57013_teori Demam Tifoid-4.docx

  • Uploaded by: Wildan Hilmi Ansori
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 57013_teori Demam Tifoid-4.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,560
  • Pages: 37
PRESENTASI KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE

Disusun oleh: Gina Ferina D, dr

Pembimbing: Nuning Indriyani dr., Sp.A.

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP RSUD CICALENGKA KABUPATEN BANDUNG 2019

A. IDENTITAS  Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Tanggal Lahir Tanggal perawatan No. Rekam Medik

: An. R : Perempuan : 10-01-2016 (usia 3 tahun 1 bulan ) : 1 Febuari 2019 – : 09 35 34

 Identitas Orang Tua Pasien Ayah : Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat

: Tn. A : 48 tahun : SD : Buruh : Kp. Gunung Leutik

Ibu :Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat

: Ny. SW : 38 tahun : SD : Ibu Rumah Tangga : Kp. Gunung Leutik

B. ANAMNESIS  Heteroanamnesis : oleh Ny. A (Ibu pasien)  Keluhan utama : Demam  Riwayat perjalanan penyakit Pasien mengalami demam sejak 3 sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan hilang timbul dan lebih tinggi pada sore atau malam hari. Keluhan disertai dengan adanya muntah 1x berisi cairan/sisa makanan dan mencret sekitar 1x sejak tadi pagi dan pasien sering mengeluhkan adanya nyeri pada bagian perutnya. Ibu pasien mengatakan nafsu makan anaknya menurun dan tampak lemas. Keluhan tidak disertai dengan adanya mimisan, perdarahan pada gusi, bintik merah pada kulit, batuk/ pilek. Buang air kecil juga tidak dirasakan adanya keluhan.  Riwayat Penyakit Dahulu belum pernah mengalami keluhan serupa  Riwayat Penyakit Keluarga/ Sekitar Tidak ada yang mengalami keluhan serupa, tidak ada yang sedang menjalani pengobatan lama.  Riwayat Kebiasaan Pasien sering jajan diluar rumah  Riwayat Pengobatan Obat penurun demam diminum 3x sehari 1 sendok, antibiotik dan vitamin namun belum ada perubahan  Riwayat Kelahiran : - Anak ke 4 Dari 4 anak - Lahir hidup : 4, - Lahir mati :- Abortus :- Lahir spontan langsung menangis, ditolong oleh paraji - Berat badan lahir : 3500 gram - Panjang badan lahir : 50 cm  Riwayat Perkembangan - Berbalik : 4 bulan - Berbalik : 4 bulan - Duduk tanpa bantuan : 6 bulan

- Duduk tanpa pegangan : 6 bulan - Berjalan 1 tangan dipengang : 1 tahun - Berjalan tanpa dipegang : 1 tahun - Bicara 1 kata : 1 tahun - Bicara 1 kalimat : 2 tahun - Membaca : - Menulis : - Sekolah : Riwayat Pemberian Makan -

Usia 0-6 bulan : ASI eksklusif Usia 6-12 bulan : ASI, susu formula, bubur Usia 1 tahun – sekarang : nasi, susu formula dan makanan lain

C. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum - Kesadaran : Compos Mentis - Keadaan sakit : Sakit sedang - Posisi : Posisi berbaring, tidak terdapat letak paksa Tanda vital - Tekanan Darah : 90/60 mmHg - Nadi : 86x / menit, kualitas : regular, equal, isi cukup - Respirasi : 22x / menit , tipe : abdominothorakal - Suhu : 38,3C (auricular) Status Gizi - Berat Badan : 16 kg - Tinggi Badan : 97 cm - Status Gizi : Baik Keadaan Fisik Umum - Sesak : (-), PCH (-). Retraksi (-) - Sianosis : sentral/ perifer (-) - Ikterus : (-) - Edema : (-) - Dehidrasi : (-) - Anemia : (-) - Kejang : (-) - Letak paksa : (-)

D. PEMERIKSAAN KHUSUS

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

F. RESUME -

Anak perempuan Berusia 3 tahun 1 bulan BB 16 kg TB 97 cm Status gizi baik

 ANAMNESIS KU : demam sejak 7 hari yang lalu, hilang timbul, terutama pada sore/ malam hari. Keluhan disertai muntah 1x, mencret 1x, nafsu makan berkurang dan nyeri pada bagian perutnya. Batuk (-), pilek (-), gangguang BAK (-), mimisan (-), perdarahan gusi (-), bintik merah pada kulit (-) Riwayat Berobat : obat penurun demam 3x sehari 1 sendok, antibiotik dan vitamin Riwayat Kebiasaan : pasien cukup sering jajan diluar  PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum Kesadaran : Compos Mentis Keadaan sakit : sakit sedang Posisi : posisi berbaring, tidak terdapat letak paksa Tanda vital Tekanan Darah : 90/60 mmHg Nadi : 86x / menit , kualitas : regular, equal, isi cukup Respirasi : 22x / menit , tipe : abdominothorakal Suhu : 38,3C ( auricular )  PEMERIKSAAN KHUSUS Lidah : Coated Tongue (+) Abdomen : - Inspeksi : cembung - Auskultasi : Bising usus (+)\ - Perkusi : timpani -Palpasi : soepel, nyeri tekan (+) tapi tidak dapat dilokalisasi

 PEMERIKSAAN PENUNJANG

G. DIAGNOSIS Demam Tifoid

H. TERAPI AWAL -

KAEN 1B 1300 cc/ 24 jam Ceftriaxone ampul 2x800 mg Parasetamol sirup 3 x 1 ½ cth Pamol supp extra 125 mg Diet Tifoid 1500 kalori

I. PROGNOSIS -

Quo ad vitam : ad bonam Quo ad functionam : ad bonam Quo ad sanationam : dubia ad bonam

J. FOLLOW UP  Hari Pertama -

Hari : Kamis Tanggal : 1 November 2018 Pukul : 11.00 WIB Tempat : IGD

Anamnesis Pasien mengalami BAB cair 1 kali pada pagi hari tanpa lendir ataupun darah, ampas (+), muntah 1x isi cairan dan sisa makanan, nafsu makan kurang, pasien tampak rewel Pemeriksaan Fisik •

Lidah : coated tongue (+)



Abdomen : cembung, soepel, timpani, nyeri tekan (+), BU (+)

 Hari Kedua - Hari : Jumat - Tanggal : 2 November 2018 - Pukul : 13.30 WIB - Tempat : Sinom 2 bed 6 Anamnesis Pasien masih mengalami BAB cair 2 kali pada pukul 11 dan 1 siang disertai sedikit lendir tanpa darah, ampas (+), muntah 2x, nafsu makan masih kurang, pasien masih tampak rewel Pemeriksaan Fisik • Lidah : coated tongue (+) • Abdomen : cembung, soepel, timpani, nyeri tekan (+), BU (+)

 Hari Ketiga - Hari : Sabtu - Tanggal : 3 November 2018 - Pukul : 19.05 WIB - Tempat : Sinom 2 bed 6

Anamnesis Pasien masih mengalami BAB cair 2 kali pada pukul 06.30 dan 07.30 pagi dengan lendir (+) darah (-), ampas (+), muntah (-), nafsu makan agak meningkat namun masih kurang dari biasanya, pasien masih tampak rewel Pemeriksaan Fisik • •

Lidah : coated tongue (+) Abdomen : cembung, soepel, timpani, nyeri tekan (+), BU (+)

Dilakukan pemeriksaan feses pada hari ke-3 perawatan

 Hari Keempat

-

Hari : Minggu Tanggal : 4 November 2018 Pukul : 08.30 WIB Tempat : Sinom 2 bed 6

Anamnesis Pasien sudah tidak mengalami BAB cair, muntah (-) , nafsu makan sudah membaik, pasien tidak tampak rewel Pemeriksaan Fisik •

Lidah : coated tongue (+)



Abdomen : cembung, soepel, timpani, nyeri tekan (-), BU (+)

TEORI DEMAM TIFOID

 DEFINISI Demam enterik (Demam tifoid dan demam paratifoid) adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella (Garna & Nataprawira, 2014). Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enteric serovar typhi (S typhi). Salmonella enteric serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid (Nelwan, 2012)

 ETIOLOGI Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi. Sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh S. paratyphi A, S. schottmuelleri, S. hirschfeldii, dan serotipe lain. Manusia adalah satu-satunya reservoir yang alamiah dan merupakan reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses (Nelwan, 2012). Morfologi Salmonella typhi merupakan kuman batang Gram negatif, yang tidak memiliki spora, bergerak dengan flagel peritrik, bersifat intraseluler fakultatif dan anerob fakultatif. Ukurannya berkisar antara 0,7- 1,5X 2-5 pm,memiliki antigen somatik (O), antigen flagel (H) dengan fase dan antigen kapsul(Vi). Kuman ini tahan terhadap selenit dan natrium deoksikolat yang dapat membunuh bakteri enterik lain, menghasilkan endotoksin, protein invasin dan MRHA (Mannosa Resistant Haemaglutinin) (Cita, 2011). Salmonella typhi mampu bertahan hidup selama beberapa bulan sampai setahun jika melekat dalam, tinja, mentega, susu, keju dan air beku. S. typhi adalah parasit intraseluler fakultatif, yang dapat hidup dalam makrofag dan menyebabkan gejalagejala gastrointestinal hanya pada akhir perjalanan penyakit,biasanya sesudah demam yang lama, bakteremia dan akhirnya lokalisasi infeksi dalamjaringan limfoidsubmukosausus kecil (Saputra, Majid, & Bahar, 2017).

Struktur Bakteri Salmonella typhi

-

-

Antigen O (Antigenik somatik) merupakan bagian terpenting dalam menentukan virulensi kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida disebut endotoksin dan terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Antigen ini bersifat hidofilik, tahan terhadap pemanasan suhu 1000C selama 2-5 jam dan tahan alkohol 96 % dan etanol 96% selama 4 jam pada suhu 370C tetapi tidak tahan terhadap formaldehid. (Cita, 2011). Antigen H (Antigen flagella) yang terletak pada flagella dan fimbria (pili) dari kuman. Flagel ini terdiri dari badan basal yang melekat pada sitoplasma dinding sel kuman, struktur kimia ini berupa protein yang tahan terhadap

-

formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol pada suhu 60 0C,. Selain itu flagel juga terdiri dari the hook dan filamen yang terdiri dari komponen protein polimerase yang disebut flagelin dengan BM 51-57 kDa yang dipakai dalam pemeriksaan asam nukleat kuman S. typhi (Cita, 2011). Antigen Vi (permukaan) yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Struktur kimia proteinnya dapat digunakan untuk mendeteksi adanya karier dan akan rusak jika diberi pemanasan selama 1 jam pada suhu 60 0C dan pada pemberian asam serta fenol (Cita, 2011). Ketiga komponen antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut agglutinin. (Cita, 2011).

 INSIDENSI

WHO (World Health Organization) memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kematian terjadi tiap tahun akibat penyakit ini. Asia menempati urutan tertinggi pada kasus thypoid ini, dan terdapat 13 juta kasus terjadi tiap tahunnya. Di Indonesia diperkirakan antara 800-100.000 orang yang terkena penyakit demam thypoid sepanjang tahun. Kasus thypoid di derita oleh anak – anak sebesar 91% berusia 3-19 tahun dengan angka kematian 20.000 pertahunnya (Saputra, Majid, & Bahar, 2017) Kelompok usia yang rentan menderita demam tifoid adalah anak pada kelompok usia 5 tahun ke atas. Pada usia tersebut, anak sudah mulai masuk sekolah dan mengenal jajanan di luar rumah. Makanan atau jajanan yang kurang bersih dapat mengandung kuman S. typhii dan masuk ke tubuh anak jika termakan (Saputra, Majid, & Bahar, 2017) Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013 memperlihatkan bahwa gambaran 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit, prevalensi kasus demam thypoid sebesar 5,13% . Penyakit ini termasuk dalam kategori penyakit dengan Case Fatality Rate tertinggi sebesar 0,67%. Prevalensi demam thypoid menurut tempat tinggal paling banyak di pedesaan dibandingkan perkotaaan, dengan pendidikan rendah dan dengan jumlah pengeluaran rumah tangga rendah. Kejadian penyakit demam thypoid meningkat dalam 5 tahun terakhir, hal ini disebabkan karena kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) (Saputra, Majid, & Bahar, 2017)

 PATOGENESIS Faktor – faktor yang sangat erat hugungannya dengan kejadian demam thypoid adalah hygiene perorangan yang rendah meliputi kebiasaan cuci tangan, dan kebiasaan makan dan minum. Sanitasi lingkungan merupakan salah satu penyebab terjadi kejadian demam thypoid terlihat dari keadaan sanitasi lingkungan secara keseluruhan (Saputra, Majid, & Bahar, 2017) Patogenesis demam tifoid terjadi melalui fekal oral dan merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola intraseluler (Saputra, Majid, & Bahar, 2017) Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negative (Saputra, Majid, & Bahar, 2017) Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang (Nelwan, 2012). Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam system peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses infl amasi yang meng-akibatkan nekrosis dan iskemia (Nelwan, 2012) Komplikasi perdarahandan perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier. (Nelwan, 2012).

Makanan yang terkontaminasi

melewati lambung

mati

berkembang biak, difagosit oleh makrofag

berkembang biak dalam makrofag

seluruh tubuh (bakteriemia 1)

kuman masuk empedu

organ RE, hepar, limpa

lumen usus

kuman keluar dari makrofag  sirkulasi darah

feses

bakteriemia 2 (gejala infeksi sistemik)

 MANIFESTASI KLINIS

-

Masa inkubasi 7-14 hari Onset insidious : Malaise, anoreksia, mialgia, sakit kepala, sakit daerah abdomen (tapi anak biasanya tidak dapat menunjukkan daerah yang paling sakit). Keluhan meningkat pada minggu ke-2. Demam dihari ke-4 bersifat remiten, dengan pola seperti anak tangga (stepwise fashion), setelah hari ke-5 atau paling lambat akhir minggu pertama pola demam berbentuk kontinua (Nelwan, 2012) Diare dapat terjadi pada hari-hari pertama sakit, selanjutnya terjadi konstipasi. Bila diare terjadi sesudah minggu kedua harus dicurigai infeksi tambahan oleh jasad renik lain. Mual dan muntah dapat ditemukan pada awal sakit, bila ditemukan pada minggu kedua atau ketiga harus diwaspadai awal dari suatu penyulit. Pada minggu kedua keluhan malaise, anoreksia, mialgia, sakit kepala, sakit daerah abdomen akan bertambah berat, dapat ditemukan disorientasi, letargi, delirium bahkan stupor. (Nelwan, 2012) Anak yang menderita demam tifoid, umumnya memiliki gejala demam lebih dari 1 minggu. Selain itu, keluhan yang dominan dialami oleh anak adalah keluhan pada saluran cerna, seperti mual, muntah, mencret, atau pada anak yang lebih besar terkadang sembelit/susah buang air besar (Nelwan, 2012) Gejala-gejala seperti ini juga dapat muncul pada infeksi saluran cerna yang lain. Oleh karena itu, sering kali orang tua menyebutnya sebagai “gejala

tipus”. Namun, yang membedakan adalah pada demam tifoid, suhu tubuh anak ketika demam perlahan-lahan semakin tinggi setiap harinya (step ladder), terutama menjelang sore misalnya hari ini suhu saat demam 38oC, keesokan harinya 38,5oC, keesokan hari kemudian 39oC, dan seterusnya. Demamnya juga sulit turun walaupun sudah diberikan obat penurun panas (Nelwan, 2012).

Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan bradikardi relatif, hepatomegali, splenomegali, distensi abdomen yang disertai rasa sakit. Rose spot juga dapat ditemukan pada 50% kasus di dada bawah dan abdomen bagian atas. (Nelwan, 2012)

 TERAPI Penderita demam tifoid dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Tujuan perawatan : 1. 2. 3. 4.

Optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan Observasi terhadap perjalanan penyakit Miminalisasi komplikasi Isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran dan atau kontaminasi

Umum : -

Tirah baring

-

-

Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Buang air besar dan kecil sebaiknya dibantu oleh perawat dan hindari pemasangan kateter urine tetap bila tidak ada indikasi. Cairan Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta sulit makan. Dosis cairan parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian (cairan rumatan). Bila ada komplikasi, dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang maksimal. Diet makanan lunak yang mudah dicerna Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid, biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. Bila keadaan penderita membaik diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim (diet padat dini). Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya diubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita. Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara enteral melalui pipa lambung. Diet parenteral dipertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi perdarahan dan atau perforasi. (Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006)

Khusus : -

Eradikasi kuman (penggunaan antibiotic) Terapi penyulit Kotrikosteroid Deksametason 3mg/kgBB inisial, diikuti 1 mg/kgBB tiap 6 jam selama 48 jam. Bila dikhawatirkan terjadi hipotermia akibat pemberian deksametason, maka pemberian diberikan dengan dosis 0.15mg/kgBB cukup aman dan efektif (Garna & Nataprawira, 2014)

Tabel Manajemen Demam Enterik : Eradikasi Kuman

Oral Tanpa penyulit

Kloramfenikol

Parenteral 50-75 Kolramfenikol

mg/kgBB/hari selama 14-21 hari

75

mg/kgBB/hari selama 1421 hari

Amoksisilin

75-100

mg/kgBB/hari selama 14 hari

Ampisilin

75-100

mg/kgBB/hari selama 14 TNP-SMX 8/40 mg/kgBB/hari hari selama 14 hari Terapi alternative Sefiksim (multi-drug resistance) tanpa penyulit

15-20 mg/kgBB/hari selama 7-14 hari

Azitromisin resistance)

(quinolone 8-10mg/kgBB/hari

selama 7 hari Dengan penyulit

Kloramfenikol 100mg/kgBB/hari

selama

14-21 hari

Ampisilin 100mg/kgBB/hari

selama

14 hari

Seftriakson 75mg/kgBB/hari

atau

sefotaksim 80mg/kgBB/hari 10-14 hari

selama

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, terapi demam tifoid pada anak Seftriakson secara bermakna dapat mengurangi lama pengobatan dibandingkan pemberian jangka panjang kloramfenikol. Seftriakson merupakan antibiotik beta-lactamase dengan spektrum luas, memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan 1-2 kali sehari. (Sidabutar, 2010). Efek samping yang mungkin ditemukan adalah reaksi alergi, peningkatan fungsi hati, trombositosis, dan leukopenia Acharya G dkk melaporkan bahwa pasien demam tifoid menunjukkan respons klinis yang baik dengan pemberian seftriakson sekali sehari. Lama demam turun rata-rata empat hari, semua hasil biakan menjadi negatif pada hari keempat, dan tidak ditemukan kekambuhan. Hasil laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin dan hitung leukosit normal, serta tidak ditemukan gangguan fungsi hati dan ginjal. (Sidabutar, 2010).

Multidrug resistant Salmonella typhi adalah resistensi terhadap lini pertama antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid yaitu kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol. Penyebab MDRST adalah pemakaian antibiotic yang tidak rasional (over-used) dan perubahan faktor instrinstik dalam mikroba. (Sidabutar, 2010). Antibiotik empiris yang tepat sangat bermakna menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pemberian seftriakson sebagai terapi empiris pada pasien demam tifoid secara bermakna dapat mengurangi lama pengobatan dibandingkan dengan pemberian jangka panjang kloramfenikol. Hal lain yang menguntungkan adalah efek samping dan angka kekambuhan yang lebih rendah, serta lama demam turun yang lebih cepat. Pengetahuan dan penilaian klinis yang baik diperlukan dalam memilih terapi empiris yang tepat terutama bila fasilitas uji resistensi tidak memadai. Seftriakson terbukti dapat dijadikan sebagai antibiotik pilihan utama pada kasus MDRST. (Sidabutar, 2010) Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotic yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadaf uoroquinolone. (Nelwan, 2012) Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofl oxacin, dan pefl oxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat

tidak resisten terhadap fluoroquinolonedengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%. (Nelwan, 2012) Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain. Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofl oxacin terhadap obat standar ciprofl oxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofl oxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofl oxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. (Nelwan, 2012) Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa padasaat ini levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofl oxacin. Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI mengenai efi kasi dan keamanan levofl oxacin pada terapi demam tifoid tanpa komplikasi.Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari selama 7 hari. Efi kasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek samping yang minimal. (Nelwan, 2012)

 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Darah rutin Sering ditemukan anemia normokrom normositer akibat supresi sumsum tulang, leucopenia yang diduga disebabkan oleh adanya perpindahan leukosit dari sirkulasi ke pembuluh darah sehingga kadar leukosit di sirkulasi berkurang, jika jumlah leukosit <2000/mm3 itu pertanda prognosis buruk, limfositosis relative, dapat ditemukan trombositopenia yang cukup berat terutama pada akhir minggu pertama. 2. Kimia darah Pada penderita hepatitis tifosa dapat ditemukan peningkatan transaminase hepar dan bilirubin serum. Pada penderita gizi buruk dapat ditemukan hiponatremia dan hipokalemia. 3. Biakan Salmonela

Darah umumnya positif pada minggu pertama dan awal minggu kedua (6080%) dari rose spot (60%), sumsum tulang (80-90%). Pemeriksaan kultur sumsum tulang merupakan tindakan invasive, namun ini merupakan gold standar karena sumsum tulang ini lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada dalam darah. Sedangkan pada urine dan feses dapat ditemukan sesudah bakteremia sekunder (minggu ke2-3) 4. Identifikasi Kuman Secara Molekuler Mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagelin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Pemeriksaan ini sangat sensitive. Namun adapun kelemahan dari metode ini, diantaranta adalah dapat menyebabkan positif palsu karena adanya specimen yang dapat menghambat proses PCR seperti hemoglobin dan heparin pada specimen darah serta bilirubin dan garam empedu pada specimen feses, selain itu juga metode PCR ini mahal dan prosedurnya rumit. 5. Serologi Pemeriksaan serologis dapat mempermudah menegakkan diagnosis dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa pemeriksaan yang dapat dipergunakan ialah pemeriksaan Widal, metode Enzymme-linked Immunoasrbent Assay (ELISA), pemeriksaan Tubex TF, pemeriksaan dipstik dan Typhidot. a. Pemeriksaan Widal Prinsip pemeriksaan Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbedabeda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Tes widal diambil >2x (dengan serum berpasangan), didapat peningkatan titer O>4x. Pemeriksaan widal ini kurang sensitive karena belum ditemukan nya cut-off-point . Nilai cut-off point pemeriksaan Widal dipengaruhi oleh derajat endemisitas di masingmasing daerah dan untuk mencari standar titer pemeriksaanWidal seharusnya ditentukan pula titer dasar (baseline titer) yang didapatkan dari titer O dan H anak-anak yang sehat. Pemeriksaan Widal tidak dapat membedakan apakah merupakan infeksi baru atau lama. Selain itu, Sensitivitasnya rendah diakibatkan karena kultur yang bermakna tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai antibodi pada

umumnya titer meningkat sebelum penyakit muncul, sehingga terdapat kesulitan untuk menunjukkan kenaikan titer 4 kali.

b. ELISA Pemeriksaan ELISA merupakan pemeriksaan serologis yang sering dipakai untuk menganalisis adanya interaksi antigen-antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas 95% (Ismail, 2000) namun memiliki kelemahan dimana besar kemungkinan terjadinya false positive karena adanya reaksi silang antara antigen yang satu dengan yang lain, sedangkan hasil false negative terjadi jika pemeriksaan ini dilakukan pada window period (waktu pembentukan antibodi baru dimulai sehingga jumlah antibody tersebut masih sedikit dan kemungkinan tidak dapat terdeteksi). c.

Pemeriksaan Dipstik

Pemeriksaan Dipstik merupakan pemeriksaan serologis yang dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.

d. Pemeriksaan Tubex Pemeriksaan Tubex merupakan pemeriksaan aglutinasi kompetitif semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk dikerjakan. Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen LPS 0-9 pada serum pasien, prinsip kerjanya dengan menggunakan metode reaksi immunoassay magnetic binding inhibition (IMBI) yaitu dengan cara mengukur kemampuan serum antibodi IgM dalam menghambat reaksi antara antigen S. typhi dan anti-09 IgM monoclonal antibody (MAb). Selanjutnya ikatan inhibisi akan dipisahkan oleh suatu daya magnetic. e. Pemeriksaan Typhidot Pemeriksaan ini diketahui sebagai alat deteksi antibodi kualitatif yang didesain sebagai alat diagnosis cepat dari demam tifoid.Typhidot akan mendeteksi adanya IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar S. typhi. Pemeriksaan Typhidot akan mendapatkan hasil positif 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 kDa yang terdapat pada strip nitroselulosa. Pemeriksaan Typhidot ini memiliki sensitivitas pemeriksaan sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi pemeriksaan sebesar 84%. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi pada kasus pemeriksaan primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemeriksaan Typhidot-M mampu menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Pemeriksaan Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien Ada dua bentuk dari Typhidot yaitu Typhidot Dot EIA yang menggunakan dot blot strip dan Immunochromatographic Assay (ICT test) yang berbentuk cassette. Spesimen yang dipakai berupa serum sedangkan pada ICT test dapat berupa serum, plasma maupun whole blood.

Beberapa keuntungan lain pemeriksaan Typhidot adalah kecil kemungkinan mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Maka bila dibandingkan dengan pemeriksaan Widal, sensitivitas Typhidot lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan pemeriksaan Widal positif . Selain itu pemeriksaan ini murah (karena membran nitroselulosa sedikit)

pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan karena banyak ditemukan nilai positif palsu. IgM anti S. Typhi hari ke 6-8, pemeriksaan ini hanya berlaku untuk demam tifoid. Bila negative tidak menyingkirkan kemungkinan demam paratifoid. (Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006)

 PENCEGAHAN Terdapat 3 pilar strategis yang menjadi program pencegahan yakni : 1. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid karena merupakan sumber penularan di masyarakat 2. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan 3. Perlindungan diri agar tidak tertular Ada beberapa kegiatan dalam aspek pencegahan dan pengendalian tifoid, diantaranya : a. Langkah-langkah strategis pencegahan karier, relaps dan resistensi tifoid Kasus seperti ini sehubungan dengan penanganan kasus tifoid yang tidak optimal adalah karier, relaps dan resistensi. Karir tifoid adalah seseorang yang selalu mengandung basil Salmonella sehingga menjadi sumber infeksi (penularan) untuk orang lain. Karier akan terjadi bila penderita tidak diobati atau pengobatan yang tidak adekuat atau ada faktor-faktor predisposisi pada penderita sehingga basil susah dimusnahkan dari tubuh. Kita anggap karier bila hasil kultur feses atau urin masih positif sampai 3 bulan setelah sakit dan

disebut karier kronik bila basil masih ada sampai 1 tahun atau lebih. Bila ada kasus karier harus diterapi dengan quinolon selama 4 minggu (siprofloksasin 2x750mg atau Norfloksasin 2x400 mg). Relaps adalah kambuh kembali gejala-gejala klinis demam tifoid setelah 2 minggu masa penyembuhan. Relaps terjadi sehubungan dengan pengobatan yang tidak adekuat, baik dosis atau lama pemberian antibiotika. Relaps dapat timbul dengan gejala klinis yang lebih ringan atau lebih berat. Resistensi adalah basil yang tidak peka lagi dengan antimikroba yang lazim dipakai. Timbul karena adanya perubahan atau mutasi genetika kuman, tanpa perubahan patogenitas dan virulensinya. Beberapa faktor yang menunjang kejadian resisten ini adalah : - Pemakaian antibiotika yang bebas oleh masyarakat (tanpa resep dokter) - Pemakaian antibiotika oleh dokter yang tanpa pedoman dan tanpa control - Pilihan antibiotika lini pertama yang kurang tepat - Dosis yang tidak tepat - Lama pemberian yang kurang tepat - Ada penyakit lain (komorbid) yang menurunkan imunitas, serta kelainan-kelainan yang merupakan predisposisi untuk karier tifoid. b. Perbaikan Sanitasi Lingkungan Upaya ini melibatkan banyak pihak dan sector. Beberapa hal yang menjadi masalah dalam kesehatan lingkungan adalah penyediaan air minum, pengawasan terhadap makanan dan air serta sistem pembuangan kotoran dan limbah. Beberapa usaha perbaikan sanitasi lingkungan adalah : - Penyediaan air bersih untuk seluruh warga, tidak tercemar oleh air limbah dan kotoran lain. Untuk air minum masyarakat membiasakan dengan memasak sampai mendidih. - Jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, tidak terkontaminasi oleh lalat dan serangga lain - Pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah harus benar sehingga tidak mencemari lingkungan. - Kontrol dan pengawasan terhadap kebersihan lingkungan, tatalaksana dengan baik dan berkesinambungan. - Membudayakan perilaku hidup bersih dan lingkungan bersih yang berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat.

c. Peningkatan Higiene Makanan dan Minuman

-

-

Transmisi utama basil Salmonella melalui air minum dan makanan. Perlu diingat adanya “Golden Rules of WHO” dalam promosi kesehatan : Pilih hati-hati makanan yang sudah diproses demi keamanan Panaskan kembali secara benar makanan yang sudah dimasak Hindarkan kontak antara makanan mentah demgan yang sudah dimasak Mencuci tangan dengan sabun Permukaan dapur dibersihak dengan cermat Lindungi makanan dari serangga, binatang pengerat dan binatang lainnya Gunakan air bersih atau air yang dibersihkan Menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengelolaan dan penyajian makanan sejak pengolahan, pendinginan sampai penyajian Mendorong menggunakan ASI untuk bayi, serta mendidihkan susu dan air yang akan digunakan sebagai makanan bayi Memasak atau pasteurisasi susu serta produk lainnya, serta supervise terhadap sanitasi produknya Melaksanakan quality controle terhadap semua hasil pertanian yang dimakan dan diminum Pengawasan terhadap restoran dan industry makanan Pendidikan kesehatan tentang tata cara hidup bersih dan sehat, terutama kegiatan cuci tangan yang benar

d. Peningkatan Higiene Perorangan Kegiatan ini adalah cici berperilaku hidup sehat. Budaya cuci tangan yang benar adalah kegiatan terpenting. Hal ini sangat penting jika kita kontak langsung dengan bayi atau anak-anak, bagi penyaji makanan di restoran atau warung dan juga bagi yang merawat dan mengasuh anak. e. Pencegahan Dengan Imunisasi Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid yakni : 1. Vaksin oral Ty 21a Vivotif Berna Vaksin yang mengandung Salmonella tyohi galur Ty 21a. Daya proteksi dilaporkan, ada yang mencapai 100% dan sayangnya di Indonesia hanya 36-66%. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu, satu jam sebelum makan. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang

demam, sedang minum antibiotic dan anak kecil dibawah 6 tahun. Lama proteksi dilaporkan selama 5 tahun. 2. Vaksin Parenteral sel utuh : Type Bio Farma Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap militernya. Dikenal 2 jenis vaksin yakni K Vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Daya proteksi K Vaccine adalah 79-89% dan L vaccine 51-66%. Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6-12 tahun 0,25 ml dan anak 1-5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama. 3. Vaksin Polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux Vaksin mengandung polisakarida Vi dari basil Salmonella. Mempunyai daya proteksi 60-70% pada orang dewasa dan anak diatas 5 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 ml yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dan buffer fenol isotonic. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusi, sedang demam dan anak kecil dibawah 2 tahun. (Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006)

 KOMPLIKASI Pada minggu ke-2 atau lebih, sering muncul komplikasi demam tifoid yang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi diantaranya :

a. Tifoid Toksik (Tifoid Ensefalopati) Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan gejala delirium sampai koma atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Analisa cairan otak biasanya dalam batas normal. b. Syok Septik Akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, karena bakteremia Salmonella. Disamping gejala-gejala tifoid juga penderita jatuh ke dalam fase kegagalan

c.

d.

e.

f.

vaskuler (syok). Tekanan darah turun, nadi cepat dan lemah, berkeringat serta akral dingin. Perdarahan dan Perforasi Intestinal Terjadi pada minggu ke-2 demam atau setelah itu. Perdarahan dengan gejala BAB berdarah (hematokezia) atau dideteksi dengan tes perdarahan (occult blood test). Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang dan nyeri tekan yang paling nyata terutama di bagian kuadran kanan abdomen. Suhu tubuh tiba-tiba menurun dengan peningkatan frekuensi nadi dan berakhir syok. Pada pemeriksaan perut didapatkan tanda-tanda ileus, bising usus melemah dan pekak hati menghilang, perforasi dapat dipastikan dengan pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Perforasi intestinal adalah komplikasi tifoid tang serius karena sering menimbulkan kematian. Peritonitis Biasanya menyertai perforasi, tetapi dapat terjadi tenpa perforasi. Ditemukan gejala-gejala abdomen akut yakni nyeri perut hebat, kembung serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas lebih khas untuk peritonitis. Hepatitis Tifosa Demam tifoid yang disertai gejala-gejala ikterus, hepatomegali dan kelainan tes fungsi hati dimana didapatkan peningkatan SGPT, SGOT dan bilirubin darah. Pada histopatologi hati didapatan nodul tifoid dan hiperplasi sel-sel kupffer. Pankreatitis Tifosa Merupakan komplikasi yang jarang teradi, gejala-gejalanya adalah sama dengan pancreatitis. Penderita nyeri perut hebat yang disertai mual dan muntah warna kehijauan, meteorismus dan bising usus menurun. Enzim amylase dan lipase meningkat.

g. Pneumonia Dapat disebabkan oleh basil Salmonella atau koinfeksi dengan mikroba lain yang sering menyebabkan pneumonia. Pada pemeriksaan didapatkan gejalagejala klinis pneumonia serta gambaran khas pneumonia pada foto toraks. h. Komplikasi Lain Karena basil Salmonella bersifat intra makrofag, dan dapat beredar keseluruhan bagian tubuh, maka dapat mengenai banyak organ yang menimbulkan infeksi yang bersifat fokal diantaranya : - Osteomielitis, arthritis - Miokarditis, perikarditis, endokarditis - Pielonefritis, orkhitis

-

Serta peradangan-peradangan di tempat lain (Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006)

DAFTAR PUSTAKA

Cita, Y. P. (2011). Bakteri Salmonella typhi dan Demam Tifoid . Jurnal Kesehatan Masyarakat , 6, 42-46.

Garna, H., & Nataprawira, H. M. (2014). Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bandung: Departemen/ SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin.

Nelwan, R. (2012). Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Continuing Medical Education , 247-250.

(2006). Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Pusat dan Data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.

Saputra, R. K., Majid, R., & Bahar, H. (2017). Hubungan Pengetahuan Sikap dan Kebiasaan Makan dengan Gejala Demam Tifoid pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo Tahun 2017. (F. K. Oleo, Ed.) Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat (JIMKESMAS) , 2, 1-7.

Sidabutar, S., & Satari, H. I. (2010). Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak. Sari Pediatri , 11, 434-439.

Related Documents

Demam
December 2019 30
Demam
May 2020 17
Demam Tifoid
June 2020 23
Demam Dengue.docx
April 2020 20
Demam Typoid.docx
October 2019 29
Demam+tifoid
October 2019 31

More Documents from "Elwiz Hutapea"