6 Tahun di Rumah Syaikh Albani
! " "
# $
%
$
&
&
' #
&
#
&
() * ( + ! "
, , + () $
-
$
&
.
$ $
/
" &&%
&& $
& " %
+
$
$
$ '
$
! $
$ &
% $
$
& '
$
$ $ %
&
)
+
%
&
" #
'
&
"
/
0
1 %
" $
2
3
$
%4 &
0
&
% % )
$
4
)
$
% 56 $
$
7
.7
!
8 $
&
$
$ 9 :
&
$ $
() * -
.
%
%
-
.
"
"
%
% $
$
$ %4 &
#
$
1
$ ' $
()
)
$
$
"
$
() 0 /
+-
.(
) !
+ % $ $
9
1
% $ %
!
&
()
;
6 $
$
+
%
-
.
& $
()0
$
$
:+
()
() 7
+#
,
$
(
) +
() 7 $ +" &
$
() 7
( ! & 666 $ $
$
$ <666 #
$
=
%
() 7 +
%
1 1
$
)
$
$
(
> 7 ' ) " )
? %
+ +
> %
+
"
!
$ $
$
$ (+ $ @
AB
:: &
$
% %
%
! &
()
$
:
+# & @
()
, , ,
3
+#
$
% %
! !
() 7 '
'
)
' *
( ( '
+
$ ?
)
1
$
+
%
% &
$ 4
()
C
+ !
1 %
& D
!
$
$
% &
$ %
$
%
& $
$ ?
) $
%4
A B3
% ? (
%
2
(;;%;5
+
KEHUJAHAN HADITS AHAD DALAM MASALAH AQIDAH Oleh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA DALIL-DALIL KEHUJAHAN HADITS AHAD Dan bila sudah jelas kepalsuan argumentasi yang menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah, maka dalil yang mewajibkan menerimanya banyak sekali, baik dari Al Qur’an maupun hadits, yaitu : [1]. Firman Allah Subhanahu wa Ta' ala : “Artinya : Tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”[At Taubah : 122] Ayat ini memerintahkan umat untuk belajar agama. Dan kata “golongan” (thaifah) tersebut dapat digunakan untuk seorang atau beberapa orang. Imam Bukhari berkata : “Satu orang manusia dapat dikatakan golongan.” Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta' ala : “Artinya : Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” [Al Hujurat : 9] Maka jika ada dua orang berperang, orang tersebut masuk dalam arti ayat di atas [15]. Jika perkataan seseorang yang berkaitan dengan masalah agama dan dapat diterima, maka ini sebagai dalil bahwa berita yang disampaikannya itu dapat dijadikan hujjah. Dan belajar agama itu meliputi akidah dan hukum, bahkan belajar akidah itu lebih penting daripada belajar hukum [16]. [2]. Firman Allah Subhanahu wa Ta' ala : “Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” [Al Hujurat : 6] Dalam sebagian qira’ah, ((Fatasyabbatu : Berhati-hatilah))[17]. Ini menunjukkan atas kepastian dalam menerima hadits seorang yang terpecaya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga mencapai derajat ilmu [18]. [3]. Firman Allah Subhanahu wa Ta' ala :
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” [An Nisa’ : 59] Ibnul Qayyim berkata : “Ummat Islam sepakat bahwa mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam adalah ketika beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu [19].” Adapun dalil-dalil dari hadits itu banyak sekali, antara lain : [a]. Rasulullah Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para Raja satu persatu. Begitu juga para penguasa negara. Manusia kembali kepada mereka dalam segala hal, baik hukum maupun keyakinan. Rasulullah Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam mengutus Abu Ubaidah Amir bin Al Jarrah radhiallahu ' anhu ke negara Najran [20], Muadz bin Jabbal radhiallahu ' anhu ke negara Yaman [21]. Dihyah Al Kalbi radhiallahu ' anhu dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah [22] dan lain-lain. [b]. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu ' anhu, ia berkata :“Ketika manusia ada di Quba’ menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam Al Qur’an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka’bah, maka mereka menghadap Ka’bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian beralih ke Ka’bah [23].” Dan tidak dikatakan bahwa ini hukum amali karena perbuatan hukum ini berdasarkan atas keyakinan keshahihan hadits. [c]. Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu ' anhu, ia berkata : “Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam, saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam, bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam. [24]” Maka inilah peristiwa yang dilakukan shahabat, yang memperlihatkan kepada kita bahwa satu orang dari kalangan shahabat sudah cukup untuk menerima hadits yang disampaikan oleh satu orang dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan maupun perbuatan. [d]. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ' anhu, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam bersabda : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memadai daripada orang yang mendengar.[25]” Dan ini tidak terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah, tetapi bersifat umum, meliputi hadits amaliyah, hukum, dan i’tiqad. Apabila masalah-masalah akidah yang ditetapkan dengan hadits-hadits ahad itu tidak wajib diimani, tentu Rasulullah Shallallahu
' Alaihi Wa Sallam dalam masalah ini tidak menyampaikan haditsnya secara mutlak, tetapi Rasulullah Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam menerangkan masalah itu terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah saja tidak lainnya. Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak bisa dijadikan dasar dalam hal aqidah, itu merupakan pendapat bid’ah dan mengada-ada yang tidak ada dasarnya dalam agama. Dan ulama Salafus Shalih tidak pernah ada yang mengatakan demikian, bahkan hal itu tidak pernah terlintas pada mereka. Andaikata kata dalil Qath’iy yang menunjukkan bahwa hadits ahad itu tidak layak untuk masalah aqidah, niscaya sudah dimengerti dan sudah dijelaskan shahabat dan ulama Salaf. Kemudian pendapat bid’ah tersebut berarti menolak beratus-ratus hadits shahih dari Nabi Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam. Maka orang yang tidak mengambil hadits ahad dalam masalah aqidah, niscaya mereka menolak beberapa hadits ahad tentang akidah lainnya, seperti tentang : [1]. Keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam melebihi semua Nabi ‘Alaihimus Salam. [2]. Syafaatnya yang besar di akhirat. [3]. Syafaatnya terhadap umatnya yang melakukan dosa besar. [4]. Semua Mu’jizat selain Al Qur’an. [5]. Proses permulaan makhluk, sifat Malaikat dan Jin, sifat Neraka dan Surga yang tidak diterangkan dalam Al Qur’an. [6]. Pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur. [7]. Himpitan kubur terhadap mayit. [8]. Jembatan, telaga, dan timbangan amal. [9]. Keimanan bahwa Allah Subhanahu wa Ta' ala menetapkan kepada semua manusia akan keselamatannya, sengsaranya, rizkinya, dan matinya ketika masih dalam kandungan ibunya. [10]. Keistimewaan Nabi Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam yang dikumpulkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al Khasha’is Al Kubra, seperti Rasulullah Shallallahu ' Alaihi Wa Sallam masuk ke Surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta hal-hal yang disediakan untuk orang yang bertakwa. [11]. Berita kepastian bahwa sepuluh shahabat dijamin masuk Surga. [12]. Bagi orang yang melakukan dosa besar tidak kekal selama-lamanya dalam neraka. [13]. Percaya kepada hadits shahih tentang sifat Hari Kiamat dan Padang Mahsyar yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. [14]. Percaya terhadap semua tanda kiamat, seperti keluarnya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa ‘Alaihis Salam, keluarnya api, munculnya matahari dari barat, dan binatang-binatang, dan lain-lain. Kemudian semua dalil akidah, menurut mereka tidak sah dengan hadits ahad. Dalil-dalil aqidah itu bukan dengan hadits ahad, tetapi dalilnya harus dengan hadits mutawatir. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu orang yang mengingkari kehujjahan hadits ahad itu maka mereka menolak semua akidah yang berdasarkan hadits shahih [26]. [Disalin dari buku Asyratus Sa’ah, edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat oleh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil, MA, Terbitan Pustaka Mantiq, Cetakan Kedua Nopember 1997. Hal. 38-45] _________ Foote Note
[15]. Lihat Shahih Bukhari dan Fathul Bari 13/231. [16]. Lihat Al Aqidah fii Allah halaman 51. [17]. Lihat Tafsir Asy Syaukhani 5/60. [18]. Lihat Kewajiban Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 7, karya Syaikh Al Albani. [19]. Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/352 karya Imam Ibnul Qayyim. [20]. Lihat Shahih Bukhari 13/232. [21]. Lihat Shahih Bukhari 3/261. [22]. Lihat Shahih Bukhari 13/241. [23]. Lihat Shahih Bukhari 13/232. [24]. Lihat Shahih Bukhari 13/232. [25]. Lihat Musnad Ahmad, 6/96, hadits nomor 4157 tahqiq Ahmad Syakir, Imam Ahmad meriwayatkan dengan dua sanad shahih, lihat tentang hadits : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar kata-kataku, baik secara riwayah maupun dirayah.” Halaman 33 dan seterusnya karya Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad Al ‘Abbad, cetakan Al Rasyid Madinah Al Munawarah, cetakan I, 1401 H. [26]. Lihat Risalah Wajib Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 36-39 dan kitab Aqidah halaman 54-55 karya Umar Asyqar.
TINGKATAN MANUSIA MUSLIM DALAM MENGHADAPI MUSIBAH* Manusia, dalam menyikapi musibah dapat dikualifikasikan menjadi empat macam. Pertama, orang yang bersyukur. Kedua, orang yang ridha. Ketiga, orang yang sabar. Keempat, orang yang berkeluh kesah (jazi’). Orang yang jazi’, artinya, ia telah melanggar tindak yang diharamkan, murka terhadap ketentuan (qadha’) Rabbul ’alamiin yang ditanganNya pengaturan kerajaan langit dan bumi. Dia-lah pemilik kerajaan, sehingga berwenang melakukan apa saja yang dikehendakiNya. Orang yang bersabar, yakni orang yang dapat menanggung musibah yang melanda. Maksudnya, ia mengetahui hal itu pahit, berat dan susah. Dia tidak suka musibah itu datang, namun ia mampu teguh dalam menanggungnya dan menjaga dirinya dari berbuat yang diharamkan. Ini wajib. Orang yang ridha, yaitu sosok yang tidak peduli terhadap musibah, memandang semua itu berasal dari C Subhanahuwata’ala, sehingga ia menjadi manusia yang menerima dengan keridhaan secara total. Di qolbunya, tidak ada sedikitpun kesedihan ataupun penyesalan. Karena ia memang benar-benar ridha. Tingkatannya lebih tinggi dari golongan yang bersabar. Atas dasar itu, maka sikap ridha hukumnya mustahab, bukan wajib. Adapun orang yang bersyukur, maknanya, orang ini bersyukur kepada C Subhanahuwata’ala atas musibah yang menimpanya. Lantas, bagaimana ia bisa bersyukur kepada C Subhanahuwata’ala padahal ia tertimpa musibah? Ada dua aspek yang menjadi alasan rasa syukurnya. Pertama, ia memperhatikan orang yang tertimpa musibah yang lebih berat dari dirinya. Ia bersyukur kepada C Subhanahuwata’ala, lantaran tidak dilanda musibah seberat itu. Dalam konteks ini, terdapat sebuah hadits yang artinya: ”Janganlah kalian melihat orang yang berada di atas kalian, tetapi lihatlah orang-orang yang berada di bawah kalian. Itu lebih patut, agar kalian tidak melecehkan nikmat C pada kalian. (HR Muslim, kitab az Zuhdu (2963), dari Abu Hurairah D). Kedua, ia mengetahui, bahwa musibah itu akan menggugurkan dan menghapus dosadosanya. Ia juga mengetahui, bahwa musibah itu akan dapat meningkatkan derajatnya di sisi C Subhanahuwata’ala bila ia bersabar. Janji di akhirat lebih baik dari (pesona) dunia, maka ia pun bersyukur kepada C Subhanahuwata’ala. Dia juga memahami, orang yang paling dahsyat cobaannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang shalih dan orang-orang yang serupa dengan mereka, dan seterusnya. Sehingga ia pun berharap menjadi orang shalih dengan cobaan itu, dan akhirnya ia memanjatkan rasa syukur kepada C Subhanahuwata’ala atas anugerah itu. Syukur (dalam musibah), hukumnya mustahab, dan tingkatannya di atas ridha. Sebab, syukur saat tertimpa musibah mengandung makna lebih dari sekedar ridha (dan makna positif lainnya). (mas) (Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahulloh dalam Asy Syarhu al Mumti’, 5/495-496)
*dikutip dari majalah As Sunnah edisi 03/ tahun X/ 1427 H/ 2006 M dalam rubrik Baituna hal 7.
Agama Islam itu mudah Kalau kita merasa berat dalam menjalankan dien Islam maka ada dua kemungkinan sebab keberatan itu: 1. keberatan karena kurang ikhlas; atau 2. keberatan karena kejahilan /kebodohan al ustadz ' Abdul Hakim bin Amir Abdat
SIAPAKAH SURURI ? Oleh Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Alu Nashr Hafizhahullah Pertanyaan: Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr ditanya : "Kita telah mengetahui bahwa dakwah Salafiyyah adalah dakwah yang bersih dan benar. Tetapi sangat disayangkan telah datang pencemaran nama dan keburukan dari pihak lain. Seperti dari Sururiyyin (para pengikut surur). Maka bagaimanakah Sururiyyah (pemahaman surur) itu? Dan apakah kaedahkaedah dan prinsip-prinsip faham Sururiyah itu, agar kita dapat mengetahui dan menghukuminya?" Jawaban: Sururiyah (pemahaman Surur) adalah Jama’ah Hizbiyyah. Muncul pada tahun-tahun terakhir ini. Tidak dikenal kecuali pada seperempat akhir abad ini. Karena semenjak dahulu hingga sekarang, ia berselimut Salafiyyah. Pada hakekatnya, Sururiyah memiliki prinsip-prinsip Ikhwanul Muslimin, bergerak secara sirriyah (sembunyisembunyi/rahasia). Merupakan pergerakkan politik, takfir, mencela dan menyindir para ulama Rabbaniyyin, seperti Imam-imam kita yang tiga: Bin Baaz, Al-Albani dan Utsaimin. Menuduh mereka sebagai ulama haidh dan nifas. Setelah perang Teluk II serangannya terhadap dakwah Salafiyyah secara terang-terangan, bertambah keras baik secara aqidah dan pemberitaan. Sampai menuduh para masyayikh dan ulama kita bahwa mereka tidak mengetahui waqi’ (situasi dan kondisi/kenyataan), ilmunya dalam perkara nifas dan wanita-wanita nifas. Mereka sesuai dengan ahli bid’ah zaman dahulu, yang mengatakan: “Fiqh (Imam) Malik, Auza’i dan lainnya tidak melewati celana perempuan.” Alangkah besar dosanya. Kalimat yang keluar dari mulut mereka. Orang yang tidak menghormati para ulama, dia adalah para penyeru fitnah. Orang-orang yang merendahkan Al-Albani, Bin Baz dan Utsaimin di zaman kita, maka dia tenggelam (di dalam kesesatan), pembuat fitnah, dia berada di pinggir jurang yang dalam. Karena dia berkehendak memalingkan wajah manusia kepadanya dan menghalangi manusia dari para ulama dan imam mereka yang Rabbani. Sehingga walaupun mereka mengaku beraqidah Salafiyyah, tetapi manhaj mereka Ikhwani. Bahkan (mungkin) mereka lebih berbahaya dari Ikhwanul Muslimin, karena mereka berbaju Salafiyyah. Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar mereka diberi petunjuk menuju jalan yang lurus, dan agar kelak mereka bersama dengan Salafiyyah yang murni, yang para Sahabat Rasulullah dan para tabi’in berada diatasnya. Tambahan Redaksi Majalah As-Sunnah: Sururiyah adalah nisbat kepada seseorang yang bernama Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin. Dia pernah menjadi guru di Arab Saudi dalam waktu yang cukup lama, sehingga memungkinkan menjalankan rencananya dan menyebarkan racunnya di tengahtengah para pemuda. Tetapi setelah nampak keburukan niatnya, dia pergi, lalu bermukim di kota London, Inggris, sebuah negara kafir.
Di antara kesesatan dan penyimpangan Muhammad Surur ini adalah: [1.] Merendahkan Kitab-Kitab Aqidah Salafiyyah Dan Berlebihan Dengan Fiqhul Waqi’. Dia berkata di dalam bukunya, Manhajul Ambiya fi Dakwah Ila Allah I/8: “Aku memperhatikan kitab-kitab aqidah, maka aku lihat kitab-kitab itu ditulis bukan pada zaman kita. Sehingga kitab-kitab itu sebagai solusi berbagai permasalahan dan kemusykilan pada zaman ditulisnya kitab-kitab tersebut. Sedangkan pada zaman kita terdapat berbagai kemusykilan yang membutuhkan solusi yang baru. Kerena itulah model kitab-kitab aqidah itu sangat kering, karena hanya berisi nash-nash dan hokum-hukum. Karena inilah kebanyakan pemuda berpaling darinya dan tidak menyukainya.” Perkataan orang ini tentulah sangat menyesatkan, karena kitab-kitab aqidah yang berisi nash-nash dan hukum-hukum merupakan kebenaran hakiki. Sedangkan berpaling darinya akan menjerumuskan kepada pendapat si Fulan dan Fulan yang tidak jelas kebenarannya. [2.] Beraqidah Takfir Bil Ma’shiyah, Yaitu Mengkafirkan Kaum Muslimin Dengan Sebab Maksiat. Dia mengkafirkan para penguasa zhalim, sehingga dia banyak mencela para penguasa dan menerjuni medan politik ala Barat! Dia berkata di dalam majalahnya yang terbit di London, majalah As-Sunnah no: 26, Jumadal Ula 1413H, hal: 2-3 (Tidak ada hubungan sama sekali dengan Majalah AsSunnah kita ini): “Dizaman ini perbudakan memiliki tingkatan-tingkatan yang berbentuk piramida: Tingkatan Pertama: Presiden Amerika Serikat, George Bush, duduk bersila di atas singgasananya, yang besok akan diganti Clinton. Tingkatan Kedua: Tingkatan penguasa negara-negara Arab. Mereka ini berkeyakinan bahwa kebaikan dan bahaya mereka di tangan Bush (Bagaimana dia bisa memastikan aqidah mereka seperti itu? Apakah dia telah membedah dada mereka? Atau mereka memberitahukan kepadanya? Maha suci Engkau wahai Allah, sesungguhnya hal ini merupakan kedustaan yang besar!-red). Oleh karena inilah mereka berhajji kepada (mengunjungi) nya, serta mempersembahkan nadzar-nadzar dan kurban-kurban (Perkataan ini merupakan pengkafiran secara nyata kepada Penguasa yang zhalim! -red). Tingkatan Ketiga: Para pengiring penguasa negara-negara arab, dari kalangan menteri, wakil menteri, komandan tentara, dan para penasehat. Mereka ini bersikap nifaq kepada tuan-tuan mereka, menghias-hiasi segala kebatilan dengan tanpa malu dan ahlaq.
Tingkatan Keempat, Kelima dan Keenam: Para penjabat tinggi pada kementerian. Sesungguhnya perbudakan pada zaman dahulu sederhana, karena seorang budak memiliki seorang tuan secara langsung, tetapi sekarang perbudakan itu kompleks. Aku tidak habis fikir, tentang orang yang membicarakan tauhid, tetapi mereka adalah budak-budak, yang dimiliki oleh budak-budak, yang dimiliki oleh budak-budak, yang dimiliki oleh budak-budak, yang dimiliki oleh budak-budak. Tuan mereka yang akhir adalah seorang Nashrani (Alangkah keji dan lancangnya perkataan yang ditujukan kepada para ulama yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala –red). Perkataan orang ini dengan jelas menunjukkan kesesatan dan kedustaan yang nyata!. [3.] Juga Mengkafirkan Rakyat Karena Maksiat Yang Mereka Lakukan. Dia berkata di dalam bukunya, Manhajul Ambiya’ Fi Dakwah ila Allah I/158: “Tidaklah aneh jika problem laki-laki mendatangi laki-laki (homo seksua) merupakan permasalahan paling penting di dalam dakwah Nabi Luth. Kerena seandainya kaumnya menyambut dakwahnya untuk beriman kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, maka sambutan mereka itu tidak ada maknanya, jika mereka tidak meninggalkan kebiasaan keji yang telah mereka sepakati itu.” Itulah aqidah sesat Surur! Adapun aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terhadap pelaku dosa besar telah mansyur, yaitu tidak keluar dari iman, tetapi imannya berkurang, dan dia dikhawatirkan terkena siksaaan Allah Ta’ala. [4.] Memusuhi Dan Mencela Para Ulama Ahlus Sunnah As-Salafiyyin. Dia berkata di majalahnya yang terbit di London, Majalah As-Sunnah no. 23, Dzulhijjah1412 H hal. 29-30: “Dan jenis manusia yang lain (Yang dimaksudkan adalah para ulama Arab Saudi –red) mengambil (yakni mengambil bantuan resmi) dan mengikatkan sikapsikap mereka dengan sikap para tuan mereka (yang dimaksud dengan tuan mereka disini adalah para penguasa Arab Saudi). Maka jika sang tuan minta bantuan Amerika (Dia membicarakan masalah permintaan tolong kepada Amerika pada waktu perang telukred), para budak pun berlomba mengumpulkan dalil-dalil yang membolehkan perbuatan ini, dan mengingkari orang-orang yang menyelisihi mereka. Jika sang tuan berselisih dengan Iran Rafidhah, para budakpun membicarakan kebusukan Rafidhah. Dan jika perselisihan berhenti, para budakpun diam dan berhenti membagikan buku-buku yang diberikan kepada mereka. Jenis manusia ini: mereka berdusta, memata-matai, menulis laporan-laporan, dan melakukan segala sesuatu yang diminta oleh sang tuan kepada mereka. Mereka ini jumlahnya sedikit –al-hamdulillah-, mereka adalah orang-orang asing di dalam dakwah dan amal islami. Dokumen mereka telah terbongkar, walaupun mereka memanjangkan jenggot, memendekkan pakaian, dan menyangka sebagai penjaga sunnah. Adanya jenis manusia tersebut tidaklah membahayakan dakwah Islam. Kemunafikan sudah ada sejak dahulu….” Alangkah sesatnya perkataan ini, karena memperolok-olok sunnah Nabi dapat membawa kepada kekafiran! Membenci ulama Ahlus Sunnah adalah ciri utama Ahli Bid’ah! Dan kesesatan-kesesatan lainnya. Lihat: [1] Fitnah Takfir Wal Hakimiyah, hal: 93, Karya: Muhammad bin Abdullah Al-Husain. [2] Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘An As-ilah Al-Manhaji Al-Jiddah, Bagian Pertama hal. 45-
48 [3] Nazharat Fi Kitab Manhajul ambiya’ Fi Dakwah ila Allah, karya : Syaikh Ahmad Sallam. [4] Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuuha, karya: Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-‘Adnani [5] Al-Irhab, Karya: Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Makhdali. [6] Dan lain-lain. Peringatan: Sebagian orang menuduh kami (redaksi dan ustad-ustad Salaf lainnya –pen) sebagai sururi, yakni mengikuti pemahaman sesat Muhammad bin Surur, kemudian mereka memperingatkan kaum muslimin agar menjauhi kami. Padahal sifat-sifat sururi tidak ada pada kami. Bahkan sifat-sifat itu banyak melekat pada orang-orang yang telah menuduh. Maka disini kami nasehatkan dengan beberapa ayat dan hadits tentang bahaya menyakiti kaum muslimin, dan memfitnah mereka dengan perkara yang tidak ada pada mereka. Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk-Nya kepada mereka sehingga segera kembali ke jalan yang benar. Ingatlah bahwa seluruh perkataan pasti akan dicatat dan tidak akan dilupakan! Allah Ta’ala berfirman: “Artinya : (Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu usapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” [Al-Israa : 17-18] Ingatlah bahwa seluruh perkataan pasti dimintai pertanggung-jawaban! Allah Ta’ala berfirman: “Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya”. [Al-Israa : 36] Ketahuilah bahwa menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, merupakan kebohongan dan dosa yang nyata! Allah ta’ala berfirman: “Artinya : Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”. [Al-Ahzab :58] Ketahuilah bahwa satu kalimat saja dapat menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat!. Rasulullah bersabda:
“Artinya : Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dia fikirkan (baik atau buruknya) pada kalimat itu. Kalimat itu menyebabkan dia terjerumus ke dalam neraka lebih jauh dari timur dan barat”. [HR. Bukhari, Muslim, dari Abu Hurairah]. Rasulullah memperingatkan bahaya tuduhan yang tidak benar dengan sabdanya: “Artinya “ Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan, dan tidaklah dia menuduh orang lain dengan kekafiran, kecuali tuduhan itu kembali kepadanya jika yang dituduh tidak seperti itu”. [HR. Bukhari dari Abu Dzar]. Beliau juga memberitakan ancaman bagi orang yang membuat fitnah atas seorang mukmin dengan abdanya: “Artinya : Barangsiapa berbicara tentang seorang mukmin apa yang tidak ada padanya, niscaya Allah tempatkan dia di dalam lumpur racun penghuni neraka sampai dia keluar dari apa yang telah dia ucapkan, dan dia tidaklah akan keluar!” [HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Baihaqi, dari Ibnu Umar, di shahihkan Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi di dalam Ru’yah Waqi’iyyah hal: 84] Hendaklah saudara-saudaraku mengetahui, kalau hanya sekedar tuduhan, maka dengan sangat mudah setiap orang akan dapat melakukannya. Tetapi hal itu bukanlah manhaj Salaf. Karena manhaj mereka adalah mengawasi apa saja yang muncul dari lisan, atau apa yang digerakkan oleh lisan, dan menegakkan hujjah terhadap setiap kalimat yang dibicarakan oleh bibir. Adapun melepaskan tuduhantuduhan, melepaskan istilah-istilah kasar, menyelinapkan prasangka-prasangka rusak, memunculkan gelar-gelar keji, semua itu merupakan kebatilan dan perkataan yang dusta. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengetahui seluruh isi hati hamba-Nya terakhir, ingatlah sabda Rasulullah : Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan segala yang telah dia dengar. [HR. Muslim di dalam Muqaddimah dari Hafsh bin ‘Ashim]