ULAMA PEREMPUAN DI ACEH Antara Doktrin Normatif dan Realitas Empirik Oleh : Prof. Dr. Syahrizal
Dimensi Normatif dan Historis Kata ulama berasal istilah Arab ; ‘alima ; yang berarti mengetahui dan memahami sesuatu. Orang yang mengetahui sesuatu disebut
‘alim. Kata ‘alim
adalah bentuk tunggal (singular) dan bentuk jamaknya (plural) adalah ulama’. Oleh karenanya, bila kata ulama yang dipergunakan sehari-hari
hanya
ditujukan untuk satu orang sebenarnya tidak tepat secara kebahasaan. Makna kandungan ‘alim dalam bahasa Arab, berarti mengetahui sesuatu secara mendalam, dan bukan hanya sepintas saja. Bahkan gelar ‘alim hanya diberikan kepada orang yang mengetahui sampai kepada hakikat sesuatu. Dari penjelasan kebahasaan (lughawiyah), diperoleh pemahaman bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah orang yang mengetahui sesuatu dengan ilmunya secara mendalam. Pengetahuan tersebut tidak hanya terbatas dalam konteks ilmu-ilmu keagamaan tetapi juga ilmu-ilmu yang lain-lain. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kata ulama bukan hanya terbatas kepada laki-laki, tetapi juga termasuk orang perempuan. Dalam
berbagai
Kamus
Arab
seperti
Kamus
Munjid
fi
al-Lughah
menyebutkan bahwa standar penggunaan kata ‘alim atau ulama’ adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui sesuatu ilmu pengetahuan baik lakilaki maupun perempuan. Dalam ajaran dasar Islam ; al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW
tidak
ditemukan satu teks pun yang membedakan laki-laki dan perempuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Al-Qur’an menggambarkan bahwa orang yang memiliki ilmu pengetahuan adalah orang yang memperoleh beberapa kelebihan- (darajat), bila dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu pengetahuan. Lafaz-lafaz teks dalam al-Qur’an seputar kewajiban mencari ilmu pengetahuan, berfikir, ini bersifat
1
Hadis Rasulullah SAW memerintahkan kewajiban setiap muslim untuk mencari ilmu
pengetahuan.
(thalab al-‘ilm faridhat ‘ala kulli muslim wal
muslimat). Hadis ini menggambarkan peluang yang sama dan kewajiban yang sama
antara
laki-laki
mencari
ilmu
pengetahuan
dalam
semua
dimensi
kehidupan. Dari praktek-praktek Rasulullah SAW
diketahui bahwa antara sahabat
Nabi yang laki-laki dan perempuan mendapat peluang yang sama untuk belajar ilmu pengetahuan termasuk ilmu agama. Ummul mu’minin Aisyah RA adalah seorang perawi hadis yang paling banyak
dan
seorang
mufti,
yang
menjawab
berbagai
persoalan
hukum
keagamaan terutama masalah perempuan. Demikian dengan Fatimah binti Rasulillah dan Ummu Darda’ adalah ahli fiqh yang cukup dikenal dan disegani dalam lintasan sejarah Islam. Pada masa awal Islam antara ilmu agama dan ilmu umum tidak diberi dikhotomi, sehingga
kata ‘ulama’ juga ditujukan kepada orang-orang yang
menguasai ilmu-ilmu umum. Pada masa Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbas, memang ulama itu ditujukan kepada orang yang menguasai fiqh, sebagai ilmu dasar keulamaan. Namun, bukan berarti yang menguasai ilmu-ilmu lain tidak dikategorikan sebagai ulama, seperti Ibn Sina (Avicenna), Ibn Maskawaih, Ibn Rusjd (Averoes), dan lain-lain. Merekas ini adalah scientist tetapi juga ulama, karena menguasai fiqh. Dimensi Empirik Ada pergeserasan makna ulama dalam dimensi empirik. Ulama hanyalah ditujukan kepada orang-orang yang menguasai ilmu-ilmu agama, dan tidak termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang menguasai selain ilmu-ilmu keislaman. Konsepsi seperti inipun terjadi di kalangan masyarakat Aceh, di mana yang dikatakan ulama adalah orang yang menguasai ilmu agama Islam dalam taraf tertentu. Taraf tertentu dimaksudkan haruslah menguasai secara baik ilmu-ilmu keislaman seperti tauhid, fiqh, hadis, tafsir dan tasawuf.
2
Dalam masyarakat Aceh,
kelihatannya ada pemahaman yang beragama
antara makna tengku dalam konteks “ulama” dan teungku bukan dalam konteks “ulama”. Tengku dalam konteks “ulama” memerlukan persyaratan yang ketat seperti menguasai ilmu bahasa Arab, tauhid, hadis, fiqh, tafsir, tasawuf dan lainlain. Tengku dalam konteks ini biasanya memiliki dayah dan santri, sehingga mereka disebut tengku chik. Sedangkan
teungku
dalam
konteks
“ulama”
tidak
dituntut
untuk
menguasai ilmu-ilmu keislaman yang mendalam dan beragam seperti bahasa Arab, tetapi dapat membaca al-Qur’an dan mampu melakukan praktek ibadah dengan baik, seperti bacaan do’a, tahlil, tajhiz mayat, memimpin salat, dan ibadah-ibadah prasktis lainnya sudah dapat dikatakan sebagai ulama. Kategori ini seperti dimiliki oleh tengku meunasah. Dalam sejarah masyarakat Aceh tempoe doeloe, kedua kategori ini dimilik seperti Pocut Meurah Inseun, seorang ulama besar yang menguasai berbagai cabang ilmu keislaman secara mendalam. Demikian
juga
dalam
ketegori
meunasah memiliki kemampuan
kedua
banyak
isteri-isteri
tengku
yang mendasar dalam ilmu keislaman,
sehingga mereka mengajarkan anak-anak dan ibu-ibu ilmu agama. Mereka ini disebut dengan tengku di rumoh/tengku inong. Persyaratan Ulama Persyaratan ulama dapat dikategorikan ke dalam persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum adalah persyaratan berupa kemampuan membaca alQur’an,
al-Hadis
serta
mengetahui
maknanya
secara
baik.
Mereka
ini
mengamalkan ajaran agama secara baik dan menjadi contoh tauladan bagi masyarakat sekitarnya. Mereka mengetahui dasar-dasar ajaran agama dan mampu melakukan praktrek ibadah secara baik. Persyaratan khusus adalah persyaratan yang barangkali ketat seperti menguasai ilmu bahasa Arab, ilmu al-Qur’an, ilmu hadis, tafsir, fiqh,dan tasawuf. Meskipun kelihatan ini sangat ketat, tetapi paling tidak kemampuan mengausai fiqh dan ushul fiqh menjadi lebih
dominan sehingga dapat disebut sebagai
seorang ulama.
3
Ulama hari ini barangkali juga dipersyaratkan dengan berbagai ilmu pengetahuan modern, sehingga seorang ulama memiliki kemampuan luas, sehingga memiliki kompetensi dalam istinbath hukum. Strategi Penguatan Peningkatan kualitas pendidikan, terutama pendidikan bidang ilmu-ilmu keislaman, di antaranya ; bahasa Arab, fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu pendukung lainnya. Di samping itu, diperlukan kemampuan dalam ilmu-ilmu kontemporer. Penyediaan fasilitas pendukung untuk peningkatan kualitas pendidikan bagi perempuan, baik dalam bidang ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu yang lain. Adanya perubahan pola pikir bahwa menguasai ajaran Islam bukan semata-mata hak dan milik laki-laki-laki, tetapi perempuan pun memiliki kesempatan yang sama uantuk memperoleh pendidikan. Apresiasi
yang
seimbang
terhadap
ulama
perempuan,
sehingga
memunculkan pandangan bahwa keahlian dan ilmu seseorang akan mengangkat harkat derajatnya.
4