7bjgb-jmdvj.docx

  • Uploaded by: Abdul Rifki
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 7bjgb-jmdvj.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,965
  • Pages: 20
PENDIDIKAN NILAI DAN PEMBELAJARAN BERKUALITAS Mata Kuliah Integrasi Nilai Dosen Pengampu : Buchori Muslim, M.Pd

Disusun Oleh: Tika Ayudia Hartana (11150162000041) Nurul Anjarwati

(111501620000)

Aulia Nurul Aziza

(111501620000)

Choirunnisa

(111501620000)

Radhilla widya.

(11150162000

Abdul Rifki

(111501620000)

Pendidikan Kimia 7B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA JURUSAN ILMU PENGETAHUAN DAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2018 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, menyebutkan,

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Rumusan tujuan pendidikan nasional ini menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dewasa ini, problem remaja terutama pelajar dan mahasiswa adalah mudah marah dan terprovokasi yang tidak terkendali sehingga berujung pada tawuran antar pelajar atau tawuran antar mahasiswa seperti yang sering diberitakan di media massa. Penyalahgunaan obat-obat terlarang dengan berbagai jenisnya, bahkan stigma pelajar saat ini diperparah oleh perilaku penyimpangan sosial yang mereka lakukan dalam bentuk pergaulan bebas (free sex, aborsi, homoseksual, lesbian dan sebagainya). Mereka juga terkesan kurang hormat kepada orangtuanya, guru (dosen), orang yang lebih tua dan tokoh masyarakat. Fenomena bangsa ini dapat diilustrasikan sebagai sosok anak bangsa yang berada dalam kondisi split personality (kepribadian yang pecah, tidak utuh). Kasus akhir-akhir ini menjadi berita hangat adalah kasus Seorang Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Prof Musakkir yang ditangkap polisi di kamar hotel bersama seorang orang mahasiswi yang tengah berpesta sabu pada Jumat (14/11) dini hari. Penangkapan pria yang juga menjabat sebagai Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unhas ini tentulah mengejutkan banyak pihak. Hal ini semakin membuktikan bahwa hasil pendidikan hanya menghasilkan manusia yang mempunyai kemampuan akademik tinggi namun tidak berkarakter.

Berdasarkan hasil studi longitudinal Nasional terhadap kesehatan remaja tahun 1997, yang mewawancarai lebih dari 12.000 siswa kelas tujuh sekolah menengah atas lintas negeri dan sekolah-sekolah pemasoknya di Amerika, mengidentifikasi dua “faktor pelindung” yang cenderung mencegah para remaja terlibat dalam perilaku berisiko ini. Yang paling penting adalah keterikatan dengan keluarga, perasaan dekat dengan orang tua dan keterikatan dengan sekolah, perasaan dekat dengan orang-orang di sekolah (Resnick dkk dalam Lickona, 2014). Studi lain yang dilakukan oleh Bonnie Benard tahun 1993 (dalam Lickona, 2014) menunjukkan anak-anak yang ulet, biasanya memiliki empat kekuatan: kompetensi sosial, keahlian memecahkan masalah, kesadaran akan identitas dan harapan pada masa depan. Anak-anak seperti itu, dalam menjelaskan bagaimana mereka mengatasi berbagai rintangan dalam kehidupan, sering mengutip seorang “guru istimewa” yang bukan hanya sekedar instruktur akademik tetapi juga seorang yang dipercaya dan model peran yang mengilhami. Menurut Bill Rose dalam Ratnawangi (2004), guru yang galak, merupakan ciri umum guru-guru di Indonesia. Mereka jarang sekali memberi pujian kepada anak, tetapi lebih banyak mengkritik dan memarahi anak. Seringkali terjadi guru mempermalukan anak di depan kelas, memarahi atau bahkan menghukumnya. Selain itu, adanya sistem perangkingan sejak kecil, berhubung hanya segelintir anak yang masuk rangking, maka sebagian besar anak sudah divonis bodoh sejak kecil. Hal ini menyebabkan anak-anak Indonesia menjadi individu-individu yang tidak mempunyai percaya diri, minder, atau malas untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Inilah mungkin yang menjadi salah satu penyebab mengapa kualitas SDM Indonesia menjadi nomor 4 terburuk di Indonesia. Sikap guru yang demikian juga dikarenakan kesalahan sistem pendidikan yang hanya semata-mata berorientasi mengejar keberhasilan akademik yaitu sistem yang mengejar target kurikulum. Selain itu banyak juga guru yang tidak peduli dengan pembentukan moral anak didiknya. Hal ini dikarenakan Indonesia belum mempunyai pendidikan karakter yang efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia yang berkarakter (tercermin dari tingkah lakunya). Padahal ada beberapa mata pelajaran

yang berisikan

pesan-pesan

moral,

misalnya

pelajaran

agama,

kewarganegaraan dan Pancasila. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran yang

dilakukan adalah dengan pendekatan hafalan (kognitif), lebih ditekankan bagaimana memperoleh nilai yang bagus, sedangkan bagaimana dampak mata pelajaran terhadap perubahan perilaku tidak diperhatikan. Sehingga terdapat kesenjangan antara pengetahuan moral (cognition) dan perilaku (action). Misal, semua orang pasti tahu bahwa berbohong dan korupsi itu salah dan melanggar ketentuan agama, tetapi banyak sekali orang yang tetap melakukannya. Krisis karakter yang dialami bangsa ini disebabkan kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga menjadi budaya. Krisis karakter yang terjadi secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pendidikan. Adanya gap antara program pendidikan moral dan agama, gap antara program pendidikan dengan pendidikan nilai, disorientasi pendidikan yang hanya mengembangkan aspek kognitif saja, menjadi alasan mengapa dunia pendidikan harus ikut bertanggung jawab terhadap krisis moral dan karakter yang terjadi.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENDIDIKAN NILAI Nilai menurut Patricia Craton (dalam Agus Z.F, 2012) adalah prinsip-prinsip sosial, tujuan-tujuan, atau standar yang dipakai atau diterima individu, kelas, masyarakat, dan lain-lain. Drijarkara (dalam Agus Z.F, 2012) mengungkapkan bahwa nilai merupakan hakikat sesuatu yang menyebabkan hal itu pantas dikerjakan oleh manusia. Pendidikan nilai memiliki beragam istilah dan pemahaman antara lain pendidikan akhlak, budi pekerti, nilai, moral, etika, karakter, dan sebagainya. Namun istilah karakter lebih kuat karena berkaitan dengan sesuatu yang melekat di dalam setiap individu. Lickona menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang ada didalam kehidupan. Pendidikan karakter juga dimaknai sebagai sebuah proses untuk mengembangkan perpektif yang positif, sikap, kemampuan untuk membuat keputusan, dan keinginan untuk berpartisipasi melalui tindakan sosial dalam pembelajaran (Saghafi dan Shatalebi, 2012). Sedangkan pendidikan karakter menurut Kemendiknas (2011) adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan

bertindak berdasarkan nilai-nilai

yang telah menjadi

kepribadiannya. Dengan kata lain pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling)

dan perilaku yang baik

(moral action)

sehingga terbentuk perwujudan

kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik. Menurut Lickona (2012 ) ada tujuh alasan mengapa pendidikan karakter itu harus disampaikan : a.

merupakan cara terbaik untuk menjamin anak-anak (siswa)

memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya b.

merupakan cara untuk meningkatkan prestasi akademik

c.

sebagian siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi

dirinya di tempat lain d.

mempersiapkan siswa untuk menghormati pihak atau orang lain

dan dapat hidup dalam masyarakat beragam e.

berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan problem

moral-sosial,

seperti

ketidaksopanan,

ketidakjujuran,

kekerasan,

pelanggaran kegiatan seksual, dan etos kerja (belajar) rendah f.

merupakan persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di

tempat kerja; dan g.

mengajarkan nilai-nilai budaya merupakan bagian dari peradaban

Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi: a.

mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia

berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik. b.

membangun bangsa yang berkarakter Pancasila

c.

mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap

percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa, yaitu: Nilai 1. Religius

2. Jujur

3. Toleransi

Deskripsi perilaku yang

Sikap dan patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin

5. Kerja keras

6. Kreatif

7. Mandiri

8. Demokratis

9. Rasa ingin tahu

10. Semangat kebangsaan

11. Cinta tanah air

12. Menghargai prestasi

13. Bersahabat / komunikasi

14. Cinta damai

15. Gemar membaca

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan

16. Peduli lingkungan

17. Peduli sosial

18. Tanggung jawab

kebajikan bagi dirinya Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

B. PEMBELAJARAN BERKUALITAS

Pembelajaran berkualitas menurut Carnegie (1996) menyiratkan bahwa pembelajaran secara umum harus melibatkan keseluruhan kedalam kognisi, sosial,kematangan emosional, dan pengetahuan diri. Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreativitas pengajar. Pelajar yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memadai, ditambah dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai target belajar. Pembelajaran berkualitas telah memberi sinyal pada komunitas pendidikan akan potensi besar dari pengajaran, termasuk di dalamnya implikasi terhadap dimensi pembelajaran berkaitan dengan penanaman nilai-nilai personal dan sosial. Kelompok pengajaran bermutu memiliki relevansi yang luas terhadap dunia dalam mengusahakan Pendidikan Nilai yang tidak akan pernah usang. Bila dipahami secara benar dan komprehensif, Pendidikan Nilai mempunyai potensi untuk menggantikan dan melengkapi tujuan implisit dalam Pengajaran Bermutu (Lovet, 2009). Dari uraian Lovet tersebut dapat disimpulkan bahwa pengajaran nilai pada masa sekarang telah menjadi bagian penting dalam pendidikan nilai. Pengajaran nilai mempunyai makna yang lebih luas daripada sekedar mengajarkan nilai-nilai yang bersifat kognitif, tetapi mencakup pengembangan berbagai dimensi dalam diri peserta didik mulai dari kecakapan berkomunikasi, manajemen diri, kesadaran sosial, dan kematangan emosional yang bersifat integratif.

Model pendidikan karakter menurut Lickona menggunakan pendekatan komprehensif terhadap nilai-nilai dan pendidikan karakter digambarkan dalam bagan berikut Linckona (2012): 1. Sepanjang sejarah, pendidikan memiliki dua tujuan utama, yaitu membantu orang menjadi pintar dan lebih baik. 2. “Baik” dapat diartikan sebagai nilai-nilai moral yang memiliki kebaikan yang objektif, yaitu nilai-nilai yang memperkuat martabat manusia dan memajukan kebaikan individu dan masyarakat. 3. Terdapat dua nilai universal moral yang dapat membentuk inti sebuah masyarakat, yaitu respek dan tanggung jawab. 4. Respek adalah menunjukkan rasa hormat pada seseorang atau sesuatu yang berharga. Hal yang termasuk respek terhadap diri sendiri, yaitu respek terhadap hak-hak dan martabat setiap manusia, dan respek terhadap lingkungan yang menyokong semua kehidupan. Respek dapat menjaga kita untuk tidak merugikan apa yang harus kita hargai. 5. Tanggung jawab adalah sisi aktif dari moral. Tanggung jawab termasuk menjaga diri sendiri dan orang lain, memenuhi kewajiban, berkontribusi terhadap masyarakat, meringankan beban, dan membangun sebuah dunia yang baik. Dengan mendidik orang agar memiliki rasa saling menghormati dan bertanggung jawab, yaitu dengan membuat siswa mengimplementasikan nilai-nilai hidupnya

PERANAN GURU Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 dan Undang Undang No. 14 Tahun 2005 peran guru adalah sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pengarah, pelatih, penilai dan pengevaluasi dari peserta didik (Mulyasa, 2007 : 197).

Menurut Nana Sudjana (2011 : 15-16) dengan mengutip pendapat Peters mengemukakan bahwa tugas dan tanggung jawab guru ada tiga, yaitu: guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing dan guru sebagai administrator kelas. Penjelasan ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut: a. Guru sebagai pengajar lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. b. Guru sebagai pembimbing memberi tekanan pada tugas memberikan bantuan kepada peserta didik dalam pemecahan masalah yang dihadapinya. c. Tugas

sebagai

administrator

kelas

merupakan

jalinan

antara

ketatalaksanaan bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya. Menurut Sardiman (2010 : 144-146) beberapa peran guru adalah sebagai berikut: a.

Informator, guru memberikan informasi perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, selain sejumlah bahan pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang diprogramkan. b.

Organisator, yaitu guru mengelola komponen-komponen yang

berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar sehingga dapat mencapai efektifitas dan efisiensi dalam pembelajaran. c.

Motivator, yaitu guru merangsang dan memberikan dorongan

untuk mendinamiskan potensi peserta didik, menumbuhkan peran aktif dan daya cipta (kreatifitas), sehingga peserta didik mau belajar terus menerus. d.

Pengarah, guru dalam hal ini

dapat mengarahkan dan

membimbing peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. e.

Inisiator, guru dalam hal ini sebagai pencetus ide-ide dalam

proses belajar. f. Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan pendidikan dan pengetahuan. g.

Fasilitator, guru dalam hal ini akan memberikan fasilitas atau

kemudahan dalam proses belajar-mengajar. h.

Mediator, dalam hal ini guru sebagai penengah dalam kegiatan

belajar peserta didik. Mediator juga diartikan penyedia media. Bagaimana cara memakai dan mengorganisasikan penggunaan media.

i. Evaluator, dalam perannya ini guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi peserta didik dalam bidang akademis maupun tingkah laku sosialnya sehingga dapat menentukan peserta didik berhasil atau tidak. Melengkapi uraian tentang guru, seperti yang tersebut di atas, Lickona menyampaikan tuntutan bagi guru untuk berhasil mendidik karakter siswa sebagai berikut, a. Bertindak sebagai seorang penyayang,

model, dan mentor, yang

memperlakukan siswa dengan kasih sayang dan respek, memberikan sebuah contoh yang baik, mendukung kebiasaan yang bersifat social, dan memperbaiki jika ada yang salah. b. Menciptakan sebuah komunitas bermoral di dalam ruang kelas, membantu siswa untuk saling mengenal, saling menghormati dan menjaga satu sama lain, dan merasa bagian dari kelompok tersebut. c. Berlatih memiliki disiplin moral, menggunakan aturan-aturan sebagai kesempatan untuk membantu menegakkan moral, control terhadap diri sendiri, dan sebuah generalisasi rasa hormat bagi orang lain. d. Menciptakan sebuah lingkungan kelas yang demokratis, melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan dan berbagi tanggung jawab untuk menciptakan ruang kelas yang baik, serta nyaman untuk belajar. e. Mengajarkan nilai-nilai yang baik melalui kurikulum dan menggunakan pelajaran akademik sebagai kesadaran untuk membahas permasalahan etika. f. Menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif dalam mengajar anak-anak untuk bersikap saling membantu dan bekerja sama. g. Mengembangkan “seni hati nurani” dengan membantu mereka mengembangkan tanggung jawabnya secara akademik dan rasa hormat terhadap nilai-nilai belajar dan bekerja. h. Menyemangati siswa untuk merefleksikan moral melalui membaca, menulis, berdiskusi, latihan membuat keputusan dan berargumen. i. Mengajarkan peserta didik mencari resolusi dari sebuah konflik sehingga para siswa memilikin kapasitas dan komitmen untuk memecahkan masalah tanpa kekerasan (Lickona, 2012).

Sementara di luar kelas/ lingkungan sekolah, guru dituntut untuk: a. Memberikan kasih sayang, mengajarkan kepedulian dan memfasilitsi siswa dengan cara memberikan pelayanan yang diperlukan siswa. b. Menciptakan

kebudayaan

moral

yang

positif,

mengembangkan

lingkungan sekolah secara menyeluruh, dan memperkuat nilai-nilai yang diajarkan di dalam kelas. c. Mengikutsertakan wali murid dan masyarakat sekitar sebagai rekan kerja untuk mengajarkan nilai-nilai pendidikan, karena wali murid merupakan guru moral pertama bagi anak-anak (Lickona, 2012).

PERANAN SEKOLAH Terry Lovat (2009: 1) mengatakan bahwa penelitian pendidikan akhir-akhir ini telah menemukan beberapa kelemahan dalam penelitian terdahulu mengenai keterbatasan peran guru dan sekolah untuk melakukan perubahan yang efektif terhadap prestasi siswa. Penelitian terdahulu cenderung menempatkan

pengajaran dan

persekolahan hanya sedikit berperan (peran marginal) dibandingkan dengan peran yang dimainkan oleh rumah dan latar belakang subjek didik. Sedangkan menurut Christopher Jencks (1972) menyimpulkan bahwa karakter dari luaran (output) sebuah sekolah sangat tergantung pada masukan (input) tunggal, yaitu karakteristik dari anak-anak yang masuk. Selain itu, sekolah memiliki dampak yang terbatas pada pembelajaran yang berkaitan dengan perkembangan kognitif. Sehingga apa yang dapat sekolah lakukan untuk menghadapi dimensi perkembangan pribadi, sosial dan moral yang kurang terukur. Dengan kata lain, satu-satunya sikap yang masuk akal untuk guru adalah dengan salah satu nilai-netralitas. Di seluruh dunia, keyakinan ini sekarang sedang dievaluasi kembali. Dari uraian Lovet tersebut dapat disimpulkan bahwa pengajaran nilai pada masa sekarang telah menjadi

bagian penting dalam pendidikan nilai.

Pengajaran nilai mempunyai makna yang lebih luas daripada sekedar mengajarkan nilainilai yang bersifat kognitif, tetapi mencakup pengembangan berbagai dimensi dalam

diri peserta didik mulai dari kecakapan berkomunikasi, manajemen diri, kesadaran sosial, dan kematangan emosional yang bersifat integratif. Selanjutnya, Lovat (2009: 7) mengatakan bahwa ada tugas dua sisi yang tidak terpisahkan dari Pendidikan Nilai dan Moral. Pertama, membangun terlebih dahulu sebuah lingkungan yang di dalamnya ada respek, kepercayaan (trust) dan kepedulian, sebelum sepatah kata diajarkan/diucapkan. Idealnya, melalui lingkungan yang kondusif tersebut, subjek didik akan melihat orang-orang di sekitarnya dihargai oleh seluruh komunitas sekolah yang sebelumnya mungkin subjek didik tidak memandang respek sebagai sesuatu yang bernilai. Pembelajaran yang seperti itu merupakan pelajaran yang sangat efektif untuk semua orang. Contohnya, di kalangan muslim, seorang guru dan sekolahnya

menunjukkan cara-cara yang mengakomodasi ekspresi muslim seperti

batasan berpakaian, makanan atau peribadatan. Bila semua anggota komunitas sekolah terlibat dalam pemodelan ini, maka jelas transformasi keyakinan dan perilaku akan lebih mudah untuk diwujudkan. Tetapi, di luar semua itu, pertama-tama guru-guru hendaklah dilatih secara khusus tentang pembelajaran yang akan melibatkan mereka. Apabila lingkungan sudah dirancang bagi terwujudnya respek, trust dan penerimaan diri, tugas selanjutnya adalah menjelaskan atau memberikan argumentasi tentang pentingnya lingkungan yang kondusif tersebut bagi umat manusia. Penjelasan tersebut adalah pengajaran atau aspek kurikulum dari Pendidikan Nilai, berapapun usia subjek didik. Tugas kedua adalah mendorong subjek didik belajar mengenai refleksi diri, yaitu mengetahui diri sendiri yang akan membawa seseorang melangkah ke luar dari bayangbayangnya sendiri dan warisan budayanya, menantang tidak hanya keyakinankeyakinan yang bersifat prakonsepsi dan perilaku-perilaku yang sudah turun-temurun secara budaya dilakukan, tetapi lebih dari itu agar subjek didik ke luar dari zona nyaman

keyakinan dan perilakunya. Tugas ini disebut dengan istilah mentransformasi. Inilah arti penting Pendidikan Nilai di sekolah. Walaupun transformasi itu menyakitkan, karena semakin lama seseorang berada pada zona nyaman,

semakin sulit ia akan

berubah (Lovat, 2009: 8). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sekolah mempunyai peran yang cukup signifikan dalam pendidikan nilai. Pengajaran bermutu merupakan pengajaran yang bersifat holistik karena dimensi nilai-nilai menjadi perhatian dan sebagai bagian penting dalam prosesnya. Pendidikan nilai dan pengajaran bermutu adalah seperti dua sisi koin yang tidak terpisahkan. Adapun Sulhan (2010: 15-16) mengemukakan tentang beberapa langkah yang dapat dikembangkan oleh madrasah dalam melakukan proses pembentukan karakter pada siswa. Adapun langkah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Memasukan konsep karakter pada setiap kegiatan pembelajaran dengan cara: a.

Menambahkan nilai kebaikan kepada anak (knowing the good)

b.

Menggunakan cara yang dapat membuat anak memiliki alasan

atau keinginan untuk berbuat baik (desiring the good) c.

Mengembangkan sikap mencintai untuk berbuat baik (loving the

good) 2. Membuat slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku masyarakat sekolah

3. Pemantauan secara kontinu. Pemantauan secara kontinu merupakan wujud dari pelaksanaan pembangunan karakter. Beberapa hal yang harus selalu dipantau diantaranya adalah: a.

Kedisiplinan masuk pesantren

b.

Kebiasaan saat makan di kantin

c.

Kebiasaan dalam berbicara

d.

Kebiasaan ketika di masjid, dll

4. Penilaian orangtua. Rumah merupakan tempat pertama sebenarnya yang dihadapi anak. Rumah merupakan tempat pertama anak berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Untuk itulah, orangtua diberikan kesempatan untuk menilai anak, khususnya dalam pembentukan moral anak. Selain pendekatan-pendekatan di atas, minimal terdapat empat strategi yang bisa menjadi alternatif pendidikan karakter di sekolah/madrasah: 1.

Pendekatan Normatif, yakni mereka (perangkat madrasah) secara

bersama-sama membuat tata kelola (good governence) atau tata tertib penyelenggaraan madrasah

yang didalamnya dilandasi

oleh nilai-nilai

pendidikan karakter/akhlak, perumusan tata kelola ini penting dibuat secara bersama, bahkan melibatkan santri dan tidak bersifat top down dari pimpinan madrasah Sehingga terlahir tanggung jawab moral kolektif yang dapat melahirkan sistem kontrol sosial, yang pada giliranya mendorong terwujudnya institution culture yang penuh makna. 2.

Pendekatan Model yakni mereka (perangkat madrasah), khususnya

pimpinan madrasah berupaya untuk menjadi model dari tata tertib yang dirumuskan, ucap, sikap dan prilakunya menjadi perwujudan dari tata tertib yang disepakati bersama. 3.

Pendekatan Reward and Punishmen yakni diberlakukanya sistem hadiah

dan hukuman sebagai stimulus dan motivator terwujudnya tata kelola yang dibuat.

4.

Pendekatan Suasana Belajar (baik suasana fisik maupun suasana psikis)

yakni dengan mengkondisikan suasana belajar agar menjadi sumber inspirasi penyadaran nilai bagi seluruh perangkat madrasah, termasuk para siswa seperti dengan memasang visi madrasah, kata-kata hikmah, ayat-ayat Al Qur’an dan mutiara hadis di tempat-tempat yang selalu terlihat oleh siapapun yang ada di madrasah, memposisikan bangunan masjid di arena utama madrasah, memasang kaligrafi di setiap ruangan belajar santri, membiasakan membaca Al Qur’an setiap mengawali belajar dengan dipimpin guru, program shalat berjamaah, kuliah tujuh menit, perlombaan-perlombaan dan sebagainya.

C. HUBUNGAN

ANTARA

PENDIDIKAN

NILAI

DRENGAN

PEMBELAJARAN BERKUALITAS

Pembelajaran berkualitas bukan sekedar pembelajaran di permukaan yang bersifat faktual sebagaimana karakteristik pendidikan pada masa lalu, tetapi pembelajaran dalam arti sekarang adalah sebuah pembelajaran yang melibatkan pribadi keseluruhan dalam aspek kognisi, kematangan sosial dan emosional, juga pengetahuan diri sendiri. Pembelajaran berkualitas telah memberi sinyal pada komunitas pendidikan akan potensi besar dari pengajaran, termasuk di dalamnya implikasi terhadap dimensi pembelajaran yang berkaitan dengan penanaman nilai-nilai personal dan sosial. Kelompok pengajaran bermutu memiliki relevansi yang luas terhadap dunia dalam mengusahakan pendidikan nilai yang tidak akan pernah usang. Pendidikan nilai mempunyai potensi untuk menggantikan dan melengkapi tujuan implisit dalam pengajaran bermutu (Lovet, 2009).

Pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas adalah seperti dua sisi koin yang tidak terpisahkan. Pendidikan nilai dan pembelajaran yang berkualitas memiliki potensi untuk menyatu dalam menghasilkan kedalaman intelektual, kompetensi komunikatif, empati refleksi dan manajemen diri yang merupakan dimensi pembelajaran berkualitas. Hubungan pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas juga digambarkan sebagai “double heliks”. Pendidikan nilai tanpa pembelajaran yang berkualitas adalah sebuah oxymoron (menunjukkan hubungan bertentangan), tetapi pendidikan yang berkualitas tanpa pendidikan nilai memiliki potensi untuk mengakibatkan kehilangan keterkaitan antara hubunga tersebut. Dari penelitian efektivitas guru bahwa guru sangat efektif ketika mereka menggunakan prosedur pengajaran yang sistematis, mengahabiskan lebih banyak waktu bekerja dengan kelompok-kelompok kecil sepanjang hari, menggunakan umpan balik yang sistematis dengan siswa tentang kinerja mereka, menjalankan kelas lebih teratur, menyesuaikan kesulitan tingkat bahan untuk kemampuan siswa, melibatkan siswa pada tugas, dan sejumlah fitur operasional lainnya yang membuat keakraban siswa dengan guru. Studi kasus ini menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk: -

Membentuk hubungan interpersonal yang positif antara siswa dan guru di kelas - Lebih bijaksana dan pemikiran lingkungnan di kelas - Memberikan ruang emosional dan spiritual - Membuat disposisi positif terhadap pembelajaran dan memungkinkan potensi untuk cinta belajar Values education - Strong positive relationships - Positive dispositions to learninglearning love learning - Emotional dan spritual space - Calm teaching and learning envirentment

Quality teaching teaching Quality

-

- - Intellectual Intellectual depth depth - - Communicate Communic competence ate - competence Emphatic character - Emphatic - character Capacity for reflection - Capacity - forSelfreflection management - Self- management Selfknowledge - Selfknowledge

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1.

Pendidikan nilai adalah usaha menanamkan prinsip-prinsip sosial,

tujuan-tujuan atau standar yang dipakai atau diterima individu, kelas, masyarakat dan lain-lain, pada siswa sehingga menjadi pedoman hidup siswa serta dapat dilihat dalam pola tingkah laku, pola berpikir dan sikap-sikap individu atau kelompok. 2.

Pembelajaran berkualitas adalah pembelajaran yang melibatkan aspek

kognitif, psikomor dan afektif

peserta didik, sehingga peserta didik dapat

belajar sebanyak mungkin melalui pembelajaran berkelanjutan.

3.

Hubungan antara pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas bagaikan

dua sisi koin yang tidak terpisahkan dan bagaikan “double heliks”, karena ketika kita mengidentifikasi praktik nilai-nilai yang baik, kita juga mengidentifikasi praktik pembelajaran yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Kemendiknas. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Balitbang Puskurbuk Lickona, Thomas 2012. Educating for Character: Mendidik untk Membentuk Karakter, diterjemahkan oleh Juma Wadu Wamaungu. Jakarta: Bumi Aksara Saghafi, A. & Shatalebi, B. (2012). “Analyzing The Role of Teachers in The Nature Character Education of Students from The Attitudes of Them”. Arabian Journal of Business and Management Review. Vol 1 No. 7. Pp 54-59. Jencks, C. (1993) Culture, Routledge, London.

Lovat, Terry. (2009). Values education and quality teaching: two sides of learning coin. Dalam Terry Lovat & Ron Toomey (Eds.) Values education and quality teaching. [versi elektronik]. Diambil pada tanggal 15 Januari 2010 dari www.springer.com Lickona, Thomas. 2012 Educating for Character. Jakarta: Bumi Aksara. Mulyasa. 2007. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rodakarya Nana Sudjana. 2011. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo Sardiman. 2010. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

More Documents from "Abdul Rifki"