78879_laporan Tutorial Modul 1 (1)(1).docx

  • Uploaded by: ijahsoo
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 78879_laporan Tutorial Modul 1 (1)(1).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,313
  • Pages: 40
LAPORAN TUTORIAL MODUL 1 SKENARIO 3

BATUK DAN SESAK PADA DEWASA

KELOMPOK 7

Zahra Rana Aqilah

(105421100417)

Maria Melania Surat Boro

( 105421105417 )

Nurul Fatimah Hamzah (105421100517)

Adinda Nurul Ismi

( 105421109017 )

Amirah Silino Rachmat (105421100617)

Hanif Muh Taufan

( 105421109117 )

Muh Tajrin

(105421104617)

Muhammad Sulfiqram Syam (105421109217 )

Darmianti DN

(105421104917)

Fitri Liana Sari H

Jihan Camelia Faried

(105421105217)

(10542111517)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADYAH MAKASSAR 2019 1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. 2

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………….. 3

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………….... 4 A. B. C. D. E. F.

Kalimat Kunci ……………………………………………………………………. 4 Dasar Masalah …………………………………………………………………..... 4 Diagnosis Banding ………………………………………………………………...6 Analisa Masalah ………………………………………………………………….12 Patogenesis Masalah …………………………………………………………….. 20 Penatalaksanaan Masalah ………………………………………………………...25

BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………38 A. Kesimpulan ……………………………………………………………………….38 B. Saran ……………………………………………………………………………...38 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………39

2

BAB I PENDAHULUAN

Batuk adalah suatu refleks fisiologi protektif yang bermanfaat untuk mengeluarkan dan membersihkan saluran pernapasan dari dahak, debu, zat-zat perangsang asing yang dihirup, partikel-partikel asing dan unsur-unsur infeksi. Orang sehat hampir tidak batuk sama sekali berkat mekanisme pembersihan dari bulu getar di dinding bronchi, yang berfungsi menggerakkan dahak keluar dari paru-paru menuju batang tenggorok. Cilia ini bantu menghindarkan masuknya zat-zat asing ke saluran napas. (Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, K. 2010). (1) Pada banyak gangguan saluran napas, batuk merupakan gejala penting yang ditimbulkan oleh terpicunya refleks batuk. Misalnya pada alergi (asma), sebab-sebab mekanis (asap rokok, debu, tumor paru), perubahan suhu yang mendadak dan rangsangan kimiawi (gas, bau). Sering kali juga disebabkan oleh peradangan akibat infeksi virus seperti virus selesma (common cold), influenza, dan cacar air di hulu tenggorok (bronchitis, pharyngitis). Virus-virusini dapat merusak mukosa saluran pernapasan, sehingga menciptakan “pintu masuk” untukinfeksi sekunder oleh kuman, misalnya Pneumococci dan Haemophilus. Batuk dapat mengakibatkan menjalarnya infeksi dari suatu bagian paru ke yang lain dan juga merupakan beban tambahan pada pasien yang menderita penyakit jantung. Penyebab batuk lainnya adalah peradangan dari jaringan paru (pneumonia), tumor dan juga akibat efek samping beberapa obat (penghambat-ACE). Batuk juga merupakan gejala terpenting pada penyakit kanker paru. Penyakit tuberkulosa di lain pihak, tidak selalu harus disertai batuk, walaupun gejala ini sangat penting. Selanjutnya batuk adalah gejala lazim pada penyakit tifus dan pada dekompensasi jantung, terutama pada manula, begitu pula. (1) Pada asma dan keadaan psikis (kebiasaan atau “tic”). Akhirnya batuk yang tidak sembuh-sembuh dan batuk darah terutama pada anakanak dapat pula disebabkan oleh penyakit cacing, misalnya oleh cacing gelang. Disamping gangguan-gangguan tersebut, batuk bisa juga dipicu oleh stimulasi reseptorreseptor yang terdapat di mukosa dari seluruh saluran napas, (termasuk tenggorok), juga dalam lambung. Bila reseptor ini yang peka bagi zat-zat perangsang distimulir, lazimnya timbullah refleks batuk. Saraf-saraf tertentu menyalurkan isyarat-isyarat ke pusat batuk di sumsum lanjutan (medulla oblongata), yang kemudian mengkoordinir serangkaian proses yang menjurus ke respons batuk. Batuk yang berlarut-larut 3

merupakan beban serius bagibanyak penderita dan menimbulkan berbagai keluhan lain seperti sukar tidur, keletihan dan inkontinensi urin. Jenis batuk dapat dibedakan menjadi 2, yakni batuk produktif (dengan dahak) dan batuk non-produktif (kering). (1)

1. Batuk produktif merupakan suatu mekanisme perlindungan dengan fungsi mengeluarkan zatzat asing (kuman, debu, dsb) dan dahak dari batang tenggorok. Batuk ini pada hakikatnya tidak boleh ditekan oleh obat pereda. Tetapi dalam praktek seringkali batuk yang hebat mengganggu tidur dan meletihkan pasien ataupun berbahaya, misalnya setelah pembedahan. Untuk meringankan dan mengurangi frekuensi batuk umumnya dilakukan terapi simtomatis dengan obat-obat batuk (antitussiva), yakni zat pelunak, ekspektoransia, mukolitika dan pereda batuk. (1) 2. Batuk non-produktif bersifat “kering” tanpa adanya dahak, misalnya pada batuk rejan (pertussis, kinkhoest), atau juga karena pengeluarannya memang tidak mungkin, seperti pada tumor. Batuk menggelitik ini tidak ada manfaatnya, menjengkelkan dan seringkali mengganggu tidur. Bila tidak diobati, batuk demikian akan berulang terus karena pengeluaran udara cepat pada waktu batuk akan kembali merangsang mukosa tenggorok dan farynx. (1)

Sesak napas merupakan sensasi kesukaran bernapas atau napas yang pendek, mekanisme sesak napas belum dapat diketahui dengan pasti. American Thoracic Society (ATS) 2012 mendefinisikan sesak napas sebagai pengalaman subjektif atas ketidaknyamanan dalam bernapas. Sesak napas dapat terjadi pada kondisi fisiologis dan patologis. Pemahaman mekanisme pengendalian pernapasan memerlukan pengetahuan tentang beberapa hal dasar berikut yaitu fungsi komponen utama pernapasan di medula, pengaruh pusat pernapasan pons, system pengawas utama yang mempengaruhi komponen pernapasan di medula danrefleks yang mempengaruhi pernapasan. Sesak napas merupakan interaksiberbagai sinyal yang berasal dari sejumlah reseptor di saluran napas atas, paru dan kemoreseptor yang dikirim ke pusat pernapasan di batang otak dan kortek motorik. Penyebab sesak napas dapat dibagi berdasarkan mekanismenya, kronisitas dan waktu, patofisiologi, anatomi dan kelainan. Sesak napas dapat disebabkan oleh intra paru dan ekstra paru. Sesak napas karena kelainan ekstra paru antara lain, latihan, berada di ketinggian, wanita hamil, kelainan jantung, gangguan ginjal, dan gangguan psikis. (2)

4

BAB II PEMBAHASAN

SKENARIO 3

Laki-laki 60 tahun datang berobat ke rumah sakit dengan keluhan rasa sesak yang dialami sejak 2 minggu terakhir dan dirasakan makin memberat dalam 3 hari terakhir, sesak terus menerus dan pasien lebih nyaman dalam posisi setengah duduk. Batuk ada disertai lendir kehijauan. Demam ada sejak 1 minggu terakhir. Pasien merokok sejak umur 15 tahun, ada riwayat hipertensi dan berobat tidak teratur. Riwayat dirawat dengan kelainan paru 10 tahun yang lalu (diagnosis tidak diketahui).

A. Kalimat Kunci  Laki – laki usia 60 tahun  Rasa sesak sejak 2 minggu terakhir  Makin memberat dalam 3 hari terakhir  Sesak terus-menerus  Lebih nyaman dalam posisi setengah duduk  Batuk disertai lendir kehijauan  Demam sejak 1 minggu terakhir  Riwayat merokok sejak umur 15 tahun  Riwayat hipertensi dengan berobat tidak teratur  Riwayat dengan kelainan paru 10 tahun lalu

B. Dasar Masalah

Pulmo

Berdasarkan scenario 3 diatas maka didapatkan dasar masalahnya adalah bagian dari saluran pernapasan bagian bawah yaitu pulmo (paru-paru)

5

Gambar Pulmo ( Paru-Paru ) Sumber: http://medicina-islamica-lg.blogspot.com/2012/03/anatomi-pulmo-paru.html

Paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk pertukaran udara. Tiap paru memiliki: apeks yang mencapai ujung sternal kosta pertama, permukaan costovertebral yang melapisi dinding dada, basis yang terletak di atas diafragma dan permukaan mediastinal yang menempel dan membentuk struktur mediastinal di sebelahnya. Paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fissura obliqus dan horizontal. Paru kiri hanya memiliki fissura obliqus sehingga tidak ada lobus tengah. Segmen lingular merupakan sisi kiri yang ekuivalen dengan lobus tengah kanan. Namun, secara anatomis lingual merupakan bagian dari lobus atas kiri. Struktur yang masuk dan keluar dari paru melewati hilus paru yang diselubungi oleh kantung pleura yang longgar.

(3)

Setiap paru diselubungi oleh kantung pleura berdinding ganda yang membrannya melapisi bagian dalam toraks dan menyelubungi permukaan luar paru. Setiap pleura mengandung beberapa lapis jaringan ikat elastik dan mengandung banyak kapiler. Diantara lapisan pleura tersebut terdapat cairan yang bervolume sekitar 25-30 mL yang disebut cairan pleura. Cairan pleura tersebut berfungsi sebagai pelumas untuk gerakan paru di dalam rongga.

(3)

Bronki dan jaringan parunkim paru mendapat pasokan darah dari arteri bronkialis cabang-cabang dari aorta thoracalis descendens. Vena bronkialis, yang juga berhubungan dengan vena pulmonalis, mengalirkan darah ke vena azigos dan vena hemiazigos. Alveoli mendapat darah deoksigenasi dari cabang-cabang terminal arteri pulmonalis dan darah yang teroksigenasi mengalir kembali melalui cabang-cabang vena pulmonalis. Dua vena pulmonalis mengalirkan darah kembali dari tiap paru ke atrium kiri jantung. (3)

6

Drainase limfatik paru mengalir kembali dari perifer menuju kelompok kelenjar getah bening trakeobronkial hilar dan selanjutnya menuju trunkus limfatikus mediastinal. Paru dipersyarafi oleh pleksus pulmonalis yang terletak di pangkal paru. Pleksus ini terdiri dari serabut simpatis (dari truncus simpaticus) dan serabut parasimpatis (dari arteri vagus). Serabut eferen dari pleksus mensarafi otot-otot bronkus dan serabut aferen diterima dari membran mukosa bronkioli dan alveoli. (3)

C. Diagnosa Banding

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Menurut World Health Organization (WHO) (2008) PPOK merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Pada tahun 2002, 2004 dan 2005 Proportional Mortality Ratio (PMR) akibat PPOK di beberapa negara maju masing-masing sebesar 3,9%, 3,5% dan 3,9%. Di negara berkembang masing-masing sebesar 7,6%, 7,45% dan 8,1% serta di negara miskin masing masing sebasar 3,1%, 3,6% dan 3,4%. Angka-angka tersebut menunjukkan semakin meningkatnya kematian akibat PPOK di dunia. Laporan terbaru WHO menyatakan bahwa sebanyak 201 juta manusia mengalami PPOK dan hampir 3 juta manusia meninggal akibat PPOK pada tahun 2005. Diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan menjadi penyebab ketiga kematian di seluruh dunia (WHO, 2008). Tujuan penulisan efek paparan partikel terhadap kejadian PPOK adalah untuk mencegah sedini mungkin supaya tidak mudah mengalami fungsi paru menurun akibat paparan partikel yang berefek perubahan faal paru akibat pencemaran udara partikel.

(4)

Global Initiative for chroniic obstructive Lung Disesase (GOLD) memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke-6 pada pada tahun 1990 dan akan meningkat menjadi penyebab ke-3 pada tahun 2020 di seluruh dunia (Maranata, 2010). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya (KEMENKES, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1022/ menkes/sk/xi/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik , 2008). Dispnea adalah keluhan utama penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), klien biasanya 7

mempunyai riwayat merokok dan riwayat batuk kronis, bertempat tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat, adanya riwayat alergi pada keluarga, adanya riwayat asma pada saat anak-anak (Mutt aqin, 2008). (5) Penelitian Iglesia Aliran ekspirasi puncak <150 L/ min menunjukkan kekhususan terbaik dan nilai prediktif positif dengan sensitivitas maksimum untuk memprediksi kematian (Iglesia, 2004). Kapasitas vital kuat sering berkurang pada PPOK karena adanya udara yang terjebak (Bare, 2002). Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik, menjelaskan secara umum tata laksana PPOK yang pertama oleh obatan –obatan untuk mengobati factor pencetus atau adanya proses infl amasi, kedua dengan pengobatan penunjang. (5) Obstruksi saluran nafas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran nafas kecil yaitu : infl amasi, fi brosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan nafas (PDPI, 2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa PPOK adalah penyakit ireversibel sulit diperbaiki terutama pada jalan nafas, dibuktikan dengan teknik nafas dalam tidak terbukti secara signifikan meningkatkan APE (KEMENKES, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. /menkes/sk/xi/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik , 2008). (5) Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang mempunyai hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan molekuler genetik. Keterbatasan aktivitas merupa-kan keluhan utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK. (6) PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang agak jarang terekpose karena kurangnya informasi yang diberikan. Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa pre-valensi PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8) pada laki-laki sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk perempuan 8,5% (SE 5,8)3. Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai 19914. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%). PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup penderita, termasuk pasien yang berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas penderitanya. Padahal mereka masih dalam kelom-pok usia produktif namun tidak dapat 8

bekerja maksimal karena sesak napas yang kronik. Co morbiditas PPOK akan menghasilkan penyakit kardiovaskuler, kanker bronchial, infeksi paru-paru, trombo embolik disorder, keberadaan asma, hiper-tensi, osteoporosis, sakit sendi, depresi dan axiety. (6) Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah penyakit paru yang dapat ditimbulkan akibat paparan dari debu batubara yang mengakibatkan timbulnya penyakit. Ada dua penyakit yaitu chronic bronchitis (bronkitis kronik) dan emphysema (emfisema). Gejala yang timbul pada penyakit ini adalah penurunan angka restriktif pada saat pemeriksaan paru dan nafas yang terputus-putus dan pendek. Penurunan fungsi paru timbul pada saat terjadi peningkatan jumlah pajanan debu batubara dalam tubuh ditambah dengan adanya kebiasaan merokok dan beberapa faktor lainnya (Edmonton, 2010). PPOK merupakan penyebab terjadinya morbiditas, mortalitas dan perawatan kesehatan di seluruh dunia. PPOK adalah masalah kesehatan global, dimana merokok adalah faktor risiko utama disamping faktorfaktor lain seperti paparan polusi indoor dan outdoor. (7)

2. Pneumonia

Pneumonia merupakan peradangan paru yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Terapi utama pneumonia dengan penyebab bakteri adalah antibiotik. Dari data Riskesdas (2013) terjadi peningkatan prevalensi pneumonia pada semua umur dari 2,1% (2007) menjadi 2,7% (2013). Berdasarkan kelompok umur penduduk, prevalensi pneumonia yang tinggi terjadi pada 2 kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meningkat pada kelompok umur berikutnya. Pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar pada anak di seluruh dunia. Pada tahun 2015, terjadi 920.136 kematian akibat pneumonia, 16% dari seluruh kematian anak usia kurang dari 5 tahun (WHO, 2016). (8) Pneumonia adalah peradangan paru yang menyebabkan nyeri saat bernafas dan keterbatasan intake oksigen. Pneumonia dapat disebarkan dengan berbagai cara antara lain pada saat batuk dan bersin (WHO, 2014). Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur. Sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Bakteri penyebab pneumonia dibagi menjadi organisme gram positif atau gram negatif seperti : Streptococcus pneumoniae (pneumococus), Staphylococcus aureus, Enterococcus, Streptococus piogenes, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, dan Haemophillus influenzae. Pneumonia yang disebabkan oleh jamur jarang terjadi, tetapi hal ini mungin terjadi pada individu dengan masalah sistem imun yang disebabkan AIDS, obat – obatan imunosupresif atau masalah 9

kesehatan lain. Patofisiologi dari pneumonia oleh jamur mirip dengan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri. Pneumonia yang disebabkan jamur paling sering disebabkan oleh Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformas, Candida sp.,

Aspergillus sp.,

Pneumocystis jiroveci dan Coccidioides immitis (Khairudin, 2009). Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). (8)

3. Edema Paru

Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta penderita edema paru di dunia. Di Inggris sekitr 2,1 juta penderita edema paru yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika Serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema. Di Jerman 6 juta penduduk. Ini merupakan angka yang cukup besar yang perlu mendapat perhatian dari perawat di dalam merawat klien edema paru secara komprehensif bio psiko social dan spiritual. (9) Penyakit edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh provinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden tersebar terjadi pada 1998 dengan incidence rate (IR)=35,19 per 100.000 penduduk dan CFR=2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 19,24 (tahun 2002) dan 23,87 (tahun 2003). (9) Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia. Edem paru didefinisikan sebagai akumulasi cairan di interstisial dan alveolus. (9) Penyebab edema paru : Kardiogenik atau edem paru hidrostatik atau edem hemodinamik. Kausa: infark miokars, hipertensi, penyakit jantung katup, eksaserbasi gagal jantung sistolik/ diastolik dan lainnya. Nonkardiogenik/ edem paru permeabilitas meningkat. Kausa: ALI dan ARDS (9)

10

Walaupun

penyebab

kedua

jenis

edema

paru

tersebut

berbeda,

namun

membedakannya terkadang sulit karena manifestasi klinisnya yang mirip. Kemampuan membedakan penyebab edem paru sangat penting karena berimplikasi pada penanganannya yang berbeda. Edema paru-paru merupakan penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru. Jika edema timbul akut dan luas, sering disusul kematian dalam waktu singkat. (9) Edema paru biasanya diakibatkan oleh peningkatan tekanan pembuluh kapiler paru dan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru sering disebut acute respiratory distress syndrome (ARDS). Pada keadaan normal terdapat kese-imbangan tekanan onkotik (osmotik) dan hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada gagal jantung menyebabkan edema paru, sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga terjadi edema paru. Pada tahap awal edema paru terdapat peningkatan kandungan cairan di jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru perlu dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dengan hasil akhir kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung neutrofil dan sel-sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin. Karakteristik edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru ialah tidak adanya peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal). (10)

Penyebab edema paru kardiogenik ialah: a. Gagal jantung kiri, yang dapat diakibatkan oleh: infark miokard, penyakit katup aorta dan mitral, kardiomiopati, aritmia, hipertensi krisis, kelainan jantung bawaan (paten duktus arteriosus, ventrikel septal defek) b. Volume overload c. Obstruksi mekanik aliran kiri d. Insufisiensi limfatik, yang terjadi sebagai akibat lanjut transplantasi 11

paru, karsinomatosis limfangi-ektasis, atau limfangitis fibrosis. (10)

D. Analisa Masalah

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :

a. Anamnesis 

Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan



Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja



Riwayat penyakit emfisema pada keluarga



Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara



Batuk berulang dengan atau tanpa dahak



Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

(11)

b. Pemeriksaan Fisis 

Inspeksi

 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)  Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)  Penggunaan otot bantu napas  Hipertropi otot bantu napas  Pelebaran sela iga  Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema tungkai  Penampilan pink puffer atau blue bloater 

Palpasi 12

 Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar 

Perkusi

 Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah 

Auskultasi

 suara napas vesikuler normal, atau melemah  terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa  ekspirasi memanjang  bunyi jantung terdengar jauh 

Pink puffer Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed - lips



breathing



Blue bloater Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer



Pursed - lips breathing Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik. (11)

c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan rutin 1. Faal paru • Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP  Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %

13

 VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.  Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%. • Uji bronkodilator  Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.  Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml  Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. (11)

2. Darah rutin  Hb, Ht, leukosit

(11)

3. Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain Pada emfisema terlihat gambaran :  Hiperinflasi  Hiperlusen  Ruang retrosternal melebar  Diafragma mendatar- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance) Pada bronkitis kronik :  Normal  Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

(11)

Pemeriksaan khusus (tidak rutin) 1. Faal paru  Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat  DLCO menurun pada emfisema  Raw meningkat pada bronkitis kronik  Sgaw meningkat 14

 Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

2. Uji latih kardiopulmoner  Sepeda statis (ergocycle)  Jentera (treadmill)  Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan

4. Uji coba kortikosteroid Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.

5. Analisis gas darah Terutama untuk menilai :  Gagal napas kronik stabil  Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi  CT - Scan resolusi tinggi  Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos  Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru

7. Elektrokardiografi Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.

8. Ekokardiografi 15

Menilai fungsi jantung kanan

9. bakteriologi Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

10. Kadar alfa-1 antitripsin Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia. (11)

2. Pneumonia

a. Anamnesis Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. (12)

b. Pemeriksaan fisik Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. (12)

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Gambaran radiologis Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral 16

atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. (12)

2. Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 2025% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. (12)

3. Edema Paru

a. Anamnesis Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edem paru, misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronik. Edem paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam. (9) Khas pada edem paru non kardiogenik didapatkan bahwa awitan penyakit ini berbedabeda, tetapi umumnya akan terjadi secara cepat. Penderita sering sekali mengeluh tentang kesulitan bernapas atau perasaan tertekan atau perasaan nyeri pada dada. Biasanya terdapat batuk yang sering menghasilkan riak berbusa dan berwarna merah muda. Terdapat takipnue serta denyut nadi yang cepat dan lemah, biasanya penderita tampak sangat pucat dan mungkin sianosis. (9)

b. Pemeriksaan Fisik Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau teknan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otototot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inpsirasi, batuk dengan sputuk yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. 17

Pemeriksaan jantung dapat ditemukan ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edem perifer, akral dingin dengan sianosis (sda). Dan pada edem paru non kardiogenik didapatkan khas bahwa Pada pemeriksaan fisik, pada perkusi terdengar keredupan dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki basah dan bergelembung pada bagian bawah dada. (9) . c. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorim yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edem paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi/ darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edem paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan dengan pulmonary artery occlusion pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifitas 93% (Lorraine et al) . Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling pressure (pasquate 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu tes diagnosis untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukan bahwa pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit penyakit lainnya.

(9)

2. Radiologi Pada foto thorax menunjukan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat edema instrestisial atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi (Cremers 2010, harun n saly 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax postero-anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85% ditemukan 80% pada kasus edem paru. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10 mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax telentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanay overload cairan. (9) 18

Garis kerley A merupakan garis linier panjang yang membentang dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edem septum interlobuler. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah. (9) Gambar foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edem paru kardiogenik dan edem paru non krdiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edem tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah teknik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifitas rontgen paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film. (9)

3. Ekhokardiografi Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri. Ekhokardiografi dapat mengevaluasi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edem paru. (9)

4. EKG (Elektrokardiografi) Pemeriksaan EKG bias ormal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemik atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran EKG biasanya menunjukan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edem paru kardiogenik tetapi 19

yang non iskemik biasanya menunjukan gambaran gelombang T negative yang melebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia subendokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolic atau katekolamin. (9)

5. Katerisasi Pulmonal Pengukuran tekanan baji pulmonal (pulmonary artery occlusion pressure/PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk menentukan penyebab edem paru akut. (9)

E. Patogenesis Masalah

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:  Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama  Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah  Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas. (11)

20

2. Pneumonia

Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :

1. Inokulasi langsung 2. Penyebaran melalui pembuluh darah 3. Inhalasi bahan aerosol 4. Kolonisasi dipermukaan mukosa (12)

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50

21

%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). (12) Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama. (12) 3. Edema Paru

Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruangan interstisial sesuai dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang interstisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh siistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari kirosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein. (9)

Terdapat dua mekanisme terjadinya edem paru : 1. Membran kapiler alveoli Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan `dari darah ke ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruangan interstisial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik. (9) Q(iv-int)=Kf[(Piv-Pint) – df(Iiv-Iint)]

Keterangan: Q = kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstisial Piv = tekanan hidrostatik intravaskular 22

Pint = tekanan hidrostatik interstisial Iiv = tekanan osmotik koloid intravaskular Iint = tekanan osmotik koloid interstisial Df = koefisien refleksi protein Kf = kondukstan hidraulik (9)

2. Sistem Limfatik Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstisial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari interstisium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat mencegah terjadinya edem. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi. (9)

Edema Paru Kardiogenik Edema paru kardiogenik atau edem volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular, ketika tekanan interstisial paru lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceral yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka cairan edem ayng meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edem akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus. Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut:

23



meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung



hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanisme interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri



insufesiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung. (9)

Penghapusan cairan edem dari ruang udara paru tergantung pada transpor aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal. Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang instrstisial dengan cara Na/K-ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. (9) Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I. Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS ini didefinisikan sebagai munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal. Secara patofisiologi edem paru kardiogenik ditandai dengan transudai cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas. (9) Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup. (9) Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edem interstisial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstisial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan petanda septum interlobuler (garis kerley B). Pada 24

derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di daerah di interstisium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks nronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi aka mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea. (9) Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edem paru tersebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan seringkali hiperkapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hiperkapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka sebaliknya edem paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam interstisial paru dan alveolus. Cairan edem paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh moleku besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edem tergantung pada luasnya edem interstisial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan acute lung injury di mana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar. (9)

F. Penatalaksanaan Masalah

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

25

PPOK

merupakan

penyakit

paru

kronik

progresif

dan

nonreversibel,

sehingga

penatalaksanaan PPOK terbagi atas :

1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma. (11) Tujuan edukasi pada pasien PPOK : 1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan 2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal 3. Mencapai aktiviti optimal 4. Meningkatkan kualiti hidup (11) Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. (11)

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah 1) Pengetahuan dasar tentang PPOK 2) Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya 3) Cara pencegahan perburukan penyakit 4) Menghindari pencetus (berhenti merokok) 5) Penyesuaian aktiviti (11)

26

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut : 1. Berhenti merokok Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan 2. Pengunaan obat - obatan  Macam obat dan jenisnya  Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )  Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu saja )  Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya 3. Penggunaan oksigen  Kapan oksigen harus digunakan  Berapa dosisnya  Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen 4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen 5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya Tanda eksaserbasi : - Batuk atau sesak bertambah - Sputum bertambah - Sputum berubah warna 6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi 7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti (11)

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit : Ringan  Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel  Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti merokok  Segera berobat bila timbul gejala 27

Sedang  Menggunakan obat dengan tepat  Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini  Program latihan fisik dan pernapasan Berat  Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi  Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan  Penggunaan oksigen di rumah

2. Obat - obatan

a. Bronkodilator Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ). Macam - macam bronkodilator : 

Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ). 

Golongan agonis beta - 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. 

Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. 

Golongan xantin

28

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. (11)

b. Antiinflamasi Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. (11)

c. Antibiotika Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan : - Lini I : amoksisilin makrolid - Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat sefalosporin kuinolon makrolid baru (11)

Perawatan di Rumah Sakit : dapat dipilih - Amoksilin dan klavulanat - Sefalosporin generasi II & III injeksi - Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas - Aminoglikose per injeksi - Kuinolon per injeksi - Sefalosporin generasi IV per injeksi (11)

d. Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. (11)

e. Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. (11)

29

f. Antitusif

(11)

3. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ organ lainnya. Manfaat oksigen yaitu : - Mengurangi sesak - Memperbaiki aktiviti - Mengurangi hipertensi pulmonal - Mengurangi vasokonstriksi - Mengurangi hematokrit - Memperbaiki fungsi neuropsikiatri - Meningkatkan kualiti hidup (11)

Indikasi - Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90% - Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain. (11)

Macam terapi oksigen : - Pemberian oksigen jangka panjang - Pemberian oksigen pada waktu aktiviti - Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak - Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas. (11)

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan : - Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT ) 30

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti - Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak (11)

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%. Alat bantu pemberian oksigen : - Nasal kanul - Sungkup venturi - Sungkup rebreathing - Sungkup nonrebreathing Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut. (11)

4. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara : - ventilasi mekanik dengan intubasi - ventilasi mekanik tanpa intubasi (11)

a) Ventilasi mekanik tanpa intubasi Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV). NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :  Volume control  Pressure control  Bilevel positive airway pressure (BiPAP) 31

 Continous positive airway pressure (CPAP) NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT / Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada :  Analisis gas darah  Kualiti dan kuantiti tidur  Kualiti hidup  Analisis gas darah (11)

Indikasi penggunaan NIPPV  Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan abdominal paradoksal  Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35  Frekuensi napas > 25 kali per menit NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana. (11)

b) Ventilasi mekanik dengan intubasi Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila ditemukan keadaan sebagai berikut :  Gagal napas yang pertama kali  Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki, misalnya pneumonia  Aktiviti sebelumnya tidak terbatas Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :  Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan abdominal paradoksal  Frekuensi napas > 35 permenit  Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)  Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)  Henti napas  Samnolen, gangguan kesadaran  Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)  Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru, barotrauma, efusi pleura masif) 32

 Telah gagal dalam penggunaan NIPPV Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai berikut :  PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya  Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan  Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik  VAP (ventilator acquired pneumonia)  Barotrauma  Kesukaran weaning Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan  Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi  Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat  Nutrisi seimbang  Dibantu dengan NIPPV (11)

5. Nutrisi Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah (11) Malnutrisi dapat dievaluasi dengan : - Penurunan berat badan - Kadar albumin darah - Antropometri - Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi) - Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia) Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat 33

meningkatkan ventilasi semenit oxygen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi.

(11)

Gangguan elektrolit yang terjadi adalah : - Hipofosfatemi - Hiperkalemi - Hipokalsemi - Hipomagnesemi (11) Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.(11)

2. Pneumonia

Pengobatan pada pneumonia terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :

1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa 2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia. 3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu. (12)

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut : Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP) o Golongan Penisilin o TMP-SMZ o

Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP) o Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan) o Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi o Marolid baru dosis tinggi o Fluorokuinolon respirasi Pseudomonas aeruginosa 34

o Aminoglikosid o Seftazidim, Sefoperason, Sefepim o

Tikarsilin, Piperasilin

o

Karbapenem : Meropenem, Imipenem

o Siprofloksasin, Levofloksasin Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA) o Vankomisin o

Teikoplanin

o Linezolid Hemophilus influenzae o TMP-SMZ o Azitromisin o Sefalosporin gen. 2 atau 3 o Fluorokuinolon respirasi Legionella o Makrolid o Fluorokuinolon o Rifampisin Mycoplasma pneumoniae o Doksisiklin o Makrolid o Fluorokuinolon Chlamydia pneumoniae o Doksisikin o Makrolid o Fluorokuinolon (12)

3. Edema Paru

Edema paru kardiogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang perlu penanganan secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis. Penatalaksanaan utama meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama untuk mempertahankan fungsi paru (seperti

35

pertukaran gas, perfusi organ), sedangkan penyebab utama juga harus diselidiki dan diobati sesegera mungkin bila memungkinkan. (10) Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi cairan, dan mempertahankan fungsi kardiovaskular. Pertimbangan awal ialah dengan evaluasi klinis, EKG, foto toraks, dan AGDA. (10)

a. Suplementasi oksigen Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun terjadinya syok. Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi intervensi yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan kerja pernapasan, mengopti-malisasi unit fungsional paru sebanyak mungkin, serta mengurangi overdistensi alveolar. (10) Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau masker muka (face mask). Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat membantu pada pasien edema paru kardiogenik. Masip et al. mendapatkan bahwa peng-gunaan CPAP menurunkan kebutuhan akan intubasi dan angka mortalitas. (10) Pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut, induksi ventilasi non-invasif dalam gangguan pernapasan dan gangguan metabolik meningkat lebih cepat daripada terapi oksigen standar tetapi tidak berpengaruh terhadap mortalitas jangka pendek. Ventilasi non-invasif dengan CPAP telah terbukti menurunkan intubasi endotrakeal dan kematian pada pasien dengan edema paru akut kardiogenik. Menurut penelitian Agarwal et al., noninvasive pressure support ventilation (NIPSV) tampaknya aman dan berkhasiat sebagai CPAP, daripada jika bekerja dengan titrasi pada tekanan tetap. (10) Penelitian Winck et al. mendukung penggunaan CPAP dan non-invasive positive pressure ventilation (NPPV) pada edema paru akut kardiogenik. Kedua teknik tersebut dipakai untuk menurunkan need for endotracheal intubation (NETI) dan kematian dibandingkan standard medical therapy (SMT), serta tidak menunjukkan peningkatan risiko infark miokard akut. CPAP dianggap sebagai intervensi pertama dari NPPV yang tidak menunjukkan khasiat yang lebih baik bahkan pada pasien dengan kondisi lebih parah, tetapi lebih murah dan lebih mudah untuk diimplementasikan dalam praktek klinis. Intubasi dan penggunaan ventilasi mekanik dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) diperlukan pada kasus yang berat. (10)

36

b. Obat-obatan

Obat-obatan yang menurunkan preload Nitrogliserin (NTG) dapat menurun-kan preload secara efektif, cepat, dan efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena diawali dengan dosis rendah (20μg/menit) dan kemudian dinaikkan secara bertahap (dosis maksimal 200μg/menit). (10) Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2 mekanisme, yaitu: diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral 20-40 mg/hari pada keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus pada keadaan yang berat. Morfin sulfat digunakan untuk menu-runkan preload dengan dosis 3 mg secara intra vena dan dapat diberikan berulang. (10)

Obat-obatan yang menurunkan afterload Angiotensin-converting enzyme inhi-bitors (ACE inhibitors) menunurunkan after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah jantung. Pemberian secara intra vena (enalapril 1,25 mg) ataupun sublingual (captopril 25 mg) akan memperbaiki keluhan pasien. Pada suatu meta analisis didapati bahwa pemberian ACE inhibitors akan menurunkan angka mortalitas. Obat-obatan golongan inotropic. (10) Obat-obatan golongan inotropik diberikan pada edema paru kardiogenik yang mengalami hipotensi, yaitu dobutamin 2-20 μg/kg/menit atau dopamin 3-20 μg/kg/menit. (10)

37

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible dan merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia. PPOK juga merupakan masalah kesehatan global, dimana merokok adalah faktor risiko utama disamping faktor- faktor lain seperti paparan polusi indoor dan outdoor. PPOK dapat ditimbulkan akibat paparan dari debu batubara yang mengakibatkan timbulnya penyakit. Ada dua penyakit yaitu chronic bronchitis (bronkitis kronik) dan emphysema (emfisema). Pneumonia adalah peradangan paru yang menyebabkan nyeri saat bernafas dan keterbatasan intake oksigen. Pneumonia dapat disebarkan dengan berbagai cara antara lain pada saat batuk dan bersin. Merokok dan minum banyak alcohol merupakan salah satu factor resiko penyebab pneumonia. Edem paru merupakan akumulasi cairan di interstisial dan alveolus yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan pembuluh kapiler paru dan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru sering disebut acute respiratory distress syndrome (ARDS)

B. Saran Untuk menurunkan angka terjadinya penyakit yang telah dijelaskan, disarankan agar menghindari pencetus penyebab terjadinya penyakit seperti merokok karena dapat merusak paru serta berusaha mempertahankan system kekebalan tubuh dengan menjalankan pola hidup sehat seperti beristirahat yang cukup, mengonsumsi makanan bergizi dan rutin berolahraga.

38

DAFTAR PUSTAKA

1.

Hasanah Linnisaa U, Endra wati S. Rasionalitas Peresepan Obat Batuk Ekspektoran Dan Antitusif Di Apotek Jati Medika Periode Oktober-Desember 2012. IJMS Indonsian Journal Medical Science. Poltekes Kesehatan Sukoharjo; 2014;1:31.

2.

Asmara Nepy D. Sesak Nafas Ekstra Paru. Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret RSUD Dr Moewardi. Surakarta; 2012:1–2.

3.

Octaviani A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan; 2015:13–4.

4.

Saminan. Efek Paparan Partikel Terhadap Kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ). Idea Nurs Journal. Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.; 2014;Vol. V No.(1):65.

5.

MJW E, Maria Rosa E. Efektifitas Nafas Dalam Untuk Meningkatkan Arus Puncak Ekspirasi (APE) Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Muhammadiyah Journal Nursing. Program Magister Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.; 2015:36–40.

6.

Oemiati R. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru. Media Litbangkes. Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, Indonesia; 2013;23(2):83.

7.

Sugiharti, Ratna Sondari T. Gambaran Penyakit Paru obstruktif Kronik (PPOK) Di Daerah Pertambangan Batu Bara, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Jumal Ekologi Kesehatan. Peneliti pada Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2015;14(2):141.

8.

Farida Y, Trisna A, W DN. Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pneumonia di Rumah Sakit Rujukan Daerah Surakarta. Journal Pharmaceutical Science Clinical Research. Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta; 2017:44–5.

9.

Huldani. Edem Paru Akut. Universitas Lambung Mangkurat Fakultas Kedokteran: Banjarmasin; 2014.

10.

Rampengan SH. Edema Paru Kardiogenik Akut. Journal Biomedik. Bagian Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado; 2014;6(3):149–52.

11.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (ppok). Pedoman Diagnosis dan Penatalasanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2003. p. 3–15. 39

12.

Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2003. p. 4–14.

40

Related Documents

Tutorial Modul 1.docx
November 2019 18
Modul 1
June 2020 28
Modul 1
November 2019 35

More Documents from ""

Kikim.docx
December 2019 3
Nama: Sitti Hajijah Soo Nim
December 2019 6
Makalah Aik.docx
December 2019 2
Anatomi 1.docx
December 2019 7