Pengurangan Resiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan Rifka Pahlevi, S.Kep., Ns., M.Kep
What?
6 Sasaran Keselamatan Pasien 1. Identifikasi pasien dengan benar 2. Meningkatkan komunikasi efektif 3. Meningkatkan kemanan dari pengobatan resiko tinggi 4. Minimalisasi kesalahan penempatan, prosedur, dan pengenalan pasien operasi 5. Mengurangi resiko infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan 6. Mengurangi resiko pasien terluka atau jatuh
Resiko Infeksi (Nanda 2015) ■ Definisi: mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik. ■ Faktor resiko: Penyakit kronis (DM)
Pengetahuan yg kurang untuk menghindari pajanan pathogen Pertahanan tubuh primer tidak adekuat (kerusakan integritas kulit dan jaringan) Pertahanan tubuh sekunder tidak adekuat (imunosupresi, obat imunosupresan, penurunan sel darah) Malnutrisi Pajanan pathogen di lingkungan meninggkat (wabah)
Infeksi yang berhubungan dengan Yankes
Infeksi Nosokomial (HAIs)
Infeksi yang berhubungan dengan Yankes
E T I O L O G I
Infeksi yg berhubungan dengan Yankes E T I O L O G I Con’t…
JENIS INFEKSI NOSOKOMIAL (HAIs) Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)
Infeksi Luka Operasi (ILO)
Infeksi Saluran Kemih Nosokomial (ISK)
Hospital Associated Pneumonia (HAP) dan Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
Faktor-faktor yang mempengaruhi HAIs
Faktor endogen • Umur • Status imunitas • Penyakit penyerta • Kondisi lokal
Faktor exogen • Lama perawatan • Tindakan invasif yang diberikan • Perilaku kelompok yang merawat • Lingkungan
Tanda Gejala Lokal Phlebitis Radang lokal pada tempat operasi, Radang kandung kemih dan saluran kemih Sistemik Sepsis
Why?
• HAIs masalah penting di dunia, khususnya di negara berkembang (Indonesia). • Infeksi nosokomial di Indonesi tahun 2006 mencapai 39-60%. • Penyebabnya adalah: kurang pengawasan, praktek pencegahan yang buruk, pemakaian sumber terbatas dan tidak tepat, rumah sakit yang over load (Kasmad, 2007).
Hasil Study
Purworejo, Jateng
Surabaya, Jatim
1 dari 20 pasien yang dirawat mengalami HAIs
70% diantaranya dapat dicegah: < 10% dipengaruhi lingkungan > 90% dipengaruhi perilaku
Communicate Desease Centre (CDC) 2009
Angka kejadian HAIs menjadi salah satu tolak ukur mutu pelayanan RS
Dampak/masalah yg ditimbulkan
Definisi Infeksi Nosokomial
How?
Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007)
1
Kewaspadaan Isolasi
Kewaspadaan standar Standar WHO, 2009
Mencuci tangan Menggunakan APD Praktik keselamatan kerja Perawatan pasien Penggunaan antiseptic Penanganan peralatan dalam perawatan pasien Kebersihan lingkungan
Kewaspadaan transmisi Penanganan linen dan pakaian kotor Isolasi (px. Dgn penyakit menular) Ruang khusus yg selalu tertutup Gunakan masker dan sarung tangan serta baju pelindung setiap kontak dengan Px. Peralatan makan khusus untuk pasien
2 Surveilans HAIs Dinamis dan sistemtis Catat, olah, analisis kejadian HAIs (ILO, IADP, ISK, VAP) Tujuan: Data dasar infeksi RS Menurunkan laju infeksi RS Standar mutu yan medis dan keperawatan Unsur pendukung pemenuhan akreditasi RS Audit kepatuhan kebersihan hand hygine
3 Pemakaian antibiotic secara rasional
Penggunaan antibiotic secara bijak Pemilihannya berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi/pola mikroba dan kepekaan antibiotic, serta diarahkan pada antibiotik berspektrum sempit.
4 Diklat
5 Komite/tim PPI terlatih IPCN/IPCO terlatih In house training- seluruh petugas di RS paham PPI sesuai dengan lingkup tugas Seminar/workshop
Kesehatan Karyawan Terutama petugas di tempat resiko tinggi Pemeriksaan kesehatan berkala, minimal 1 thn sekali Manajemen RS menjamin ketersediaan APD sesuai kebutuhan
PERAN PERAWAT DALAM PENGURANGAN RESIKO INFEKSI Pemutusan rantai transmisi (agen, host, lingkungan): • Cuci tangan • Penggunaan alat pelindung diri secara tepat • Antiseptik, desinfeksi • Dekontaminasi • Pelaporan kejadian infeksi
NIC Infection Control (NANDA, 2015) • • • • • • •
Membersihkan lingkungan setelah digunakan pasien Peratahankan teknik isolasi (k/p) Batasi pengunjung Budayakan cuci tangan kepada seluruh warga di RS sesuai 5 momen Gunakan APD Pertahankan lingkungan dan prosedur aseptic selama pemasangan alat Lakukan perawatan luka, perawatan kateter urin, vena kateter, bila perlu ganti vena perifer dengan vena sentral • Pantau tanda gejala infeksi lokal dan sistemik • Pantau hasil pemeriksaan laboratorium (darah lengkap, granulosit, kultur positif) • Laporkan kecurigaan kejadian infeksi
KONTROL IADP • IADP infeksi aliran darah primer yang timbul tanpa ada organ atau jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi, dan merupakan salah satu sumber data yang digunakan untuk mengendalikan infeksi nosokomial (IN) di rumah sakit. • Kriteria IADP Suhu > 38ºC, bertahan ≥ 24 jam Hipotensi, sistolik < 90 mmHg Oliguri, urin < 0,5 cc/kgBB/jam Terdapat kontaminan kulit dari 2x biakan berturut-turut
Pencegahan IADP (CDC, 2005) • • • • • • • •
Cutaneous antisepsis: chlorhexidine 2%, tincture of iodine, atau alkohol 70%. Aplikasikan antiseptik paling sedikit 30 detik Biarkan antiseptik mengering sebelum di insersi lebih kurang 2 menit Pertahankan prosedur aseptic selama pemasangan dan perawatan kateter IV Beri tanggal pemasangan infus Periksa secara visual kondisi lokasi pemasangan kateter IV Ganti set perlengkapan intravaskuler dan balutan maksimal tial 72 jam (3 hari) Ganti selang yang dipakai untuk memasukkan darah, komponen darah atau emulsi lemak dalam 24 jam dari diawalinya infus • Bersihkan port injeksi dengan alkohol 70 % sebelum mengakses sistem.
Kasa • (+) Kualitas serap yang tinggi • (+) Lebih murah daripada balutan lain dan tersedia di sebagian besar lingkungan perawatan kesehatan • (-) Mengganggu inspeksi visual pada area penusukan • (-) memungkinkan terpapar lingkungan luar
Transparant Semipermeabel Dressing (TSD) • (+) Memungkinkan inspeksi visual pada sisi intavena, tidak mudah kotor atau lembab, dan tidak perlu diganti dengan sering dibandingkan balutan kasa • (+) Mencegah hubungan langsung dgn lingkungan luar • (+) Membantu fiksasi IV cateter • (+) Merupakan standar untuk perawatan luka tusuk infus, dipercaya sebagai balutan ideal yang dapat mengurangi resiko terjadinya phlebitis dan infeksi aliran darah primer • (-) Lebih mahal dibandingkan kasa
Communicabe Desease Centre, 2002, Hindley, 2004, dalam Potter & Perry, 2010, hlm. 150
Tidak ada perbedaan signifikan penggunaan dressing kasa maupun transparan terhadap kejadian phlebitis di RSUD Kota Salatiga (Sorata dkk., 2014 Jurnal Ilmu Kebidanan dan Keperawatan JIKK vol. 3 no.12)
Andrew Jackson (1997) dan yang pernah dikembangkaoleh Jacob Phlebitis Grading Score (VIP Score)
Prevent Phlebitis
KONTROL INFEKSI LUKA OPERASI • Penyebab utama terjadinya infeksi luka post operasi adalah Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) • Penggunaan antibiotik yang tidak rasional (dosis tinggi dalam watu lama), perawatan luka pasca operasi yang tidak standar (cuci tangan, memakai masker, sarung tangan steril, teknik ganti balutan), fasilitas RS (sterilitas dan jumlah alat) menjadi faktor penting meningkatnya kejadian MRSA. • Beberapa jenis antibiotik: beta lactam, quinolone, aminoglikosida, tetrasiklin, vankomisin. • Penelitian yang dilakukan oleh Nurkusuma (2009) di RS Kariadi Semarang menunjukkan penggantian balutan yang tidak sesuai standar (tidak cuci tangan, tidak memakai masker) meningkatkan kejadian MRSA pada kasus ILO melalui transmisi. • MRSA ditemukan sebanyak 61,4% pada fisik petugas kesehatan, 52% pada peralatan medis. • Penelitian yg dilakukan di RS Bandung dan Semarang menunjukkan persebaran MRSA pada tubuh: 35,9% pada hidung, 21,8% pada tangan.
Pencegahan ILO • Mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan penggantian balutan dengan menggunakan sabun dan antiseptic • Pada penggunaan alat pelindung seperti sarung tangan, kacamata, masker atau baju pelindung • Menggunakan sarung tangan steril ketika melakukan rawat luka • Memperatahankan prinsip steril selama prosedur rawat luka • Pemilihan dressing yang sesuai dengan kondisi luka • Melakukan dekontaminasi, membersihkan, mendesinfeksi (DTT)/mensterilkan alat yang telah digunakan untuk rawat luka • Dengan merendam dalam larutan klorin o,5 % selama 10 menit. Langkah ini dapat menonaktifkan HBV, HCV dan HIV • Mengumpulkan sampah hasil tindakan dalam suatu wadah dan membuangnya secara terpisah berdasarkan jenis sampahnya (sampah medis) • Penggantian balutan luka post.op dilakukan pada hari ke-3, kecuali bila kondisi luka kotor.
KONTROL ISK • Bakteri dalam urin yang sering menyebabkan terjadinya ISK: P. aerogenosa (44,5%), E. coli (22,2%), A. anithratus (22,2%), dan E. aerogenes (11,1%). • Penelitan yg dilakukan Djunaedi (November 2000 – Maret 2001) di Rumah Sakit di Kota Malang: • (32%) pasien yang dilibatkan dalam penelitian ini menunjukkan hasil positif pada biakan urin yang diambil setelah pemasangan kateter selama 2x24 • (71,5%) hasil positif pada biakan potongan ujung kanul kateter pada kurun waktu yang sama yaitu 2X24 jam. • Penyebab umum tingginya angka ISK: prosedur perineal hygine yang kurang optimal.
Pencegahan ISK • Perawatan kateter urin sesuai SOP • Perawatan kateter Indwelling model American Association Of Critical Care Nurses (AACN) yaitu menggunakan cairan sabun antiseptik dengan pH normal kulit yaitu 5,5-5,8 (PhisoHex) lebih efektif menurunkan bakteriuri dibandingkan perawatan menggunakan cairan NS, karena cairan sabun mempunyai fungsi bakterisid dan fungistatik (Suharta E.D., 2015)
POKOK PENCEGAHAN INFEKSI ADALAH HAND HYGINE (WHO, 2009)
Acknowledgement : WHO World Alliance for Patient Safety
38
Kesimpulan 1. 2. 3.
Pemasangan alat invasive di RS tidak bisa dihindari karena berfungsi dalam menunjang intervensi dan terapi medis pasien Pemasangan alat invasive hanya jika benar indikasinya, segera lepas jika tidak ada indikasi Pengetahuan, keterampilan dan kepatuhan individu dalam melaksanakan tindakan dan perawatan kepada pasien sangat diperlukan, sehingga kejadian infeksi dapat diminimalkan, dan derajat keamanan dan keselamatan pasien dipertahankan.
Referensi • Hogonet, S., et.al, Nosocomial Bloodstream Infection and Clinical Sepsis, ISSN, vol. 10, 2004. • Center of Prevention and Deseases Controle (CDC), 2005. • Journal of Hospital Infection, vol. 96, 333-446, 2017