BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior (Corbridge, 2011). Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides (Corbridge, 2011).
(Dhingra, 2007)
Gambar 2.1 Anatomi Kavum Nasi
3
4
a. Dasar Hidung Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan os vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris major (Howard, 2005). b. Dinding Lateral Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os
maksila
serta
konka,
dan
di
posterior
terdapat
lamina
perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian terpending pada dinding lateral adalah empat buah konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior (Howard, 2005). Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media.
5
Resesus sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid (Howard, 2005). Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum dinamakan
hiatus
semilunaris.
Dinding
inferior
dan
medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal (Howard, 2005). Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril (Howard, 2005).
6
c. Septum Hidung
(Dhingra, 2007)
Gambar 2.2 Anatomi Septum Hidung Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina dan krista sfenoid (Howard, 2015). Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabangcabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak (Soepardi, 2012). Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga
7
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial (Soepardi, 2012).
(Dhingra, 2007)
Gambar 2.3 Vaskularisasi Hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media (Soepardi, 2012).
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (Dhingra, 2007; Soepardi, 2012).
8
(Dhingra, 2007)
Gambar 2.3 Inervasi Hidung 2.2 Fisiologi hidung Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal (Soepardi, 2012) 2.3 Definisi Rhinitis Alergi Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi, yang diperantarai oleh IgE dan dikarakteristikan oleh hidung tersumbat, rhinore, bersin-bersin, dan gatal hidung. Rhinitis alergi juga bisa didefinisikan sebagai peradangan lapisan dalam hidung
9
yang terjadi ketika seseorang menghirup sesuatu alergen, seperti bulu binatang atau serbuk sari (Michael, 2015). Definisi mnurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) adalah Rhinitis didefinisikan sebagai peradangan pada selaput hidung dan ditandai dengan gejala hidung termasuk rinorea anterior atau posterior, bersin, sumbatan hidung dan / atau gatal pada hidung. Gejala-gejala ini terjadi selama dua hari atau lebih berturut-turut selama lebih dari satu jam pada hampir setiap hari. Rhinitis alergi adalah bentuk paling umum dari rinitis non-infeksius dan berhubungan dengan respon imun yang dimediasi IgE terhadap alergen. Sering dikaitkan dengan gejala okular (Bousquet et al, 2008). 2.4 Epidemiologi Rhinitis Alergi Rinitis alergi adalah masalah kesehatan di seluruh dunia yang mempengaruhi orang dewasa dan anak-anak. Diperkirakan 400 juta orang menderita alergi rhinitis di seluruh dunia, yang mempengaruhi sekitar 20% dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat, dan hingga 40% pada populasi anakanak (Ramirez, 2012; Michael, 2015). Studi epidemiologis telah mengungkapkan bahwa prevalensi AR telah meningkat secara progresif di negara-negara yang lebih maju, dan saat ini mempengaruhi hingga 40% populasi di seluruh dunia dengan 23% -30% dari populasi yang terkena di Eropa dan 12% -30% dari individu yang terkena di Amerika Serikat (Zhang, 2014). 2.5
Etiologi Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara
10
jelas memiliki peran penting. Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi yaitu sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi (Dhingra, 2014). 1. Lingkungan Biasanya rhinitis alergi musiman (seasonal) ataupun sepanjang tahun (perennial). Alergen musiman berasal dari serbuk sari dari pohon, rumput dan gulma. Alergen tersebut bervariasi secara geografis dan iklim. Alergen sepanjang tahun hadir di seluruh tahun tanpa mempedulikan musim. Alergen tersebut termasuk jamur, tungau debu, kecoa dan bulu binatang. Debu termasuk tungau debu, bagian serangga, serat dan bulu hewan. Tungau debu hidup di lapisan kulit dan dapat ditemukan di tempat tidur, kasur, bantal, dan karpet. 2. Genetik Predisposisi genetik memainkan peranan penting. Peluang anak-anak mengembangkan alergi adalah 20 dan 47%, masing-masing, jika salah satu atau kedua orang tua menderita alergi. (Dhingra, 2014) Penyebab rhinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan (Soepardi, 2012). Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
11
merangsang, perubahan cuaca, dan obat-obatan tertentu yang dapat menyebabkan gejala rinitis (Peter, 2011; Dhingra, 2014). Berdasarkan cara masuknya allergen menurut Soepardi dkk, (2012) dibagi atas: 1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farina, B. tropicalia), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria). 2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacangkacangan. 3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah. 4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan . (Soepardi, 2012)
2.6
Klasifikasi Rhinitis Alergi Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi : 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen), rerumputan, dan spora jamur. 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang
12
paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) contoh : tungau dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiolgik pada golongan perineal lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih presisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan. Berdasarkan WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impac on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi: 1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. 2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk derajat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: 1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. 2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas. (Soepardi, 2012) 2.7 Patofisiologi
13
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptid dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar
14
mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Betul et al, 2011). Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam (Soepardi, 2012). Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
15
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal (Betul et al, 2011).
16
(Betul, 2011)
Gambar 2.4. Patofisiologi rhinitis alergi 2.8 Manifestasi Klinis
17
Gejala-gejala rinitis alergi setelah paparan aeroallergen termasuk rhinore, bersin-bersin, hidung gatal, obstruksi nasal
unilateral atau bilateral. Bahkan
mungkin ada gejala di organ lain seperti pada mata yaitu epifora, hiperemia dan pruritus. Pada faring dan laring juga dirasakan yaitu gatal dan kering. Gejala lain juga dapat terlihat telinga. Pada respon cepat ditandai oleh bersin-bersin dan pilek, sedangkan pada fase lambat
gejala yang dominan dirasakan yaitu hidung
tersumbat. Nyeri wajah dan hidung tidak bisa membau dapat juga terjadi karena banyak pasien dengan sinusitis menderita rinitis pada saat yang sama (Ramirez, 2012; Dhimgra et al, 2014). 1. Bersin-bersin Bersin disebabkan oleh iritasi histamin saraf sensorik (saraf trigeminal) di mukosa hidung, ditransmisikan ke pusat bersin pada medula oblongata. Efek iritasi dari histamin pada saraf sensorik ditingkatkan oleh alergi penyebab bersin. Sebenarnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis. (Dhingra et al, 2014; Kimihiro, 2014). 2. Watery Rhinorrea (Ingus Encer) Iritasi saraf sensorik di mukosa hidung menyebabkan stimulus pada saraf parasimpatik, yang dihasilkan dalam refleks bersin. Asetilkolin dilepaskan dari saraf parasimpatik. Histamin bertindak langsung
18
pembuluh mukosa hidung menyebabkan kebocoran plasma. Namun, itu hanya mempengaruhi 10% dari rhinorrhea. Paling banyak rhinorrhea disekresikan dari kelenjar hidung (Kimihiro, 2014). 3. Edema Mukosa Hidung Pembengkakan mukosa hidung disebabkan oleh edema interstitial di mukosa hidung, karena kebocoran plasma, dan pembuluh darah pada mukosa hidung tersumbat. Tindakan langsung mediator kimia, seperti histamin, PAF, prostaglandin D2, kinin, dan terutama leukotrien, sangat penting. Leukotrien dilepaskan dari infiltrasi sel inflamasil, khususnya eosinofil, memainkan peran penting pada pembengkakan mukosa hidung, diamati pada fase akhir. Dengan demikian, reaksi fase awal rinitis alergi disebabkan oleh perantara IgE antibodi, reaksi antigenantibodi tipe I. Kemudian, infiltrasi sel-sel inflamasi menginduksi reaksi fase akhir. Iritasi antigen berkelanjutan menyebabkan lesi kronis (Kimihiro, 2014). Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita Gejala lain yang tidak khas dapat berupa:
19
batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip (Dhingra et al, 2014). Banyak kondisi yang berhubungan dengan rhinitis alergi termasuk asma, konjungtivitis alergi dan dermatitis atopi. Asma dan rhinitis alergi sering sekali mempunyai gejala klinis yang sama, karena itu kedua penyakit tersebut disebut sebagai “Chronic Allergic Respiratory Syndrome”. Hipotesis “One Airway” menyebutkan bahwa saluran nafas atas dan bawah sangat berhubungan apabila terdapat suatu penyakit alergi yang mengenai salah satu sistem pernafasan tersebut. Inflamasi bronkus merupakan hasil dari alergen yang masuk ke hisung pada pasien dengan rhinitis alergi dan asma. Pada pasien asma bisa terjadi infiltrasi eosinofil pada mukosa hidung tanpa adanya gejala dari rhinitis alergi (Nina et al, 2012). Pada konjungtivitis alergi manifestasi yang terjadi adalah gatal, epifora, edema, hyperemia dan fotofobia. Biasanya pada konjungtivitis alergi sering terjadi rhinitis alergi yang disebut dengan rhinokonjungtivitis alergi. Lebih dari 80% anak-anak dengan dermatitis atopi akan bisa berkembang menjadi rhinitis alergi atau asma dikemudian hari. Hal tersebut ditemukan pada dermatitis atopi yang lebih dikenal dengan “Eczema” (Nina et al, 2012). 2.9
Diagnosis Diagnosis rinitis alergi didasarkan pada riwayat gejala khas alergi
(anamnesis), pemeriksaan fisi, tes diagnostik (pemeriksaan penunjang). 2.9.1 Anamnesis Anamnesis sangat penting karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 505 diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
20
saja. Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses pembersihan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan kadangkadang pada Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) sebagai akibat dilepaskannya histamine. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai banyak air mata yang keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Soepardi, 2012). 2.9.2 Pemeriksaan Fisik Pada
rhinoskopi
anterior
yaitu
pemeriksaan
sederhana
dapat
mengungkapkan eksternal dan internal deformitas septum hidung. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala presisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Rhinoskopi posterior dilakukan dengan cermin ditempatkan di bawah palatum molle akan menunjukkan mukosa berwarna kebiruan atau pucat, edema, rhinorrhea, postnasal drip dan polyposis dalam kasus rinitis alergi aktif. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan jika fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini diseut allergic shiner. Selain itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan
21
ini disebut sebagai allergic salute. Kadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). Juga perlu mengevaluasi epifora dan injeksi konjungtiva (Ramirez, 2012; Soepardi, 2012). 2.9.3 Skin Test Skin test hipersensitivitas tipe cepat secara luas digunakan untuk menunjukkan reaksi alergi yang diperantarai IgE pada kulit. Tes-tes ini merupakan alat diagnostik utama di bidang alergi. Jika dilakukan dengan benar, mereka menghasilkan bukti konfirmasi yang berguna untuk diagnosis alergi tertentu. Karena ada banyak kompleksitas dalam kinerja dan interpretasi skin test, dianjurkan bahwa skin test harus dilakukan oleh profesional kesehatan yang terlatih. Tes hipersensitivitas tipe lambat memberikan sedikit informasi (Bousquet et al, 2008). Beberapa metode pengujian kulit (skin test) yang tersedia : 1. Scratch Tests (Tes Goresan) Scratch test (tes goresan) seharusnya tidak lagi digunakan karena reproduktifitas yang buruk dan kemungkinan reaksi sistemik. 2. Prick and puncture tests (Tes Tusuk) Prick and puncture tests (Tes Tusuk) direkomendasikan untuk diagnosis alergi tipe cepat karena ada korelasi tingkat tinggi antara
22
gejala dan metode provokatif. Tes tusuk kulit yang dimodifikasi diperkenalkan oleh Pepys adalah referensu metode saat ini. Tes tusukan dengan berbagai peralatan diperkenalkan untuk menurunkan variabilitas tes tusukan kulit. Tes tusukan harus dilakukan sesuai dengan metodologi yang ketat. Tes ini dilakukan dengan membubuhkan beberapa tetes alergen berbeda, larutan histamin (kontrol positif), dan pelarut (kontrol negatif) pada daerah volar lengan bawah. Jarum ditusukkan ke epidermis. Hasil reaksi dibaca dalam 15 menit. Kriteria pembacaan (ARIA) yaitu hasil positif satu (+1) apabila indurasi berdiameter 1 mm lebih besar dari diameter kontrol negatif, (+2) indurasi berdiameter 1-3 mm lebih besar dari diameter kontrol negatif, (+3) indurasi berdiameter >3 mm lebih besar dari diameter kontrol negatif disertai flare, dan (+4) indurasi berdiameter >5 mm dari diameter kontrol negatif disertai flare. Hasil tes cukit kulit terhadap makanan positif menunjukkan kemungkinan alergi makanan yang diperantarai IgE hanya 50% (akurasi prediksi positif <50%). Namun, hasil uji cukit kulit negatif menyingkirkan kemungkinan alergi makanan yang diperantarai IgE (akurasi prediksi negatif >95%). Bila uji cukit kulit negatif, tetapi pada anamnesis diduga kuat ada sindrom alergi mulut, dapat dilakukan uji menggunakan zat makanan tersangka dalam bentuk segar, misalnya susu sapi segar dan putih telur segar, langsung pada bibir atau mulut. 3. Intradermal Skin Test
23
Tes kulit intradermal dapat digunakan untuk diagnosis alergi dalam beberapa kasus (misalnya larutan alergen lemah). Intradermal skin test biasanya tidak diperlukan untuk diagnosis alergi inhalasi ketika ekstrak standar tersedia karena intradermal skin test berkorelasi kurang baik dengan gejala. Intradermal skin test mungkin menginduksi beberapa reaksi positif yang salah. Jenis tes kulit ini kurang aman untuk dilakukan karena reaksi sistemik dapat terjadi meskipun jarang. 4. Prick-Prick Test Prick-prick test yaitu test tusuk dengan makanan segar diperkenalkan untuk mengurangi standardisasi yang buruk dari ekstrak makanan yang tersedia secara komersial. Meskipun menarik, tes ini tidak standar dan harus dibatasi untuk makanan yang tidak tersedia alergen rekombinan. 5. Atopy Patch Tests Atopy Patch Test melibatkan tes patch (tes temple) epikutan dengan alergen yang diketahui dapat memicu reaksi yang diperantarai oleh IgE. Reagen komersial tersedia untuk beberapa alergen. Atopy Patch Test memiliki standarisasi baku mengenai pembawa dan dosis Sebagian pasien dengan dermatitis atopik hanya menunjukkan uji positif patch atopi sedangkan IgE spesifik untuk alergen yang sama tetap negatif. Mengenai alergi makanan, uji tempel atopi masih membutuhkan standardisasi. Mungkin juga sulit untuk membedakan antara reaksi iritasi dan alergi. (Bousquet et al, 2008)
24
2.9.4 Pemeriksaan Penunjang Tes in vivo dan in vitro yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit alergi diarahkan untuk mendeteksi IgE bebas atau terikat pada sel.
(Bousquet et al, 2008)
Gambar 2.5 Diagnosis Alergi dengan Perantara IgE 1. In Vitro : Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga menderita juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test). Pemeriksaan sitologi
25
hidung dan secret hidung atau kerokan mukosa walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukan eosinophil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basophil (> 5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Soepardi, 2012). 2. In Vivo : Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Soepardi, 2012). Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namunsebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”) (Soepardi, 2012). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 2 minggu. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Soepardi, 2012). 2.10 Diagnosis Banding
26
1. NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) dapat disingkirkan bila tes kulit menunjukkan positif terhadap alergen lingkungan. Penyebab keluhan pada NARES adalah alergi pada makanan. Rhinitis vasomotor dapat dibedakan dengan rhinitis alergi dengan keluhan bersin pada perubahan suhu ekstrim, rokok, tidak terdapat gatal pada mata, udara lembab, hidung tersumbat pada posisi miring dan bergantian tersumbatnya. Selain itu mukosa yang pucat atau merah gelap, licin, edema juga mendukung rhinitis vasomotor. Pada tes kulit bernilai negatif. 2. Rhinitis Vasomotor 2.11 Penataksanaan 2.12 Komplikasi 1. Polip Hidung Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung 2. Otitis Media Efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak. 3. Rhinosinusitis (Soepardi, 2012) 2.13 Prognosis Secara umum, pasien dengan rhinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rhinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis
27
dan telinga yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rhinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh (Miller, 2002).