PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU TUGAS RESUME | OLEH : FINANTI PUJA DWIKASIH
1.
PENDAHULUAN Nilai tegangan in-situ selalu menjadi perhatian utama dalam rekayasa pertambangan dan
geoteknik karena merupakan hal penting pada operasi penambangan bawah tanah. Pengetahuan yang baik tentang tegangan in-situ ini dapat digunakan untuk kegiatan identifikasi zona berisiko tinggi dan penerapan metode kontrol yang sesuai dalam mencegah keruntuhan. Pengukuran tegangan in-situ telah dikembangkan untuk menggambarkan besarnya tegangan dalam kondisi geologis yang berbeda pada titik tertentu. Namun, pengukuran-pengukuran tersebut belum tentu dapat mewakili keseluruhan operasi karena terdapat variasi medan tegangan secara signifikan yang disebabkan oleh beragam tegangan tektonik dan tekanan overburden pada kedalaman yang berbeda. Permasalahan utama pada operasi bawah tanah yang dalam adalah pengumpulan data yang tepat dengan biaya yang wajar.
2.
TEGANGAN IN-SITU “In situ berasal dari kata in site yang berarti di lapangan. Sehingga tegangan in situ memiliki pengertian sebagai tegangan alamiah yang terdapat pada massa batuan di lapangan” Tegangan alamiah merupakan tegangan
komponen
horisontal,
diasumsikan
dilakukan yang terdiri dari beberapa macam
pergerakan
tegangan, yaitu:
komponen ini dapat juga dihitung dengan
Tegangan gravitasi
persamaan
secara
dan
material
dalam massa batuan sebelum penggalian
Tegangan gravitasi terjadi karena beban
elastik
jika
tidak
horisontal,
ada maka
Tegangan tektonik
batuan yang ada di atasnya dan komponen
terjadi akibat geseran-geseran pada kulit
vertikal
dengan
bumi yang terjadi pada waktu yang lampau
Sedangkan
maupun saat ini, seperti pada saat terjadi
dapat
menggunakan
diperkirakan persamaan.
Mekanika Batuan Lanjut 2
1
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
sesar dan lain-lainPergerakan dalam kerak
aktivitas penggalian telah dilakukan dengan
bumi terjadi secara kontinyu, seperti
pengukuran tegangan in situ secara langsung
peristiwa seismik, pergerakan lempeng dan
maupun tidak langsung. Dalam banyak kasus,
pergerakan karena perbedaan panas antara
tegangan terinduksi ini akan melampaui
inti bumi dan kerak. Tegangan tektonik
kekuatan massa batuan dan menyebabkan
sangat sulit diperkirakan baik besar maupun
ketidakmantapan lubang bukaan bawah tanah.
arahnya, hanya pada umumnya lebih besar daripada tegangan vertikalnya Tegangan Termal
Tegangan termal terjadi karena pemanasan atau pendinginan batuan dan terjadi di dekat permukaan yang terkena panas matahari atau sebagai hasil pemanasan bagian dalam bumi karena bahan-bahan radioaktif atau proses geologi lainnya Aktivitas penggalian lubang bukaan pada
Besar dan arah tegangan in s itu adalah salah satu parameter penting dalam proses perancangan lubang bukaan. Ada tiga alasan mengapa studi tentang tegangan in situ pada massa batuan perlu dilakukan (Hudson, 2000) : a. Pada
massa
batuan
terdapat
kondisi
tegangan awal yang harus dimengerti , baik secara langsung maupun sebagai gambaran kondisi tegangan yang akan digunakan dalam analisis dan desain lubang bukaan .
massa batuan, dimana terjadi pemindahan
b. Saat dilakukan penggalian pada massa
sejumlah volume dari massa batuan, akan
batuan, ada kemungkinan kondisi tegangan
menyebabkan kondisi tegangan alamiah pada
berubah secara drastis.
massa batuan di sekitar lubang bukaan berubah.
Tegangan yang disebabkan oleh
c. Tegangan adalah besaran tensor dan tensor tidak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
aktivitas penggalian ini dikenal dengan istilah
Besaran
tegangan terinduksi (induced stress). Besarnya
memiliki nilai, arah, dan sangat tergantung
tegangan terinduksi dapat diketahui pada saat
pada bidang tempatnya bekerja.
3.
tensor
adalah
besaran
yang
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TEGANGAN IN-SITU Tegangan insitu suatu titik ditentukan oleh kondisi pembebanan material yang ada di atasnya
dan perubahan akibat proses geologi sebelumnya. Perubahan kondisi tegangan insitu dapat diakibatkan oleh beberapa hal yang antara lain berhubungan dengan perubahan suhu, serta proses kimia seperti leaching, penguapan, dan rekristalisasi mineral. Proses mekanik seperti terbentuknya rekahan, geseran antara bidang rekahan dan aliran viskoplastik dalam material akan menghasilkan kondisi tegangan yang komplek dan heterogen.
Mekanika Batuan Lanjut 2
2
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi tegangan insitu menurut Brady dan Brown (1985) adalah (a) Topografi permukaan, (b) Erosi, (c) Tegangan sisa, (d) Inklusi, (e) Aktivitas tektonik, (f) Bidang diskontinu a. Pengaruh Topografi Permukaan Terhadap Distribusi Tegangan
Kondisi tegangan pada suatu titik di bawah permukaan sangat dipengaruhi oleh beban material yang berada di atasnya. Semakin jauh titik tersebut dari permukaan, semakin besar tegangan yang diakibatkan oleh beban dari material yang berada di atasnya.
Gambar 1. Pengaruh Topografi Terhadap Distribusi Tegangan (Brady & Brown, 1985) b. Pengaruh Erosi Terhadap Distribusi
daripada kedalaman lapisan tanah penutup yang
Tegangan
tererosi.
Erosi pada permukaan tanah baik oleh air,
Pengukuran tegangan insitu di beberapa
angin, maupun es akan mengurangi kedalaman
daerah oleh Hoek & Brown (1978) juga
batuan pada suatu titik di bawah tanah, sehingga
membuktikan hal ini. Pada ilustrasi terlihat
tegangan vertikalnya menjadi lebih kecil. Proses
bahwa pada tempat-tempat yang relatif dangkal,
ini akan membawa pada suatu kondisi tegangan
nisbah
dengan nisbah tegangan horisontal dan vertikal
cenderung besar.
yang tinggi, khususnya di tempat-tempat yang
c. Pengaruh Tegangan Sisa Terhadap
horisontal
dan
vertikal
Distribusi Tegangan
dangkal. Analisis
tegangan
dari
permasalahan
ini
juga
Residual stress merupakan tegangan yang
menunjukkan bahwa rasio tegangan horisontal
masih tersisa, walaupun penyebab timbulnya
dan vertikal akan semakin kecil jika kedalaman
tegangan tersebut sudah tidak ada lagi. Sebagai
meningkat, mendekati nilai sebelum proses erosi
contoh, pada gambar 2(a) menggambarkan
terjadi di mana kedalamannya lebih besar
kondisi tegangan pada saat bidang lemah belum
Mekanika Batuan Lanjut 2
3
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
bergerak. Sedangkan gambar 2(b) menyatakan
dalam material. Sebagai contoh, pendinginan
kondisi tegangan sisa setelah terjadi proses
yang tidak merata dalam massa batuan dengan
pergerakan bidang lemah tersebut.
litologi yang berdekatan dan mempunyai
Fenomena ini disebabkan oleh beberapa hal. Love
(1944)
menyatakan
bahwa
proses
koefisien ekspansi termal yang berbeda akan menyebabkan tegangan yang terkunci (locked-in
pendinginan yang tidak merata dalam suatu
stress).
Selain
material dapat meyisakan tegangan dalam
mineralogi
material tesebut. Timoshenko dan Goodier
rekristalisasi lokal, perubahan kandungan air
(1970) mengungkapkan bahwa pada umumnya
dalam agregasi mineral karena absorpsi atau
tegangan sisa dapat ditimbulkan karena proses
proses.
lokal
pendinginan, dalam
perubahan
batuan
seperti
fisika dan kimia yang terjadi secara tidak merata
Gambar 2. Terjadinya Tegangan Sisa & Hubungan Nisbah Tegangan vs. Sesar (Herget,1988) Pada umumnya, tegangan sisa timbul berhubungan dengan adanya proses kimia atau fisika yang terjadi secara tidak merata (non-homogenous) pada suatu volume material yang terbatas, sehingga apabila dari proses tersebut terjadi penambahan volumetrik dan tidak ada ruang untuk penambahan tersebut, maka akan timbul tegangan yang terkunci pada material tersebut. Masalah tegangan sisa ini merupakan hambatan dalam memprediksi tegangan yang bekerja pada massa batuan. Mekanika Batuan Lanjut 2
4
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
d. Pengaruh Inklusi Terhadap Distribusi
tegangan dalam batuan induk di sekitar inklusi
Tegangan
menjadi
Inklusi dalam massa batuan adalah bagian
tegangannya relatif homogen (Savin, 1961)
yang secara litologi membuat umur batuan lebih
muda dari formasi batuan induknya.
Biasanya inklusi merupakan intrusi seperti dykes dan sill,
lebih
kecil
sehingga
kondisi
e. Pengaruh Aktivitas Tektonik Terhadap Distribusi Tegangan
Keadaan tegangan pada massa batuan dapat
serta veins seperti mineral
juga berasal dari gaya yang diakibatkan oleh
kuarsa dan fluor. Keberadaan inklusi secara
aktivitas tektonik. Tegangan yang berhubungan
vertikal mempengaruhi
dengan aktivitas tektonik ini bekerja secara
kondisi tegangan
dengan dua cara.
regional pada suatu area tertentu, dan bisa
Pertama, jika inklusi berada di bawah kondisi
dikorelasikan dengan adanya struktur geologi
tekanan yang berlawanan dengan kondisi
(sesar, lipatan) di sekitar area tersebut.
horisontal
f. Pengaruh Bidang Diskontinu Terhadap
batuan
di
sekitarnya,
maka
komponen tegangan yang tinggi akan terjadi
Distribusi Tegangan
tegak lurus bidang inklusinya.
Keberadaan bidang diskontinyu di dalam
Kemungkinan kedua dihubungkan dengan
massa
batuan
akan
mengganggu
perbedaan nilai modulus deformasi inklusi dan
kesetimbangan
tegangan
batuan di sekitarnya yang dapat diakibatkan
menyebabkan tegangan tersebut terdistribusi
oleh adanya aktivitas pembebanan. Sebagai
kembali
contoh adanya perubahan tegangan efektif
barunya.
untuk
mencari
dan
dapat
kesetimbangan
dalam batuan induk atau adanya perpindahan
Adanya bidang diskontinyu vertikal seperti
karena aktivitas tektonik dapat menyebabkan
ridge dapat diasosiasikan dengan rendahnya
perubahan tegangan dalam inklusi menjadi
tegangan horisontal yang bekerja di daerah
relatif lebih
rendah atau lebih tinggi
tersebut. Price (1966) menyatakan bahwa satu
dibandingkan batuan induknya. Inklusi yang
kelompok bidang diskontinyu dalam massa
relatif kaku (stiff) akan menyebabkan tegangan
batuan yang mempunyai orientasi, formasi dan
dalam inklusi menjadi lebih tinggi, begitu pula
perilaku yang sesuai dengan compressive
sebaliknya.
failure
Perbedaan modulus deformasi antara inklusi
erat
tegangan
kaitannya yang
dengan
dapat
sifat-sifat
menyebabkan
dan batuan induk akan membuat gradien
perkembangan bidang diskontinyu. Kondisi
tegangan dalam batuan induk di sekitar inklusi
tegangan yang heterogen merupakan akibat
menjadi tinggi. Sebaliknya, jika modulus
alami
dari
adanya
proses
perlipatan,
deformasi inklusi relatif rendah, maka gradien
Mekanika Batuan Lanjut 2
5
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
pergeseran atau lucuran yang terjadi pada bidang-bidang perlapisan batuan.
4.
PENGUKURAN IN-SITU Pengukuran tegangan insitu bertujuan untuk mengetahui keadaan tegangan di dalam massa
batuan serta menentukan parameter-parameter penting guna mengetahui perilaku massa batuan di tempat asalnya. Tegangan residual dan tektonik yang kemungkinan ada dalam massa batuan dapat merubah keadaan tegangan yang ada. Oleh karena itu keadaan tegangan yang sebenarnya dapat berbeda jauh sekali dengan keadaan tegangan yang dihitung secara teoritis. Teori hanya dapat memberikan perkiraan besaran intensitas dari tegangan yang ada. Sedangkan pengukuran tegangan insitu dapat memberikan keterangan mengenai orientasi dan besarnya tegangan pada massa batuan yang ada di bawah tanah
4.1. PENDEKATAN TEORITIS Pada umumnya, tanpa pengukuran
Berdasarkan hasil pengukuran tegangan vertikal di beberapa negara, Hoek & Brown
tegangan in situ secara langsung di lapangan,
pada
tahun
1978
menyatakan
bahwa
perancangan lubang bukaan dilakukan hanya
pendekatan nilai tegangan vertikal pada massa
berdasarkan tegangan vertikal ( σv) dan
batuan (gambar 3) dapat dilakukan dengan
tegangan horisontal (σh) yang bekerja pada
persamaan :
massa batuan. Besarnya tegangan vertikal pada massa batuan dengan kedalaman tertentu tertentu adalah sama dengan berat per satuan luas dari batuan yang berada di atasnya. Secara teoritis tegangan vertikal tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :
Dimana, 𝜎𝑧 = tegangan vertikal (MPa) z = kedalaman (m) Sedangkan tegangan horisontal pada umumnya dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
Dimana, ρ = rapat massa batuan (kg/m3) g = percepatan gravitasi (m/s 2) z = kedalaman (m) γ = berat satuan batuan (N/m3)
Dimana, k adalah faktor pembanding antara tegangan horisontal dan tegangan vertikal.
Mekanika Batuan Lanjut 2
6
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
Terzhagi dan Richart (1952) menyatakan bahwa untuk batuan elastik, homogen, dan isotrop, nilai k dapat dihitung dengan persamaan berikut :
Dimana, v adalah nisbah Poisson dari massa batuan. Pendekatan ini terbukti tidak akurat sehingga telah jarang digunakan pada saat ini . Menurut Heim (1912), untuk kedalaman yang besar (lebih dari satu kilometer) keadaan tegangan akan menjadi hidrostatik (k = 1), sehingga berlaku kondisi dimana besar tegangan vertikal sebanding dengan tegangan horisontal (𝜎ℎ =𝜎𝑣 ). Ini dikarenakan batuan cenderung tidak mampu untuk menahan perbedaan tegangan yang sangat tinggi dalam arah yang berbeda, sehingga akan terjadi retakan, plastisitas, dan rayapan pada batuan yang dapat mengurangi perbedaan yang besar dari tegangan vertikal dan tegangan horisontal. Pengukuran tegangan horisontal pada terowongan sipil dan tambang di seluruh dunia menunjukkan bahwa nilai k cenderung tinggi pada kedalaman yang kecil. Tegangan horisontal hasil pengukuran cenderung lebih besar dari pada tegangan vertikalnya, sedangkan pada perhitungan teoritis nilai tegangan horisontal selalu lebih kecil daripada tegangan vertikal. Pada kedalaman kurang dari satu kilometer keadaan tegangan tidak bisa dianggap hidrostatis, sehingga nilai k tidak sama dengan satu. Pada kedalaman ini, pendekatan nilai k dengan persamaan [4] juga tidak dapat dilakukan. Hoek dan Brown mengusulkan pendekatan nilai k untuk kedalaman kurang dari satu kilometer berdasarkan pengukuran tegangan in situ pada beberapa lokasi (gambar 4) yang dinyatakan dengan persamaan :
Analisis lebih lanjut berdasarkan persamaan [5] yang menyatakan bahwa rasio tegangan 𝜎
horisontal dan tegangan vertikal ( 𝜎ℎ ) adalah fungsi dari kedalaman (z) dilakukan oleh Herget pada 𝑣
tahun 1988 (gambar 5). Dengan menggunakan data tegangan in situ pada beberapa lokasi di Kanada, Herget menyatakan bahwa pendekatan nilai tegangan in situ di Kanada dapat dilakukan dengan persamaan :
Mekanika Batuan Lanjut 2
7
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
Gambar 3. Pengukuran Tegangan Vertikal pada Kedalaman Tertentu di Bawah Permukaan Bumi (Hoek & Brown, 1980)
Gambar 4. Variasi Perbandingan Antara Tegangan Horisontal dan Tegangan Vertikal pada Kedalaman Tertentu di Bawah Permukaan Bumi (Hoek & Brown, 1980)
Gambar 5. Rasio Tegangan Sebagai Fungsi Kedalaman Versi Hoek & Brown vs Herget Pada Beberapa Lokasi Di Kanada (Herget, 1988) Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, dapat dilakukan pendekatan secara teoritis terhadap nilai tegangan vertikal dan hori sontal serta hubungannya dengan kedalaman untuk suatu wilayah. Data tegangan in situ hasil pengukuran pada beberapa tempat dalam wilayah tersebut adalah dasar bagi pendekatan nilai tegangan vertikal dan horisontal secara teoritis
4.2. PENGUKURAN TEGANGAN IN SITU MELALUI PENGUJIAN Besar dan arah tegangan insitu pada massa batuan secara lebih akurat dapat ditentukan dengan melakukan pengujian pada massa batuan maupun contoh batuan. Uji tegangan in situ dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung (pengujian di lapangan) maupun secara tidak langsung (dengan uji di laboratorium).
Mekanika Batuan Lanjut 2
8
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
4.2.1. PENGUJIAN LANGSUNG TEGANGAN IN SITU Pengujian in-situ langsung yang direkomendasikan oleh ISRM (Kim & Franklin, 1987) adalah dengan menggunakan : Metode Flat jack Metode hydraulic fracturing The United States bureau of mines (USBM) overcoring torpedo The Commonwealth scientific and industrial research organization (CSIRO) overcoring gauge
Pada metoda pengukuran secara langsung (direct method), data untuk perhitungan tegangan in situ didapatkan melalui uji langsung terhadap massa batuan ( rock mass) di lapangan.
Gambar 6. Pengujian tegangan in-situ menggunakan metode overcoring
Gambar 7. Tensor Tegangan Hasil Metode Pengukuran Tegangan In-situ (ISRM, Hudson & Harisson,2000)
Mekanika Batuan Lanjut 2
9
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
A. METODE FLAT JACK Metode flat jack adalah metode pengukuran langsung dan in-situ yang hanya membutuhkan pembuatan slot pada dinding. Hal ini dianggap tidak merusak karena kerusakan bersifat sementara dan mudah diperbaiki setelah pengujian. Pengujian flat jack dapat digunakan untuk masalah teknik guna mengevaluasi struktur,dimana metode ini juga digunakan untuk menentukan insitu stress dan compressive strength. Oleh karena itu pengukuran flat jack adalah suatu teknik pengukuran yang sifatnya insitu test atau langsung di lapangan yang bertujuan untuk mengetahui stress dan deformasi struktur batuan pada trowongan dan tambang. A.1. Hipotesa Interpretasi
dari
hasil
pengukuran
tegangan dengan flat jack berdasarkan hipotesa berikut: Perilaku batuan adalah elastik reversible, tidak perlu linier dan batuan homogen Tegangan pada dinding batuan tidak dipengaruhi oleh proses penggalian. Tegangan yang diukur tegak lurus dengan potongan yang dibuat atau tegak lurus dengan flat jack.
Kelebihan metode flat jack: Pengukuran dilakukan setelah bukaan atau penggalian. Pengujiannya sederhana dan relatif murah. Non destruktif (kerusakan sifatnya sementara dan dapat diperbaiki). Moving alat dapat dilakukan dengan mudah. Kelemahan metode flat jack Dapat terjadi kesalahan dalam pembacaaan hasil pengukuran karena pembacaan dilakukan secara manual Pengukuran dilakukan pada batuan yang tidak solid lagi (akibat pengaruh proses penggalian), maka hasil pengukuran yang didapat tidak representatif.
A.2. Pengukuran Metode ini didasarkan pada prinsip pelepasan tegangan parsial dan melibatkan penghilangan tekanan lokal, yang di ikuti dengan pengontrolan kompensasi tegangan. Tahapan pengukuran flat jack adalah sebagai berikut: Titik-titik pengukuran yang berupa baut besi dipasang dengan jarak 10cm, masing-masing L1, L2, dan L3 Buat potongan pada batuan dengan bantuan gergaji intan yang besarnya hampir sama dengan ukuran flat jack Titik-titik pengukuran diukur jaraknya. Sesudah pengukuran selesai, ke dalam potongan dimasukkan flat jack yang berupa 2 lembar potongan baja yang dijadikan satu dengan mengelas ujungnya.
Mekanika Batuan Lanjut 2
10
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
Flat jack dipompa dengan pompa hidrolik sampai ΔL1, ΔL2, dan ΔL3 menjadi nol. Dalam kondisi ini tekanan didalam flat jack sama dengan tegangan yang dibebaskan yang merupakan tegangan yang berada pada massa batuan Telah disebutkan bahwa kekurangan dari pengukuran flat jack ini adalah hasil pengukurang yang kurang representatif, oleh karena itu hal ini dapat diatasi dengan pengukuran pada kedalaman tertentu (pada batuan yang solid).
Gambar 8. Kurva Tegangan-Regangan Pada Uji Flat Jack
Gambar 9. Tahap Pengukuran Metode Flat Jack
Gambar 10. Pemasangan Flat Jack Dan Titik-Titik Pada Dinding Terowongan
Mekanika Batuan Lanjut 2
11
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
A.3. Dimensi dan Bentuk Flat Jack Flat jack berguna untuk mengevaluasi batuan yang biasanya terbuat dari stainless steel dengan lapisan dilas disepanjang tepinya. Flat jack dihubungkan port inlet. Dengan memasok cairan ke port, maka flat jack akan menekan. Beberapa flat jack dilengkapi hanya dengan satu port. Bentuk flat jack tergantung dari peralatan yang digunakan untuk membuat slot, Ukuran flat jack tergantung pada aplikasi, mulai dari beberapa sentimeter hingga lebih dari satu meter (Gambar 11).
Gambar 11. Bentuk Flat Jack
Gambar 12. Peralatan Untuk Melakukan Pengukuran Tegangan In-Situ Dengan Metode Flat Jack
Untuk pengujian stress, standar ASTM membutuhkan dimensi A harus sama atau lebih besar dari panjang B yaitu 8 in (20,3 cm). Lebar flat jack (dimensi B ) harus tidak kurang dari 3 in (7,6 cm). Menurut RILEM, baik untuk pengujian stress dan uji deformabilitas. Jika flat jack adalah persegi panjang maka panjangnya harus sama dengan dua kali lebar.
B.
METODE HYDRAULIC FRACTURING Metode ini dapat mengukur tegangan in‑situ di dalam massa batuan dengan cara menguji
perilaku rekahan yang sudah ada atau rekahan yang baru dibentuk dengan injeksi air sampai tekanan yang diperlukan untuk membuka kembali rekahan tersebut di dalam sebuah lubang bor.
Mekanika Batuan Lanjut 2
12
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
Analisa dari data yang didapat (berupa debit air dan tekanannya) dapat menentukan besarnya tegangan normal yang ada pada rekahan yang diuji. Dengan melakukan pengujian pada berbagai rekahan yang ada di dalam massa batuan maka keadaan tegangan di dalam massa batuan dapat diketahui. Kelemahan hydraulic fracturing adalah tidak dapat melakukan pengukuran dengan presisi (ketelitian) yang tinggi dan tidak dapat mengukur tegangan yang kecil. B.1. Peralatan yang digunakan Metode yang umum digunakan adalah double packer di dalam lubang bor tanpa casing. yaitu mengisolir bagian dari lubang bor yang akan diuji dengan dua buah packer (gambar 13). Panjang dari bagian lubang bor yang diisolir biasanya antara 70 cm sampai dengan 1 m, tetapi dapat juga 5 atau 10 m. Diameter lubang bor agar packer dapat dimasukkan adalah antara 60 sampai dengan 120 mm dan batuan harus mempunyai kekuatan yang cukup. Packer tersebut dapat bekerja sampai tekanan 40 MPa dan dikembangkan dengan pompa tekanan tinggi (debit kecil).
a
b
Gambar 13. (a) Sistem Double Packer Untuk Uji Hydraulic Fracturing Di Dalam Lubang Bor. (b) Peralatan Yang Digunakan Untuk Uji Hydraulic Fracturing Skala Kecil Ke dalam lubang bor yang sudah diisolir diinjeksikan fluida (pada umumnya air) dengan menggunakan pompa tekan tinggi (pompa tripleks). Tekanan air dapat mencapai puluhan MPa. Pengendalian fracturing adalah dengan melihat debit dan tekanan yang diberikan oleh indikator analogik atau numerik dan pencatatan di kertas (pencatat 6 jalur). Analisis dari hasil yang diperoleh memerlukan keterangan dari orientasi rekahan yang sudah ada maupun rekahan yang baru dibuat. Orientasi rekahan tersebut diketahui dengan cara mengambil gambar dengan suatu alat (sistem Pajari) maupun memasukkan kamera TV ke dalam lubang bor. Mekanika Batuan Lanjut 2
13
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
B.2. Kurva Tipe Perekahan
Gambar 14. Skema Dari Dua Tipe Perilaku Batuan Pada Saat Hydraulic Fracturing Dari gambar 14 dapat dibedakan beberapa tekanan yang diukur, yaitu: Tekanan perekahan (fracturing – yang mempunyai hubungan dengan kuat tarik batuan), Pfr. Tekanan pertambahan besar, Pc. Tekanan penutupan sesudah popmpa injeksi dihentikan, Pf. Kurva memberikan puncak (peak) dari tekanan pembukaan kembali yang kurang dari puncak tekanan perekahan, bahkan puncak tersebut tidak ada. B.3. Mekanisme Pengujian Hydraulic Fracturing Pengujian dengan metode Hydraulic Fracturing memanfaatkan rekahan yang terbentuk akibat proses penekanan hidrolik yang terjadi tegak lurus tegangan prinsipal minimum. Sebelum penekanan, tegangan di dalam batuan berada dalam kondisi setimbang (Gambar 15, tahap 1). Selama pengujian terjadi aliran fluida hidrolik (qw) dan ketika terjadi penekanan, tekanan fluida hidrolik akan meningkat dan menekan dinding lubang bor secara merata hingga dinding lubang bor pecah pada bagian yang mempunyai kuat tarik paling lemah, kemudian fluida hidrolik akan masuk ke dalam batuan dan mengisi rekahan yang terbentuk karena penekanan (Gambar 15, tahap 2). Tekanan pecah inilah yang disebut sebagai breakdown pressure (Pb). Sesaat setelah batuan pecah, tekanan fluida hidrolik pada lubang bor akan menurun karena penjalaran rekahan yang tidak stabil dan fluida hidrolik mengisi rekahan yang terbentuk tersebut. Selanjutnya injeksi fluida hidrolik dihentikan dan aliran ditutup
Mekanika Batuan Lanjut 2
14
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
dengan menutup katup pompa. Kondisi pompa dibiarkan tetap dalam keadaan tersekat hingga fluida hidrolik mengisi rekahan yang terbentuk. Pada saat rekahan sudah terisi penuh fluida, tekanan mulai konstan dan disebut dengan shut in presesure (Ps) seperti yang terlihat pada Gambar 15, tahap 3. Rekahan yang terbentuk dalam kondisi ini akan tetap dalam keadaan terbuka karem tetap ditahan oleh tekanan fluida hidrolik dalam interval uji yang masih ada karena tekanan tidak dibebaskan. Selanjutnya katup pompa dibuka kembali untuk membebaskan tekanan sehingga tekanan turun hingga nol dan siklus pertama pengujian selesai. Pada lubang bor vertikal, diasumsikan tegangan vertikal adalah tegangan maksimum dan rekahan yang terbentuk tegak lurus tegangan maksimum. Dengan demikian, bidang rekahan yang terbentuk merupakan bidang normal dari tegangan horisontal minimum (𝜎ℎ ), dan arahnya sama dengan tegangan horisontal maksimum (𝜎ℎ ). Karena Ps bekerja pada bidangan rekahan yang terjadi, maka besarnya nilai Ps sama dengan tegangan horisontal minimum. Setelah siklus pertama selesai, siklus kedua dimulai untuk mendapatkan nilai reopening pressure (Pr). Pada siklus ini, rekahan sudah terbentuk, sehingga kuat tarik minimum di dinding lubang bor sama dengan nol. Fluida hidrolik diinjeksikan kembali seperti siklus sebelumnya, dan tekanan akan kembali meningkat hingga cukup tinggi untuk membuka kembali rekahan yang telah tertutup. Ketika rekahan mulai terbuka masuk ke dalam rekahan (Gambar 15, tahap 4). Tekanan pada saat kemiringan kurva mulai berubah disebut dengan reopening pressure (Pr). Setelah beberapa saat, pemompaan dihentikan kembali untuk mendapatkan tekanan shut-in. Siklus-siklus selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama untuk memperoleh rekahan yang bisa direkam dengan menggunakan borehole camera ataupun impression packer.
Gambar 15. Mekanisme Pecahnya Batuan Dalam Metode Hydraulic Fracturing Mekanika Batuan Lanjut 2
15
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
C. METODE OVERCORING Prinsip dari metode overcoring adalah membebaskan seluruh tegangan yang ada di massa batuan dengan cara overcoring. Kemudian deformasi pada batuan yang disebabkan oleh dibebaskannya tegangan tersebut diukur, dengan menggunakan sel. Dengan diketahuinya karakteristik deformasi batuan (dari uji laboratorium) maka keadaan tegangan in‑situ di dalam batuan dapat dihitung. Hipotesa dari pengujian ini adalah Batuan homogen dengan perilaku elastik reversible. C.1. Pengukuran
Perpindahan yang merupakan fungsi dari
Mengukur arah dan besarnya tiga
tegangan dapat dihitung dengan rumus‑rumus
tegangan utama pada sebuah titik yang
yang banyak dibuat oleh para peneliti dan tiap
ditentukan. Pengukuran tegangan dengan
rumus berlaku untuk sel tertentu yang
metode overcoring audalah pengukuran secara
digunakan.
tidak langsung. Tegangan akan dibebaskan
elatisitas linier dan isotrop, maka perpindahan
dengan pemboran overcoring yang akan
atau tegangan yang diukur hanya pada dinding
memisahkan inti batuan yang telah dipasang sel
lubang bor, artinya p=r dimana r adalah jari-jari
tertentu dari massa batuan (Gambar 16).
lubang bor.
Dengan
menggunakan
teori
Gambar 16. Sistem tegangan yang ada di dalam massa batuan
Mekanika Batuan Lanjut 2
16
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
Untuk sel dari University of Liege (Belgia) yang dapat mengukur perpindahan radial dan longitudinal diperoleh hubungan sederhana sebagai berikut Perpindahan Longitudinal
7
Perpindahan Radial
8
C.2. Sel Yang Mengukur Tegangan Dengan Extensometer Gauge
diameter 76mm sampai mencapai kedalaman 300m.
Leeman dan Hayes pada tahun 1966 mempublikasikan prinsip pengukuran
C.3. Sel yang mengukur perpindahan Sel
yang
hanya
mengukur
dan teori dari sel yang dilengkapi
perpindahan radial, yang dikenal
sengan extensometer gauge yang
dengan sel USBM (US. Bureau of
berupa tiga rosette.
Mines). Sel tersebut memerlukan
Sel CSIRO (Commonwealth Scientific &
lubang bor dengan diameter 38 mm
Industrial Research Organization). Sel
dan terdiri dari tiga pengukuran
ini digunakan untuk lubang bor yang
diameterikal dengan sudut 1200.
pendek (+10m) yang terbuat dari
Sel yang mengukur perpindahan radial
permukaan tanah atau dari dalam
dan longitudinal yang dikembangkan
tanah (terowongan)
oleh F. Bonnechere dapat mengukur
Sel dari Swedish State Power Board. Peralatan melakukan
yang
digunakan
overcoring
sekaligus perpindahan radial dalam
dapat
delapan titik pada empat diameter
dengan
dengan sudut 450 dan perpindahan longitudinal dalam delapan titik.
Mekanika Batuan Lanjut 2
17
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
Gambar 17. Deformasi Radial Dan Deformasi Longitudinal Pada Saat Overcoring
D.
METODE ROSETTE DEFORMASI Prinsip dari rosette deformasi adalah mengukur deformasi superficial pada sebuah permukaan
bebas di dinding massa batuan. Deformasi ini disebabkan oleh pembebasan tegangan atau variasi tegangan. D.1. Hipotesa
deformasi yang diukur dengan bantuan
Interpretasi dari hasil pengukuran tegangan
Hukum Hooke.
dengan metode ini berdasarkan pada hipotesa
D.2. Pengukuran
:
Titik-titik pengukuran sebanyak delapan
Tegangan bidang (plane stress), yaitu tegangan
yang
tegak
lurus
bidang
dipasang
pada
lingkaran
yang
berdiameter 20 cm. Jarak antara titik-titik pengukuran tersebut diukur sampai ketelitian 1
pengukuran sama dengan nol. Pembebasan
buah
total
mikron. Kemudian batuan di sekitar lingkaran
(seluruhnya). Perhitungan dengan metode
digergaji dengan menggunakan gergaji intan
elemen
bahwa
sedalam 20 cm, sehingga tegangan dibebaskan
diperlukan pemotongan sedalam 20 cm
total. Titik-titik pengukuran diukur lagi dan
untuk memperoleh pembebasan tegangan
perpindahan
total.
pembebasan tegangan dihitung. Tegangan
tegangan
hingga
adalah
menunjukkan
Perilaku (behaviour) batuan adalah elastik
yang
disebabkan
oleh
didapat dari (Bonvallet, 1976) :
linier. Tegangan dihitung langsung dari
Mekanika Batuan Lanjut 2
18
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
9
Dimana, Ei = modulus deformasi untuk = i ui = perpindahan radial untuk = i r = jari-jari rosette = 10 cm v = nisbah Poisson Metode rosette deformasi sangat menarik karena pelaksanaannya cepat, tidak memerlukan peralatan yang canggih dan hasil yang didapat mendekati sebenarnya. Besar tegangan utama dapat dihitung, demikian juga arahnya terhadap sumbu x dan y dapat ditentukan.
Gambar 18. Metode Rosette Deformasi
Mekanika Batuan Lanjut 2
19
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
4.2.2. PENGUJIAN TIDAK LANGSUNG TEGANGAN IN SITU Pengujian tegangan in situ secara tidak langsung dapat dilakukan dengan metode : Emisi Akustik (AE) Deformation rate analysis (DRA) Differential strain curve analysis (DSCA) Anelastic strain relaxation (ASR)
Metode
pengujian
tidak
langsung
(indirect method), tegangan in situ diestimasi melalui perhitungan data hasil pengujian terhadap contoh batuan (intact rock) di laboratorium.
A. METODE EMISI AKUSTIK Emisi akustik adalah gelombang elastis frekuensi tinggi yang muncul karena adanya pelepasan energi yang cepat dari satu atau lebih sumber pada saat material mengalami proses pembebanan. Metode. Emisi Akustik menggunakan fenomena Efek Kaiser untuk menentukan tegangan yang pernah dialami batuan. Efek Kaiser adalah emisi akustik yang terdeteksi pada saat pembebanan mendekati atau melampaui tingkat tegangan yang pernah dialami contoh batuan. Tegangan yang ditentukan dari uji emisi akustik adalahtegangan searah lubang bor A.1. Prinsip Uji Emisi Emisi akustik berhubungan dengan energy gelombang elastic yang timbul karena mekanisme pembentukan, pergerakan, dan multiplikasi rekahan, proses friksi selama penutupan dan pembukaan rekahan, transformasi fasa propagasi rekahan mikro, deformasi material, tumbukan, dan pemadatan.
Gambar 19. Uji Emisi Akustik Mekanika Batuan Lanjut 2
20
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
A.2. Prinsip Dasar Perhitungan Tegangan Dalam Metode Emisi Akustik Sistem koordinat yang digunakan sebagai dasar perhitungan salah sistem koordinat ONEV (Origin, North, East, Vertical), dengan Zi adalah arah lubang bor (Gambar 20). Dari Gambar 20 dapat dilihat bahwa dalam pengujian emisi akustik, contoh batuan akan ditekan searah sumbu lubang bor Zi yang mempunyai kemiringan 𝛼 dan azimuth 𝛽. Tekanan yang diperoleh pada pengujian merupakan tegangan searah lubang bor (𝜎zi) Nilai 𝜎zi ini adalah tegangan pada saat efek Kaiser muncul. Dengan demikian, tegangan ini merupakan hasil transformasi dari komponen tegangan dalam sumbu ONEV.
Gambar 20. Posisi conto batuan uji emisi akustik dalam sistem koordinat ONEV (modifikasi Mizuta dkk, 1987)
B.
METODE DIFFERENTIAL STRAIN CURVE ANALYSIS (DSCA) Metode yang disebut Differential Strain Curve Analysis (DSCA) telah dikembangkan untuk
menentukan sumbu utama sebagai rasio nilai-nilai utama tegangan in situ oleh Strickland dan Ren (1980), Montgomery dan Ren (1981), dan Ren dan Roegiers (1983). DSCA merupakan perkembangan dari metode differential strain analysis (DSA) yang diusulkan oleh Simmons dan rekan-rekannya untuk memeriksa microcrack dalam sampel batuan (Simmoms dkk., 1974 Siegfried dan Simmons, 1978). Metode DSCA didasarkan pada asumsi bahwa inti batuan yang diambil dari kondisi terbatas lubang bawahnya akan berkembang secara proporsional ke medan tegangan in situ yang sudah ada sebelumnya. Pemuaian inti batuan terdiri dari pemuaian elastis dan tidak elastis yang mungkin disebabkan oleh mikrocracking. Asumsi ini menyatakan bahwa tidak hanya pemuaian elastisnya tetapi juga pemuaian inelastiknya harus sebanding dengan medan tegangan in situ. Seperti metode yang telah dilakukan oleh Horibe dan Kobayashi (1958), tekanan hidrostatik diaplikasikan pada inti batuan. Sebagai ganti dari pemanfaatan titik tekuk dalam kurva tekanan-regangan yang diamati, metode tersebut memperkirakan orientasi dan rasio komponen tegangan in situ dari pengukuran regangan inelastik. Mekanika Batuan Lanjut 2
21
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
C. METODE ANELASTIC STRAIN RELAXATION (ASR) Anelastic strain relaxation (ASR) merupakan metode pengukuran tegangan in-situ secara tidak langsung dengan memanfaatkan prinsip pemulihan regangan. Ketika inti bor dihilangkan dari massa batuan, maka batuan akan cenderung rileks dan mengembang dikarenakan hilangnya tekanan dari inti batuan. Pengukuran lapangan menunjukkan bahwa pembukaan dan propagasi microcracks biasanya disertai pemulihan regangan anelastik. Dengan mengukur pemulihan regangan (gambar 21), orientasi regangan utama dapat ditentukan. Dengan demikian orientasi tegangan utama juga dapat diperoleh. Namun, penentuan besar tegangan lebih sulit ditentukan dan model konstitutif untuk batuan harus digunakan. Metode ASR mengharuskan inti batuan berorientasi, yang mungkin akan mengeluarkan biaya yang besar. Metode ASR (tidak umum dilakukan) sebagian besar telah diuji pada lubang bor yang sangat dalam di mana metode hydraulic fracturing tidak mungkin atau terlalu mahal untuk dilakukan.
Gambar 21. Instrumen pengukuran Anelastic strain relaxation (ASR)
5.
KESIMPULAN Tegangan Insitu merupakan tegangan alamiah yang bekerja di dalam massa batuan yang terdiri dari tegangan gravitasi, tegangan tektonik, dan tegangan termal Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi tegangan insitu menurut Brady dan Brown (1985) adalah (a) Topografi permukaan, (b) Erosi, (c) Tegangan sisa, (d) Inklusi, (e) Aktivitas tektonik, (f) Bidang diskontinu
Mekanika Batuan Lanjut 2
22
PENGUKURAN TEGANGAN IN-SITU
MEKANIKA BATUAN LANJUT 2
Pengukuran in-situ terbagi menjadi 2, yaitu melalui: Pendekatan teoritis dan pengukuran tegangan in situ melalui pengujian Secara pendekatan teoritis, (tanpa melakukan pengukuran tegangan in situ secara langsung di lapangan perancangan lubang bukaan dapat dilakukan hanya berdasarkan tegangan vertikal ( σv) dan tegangan horisontal (σh) yang bekerja pada massa batuan. Pengujian tegangan in-situ terbagi 2 yaitu metode langsung (direct method) dan metode tak langsung (indirect method) Metode langsung terdiri atas Metode Flat jack, Metode hydraulic fracturing, Metode Overcoring dan Metode Rosette Deformasi Metode tak langsung terdiri atas Emisi Akustik (AE), Deformation rate analysis (DRA), Differential strain curve analysis (DSCA), dan Anelastic strain relaxation (ASR).
[DAFTAR PUSTAKA] Brady, B.H.G., dan Brown, E.T., 2004, Rock Mechanics for Underground Mining Third Edition, USA: Springer Hudson, J.A. and Harrison, J.P., 1997, Engineering Rock Mechanics An Introduction to The Principles, Elsevier Science Ltd, United Kingdom Ljunggren, C, Chang, Y, Janson, T and Christiansson, R, 2003. An overview of rock stress measurement methods, International Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences, 2003: 975-989. Nazri, Muhammad. Giatman, M. Analisis Kestabilan Lubang Bukaan Dengan Menggunakan Data Dari Alat Ukur Flat Jack Pada Dinding Tambang Bawah Tanah PT. Nusa Alam Lestari, Sawahlunto. Jurnal Bina Tambang. Vol. 3, No. 4: 1761-1770. Rai, M. A., Kramadibrata, S, dan Wattimena, R. K., 2014, Mekanika Batuan, Penerbit ITB, Bandung.
Mekanika Batuan Lanjut 2
23