7. Etik Legal Budaya.docx

  • Uploaded by: Fidiya
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 7. Etik Legal Budaya.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,097
  • Pages: 8
Prinsip Etik, Legal, Dan Budaya Dalam Keperawatan Gerontik A. Etik Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) : 

Empati : istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas dasar pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia.



Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai nonmaleficience dan beneficience. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus menghindari tindakan yang menambah penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non nocere (”yang penting jangan membuat seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan.



Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedanagkan non-maleficience dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis. Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).



Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.



Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan pada seorang penderita.

Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan geriatri berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai berikut : 1. penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keputusan dan pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat sukarela. 2. keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas. 3. keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental dianggap kapabel.

Atas dasar hal tersebut, maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian dituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan medik (pertindik) atau informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita berha menolak tindakan medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut tidak berguna atau bahkan berbahaya.

B. Aspek legal Produk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara merupakan gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut Usianya. Baru sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo. Bila dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara berkembang perhatian terhadap Lanjut Usia belum begitu besar.

Berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan sejak 1965, beberapa di antaranya adalah : 1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747). 2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. 3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. 4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. 5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional. 6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian. 7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. 9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang PErkembangan Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera.] 10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. 11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan. 12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. 13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan. 14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain : a. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan kelembagaan. b. Upaya pemberdayaan. c. Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak potensial.

d. Pelayanan terhadap Lanjut Usia. e. Perlindungan sosial. f. Bantuan sosial. g. Koordinasi h. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi i. Ketentuan peralihan.

Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia, bila ditinjau dari aspek hokum dan etika, dapat disebabkan ole factor, seperti berikut : 1. Produk Hukum Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk hokum dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu pula, belum diterbirkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk Teknisnya, sehingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan sosial Lanjut Usia, sehingga perlu dipertimbangkan diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat mengatasi permasalahan Lanjut Usia secara spesifik. 2. Keterbatasan prasarana Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II, sering menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula, lembaga sosial masyarakat dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang menaruh minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga persoalanya menjadi berat pada saat diberikan pelayanan. 3. Keterbatasan sumberdaya manusia Terbatasntya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan serta perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu permasalahan hukum dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya mengatasinya secara benar oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan terlambat dan permasalahan sudah berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari berbagai disiplin ilmu, antara lain :

a. Tenaga ahli gerontologi b. Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatric, psikogeriatri, neurogeriatri, dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis, speech therapist, perawat terlatih. c. Tenaga sosisal : sosiolog, petuga syang mengorganisasi kegiatan (case managers), petugas sosial masyarakat, konselor. d. Ahli hukum: sarjana hokum terlatih dalam gerontology, pengacara terlatih, jaksa penunutut umum, hakim terlatih. e. Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontology, konselor. f. Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana, mahasiswa, pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga ketahanan masyarakat desa, Rukun Warga/RW, Rukun Tetangga/RT terlatih. g. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga

Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993), berbagai isu hokum dan etika yang sering terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah : 1. Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect) 2. Tindak kejahatan (crime) 3. Pelayanan perlindungan (protective services) 4. Persetujuan tertulis (informed consent) 5. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical issues)

C. Aspek budaya Budaya digambarkan sebagai nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang dilakukan bersama oleh anggota dari suatu kelompok sosial yang saling berinteraksi. Keanggotaan lansia sebagai suatu suku atau budaya hanya sebagai latar belakang dan setiap perawatan untuk lansia harus dibuat atas dasar individual. Sangat penting bagi perawat untuk tidak melakukan generalisasi yang berlebihan atau bersikap stereotip atas dasar keanggotaan suku atau budaya. Budaya juga mempengaruhi bagaimana lansia itu didefinisikan. Seseorang dapat dikatakan sebagai lansia berdasarkan pada beberapa kriteria tertentu (Stanley dan Beare, 2006). Seseorang disebut lansia jika secara fisik mengalami penuaan seperti rambut beruban, keriput, atau giginya hilang. Adapula, disebut lansia jika seseorang dianggap

sudah tidak dapat menjalankan fungsi perannya sebagai orang dewasa normal. Selain itu, dapat juga dikatakan lansia ketika seseorang telah melewati beberapa peristiwa simbolik seperti memiliki cucu. Terakhir, adapula seseorang dikatakan lansia berdasarkan usianya menurut kronologis waktu. Terdapat beberapa pertimbangan penting mengapa suatu etnik lansia harus menjadi salah satu aspek paling penting untuk dipertimbangkan di dalam keperawatan gerontik. Pertama, faktor budaya menentukan sebagian besar status dan definisi lansia. Kedua, nilai-nilai dasar dari lansia, kepercayaan, dan kebiasaan (termasuk hal-hal yang berkaitan dengan penyakit dan kesehatan) telah terbentuk melalui suatu pandangan kultural. 2.2.2.1 Mitos dan Stereotip Walaupun pengetahuan ilmiah telah berkembang, banyak kesalahan stereotip yang tetap ada. Beberapa orang percaya bahwa lansia berkurang pemahamannya

dan

pelupa,

bersikap

kaku,

membosankan,

dan

tidak

menyenangkan. Lebih jauh lagi, lansia sering mempunyai stereotip seperti sakit, pincang, sulit mendengar, dan botak. Banyak orang percaya bahwa lansia mengalami penurunan kemampuan belajar. Akibatnya, profesional pelayanan kesehatan seringkali gagal memberi kesempatan

pendidikan

kesehatan

bagi

lansia

karena

mereka

salah

mengasumsikan bahwa klien lansia tidak dapat belajar menjaga diri mereka sendiri (Stanhope dan Lancaster, 1992). Perbedaan pembelajaran yang signifikan bagi lansia adalah peningkatan waktu yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan dan mendapatkan kembali informasi dari memori (Ebersole dan Hess, 1990). Oleh karena itu, perawat yang mengajar klien lansia harus: memberi banyak percobaan untuk mentransfer materi pelajaran baru untuk memori jangka panjang; memberi kesempatan untuk lebih sering mempelajari materi baru; menggunakan pendekatan self-paced (Weinrich, Boyd, and Nussbaum, 1989). Beberapa orang percaya bahwa lansia menjadi tidak berharga setelah mereka tidak bekerja lagi. Pendapat ini telah membawa pada konsep ageism (lansialisme) yaitu diskriminasi terhadap individu lansia, sama seperti mereka yang rasialis dan seksualis karena warna kulit dan gender. Bagaimanapun, rasialis dan seksualis tidak akan dipermasalahkan terhadap sikap mereka karena baik gender dan warna kulit tidak akan berubah. Sebaliknya, seorang ageist akhirnya

akan bertambah tua. Kenyataan ini menimbulkan ansietas dan penolakan untuk menerima penuaan sebagai proses normal. Lansia tidak lagi tertarik dengan seks adalah stereotip yang salah. Banyak orang mempercayai bahwa lansia tidak mempunyai keinginan untuk terlibat dalam hubungan seksual. Kebutuhan melakukan hubungan seksual seharusnya sama pentingnya dengan melakukan aktivitas psikologis lainnya. Konsekuensinya, perawat dan tenaga kesehatan lain tidak melakukan pengkajian kebutuhan seksual dan promosi tentang seksualitas. Selanjutnya adalah lansia bau. Lansia kurang memperhatikan kebersihan dirinya. Memang benar, terdapat lansia yang bau, tetapi ini tidak berlaku secara mayoritas. Ketika seseorang bertambah tua, kelenjar keringatnya akan berkurang sehingga pengeluaran keringat juga menurun. Inkontinensi urin dan feses juga sering terjadi pada lansia. Akan tetapi, ini adalah proses patologik dan dapat diatasi. Ketika lansia bau urin atau feses, biasanya karena mereka sedang sakit dan tidak ditangani secara maksimal. Meningkatkan perhatian terhadap perawatan lansia akan meningkatkan pengelolaan kebesihan, inkontinensia, dan disorder. Lansia dekat dengan kematian, masyarakat percaya mereka siap untuk meninggal dan tidak memerlukan perhatian atau perawatan khusus di akhir hidupnya. Konsekuensinya, tenaga kesehatan sering memberikan perawatan yang tidak maksimal dan mengabaikan komponen penting perawatan menjelang ajal. Lansia membutuhkan perhatian secara fisik, psikologi, sosial, dan spiritual. Menjelang ajal merupakan waktu yang sulit bagi lansia tetapi juga memberi kesempatan untuk menyelesaikan tugasnya misalnya menghabiskan waktu dengan orang yang dicintai, melepas peran sosial, dan berganti kehidupan ke alam lainnya.

Perawat

memiliki

peran

penting

membantu

lansia

memenuhi

keinginannya dan menuju kematian yang damai.

Mitos yang berkembang di lansia menurut Saul (1974) dalam Nugroho (2000): 1.

Mitos damai dan tenang. Damai dan tenang yang dimaksud ketika lansia menganggap bahwa

waktu tuanya dihabiskan untuk menikmati hasil kerja saat di masa muda, seperti beristirahat, bermain dengan cucu saja dan tidak perlu bekerja lagi.

Namun, pada beberapa lansia masih ditemui tingkat stres yang tinggi karena kemiskinan dan penyakit yang dideritanya. 2. Mitos lansia lebih konsevatif. Lansia biasanya berorientasi pada masa lalu, saat masih muda. Proses pikir yang lebih konservatif, kurang kreatif, menolak inovasi dan cenderung keras kepala sehingga sulit untuk menyesuaikan dengan masa kini. 3. Mitos lansia berpenyakitan Secara fisiologis, penurunan fungsi tubuh akan terjadi pada lansia. Penurunan fungsi tubuh akan diikuti oleh berbagai penyakit yang menyerang lansia dalam satu waktu. Namun, penurunan ini dapat diminimalisir dengan perawatan dan dukungan keluarga yang diberikan pada lansia. 4. Mitos daya ingat lansia mengalami kemunduran. Penurunan fungsi otak pada beberapa lansia dapat mengakibatkan pikun. 5. Mitos bahwa lansia tidak jatuh cinta. 6. Mitos aseksualitas Mitos ini beranggapan bahwa lansia dalam berhubungan seks dari minat, dorongan, kebutuhan, dan daya seks berkurang. Pada kenyataannya, hubungan seks pada lansia tetap tinggi, namun hanya frekuensi hubungannya saja yang menurun. 7. Mitos tidak produktif Lansia dianggap tidak dapat melakukan pekerjaan lagi dan kurang produktif. Namun kenyataannya, beberapa lansia masih mampu melakukan pekerjaan dan bahkan lebih baik dalam hal mental dan material.

Referensi : Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. (Balai Penerbit FKUI). Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. (2005). Panduan Gerontologi, Tinjauan Dari Berbagai Aspek. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Stanley, M., & Beare, P. G. (2007). Gerontological nursing: a health promotion/protection approach. Philadephia: F. A. Davis Company.

Related Documents


More Documents from "farida"