6. Bab Ii Dasar Teori - Ok.docx

  • Uploaded by: kiki fatmala
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 6. Bab Ii Dasar Teori - Ok.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,882
  • Pages: 46
3

BAB II DASAR TEORI Dalam

proses

pembangunan

suatu

infrastruktur

diperlukan

suatu

perencanaan yang harus dipersiapkan secara matang dan memahami perencanaan suatu infrastruktur tersebut. Ada banyak hal yang harus dipahami dalam suatu perencanaan terutama pada perencanaan geometrik jalan raya. Perencanaan geometrik jalan raya adalah suatu bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas. Geometrik atau dimensi yang nyata dari suatu jalan beserta bagianbagiannya disesuaikan dengan tuntutan serta sifat-sifat lalu-lintas. Perencanaan geometrik jalan raya dipengaruhi oleh faktor-faktor lalu lintas, keadaan topografi, keamanan dan kapasitas jalan seperti pada faktor topografi jalan yang ditentukan oleh klasifikasi medan dan besarnya lereng melintang.

2.1

Pengertian Jalan Raya Banyak ahli bahasa mendefinisikan jalan raya sebagai suatu jalur lalu lintas

yang dilalui oleh kendaraan. Menurut Silvia Sukirman Jalan raya atau jalur lalu lintas (tranvelled way = carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa lajur (lane) kendaraan. Lajur kendaraan yaitu bagian dari jalur lalu lintas yang khusus diperuntukan untuk dilewati oleh suatu rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu arah. Jadi jumlah jalur minimal untuk jalan 2 arah dan pada umumnya disebut sebagai jalan 2 lajur 2 arah. Jalur lalu lintas untuk satu arah minimal terdiri dari 1 lajur lalu lintas.

3

4

Pada Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar kota, jalur lalu lintas adalah : 1) Bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan. Batas jalur lalu lintas dapat berupa : median, bahu, trotoar, pulau jalan, dan separator. 2) Dapat terdiri atas beberapa lajur. 3) Dapat terdiri atas beberapa tipe,  1 jalur – 2 lajur – 2 arah (2/2 TB)  1 jalur – 2 lajur – 1 arah (2/1 TB)  2 jalur – 4 lajur – 2 arah (4/2 B)  2 jalur – n lajur – 2 arah (n12 B), dimana n = jumlah lajur. Keterangan : TB = Tidak terbagi B = Terbagi 4) Lebar jalur

sangat ditentukan

oleh jumlah dan lebar lajur

peruntukannya.

2.2

Penampang Melintang Jalan Penampang melintang jalan merupakan potongan melintang tegak lurus

sumbu jalan. Pada potongan melintang jalan dapat terlihat bagian – bagian jalan. Bagian – bagian jalan yang utama dapat dikelompokkan sebagai berikut : A. Bagian yang langsung berguna untuk lalu lintas 1. Jalur lalu lintas 2. Lajur lalu lintas 3. Bahu jalan 4. Trotoar 5. median B. Bagian yang berguna untuk drainase jalan 1. Saluran samping 2. Kemiringan melintang jalur lalu lintas 3. Kemiringan melintang bahu 4. Kemiringan lereng

5

C. Bagian pelengkap jalan 1. Kereb 2. Pengaman tepi D. Bagian konstruksi jalan 1. Lapisan perkerasan jalan 2. Lapisan pondasi atas 3. Lapisan pondasi bawah 4. Lapisan tanah dasar E. Daerah manfaat jalan (damaja) F. Daerah milik jalan (damija) G. Daerah pengawasan jalan

2.3

Klasifikasi Jalan Menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Raya, klasifikasi jalan

dibagi atas : 1. Klasifikasi menurut fungsi jalan Adapun klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas : 1) Jalan Arteri : jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri – ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata – rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. 2) Jalan Kolektor : jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri – ciri perjalanan jarak sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. 3) Jalan Lokal : jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri – ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata – rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

2. Klasifikasi menurut kelas jalan Adapun klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat

6

(MST) dalam satuan ton. Ketentuannya dapat dilihat pada tabel 2.1 (pasal 11, PP. No.43/1993).

Tabel 2.1 klasifikasi menurut kelas jalan Fungsi

Kelas

Muatan Sumbu Terberat MST (Ton)

Arteri

I II III A

>10 10 8

Kolektor

III A III B

8 8

3. Klasifikasi menurut medan jalan Adapun klasifikasi menurut medan jalan yaitu berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Dapat dilihat pada tabel 2.2

Tabel 2.2 klasifikasi menurut medan jalan Kemiringan Medan

No

Jenis medan

1

Datar

<3

D

2

Perbukitan

3 - 25

B

3

Pegunungan

> 25

G

(%)

Notasi

4. Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan Sedangkan klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan sesuai PP. No.26/1985 adalah Jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jalan Kabupaten / Kotamadya, Jalan Desa, dan Jalan Khusus.

7

5. Kecepatan Rencana, VR, sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan jalan Fungsi

2.4

Kecepatan Rencana, VR, Km/jam Datar

Bukit

Penggunungan

Arteri

70 – 120

60 – 80

40 – 70

Kolektor

60 – 90

50 – 60

30 – 50

Lokal

40 – 70

30 – 50

20 – 30

Penentuan Trase Jalan Sebelum menentukan trase jalan, perencana harus melengkapkan data dasar

untuk perencanaan geometrik, yang berupa : 1. Peta topografi berkontur yang akan menjadi peta dasar perencanaan jalan, dengan skala tidak lebih kecil dari 1 : 10.000 (skala yang lain misalnya 1 : 2.500 dan 1 : 5.000). perbedaan tinggi setiap garis kontur disarankan tidak lebih 5 meter. 2. Peta geologi yang memuat informasi daerah labil dan daerah stabil. 3. Peta tata guna lahan yang memuat informasi ruang peruntukan jalan. 4. Peta jaringan jalan yang ada. Setelah perencana memperoleh data dasar ,maka tahapan selanjutnya adalah menetapkan : 1. Kelas medan jalan; 2. Titik awal dan akhir perencanaan; 3. Dibuat beberapa alternatif alinemen horizontal (lebih dari satu); 4. Dari beberapa alternatif alinemen horizontal yang telah direncanakan, maka dipilihlah salah satu alternatif yang dipandang dapat memenuhi kriteria perencaan.

2.5

Penentuan Titik Koordinat Menurut Soetomo Wongsotjitro (1980), metode yang digunakan dalam

perhitungan titik koordinat atau jarak dari titik PI ke titik PI lainnya dapat menggunakan persamaan Phytagoras, yaitu :

8

D1-2

=

( X 2  X 1 ) 2  (Y2  Y1 ) 2 …………………………………………..(2.1)

Dimana :

2.6

D 1,2

= Jarak antara titik 1 dan titik 2 (m )

X1, Y1

= Koordinat dari titik 1 (m)

X2, Y2

= Koordinat dari titik 2 (m)

Menentukan Sudut Putar Menurut Soetomo Wongsotjitro (1980), bahwa sudut putar pada tikungan

dapat diselesaikan dengan persamaan di bawah ini :

PI  arc tg

Y2  Y1 Y Y  arc tg 3 2 …………………………………...(2.2) X 2  X1 X3  X2

Dimana : PI

= Sudut Putar ( o )

X1, Y1

= Koordinat dari titik 1 (m)

X2, Y2

= Koordinat dari titik 2 (m)

X3, Y3

= Koordinat dari titik 3 (m)

Dari persamaan di atas dapat diketahui d1-2 antara titik 1 dan titik 2, dari sudut jurusan 1 garis menghubungkan titik 1 dan titik 2 juga titik 3.

2.7

Perencanaan Alinyemen Horizontal Menentukan alinyemen horizontal pada suatu jalan, direncanakan agar

didapatkan kenyamanan dan keamanan bagi pengemudi ketika berubah arah, menurut Silvia Sukirman (1994), bentuk lengkung Horizontal yang digunakan dalam perencanaan perencanaan geometrik jalan raya. Ada tiga bentuk, antara lain yaitu : 1. Lengkung Full Circle 2. Lengkung Spiral Circle Spiral, dan 3. Lengkung Spiral Spiral

9

2.7.1 Bentuk Lengkung Full Circle (FC) Lengkung Full Circle terdiri dari bagian lingkaran tanpa adanya peralihan. Untuk menghitung lengkung Full Circle dipergunakan persamaan sebagai berikut Tc

= R . Tg.  / 2………………………………………………………… (2.3)

Ec

= Tc . Tg  / 4…….……………………………. ………….………....(2.4)

Lc

=  ( 2.R ) / 360………………………………………….……….….(2.5)

Dimana : Tc

= Jarak antara Tc ke PI dan PI ke Ct ( m )

Rc

= Jari- jari rencana (m)

Ec

= Jarak PI lengkung peralihan (m)



= Sudut tangen ( )

Lc

= Panjang bagian tikungan (m)

0

Tabel 2.3 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Full Circle (FC) Kecepatan Rencana

Jari-jari lengkung minimum (Rc) m

120

2.500

100

1.500

80

900

60

500

50

350

40

250

30

130

20

60

Sumber : Shirley.L Hendarsin (2000)

10

Adapun lengkung Full Circle seperti pada gambar 2.1 berikut :

Gambar 2.1 : Bentuk Lengkung Full Circle

2.7.2 Bentuk Lengkung Spiral Circle Spiral (S-C-S) Lengkung Spiral Circle Spiral merupakan bentuk tikungan yang memiliki peralihan dari bagian lurus ke bagian Circle, yang mengalami gaya sentrifugal terjadi secara berangsur-angsur. Batasan kecepatan rencana yang digunakan pada lengkung Spiral adalah seperti diperlihatkan pada tabel 2.4 :

Tabel 2.4 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Spiral Circle Spiral (SCS) Batasan rencana V

Jari-jari lengkung minimum (Rc)

(Km/jam)

(m)

120

600

100

370

90

280

80

210

60

115

50

80

40

50

30

30

20

15

Sumber : Shirley.L Hendarsin (2000)

11

Adapun lengkung Spiral Circle Spiral seperti diperlihatkan pada gambar 2.2 berikut :

Gambar 2.2 : bentuk lengkung spiral circle spiral (S-C-S)

Lengkung Ts-Ts adalah lengkung peralihan berbentuk spiral yang menghubungkan bagian lurus di kiri Ts, titik ts adalah titik peralihan bagian lurus ke bagian spiral ke bagian lingkaran. Untuk menghitung lengkung Spiral-CircleSpiral pada tikungan digunakan persamaan berikut : Ls.90 ……………………………………………………………….(2.6)  .R

s

=

c

=  - 2.s …………………………………………….………………...(2.7)

Lc

=

c ( 2. .R ) . …………………………………………………………(2.8) 360

Kontrol: Lc > 20 ………………..Ok! S-C-S Lt

= Lc + 2.Ls ……………………………………………………………(2.9)

P

=

k

= Ls – (

Es

= ( R + P ) sec /2 - R………………………………………………(2.12)

Ts

= (R + P) tg /2 + k…………………………………………………(2.13)

Ls 2  R (1 - cos s) ………………………………………………(2.10) 6.R Ls 3 40 . R 2

) - R . sin  s ……………………………………. (2.11)

12

Dimana :

2.7.3

Ts

= Jarak antara titik Ts ke PI (m)

R

= Jari jari titik Ts dan PI (m)

p

= Jarak antara tangen dan busur lingkaran (m)

k

= Jarak antara Ts dan Cs pada garis lurus (m)

Es

= Jarak PI ke lengkung peralihan (m)

Lc

= Panjang lengkung circle (m)



= Sudut perpotongan kedua bagian tangen ()

Lt

= Panjang lengkung circle (m)

Ls

= Panjang lengkung spiral (m)

s

= Sudut Spiral (o)

c

= Sudut busur lingkaran (o)

Bentuk Lengkung Spiral-Spiral (S-S) Lengkung Spiral-spiral merupakan lengkung yang tajam, untuk tikungan

ini dianjurkan dalam perencanaan agar tidak digunakan, terkecuali pada daerah yang keadaan medan memaksa pada medan yang sulit. Lengkung ini hanya terdiri dari bagian Spiral saja hal ini terjadi bila R

minimum

< R

Rencana

< R lengkung

peralihan dan Ls < dari Tabel. Menurut Silvia Sukirman (1994), lengkung Spiral-Spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Untuk menghitung lengkung Spiral-Spiral ini, digunakan persamaan berikut ini : s

= ½  …………………………………………………………… .. (2.14)

Ls

= s . . R / 90 ….………………………………….……………. . (2.15)

p

= (Ls2 / 6 . Rc) . (1- Cos s) …………………………………….. . (2.16)

k

= Ls – (Ls/40.Rc2)-Rc.Sin s…………………………………… ... (2.17)

Ts

= (Rc +P) tan s + k…………………………………………….. ... (2.18)

Es

= (Rc +P) Sec s – Rc.………………………………………….. ... (2.19)

Lt

= 2 . Ls…………………………………………………………... .. (2.20)

13

Dimana : Ts

= Jarak antara titik Ts ke PI (m)

R

= Jari jari lengkung (m)

Es

= Jarak PI ke lengkung peralihan (m)



= Sudut perpotongan kedua bagian tangen (o)

L

= Panjang lengkung spiral (m)



= Sudut Spiral (o)

Bentuk dari lengkung Spiral-Spiral ialah seperti diperlihatkan pada gambar 2.3 di bawah ini.

Gambar 2.3 : Bentuk Lengkung Spiral-Spiral

2.8

Menentukan Jarak Pandang Menurut tata cara perencanaan geometrik jalan antar kota, jarak pandang

adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada saat mengemudi sedemikian

sehingga

jika

pengemudi

melihat

suatu

halangan

yang

membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghindari bahaya tersebut dengan aman. Sedangkan menurut Silvia Sukirman (1994) Jarak pandang adalah panjang jalan di depan kendaraan yang masih dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik kedudukan pengemudi. Jarak pandangan pada jalan raya dibedakan atas dua, yaitu jarak pandangan henti (JPH) dan jarak pandangan menyiap (JPM).

14

2.8.1

Jarak pandang henti Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap

pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan di depan. Jarak pandang henti menurut Silvia Sukirman (1994) terdiri dari dua elemen yaitu jarak yang ditempuh sesudah pengemudi menginjak rem dan jarak yang ditempuh sementara pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti, dihitung dengan menggunakan rumus: d1

= 0,278 . V . t ………………………………………………..(2.21)

jarak pengereman dapat dihitung dengan menggunakan rumus : d2

=

V2 ..................................................................... …….(2.22) 254. fm

Maka jarak pandangan henti dapat dihitung dengan menggunakan rumus : d

= 0,278 . V . t +

V2 …………………………………(2.23) 254. fm  L

Dimana : d (JPH)= Jarak pandangan henti (m) d1

= jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak rem(m)

d2

= Jarak yang diperlukan untuk berhenti setelah menginjak rem (m)

V

= Kecepatan (Km/Jam)

t

= Waktu reaksi, diambil 2,5 detik dari AASTHO (1990)

fm

= Koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah memanjang

2.8.2

+

= Untuk pendakian

-

= Untuk Penurunan

L

= Kelandaian jalan

Jarak pandangan menyiap Jarak pandangan menyiap adalah jarak yang dibutuhkan pengemudi

sehingga dapat melakukan gerakan menyiap dengan aman dan dapat melihat kenderaan lain dari depan dengan bebas.

15

Menurut Silva Sukirman (1994), jarak pandangan menyiap dapat dihitung dengan persamaan berikut : d

= d1 + d2 + d3 + d4 …………………………………….…..(2.24)

dimana :

a . t1 ) …………………………...(2.25) 2

d1

= 0,278 . V . t2 ( V – m +

d2

= 0,278 . d2 …………………………………………….…..(2.26)

d3

= diambil antara 30 m sampai dengan 100 m d4

= 2/3 . d2 ...................................................................... …….(2.27)

d

= Jarak pandangan menyiap (m)

dimana :

d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kenderaan yang hendak menyiap dan membawa kenderaannya yang hendak membelok ke lajur kanan (m) d2 = Jarak yang ditempuh kenderaan yang menyiap selama berada pada lajur sebelah kanan (m) d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kenderaan yang mnyiap dengan kenderaan yang berlawanan arah setelah gerakan menyiap dilakukan (m) d4 = Jarak yang ditempuh oleh kenderaan yang berlawanan arah selama 2/3 dari waktu yang diperlukan oleh kenderaan yang menyiap berada pada lajur sebelah kanan (m) t1

= Waktu reaksi, tergantung pada kecepatan dapat ditentukan dengan korelasi t1 = 2,12 + 0,026 V

t2

= Waktu dimana kendaraan menyiap berada pada lajur kanan, t2 = 6,56 + 0,018 V

m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang disiap = 1,5 Km/jam V

= Kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dianggap sama dengan kecepatan rencana (Km/jam).

16

Gambar 2.4 jarak pandang menyiap

2.9

Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan Untuk mendapatkan tingkat pelayanan suatu jalan yang baik dan selalu tetap

sama, baik pada bagian lurus maupun pada bagian tikungan maka perlu adanya pelebaran perkerasan pada tikungan dan menghindari kemungkinan kendaraan akan keluar dari jalurnya karena kecepatan yang terlalu tinggi. Menurut Siulvia Sukirman (1994), besarnya pelebaran perkerasan pada tikungan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : B =

 (Rc 2  64)  1,25 2  64 

Rc 2  64  1,25……………….(2.28)

Rc = R- ¼ lebar perkerasan + ½ b…………………………………… .(2.29)

Z =

0,105.V R

………………………………………………………….(2.30)

Bt = n (B + C ) + Z……………………………………………………(2.31)  b = Bt – Bn……………………………………………………………(2.32)

17

Dimana : B

= Pelebaran perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan lajur sebelah dalam

n

= Jumlah jalur lalu-lintas

Rc = Radius sebelah dalam(m ) RW = Radiur lengkungan terluar dari lintasan dalam(m) b

= Lebar perkerasan jalan(m)

 Bn = Pelebaran perkerasan pada tikungan (m)

2.10 Kebebasan Samping Pada Tikungan Kebebasan samping pada tikungan merupakan salah satu syarat yang paling penting sehubungan dengan keamanan bagi pengguna jalan. Menurut Djamal Abdat (1981), kebebasan samping pada tikungan terdapat dua kasus yaitu:

a. untuk kasus ( S > L ), dapat menggunakan persamaan berikut : m = R’( 1- cos

90.L 90.L ) + ½ ( S – L ) sin ……………..(2.33)  .R '  .R

b. Untuk kasus (S
90.S )……………………………………….(2.34)  .R

dimana : R’= R-1/4 lebar jalan(m)……………………………………..(2.35) S = 0,27 . V . t ………………………………………………..(2.36) Keterangan : m = Kebebasan samping pada tikungan (m) R’= jari-jari sumbu jalur dalam (m) L = Panjang lengkungan(m) S = Jarak pandangan (m)

18

2.11 Stationing Berdasarkan jarak trase jalan dan elemen-elemen lengkungan yang diperoleh, maka dapat ditentukan stationing. Menurut Silvia Sukirman (1994), stationing dalam tahap perencanaan adalah memberi nomor pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan. Disamping itu, pemberian nomor jalan tersebut akan memberikan informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan. Tujuan dari stationing itu sendiri adalah untuk memudahkan pada saat penentuan trase jalan yang telah direncanakan tersebut di lapangan. Pada tikungan, pemberian nomor dilakukan pada setiap titik penting. Jadi terdapat Sta titik TC dan Sta titik CT pada tikungan Full Circle. Menurut Silvia Sukirman (1994), Metode penomorannya dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Setiap jarak 100 m untuk daerah datar b. Setiap jarak 50 m untuk daerah bukit c. Setiap jarak 25 m untuk daerah gunung.

2.12 Diagram Superelevasi Diagram superelevasi adalah suatu diagram yang menggambarkan panjang ruang yang diperlukan untuk merubah kemiringan melintang (Superlevasi) dari keadaan normal sehingga superelevasi penuh dan juga memperlihatkan besarnya superelevasi yang terjadi pada setiap bagian tikungan. Superelevasi penuh adalah kemiringan maksimum yang harus dicapai pada suatu tikungan tergantung kecepatan rencana yang dipergunakan. Menurut Silvia Sukirman (1994), perubahan kemiringan melintang (Superelevasi) dapat dilakukan dengan tiga cara : a. Dengan menggunakan sumbu jalan sebagai sumbu putar. b. Dengan menggunakan tepi dalam perkerasan sebagai sumbu putar. c. Dengan menggunakan tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar

19

Gambar 2.6 : Diagram Superelevasi Full-Circle Sumber : Silvia Sukirman (1994)

Gambar 2.7 : Diagram Superelevasi Spiral-Circle-Spiral Sumber

: Silvia Sukirman (1994)

20

Gambar 2.8 : Diagram Superelevasi Spiral-Spiral Sumber : Silvia Sukirman (1994)

2.13 Alinyemen Vertikal Menurut Silva Sukirman

(1994), bahwa alinyemen vertikal adalah

perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan median. Sering disebut juga sebagai penampang memanjang jalan. Dengan demikian, alinyemen vertikal menyatakan bentuk geometrik jalan dalam arah vertikal. Bentuk dari penampang memanjang sangat menetukan jalannya kenderaan yang melewati jalan tersebut, karena memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kecepatan, kemampuan,percepatan, kemampuan perlambatan, kemampuan untuk berhenti, jarak pandangan dan kenyamanan pengemudi kenderaan tersebut. Maka berbeda dengan alinyemen horizontal, pada alinyemen vertikal tidak hanya ditujukan pada bagian yang lengkung, tetapi justru pada yang penting yaitu bagian badan jalan yang lurus yang pada umumnya merupakan suatu kelandaian.

21

2.13.1 Kelandaian Jalan Menurut Silvia Sukirman (1994), landai jalan adalah garis lurus yang dapat berupa mendatar, mendaki ataupun menurun yang dinyatakan dalam persen. Pada umumnya gambar rencana suatu jalan dibaca dari kiri ke kanan. Maka, landai jalan diberi tanda positif untuk pendakian dari kiri ke kanan dan diberi tanda negatif untuk penurunan dari kiri.

Kelandaian jalan pada alinyemen vertikal terdiri tas dua bagian, yaitu : a. Landai minimum, yaitu landai datar atau landai ideal (0%) dan dalam perencanaan disarankan menggunakan : 1. Landai datar untuk jalan–jalan diatas tanah timbunan yang tidak mempunyai kereb. 2. Landai 0,15% yang dianjurkan untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan dengan medan datar dan mempergunakan kereb. 3. Landai minimum sebesar 0,3% - 0,5% yang dinjurkan untuk jalan-jalan didaerah galian atau jalan yang memakai kereb. b. Landai maksimum, yaitu kelandaian diatas landai datar atau landai ideal dan mulai memberikan pengaruh kepada gerak kenderaan mobil penumpang walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan gerakan truck yang terbebani penuh. Panjang maksimum landai yang masih dapat diterima tanpa mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu lintas yang berarti atau biasa disebut dengan panjang kritis landai, adalah panjang yang mengakibatkan pengurangan kecepatan maksimum sebesar 25% Km/Jam. Kelandaian maksimum dan panjang kritis landai tersebut seperti diperlihatkan pada tabel 2.5 dan 2.6 di bawah ini :

Tabel 2.5 Kelandaian Maksimum Kecepatan Rencana (Km/Jam)

80

60

50

40

30

20

Kelandaian maks standart (%)

4

5

6

7

8

9

Kelandaian maks Mutlak (%)

8

9

10

11

12

13

22

Sumber :

Spesifikasi Standart Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Raya luar kota (Rancangan Akhir) 1990

Tabel 2.6 Panjang

Kritis

Untuk

Kelandaian-Kelandaian

Yang

melebihi

Maksimum Standart Kecepatan Rencana (Km/Jam) 80

60

50

40

30

20

5 % 500 m

6 % 500 m

7 % 500 m

8 % 420 m

9 % 340 m

10%250m

6 % 600 m

7 % 500 m

8 % 420 m

9 % 340 m

10% 250 m

11%250m

7 % 500 m

8 % 340 m

9 % 340 m

10% 250 m

11% 250 m

12%250m

8 % 420 m

9 % 340 m

10% 250 m

11% 250 m

12% 250 m

13%250m

Sumber : Standart Spesifikasi Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Raya luar kota (Rancangan Akhir), 1990

Lajur Pendakian Lajur pendakian adalah lajur yang disediakan khusus untuk truk bermuatan berat atau atau kendaraan lain yang berjalan dengan kecepatan lebih rendah, sehingga kendaraan lain dapat mendahului kendaraan yang lebih lambat tanpa menggunakan lajur lawan. Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif padat.

Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Disediakan pada jalan arteri dan kolektor 2) Apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000 SMP/hari, dan persentase truk > 15%.

Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana. Dan lajur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter.

23

2.13.2 Lengkung Vertikal Alinyemen vertikal terdiri dari dua buah lengkung, yaitu : a. Lengkung Vertikal Cekung, yaitu titik perpotongan antara kedua tangen yang berada di bawah permukaan jalan yang disebut juga

lengkung

vertikal positif (+).

Gambar 2.10 : Lengkung Vertikal Cekung Sumber : Silvia Sukirman (1994)

b. Lengkung Vertikal Cembung, yaitu titik perpotongan antara kedua tangen yang berada di atas permukaan jalan yang biasa dilambangkan dengan negatif (-).

Gambar 2.11 : Lengkung Vertikal Cembung Sumber : Silvia Sukirman (1994)

Bentuk lengkung vertikal yang umum dipergunakan adalah berbentuk lengkung parabola sederhana.Titik A merupakan titik peralihan dari bagian tangen ke bagian lengkung vertikal yang diberikan simbol PLV. Titik B merupakan titik peralihan dari bagian lengkung vertikal ke bagian tangen dan di beri simbol PTV.

24

Titik PPV dalah titik perpotongan kedua bagiab tangen. Letak titik-titik pada lengkung vertikal dinyatakan denagn X dan Y terhadap sumbu koordinat yang melalui titik A. Menurut Djamal Abdat (1981), untuk menentukan perbedaan aljabar landai dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut ini : A = g1 – g2 ........................................................................... ……(2.37)

Dimana : A

= Pergeseran aljabar landai (%)

g1,2

= Kelandaian jalan = titik tert inggi - titik ter endah .100 % jarak

Berdasarkan harga A dan bentuk lengkung, maka diperoleh harga Lv, sehingga pergeseran vertikal dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan di bawah ini : Ev

=

A . Lv ............................................................................. 800

(2.38)

Dimana : Ev

= Pergeseran vertikal (m)

A

= Perbedaan aljabar landai (%)

Lv

= Panjang lengkung horizontal (m)

Untuk menntukan panjang station, dapat digunakan persamaan di bawah ini : Y

=

A . X2 …………………………………………. (2.39) 200 . Lv

Dimana : A

= Perbedaan aljabar landai (m)

Y

= Pergeseran vertikal dari setiap station (m)

Lv

= Panjang lengkuk vertikal (m)

X

= Jarak Horizontal (m)

25

2.14

Koordinasi Alinyemen Vertikal Dan Alinyemen Horizontal Koordinasi alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal harus memenuhi

ketentuan sebagai berikut : a) Alinyemen horizontal sebaiknya berhimpit dengan alinyemen vertikal, dan secara ideal alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinyemen vertikal; b) Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan; c) Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan; d) Dua atau lebih lengkung vertikal dalam dalam satu lengkung horizontal harus dihindarkan; e) Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan.

2.15 Drainase Dalam merencanakan drainase, data pendukung yang harus ada lain data curah hujan dan luas daerah yang mempengaruhi pengaliran terhadap saluran. Hal ini akan berpengaruh terhadap besarnya penampang yang harus di dimensi, dimana penampang ini harus ekonomis dan juga harus mampu menampung air secara baik. A. Analisa intensitas hujan Perhitungan besarnya intensitas hujan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi (tc), yaitu lamanya air yang mengalir dari tempat yang terjauh kesaluran pembuang dan juga tergantung pada lokasi daerah pengaliran. Untuk menghitung besarnya data curah hujan rata-rata

dapat

menggunakan persamaan berikut ini : Xt

= Xa +

Sd ( yt  yn) ................................................. Sn

(2.40)

Untuk menghitung waktu konsentrasi (Tc) digunakan persamaan berikut : Tc

= t1 + t2 ……………………………………………………..(2.41)

26

t1

= (

t2

=

2 nd  3,28  L0  ) 0,167 3 s

L 60  V

Menurut Standar Nasional Indonesia ( SNI – 03 – 342 – 1994 ), untuk menghitung besarnya curah hujan digunakan persamaan berikut : I

= 90 % 

XT 4

…………………………………………… (2.42)

Dimana : I

= Intensitas Hujan (mm/jam)

Xt = Curah hujan rata-rata (mm) Tc = Waktu konsentrasi (menit) S

= Kemiringan daerah pengaliran (%)

nd = Koefisien hambatan t1

= Waktu Inlet (menit)

t2

= Waktu aliran (menit)

V

= Kecepatan air rata – rata diselokan (m/dtk)

XT = Besar curah hujan untuk periode tiap tahun (mm/24 jam) L

= Panjang saluran (m)

L

= Jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m)

Dengan demikian untuk perencanaan drainase, data-data tersebut diatas sangat mempengaruhi perencanaan saluran yang akan dibuat sepanjang jalur jalan.

B. Analisa ukuran penampang saluran Dalam perencanaan ukuran penampang saluran, yang diinginkan adalah saluran yang mampu menampung dan mengalirkan air hujan secepatnya agar pengaruh buruk gerusan air terhadap badan jalan dapat dihindari. Walaupun demikian diusahakan agar saluran dapat lebih ekonomis. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI – 03 – 342 – 1994), untuk merencanakan debit aliran dapat digunakan persamaan berikut ini :

27

Q

= 1/3,6 . C . I . A ……………………………………….. . (2..43) Q = Debit maksimum ( m3/detik )

Dimana :

C = Koofesien limpahan (m) I = Intensitas curah hujan ( mm/jam ) A = Luas daerah yang dipengaruhi pengaliran ( km2 )

Berdasarkan debit aliran, maka dapat direncanakan besarnya penampang saluran. Untuk merencanakannya dapat menggunakan persamaan seperti dibawah ini : Fd =

Q ………………………………………………………………(2.44) V

Dimana : Q = Debit aliran ( m3/ detik ) V = Kecepatan aliran yang diizinkan ( m/dtk) Fd = Luas penampang (min 0,50 m2)

2.16

Rambu Lalu Lintas Rambu

lalu

lintas

adalah

bagian

dari

perlengkapan jalan yang

memuat lambang, huruf, angka, kalimat dan/atau perpaduan di antaranya, yang digunakan untuk memberikan peringatan, larangan, perintah dan petunjuk bagi pemakai jalan. Agar rambu dapat terlihat, baik siang ataupun malam atau pada waktu hujan maka bahan harus terbuat dari material retro-reflektif. Berdasarkan jenis pesan yang disampaikan, rambu lalu lintas dapat dikelompokkan menjadi rambu-rambu sebagai berikut : 1. Rambu Peringatan Rambu ini berisi peringatan bagi para pengguna jalan bahwa di depan ada kemungkinan bahaya atau tempat berbahaya. Rambu ini didesain dengan dasar berwarna kuning dengan lambang atau tulisan berwarna hitam dan umumnya berbentuk belah ketupat.

28

29

30

31

32

33

2. Rambu Larangan Rambu ini berisi larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh pengguna jalan. Rambu ini dirancang dengan latar putih dan warna lambang atau tulisan merah atau hitam.

34

35

36

37

3. Rambu Perintah Merupakan rambu yang berisi perintah yang wajib dilakukan oleh pengguna jalan. Rambu perintah ini didesain dengan bentuk bundar berwarna biru dengan lambang berwarna putih dan merah untuk garis serong sebagai batas akhir perintah.

38

39

4. Rambu Petunjuk Merupakan rambu-rambu yang menunjukkan sesuatu.

40

41

42

43

5. Papan Tambahan Papan

tambahan

digunakan

untuk

memuat

keterangan

yang

diperlukan untuk menyatakan hanya berlaku untuk waktu-waktu tertentu, jarak-jarak dan jenis kendaraan tertentu ataupun perihal lainnya sebagai hasil manajemen dan rekayasa lalu lintas.

44

45

6. Rambu Nomor Rute Pada Rambu Petunjuk yaitu setelah rambu penegasan mengenai jarak dan jurusan satu kota atau daerah, ditambahkan dengan rambu petunjuk pendahulu jurusan, rambu petunjuk jurusan dan rambu penegasan jurusan yang menyatakan petunjuk arah untuk mencapai tujuan dilengkapi dengan nomor rute.

Contoh Penempatan Rambu Nomor Rute: 1) Rambu Pendahulu Petunjuk Jurusan pada persimpangan di depan.

46

2) Rambu Pendahulu Petunjuk Jurusan yang menunjukkan arah daerah.

3) Rambu

Pendahulu

untuk mencapai

Petunjuk

suatu

Jurusan

tempat

yang

keluar

menyatakan dari

jalan

arah tol.

4) Rambu Pendahulu Petunjuk Jurusan yang menyatakan lajur yang harus dilewati untuk jurusan yang dituju.

5) Rambu Petunjuk Jurusan.

47

6) Rambu Penegasan Jalan.

2.17

Kubikasi Dalam perencanaan jalan raya terdapat penimbunan dan penggalian yang

kesemuanya ini harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga efesien dan ekonomis. Untuk itu, besarnya galian harus lebih banyak dari pada timbunan, karena hasil dari pada timbunan, karena hasil dari penggalian dapat digunakan sebagai timbunan. Untuk menghitung luas sebuah potongan melintang dengan metoda geometrik (sering juga disebut dengan metoda trapesium), maka masing-masing bagian dibagi-bagi luasnya sehingga menjadi bentuk-bentuk geometrik sederhana. Untuk perhitungan luas timbunan dan luas galian seperti diperlihatkan pada gambar 2.13 serta persamaan yang dipergunakan di bawah ini :

Luas Trapesium

:

A=

ab . t ....................................... 2

(2.45)

a.

Luas Segitiga

:

A = ½ . a . t ....................................

(2.46)

b.

Luas segi empat :

A = b . t ...........................................

(2.47)

Dimana : A

= Luas (m2)

a

= Panjang alas atas (m)

b

= panjang alas bawah (m)

t

= Tinggi (m)

48

b

b

t

t

t a

t

Gambar 2.15 : Bentuk-Bentuk Luas Penampang Galian Dan Timbunan Sumber : Ir. Sunggono K.H (1979)

2.18

Mass Curve Diagram Menurut Carl F. Meyer dan David W. Gibson (1984), bahwa mass curve

diagram merupakan suatu cara untuk mengetahui besarnya perbandingan volume galian serta timbunan, sehingga didapatkan volume komulatif dari kedua volume di atas. Mass curve diagram dari pekerjaan tanah adalah grafik kontinue dari jumlah netto dan diplotkan dengan station-station sebagai sumbu absis dari jumlah aljabar galian serta timbunan sebagai koordinat. Biasanya, volume galian diberi tanda positif sedangkan timbunan diberi tanda negatif.

Related Documents

Bab Ii Teori Dasar
June 2020 28
Bab 6 Dasar Teori
October 2019 35
Bab 5 Dasar Teori
October 2019 42

More Documents from "MumutTea"