General Business Environment Group Paper
Arah Kebijakan Fiskal dan Moneter Lecturer: Prof. Dr. Mudrajad Kuncoro Ph.D
Oleh: Ermy Puspa Yunita Febri Kuntarto Franseda Ryan Abdi Gunawan PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA JAKARTA
2009
PENDAHULUAN Dinamika perekonomian global saat ini masih diliputi oleh nuansa ketidakpastian yang tinggi yang tercermin dari perubahan yang berlangsung sangat cepat dan sulit diprediksi kedalamannya. Perlambatan ekonomi negara maju yang merupakan episentrum dari krisis keuangan global secara cepat merambat ke perekonomian negara-negara berkembang. Di tengah situasi perekonomian global yang demikian mencemaskan, ekonomi Indonesia masih mampu menunjukkan kinerja yang baik dengan tetap tumbuh sebesar 6,1 % pada tahun 2008, walaupun dampak krisis sudah dirasakan di triwulan IV-2008. Dari kajian dan riset yang dilakukan beberapa media, diprediksikan Indonesia akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang semakin positif di atas tahun 2009. Hal ini beralasan karena sejak 2004 hingga saat ini ekonomi Indonesia tetap kokoh. Juga diperkuat dengan stabilnya ekonomi Indonesia di tengah krisis keuangan dunia. Kondisi ini semakin meningkatkan penguatan nilai tukar rupiah dan memberikan nuansa iklim usaha yang kondusif. Faktor ekspektasi atau peluang pasar itu yang berpengaruh besar terhadap semakin meningkatnya nilai tukar rupiah. Tantangan ekonomi ke depan relatif berat. Ada beberapa tantangan yang harus dilihat dan menjadi perhatian bagi pemerintah yang terpilih. Pertama, terkait kebijakan stimulus fiskal, pengelolaan keuangan, moneter sebagai fondasi untuk pemulihan ekonomi. Sementara itu, peran sektor perbankan dalam mendukung perekonomian nasional ke depan sangat dibutuhkan terutama dalam menggairahkan sektor riil dan juga UKM. Penurunan BI rate akan mampu menggenjot ekonomi Negara di Negara ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Beberapa bulan terakhir ini BI memutuskan untuk menurunkan kembali BI rate untuk 5 bulan berturut-turut.Keputusan kembali dipangkasnya BI rate berkaitan dengan tingkat inflasi yang mulai melunak. Pada bulan maret lalu, inflasi bulanan hanya sebesar 0.22%. Dengan tingkat inflasi rendah ini, aman bagi BI untuk menurunkan suku bunga guna menggenjot konsumsi.
Untuk menggenjot ekonomi Indonesia, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan rencana untuk menggelontorkan paket stimulus fiscal yang mencapai 1.3% dari total GDP, atau sekitar 71 triliun rupiah. Respon perbankan atas penurunan BI rate 200% sejak Desember 2008 (Sumber:Suara Pembaruan, Kondisi Maret 2009): 4 Desember 2008
=
9,25%
7 Januari 2009
=
8,75%
4 Februari 2009
=
8,25%
4 Maret 2009
=
7,75%
3 April 2009
=
7,50%
5 Mei 2009
=
7,25%
•
Secara agregat untuk seluruh tenor, bank asing dan bank campuran
mendominasi penurunan suku bunga deposito. •
Walau masih sangat lambat, transmisi penurunan BI rate pada suku bunga
kredit terus berlanjut. Respons penurunan BI rate memlalui suku bunga kredit, mulai berlangsung sejak Februari 2009 terus berlanjut pada bulan maret 2009 sebesar 11 bp. •
Berdasarkan penggunaannya:
1.
Penurunan suku bunga kredit terbesar terjadi pada suku bunga kredit investasi, yaitu sebesar 18 bp.
2.
Suku bunga kredit modal kerja turun sebesar 16 bp.
•
Rata-rata tertimbang suku bunga kredit:
1.
Kredit investasi (KI)
2.
Kredit Modal Kerja (KMK) : 14,99%
3.
Kredit Konsumsi (KK)
•
Berdasarkan kelompok bank, penurunan suku bunga kredit terbesar secara
: 14,5% : 16,46%
keseluruhan terjadi pada kelompok bank campuran sebesar 37 bp. Tentang sejauh mana stimulus fiscal dan penurunan BI rate dapat membantu pemulihan perekonomian di tahun 2009, dari beberapa peristiwa yang telah terjadi, stimulus moneter dalam bentuk penurunan suku bunga acuan oleh BI lebih berpotensi
mendorong perekonomian daripada stimulus fiscal. Efektivitas stimulus moneter kian meningkat jika perbankan lebih cepat menurunkan suku bunga kredit. Stimulus moneter dalam bentuk penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia, atau BI Rate, yang diikuti penurunan suku bunga kredit dapat memberikan dampak lebih signifikan dalam mendorong perekonomian. Alasannya, penurunan suku bunga dapat dinikmati semua pihak, dunia usaha, maupun masyarakat Dijelaskan, penurunan suku bunga kredit biasanya langsung direspons dengan meningkatnya permintaan kredit (Danareksa Research Institute).
Menurut analis Vibiz Research dari Vibiz Consulting menilai bahwa BI masih memiliki ruang yang cukup besar untuk menurunkan suku bunga, terakhir menghadapi PEMILU yang baru saja dilewati oleh bangsa Indonesia, Presiden SBY juga kembali menggelontorkan stimulus fiscal. Stimulus moneter lebih ampuh untuk membangkitkan perekonomian dalam masa krisis seperti saat ini (Steve Hanke). Beberapa sumber menyebutkan, BI masih memiliki amunisi stimulus moneter cukup besar, mengingat suku bunga acuan BI masih berada di level cukup besar, yakni 8,25 persen. Sejauh ini, penurunan suku bunga acuan BI relatif belum efektif meningkatkan gairah du-nia usaha dan belanja masyarakat Hal itu karena penurunan suku bunga acuan BI yang dilakukan sejak Desember 2008 belum seluruhnya direspons perbankan dalam bentuk penurunan suku bunga kredit Dengan berbagai langkah dari BI dan pemeritah, ditambah keyakinan
pasar diharapkan ekonomi Indonesia akan dapat survive di tengah tenganan krisis ekonomi saat ini dan membantu pemulihan ekonomi kedepannya.
Sumber: Danareksa Research
ANALISIS Perlambatan ekonomi yang dialami karena krisis ekonomi global telah membawa dampak bagi perekonomian negara-negara yang terkait secara ekonomi dengan negaranegara yang terkena krisis global, antara lain dalam hubungannya dengan perdagangan (ekspor), dan tingkat investasi di Indonesia. Demi menyelematkan Indonesia dari dampak krisis global maka pemerintah Indonesia menyiapkan beberapa kebijakan ekenomi yang terkait dengan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan Moneter Kebijakan Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk mengendalikan jumlah uang beredar,
tingkat
bunga,
dan
perkreditan
dalam
rangka
mengendalikan
perekonomian.Kebijakan moneter Indonesia diputuskan dan dilakukan oleh Bank Sentral yaitu Bank Indonesia. Jenis-jenis Kebijakan Moneter 1. Kebijakan moneter ketat (tight money policy) untuk mengurangi/membatasi jumlah
uang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. 2. Kebijakan moneter longgar (easy money policy) untuk menambah jumlah uang
beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Perangkat/Sarana/Instrumen Kebijakan Moneter 1. Cadangan wajib minimum (reserve requirement) atau Giro Wajib Minimum (GWM). 2. Kebijakan diskonto (discount policy) dengan menaikan atau menurunkan tingkat bunga diskonto. 3. Operasi pasar terbuka (open market operation) dengan jual beli surat-surat berharga seperti SBI (Sertifikat Bank Indonesia), SBPU (Sertifikat Berharga Pasar Uang), dan lain-lain. 4. Kredit selektif dengan memprioritaskan pemberian kredit pada sektor-sektor tertentu. 5. Himbauan moral (moral suasion).
untuk Indonesia, sudah terlalu banyak kesalahan dalam kebijakan moneter yang kita buat di masa yang lalu akibat kita tidak cukup memahami mengenai peran bank dan pasar kredit dalam perekonomian. Agar dapat mencapai sasaran, otoritas moneter harus memahami komplet soal bagaimana sektor perbankan akan bereaksi terhadap perubahan dalam kebijakan moneter. Dalam ilmu ekonomi moneter konvensional, peran bank hanya diperhitungkan dari sisi kewajibannya. Broad money (M2) didefinisikan sebagai penjumlahan uang kartal, giro, tabungan (saving deposit), dan deposito (time deposit). Definisi ini hanya mengukur uang dari sisi transactional demand dan spending power para penabung. Konsep ini jelas meniadakan peran bank sebagai lembaga intermediasi keuangan, yaitu pengumpul dana masyarakat yang sekaligus merangkap sebagai penyalur kredit. Kebijakan Fiskal Kebijakan
fiskal
(Fiscal
Policy)
adalah
kebijakan
pemerintah
dengan
menggunakan belanja negara dan perpajakan dalam rangka menstabilkan perekonomian. Tujuan dari kebijakan fiskal yaitu: 1. Untuk meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi. 2. Untuk memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. 3. Untuk menstabilkan harga-harga barang, khususnya mengatasi inflasi. Perangkat Kebijakan Fiskal Ada dua perangkat kebijakan fiskal yaitu: 1. Belanja/pengeluaran negara (G = Government Expenditure) 2. Perpajakan (T = Taxes) Jenis-jenis Kebijakan Fiskal 1. Kebijakan fiskal ekspansif (expansionary fiscal policy): menaikkan belanja negara
dan menurunkan tingkat pajak netto. Kebijakan ini untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan fiskal ekspansif dilakukan pada saat perekonomian mengalami resesi/depresi dan pengangguran yang tinggi.
2. Kebijakan fiskal kontraktif: menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. Pengaruh Kebijakan Fiskal bagi Perekonomian 1. Pemerintah menggunakan kebijakan fiskal untuk mencapai tujuan-tujuan seperti inflasi yang rendah dan tingkat pengangguran yang rendah. 2. Berdasarkan teori ekonomi Keynesian, kenaikan belanja pemerintah sehingga APBN mengalami defisit dapat digunakan untuk merangsang daya beli masyarakat (AD = C + G + I + X - M) dan mengurangi pengangguran pada saat terjadi resesi/depresi ekonomi. 3. Ketika terjadi inflasi, pemerintah harus mengurangi defisit (atau menerapkan anggaran surplus) untuk mengendalikan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Dampak Krisis Global bagi Perekonomian Indonesia Indonesia merupakan negara small open economy sehingga imbas dari krisis finansial global sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dalam negeri. Salah satu dampak dari krisis finansial global adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tumbuh mencapai 6,1% pada tahun 2008 atau sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 6,3%. Dampak
negatif
dari
• Menurunnya • Tekanan • Dorongan
krisis
global,
kinerja pada
antara
lain
sebagai
neraca nilai
pada
pembayaran. tukar
laju
berikut: Rupiah. inflasi.
Faktor 1: Kinerja neraca pembayaran yang menurun. Pada saat terjadi krisis global, Amerika Serikat mengalami resesi yang serius, sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya menggerus daya beli masyarakat Amerika. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena Amerika Serikat merupakan pangsa pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk Indonesia. Penurunan daya beli masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan
permintaan impor dari Indonesia. Dengan demikian ekspor Indonesia pun menurun. Inilah yang menyebabkan terjadinya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar US$ 2,2 miliar pada tahun 2008. Penyebab lain terjadinya defisit NPI adalah derasnya aliran keluar modal asing dari Indonesia khususunya pada pasar SUN (Surat Utang Negara) dan SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Derasnya aliran modal keluar tersebut menyebabkan investasi portofolio mencatat defisit sejak kuartal III-2008 dan terus meningkat pada kuartal IV2008. Selain itu, adanya sentimen negatif terhadap pasar keuangan global juga membuat terjadinya pelepasan aset finansial oleh investor asing dan membuat neraca finansial dan modal
ikut
menjadi
defisit.
Faktor II: Tekanan pada nilai tukar Rupiah Secara umum, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil sampai pertengahan September 2008. Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus serta kebijakan makroekonomi yang berhati-hati. Namun sejak pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs Rupiah melemah menjadi Rp 11.711,- per USD pada bulan November 2008 yang merupakan depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp 10.048,- per USD. Pergerakan Kurs Rupiah selama tahun 2008 dan awal 2009 dapat dilihat dari grafik dibawah ini:
Sumber: www.bi.go.id
Semasa Pemerintahan Orde Baru, Indonesia menganut sistem fixed exchange rate atau sistem nilai tukar tetap. Tetapi pada Pemerintahan berikutnya sampai sekarang, sistem yang dianut telah berubah menjadi sistem floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang. Dengan sistem ini nilai tukar rupiah menjadi bergantung pada supply dan demand di pasar. Hal ini berbeda dengan sistem fixed exchange rate dimana Bank Indonesia berkewajiban menjaga Rupiah konstan dengan aktif membeli dan menjual valas untuk menghadapi supply dan demand yang berubah-ubah. Keluarnya arus investasi asing dari Investasi, menyebabkan penjualan aset-aset investasi keuangan baik yang ditanam dalam instrumen SUN maupun dalam portofolio saham. Hal ini juga ditunjukkan melalui menurunnya kapitalisasi pasar di bursa efek Indonesia. Menurut sumber dari Bappepam, pada puncak krisis global arus investasi asing yang keluar dari Indonesia signifikan menggerus kapitalisasi pasar di BEI.
Kapitalisasi Pasar dan Indeks Harga Saham Gabungan (Sumber: Bappepam.go.id) Indeks harga saham gabungan yang turun drastis pada penutupan tahun 2007 sebesar 2745,83 ditutup pada 1335,41 pada akhir 2008. Hal ini memperkuat bahwa dominasi pihak asing dalam lembaga keuangan Indonesia masih besar. Keluarnya investor asing meningkatkan penjualan aset investasi dalam rupiah untuk dibelikan mata uang asing seperti dollar. Pada masa krisis global yang terjadi sejak beberapa waktu yang lalu, terjadi keketatan likuiditas global, dengan demikian supply dollar relatif sangat menurun. Hal inilah yang memeberikan efek depresiasi terhadap Rupiah. Keketaatan likuiditas global terjadi akibat perusahaan dan rumah tangga lebih menjaga likuiditasnya untuk berjaga-jaga dari berbagai resiko bisnis yang meningkat
akibat krisis global. Hal ini yang menyebabkan sulitnya mencari dana talangan dalam membiayai defisit anggaran pemerintah. Rumah tangga konsumen pun mulai menahan diri untuk berbelanja guna mengantisipasi terhadap goncangan yang mungkin terjadi. Keketatan likuiditas diperparah oleh sikap bank yang terlalu berhati-hati dalam mengucurkan kreditnya dalam rangka meminimalisir terjadinya kredit macet. Sebenarnya depresiasi Rupiah menguntungkan kondisi dalam negeri, karena secara teoritis akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Harga-harga produk dalam negeri menjadi relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan harga-harga produk sejenis yang diimpor dari negara lain. Di pasar negara tujuan ekspor Indonesia, konsumen akan lebih memilih produk dari Indonesia karena harganya lebih murah. Kondisi ini menyebabkan
ekspor
Indonesia
meningkat.
Namun hal itu tidak terjadi karena negara lain juga mengalami hal yang sama seperti Indonesia dimana mata uangnya juga mengalami depresiasi. Krisis global membuat daya beli masyarakat di setiap negara pada umumnya menurun. Sehingga Depresiasi tidak serta merta membuat ekspor Indonesia meningkat, bahkan ekspor justru turun. Berdasarkan laporan BPS awal Maret 2009 lalu, disebutkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2009 hanya sebesar USD 7,15 miliar. Angka ini turun 17,7% dibandingkan nilai ekspor pada Desember 2008 sebesar USD 8,69 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan Januari 2008, nilai penurunannya lebih besar lagi, yakni sebesar 36%. Faktor III: Dorongan pada laju inflasi. Kontribusi dorongan laju inflasi pada tahun 2008 dimuali dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya kebijakan subsidi harga BBM. Tekanan inflasi makin tinggi akibat harga komoditas global yang tinggi. Namun inflasi tersebut berangsur menurun di akhir tahun 2008 karena harga komoditi yang menurun dan penurunan harga subsidi BBM. Pergerakan inflasi di Indonesia dapat dilihat dari grafik berikut:
Pergerakan Laju Inflasi Indonesia Periode Januari 2008- April 2009 (Sumber: www.bi.go.id) Dari grafik tersebut terlihat bahwa terjadi tekanan inflasi yang tinggi hingga triwulan III-2008 yakni hingga bulan September 2008. Hal ini dipicu oleh kenaikan harga komoditi dunia terutama minyak dan pangan. Lonjakan harga tersebut berdampak pada kenaikan harga barang yang ditentukan pemerintah (administered prices) seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Setelah bulan September 2008, tingkat inflasi mulai turun karena turunnya harga komoditi internasional, pangan dan energi dunia. Penyebab lain dari terus menurunnya tingkat inflasi adalah kebijakan Pemerintah menurunkan harga BBM jenis solar dan premium pada Desember 2008, dan produksi pangan dalam negeri yang relatif bagus. Bahkan awal Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0,04 persen. Deflasi tersebut terjadi karena menurunnya harga pada sektor transportasi, konsumsi, dan jasa keuangan. Keberhasilan menurunkan inflasi secara berangsur-angsur tak lepas dari keberhasilan instansi terkait dalam memitigasi akselerasi ekspektasi inflasi yang sempat meningkat tajam pasca kenaikan harga BBM. Secara keseluruhan, inflasi IHK pada tahun 2008 mencapai 11,06 persen, sementara inflasi inti mencapai 8,29 persen. Aplikasi Kebijakan Moneter dan Fiskal Terhadap Resistensi dan Pemulihan Krisis Global. Krisis global yang melanda keuangan dunia, ditakutkan akan membawa dampak bagi perekonomian Indonesia, hal yang ditakutkan adalah kolapsnya industri Indonesia akibat menurunnya permintaan luar negeri, melemahnya daya beli konsumen dalam negeri sehingga berujung pada pemutusan hubungan kerja besar-besaran akibat tutupnya industri-industri
terkait.
Melambatnya
industri
dan
pengangguran
baru
akan
menimbulkan dampak sosial, karena tentunya hal tersebut akan menjadi beban dan tanggungan pemerintah. Untuk menyelamatkan industri maka pemerintah menyiapkan paket kebijakan baik melalui kebijakan moneter maupun stimulus fiskal.
Neraca Perdagangan Luar Negeri Indonesia Pra dan Krisis Global Aplikasi kebijakan moneter yang langsung dilakukan pemerintah adalah melalui penurunan BI Rate selama tiga kali, hal ini disebabkan penurunan inflasi akibat perlambatan laju industri. Kebijakan moneter ini juga diharapkan untuk memulihkan dari perlambatan ekonomi, sehingga masyarakat lebih aktif dalam konsumsi dan diharapkan juga suku bunga kredit simpanan akan turut turun. sehingga mengurangi cost of fund dari pihak pengusaha industri. Dalam bidang fiskal, pemerintah juga telah mencanangkan program yang disebut dengan program stimulus fiskal yang mencapai Rp 71,3 triliun. Pada saat harga minyak dunia cenderung menurun sehingga membawa konsekuensi berkurangnya subsidi BBM, ditambah dengan meningkatnya penerimaan pajak karena efektifitas peningkatan jumlah pemilik NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan tersedianya anggaran yang tidak termanfaatkan pada tahun 2008 sebesar Rp 51 triliun, maka kebijakan stimulus fiskal 2009 ini tidak menimbulkan penolakan dari siapapun. Selain itu, karena sektor-sektor yang menerima fasilitas stimulus fiskal ini cukup selektif dengan kriteria untuk penyerapan tenaga kerja, meningkatkan daya saing, dan daya beli masyarakat serta menjaga pertumbuhan ekonomi agar mencapai target yang diharapkan, maka program ini juga tidak mendapat penolakan dari kalangan non pengusaha. Bahkan pihak pengusaha yang diuntungkan oleh program ini menghendaki dana stimulus diperbesar lagi, seperti terlihat dari usulan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) yang menyarankan agar nilai stimulus fiskal untuk sektor rill ditambah lagi hingga mencapai Rp 50 triliun. Pemerintah juga memberikan stimulus fiskal bagi pekerja yang tertuang melalui Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.03/2009. Ketentuan itu menyatakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang terutang atas penghasilan yang diterima pekerja pada kategori usaha tertentu, yang semula dibayar pekerja, menjadi pajak yang ditanggung pemerintah (DTP). Kebijakan PPh Pasal 21 DTP ini merupakan salah satu di antara beberapa jenis stimulus fiskal yang diberikan pemerintah. Tujuannya, untuk mengurangi dampak krisis keuangan global yang dapat berakibat kepada penurunan kegiatan perekonomian nasional sekaligus untuk meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya pekerja.
Terkait dengan program stimulus tersebut, pada 5 Januari 2009 pemerintah mengeluarkan daftar produk yang menerima insentif stimulus bea masuk ditanggung pemerintah (BM DTP), sebagai berikut : 1) Ballpoint 2) Bahan baku dan komponen untuk industri alat berat 3) Bahan baku dan komponen untuk pembuatan PLTU kapasitas kecil 4) Bahan baku susu (skim milk powder dan full cream) 5) Bahan penolong methyltin mercaptide 6) Bahan baku dan komponen industri otomotif 7) Komponen elektronik 8) Telematika (fiber optic dan komponen telekomunukasi) 9) Bahan baku dan komponen untuk kapal 10) Bahan penolong industri sorbitol 11) Bahan baku dan peralatan untuk produksi film 12) Listrik 13) Alat kesehatan 14) Pesawat terbang Sedangkan daftar produk yang menerima insentif stimulus Pajak Pertambahan Nilai (PPn) DTP, sebagai berikut : 1) Bahan baku baja 2) Masin peralatan untuk EPC pembangunan PLTU 10 ribu MW 3) Mesin mini pembuat es untuk perikanan 4) Mesin gudang pendingin untuk perikanan 5) Kain untuk industri pakaian jadi 6) Kulit, sol, dan komponen karet untuk industri alas kaki 7) Bahan baku dan komponen kapal 8) Bahan baku untuk industri karoseri 9) Bahan baku perak untuk industri kerajinan 10)Komponen dan bahan baku untuk gerbong KA 11)Bahan baku dan peralatan untuk produksi film 12) Crum riber
13) Rotan untuk industri mebel 14) Pakan ikan/udang 15) Bahan bakar nabati nonsubsidi 16) Minyak goreng 17) Migas dan panas bumi Efektifitas Kebijakan Moneter dan Fiskal Memulihkan Kelesuan Eknomi Dalam mengurangi dampak perlambatan ekonomi akibat penurunan produksi, permintaan ekspor yang berkurang, dan melemahnya daya beli masyarakat maka akan dilihat efek kebijakan moneter dan stimulus fiskal bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Bank Indonesia melalui kebijakannya menurunkan suku bunga acuan (BI rate) dari puncak inflasi akibat kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2008 sebesar 9.25 persen hingga menjadi 6.75% pada bulan Juli 2009, hal ini diterapkan agar pemerintah dan masayarakat mampu meningkatkan konsumsinya akibat perlemahan daya beli, akibat inflasi tahun 2008 yang tinggi. Hal ini terbukti dari meningkatnya kontribusi konsumi masyarakat dan pemerintah terhadap penerimaan nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi yang meningkat diharapkan akan memulihkan kelesuan permintaan akibat menurunnya ekspor, sehingga konsumsi dari dalam negeri harus lebih ditingkatkan. Pemberian stimulus fiskal berupa pemotongan pajak dan subsidi barang-barang produksi industri tertentu, diharapkan akan meningkatkan konsumsi masyarakat dan juga meningkatkan industri secara berkala yang semula lesu akibat penurunan permintaan. Tumbuhnya permintaan diharapkan akan menghidupkan industri yang sempat tutup agar mengurangi masalah sosial akibat adanya PHK besar-besaran akibat penutupan beberapa sektor industri pada saat krisis global. Namun juga patut dicermati bahwa suku bunga acuan kredit belum sepenuhnya didukung oleh suku bunga pinjaman dari bank pemerintah maupun bank swasta. Hal tersebut juga memberatkan pemulihan industri dari keterpurukan. Patut dimaklumi bahwa asumsi dari bank dalam rangka mempertahankan suku bunga kredit pinjaman adalah sebagai premi risiko dari kredit bermasalah (Non performing loan) yang semakin meningkat di tengah melambatnya perekonomian akibatnya menurunkan kapabilitas pelau usaha membayar kredit. Sehingga efektifitas dari penurunan BI rate belum berpengaruh signifikan pada suku bunga kredit pinjaman untuk investasi. Pemerintah sampai saat ini hanya baru dapat memberikan himbauan kepada bank untuk menurunkan suku bunga kreditnya. Di sisi lain penghimpunan dana baik dari pihak domestik maupun pihak asing melalui penerbitan dan aksi penempatan SBI dan Surat Utang Negara yang memberikan imbal hasil yang cukup tinggi dibanding negara lain seperti T-bill, memberikan kontribusi menguatnya nilai tukar rupiah akibat adanya aliran dana asing yang masuk. Hal ini ditunjukkan oleh menguatnya nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang negara lain seperti dollar Amerika Serikat. Meningkatnya arus investasi melalui instrumen investasi lain oleh pihak asing seperti SUN, dan meningkatnya kepercayaan investor asing di pasar modal juga turut memperkuat nilai tukar rupiah, Hal ini ditunjukkan oleh tabel IHSG dan perdagangan SUN Peningkatan bursabursa Asia pada akhir kuartal pertama tahun 2009 didorong mulai masuknya investasi asing dalam pasar modal Indonesia setelah penurunan signifikan bursa-bursa regional.
Sayangnya peningkatan arus investasi finansial yang bersifat jangka pendek ini tampaknya belum diikuti oleh peningkatan arus investasi riil yang membuka lapangan kerja baru. Stimulus fiskal memang terbukti dapat mendorong konsumsi, tetapi secara rata-rata, penurunan cost of fund dari penurunan lending rate bank belum signifikan walaupun penurunan BI Rate signifikan dilakukan. Kemungkinan menurunkan agar suku bunga dapat pinjaman turun, adalah pemerintah sebagai otoritas fiskal harus membelanjakan APBN dengan lebih cepat. Keterlambatan belanja APBN, menjadi pemicu uang pemerintah menjadi idle di Sertifikat Bank Indonesia (SBI), akibatnya keadaan finansial di Indonesia mengalami sedikit kekeringan likuidias. Selain itu, BI sebagai otoritas moneter harus menurunkan outstanding SBI. Jumlah surat utang yang diterbitkan BI itu harus dikurangi Kekurangan likuiditas dalam perbankan menyebabkan, arus dana untuk pinjaman menjadi lebih lambat, sehingga realisasi belanja pemerintah dan pengurangan outstanding SBI mutlak harus segera dilakukan. Kalau itu dilakukan, akan ada uang baru yang masuk ke sistem keuangan. Pada akhirnya, perbankan pasti akan mencoba menyalurkan uang baru ke alternatif investasi yang lain termasuk kredit. Jika sudah banyak bank yang menyalurkan kredit, mereka akan berkompetisi sehingga pada akhirnya suku bunga kredit akan turun. Pada mulanya kredit konsumsi kemudian lama kelamaan akan menyebar ke kredit-kredit yang lain termasuk kredit investasi. Jika sudah banyak bank yang menyalurkan kredit, mereka akan berkompetisi sehingga pada akhirnya suku bunga kredit akan turun. Dengan penurunan outstanding SBI, perbankan terpaksa berpikir untuk menyalurkan kredit, jika tidak maka akan ada cost of fund dari deposito, tabungan yang akan menambah beban jika tidak segera disalurkan dalam bentuk kredit baik kredit konsumsi maupun investasi.
KESIMPULAN Kebijakan fiskal dan moneter merupakan dua alat yang digunakan pemenerintah untuk membantu menggerakkan ekonomi selama masa krisis yang sedang terjadi. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan di sektor anggaran belanja negara yang memiliki dua instrumen yaitu perpajakan dan pengeluaran pemerintah. Instrumen didalam kebijakan fiskal digunakan untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan belanjanya disaat ekonomi lesu dan meningkatkan penerimaan negara saat ekonomi membaik. Di lain sisi kebijakan moneter juga merupakan sebuah alat bagi pemerintah dalam menggerakkan ekonomi melalui pengaturan sektor keuangan untuk menjalankan perekonomian. Instrumen di dalam kebijakan moneter mengatur suplai uang di masyarakat untuk menggerakan perekonomian. Sejalan dengan tema pembangunan nasional yaitu “Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Dan Pengurangan Kemiskinan”, kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam tahun 2009 diarahkan kepada upaya mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan, menciptakan dan memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Di samping hal tersebut di atas, kebijakan alokasi anggaran akan tetap menjaga stabilitas nasional, kelancaran kegiatan penyelenggaraan operasional pemerintahan, dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Kebijakan ekonomi dan fiskal tahun 2009 disusun dan dirancang dengan dilandasi sikap untuk terus waspada dan terbuka terhadap perubahan, dan mampu secara fleksibel untuk merespon perubahan yang mungkin terjadi. Meskipun demikian APBN 2009 harus tetap dapat memberikan arah yang jelas dan pasti mengenai kebijakan ekonomi dan fiskal, yang dapat dijadikan landasan pedoman bagi seluruh pelaku ekonomi dan Pemerintah dalam menjalankan aktivitas dan rencana kerjanya. Tujuan untuk membangun perekonomian yang kokoh dan sehat, serta struktur anggaran yang fleksibel dan mampu melakukan fungsi stabilisasi terus diupayakan. Dua jenis kebijakan ini digunakan secara bersama oleh pemerintah untuk mendapatkan efek yang paling baik dalam menggerakkan perekonomian di saat lesu. Stimulus kebijakan fiskal diberikan pada industri yang terkena dampak krisis global. Stimulus diharapkan mampu membantu industri melewati masa sulit, melalui kemudahan pajak seperti pajak impor bahan maupun pajak eksor produksi. Kebijakan fiskal juga dapat mengangkat industri yang sedang lesu ataupun industri yang dalam masa menurun. Diharapkan industri yang dapat bertahan akan tetap
memberikan sumbangan penyerapan tenaga kerja, pemberian upah yang akan digunakan sebagai konsumsi, sehingga ekonomi tetap berjalan. Kebijakan moneter sejalan dengan kebijakan fiskal diharapkan dapat menggerakkan ekonomi melalui penurunan tingkat suku bunga bank sentral yang dapat diikuti oleh perbankan dan akan digunakan secara baik oleh industri – industri. Melalui kredit yang rendah ini diharapkan dunia industri dapat tetap beroperasi melalui sumber pendanaan perbankan. Apabila industri beroperasi maka ekonomi dapat bergerak dan bertumbuh, hal inilah yang dipercayai kaum monetaris bahwa kebijakan moneter memiliki peran yang cukup untuk membantu pertumbuhan PDB secara keseluruhan. Kebijakan moneter harus mampu menjaga keseimbangan antara menggairahkan sektor riil, menjaga kestabilan harga, menjaga ketenangan pasar keuangan dan mengawal integritas sistem keuangan. Oleh sebab itu, Bank Indonesia akan senantiasa melonggarkan kebijakan moneter dan likuiditas yang tentunya diselaraskan dengan pengukuran dan pemantauan terhadap indikator-indikator terkait. Tekanan inflasi akibat penurunan permintaan dan penurunan harga komoditas di pasar internasional pada pertengahan tahun 2008 mulai mereda. Momentum penurunan inflasi ini mendorong bank sentral di beberapa negara melakukan pelonggaran kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga guna mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi (BI, 2009). Pada bulan Desember 2008 Fed Fund Rate mencapai titik terendahnya 0,25%, sementara suku bunga European Central Bank turun menjadi 2,50%. BI rate juga mengalami penurunan menjadi 9,25% pada Desember 2008 yang berlanjut hingga menjadi 7,75% pada Maret 2009. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 3 Juli 2009 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps, dari 7,0% menjadi 6,75%. Keputusan itu dilakukan dengan mempertimbangkan masih menurunnya tekanan inflasi ke depan dan masih diperlukannya kebijakan moneter yang longgar untuk mendukung optimisme masyarakat dan dunia usaha terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Meskipun BI rate mengalami penurunan tetapi iklim investasi di Indonesia diperkirakan masih cukup menarik, karena secara riil tingkat bunga di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya. Terkait dengan kebijakan moneter yang mendukung sektor riil maka diperlukan kebijakan yang dapat memperkuat fungsi intermediasi perbankan. Salah satu program terkait dengan hal ini adalah penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Penyaluran KUR dan juga kredit UMKM diharapkan dapat terus berjalan dengan tingkat pertumbuhan yang cukup siginifikan.
Kredit jenis ini sangat penting artinya bagi masyarakat kecil agar dapat terus bertahan dan mengembangkan usahanya pada masa-masa sulit seperti tahun 2009 ini. Untuk dapat terus memfasilitasi aliran kredit, Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan bagi perbankan dalam menyalurkan
kredit.
Ketentuan-ketentuan
tersebut
mencakup
beberapa
hal
seperti:
memperpanjang masa transisi penerapan Basel II untuk perhitungan beban modal risiko operasional,
menyederhanakan
tatacara
pembukaan
kantor
bank,
termasuk
syariah,
menyesuaikan bobot ATMR untuk Kredit Usaha Kecil dengan skim penjaminan, menyesuaikan tatacara penilaian kredit dalam jumlah tertentu, memberikan fasilitas transaksi USD repurchase agreement (repo) bank kepada Bank Indonesia, dan mengurangi kewajiban pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Non Produktif (yaitu untuk abandoned assets). Ke depannya, Bank Indonesia juga akan mengeluarkan kebijakan untuk mendukung ketentuan-ketentuan yang terkait dengan dengan upaya peningkatan transparansi perbankan, penguatan efektifitas manajemen risiko likuiditas, dan produk-produk derivatif industri perbankan. Dengan kebijakan ini diharapkan, seluruh pelaku industri perbankan, baik bank umum konvensional maupun syariah, akan memiliki ruangan yang cukup untuk tetap menjalankan fungsi intermediasinya, dengan tetap menempatkan penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagai prioritas utama. Dua kebijakan yang sama – sama ditujukan untuk menggerakkan ekonomi ini akan tetap digunakan bila ekonomi membaik. Industri yang dapat bertahan akan memberikan peningkatan pendapatan negara melalui pajak serta konsumsi dari pekerja industri.
REFERENSI PT. Roda Cipta Semesta. Stimulus Moneter Lebih Potensial, Penyaluran Kredit oleh BI Perlu Dipertimbangkan. Kompas. 17 Februari 2009. Mudrajad,Kuncoro. Stimulus,Kebijakan yang Harus Mulus. Investor Daily. 10 Maret 2009. Mudrajad,Kuncoro. Efektifitas Stimulus Kebijakan?. Suara Pembaruan. 2 Februari 2008. Mudrajad,Kuncoro. Urgensi Stimulan Kebijakan di Tengah Krisis. Suara Pembaruan. 2 Desember 2008. http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/link.asp?link=1140000 http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/link.asp?link=1160000 http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=pbb&info1=1 http://www.tarif.depkeu.go.id/Ind/ www.vibiznews.com/articles