7genetic_buta Warna.docx

  • Uploaded by: puti
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 7genetic_buta Warna.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,887
  • Pages: 16
LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA “BUTA WARNA”

Disusun Oleh : Kelompok 5

Anes Devy Anggraeni

13304241056

Ratih Dewanti

13304241061

Nilah Cahya Nugraheni

13304241071

Ayu Natasya F.R

13304244030

Pendidikan Biologi Internasional 2013

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2015

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Buta warna merupakan salah satu kelainan mata yang dapat disebabkan karena faktor genetis (keturunan) ataupun faktor penyakit, usia, ataupun karena mengkonsumsi bahan kimia tertentu. Buta warna disebabkan karena sel kerucut mata yang digunakan untuk menangkap spektrum warna tertentu tidak mampu menangkap spektrum warna tertentu, misalnya melihat warna merah, hijau, biru, atau campuran warna-warna ini. Pada kondisi buta warna total penderita sama sekali tidak dapat melihat warna, namun kondisinya jarang terjadi. Banyak penyakit buta warna yang disebabkan karena faktor genetika namun bisa juga karena kondisi mata. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan aktivitas si penderita terganggu dan akan merasa kesulitan untuk mengikuti kondisi tertentu. Penderita juga akan memiliki peluang bekerja sempit. Oleh karena itu, tes buta warna sangat penting dilakukan sedini mungkin. Ada beberapa tes sederhana yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis buta warna. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana cara melakukan pengujian tes buta warna ? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui cara melakukan pengujian tes buta warna.

BAB II DASAR TEORI Buta warna adalah suatu kelainan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu akibat faktor genetis sehingga penderita butawarna tidak mampu membedakan warna- warna dasar tertentu. Buta warna merupakan kelainan genetik yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya, kelainan ini sering juga disebut sex linked, karena kelainan ini dibawa oleh kromosom X. Artinya kromosom Y tidak membawa faktor buta warna. Hal inilah yang membedakan antara penderita buta warna pada laki dan wanita. Hal ini menujukkan ada satu kromosom X yang membawa sifat buta warna. Wanita dengan pembawa sifat, secara fisik tidak mengalami kelalinan buta warna sebagaimana wanita normal pada umumnya. Tetapi wanita dengan pembawa sifat berpotensi menurunkan faktor buta warna kepada anaknya kelak. Apabila pada kedua kromosom X mengandung faktor buta warna maka seorang wanita tersebut menderita buta warna. ( Suryo, 2008 : 191-193) Penglihatan pada mata akan bergantung dari peran dan fisiologis bagian-bagian mata. Retina adalah selembartipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata, mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya (Ilyas, 2008) Menurut Guyton & Hall (1997), retina merupakan bagian mata yang peka terhadap cahaya, mengandung sel-sel kerucut yang berfungsiuntuk penglihatan warna dan sel-sel batang yang terutama berfungsi untuk penglihatan dalam gelap. Retina terdiri atas pars pigmentosadisebelah luar dan pars nervosadi sebelah dalam. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga bertumpuk dengan membrana Bruch, khoroid, dan sclera, dan permukaan dalam berhubungan dengan corpus vitreum(Snell, 2006) Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior (Vaughan, 2000). Tiga perempat posterior retina merupakan organ reseptor. Pinggir anteriornya membentuk cincing berombak, disebut ora serrata, yang merupakan ujung akhir pars nervosa. Bagian anterior retina bersifat tidak peka dan hanya terdiri atas sel-sel berpigmen dengan lapisan

silindris di bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi prosessus siliaris dan belakang iris (Snell, 2006) Pada pertengahan bagian posterior retina terdapat daerah lonjong kekuningan, disebut macula lutea, yang merupakan area retina dengan daya lihat paling jelas (Snell, 2006). Secara klinis, macula adalah daerah yang dibatasi oleh arkade-arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula, sekitar 3,5 mm di sebelah lateral diskus optikus, terdapat lekukan, disebut fovea centralis. Secara histologis, fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak adanya lapisan-lapisan parenkim karena akson-akson sel fotoreseptor (lapisan serat Henle) berjalan oblik dan pengeseran secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke permukaan dalam retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, disini fotoreseptornya adalah sel kerucut, dan bagian retina paling tipis (Vaughan, 2000) Ada tiga jenis sel kerucut pada retina. Mereka masing-masing berisi pigmen visual (opsin) yang berbeda sehingga bereaksi terhadap panjang gelombang cahaya yang berbeda : merah, hijau dan biru. Sel kerucut menangkap gelombang cahaya sesuai dengan pigmen masingmasing dan meneruskannya dalam bentuk sinyal transmisi listrik ke otak. Otak kemudian mengolah dan menggabungkan sinyal warna merah, hijau dan biru dari retina ke tayangan warna tertentu. Karena perbedaan intensitas dari masing-masing warna pokok tersebut, kita dapat membedakan jutaan warna. Gangguan penerimaan cahaya pada satu jenis atau lebih sel kerucut di retina berdampak langsung pada persepsi warna di otak. Seseorang yang buta warna memiliki cacat atau kekurangan satu atau lebih jenis sel kerucut. (Cummings, 2011 : 81) Buta warna dapat terjadi secara kongenital atau didapat akibat penyakit tertentu. Buta warna yang diturunkan tidak bersifat progresif dan tidak dapat diobati. Pada kelainan makula (retinitis sentral dan degenerasi makula sentral), sering terdapat kelainan pada penglihatan warna biru dan kuning, sedang pada kelainan saraf optik akan terlihat gangguan penglihatan warna merah dan hijau. Buta warna terjadi ketika syaraf reseptor cahaya di retina mengalami perubahan, terutama sel kerucut. Buta warna sendiri dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu trikromasi, dikromasi dan monokromasi. Buta warna jenis trikomasi adalah perubahan sensitifitas warna dari satu jenis atau lebih sel kerucut. Ada tiga macam trikomasi yaitu: 1. Protanomali yang apabila yang rusak/lemah adalah bagian mata yang sensitif warna merah,

2. Deuteromali yaitu apabila yang rusak/lemah adalah bagian mata yang sensitif terhadap warna hijau 3. Tritanomali (low blue) yaitu apabila yang rusak/lemah adalah bagian mata yang sensitif terhadap warna biru. Dikromasi merupakan tidak adanya satu dari 3 jenis sel kerucut, tediri dari: 1. Protanopia yaitu tidak adanya sel kerucut warna merah sehingga kecerahan warna merah dan perpaduannya berkurang, 2. Deuteranopia yaitu tidak adanya sel kerujut yang peka terhadap hijau, dan 3. Tritanopia untuk warna biru. Sedangkan monokromasi ditandai dengan hilangnya atau berkurangnya semua penglihatan warna, sehingga yang terlihat hanya putih dan hitam pada jenis typical dan sedikt warna pada jenis atypical. Jenis buta warna ini prevalensinya sangat jarang. Buta warna dibagi dalam dua kategori, yaitu buta warna total dan buta warna parsial. Pada buta warna total, penyandangnya tidak bisa mengenali warna lain, kecuali hitam dan putih. Untungnya, kasus yang disebabkan ketiadaan pigmen warna pada sel retina dan ini sangat jarang terjadi. Sementara itu, pada buta warna parsial, penyandang mengalami defisiensi (kekurangan) pigmen dalam sel retina sehingga tidak bisa melihat warna tertentu saja. Gabungan defisiensi merah dan hijau adalah gangguan yang paling sering terjadi, sedangkan defisiensi biru jarang sekali. Yang perlu diluruskan, penderita buta warna bukan tidak bisa mengenali satu warna tertentu, tetapi ia tak bisa mengenali kombinasi atau campuran warna. Ia bisa saja tahu warna-warna dasar, seperti kuning, merah, dan biru, serta warna-warna sekunder, seperti hijau, jingga, dan ungu. Namun, ketika warna-warna itu dikombinasikan lagi dengan warna lainnya, ia tidak mampu mengenali atau bingung menentukan, apakah itu hijau tua atau biru, dan sebagainya. Pemeriksaan butawarna dilakukan dengan uji anomaloskop, ujiFarnsworth Munsell 100 hue, uji Holmgren,dan uji Ishihara. Uji Farnsworth dan Ishihara sering digunakan sebagai pemeriksan optamologis. Defek penglihatan warna merah hijau secara kualitatif dievaluasi dengan tes Pseudoisokromatik (Ishihara). Defek penglihatan biru-kuning dengan tes Farnsworth Munsell. Evaluasi defek penglihatan kuantitatif dapat menggunakan Anomaloskop nagel (Fairchild MD, 2005).

Uji Ishihara didasarkan pada menentukanangka atau pola yang ada pada kartu dengan berbagai ragam warna. Penapisan dengan uji Ishihara merupakan evaluasi minimumgangguan penglihatan warna. Uji ini memakai seri titik bola kecil dengan warna dan besar berbeda (gambar pseudokromatik) sehingga keseluruhan terlihat warna pucat dan menyulitkan pasien dengan kelainan warna. Penderita buta warna atau dengan kelainan penglihatan warna dapat melihat sebagian atau sama sekali tidak dapat melihat gambaran yang diperlihatkan. Pada pemeriksaan, pasien diminta melihat dan mengenali tanda gambar yang diperlihatkan selama 10 detik.

BAB III METODE

A. Alat dan bahan  Buku test buta warna (Ishihara’s Tests)  Alat tulis B. Cara Kerja Masing-masing praktikan diuji untuk melihat BAB IV kemampuannya membedakan warna dengan menulis apa yang terlihat pada buku test buta warna pada HASIL DAN PEMBAHASAN kolom-kolom yang telah disediakan.

Hasil yang telah diperoleh dicocokkan dengan angka / gambar yang sebenarnya

Menghitung berapa persen kesalahan yang dibuat dalam test tersebut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. DATA HASIL PENGAMATAN Halaman Nama

Angka

Angka yang

Sebenarnya

Terbaca

1

12

12

2

8

8

3

5

5

4

29

29

5

74

74

6

7

7

7

45

45

8

2

2

9

x

3

10

16

16

11

x

x

12

35

35

13

96

96

14

x

x

Angka

Angka yang

Sebenarnya

Terbaca

1

12

12

2

8

8

Red Green

3

5

5

Deficiency

4

29

29

92,8%

5

74

84

yang Dibaca

Anes

Halaman Nama

yang Dibaca

Nilam

Kesimpulan

Red Green Deficiency 92,8%

Kesimpulan

6

7

7

7

45

45

8

2

2

9

x

x

10

16

16

11

x

x

12

35

35

13

96

96

14

x

x

Angka

Angka yang

Sebenarnya

Terbaca

1

12

12

2

8

8

3

5

5

4

29

29

5

74

74

6

7

7

7

45

45

8

2

2

9

x

x

10

16

16

11

x

x

12

35

35

13

96

96

14

x

x

Halaman Nama

yang Dibaca

Ratih

Kesimpulan

Red Green Deficiency 100%

Halaman Nama

Angka

Angka yang

Sebenarnya

Terbaca

1

12

12

2

8

8

3

5

5

4

29

29

5

74

74

6

7

7

7

45

45

8

2

2

9

x

x

10

16

16

11

x

x

12

35

35

13

96

96

14

x

x

yang Dibaca

Ayu

Kesimpulan

Red Green Deficiency 100%

B. PEMBAHASAN Praktikum Buta Warna yang dilaksanakan pada hari Selasa, 28 April 2015 jam 09.00-11.00 bertujuan untuk mengetahui cara melakukan pengujian tes buta warna. Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah buku tes buta warna Ishihara’s Test for Colour Blindness. Plate pada buku buta warna tersebut didesain untuk menguji penerimaan seseorang dalam ruang dengan penerangan cahaya matahari secara langsung atau yang sepadan dengannya. Pengenaan penerangan cahaya matahari secara langsung atau menggunakan penerangan cahaya lampu dapat memengaruhi hasil, karena alterasi kemunculan bayangan dari warna. Ketika pengamatan dilakukan dengan menggunakan cahaya lampu, maka harus dapat dipastikan bahwa penerangan tersebut sepadan dengan efek yang ditimbulkan apabila meggunakan cahaya matahari secara langsung. (Ishihara,3)

Masing-masing Plate disajikan dalam jarak 75 cm dari subjek dan dimiringkan sehingga Plate tersebut berada pada sisi kanan subjek. Setiap jawaban yang diberikan oleh subjek tidak boleh lebih dari 3 detik. Seorang penguji tidak harus menggunakan secara keseluruhan Plate yang disediakan. Plate 12, 13 dan 14 dapat dihilangkan apabila tes tersebut didesain untuk memisahkan warna yang salah dengan penerimaan warna yang normal. (Ishihara, 3). Penjelasan tentang plate sebagai berikut: Untuk plate nomor 1, pada banyak subjek dengan mata normal atau mata tidak normal akan menjawab dengan tepat angka “12”. Plate ini digunakan sebagai persiapan terhadap subjek. Plate nomor 2, subjek dengan mata normal akan membaca “8” sementara buta warna hijau-merah akan membaca “3”. Plate nomor 3, apabila mata normal akan membaca “5” sedangkan untuk mata tidak normal (red-green deficiencies) akan membaca “2”. Plate nomor 4, subjek dengan mata normal akan membaca “29” sedangkan untuk mata tidak normal (red-green deficiencies) “70”. Plate nomor 5, subjek dengan mata normal akan membaca “74” sedangkan untuk mata tidak normal (red-green deficiencies) “21”. Plate nomor 6-7, untuk subjek dengan mata normal akan mampu menerjemahkan sedangkan untuk mata tidak normal (red-green deficiencies) tidak dapat membaca angka pada plate. Plate nomor 8, untuk mata normal mampu membaca angka “2”, untuk mata tidak normal (red-green deficiencies) akan melihat kabur angka di dalamnya. Plate nomor 9, untuk mata normal akan kesulitan membacanya, untuk kebanyakan mata tidak normal akan membaca angka “2”. Plate nomor 10, mata normal dapat membaca “16” sementara mata tidak normal tidak dapat membacanya. Plate nomor 11, pada subjek dengan mata normal akan dengan mudah menerjemahkan pola yang ada pada plate. Sementara, mata tidak normal tidak dapat menerjemahkan pola yang ada. Plate nomor 12, pada mata normal subjek mampu membaca “35” sementara pada mata protanopia dan protanomalia kuat hanya akan dapat membaca angka antara “5” sedangkan deuternopia dan deuteranopia kuat hanya dapat membaca “3”. Plate nomor 13, pada mata normal dapat membaca “96” tetapi pada mata protanopia dan protanomalia kuat hanya dapat membaca “6” sedangkan deuteranopia dan deuternopia kuat hanya dapat membaca “9”.

Plate nomor 14, pada protanopia dan protanopia kuat hanya dapat menerjemahkan pola ungu dalam plate. Pada duternopia dan duternopia kuat hanya dapat menerjemahkan pola merah. Sementara pada mata normal dapat menerjemahkan kedua warna tersebut. Berdasarkan data hasil pengamatan pada kelompok kami, dapat diketahui bahwa praktikan Anes dan Nilam memiliki mata yang normal. Meskipun pada keduanya memiliki presentase probandus dibawah 100%.

Probandus tersebut masih dikatakan

normal. Persentase seseorang dikatakan normal yaitu memiliki persentase minimal 74 % atau menjawab salah lebih dari 3. Anes memiliki persentase 92,8 % karena mengalami kesalahan dalam membaca plate ishihara pada halaman ke-9 yang seharusnya tidak terbaca angkanya, namun justru terbaca angka 3. Nilam memiliki persentase 92. 8 % karena salah 1, yaitu salah pada pembacaan angka yang sebenarnya terbaca 74 namun terbaca 84. Sementara itu untuk kedua praktikan yang lain yaitu Ratih dan Ayu keduanya memiliki probandus 100% atau tidak terdapat kesalahan dalam membaca tes butas warna, sehingga dapat dikatakan keduanya memiliki mata yang normal. Dalam kelompok kami, semua anggotanya berjenis kelamin perempuan sehingga tidak dapat melakukan perbandingan perbedaan hasil pengamatan terhadap subjek yang berjenis kelamin laki-laki. Menurut Suryo, laki-laki memiliki peluang yang lebih besar daripada permpuan untuk menderita penyakit buta warna karena buta warna pada umumnya diwariskan terpaut seks. Buta warna sebenarnya adalah suatu kelainan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu akibat faktor genetis sehingga penderita butawarna tidak mampu membedakan warna- warna dasar tertentu. Buta warna merupakan kelainan genetik yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya, kelainan ini sering juga disebut sex linked, karena kelainan ini dibawa oleh kromosom X. Artinya kromosom Y tidak membawa faktor buta warna. Hal inilah yang membedakan antara penderita buta warna pada laki dan wanita. Hal ini menujukkan ada satu kromosom X yang membawa sifat buta warna. Wanita dengan pembawa sifat, secara fisik tidak mengalami kelalinan buta warna sebagaimana wanita normal pada umumnya. Tetapi wanita dengan pembawa sifat berpotensi menurunkan faktor buta warna kepada anaknya kelak. Apabila pada kedua kromosom X mengandung faktor buta warna maka seorang wanita tersebut menderita buta warna. ( Suryo, 2008 : 191-193)

Buta warna terjadi ketika sel-sel retina tidak mampu merespon warna dengan semestinya. Sel-sel kerucut didalam retina mata mengalami perlemahan atau kerusakan. Orang tersebut biasanya tidak buta semua warna melainkan warna-warna tertentu saja. Meskipun demikian ada juga orang yang sama sekali tidak bisa melihat warna jadi hanya tampak sebagai hitam, putih dan abu abu saja. Pada keadaan normal, sel kerucut (cone) di retina mata mempunyai spektrum terhadap tiga warna dasar, yaitu merah, hijau dan biru. Pada orang yang mempunyai sel-sel kerucut yang sensitif untuk tiga jenis warna ini, maka ia dikatakan normal. Pada orang tertentu, mungkin hanya ada dua atau bahkan satu atau tidak ada sel kerucut yang sensitif terhadap warna-warna tersebut. Pada kasus ini orang disebut buta warna. Jadi buta warna biasanya berkaitan dengan warna merah, biru atau hijau. Gejala umum buta warna yaitu kesulitan membedakan warna merah dan hijau (yang paling sering terjadi), atau kesulitan membedakan warna biru dan hijau (jarang ditemukan). Gejala untuk kasus yang lebih serius berupa; objek terlihat dalam bentuk bayangan abu-abu (kondisi ini sangat jarang ditemukan), dan penglihatan berkurang.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Buta warna adalah suatu kelainan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu akibat faktor genetis sehingga penderita butawarna tidak mampu membedakan warna- warna dasar tertentu. Buta warna merupakan kelainan genetik yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya, kelainan ini sering juga disebut sex linked, karena kelainan ini dibawa oleh kromosom X. Artinya kromosom Y tidak membawa faktor buta warna. Hal inilah yang membedakan antara penderita buta warna pada laki dan wanita. Hal ini menujukkan ada satu kromosom X yang membawa sifat buta warna. Wanita dengan pembawa sifat, secara fisik tidak mengalami kelalinan buta warna sebagaimana wanita normal pada umumnya. Tetapi wanita dengan pembawa sifat berpotensi menurunkan faktor buta warna kepada anaknya kelak. Apabila pada kedua kromosom X mengandung faktor buta warna maka seorang wanita tersebut menderita buta warna. Tes buta warna dilakukan menggunakan Ishihara’s Test. B. Saran Sebaiknya pengamatan pada praktikum buta warna dilakukan dengan membandingkan probandus laki-laki dengan perempuan

DISKUSI 1. Mengapa butawarna banyak terdapat pada laki-laki? Jawaban : Karena buta warna merupakan sifat yang terpaut kelamin, dan dibawa oleh genosom. Buta warna merupakan salah satu sifat resesif yang menempel pada kromosom X. Karena laki-laki hanya memiliki satu kromosom X, maka bila seorang laki-laki memiliki kromosom X yang resesif, ia akan menunjukkan sifat buta warna. Berbeda dengan perempuan yang mempunyai dua kromosom X. Bila salah satunya memiliki sifat resesif, maka akan ditutupi oleh kromosom X lainnya. 3. 2. Dapatkah suami isteri yang normal menghasilkan keturunan yang butawarna? Jawaban : Suami istri yang normal masih mungkin menghasilkan keturunan yang buta warna karena mungkin saja salah satu orang tuanya normal tetapi bersifat carier (pembawa) dan jika keturunan tersebut berjenis kelamin laki-laki. Keturunan yang berjenis kelamin perempuan tidak mungkin menderita buta warna karena memiliki dua buah sepasang kromosom X. 3. Apabila dua anak bersaudara kandung, laki-laki dan perempuan semuanya butawarna. Bagaimanakah fenotip dan genotip kedua orang tuanya? Jawaban : Kemungkinan kedua orang tuanya menderita buta warna P 4. Ciri khas pewarisan gen terangkai pada kromosom X adalah Criss-cross inheritance. Apa maksudnya? Jawaban : Maksudnya adalah perkawinan yang menyilangkan sifat yang dibawa oleh suatu individu jantan atau betina ke keturunan yang berjenis kelamin yang berbeda. Misal suatu sifat yang dibawa oleh individu betina akan diturunkan kepada keturunannya yang berjenis kelamin jantan, atau sebaliknya.

More Documents from "puti"