bersih (Ardiansyah, 2012).
2.2 Konsep Defisit Volume Cairan 2.2.1 Definisi Defisit Volume Cairan Defisit volume cairan suatu keadaan pada individu yang mengalami dehidrasi intrasel, vaskuler atau seluler yang berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (Tamsuri, 2014).
2.2.2 Etiologi Defisit Volume Cairan Pada Penderita Gastroenteritis Pada gastroenteritis munculnya gejala diare, demam disertai mual dan muntah mengakibatkan dehidrasi mengakibatkan fungsi usus besar dalam melakukan absorbsi cairan terganggu sehingga masuknya air sangat terbatas. Penyebab defisit volume cairan diawali dengan kehilangan cairan intravaskuler, lalu diikuti dengan perpindahan cairan intraseluler sehingga menyebabkan penurunan cairan ekstraseluler (Vardy, 2009).
2.2.3 Karakteristik Kekurangan Volume Cairan Karakteristik defisit volume cairan menurut Gloria et al (2016) meliputi; 1) Perubahan status mental
26
2) Penurunan turgor kulit kembali > 2 detik 3) Penurunan haluaran urine ( normal haluaran urine setiap jam 40-80 ml). 4) Kulit dan membran mukosa kering 5) Hematokrit meningkat >50% ( normal : 40-45% pada pria dan 37-47% pada wanita). 6) Osmolaritas urine meningkat ( normal : 50-1400 mOsm/kg). 7) Tanda-tanda vital meningkat (nadi : 60-100 kali/menit), Tekanan darah: 130-140/85-90 mmHg, RR : 16-24 kali/menit, Suhu : 36,5-37,5). 8) Konsentrasi urine meningkat > 1,025 (normal : 1,00 – 1,040) 9) Penurunan berat badan secara tiba-tiba 10) Kelemahan
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Penderita Gastroenteritis dengan Masalah Defisit Volume Cairan 2.3.1 Pengkajian 1. Anamnese (Data subyektif) a. Identitas Pasien. Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, jenis kelamin, alamat rumah, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, nomor registrasi, pekerjaan klien dan penanggung jawab (Smeltzer, 2009). Umur yang diambil dalam penelitian adalah usia dewasa menurut Hurlock (2011) dengan dewasa awal 18-40 tahun dan dewasa madya 41-60 tahun.
27
b. Keluhan Utama 1) Awal Serangan : gelisah, suhu tubuh meningkat, anoreksia kemudian muncul diare. 2) Keluhan Utama : feses semakin cair, muntah, terjadi gejala dehidrasi, berat badan menurun, tonus dan turgor kulit berkurang, mulut dan bibir kering, frekuensi BAB lebih dari 4x dalam sehari dengan konsistensi encer. (Muttaqin & Sari, 2011).
c. Riwayat Penyakit Sekarang Gejala yang dirasakan seperti diare lebih dari 3 kali dalam sehari dengan atau tanpa darah atau lendir, mules, mual, muntah. Kualitas, konsistensi BAB awitan, badan terasa lemah, sehingga mengganggu aktivitas sehari hari. Perut terasa mules, anus terasa basah. Kondisi lemah dapat menurunkan daya tahan tubuh dan aktivitas sehari-hari. Gejala diare ini dapat terjadi secara mendadak yang terjadi karena infeksi atau faktor lain, lamanya untuk diare akut 3-5 hari, diare berkepanjangan lebih dari 7 hari dan diare kronis lebih dari 14 hari (Wijaya & Putri, 2013). d. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit yang pernah diderita seperti diare, pengobatan tertentu yang sedang dijalani dapat mengganggu status cairan (Budhi, 2012).
28
e. Riwayat Kesehatan Keluarga 1) Lingkungan rumah dan komunitas Lingkungan yang kotor dan kumuh serta personal hygiene yang kurang mudah terkena kuman penyebab diare (Wijaya & Putri, 2013). 2) Perilaku BAB yang mempengaruhi kesehatan BAB yang tidak pada tempat (sembarang) atau sungai dengan hygiene yang kurang dapat mempermudah masuknya kuman lewat fecal-oral (Wijaya & Putri, 2013). 3) Persepsi keluarga Hospitalisasi (merawat inapkan pasien di rumah sakit) akan menjadi stressor bagi penderita maupun keluarga. Kecemasan semakin meningkat jika orang tua atau penderita tidak mengetahui prosedur & pengobatan (Ardiansyah, 2012). f. Pola Fungsi Kesehatan 1) Pola Nutrisi Makanan yang terinfeksi, pengelolaan yang kurang hygiene berpengaruh terjadinya gastroenteritis, sehingga status gizi dapat berubah ringan sampai berat. Kehilangan berat badan dapat dimanifestasikan tahap-tahap dehidrasi ( Muttaqin & Sari, 2011).
29
2) Pola Eliminasi Pola eliminasi akan mengalami perubahan, yaitu pasien buang air besar lebih dari 4 kali per hari, sementara aktivitas buang air kecil sedikit atau jarang (Ardiansyah, 2012). 3) Pola Istirahat Tidur Pola tidur dan istirahat terganggu karena adanya distensi abdomen yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman (Ardiansyah, 2012). 4) Pola Aktifitas Klien nampak lemah, gelisah sehingga perlu bantuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Muttaqin & Sari, 2011). 5) Pola hubungan & Peran Kebiasaan
berkumpul
dengan
orang
terdekat,
adanya
ketegangan dan ansietas saat terjadi gangguan cairan dalam tubuh (Budhi, 2012).
2. Pemeriksaan Fisik a. Tingkat kesadaran Apabila status hidrasi menurun, pasien terlihat sangat lemas dan pada kondisi lanjut akan didapatkan kesadaran menurun (apatis, samnolen, sopor, komatus) sebagai respon dari hipovolemik (Wilkinson, 2007).
30
b. Tanda-tanda vital Tekanan darah : Respon akut akibat kehilangan cairan tubuh akan mempengaruhi volume darah. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung, tekanan darah menurun, denyut nadi cepat dan lemah (Tambayong, 2012). Suhu : Peningkatan suhu tubuh merupakan respon sistemik dari invasi agen infeksi penyebab gastroenteritis (Muttaqin, 2011). c. Pemeriksaan Kulit a) Inspeksi Akan muncul tanda tanda dehidrasi seperti kulit kering, dingin dan lembab (Wilkinson, 2007). b) Palpasi Turgor kulit menurun : akibat banyaknya cairan yang hilang dan pemasukan yang tidak adekuat (Muttaqin & Sari, 2011). d. Pemeriksaan Mata a) Inspeksi Mata cekung : akibat adanya ketidakseimbangan cairan tubuh dan peningkatan tekanan osmotik mengakibatkan beberapa jaringan kekurangan cairan dan oksigen (Diskin, 2009). e. Pemeriksaan Hidung a) Inspeksi Cuping hidung : Adanya asidosis metabolik sehingga kompensasinya
adalah
alkalosis
respiratori
untuk
mengeluarkan CO2 dan mengambil O2 (Wijaya & Putri, 2015).
31
b) Palpasi Melakukan
palpasi
pada
sinus-sinus
hidung
dengan
menggunakan ujung ketiga jari tengah. Normalnya klien tidak mengeluh nyeri atau terasa panas saat dipalpasi (Debora, 2013). f. Pemeriksaan Telinga a) Inspeksi Lihat kesimetrisan kedua daun telinga, adanya luka atau bekas luka pada telinga dan sekitarnya, apakah ada penumpukan serumen, apakah gendang telinga dalam kondisi utuh (Debora, 2013). b) Palpasi Lakukan palpasi telinga pada daerah tragus, normalnya tidak akan terasa nyeri, jika terasa nyeri kemungkinan adanya infeksi dalam saluran telinga (Debora, 2013). Adakah infeksi telinga (OMA) berpengaruh pada kemungkinan infeksi parenteral yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya diare ( Wijaya & Putri, 2015). g. Pemeriksaan Mulut a) Inspeksi Penurunan kelembaban antara pipi dan gusi pada rongga mulut, membran mukosa kering (Wilkinson, 2007).
32
h. Pemeriksaan Leher a) Inspeksi Normalnya tidak adanya bendungan vena jugularis, tidak adanya
keterbatasan
gerakan
leher
dan
tidak
adanya
pembesaran pada kelenjar gondok (Debora, 2013). b) Palpasi Normalnya tidak ditemukan deviasi (miring) pada trakea, kelenjar limfe tidak akan teraba dan tidak nyeri saat dipalpasi, pengukuran Jugular vein pressure (JVP) dan kelenjar tiroid tidak mengalami pembesaran i. Pemeriksaan Jantung Menurut Debora, 2013 : a) Inspeksi Denyutan jantung (saat kontraksi ventrikel) atau iktus kordis dapat dilhat di pemukaan dinding dada pada ICS 5 midklavikula garis sinistra. b) Palpasi Palpasi pada ICS 5 midklavikula garis sinistra, bandingkan keteraturan dan frekuensi dengan nadi perifer, tinggi iktus kordis normal tidak lebih dari 1 cm. c) Perkusi Pada ICS 3-5 toraks sinistra, terdengar suara pekak, jika terdengar
lebih
dari
batas
tersebut
kardiomegali (Pembersaran jantung).
maka
dikatakan
33
d) Auskultasi BJ 1 : terdengar tunggal di ICS 4 line sternalis sinistra (katup trikuspidalis), ICS 5 midklavikula atau ICS 3 linea sternalis kanan (Katup mitralis). BJ II : terdengar tunggal di ICS 2 line sternalis kanan (Katup aorta), ICS 2 line sternalis kiri atau ICS 3 line strenalis kiri (katup pulmonal). BJ III : Tidak terdengar bunyi jantung Gallop dan Murmur. j. Pemeriksaan Abdomen a) Inspeksi amati bentuk perut secara umum, warna kulit, adanya retraksi, penonjolan, adanya ketidaksemetrisan, adanya asites, elastisitas kulit abdomen (Wilkinson, 2007). b) Auskultasi Auskultasi dilakukan pada keempat kuadran abdomen. Dengan mendengar peristaltik usus selama satu menit penuh. Bising usus normalnya 5-35 menit kali/menit. Jika peristaltik usus terdengar lebih dari normal kemungkinan klien sedang mengalami diare, pada klien dengan gastroenteritis terjadi hiperperistaltik (Wilkinson, 2007).
34
c) Palpasi pada klien dengan gastroenteritis umumnya supel (elastisitas dinding abdomen optimal), nyeri tekan pada kuadran kanan bawah (Wilkinson, 2007). d) Perkusi perkusi pada keempat kuadran abdomen. Jika perkusi terdengar timpani tandanya perkusi dilakukan diatas organ yang berisi udara di epigastrium, pada klien dengan gastroenteritis bunyi perkusi abdomen hipertimpani. k. Pemeriksaan Genetalia a) Inspeksi Pada anus akan ditemukan lecet karena seringnya BAB dan feses menjadi lebih asam akibatnya peningkatan asam laktat (Muttaqin & Sari, 2011).
2.3.2
Diagnosa Keperawatan Pada Penderita Gastroenteritis Salah satu diagnosa keperawatan yang ditemukan pada klien dengan Gastroenteritis adalah defisit volume cairan. Defisit volume cairan adalah penurunan cairan intravaskular, interstisial, dan cairan intraselular. Mengacu pada dehidrasi, kehilangan cairan setara dengan perubahan pada natrium (Ackley dan Ladwig, 2014).
35
2.3.3 Rencana Asuhan Keperawatan Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan pada penderita gastroenteritis dengan defisit volume cairan. Tujuan 1. Mempertahankan keseimbangan cairan 2. Menghindari kekurangan cairan. 3. Tanda-tanda vital dalam batas normal 4. Tidak adanya komplikasi
Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1. Mempertahankan output urine Mandiri lebih dari 1300 mL/hari atau adanya faktor 1. Mengidentifikasi faktor resiko sedikitnya 30 mL/hari (Ackley 1. Monitor penyebab defisit volume & Ladwig, 2014). agar dapat mengurangi kejadian cairan (Ackley & Ladwig, dan menghindari komplikasi dari 2014). 2. Kadar Hematokrit, natrium defisit volume cairan (Ackley & serum dan BUN dalam batas Ladwig, 2014). 2. Monitor intake dan output normal (Hematokrit 40-45% cairan setiap 8 jam (Scales & 2. Sebagai intervensi penting dari pada pria dan 37-47% pada Pilsworth, 2008). (Smeltzer, 2009). wanita, Natrium serum dalam intervensi hidrasi dan mencegah batas 137-147 mEq/L dan terjadinya over hidrasi (Amin & 3. Pantau tanda dan gejala BUN 6-20 mg/dl) (Moorhed, Hardhi, 2015). hipovolemik termasuk haus, et al. 2013). gelisah, sianosis, keringat 3. Gejala ini terjadi setelah tubuh berlebih, nadi lemah dan 3. Mempertahankan tanda-tanda berkompensasi kehilangan cairan oliguria (Scales & Pilsworth, vital dalam batas normal (TD dari ruang interstitial ke 2008). : 130-140/85-90 mmHg, RR : kompartemen vaskular, sehingga 4. Lakukan pemeriksaan turgor 16-24x/menit, suhu : 36,5cairan hilang dari tubuh (Scales kulit atau mencubit kulit 37,5ºC, HR : 60-100 x/menit) & Pilsworth, 2008). dengan lembut (Bulechek et (Moorhead, et al. 2013). al, 2013). 4. Dimana kulit akan turun kembali
36
4. Tidak adanya tanda-tanda dehidrasi ringan, sedang sampai dengan berat (Moorhead, et al. 2013).
5. Observasi mukosa bibir kering (Ackley & Ladwig, 2014).
dengan cepat jika pasien terhidrasi dengan baik (Bulechek et al, 2013).
5. Sebagai gejala dari kekurangan cairan tubuh (Ackley & Ladwig, 6. Monitor BB setiap hari & 2014). perhatikan penurunan mendadak, terutama penurunan output urine atau 6. Tinjauan sistematis menunjukan kehilangan cairan aktif bahwa pengukuran perubahan (Ackley & Ladwig, 2014). massa tubuh adalah teknik yang aman untuk menilai status hidrasi (Wakefield, 2008). 7. Catat warna urine dan berat jenis urine (Scales & 7. Urine normal berwarna kuning, urin yang berwarna gelap dengan Pilsworth, 2008). peningkatan berat jenis mencerminkan peningkatan 8. Bantu ambulasi jika klien konsentrasi urin dan defisit memiliki hipotensi ortostatik volume cairan (Scales & (Fauci et al, 2008). Pilsworth, 2008). 8. Hipovolemia menyebabkan postural hipotensi yang dapat menyebabkan peningkatan resiko cedera (Fauci et al, 2008).
37
Kolaborasi 9. Tindakan ini untuk 9. Pemberian antidiare dan memberhentikan kekurangan antiemetik (Ackley & Ladwig, cairan dari muntah/diare (Ackley 2014). & Ladwig, 2014). 10. Pemberian terapi hidrasi 10. Larutan IV Ns/RL 0,9% dapat melalui isotonic intavena (IV) menggantikan volume sesuai advice (Fauci et al, intravaskular (Fauci et al, 2008). 2008).
38
2.3.4
Implementasi Keperawatan Implementasi merupakan fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi keperawatan. Berdasarkan terminologi Nursing Interventions Classification
(NIC),
implementasi
terdiri
atas
melakukan
dan
mendokumentasikan tindakan yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan intervensi (program keperawatan). Perawat melaksanakan atau mendelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam tahap perencanaan kemudian mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat tindakan keperawatan dan respon klien terhadap tindakan tersebut (Kozier, 2011).
2.3.5
Evaluasi Keperawatan Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sebagai berikut, (Potter & Perry, 2010) : 1) Tidak muntah dan diare. 2) Hasil laboratorium normal : kadar hematokrit 40-45% pada pria dan 37-47% pada wanita, Natrium serum dalam batas 137-147 mEq/L dan BUN dalam batas 6-20 mg/dl. 3) Tanda-tanda vital dalam rentang batas normal 4) Tidak adanya tanda-tanda dehidrasi. a.
Dehidrasi ringan Kehilangan cairan 2-5% dari BB dengan gambaran klinik turgor kulit normal, suara serak, haus, gelisah, denyut nadi 90-110
39
kali/menit, pengeluaran urine (1300 ml/hari) ,kesadaran baik, penderita belum jatuh pada keadaan syok. b. Dehidrasi sedang Kehilangan cairan 5-8% dari BB dengan gambaran klinik turgor kulit jelek, suara serak, membran mukosa kering, pengeluaran urine kurang, suhu tubuh meningkat, penderita jatuh pada keadaan pre syok dengan nadi cepat dan dalam. c.
Dehidrasi berat Kehilangan cairan 8-10% dengan gambaran klinik rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urine gelap, lemah, lesu, takikardi, mata cekung atau cowong, pengeluaran urine tidak ada, hipotensi, ekstremitas dingin, penurunan kesadaran, otot kaku sampai dengan sianosis.