55712_paper Restrain Bedah1fix.pdf

  • Uploaded by: Andy
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 55712_paper Restrain Bedah1fix.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 14,919
  • Pages: 48
TUGAS MATA KULIAH ILMU BEDAH UMUM VETERINER

“RESTRAIN FISIK DAN KIMIA PADA ANJING” KELOMPOK 1 (2016 C) Baiq Indah Pratiwi

1609511001

Yoga Mahendra Pandia

1609511005

Dimas Norman Medellu

1609511013

Pieter Mbolo Maranata

1609511016

Audrey Febiannya Putri Bhaskara

1609511023

Ghina Monita Pramuditha

1609511025

Ike Siwi Widyaningtiyas

1609511026

Ni Putu Nicky Mirahsanti

1609511028

I Gede Dharma Putra

1609511029

Velia Chyntia Victoria

1609511033

LABORATORIUM BEDAH VETERINER FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2019 i

RINGKASAN Restrain adalah proses pencegahan suatu aksi atau gerakan yang mencakup pencegahan gerakan dengan bahan kimia atau kekuatan fisik. Restrain dibedakan menjadi restrain fisik dan restrain kimia. Restrain fisik adalah pengendalian hewan dengan memakai

tangan

atau

dengan bantuan alat,

sedangakan restrain kimia adalah pengendalian hewan dengan menggunakan bahan- bahan

kimia. Tujuan dari restrain antara lain, untuk memudahkan

pemeriksaan fisik, termasuk tetes mata dan pemeriksaan rektal, untuk mengelola lisan, bahan suntik, dan topikal, untuk menerapkan perban, untuk melakukan prosedur tertentu (misalnya kateterisasi urin), dan untuk mencegah melukai diri sendiri

SUMMARY Restrain is the process of preventing an action or movement that includes preventing movement with chemical or physical substances.

Restrain is

differentiated into physical restrain and chemical restrain. Physical restrain is the control of animals by hand or with the help of a tool, while chemical restrain is the control of animals using chemicals. The purpose for the restrain is to facilitate drops

and

rectal

physical

examination,

includes

giving

eye

examinat io n, to manage oral, injectable, and topical

ingredients, to apply bandages, to perform certain procedures (such as urine catheterization), and to prevent self-injury.

ii

KATA PENGANTAR Om Swastiastu, Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kertha wara nugraha dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan paper ilmu bedah : restrain pada anjing. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikanya paper ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna dalam penyajian bahasa serta wawasan yang ada. Maka dari itu kami mengharapkan saran demi kemajuan dalam penulisan paper selanjutnya. Akhir kata penulis berharap agar karya tulis ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi pihak-pihak yang memerlukan. Atas perhatiannya, terima kasih. Om Santih, Santih, Santih Om Denpasar, Februari 2019

Penulis

iii

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................... RINGKASAN ...................................................................................... KATA PENGANTAR ......................................................................... DAFTAR ISI ....................................................................................... DAFTAR GAMBAR ........................................................................... BAB I. PENDAHULUAN ................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................. 1.2 Tujuan Penulisan .............................................................. 1.3 Manfaat Penulisan ............................................................ BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 2.1 Ilmu Bedah ....................................................................... 2.2 Anjing .............................................................................. 2.3 Pengertian Restrain ........................................................... 2.4 Tujuan Restrain ................................................................ BAB III. PEMBAHASAN ................................................................... 3.1 Restrain Fisik Anjing ........................................................ 3.2 Restrain Kimia Anjing ...................................................... BAB IV. PENUTUP ............................................................................ 4.1 Kesimpulan ...................................................................... 4.2 Saran ................................................................................ DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... LAMPIRAN ........................................................................................

i ii iii iv v 1 1 2 2 3 3 3 4 5 6 6 11 13 13 13 14 15

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Taksonomi Anjing ................................................................ 3 Gambar 2. Cara Membawa Anjing Kecil ................................................ 7 Gambar 3. Cara Membawa Anjing Besar ............................................... 8 Gambar 4. Cara Memegang Kepala Anjing ............................................ 8 Gambar 5. Cara Menimbang Anjing ....................................................... 8 Gambar 6. Restrain Rebah Lateral.......................................................... 9 Gambar 7. Restrain Moncong Menggunakan tali .................................... 9 Gambar 8. Restrain Anjing Dengan Posisi Duduk .................................. 10 Gambar 9. Restrain Anjing Dengan Posisi Berdiri .................................. 10 Gambar 10 Restrain Kimia Metode IV & IM. ........................................ 12

v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Anjing dikenal sebagai hewan kesayangan yang memiliki nilai khusus bagi manusia. Pada umumnya, anjing memiliki sifat dasar anjing yang mudah dipelihara dan mudah menyesuaikan diri. Anjing juga memiliki kecerdasan dan pengabdian yang cukup tinggi pada tuannya. Hewan ini banyak dijadikan peliharaan manusia sehingga tingkat kesejahteraannya mendapat perhatian yang cukup bagus dari pemiliknya. Beberapa tindakan medis sering dilakukan pada anjing baik untuk perawatan, kesehatan maupun untuk penampilannya (cosmetic surgery). Salah satu tindakan medis yang bisa digunakan adalah dengan penerapan ilmu bedah. Ilmu bedah merupakan bagian dari terapi untuk menyembuhkan gangguan dengan menggunakan alat. Prosedur dalam kedokteran yang melibatkan pemotongan jaringan pasien atau penutupan luka secara berkelanjutan maka dianggap sebagai bidang ilmu bedah. Dalam pembedahan atau operasi hewan, kita memerlukan tindakan restrain (handling) terlebih dahulu untuk menenangkan hewan tersebut serta tidak melukai handler dalam hal ini dokter hewan maupun hewan itu sendiri. Terdapat dua metode restrain, yaitu restrain fisik dan restrain kimia. Restrain fisik dapat dilakukan ketika hewan masih dalam jangkuan pengendalian handler dengan bantuan alat seperti tali dan pita moncong,. Sedangkan, restrain kimia digunakan jika pembedahan (operasi) melibatkan organ dalam maupun pembedahan tulang (ortopedi), dengan menggunakan agen farmakologis (obat-obatan). Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan sebelum melakukan pembedahan, maka diperlukan pemahaman lebih lanjut bagi seorang dokter hewan mengenai tindakan restrain, khususnya pada anjing. Oleh karena itu, penulis mengangkat paper yang berjudul “Restrain Fisik dan Restrain Kimia pada Anjing”.

1

1.2 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui pengertian, tujuan, dan metode restrain secara umum. 2. Untuk mengetahui teknik restrain fisik pada anjing. 3. Untuk mengetahui teknik dan obat – obatan yang digunakan untuk restrain kimia pada anjing.

1.3 Manfaat Penulisan 1. Melatih penulis untuk dapat berpikir secara sistematis serta mendapatkan pengetahuan mengenai restrain fisik dan kimia pada anjing, sekaligus untuk memenuhi nilai dari tugas mata kuliah Ilmu Bedah Umum Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. 2. Bagi pembaca, diharapkan dapat memberikan referensi mengenai restrain fisik dan kimia pada anjing.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ilmu Bedah Ilmu bedah adalah cabang ilmu pengobatan atau terapi yang bertujuan untuk memulihkan keadaan normal suatu penyakit atau gangguan. Tindakan pembedahan dilakukan dengan menggunakan alat. Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang dilakukan dengan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian dari tubuh pasien yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan menggunakan sayatan. Tindakan pembedahan ini diakhiri dengan suatu tindakan perbaikan dengan cara menutup dan menjahit luka.

2.2 Anjing Anjing merupakan salah satu hewan peliharaan yang sudah dapat hidup berdampingan dengan manusia. Berdasarkan taksonomi, anjing digolongkan dalam ordo Carnivora dan temasuk keluarga Canidae. Famili Canidae ini dibagi menjadi 4 grup yaitu Canis(grup anjing), Vulpes (grup rubah, kecuali rubah abu-abu), Dusycyon(grup culpeo), dan Bush dog( mencakup jenis anjing lainnya). Anjing termasuk dalam genus Canis, satu genus dengan wolf(serigala), coyote, jackal dan dingo (Encyclopedia Britannica,Inc 2013).

Gambar 1. Taksonomi Anjing Sumber : Encyclopedia Britannica,Inc (2013)

3

Anjing telah berkembang menjadi ratusan ras dari berbagai macam variasi, mulai dari anjing dengan tinggi badan beberapa puluh cm hingga anjing dengan tinggi badan mencapai lebih dari satu meter. Warna dan jenis rambut pada anjing beraneka ragam (ada yang pendek, Panjang, lurus dan ada yang keriting). Anjing memiliki berbagai karakter, mulai dari setia, cerdas, ramah, bahkan ada yang galak. Melihat dari karakter anjing tersebut, apabila terdapat masalah kesehatan yang perlu dilakukan tindakan pembedahan, maka seorang dokter hewan harus melakukan restrain terlebih dahulu yang bertujuan untuk meminimalisir terjadinya cedera pada hewan maupun pada manusia saat akan melakukan pembedahan.

2.3 Definisi Restrain Restrain dan casting merupakan suatu yang sangat mendasar yang perlu dipahami dalam suatu tindakan pembedahan pada hewan, di smaping mengetahui tentang dasar-dasar ilmu bedah itu sendiri. Dalam suatu tindakan pembedahan terutama pada hewan besar, ada kalanya restrain dan casting ini mutlak diperlukan. Restrain adalah pembatasan aktivitas hewan dengan verbal, fisik, atau farmakologis. Artinya sehingga hewan tersebut dicegah dari melukai dirinya sendiri atau orang lain. Merestrain anjing secara paksa berbahaya untuk kedua handler dan hewan. Oleh karena itu pemiliknya sangat baik untuk menangani dengan aman dan manusiawi dengan lembut dan meminimalisir pengendalian fisik. (Andayani,2012). Restrain pada hewan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :

 Restrain Fisik : Dilakukan dengan menggunakan bantuan alat atau menggunaan fisik hewan itu sendiri sebagai sarana. Dalam melakukan restrain fisik perlu dibekali dengan keberanian, sikap waspada dan tidak boleh ragu-ragu. 

Restrain Kimiawi : Dapat dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia, misalnya sedativa dan tranquilizer. Perlu diperhatikan dalam pemberian restrain secara kimiawi, karena ada kemungkinan obat-obatan yang digunakan bisa berpengaruh fatal terhadap pasien karena obat yang digunakan merupakan kontraindikasi

4

2.4 Tujuan Restrain Restrain umumnya dilakukan untuk tujuan pemeriksaan atau diagnostik, tetapi dapat juga dilakukan untuk tujuan medical theraphy sebelum atau sesudah dilakukan tindakan pembedahan.(Sudisma, 2016). Adapun tujuan lainnya dari restrain sebagai berikut: 1) Untuk memudahkan pemeriksaan fisik, termasuk tetes mata dan pemeriksaan rektal, 2) Untuk mengelola lisan, bahan suntik, dan topikal, 3) Untuk menerapkan perban, 4) Untuk melakukan prosedur tertentu (misalnya kateterisasi urin), dan 5) Untuk mencegah melukai diri sendiri (Elizabeth collar). Tetapi strain pada anjing juga beresiko menyebabkan: Dyspnea, Hyperthermia, Trauma jaringan (mis. otot lurik), dan stress. (Andayani,2012).

5

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Restrain Fisik Pada Anjing Restrain adalah cara menguasai hewan dengan bantuan alat agar hewan dapat lebih mudah diberi perlakuan dengan cara aman baik untuk pemeriksa dan hewan itu sendiri (McCurnin, 1985). Restrain fisik yaitu pengendalian hewan dengan memakai tangan atau dengan bantuan alat. Pengendalian dengan cara ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 1. Mengalihkan perhatian Untuk mempermudah pengendalian hewan maka perhatian hewan harus kita alihkan, sehingga hewan akan terlena dengan cara :

a) Memberikan makanan b) Memanggil nama si hewan c) Suara-suara yang menarik perhatian d) Suatu alat permainan

2. Perangkap/ Confinement a) Perangkap dibuat sedemikian rupa sehingga jika hewan telah terperangkap ke dalam dengan sendirinya perangkap akan tertutup. b) Biasanya di dalam perangkap diberikan makanan kesukaan hewan tersebut. c) Perangkap ini digunakan untuk hewan-hewan yang akan dipindahkan tanpa pemeriksaan langsung. d) Alat ini sebaiknya aman dan tidak membuat hewan merasa stres.

3. Mengikat tali/ Rope work a) Tali adalah salah satu alat untuk mengendalikan hewan yang paling tepat. b) Tali bisa berasal dari serabut kulit pohon, kapas, kulit hewan, rambut/ bulu, sutera dan serabut sintesis. c) Tali ini bisa dianyam sedemikian rupa siap menjaring mangsanya.

6

4. Rintangan fisik a) Rintangan fisik dapat digunakan untuk melindungi (tangkai pelindung) atau tangkai penutup yang terdekat tanpa membahayakan. b) Rintangan ini bisa berupa plastik atau papan kayu dan papan kayu ini biasanya digunakan untuk menggiring binatang. 5.

Kekuatan fisik/ Phycal Force a)

Pengendalian hewan melalui kekuatan fisik ini yang paling penting adalah memakai tangan baik tangan telanjang maupun dengan bantuan alat seperti elektroshocker.

b) Sebelum menghendel sebaiknya menggunakan sarung tangan, yang berasal dari katun (catton gloves) untuk hewan pengerat kecil. Kulit kasar (coarse leather gloves) untuk jenis primata, burung dan binatang penggigit lainnya.

Berikut beberapa contoh cara restrain fisik, yaitu : a.

Cara Membawa Anjing Kecil (Anak)

Gambar 2. Cara Membawa Anjing Kecil  Berdiri di sebelah kiri anjing  Tangan kanan memegang bagaian dada  Jari telunjuk diselipkan diantara kedua kaki depan  Kulit dipegang di bagian punggung dan diangkat dengan tangan kiri  Badan anjing dikempit di pinggang dan lengan depan.

7

b.

Cara Membawa Anjing Besar (Induk)

Gambar 3. Cara Membawa Anjing Besar  Berdiri disebelah sisi kiri/ kanan anjing  Kedua tangan dan lengan merangkul  Tubuh anjing dengan keempat kakinya dalam rangkulannya c.

Cara Memegang Kepala Anjing Untuk Pemeriksaan Lebih Lanjut

Gambar 4. Cara Memegang Kepala Anjing 

Berdiri dibelakang anjing



Kedua ibu jari bertemu di keningnya



Keempat jari melingkari rahang

d. Cara Menimbang Anjing

Gambar 5. Cara Menimbang Anjing  Dibuat lingkar tali  Dikalungkan pada lehernya 8

 Ditarik tali diantara kedua kaki depan  Masing-masing tali ditarik ke atas  Kemudian dipasangkan dengan timbangan gantung e.

Cara Memegang Anjing di Atas Meja/ Restrain Rebah Lateral

Gambar 6. Restrain Rebah Lateral  Anjing dibaringkan pada salah satu sisinya  Jari tangan diselipkan diantara kaki depan dan belakang  Kedua kaki masing-masing ditarik ke cranial dan ke caudal f.

Restrain Moncong Menggunakan Tali

Gambar 7. Restrain Moncong Menggunakan tali Pastikan ukuran moncong yang akan dibrangus sudah tepat dan tali pengikatnya juga sudah pas. Dekati anjing dari samping atau dari belakang. Pegang tengkuk dibelakang telinga dengan erat (bisa dengan bantuan asisten). Ikatkan tali melalui moncong anjing dan buat simpul di bawah moncong. Kemudian lanjut dengan simpul ikatan di belakang kepala dengan kuat dan kencang (Crow, 2009).

9

g.

Restrain Anjing Dengan Posisi Duduk

Gambar 8. Restrain Anjing Dengan Posisi Duduk Tempatkan satu tangan di bawah leher anjing sehingga lengan memegang kepala anjing aman terhadap restrainer tubuh. Tempatkan lengan lain di sekitar kaki belakang untuk mencegah anjing dari berdiri atau berbaring selama prosedur. Menarik anjing dekat dengan dada lebih memungkinkan kontrol jika binatang itu mencoba untuk bergerak (Crow, 2009). h.

Restraint Anjing Dengan Posisi Berdiri

Gambar 9. Restrain Anjing Dengan Posisi Berdiri Tempatkan satu tangan di bawah leher anjing sehingga memegang lengan kepala anjing aman. Kepala harus sedemikian rupa sehingga tidak mungkin untuk anjing menggigit salah satu pemegang atau orang melakukan prosedur. Tempatkan lengan di bawah perut untuk mencegah anjing dari duduk atau berbaring selama. prosedur. Menarik anjing dekat tubuh untuk memungkinkan kontrol lebih jika binatang itu mencoba untuk bergerak (Crow, 2009).

10

3.2 Restrain Kimia Pada Anjing Restrain kimia adalah usaha dalam mengendalikan hewan dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Tujuan pengendalian dengan bahan kimia adalah untuk menghilangakan/mengurangi kesadaran hewan yaitu mulai dari tertidur sampai dengan hewan terbius (Posner et al., 2013) . Bahan-bahan yang digunakan dalam restrain kimia ini bermacam-macam menurut sifat dan jenis hewan yang akan ditangani, Misalnya : Bahan kimia yang bersifat sedative : 1. Promazine hydrochloride: anjing, kucing, burung 2. Xylazine hydrochloride (rompun): kuda, sapi, domba, anjing, kucing, burung 3. Morphin: anjing, kucing 4. Meperidine hydrochloride (demerol): anjing dan kucing Bahan kimia yang bersifat anastetik : 1. Ketamine hydrochloride: anjing, kucing, kelinci, monyet dan burung 2. Penthobarbital sodium: anjing, kucing 3. Chlorahydrat: kuda 4. Acepromazine dengan ketamine 5. Diazepam dengan ketamine

Restrain kimia dengan pemberian obat pada anjing biasanya menggunakan acepromazine, medetomidine, ketamin dan xylazine (Lane & Cooper, 1994), obatobatan tersebut diberikan melalui IV,IM ataupun secara oral. Dalam penggunaan ketamin sebagai agen anestetika mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya yaitu mulai kerja (onset of action) relatif cepat dan efek analgesik yang kuat serta aplikasinya cukup mudah, yaitu dapat diinjeksikan secara intramuskuler (Putra Pemayun et al.,2018). Namun ketamin

mempunyai

kelemahan yaitu tidak terjadi relaksasi otot yang baik sehingga dapat menimbulkan kekejangan dan depresi ringan pada saluran respirasi. Oleh karena itu untuk mengurangi efek samping ketamin tersebut penggunaannya perlu dikombinasikan dengan obat premedikasi yang memiliki efek relaksasi yang kuat seperti diazepam, midazolam, medetomidine, atau xilazin (Kilic dan Henke, 2004). Tetapi, penggunaan ketamin-xylazine secara IV dapat menyebabkan depresi pernafasan 11

yang menyebabkan meningkatnya frekuensi pernafasan disaat masa sedasi dan kembali menaik disaat masa recovery jika digunakan pada dosis tinggi (Sayuti, Arman et al.,2016). Karena efek dari ketamin-xilazin ini maka penggunaannya tidak dianjurkan untuk anjing yang menderita gangguan pernafasan walaupun memiliki batas keamanan yang luas jika diberikan secara intramuskulus (Seahorn, 2001; Greene, 2002; Sardjana dan Diah, 2004). Sedangkan jika xylazine dikombinasikan dengan ketamin hidroksida, menurut penelitian Dharmayuda et al.(2012) akan menyebabkan peningkatan nilai CRT. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan pada pusat vasomotor di bagian perifer yang menyebabkan vasodilatasi.

Gambar 10. Restrain kimia metode IV & IM (Sumber : Lane,D., & Cooper, B. 1994)

12

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Restrain merupakan sebuah teknis untuk membatasi aktifitas hewan secara verbal ,fisik, maupun farmakologis agar hewan tersebut tidak dapat menyakiti dirinya sendiri maupun orang lain. Jenis-jenis restrain yang dapat dilakukan untuk hewan ini meliputi restrain berdiri, restrain duduk, , restrain moncong menggunakan tali, restrain rebah lateral . Selain beberapa teknik yang telah disebutkan, ada beberapa teknik lain yang yang digunakan untuk beberapa keadaan tertentu seperti restrain uuntuk venipuntur. Restrain untuk pemberian obat

dan

pemeriksaan mata dan optalmik, dan restrain untuk injeksi.

4.2 Saran Untuk merestrain anjing sebaiknya dilakukan oleh owner atau pemilik anjing untuk mengurangi resiko tergigit oleh anjing tersebut. Bisa juga menggunakan tali dengan mengikat moncong mulutnya. untuk penanganan anjing liar bisa digunakan restrain kimia untuk mencegah terjadinya penularan virus rabies.

13

DAFTAR PUSTAKA Andayani, Candra, N. 2012. Pemeriksaan Anjing. UGM. Yogyakarta Crow. Steven. E. 2009. Manual of Clinical Procedures in Dog, Cats, Rabbits, and Rodents. Wiley Blackwell. Encyclopedia Britannica. 2013. Encyclopedia Britannica. Inc. [online], available : http://www.britannica.com/EBchecked/media/15460/Stephen-Halesmeasuring- the-blood-pressure-of-a-mare-by. Diunduh 16 Februari 2019. Dharmayudha, O., I.W. Gorda, dan J. Wardhita. 2012. Perbandingan Anestesi Xilazin-Ketamin Hidroklorida dengan Anestesi Tiletamin-Zolazepam terhadap Frekuensi Denyut Jantung dan Pulsus Anjing Lokal. Fakultas Kedokteran Hewan UNUD. Denpasar. Greene, N. and A. Stephen. 2002. Veterinary Anesthesia and Pain Management Secrets. Hanley & Belfus, Philadelphia, USA Kilic N, Henke J. 2004. Comparative Studies On The Effect Of S(+)-Ketaminmedetomidine and Racemic-Ketamin-Medetomidine In Mouse. YYU Vet Fak Derg 15(1-2): 15-17. Lane,D., & Cooper, B. 1994. Veterinary Nursing 5th Ed. UK: Pergamon. McCurnin, D. 1985. Clinical Textbook for Veterinary Technicians. London: W. B. Saunders Company. Sardjana, I.K., Wiarsa and K. Diah. 2004. Anestesi Veteriner. Jilid I. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Seahorn, J.L.C. 2001. The Practical Veterinarian Veterinary Anesthesia. Butterworth-Heinemann. Woburn, MA, USA Sayuti, Arman.,Maulizar, Ria.,Syafruddin,Erwin, Frengky,Muttaquen, Panjaitan, Budianto.,dan Zuraidawati. 2016. Efek Penggunaan Ketamin-Xilazin dan Prppofol Terhadap Denyut Jantung dan Pernafasan Pada Anjing Jantan Lokal (Canis familiaris). Jurnal Medika Veterinaria.10 : 34 – 36. Putra Pemayun, I G.A.G.,Winata Sindhu, I G.A.,dan Jaya Wardhita, A A.G. Waktu Induksi, Durasi, dan Pemulihan Anastesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin secara Subkutan pada Anjing Lokal. Indonesia Medicus Veterinus. 7(6) : 652 – 663. Posner, Lysa P., Jennifer, Willcox, and Suter, Steven., Case Report Apheresis in Three Dogs Weighing <14 kg. 2013. Veterinary Anaesthesia and Analgesia. 40 : 403 – 409 . Sudisma, I.G.N. et all. 2016. Ilmu Bedah Veteriner dan Teknik Operasi. Universitas Udayana. Denpasar

14

Jurnal Medika Veterinaria ISSN : 0853-1943

Vol. 10 No. 1, Februari 2016

EFEK PENGGUNAAN KETAMIN-XILAZIN DAN PROPOFOL TERHADAP DENYUT JANTUNG DAN PERNAFASAN PADA ANJING JANTAN LOKAL (Canis familiaris) Effect of Ketamine-Xylazine and Propofol on Heart Rate and Breathing Frequency of Local Male Dog (Canis familiaris) Arman Sayuti1, Ria Maulizar2, Syafruddin1, Erwin1, Frengky1, Muttaqien3, Budianto Panjaitan1*, dan Zuraidawati1 1

Laboratorium Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah, Banda Aceh Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3 Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Corresponding author: [email protected]

2

ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek penggunaan ketamin-xilazin dan propofol terhadap denyut jantung dan pernafasan pada anjing jantan lokal (Canis familiaris). Anjing yang digunakan sebanyak enam ekor dengan jenis kelamin jantan dengan berat badan 2-3 kg yang dibagi ke dalam dua kelompok perlakuan. Sebelum diberi anestesi, masing-masing kelompok diberikan premedikasi atropin sulfat dengan dosis 0,04 mg/kg bobot badan secara subkutan. Kelompok I (K1) diberi anestesi kombinasi ketamin-xilazin dengan dosis ketamin 5,5 mg/kg bobot badan dan xilazin 1 mg/kg bobot badan secara intravena. Kelompok II (K2) diberi propofol dengan dosis 6,6 mg/kg bobot badan secara intravena. Kemudian denyut jantung dan pernafasan langsung dihitung dengan menggunakan stetoskop dan stopwatch setiap 10 menit. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis dengan analisis varian (Anava) dengan desain split-splot dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT). Pemberian ketamin-xilazin (K1) meningkatkan frekuensi pernafasan dan berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan pemberian propofol (K2). Interaksi antar waktu dan pengamatan antara K1 dengan K2 pada waktu pengamatan menit ke-30 (W3) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), sedangkan pada waktu pengamatan lainnya tidak ditemukan adanya perbedaan pada interaksi antar waktu dan pengamatan (P>0,05). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan efek pemberian ketamin-xilazin dan propofol terhadap frekuensi denyut jantung, tetapi berpengaruh terhadap frekuensi pernafasan pada anjing jantan lokal. ____________________________________________________________________________________________________________________ Kata kunci: ketamin-xilazin, propofol, anjing jantan lokal

ABSTRACT The purpose of this study was to determine the effect of using ketamine-xylazin and propofol on heart rate and breathing in local male dogs (Canis familiaris). Six male dogs with average body weight ±2-3 kg were divided into 2 treatment groups, each group was subcutaneously injected with of atropine sulfate at dose of 0.04 mg/kg as premedication prior to anesthetic administration. The first group (K1) was intravenously injected with anesthetic combination of ketamine-xylazine at dose of 5.5 mg/kg and 1 mg/kg, respectively. The second group (K2) was given propofol at dose of 6.6 mg/kg intravenously. The heart rate and breathing were directly calculated using stethoscope and stopwatch with 10 minutes interval. Data were analyzed statistically using analysis of variance (Anova) with split-splot design and if there is a difference between the two groups followed by least significant difference test (LSD). The administration of ketamine-xylazin (K I) significantly (P<0.05) increase the respiratory frequency compared to propofol administration (K2). The interaction between time and precise observation of K1 and K2 on 30 minute observation (W3) showed significant differences (P<0.05). While on other time observations did not reveal any differences in the interaction between time and observation (P>0.05). It can be concluded that there is no difference effects of given ketamine-xylazin and propofol against heart rate on local male dogs. But there was difference effect of administration ketamine-xylazin and propofol on respiratory frequency on local male dogs. ____________________________________________________________________________________________________________________ Key words: ketamin-xylazin, propofol, male local dogs

PENDAHULUAN Penggunaan anestesi dalam operasi pembedahan sering menyebabkan kesulitan-kesulitan yang mengancam jiwa pasien karena gangguan sirkulasi, respirasi, dan fungsi otak akibat dari jenis anestesi dan teknik anestesi yang tidak tepat. Ada tiga fungsi alat vital tubuh yang harus diamati selama anestesi yaitu sirkulasi, respirasi, dan kesadaran, karena apabila ketiga fungsi ini mengalami gangguan berat maka akan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat (Wirdjiadmodjo, 2000). Pada pelaksanaan operasi pembedahan, anestesiolog harus memilih anestesi yang sesuai untuk digunakan. Penggunaan anestesi kadang-kadang harus dikombinasikan antara anestesi umum yang satu 34

dengan anestesi umum lainnya, bahkan antara anestesi umum dengan obat psikotropik, yang bertujuan meminimalkan efek obat terhadap kerja jantung dan pernafasan (Drajat, 1986). Pemberian ketamin dapat menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak dan peningkatan tekanan darah intrakranial. Efek pada mata menimbulkan lakrimasi, nistagmus, dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis. Pada sistem kardiovaskuler dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah (Mulyana, 2007). Propofol (Dipprivan, Recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan pemekatan 1% (1 ml= 10 mg).

Jurnal Medika Veterinaria

Suntikan intravena propofol sering menyebabkan nyeri sehingga sebelum dilakukan penyuntikan terlebih dahulu diberikan lidokain 1-2 mg/kg bobot badan. Propofol merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anestesi intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Dipprivan. Propofol pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum, mengandung lesitin, gliserol, dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam etilen diamin tetra asetat atau sulfat tergantung pada pabrik pembuat obatnya (Anonimus, 2010). Propofol menyebabkan anestesi dengan kecepatan yang sama dengan barbiturat intravena, tetapi pemulihannya lebih cepat. Propofol mempunyai sifat anti-emetik. Obat ini tampaknya tidak menimbulkan efek kumulatif ataupun keterlambatan bangun setelah penggunaan jangka lama. Sifat dari obat yang menguntungkan ini menyebabkan penggunaan propofol secara luas sebagai komponen pada anestesi berimbang dan popularitasnya sebagai anestesi yang digunakan dalam rawat jalan. Obat ini juga efektif untuk memperpanjang sedasi pasien-pasien dalam kondisi gawat darurat. Propofol juga sangat baik digunakan sebagai agen untuk intubasi endotrakea tanpa pelumpuh otot. Propofol menjadi obat pilihan untuk induksi anestesi (Ohmizo et al., 2005). MATERI DAN METODE Anjing yang digunakan sebanyak enam ekor dengan jenis kelamin jantan dan berat badan 2-3 kg dibagi ke dalam dua kelompok perlakuan secara acak. Sebelum diberi anestesi, masing-masing kelompok diberikan premedikasi atropin sulfat dengan dosis 0,04 mg/kg bobot badan secara subkutan. Kelompok I (K1) diberi anestesi kombinasi ketamin-xilazin dengan dosis ketamin 5,5 mg/kg bobot badan dan xilazin 1 mg/kg bobot badan secara intravena. Kelompok II (K2) diberi propofol dengan dosis 6,6 mg/kg bobot badan secara intra vena. Denyut jantung dan pernafasan langsung dihitung dengan menggunakan stetoskop dan stopwatch setiap 10 menit. Data yang diperoleh dari hasil

Arman Sayuti, dkk

penelitian ini dianalisis secara analisis varian (Anava) dengan desain split-plot dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT). HASIL DAN PEMBAHASAN Rata-rata denyut jantung hewan percobaan untuk kedua kelompok perlakuan setelah penyuntikan kombinasi ketamin-xilazin dan propofol dalam tiap-tiap waktu pengamatan disajikan pada Tabel 1. Perlakuan, waktu pengamatan, dan interaksi antara waktu dan pengamatan menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap frekuensi denyut jantung anjing lokal. Ratarata jumlah frekuensi denyut jantung anjing lokal setelah penyuntikan kombinasi ketamin-xilazin (Tabel 1) adalah 252,67±4,04 pada menit ke-0 dan ini masih dalam batas normal denyut jantung anjing lokal, kemudian terus naik di atas normal pada menit ke-10 (263,00±12,00), lalu mulai menurun setelah menit ke10 sampai dengan menit ke-20 dan30 (249,33±10,69 dan 242,67±13,80). Uraian di atas dapat menjelaskan bahwa tidak terdapat efek pemberian ketamin-xilazin dan propofol terhadap denyut jantung anjing jantan lokal (P>0,05). Hal ini disebabkan oleh kedua perlakuan yang diberikan memiliki kekuatan yang sama pada saat merangsang kardiovaskular, yaitu menaikkan tekanan darah sistolik dan diastolik dan juga meningkatkan kecepatan pulsus (Aitkisan dan Rushman, 1993). Walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan, tetapi rata-rata denyut jantung pada K1 mengalami penurunan drastis dari menit ke-10 sampai menit ke-30. Hal ini terjadi karena efek dari xilazin yang menyebabkan penurunan aktivitas simpatetik dan efek defensor pada umpan balik baroreseptor dan menemukan tekanan vagal yang dihasilkan oleh ketamin pada penurunan denyut jantung. Hasil ini sesuai dengan penelitian Dharmayudha et al. (2012). Penggunaan propofol pada K2 mengakibatkan efek yang tidak berbeda dari kombinasi ketamin-xilazin. Propofol akan mengurangi tekanan darah arteri sekitar 20-40% melalui pre-induksi tekanan sistolik. Dalam uji klinis, obat ini merupakan obat induksi yang efektif dan dapat digunakan untuk prosedur pembedahan ringan.

Tabel 1. Rata-rata frekuensi denyut jantung anjing jantan lokal yang diberikan suntikan kombinasi ketamin-xilazin dan propofol dalam empat kali pengamatan Waktu pengamatan (menit) Kelompok 0 10 20 30 K1 252,67±4,04 263,00±12,00 249,33±10,69 242,67±13,80 K2 257,67±5,51 261,33±1,53 259,67±8,08 253,33±5,03 K1= Kelompok yang diberikan suntikan kombinasi ketamin-xilazin dosis 5,5 mg/kg bobot badan secara intravena; K2= Kelompok yang diberikan suntikan propofol dosis 6,6 mg/kg bobot badan secara intravena

Tabel 2. Rata-rata jumlah frekuensi pernafasan hewan percobaan dari kedua kelompok setelah pemberian ketamin-xilazin dan propofol Waktu pengamatan (menit) Kelompok 0 10 20 30 K1 42,00±3,61 63,00±3,00 54,33±10,02 60,67±1,53 K2 41,00±3,61 65,00±2,65 52,67±5,03 41,00±1,00 K1= Kelompok yang diberikan suntikan kombinasi ketamin-xilazin dosis 5,5 mg/kg bobot badan secara intravena; K2= Kelompok yang diberikan suntikan propofol dosis 6,6 mg/kg bobot badan secara intravena

35

Jurnal Medika Veterinaria

Efek samping yang timbul pada anjing seperti eksitasi (Sardjana dan Diah, 2004). Rata-rata frekuensi pernafasan anjing adalah 10-35 per menit (Morgan, 2008). Rata-rata frekuensi pernafasan hewan percobaan pada K1 dan K2 disajikan pada Tabel 2. Perbedaan frekuensi pernafasan antara K1 dan K2 terlihat pada menit ke20. Perlakuan dengan pemberian ketamin-xilazin menunjukkan peningkatan frekuensi pernafasan. Hal ini terjadi akibat efek dari ketamin maupun xilazin yang menimbulkan depresi pada pernafasan (Greene, 2002). Propofol cepat menginduksi ketidaksadaran, pemulihan lebih cepat dan lengkap dengan efek minimal residual sistem saraf pusat daripada mengikuti induksi dengan thiopental atau methohexital. Karena pembersihan yang cepat, propofol dapat diberikan secara kontinu pada infus untuk mempertahankan tingkat pembiusan. Propofol adalah depresan pernafasan yang ampuh. Apnea adalah efek yang umum terjadi pada induksi propofol kecuali bila obat diberikan secara perlahan-lahan. Ketika digunakan sebagai agen anestesi tunggal, apnea terjadi pada dosis yang diperlukan untuk mencegah gerakan dalam menanggapi manipulasi rasa sakit. Penggunaan ketamin-xilazin secara IV dapat menyebabkan depresi pernafasan yang menyebabkan meningkatnya frekuensi pernafasan disaat masa sedasi dan kembali menaik disaat masa recovery. Karena efek dari ketamin-xilazin ini maka penggunaannya tidak dianjurkan untuk pasien yang menderita gangguan pernafasan walaupun memiliki batas keamanan yang luas jika diberikan secara intramuskulus (Seahorn, 2001; Greene, 2002; Sardjana dan Diah, 2004).

36

Vol. 10 No. 1, Februari 2016

KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan efek pemberian ketaminxilazin dan propofol terhadap frekuensi denyut jantung, tetapi berpengaruh terhadap frekuensi pernafasan pada anjing jantan lokal. DAFTAR PUSTAKA Aitkisan, R.S and G.B. Rushman. 1993. Lee's Synopsis of Anesthesia, The Iowa State University Press, James Lowa, USA. Anonimus. 2010. Propofol. http://henridumas.blogspot.com/2010/ 01/propofol.html. Dharmayudha, O., I.W. Gorda, dan J. Wardhita. 2012. Perbandingan Anestesi Xilazin-Ketamin Hidroklorida dengan Anestesi Tiletamin-Zolazepam terhadap Frekuensi Denyut Jantung dan Pulsus Anjing Lokal. Fakultas Kedokteran Hewan UNUD. Denpasar. Drajat, M.T. 1986. Kumpulan Kuliah Anestesiologi. Edisi ke-1. Aksara Salemba Medika, Jakarta. Greene, N. and A. Stephen. 2002. Veterinary Anesthesia and Pain Management Secrets. Hanley & Belfus, Philadelphia, USA. Morgan, J. and V. Rhea. 2008. Handbook of Small Animal Practice, 5th ed. Saunders Elsevier, St. Louis, Missouri, USA. Mulyana, R.S. 2007. Anestesi Intravena. General Practitioner Prima Medika Hospital Denpasar-Bali-Indonesia Graduated. Faculty of Medicine Udayana University. http://ryan-mul.com/2007/05 /anesthesi-intravena-byryan-saktika. Nelson, W., B. Richard, and C.G. Couto. 2009. Small Animal Internal Medicine, 4th ed. Mosby Elsevier, St. Louis, Missouri, US. Ohmizo, H., S. Obara, and H. Iwama. 2005. Mechanisme of injection pain with long and long medium chain triglyceride emul-sive propofol. Can. J. Anaesth. 52(6):595-599. Sardjana, I.K., Wiarsa and K. Diah. 2004. Anestesi Veteriner. Jilid I. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Seahorn, J.L.C. 2001. The Practical Veterinarian Veterinary Anesthesia. Butterworth-Heinemann. Woburn, MA, USA. Widjiadmodjo, K. 2000. Anestesiologi dan Reminasi, Modul Dasar untuk Pendidikan Sarjana Kedokteran. Dirjen Dikti, Jakarta.

Indonesia Medicus Veterinus pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/imv

November 2018 7(6): 652-663 DOI: 10.19087/imv.2018.7.6.652

Waktu Induksi, Durasi dan Pemulihan Anestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin secara Subkutan pada Anjing Lokal (INDUCTION TIME, DURATION AND RECOVERY ANESTHETIC KETAMINE WITH DIFFERENT DOSE PREMEDICATION XYLAZINE SUBCUTANEOUSLY ON LOCAL DOG) I Gusti Agung Gde Putra Pemayun1, I Gusti Agung Winata Sindhu2, Anak Agung Gde Jaya Wardhita1 1

Laboratorium Ilmu Bedah Veteriner, Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedoteran Hewan Universitas Udayana, Jl. P.B. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234; Telp/Fax: (0361) 223791 e-mail : [email protected] 2

ABSTRAK Pemberian kombinasi xilazin dan ketamin umumnya diinjeksikan secara intramuskuler, namun durasi anestesi yang ditimbulkan relatif singkat. Untuk itu dilakukan penelitian bila premedikasi xilazin diberikan secara subkutan dengan dosis yang lebih tinggi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu induksi, durasi dan pemulihan anestesi ketamin dengan berbagai dosis premedikasi xilazin yang diberikan secara subkutan dengan dosis yang melebihi dari pemberian secara intramuskuler, di samping itu untuk mengetahui dosis yang aman dan efektif. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan yaitu X2K10 (xilazin dosis 2 mg/kg secara intramuskuler dan ketamin dosis 10 mg/kg secara intramuskuler sebagai kontrol), X4K10 (xilazin dosis 4 mg/kg secara subkutan dan ketamin dosis 10 mg/kg intramuskuler), X6K10 (xilazin dosis 6 kg/mg subkutan dan ketamin dosis 10 mg/kg intramuskuler), X8K10 (xilazin dosis 8 mg/kg subkutan dan ketamin dosis 10 mg/kg intramuskuler). Setiap perlakuan menggunakan enam ekor anjing jantan sebagai ulangan, sehingga anjing yang digunakan sebanyak 24 ekor. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan. Rataan waktu induksi anetesi untuk perlakuan X2K10, X6K10, X8K10 berturut-turut adalah 6,33 menit, 10,8 menit, 9,33 menit, dan secara statistika tidak berbeda nyata (P>0,05). Pemberian xilazin dengan dosis 4 mg/kg secara subkutan dan ketamin dengan dosis 10 mg/kg intamuskuler tidak menghasilkan efek anestesi yang sempurna, beberapa anjing masih mampu berdiri walaupun sempoyongan dan beberapa terimmobilisasi namun refleks masih ada dan mampu merasakan rasa nyeri. Rataan durasi anestesi untuk perlakuan X2K10, X6K10, X8K10 berturut-turut adalah 50,8 menit, 85,1 menit, dan 104 menit. Rataan waktu pemulihan anestesi untuk masing-masing perlakuan adalah 61,6 menit, 90,8 menit, dan 145,8 menit. Analisis statistika menunjukkan bahwa peningkatan dosis premedikasi xilazin yang diberikan secara subkutan tidak berpengaruh terhadap waktu induksi, namun berpengaruh sangat nyata terhadap durasi dan pemulihan anestesi xilazin-ketamin. Semakin tinggi dosis premedikasi xilazin yang diberikan secara subkutan semakin durasi anestesi demikian juga semakin lama waktu pemulihan anestesinya.

Kata-kata kunci: waktu induksi, durasi, pemulihan, xilazin, ketamin, anjing lokal ABSTRACT Administration of xylazine and ketamine combination commonly injected intramuscullary, yet the action duration of anesthesia was relatively short. Therefore, a research with administration in higher dose of xylazine as premedication subcutaneously was compared to administration

652

Indonesia Medicus Veterinus pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/imv

November 2018 7(6): 652-663 DOI: 10.19087/imv.2018.7.6.652

intramuscullary, because administration subcutaneously will be absorbed slowly and hoped will maintain the effect of ketamine. This study aims to determine the induction time, duration of action and recovery of ketamine with variant dosage of xylazine as premedication, which was administered subcutaneously and in higher dose than intramuscullary, and to determine the safe and effective doses. This study used a completely randomized design (CRD) with four treatments, X2K10 (xylazine dose of 2 mg/kg and ketamine dose 10, both were administered intramuscullary) as control, X4K10 (xylazine dose of 4 mg/kg subcutaneously and ketamine 10 mg/kg intramuscullary), X6K10 (xylazine dose 6 kg/mg subcutaneously and ketamine dosis10 mg/kg intramuscullary), X8K10 (xylazine dose of 8 mg/kg subcutaneously and ketamine 10 mg/kg intramuscullary). Twenty four dogs were used in this study, which was divided into six male dogs for each treatment. Data were analyzed with analysis of variance and followed by Duncan’s Test. The average of induction time of X2K10, X6K10, X8K10 was each 6.33 minutes, 10.8 minutes, 9.33 minutes, which were not significant statistically (P>0.05). Administration of xylazine 4 mg/kg subcutaneously and ketamine 10 mg/kg intramuscullary did not yield anesthesia effect perfectly, which some dogs were stand still with staggering state and some were immobilized yet experiencing pain when pinch was done.the average of action duration of X2K10, X6K10, X8K10 was each 50.8 minutes, 85.1 minutes, and 104 minutes. The average of anesthesia recovery was each 61.6 minutes, 90.8 minutes, and 145.8 minutes. Analysis showed that enhancement dose of xylazine as premedication which was administered subcutaneously was not significant statistically to induction time, yet highly significant to action duration and recovery of xylazine and ketamine combination. The higher dose of xylazine as premedication which was administered subcutaneously, the longer the duration and recovery time of anesthesia. Keywords: induction time, action duration, recovery, xylazine, ketamine, local dog

PENDAHULUAN Anjing merupakan salah satu binatang yang dekat hubungannya dengan manusia, karena sudah ribuan tahun dipelihara sebagai penjaga rumah, teman bermain, dan berburu. Populasi anjing di Bali diestimasi sebanyak 600.000 ekor, hal ini didasarkan pada survei yang menunjukkan hampir setiap rumah di Bali memiliki anjing minimal satu ekor (Widyastuti et al., 2012). Akhir-akhir ini banyak pemilik hewan kesayangan khususnya anjing datang ke dokter hewan praktek untuk memeriksakan kesehatan hewannya, yang erat hubungannya dengan tindakan pembedahan. Untuk pelaksanaan tindakan pembedahan tersebut sebelumnya perlu dilakukan anestesi. Salah satu jenis anestesi yang sering digunakan pada anjing adalah anestesi umum. Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologis atau penekanan sensorik pada syaraf (Transquilli et al., 2007). Salah satu obat anestetika yang sering digunakan untuk anjing adalah ketamin. Ketamin mempunyai sifat menghilangkan rasa sakit yang kuat serta reaksi anestesinya tidak menyebabkan ngantuk namun relaksasi otot yang dihasilkan kurang baik (Kul et al., 2001). 653

Indonesia Medicus Veterinus pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/imv

November 2018 7(6): 652-663 DOI: 10.19087/imv.2018.7.6.652

Dalam penggunaan ketamin sebagai agen anestetika mempunyai beberapa keuntungan, di antaranya yaitu mulai kerja (onset of action) relatif cepat dan efek analgesik yang kuat serta aplikasinya cukup mudah, yaitu dapat diinjeksikan secara intramuskuler. Namun ketamin mempunyai kelemahan yaitu tidak terjadi relaksasi otot yang baik sehingga dapat menimbulkan kekejangan dan depresi ringan pada saluran respirasi. Oleh karena itu untuk mengurangi efek samping ketamin tersebut penggunaannya perlu dikombinasikan dengan obat premedikasi yang memiliki efek relaksasi yang kuat seperti diazepam, midazolam, medetomidine, atau xilazin (Kilic dan Henke, 2004). Dalam praktek kedokteran hewan premedikasi yang sering dikombinasikan dengan ketamin adalah xilazin (Sektiari dan Wiwik, 2001). Menurut Lemke (2004) xilazin dapat dikombinasikan dengan anestesi injeksi seperti ketamin, tiopental sodium, dan propofol atau anestesi inhalasi seperti halotan dan isofluran untuk menghasilkan anestesi yang lebih baik. Kombinasi xilazin-ketamin merupakan agen kombinasi yang saling melengkapi antara efek analgesik dan relaksasi otot serta sangat baik dan efektif untuk anjing karena memiliki rentang keamanan yang lebar (Walter, 1985). Penggunaan xilazin dapat mengurangi sekresi saliva dan peningkatan tekanan darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin. Penggunaan kombinasi ketamin-xilazin sebagai anestesi umum juga mempunyai banyak keuntungan antara lain mudah dalam pemberian, ekonomis, waktu induksinya cepat begitu pula dengan pemulihannya, mempunyai pengaruh relaksasi yang baik dan jarang menimbulkan komplikasi klinis (Benson et al., 1985). Jadi, efek samping yang tidak diharapkan dari suatu pembiusan ini dapat diatasi dengan melakukan balance anestesi yaitu mengkombinasikan obat-obatan sehingga dapat mengambil kelebihan masing-masing sifat yang diharapkan (Gaol, 2016). Dalam pelaksanaan tindakan anestesi harus dilakukan pemantauan terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi terhadap pemberian obat anestesi, khususnya terhadap fungsi pernafasan dan jantung. Tujuan utama pemantauan anestesi adalah untuk diagnosa bila adanya permasalahan, perkiraan kemungkinan terjadinya kegawatan dan evaluasi hasil suatu tindakan termasuk efektivitas serta adanya efek tambahan. Hal-hal yang perlu diamati selama anestesi adalah tingkat kedalam anestesi, efektivitas kardiovaskuler, dan efisiensi perfusi jaringan, serta perubahan respirasi (Badrinath et al., 2000).

654

Indonesia Medicus Veterinus pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/imv

November 2018 7(6): 652-663 DOI: 10.19087/imv.2018.7.6.652

Pemberian agen anestesi maupun premedikasi dapat diberikan secara injeksi intramuskuler, subkutan, intravena maupun inhalasi. Pemberian anestesi secara inhalasi (anestesi gas) dinilai lebih aman dan dapat memberikan anestesi yang lebih baik, namun anestesi secara inhalasi dengan menggunakan gas memerlukan perangkat yang mahal, rumit dan kurang praktis digunakan terutama di lapangan dibandingkan dengan pemberian anestesi secara injeksi (Sudisma et al., 2012). Obat premedikasi anestesi yang diinjeksikan secara subkutan tergolong sangat aman dan mudah diaplikasikan karena apabila obat diinjeksikan melalui subkutan akan terjadi penyerapan secara perlahan-lahan sehingga kerja obat akan menjadi lebih lama. Premedikasi anestesi yang diinjeksikan secara subkutan masih jarang diaplikasikan dalam praktek khususnya pada anjing, hal ini dikarenakan kurangnya data hasil penelitian tentang penggunaan anestesi dengan aplikasi tersebut. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian pemberian anestesi ketamin dan premedikasi xilazin secara subkutan dengan menggunakan dosis xilazin yang melebihi dari dosis pemberian secara intramuskuler.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan hewan percobaan anjing lokal jantan sebanyak 24 ekor dengan umur 6 bulan sampai 18 bulan dengan bobot badan 10-15 kg yang diperoleh dari sekitar wilayah Denpasar. Sebelum perlakuan anjing diadaptasikan dengan masa adaptasi yang sama pada 24 ekor anjing tersebut. Bahan dan obat-obatan yang diperlukan untuk penelitian ini yaitu atropin sulfat, xilazin, ketamin, alkohol 70%, kapas dan obat cacing pirantel pamoat. Sedangkan alat-alat yang didiperlukan yaitu: spuit 3 ml, timbangan, arloji digital, pinset anatomi dan alat tulis. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL). Anjing percobaan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah anjing dalam pemeriksaan fisik tidak menunjukkan adanya gejala penyakit. Dua minggu sebelum perlakuan semua anjing diberi obat cacing pirantel pamoat dan ektoparasit. Sebelum diberi perlakuan anestesi semua anjing dipuasakan makan selama 8-12 jam dan puasa minum selama 4-6 jam. Sebelum diberikan obat premedikasi dan anestesi dilakukan evaluasi pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan terhadap sistem respirasi, kardiovaskuler, turgor kulit, warna membrana mukosa mulut, konjungtiva mata dan suhu tubuh.

655

Indonesia Medicus Veterinus pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/imv

November 2018 7(6): 652-663 DOI: 10.19087/imv.2018.7.6.652

Anjing diberikan premedikasi atropin sulfat dengan dosis yang sama untuk setiap anjing pada keempat perlakuan yaitu 0,03 mg/kg BB secara subkutan. Xilazin diberikan setelah pemberian atropin dengan dosis yang berbeda-beda pada setiap perlakuan yaitu perlakuan I dengan dosis 2 mg/kg BB sebagai kontrol, perlakuan II dengan dosis 4 mg/kg BB, perlakuan III dengan dosis 6 mg/kg BB, dan perlakuan IV dengan dosis 8 mg/kg BB. Pada perlakuan I xilazin diinjeksikan secara intramuskuler (IM) sebagai kontrol, sedangkan pada perlakuan II, III dan IV diinjeksikan secara subkutan. Kemudian anjing diberikan anestesi ketamin 30 menit setelah pemberian xilazin dengan dosis yang sama untuk setiap perlakuan yaitu 10 mg/kg BB yang diberikan secara intramuskuler baik pada kelompok I, II, III dan IV. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah waktu induksi, durasi dan pemulihan anestesi. Waktu induksi dihitung mulai dari hewan dianestesi dengan ketamin sampai hilangnya kesadaran yang ditandai hilangnya reflek rasa sakit, durasi anestesi diamati dengan memperhatikan setiap dua menit yang dihitung dari awal hilangnya refleks rasa sakit pada daerah interdigital, daun telinga, serta daerah disekitar anus, reflex pada palpebral sampai pulihnya kesadaran yang ditandai dengan adanya respon terhadap rangsangan yang diberikan melalui pencubitan dengan menggunakan pinset. Sedangkan waktu pemulihan anestesi dihitung dari mulai pulihnya kesadaran sampai hewan mampu untuk berdiri atau bangun walaupun masih dalam keadaan sempoyongan. Data kuantitatif yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan Sidik Ragam dan dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan bila hasil yang diperoleh berbeda nyata.

HASIL DAN PEMBAHASAN Rata-rata waktu induksi, durasi dan pemulihan anestesi ketamin dengan berbagai dosis premedikasi xilazin secara subkutan pada anjing lokal untuk masing-masing perlakuan X2K10 (kontrol), X6K10, X8K10 dapat dilihat pada Tabel 1, 2, dan 3 dibawah ini, sedangkan untuk perlakuan X4K10 (xilazin dosis 4 mg/kg subkutan dan ketamin dosis 10 mg/kg intramuskuler) sebagian anjing tidak teranestesi sempurna dan masih merasakan reflek rasa nyeri saat dilakukan pencubitan dengan pinset baik pada interdigital, daun telinga, sekitar anus maupun reflek pada palpebral sehingga datanya tidak ikut dianalisis.

656

Indonesia Medicus Veterinus pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/imv

November 2018 7(6): 652-663 DOI: 10.19087/imv.2018.7.6.652

Tabel 1. Rataan Waktu Induksi Anestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin yang Diberikan secara Subkutan pada Anjing Lokal. Perlakuan Ulangan Jumlah X2K10 X6K10 X8K10 (Menit) (Menit) (Menit) 1 5 15 10 30 2 9 2 5 16 3 5 20 13 38 4 7 6 10 23 5 6 9 8 23 6 6 13 10 29 Jumlah 38 65 56 159 Rataan 6,33±1.5 10,8±6.4 9,33±2.6 8,83± 4.3 Tabel 2. Rataan Durasi Anestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin yang Diberikan secara Subkutan pada Anjing Lokal. Perlakuan Ulangan Jumlah X2K10 X6K10 X8K10 (Menit) (Menit) (Menit) 1 40 48 105 193 2 45 110 98 253 3 60 100 108 268 4 55 80 113 248 5 45 98 98 241 6 60 75 102 237 Jumlah 305 511 624 1440 Rataan 50,8±8.6 85,1±22.4 104±5.8 80±26.3 Tabel 3. Rataan Waktu Pemulihan Anestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin yang Diberikan secara Subkutan pada Anjing Lokal. Perlakuan Ulangan Jumlah X2K10 X6K10 X8K10 (Menit) (Menit) (Menit) 1 65 80 180 325 2 50 75 155 280 3 70 105 140 315 4 60 95 130 285 5 60 100 125 285 6 65 90 145 300 Jumlah 370 545 875 1790 Rataan 61,6±6.8 90,8±11.5 145,8±19.8 99,4±38.1

657

Indonesia Medicus Veterinus pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/imv

November 2018 7(6): 652-663 DOI: 10.19087/imv.2018.7.6.652

Hasil Analisis Sidik Ragam waktu induksi, durasi dan pemulihan anestesi ketamin dengan berbagai dosis premedikasi xilazin secara subkutan pada anjing lokal untuk masingmasing perlakuan X2K10 (kontrol), X6K10, X8K10 dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini: Table 4. Hasil Analisis Sidik Ragam Waktu Induksi, Durasi dan Pemulihan Anestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin secara Subkutan pada Anjing Lokal. Sumber Variabel Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung Sig. Keragaman Terikat Bebas Kuadrat Tengah (F hit.) (P) (SK) (DB) (JK) (KT) Dosis Induksi 2 63.000 31.500 1.83tn .194 (Menit) Durasi 2 8720.333 4360.167 21.39**) .000 (Menit) Pemulihan 2 21919.444 10959.722 57.18**) (Menit) .000 Galat Induksi 15 257.500 17.167 (Menit) Durasi 15 3057.667 203.844 (Menit) Pemulihan 15 2875.000 191.667 (Menit) Total Induksi 17 320.500 (Menit) Durasi 17 11778.000 (Menit) Pemulihan 17 24794.444 (Menit) Keterangan: tn = tidak berbeda nyata (P>0,05) **) = Berbeda sangat nyata( P<0,01) Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 4 menunjukkan bahwa waktu induksi antara kontrol dengan perlakuan premedikasi xilazin secara subkutan tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan durasi anestesi dan waktu pemulihan antara kontrol dengan perlakuan premedikasi xilazin secara subkutan berbeda sangat nyata (P<0,01). Uji Wilayah Berganda Duncan (Tabel 5) memperlihatkan bahwa durasi anestesi antara kontrol dengan perlakuan X6K10 dan X8K10 berbeda sangat nyata (P<0,01), sedangkan antara X6K10 dan X8K10 berbeda nyata (P<0,05). Waktu pemulihan antara kontrol dengan perlakuan X6K10 dan X8K10 berbeda sangat nyata (P<0,01), demikian juga antara X6K10 dengan X8K10 (P<0,01).

658

Indonesia Medicus Veterinus pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/imv

November 2018 7(6): 652-663 DOI: 10.19087/imv.2018.7.6.652

Tabel 5. Uji Wilayah Berganda Duncan Waktu Induksi, Durasi dan Pemulihan Anestesi Ketamin dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin secara Subkutan pada Anjing Lokal. Siganifikasi No Variabel Terikat Perlakuan Rata-Rata ± SD 0,05 0,01 1 Waktu Induksi X2K10 6.33 ±1.5 a a X6K10 10.8±6.4 a a X8K10 9.33±2.6 a a 2 Durasi Anestesi X2K10 50.8±8.6 a a X6K10 85.1±22.4 b b X8K10 104±5.8 c b 3 Pemulihan Anestesi X2K10 61.6±6.8 a a X6K10 90.8±11.5 b b X8K10 145.8±19.8 c c Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama kearah kolom menunjukkkan tidak berbeda nyata (P>0,05) sebaliknya nilai dengan huruf tidak sama ke arah kolom menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) atau sangat nyata (P<0,01). PEMBAHASAN Rataan waktu induksi anestesi pada pemberian dosis X2K10 (xilazin 2 mg/kg dan ketamin 10 mg/kg) secara intramuskuler (kontrol) adalah 6,33 menit (Tabel 1). Rataan waktu induksi ini mendekati dengan waktu induksi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ariana (2002) yaitu 5,98 menit dengan perbedaan waktu pemberian premedikasi xilazin dan ketamin 15 menit. Rataan waktu induksi pemberian dosis X6K10 (xilazin 6 mg/kg dan ketamin 10 mg/kg) dan X8K10 (xilazin 8 mg/kg dan ketamin 10 mg/kg) yang diberikan secara subkutan lebih lama dari pemberian secara intramuskuler (kontrol) yaitu 10,83 menit dan 9,33 menit, namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini dikarenakan penyerapan obat xilazin-ketamin yang diberikan secara subkutan lebih lama dibandingkan penyerapan yang diberikan melalui intramuskuler. Kecepatan suatu induksi anestesi tergantung dari kecepatan konsentrasi efektif agen anestetikum yang mencapai otak. Ketika diinjeksikan anestetikum akan masuk ke jaringan interstitial otot dan lemak, kemudian berdifusi melewati pembuluh darah kapiler dan masuk ke dalam aliran darah sistemik (Khairunisa, 2013). Rataan waktu induksi anestesi ketamin secara intramuskuler dengan premedikasi xilazin secara subkutan pada anjing lokal dosis 6 mg/kg lebih panjang dari rataan waktu induksi dosis 8 mg/kg, waulaupun hasil dari analisis statistik tidak berbeda nyata, hal ini disebabkan karena perbedaan dosis yang diberikan, semakin tinggi dosis yang diberikan 659

Indonesia Medicus Veterinus pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/imv

November 2018 7(6): 652-663 DOI: 10.19087/imv.2018.7.6.652

kosentrasi obat dalam darah lebih tinggi sehingga lebih cepat tercapai stadium anestesi sedangkan untuk perlakuan xilazin 4 mg/kg dan ketamin 10 mg/kg yang diberikan secara subkutan belum cukup untuk mencapai stadium anestesi karena konsentrasi obat dalam darah masih rendah sehingga tidak dapat memblok sistem saraf pusat. Katzung (1989) menyatakan bahwa ketamin merupakan obat yang bersifat simpatomimetik yang bekerja menghambat saraf parasimpatis pada sistim saraf pusat dengan neurotransmitter noradrenalin. Xilazin merupakan obat parasimpatomimetik yang bekerja menghambat saraf simpatis dengan reseptor muskarinik. Reseptor muskarinik xilazin akan menekan sistim saraf pusat, sehingga menimbulkan efek sedatif hipnotik (Ko et al., 1995). Durasi anestesi pada pemberian X2K10 secara intramuskuler (kontrol) adalah 50,8 menit (Tabel 1). Hasil ini mendekati penelitian yang dilakukan (Sudisma et al., 2002) yang menyatakan bahwa durasi anestesi dari pemberian kombinasi premedikasi xilazin dan anestesi ketamin adalah 43,50 menit. Rataan durasi anestesi pada perlakuan xilazin 6 mg/kg dan ketamin 10 mg/kg adalah 85,1 menit (Tabel 2) dan rataan durasi anestesi pada perlakuan xilazin 8 mg/kg dan ketamin 10 mg/kg adalah 104 menit (Table 3). Pada masing-masing perlakuan ini menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01) dibandingkan dengan kontrol yang diberikan xilazin 2 mg/kg secara intramuskuler. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Wylie dan Churchill (1986) bahwa dosis anestetik yang diberikan berpengaruh terhadap respon yang ditimbulkan pada masing-masing individu. Pernyataan ini jelas bahwa pada perlakuan X2K10 (kontrol) lebih pendek dari pada rataan durasi anestesi pada perlakuan X6K10 dan rataan durasi anestesi pada perlakuan X6K10 lebih pendek dari pada rata-rata durasi anestesi pada perlakuan X8K10. Peningkatan dosis xilazin dari X2K10 (kontrol) secara intramuskuler menjadi X6K10 dan X8K10 diberikan secara subkutan akan diabsorbsi oleh tubuh dengan pelan sehingga akan menghasilkan durasi anestesi yang lebih lama (Christic et al., 2008). Anestesi ketamin menghambat transmisi preganglionik pada ganglia simpatetik sehingga terjadi hambatan beberapa neurotransmiter seperti antikolinergik dan norepinephnn (Wright, 1982). Sedasi terjadi karena xilazin menghambat reseptor oksigen di lokus ceruleus sel nonadrenergik pada sistem saraf pusat. Analgesia terjadi karena xilazin mengurangi konsentrasi norepinephrine dan epinephrin (Doherty, 1988). Rataan pemulihan anestesi pada perlakuan X2K10 (kontrol) adalah 61,6 menit. Rataan waktu pemulihan pemberian dosis X6K10 dan X8K10 yang diberikan secara subkutan lebih 660

November 2018 7(6): 652-663 DOI: 10.19087/imv.2018.7.6.652

Indonesia Medicus Veterinus pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/imv

lama dari pemberian secara intramuskuler yaitu 90,8 menit dan 145,8 menit. Pada masingmasing perlakuan ini menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01) dibandingkan dengan kontrol. Cara pemberian obat sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan karakteristik tubuh ini berbeda sehingga jumlah suplai darah juga berbeda; demikian juga enzim-enzim dan cairan fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut juga berbeda. Hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari cara pemberian obat tersebut (Katzung, 1989), sehingga menyebabkan durasi dan pemulihan anestesi juga lebih lama. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pada perlakuan X2K10 (kontrol) lebih pendek dari pada rata-rata pemulihan anestesi pada perlakuan X6K10 dan X8K10. Rataan lama pemulihan pada perlakuan X6K10 lebih pendek dibandingkan rataan pemulihan anestesi pada perlakuan X8K10. Waktu pemulihan yang panjang terjadi karena pengembalian konsentrasi norepinephrin lambat. Eliminasi kombinasi ketamin-xilazin dua kali lebih lama jika dibandingkan dengan ketamin tanpa xilazin. Xilazin juga menyebabkan penurunan tekanan arteri dan aliran darah. Akibat penurunan ini mengurangi kecepatan metabolisme ketamin menjadi norketamin sehingga terjadi pemeliharaan konsentrasi ketamin pada plasma dan otak (Waterman, 1983).

SIMPULAN Peningkatan dosis premedikasi xilazin yang diberikan secara subkutan tidak berpengaruh terhadap waktu induksi, namun berpengaruh sangat nyata terhadap durasi dan pemulihan anestesi xilazin-ketamin. Semakin tinggi dosis premedikasi xilazin yang diberikan secara subkutan semakin durasi anestesi demikian juga semakin lama waktu pemulihan anestesinya. Pada pemberian premedikasi xilazin dosis 4 mg/kg BB secara subkutan dan ketamin 10 mg/kg BB intramuskuler tidak menimbulkan anestesi yang sempurna pada anjing percobaan.

SARAN Perlu dilakukan penelitian

lanjutan

penggunaan premedikasi xilazin secara

subkutan dengan dosis yang lebih tinggi dari intramuskuler terhadap data fisiologis tubuh hewan sehingga dapat diperoleh dosis premedikasi yang aman, disamping itu perlu dilakukan 661

Indonesia Medicus Veterinus pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/imv

November 2018 7(6): 652-663 DOI: 10.19087/imv.2018.7.6.652

pemeriksaan terhadap fungsi hati dan ginjal untuk mengetahui keamanan dari pemberian xilazin secara subkutan dengan dosis yang melebihi dari pemberian secara intramuskuler.

DAFTAR PUSTAKA Ariana IGEP. 2002. Pengaruh Kombinasi Xilazin Dan Ketamin Hidroklorida Terhadap Waktu Induksi Dan Durasi Anestesinya Pada Anjing Lokal. (Skripsi). Denpasar: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Benson GJ, Thurmon JC, Tranquilli WJ and Smith CW. 1985. Cardiopulmonary Effects Of An Intravenous Infusion Of Quaifenesin, Ketamine, And Xylazine In Dog. Am. J. Vet. Res. 46(9): 1896-1898. Christic M, Cruch DB, Day MJ, Dobson JM, Dyke TM. 2008. Small Animal Pharmacology. China: Elsivier Saunder. Doherty TJ. 1988. Physiologic Effects Of A2-Adrenergic Receptors. Journal of The American Veterinary Medical Association 192(11): 1612-1614. Gaol RL. 2016. Gambaran Darah Anjing Yang Diinjeksikan Xilasin-Ketamin Secara Subkutan. Buletin Veteriner Udayana 8 (1). Katzung BG. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika. Khairunisa T. 2013. Onset, Durasi, dan Gejala klinis Anestesi pada Kelinci New Zealand White (oryctolagus cuniculus) dengan Kombinasi Ketamin-Xylazin Intramuskuler. (Skripsi). Bogor: Institut Bertanian Bogor. Kilic N, Henke J. 2004. Comparative Studies On The Effect Of S(+)-Ketamin-medetomidine And Racemic-Ketamin-Medetomidine In Mouse. YYU Vet Fak Derg 15(1-2): 15-17. Ko JC, Williams BL, Rogers ER, Pablo LS, McCaine WC, McGrath CJ.1995. Increasing xylazine dose-enhanced anesthetic properties of telazol-xylazine combination in Swine. Lab Animal Sci 45(3): 4-290. Kul M, Koe Y, Alkan F, Ogurtan Z. 2001. The Effects Of Xylazine-Ketamine And Diazepam-Ketamine On Arterial Blood Pressure And Blood Gases In Dog. OJVR 4: 124-132. Lemke KA. 2004. Perioperative Use Of Selective Alpha-2 Agonists And Antagonists In Small Animals. Can Vet J 45(6): 475-480. Sektiari B, Wiwik MY. 2001. Pengaruh Premedikasi Acepromazine Terhadap Tekanan Intraokuler Pada Anjing Yang Di Anestesi Ketamin HCl. Media Kedokteran Hewan 17(3): 120-122. Sudisma IGN, Jayawardhita AAG, Pemayun IGAGP, Gorda IW, Dada IKA. 2002. Uji Klinik Premedikasi Xilazin Dan Diazepam Terhadap Anestetik Ketamin Pada Anjing Lokal. Jurnal Veteriner 3(3): 104-107. Sudisma IGN, Widodo S, Sajuthi D, Soehartono H. 2012. Anestesi Infus Gravimetrik Ketamin Dan Propofol Pada Anjing. Jurnal Veteriner 13(2):189-198. Transquilli M, Farkas EA, Elefteriades JA. 2007. Straight Deep Hypothermic Arrest:Experience In 394 Patients Supports Its Effectiveness As A Sole Means Of Brain Preservation. Ann Thorac Surg 84(3): 759–766. Walter HH. 1985. Xylazin-Pentobarbital Anesthesia In Dog And Its Antagonism Yohimbin. Am. J. Vet. Ress 46(4): 852-855.

662

Indonesia Medicus Veterinus pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/imv

November 2018 7(6): 652-663 DOI: 10.19087/imv.2018.7.6.652

Waterman AE. 1983. Influence Premedication With Xylazine On The Distribution And Metabolism Of Intramuscularly Administered Ketamine In Cats. Research in Veterinary Science 35(3): 285-290. Widyastuti SK, Dewi NMS, Utama IH. 2012 Kelainan Kulit Anjing Jalanan pada Beberapa Lokasi di Bali. Buletin Veteriner Udayana 4(2):81-86. Wright M. 1982. Pharmacologic Effects Of Ketamine And Its Use In Veterinary Medical. Journal of the American Veterinary Medical Association 180(12): 1462-1471. Wylie, Churchill-Dadvidson HC. 1986. A Practice of Anesthesia. 5 th ed. Editor: H.C. Churchill-Davidson. London: Llyod Luke (Medical Books) Ltd.

663

Buletin Veteriner Udayana ISSN : 2085-2495

Vol. 2 No.1. :21-27 Pebruari 2010

PERBANDINGAN EFEK PEMBERIAN ANESTESI XYLAZIN-KETAMIN HIDROKLORIDA DENGAN ANESTESI TILETAMIN-ZOLAZEPAM TERHADAP CAPILLARY REFILL TIME (CRT) DAN WARNA SELAPUT LENDIR PADA ANJING

(COMPARISON EFFECT OF XYLAZINE-KETAMINE HYDROCHLORIDE COMBINATION WITH TILETAMINE-ZOLAZEPAM COMBINATION TO CAPILLARY REFILL TIME (CRT) AND THE MUCOUS MEMBRANES COLOUR IN DOGS) I Wayan Gorda1, A.A. Gde Jaya Wardhita1, A.A. Gde Oka Dharmayudha2 1 2

Laboratorium Bedah Veteriner

Laboratorium Radiologi Veteriner FKH Universitas Udayana [email protected] ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari perbandingan pengaruh pemberian anestesi xylazin-ketamin hidroklorida dan anestesi tiletamin-zolazepam terhadap Capillary Refill Time (CRT) dan warna selaput lendir pada anjing sebelum dianestesi, saat teranestesi, dan selama teranestesi. Penelitian ini menggunakan perlakuan yang diberikan berupa ; dosis I (2 mg/kgBB Xylazin ; 15 mg/kgBB Ketamin Hidroklorida) dan dosis II (20 mg/kg BB Zoletil (Zolazepam-Tiletamin)). Setiap perlakuan menggunakan 5 ekor anjing sebagai ulangan, sehingga secara keseluruhan digunakan 10 ekor anjing. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji sidik ragam, sedangkan data dengan menggunakan skor diuji dengan uji Friedman. Hasil analisis diperoleh bahwa xylazin-ketamin hidrokloridadengan tiletamin-zolazepam terjadi peningkatan terhadap CRT dan warna selaput lendir. Kata kunci : xylazin, ketamin, tiletamin, zolazepam, CRT, ABSTRACT This study is to determine the effect of xylazine-ketamine hydrochloride combined with tiletamin-zolazepam combination to Capillary Refill Time (CRT), paleneus of mucous membranes, heart pulse frequency and pulse before anesthesion, when anesthezed and during anesthetion. The experimental was carried duct on local dog. 21

Buletin Veteriner Udayana ISSN : 2085-2495

Vol. 2 No.1. :21-27 Pebruari 2010

The experimental design has 2 treatments : dose I (2 mg/kg body weight of xylazine hydrochloride ; 15 mg/kg body weight of ketamine hydrochloride) and dose II (20 mg/kg body weight of zoletil). Each of treatment use 5 local dogs and total of 10 dogs for all of the treatments. Data were analyzed by analysis of varience test and the score data analyzed by friedman test. A results showed the combination of xylazine-ketamine hydrochloride and tiletamin-zolazepam combination could increase to Capillary Refill Time (CRT) and mucous membranes colour. Key word : xylazine, ketamine, tiletamine, zolazepam, CRT, melengkapi antara efek analgesik dan

PENDAHULUAN

relaksasi otot serta sangat baik dan efektif Salah satu anestesi umum yang sering

untuk anjing karena memiliki rentang

digunakan pada anjing yaitu kombinasi

keamanan yang lebar. Cullen (1991),

Xylazin-Ketamin Hidroklorida. Xylazin

menyatakan bahwa kombinasi kedua

Hidroklorida merupakan analgesik dan

anestesi

sedatife yang mempunyai efek relaksasi

peningkatan

otot yang baik. Sedangkan Ketamin Hidroklorida

sering

disebut

ini

yang

pulmonum,

sebagai

akan

menimbulkan bervariasi

hipertensi

pada

sistemik,

penurunan curah jantung, hypoventilasi

“dissiosiative anaesthetic” dengan efek

yang

menimbulkan kekakuan otot yang tinggi

menyebabkan

tekanankarbondioksida

pada waktu pemulihannya, maka dalam

peningkatan dan

tekanan

oksigen arteri.

penggunaannya biasanya dikombinasikan dengan

Xylazin

yang

perelaksasi

otot

mengurangi

kekakuan

memiliki

sehingga otot

Selain

Xylazin-Ketamin

Hidroklorida

dapat

tersedia pula kombinasi anestesi lain yang

yang

dapat

digunakan

pada

anjing

dihasilkan agen dissiosiatif (Booth dkk.,

Tiletamin

Hidroklorida

1997; Hall dan Clarke, 1983).

Zolazepam.

Zolazepam

derivate Kombinasi

Xylazin-Ketamin

Hidroklorida

mempunyai

secara

keuntungan

intravena

Xylazin-Ketamin

(1985),

terbaru

dan

dengan golongan Diazepin. Tiletamin

maupun

mempunyai efek kataleptik dan bersifat lipofilik

pemulihannyapun cepat (Warren, 1983). Walter

merupakan

hingga tiga kali lebih tinggi dibandingkan

intramuskuler, induksi yang cepat dan

Menurut

dengan

merupakan antikonvulsi yang efeknya dua

yaitu ekonomis, pemberiannya mudah baik

Benzodiazepin

yaitu

sehinggga

lebih

cepat

didistribusikan ke organ bervaskularisasi

kombinasi

tinggi terutama otak (Mullen, dkk.,1987;

Hidroklorida

Virbac, 1992). Gabungan Tiletamin dan

merupakan agen kombinasi yang saling

Zolazepam (Zoletil) dengan perbandingan 22

Buletin Veteriner Udayana ISSN : 2085-2495

Vol. 2 No.1. :21-27 Pebruari 2010

1:1 akan meningkatkan kualitas dari

dengan

masing-masing

Hidroklorida dan 20 mg/kg BBZoletil

zat

menghilangkan

penyusun

efek-efek

dan negatif

15

mg/kgBB

Ketamin

(Zolazepam-Tiletamin).

dibandingkan dengan penggunaan secara Hewan percobaan yang dipergunakan

terpisah (Booth, dkk., 1977). Wilson , dkk.,

(1993),

menyatakan

adalah anjing jantan lokal yang pada

bahwa

pemeriksaan

Tiletamin dan Zolazepam merupakan

sebelum

cardiostimulator, yaitu agen yang dapat

fisik

dinyatakan

sehat,

anestesi

hewan

dilakukan

percobaan dipuasakan selama 12 jam.

merangsang kerja jantung.

Variabel yang Diamati

MATERI DAN METODE

Variabel yang diamati dalam penelitian

Materi

ini

meliputi Capillary

Refill

Time

Hewan percobaan yang digunakan pada

(CRT) yang diamati dengan menekan gusi

penelitian ini adalah anjing jantan lokal

anjing menggunakan jari hingga gusi

dengan berat badan berkisar antara 7-10

dibawah

kg sebanyak 10 ekor. Sebelum dilakukan

pucat, kemudian jari dilepaskan dan

tindakan

dahulu

hitung kembalinya warna gusi seperti

dan

semula dengan menggunakan stopwatch

diadaptasikan selama satu minggu. Bahan

(Greene, 2002), serta pengamatan warna

dan obat-obatan yang dipakai adalah

selaput lendir (dengan skor : 3 = merah, 2

alkohol

anestesi

dilakukan

terlebih

pemeriksaan

70%,

Hidroklorida Hidroklorida

kapas

fisik

daerah

penekanan

menjadi

,

Ketamin

= normal, 1 = pucat). Variabel ini

(100mg/ml),

Xylazin

diamatai

(20

dianestesi,

saat

gabungan

teranestesi, 30 menit, 60 menit, dan 90

Tiletamin-Zolazepam (Zoletil 50® Virbac,

menit periode teranestesi. Data kuantitatif

Perancis),

(0,25

dari penelitian ini dianalisis dengan sidik

mg/ml). Alat yang digunakan dalam

ragam, dilanjutkan dengan Uji Wilayah

penelitian ini adalah alat suntik sekali

berganda Duncan bila hasilnya berbeda

pakai 3 ml dan 5 ml, pinset, alat pengukur

nyata (Steel dan Torrie, 1989), sedangkan

waktu (stopwatch) dan timbangan.

data dengan menggunakan skor diuji

dan

mg/ml),

sebelum

Atropin

sulfat

dengan Uji Friedman (Nasoetion dan Rancangan Penelitian

Barizi, 1976).

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak

Lengkap

(RAL)

pola Split

in

time dengan dua perlakuan yaitu XK 2:15 dan

Z

20,

secara

berturut-turut HASIL DAN PEMBAHASAN

menggunakandosis 2 mg/kgBB Xylazin 23

Buletin Veteriner Udayana ISSN : 2085-2495

Vol. 2 No.1. :21-27 Pebruari 2010 Hasil

Hasil

sidik

menunjukkan Total Nilai CRT

diberikan

anestesi

Hidroklorida

Tabel

bahwa perlakuan

berpengaruh

sangat

2

yang nyata

lokal, selanjutnya interaksi antara waktu

Xylazin-Ketamin

dengan

pada

(P<0,01) terhadap nilai CRT anjing jantan

Rata-rata total nilai CRT (Tabel 1) dari pemberian

ragam

dan

Tiletamin-

perlakuan

juga

menunjukkan

pengaruh yang sangat nyata (P<0,01)

Zolazepam adalah 1,68 detik dan 1,17

terhadap nilai CRT anjing jantan local,

detik dengan rata-rata masing-masing

namun waktu pengamatan memberikan

perlakuan 30 menit sebelum dianestesi (

hasil

T-30), saat mulai teranestesi (T0), saat

tidak

berbeda

nyata

(P>0,05)

terhadap nilai CRT pada anjing jantan

teranestesi 30 menit (T30), 60 menit

lokal.

(T60), dan 90 menit (T90) adalah 1,46 detik, 1,51 detik, 1,40 detik, 1,36 detik dan 1,39 detik.

Tabel 1. Hasil Rata-Rata Total Nilai CRT Anjing Jantan Lokal Perlakuan

-30

0

30

60

90

Rata-rata total

X+K

1,46

2,10

1,78

1,56

1,50

1,68

T+Z

1,46

0,92

1,02

1,16

1,28

1,17

Rata-rata

1,46

1,51

1,40

1,36

1,39

dengan

Total Skor Warna Selaput Lendir

rata-rata

masing-masing

perlakuan 30 menit sebelum dianestesi Rata-rata total skor warna selaput lendir

(T-30), saat mulai teranestesi (T0), saat

(Tabel

anestesi

teranestesi 30 menit (T30), 60 menit

Xylazin-Ketamin Hidroklorida dengan

(T60), dan 90 menit (T90) adalah 2,0, 1,9,

Tiletamin-Zolazepam adalah 1,76 dan 2,2

2,5, 2,0 dan 2,0.

4)

dari

pemberian

Table 2. Hasil Rata-Rata Total Skor Warna Selaput Lendir Anjing Jantan Lokal Perlakuan

-30

0

30

60

90

Rata-Rata Total

X+K

2,0

1,2

1,6

2,0

2,0

1,76

T+Z

2,0

2,6

2,4

2,0

2,0

2,2

Rata-rata

2,0

1,9

2,5

2,0

2,0

24

Buletin Veteriner Udayana ISSN : 2085-2495

Vol. 2 No.1. :21-27 Pebruari 2010

4.1.4 Hasil Uji Friedman Terhadap

perbedaan perlakuan berpengaruh sangat

Skor Warna Selaput Lendir

nyata (P<0,01) terhadap warna selaput

Anjing Jantan Lokal

lendir. Pada kedua perlakuan (Tabel 6 dan Tabel 7) menunjukkan T-30 berbeda

Hasil Uji Friedman (Tabel 5)

nyata (p<0,05) terhadap T0 namun tidak

terhadap skor warna selaput lendir anjing jantan

local

menunjukkan

berbeda nyata terhadap T30, T60 dan

bahwa

T90.

Tabel 3. Hasil Uji Friedman Terhadap Skor Warna Selaput Lendir pada Pemberian Anestesi Xylazin-Ketamin Hidroklorida Waktu

Mean Rank

Sig 5 %

T-30

3,60

A

T0

1,60

B

T30

2,60

Ab

T60

3,60

A

T90

3,60

A

T-30

2,50

A

T0

4,00

B

T30

3,50

Ab

T60

2,50

B

T90

2,50

B

Keterangan : Nilai dengan huruf tidak sama menunjukkan berbeda nyata ( P<0,05 ) nilai CRT. Peningkatan nilai CRT pada

Pembahasan

pemberian Pemberian kombinasi anestesi Xylazin-

Ketamin Hidroklorida menekan pusat

nilai CRT disbanding control (T-30) dan

vasomotor

mengalami penurunan kembali pada T

anestesi

pula

berpengaruh

penurunan

berakibat

T(90). Hasil penelitian ini menunjukkan

diberikan

yang

yang menurun dan vasodilatasi terjadi

nilai CRT kembali meningkat pada T(60)-

perlakuan

perifer

darah (Jones, 1957). Akibat curah jantung

nilai CRT pada T (0) – T (30) dan

perbedaan

bagian

menurunkan curah jantung serta tekanan

Tiletamin-

Zolazepam diperoleh hasil penurunan

bahwa

di

menyebabkan vasodilatasi, dan dapat

(30) sampai T (90). Pada perlakuan II pemberian

Xylazin-Ketamin

Hidroklorida disebabkan karena Xylazin-

Ketamin Hidroklorida terjadi peningkatan

yaitu

anestesi

panjang.

yang

terhadap 25

aliran

darah

nilai CRT menjadi

yang lebih

Buletin Veteriner Udayana ISSN : 2085-2495

Vol. 2 No.1. :21-27 Pebruari 2010

Penurunan nilai CRT pada perlakuan II

pembuluh

disebabkan

Tiletamin-

pembuluh darah menipis dibandingkan

Zolazepam dapat mencapai jantung dan

saat berkontriksi, akibatnya volume darah

merangsang

dimana

beredar berkurang dan warna merah dari

kombinasi Tiletamin-Zolazepam dapat

darah tidak tampak jelas sehingga warna

menyebabkan takikardia dan berpengaruh

selaput lendir terlihat pucat. Di samping

terhadap tekanan darah arteri dan curah

itu

jantung (Einstein, dkk., 1994). Hal ini

disebabkan oleh penurunan aliran darah

sesuai dengan info dari Virbac, (1992)

yang mengalir pada daerah tersebut.

yang

oleh

efek

saraf

simpatis

menyatakan

bahwa

takikardia,

Pada

induksi

polipnea.

nilai CRT disebabkan

lendir

dapat

Tiletamin-

cardiostimulator, yaitu agen yang dapat

anestesi

merangsang kerja jantung (Wilson, dkk., 1993). Bila kerja jantung meningkat maka

jantung lebih kuat sehingga curah jantung

curah jantung akan meningkat dan aliran

meningkat dan aliran darah ke perifer sehingga

anestesi

karena Tiletamin-Zolazepam merupakan

Penurunan

karena

pemberian

pada saat teranestesi. Hal ini disebabkan

Tiletamin-Zolazepam merangsang kerja

meningkat

selaput

dinding

Zolazepam selaput lendir berwarna merah

peningkatan

tekanan darah yang bersifat sementara dan

kepucatan

sehingga

anestesi

Tilatemin-Zolazepam pada anjing dapat menimbulkan

darah

darah ke perifer juga meningkat sehingga

akan

dapat dimanifestasikan dengan warna

mengakibatkan CRT lebih cepat.

selaput lendir yang merah. Pada

warna

selaput

lendir,

dengan SIMPULAN DAN SARAN

pemberian kombinasi anestesi XylazinKetamin Hidroklorida terjadi kepucatan

Simpulan

saat anjing mulai teranestesi (T0) sampai T30 dan kembali normal pada T60-T90.

1. Pemberian anestesi Xylazin-Ketamin

sedangkan pada pemberian kombinasi

Hidroklorida

Tiletamin-Zolazepam,

Tiletamin-Zolazepam

warna

selaput

dengan

anestesi

menimbulkan

lendir merah saat teranestesi (T0) sampai

efek

T30 dan kembali normal T60. dari hasil

nilai CRT dan warna selaput lendir

penelitian

pada anjing jantan lokal

perbedaan

ini

menunjukkan

perlakuan

bahwa

peningkatan

terhadap

berpengaruh 2. Efek pemberian anestesi Xylazin-

terhadap warna selaput lendir (P<0,05).

Ketamin didapatkan nilai CRT lebih Kepucatan yang terlihat pada selaput

panjang dan warna selaput lendir

lendir

lebih pucat pada saat anjing mulai

dengan

pemberian

kombinasi

anestesi Xylazin-Ketamin Hidroklorida dapat

disebabkan

oleh

teranestesidibandingkan

vasodilatasi 26

dengan

Buletin Veteriner Udayana ISSN : 2085-2495 pemberian

anestesi

Vol. 2 No.1. :21-27 Pebruari 2010 Tiletamin-

Mullen, J.M., J. Lehman , R. Bohacek, dan R.S. Fisher. (1987). Tiletamine is a poten Inhibitor of N-Methyl-Aspartate Induced Depularization in Rat Hipocampus and Stiatum. J.Pharmacol, Exp. Ther. 243 (3) : 915-200. (Medline).

Zolazepam. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini anestesi Xylazin-Ketamin Hidroklorida (2 mg/kg BB;15

mg BB)

Zolazepam

(20

Nasoetion, A.H. dan Barizi. (1976). Metode Statistika. PT. Gramedia Jakarta. Indonesia.

maupun Tiletaminmg/kgBB)

aman

digunakan pada anjing lokal karena efek yang

ditimbulkan

Steel,

terhadap CRT dan

warna selaput lendir masih dalam batas normal DAFTAR PUSTAKA

————., (1992). Zoletil Technical Dossier. Virbac. France.

Booth, N.H., D.M. J.I. Mayer, dan L.E. McDonald. (1977). Veterinary Pharmacology. The Iowa State University Press. USA. P. 295297. Cullen, L.K. (1991). Lecture Notes on Veterinary Anesthesia. Murdoch University. Australia. P. 25-28 Einstein,

Greene,

R.G.D. dan J.H. Torrie. (1989). Principle and Procedures of Statistic. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa Bambang sumantri. PT. Gramedia Jakarta.

J.R., Krifton and Starner. (1994). Principles of Veterinary Therapeutics. Longman Scientific and Technical. P. 126

Walter,

H.H. (1985). XylazinPentobarbital Anesthesia in Dog and It’s Antagonism Yohimbin. Am. J. Vet. Ress. 46 (4) : 852855.

Warren,

R.G. (1983). Small Animal Anesthesia. The C.V. Mosby Company. St Louis. 33 : 151160.

Wilson, R.P., L.S. Zagon, D.R. Laracch, dan C.M. Lang. (1993). Cardivascular and Respiratory Effect of TiletaminZolazepam. Pharmacol. Biochem. Behav. 44(1): 1-8. (Medline)

A. (2002). Medical Encyclopedia. Dehydration. Verimed Healthcare Network.

Hall, L.W. dan K.W. Clarke. (1983). Veterinary Anasthesia. ELBS and Bailliere Tindal. London Jones, L.M. (1957). Pharmacology and Therapeutics. Iowa State University Press. USA. P : 149167.

27

Veterinary Anaesthesia and Analgesia, 2013, 40, 403–409

doi:10.1111/vaa.12026

CASE REPORT

Apheresis in three dogs weighing <14 kg Lysa P Posner*, Jennifer L Willcox† & Steven E Suter†‡ *Department of Molecular and Biomedical Sciences, North Carolina State University, Raleigh, NC, USA †Department of Clinical Sciences, North Carolina State University, Raleigh, NC, USA ‡Center for Comparative Medicine and Translational Research, North Carolina State University, Raleigh, NC, USA Correspondence: Lysa P Posner, North Carolina State University, Raleigh, NC 27606, USA. E-mail: [email protected]

Abstract History CaridianBCT apheresis machines require a ~285 mL priming volume (extracorporeal blood) that is withdrawn from the patient in ~10 minutes. Therefore, apheresis in dogs has generally been limited to dogs > ~20 kg to assure <20% of the blood volume is removed in the priming phase. Animals/physical examination Three dogs weighing <14 kg (13.6, 10.5, and 9.9 kg) with lymphoma that underwent apheresis. Management The dogs were premedicated for placement of apheresis catheters with hydromorphone (0.1 mg kg1) IM. Anesthesia was induced with propofol, to effect, intravenously and general anesthesia was maintained with isoflurane in oxygen. Following catheter placement, dogs were allowed to recover from isoflurane but were kept sedated with either a dexmedetomidine constant rate infusion (CRI) or a propofol CRI. Real time autologous blood priming was not performed in any of the dogs. Instead, priming solutions were composed of a combination of hetastarch, lactated Ringer’s solution, and/or autologous blood that was harvested 4 days before the procedure. During apheresis, dogs received anticoagulant citrate-dextrose, solution-A (ACD-A) to prevent clotting and 10% calcium gluconate as needed to maintain normal ionized calcium concentrations. Dogs were monitored for cardiovascular and cardiopulmonary stability, anemia and lactic acidosis. Follow-up All of the dogs had cardiovascular and cardiopulmonary values within clinically acceptable

ranges. Immediately following apheresis all of the dogs were mildly to moderately anemic (PCV; 17– 35%) although none of the dogs required a transfusion or had an increased lactate concentration. Conclusions Dogs as small as 9.9 kg can successfully undergo apheresis with a variety of priming solutions. Dexmedetomidine or propofol given as a CRI provides sufficient sedation for this procedure. Keywords apheresis, dog, fluid therapy, chemical restraint.

Introduction In human medicine, peripheral blood progenitor cells (PBPC) harvested using sophisticated apheresis machines have replaced bone marrow as the primary source of hematopoietic cell transplantation (HCT) in the treatment of a wide variety of hematological, oncological, and autoimmune disorders. These machines can be used to treat adults and children, although apheresis of young and small patients presents many technical challenges that include metabolic and hemodynamic fragility, citrate toxicity, volume shifts due to relatively large extracorporeal volumes, hypothermia, the need for adequate vascular access, and the patient’s tolerance and cooperation throughout the procedure. In people, most apheresis donation centers routinely require patients to weigh >50 kg (Crocco et al. 2009). When using the recommended white blood cell tubing kit for peripheral blood mononuclear cell apheresis, the extracorporeal volume of the CaridianBCT machine is ~285 mL. Therefore, a variety of priming protocols are recommended by the 403

Apheresis in dogs <14 kg LP Posner et al.

manufacturer for pediatric and adolescent patients where the extracorporeal volume of the machine is >10–15% of the patient’s total blood volume (TBV). Strategies developed include priming the machine with saline, 20% human albumin solution, irradiated, leukocyte-depleted packed red blood cells, or whole blood. Dogs have been a valuable preclinical model for human HCT, therefore, aphereses have been reported in dogs since 1967 (Storb et al. 1967; Buckner et al. 1968; Lupu et al. 2008). One of the major challenges for apheresis in veterinary patients is the small size of many dog breeds, since ~285 mL of blood is removed from the patient to prime the machine within the first 10 minutes of the procedure. Due to limitations in banking blood for priming of the apheresis machine, canine candidates for HCT generally have been limited to patients > ~20 kg to assure that the priming volume does not approach ~20% of the patient’s total blood volume, assuming canine total blood volume is ~90 mL kg1 (Finsterer et al. 1973). However, since many canine breeds weigh <20 kg, apheresis protocols to manage the rapid loss of a significant blood volume and oxygen carrying capacity are essential. Although apheresis of small dogs <10 kg using a CaridianBCT cell separator has previously been reported in research animals (Lupu et al. 2008) there was no mention of the priming strategies involved, nor were cardiovascular, electrolyte, or anesthetic parameters documented. The objective of this manuscript is to document the hematologic and physiologic consequences of peripheral blood mononuclear cell (PBMC) apheresis using a CaridianBCT apheresis machine in three dogs weighing <14 kg in preparation for an autologous HCT.

HCT. Standard machine priming with this patient would have removed ~23% of TBV. Dog 2 The second dog, a 7 year old, 10.5 kg (<945 mL TBV) MC Shih Tzu, presented for HCT for treatment of B-cell lymphoma. This dog had received standard multi-agent chemotherapy and achieved a clinical remission. However, upon presentation, the dog had multiple mildly enlarged peripheral lymph nodes and fine needle aspirates from one of these nodes was consistent with residual lymphoma. Endocardiosis was diagnosed by echocardiography and as the dog was clinically obese with a body condition score of 9/9. The dog’s bone marrow and blood were PARR negative and the endocardiosis was not severe enough to exclude him from HCT, therefore he was scheduled for PBMC apheresis followed by TBI and HCT. Standard machine priming with this patient would have removed >30% of TBV. Dog 3 The third dog, an 8 year old, 9.9 kg (891 mL TBV) MC Jack Russell Terrier, presented for HCT for treatment of T-cell lymphoma (Dog 3). This dog also had received standard multi-agent chemotherapy and was in clinical remission, however he was mildly anemic (PCVCBC = 26%). The dog met the criteria for HCT and was scheduled for PBMC apheresis followed by TBI and HCT. Standard machine priming with this patient would have removed ~32% of TBV. Anesthesia and chemical restraint Anesthesia

Case histories Dog 1 The first dog was an 8 year old, 13.6 kg (~1,224 mL TBV), MC Beagle who presented for HCT for treatment of T-cell lymphoma. At the time of the admission the dog had received standard multiagent chemotherapy and was in clinical remission with no comorbidities. The dog met the criteria for HCT (no significant cardiac abnormalities seen on echocardiogram, blood and bone marrow PARR [PCR for antigen receptor rearrangements (Burnett et al. 2003)] negative) and was scheduled for PBMC apheresis followed by total body radiation (TBI) and 404

All of the dogs were fasted and water deprived for at least 9 hours. Premedication consisted of 0.1 mg kg1 hydromorphone IM (hydromorphone HCL; Baxter Healthcare Corporation, IL, USA) and general anesthesia was induced with propofol (MA Holder; Fresnius Kabi Ltd, UK) administered to effect (~3–4 mg kg1 IV). The dogs were intubated under direct visualization with a cuffed Murphy endotracheal tube (Medline; One Medline Place, IL, USA) which was secured in place with gauze (6 mm OD in the smallest dog and 7 mm OD in the larger 2 dogs). The endotracheal cuff was inflated to prevent air leaks at peak inspiratory pressure of 20 cmH2O. The endotracheal tube was attached to a small animal

© 2013 The Authors. Veterinary Anaesthesia and Analgesia © 2013 Association of Veterinary Anaesthetists and the American College of Veterinary Anesthesia and Analgesia, 40, 403–409

Apheresis in dogs <14 kg LP Posner et al. anesthetic machine (VMS 3408; Fraser Harlake Inc, NY, USA) and dogs were allowed to spontaneously breathe a mixture of isoflurane (Abbot Animal Health, IL, USA) in oxygen. Isoflurane concentration ranged between 1 and 1.5% and was adjusted to maintain relaxation and immobility. While anesthetized with isoflurane dogs had a variety of vascular catheters placed as described below. Following catheter placement, the dogs were allowed to recover (including extubation except where noted) from isoflurane anesthesia. Sedation during apheresis Dogs 1 and 3 During recovery from isoflurane anesthesia, a constant rate infusion (CRI) of dexmedetomidine (Pfizer Animal Health, PA, USA) (3–6 lg kg1 hour1 IV) was instituted and adjusted as needed to keep the dogs calm and still during the apheresis. Cotton balls were placed in the ear canals to minimize auditory stimulation. Oxygen was supplied by a loose fitting facemask with an oxygen flow rate of 4 L minute1.

utes to assess, ionized calcium and lactate concentrations and acid base physiology. Since Dog 1 was the first <15 kg dog to have cells harvested in our hospital, he had the greatest number of assessments performed and recorded (Table 1). In all of the dogs, ionized calcium was determined and recorded routinely, but the remaining parameters were not routinely recorded. Catheterization Following aseptic preparation, a 14-gauge, 11 cm dual-lumen hemodialysis catheter (Arrow Int, PA, USA) was placed in the right jugular vein for apheresis. An additional 20 gauge, 30 mm catheter (Instye Autoguard; Becton Dickson, UT, USA) was placed in the right saphenous vein and a 22-gauge catheter (Cathlon; Smith Medical International, UK) was placed in the left dorsal pedal artery. After apheresis was complete, the 14-gauge jugular catheter was removed and a 16-gauge 20 cm triple lumen catheter (Arrow Int, PA, USA) was placed in the left jugular vein. Calcium monitoring and supplementation

Dog 2 During recovery from isoflurane anesthesia, the dog was sedated with a CRI of propofol (0.2– 0.3 mg kg1 minute1). Due to this dog’s endocardiosis, propofol was substituted for dexmedetomidine because of the hemodynamic concerns related to alpha-2 agonists. In addition, because he was obese and brachycephalic, this dog remained intubated for the entire procedure to protect the airway and to permit assisted ventilation as needed.

For all dogs, determination of ionized calcium (iCa) was performed every 30 minutes. Calcium gluconate (10%, 100 mg mL1 or 0.465 mEq mL1; Hospira, IL, USA) was administered as a CRI and adjusted to maintain ionized calcium within 0.2 mmol L1 of the starting value (Lupu et al. 2006). Calcium administration ranged from 2000 to 5000 mg hour1 (9.3–23 mEq hour1) in Dog 1 and 1500–2000 mg hour1 (7.0–9.3 mEq hour1) in Dog 2 and 1200–2000 mg hour1 (5.6– 9.3 mEq hour1) in Dog 3.

Cardiovascular monitoring A multi-parameter monitor (Datascope Passport 2; DRE Medical, KY, USA) was used to assess; lead II ECG, direct arterial blood pressure (transducer zeroed at the level at the right atrium); end-tidal CO2 (PE′CO2), respiratory rate, oxygen saturation via pulse oximetry (SpO2) and rectal temperature. The dogs were positioned in left lateral recumbency on a soft table pad covered with a hot water circulating heating pad (TP-400 Gaymar Industries, NY, USA) and covered with a cloth blanket. Arterial blood analysis (I-Stat, portable chemical analyzer; Heska, WI; CG-4 or CG-8 cartridge Abbot Point of Care, IL, USA) was performed approximately every 30 min-

Apheresis and priming volumes In Dog 1, the apheresis machine was primed with ~100 mL hetastarch (6% Hetastarch; Baxter, IL, USA) and ~200 mL lactated Ringer’s Solution (LRS; Hospira) before connecting the patient. In Dog 2 the apheresis machine was primed with ~125 mL hetastarch, ~95 mL LRS, and ~65 mL autologous blood harvested at admission and stored at 4° C for 4 days before the patient underwent apheresis. The PCV of the final priming solution was 7%. In Dog 3 the apheresis machine was first primed with ~285 mL of 0.9% saline. After priming was completed, a collection bag containing 125 mL of autologous blood

© 2013 The Authors. Veterinary Anaesthesia and Analgesia © 2013 Association of Veterinary Anaesthetists and the American College of Veterinary Anesthesia and Analgesia, 40, 403–409

405

406

1.65 1.1 100 100 100 100 100 100 100 100 100 7 7 8 9 8 10 11 10 10 2.8 20.1 19.5 19.6 18.6 19.6 17.7 17.2 17.5 17.5 141 45.8/6.1 41.9/5.6 43.9/5.9 43.3/5.8 46.1/6.1 45.4/6.1 45.2/6.0 44.4/5.9 43.5/5.8 40/5.3 7.251 7.275 7.257 7.241 7.237 7.2 7.189 7.204 7.212 7.4

321/42.8 278/37.1 333/44.4 347/46.3 350/46.7 325/43.3 328/43.7 333/44.4 348/46.4 31/4.1

HCO3 (mmol L1) PO2 (mmHg/kPa) PCO2 (mmHg/kPa) pH

1.14

1.38 1.17 1.08 1.01 1.08 1.17 1.18 1.16

4.2 141

21 21 21 20 21 19 19 19 19 28.4 3.5 3.6 3.5 3.5 3.5 3.4 3.5 3.7 98 106 116 129 142 174 188 195 0 15 30 45 60 75 90 105 (CG-4) 105 (CG-8) 21 hours (venous sample)

149 150 150 149 150 148 149 148

iCa (mmol L1) TCO2 (mmol L1) K (mmol L1) Glucose (mg dL1)

Na (mmol L1)

(14% of TBV, PCV 40% that was similarly collected 4 days prior) was connected and the apheresis procedure was started. After the collection bag was empty, the procedure was paused, the patient was then connected to the apheresis machine and the procedure was resumed. During apheresis of all three patients, ACD-A (Anticoagulant Citrate Dextrose Solution-Formula A; Baxter Healthcare Corporation, IL, USA) was administered at a rate of 0.8 mL minute1 L1 TBV. In addition to routine cardiovascular parameters; the dogs were monitored for hemoglobin (Hb), packed cell volume (PCV), electrolyte and blood gas parameters which are summarized in Table 1 for Dog 1. Hemoglobin (HbCBC) and PCV (PCVCBC) was determined from a CBC via a diagnostic laboratory (Advia 120; Siemens Diagnostic; IL, USA). During sedation and apheresis, all three dogs appeared clinically stable and the procedures concluded without incident. Following the procedure, the blood and fluid remaining (~450 mL) in the leukapheresis machine (rinseback) were collected into a transfusion collection bag (Terumo Corporation, Japan) and centrifuged (Sorvall RC-4; Thermo Scientific, IL, USA) at 2161.4 g for 15 minutes to remove the plasma. The recovered ~150 mL of packed red blood cells (pRBCs) were transfused back into the patient over ~4 hours. Individual dog summary

Time (minutes)

Table 1 Arterial and venous blood gas electrolyte and lactate values from Dog 1. Unless shown otherwise, all values are from arterial samples

SBE (mmol L1)

SO2 (%)

Lactate (mmol L1)

Apheresis in dogs <14 kg LP Posner et al.

In Dog 1; PCVCBC and HBCBC prior to apheresis was 42% and 13.1 g dL1respectively. Following apheresis PCVCBC and HBCBC decreased to 35% and 10.5 g dL1. The following morning; approximately 21 hours from the start of the cell harvest; the dog was normal on physical examination; was bright alert and responsive; and had a mild anemia (PCVcbc 35%, HBCBC 10.8 g dL1) with a normal acid-base status (Table 1). The total time of the apheresis procedure was 215 minutes while the total time of anesthesia/sedation was 225 minutes. In Dog 2 the PCVCBC and HBCBC prior to apheresis were 35% and 11.1 g dL1 respectively. Following apheresis PCVCBC and HBCBC decreased to 17% and 5.8 g dL1. The day following the cell harvest, the dogs PCVCBC and HBCBC were 26% and 8.5 g dL1. The dog was bright, alert and responsive, but continued to have a mild metabolic acidosis (pH=7.3, HCO3 = 19.2, BE = 6.6 – reference intervals pH 7.3–7.48; HCO3 20.7–29.2; BE 4.4 –4.0). The total time of the apheresis procedure

© 2013 The Authors. Veterinary Anaesthesia and Analgesia © 2013 Association of Veterinary Anaesthetists and the American College of Veterinary Anesthesia and Analgesia, 40, 403–409

Apheresis in dogs <14 kg LP Posner et al. was 200 minutes while the total time of anesthesia/ sedation was 325 minutes. In Dog 3; PCVCBC and HBCBC prior to apheresis were 37% and 11.8 g dL1respectively. Following apheresis PCVCBC and HBCBC decreased to 26% and 8.2 g dL1. The following morning, the dog was bright, alert and responsive and 2 days following the procedure the PCVCBC and HBCBC were 26% and 8.2 g dL1. The total time of the apheresis procedure was 210 minutes while the total time of anesthesia/sedation was 435 minutes. All of the dogs recovered from prolonged sedation and anesthesia well. None demonstrated any clinical signs of volume overload. Discussion Our three primary concerns with apheresis in small dogs were venous access, since large bore hemodialysis catheters are needed to ensure adequate machine flow rates; the large priming volume needed to fill the apheresis machine compared to their low body weights; and the risk of citrate toxicity due to the relatively large amount of citrate (ACD-A) administered. Apheresis in infants and children has similar concerns with regard to large machine priming volumes compared with the patient’s blood volume, which could result in inadequate oxygen carrying capacity (low Hb), hypotension due to decreased intravascular volume, or both. In these patients, apheresis has been successfully accomplished by machine priming with whole blood, hetastarch, albumin solutions as well as a mixture of those solutions (Demeocq et al. 1994). Although priming volumes are a concern for all apheresis in patients <~15 kg, there is no objective evidence which priming solutions produce a better clinical outcome. The decision to use a particular priming solution needs to balance intravascular volume and hemoglobin carrying capacity. Some apheresis centers set an arbitrary requirement of hemoglobin being >12 g dL1 (Orbach et al. 2003). For the dogs in this series using standard priming of the apheresis machine, each dog would have had >15% of TBV removed in ~10 minutes. Our goal with each priming strategy was to attempt a slightly less than euvolemic exchange with the combination of colloid (hetastarch or whole blood) and crystalloid solutions. Hetastarch has a colloid osmotic pressure of ~30 mmHg and is estimated to translocate fluid into the intravascular

space at ~1.39 the volume administered (DiBartola 2006). Lactated Ringer’s solution is isotonic and therefore approximately 2/3 the volume should translocate out of the vessels (DiBartola 2006). This slightly less than euvolemic exchange would allow for cardiovascular stability during the harvest but also allow the pRBCs to be re-administered following the procedure with less concerns for volume overload. Assessment of cardiovascular parameters was difficult since the dogs were recovering from isoflurane anesthesia while beginning the administration of a dexmedetomidine CRI (a potent vasoconstrictor) or propofol CRI (a vasodilator). However, for all three dogs, measured cardiovascular parameters stayed within clinically acceptable ranges. Dogs 1 and 2 also had serum lactate concentrations measured following the procedure; all of which were within our reference intervals (<2.5 mmol L1). These lactate concentrations indicated that the dogs did not manifest inadequate perfusion due to the intravascular volume changes. A decrease in oxygen carrying capacity by up to 32% during priming was considered acceptable since the PCV was within a normal range to start and the dogs would be supported with oxygen during this time. Hemoglobin concentrations decreased as expected with the addition of 450 mL of nonhemoglobin based fluids (Dog 1). At this institution, the general criteria for blood transfusion are an Hb < 7.0 g dL1; PCV <20%; rising lactate or CV instability. Only Dog 2 had a PCV that was <20% during the harvest (17%); however the dog did not show any signs of compromise and the PCV increased to >20% following the return of its own RBCs. Following the harvest; none of the dogs showed signs associated with diminished oxygen carrying capacity (tachypnea, tachycardia, lactic acidosis). However, we did note that in Dog 1 (Table 1), there was a progressively increasing metabolic acidosis (based on pH and HCO3, and SBE) by the end of the harvest. Other, but not all, dogs undergoing apheresis have had a similar and significant metabolic acidosis (pH<7.2) during the procedure (Lysa Pam Posner, unpublished data). A possible cause of the metabolic acidemia is poor perfusion associated with a decrease in cardiac output resulting from the dexmedetomidine CRI or decreases in oxygen carrying capacity. However, poor perfusion due to alpha-2 agonist administration in these dogs is unlikely. Medetomidine CRIs at comparable doses in awake dogs were not associated with a change in

© 2013 The Authors. Veterinary Anaesthesia and Analgesia © 2013 Association of Veterinary Anaesthetists and the American College of Veterinary Anesthesia and Analgesia, 40, 403–409

407

Apheresis in dogs <14 kg LP Posner et al.

pH (Carter et al. 2010) and a lactate measured at the end of cell harvest in those dogs was normal. Alternatively, the metabolic acidosis could have been associated with ACD administered during the harvest. ACD is a mixture of citric acid, sodium citrate and dextrose. Approximately 450 mL of ACD were administered to these patients. The citrate in the solution is eventually metabolized to bicarbonate; but citrate is acidic during administration. Other pump priming solutions have been associated with transient metabolic acidoses (Liskaser et al. 2000). Regardless of the cause; the acidemia was not treated, but had resolved by the following morning in Dog 1. Another potential cause of increased H+ ions could be the large and rapid administration of calcium. Calcium and H+ ions competitively bind to albumin and it is possible that during calcium administration the rapid increase in plasma calcium concentrations results in H+ being liberated. After the binding of calcium to citrate and the lowering of plasma calcium concentrations; H+ can bind again to albumin and acid base status is quickly resolved. Unfortunately, the cause of acidemia in these dogs remains unknown. Aside from the transient but clinically significant acidemia; the dogs showed no signs of instability during the collection and had no clinical problems with or following the return of their own red blood cells. The infusion of sodium citrate in ACD can cause clinically relevant hypocalcemia otherwise known as citrate toxicity. Although hypocalcemia occurs in <0.38% of people undergoing apheresis (Crocco et al. 2009), in dogs undergoing platelet pheresis, clinically significant hypocalcemia (ionized Ca <1.0 mmol L1) was reported even with 10% calcium gluconate supplementation (Callan et al. 2008) likely due to the relatively large amount of citrate administered per body weight of patient. For the three dogs in this study, ionized calcium was assessed every 30 minutes and all were supplemented to maintain a serum concentration within 0.2 mmol L1 of their base line value. Interestingly, the amount of calcium varied considerably between the dogs (up to 49 different) even though the dogs’ weights were not very different. It is therefore important to measure ionized calcium and treat each dog individually as requirements cannot be estimated based on body weight and citrate administration. Constant rate infusions of either dexmedetomidine or propofol provided adequate chemical restraint to accomplish the multi-hour procedure without any 408

complications. Although it is possible to perform large volume fluid exchanges in dogs without sedation, our experience indicates that it is less stressful for the dog, reduces the risk of four separate catheters becoming dislodged and requires less staff. The goal of collecting >2 9 106 peripheral blood CD34 + cells kg1 (Gidron et al. 2005) was reached in all three dogs. All dogs received 10– 11 Gy TBI followed immediately by infusion of the apheresis product through a jugular catheter. All dogs engrafted appropriately (neutrophils >3500 lL1 and platelets >25,000 lL1) and were discharged from the hospital approximately 2 weeks after the apheresis. Conclusions Based on the experience of these three dogs all weighing <14 kg, it is possible to perform apheresis and HCT on patients of this size. Individual requirements for calcium supplementation varied greatly and should be treated only following assessment of ionized calcium concentrations. Further study is needed to identify the minimum size limit recommendations. References Buckner D, Eisel R, Perry S (1968) Blood cell separation in the dog by continuous flow centrifugation. Blood 31, 653–672. Burnett RC, Vernau W, Modiano JF et al. (2003) Diagnosis of canine lymphoid neoplasia using clonal rearrangements of antigen receptor genes. Vet Pathol 40, 32–41. Callan MB, Appleman EH, Shofer FS et al. (2008) Clinical and clinicopathologic effects of plateletpheresis on healthy donor dogs. Transfusion 48, 2214–2221. Carter JE, Campbell NB, Posner LP et al. (2010) The hemodynamic effects of medetomidine continuous rate infusions in the dog. Vet Anaesth Analg 37, 197–206. Crocco I, Franchini M, Garozzo G et al. (2009) Adverse reactions in blood and apheresis donors: experience from two Italian transfusion centres. Blood Transfus 7, 35–38. Demeocq F, Kanold J, Chassagne J (1994) Successful blood stem cell collection and transplant in children weighing less than 25 kg. Bone Marrow Transplant 13, 43–50. DiBartola SP (2006) Fluid Therapy in Small Animal Practice. Saunders, MO, USA. Finsterer U, Prucksunand P, Brechtelsbauer H (1973) Critical evaluation of methods for determination of blood volume in the dog. Pflugers Arch 341, 63–72. Gidron A, Verma A, Doyle M et al. (2005) Can the stem cell mobilization technique influence CD34 + cell collection efficiency of leukapheresis procedures in patients with

© 2013 The Authors. Veterinary Anaesthesia and Analgesia © 2013 Association of Veterinary Anaesthetists and the American College of Veterinary Anesthesia and Analgesia, 40, 403–409

Apheresis in dogs <14 kg LP Posner et al. hematologic malignancies? Bone Marrow Transplant 35, 243–249. Liskaser FJ, Bellomo R, Hayhoe M et al. (2000) Role of pump prime in the etiology and pathogenesis of cardiopulmonary bypass-associated acidosis. Anesthesiology 93(5), 1170–1173. Lupu M, Sullivan EW, Westfall TE et al. (2006) Use of multigeneration-family molecular dog leukocyte antigen typing to select a hematopoietic cell transplant donor for a dog with T-cell lymphoma. J Am Vet Med Assoc 228, 728–732. Lupu M, Gooley T, Zellmer E et al. (2008) Principles of peripheral blood mononuclear cell apheresis in a

preclinical canine model of hematopoietic cell transplantation. J Vet Intern Med 22, 74–82. Orbach D, Hojjat-Assari S, Doz F et al. (2003) Peripheral blood stem cell collection in 24 low-weight infants: experience of a single centre. Bone Marrow Transplant 31, 171–174. Storb R, Epstein RB, Ragde H et al. (1967) Marrow engraftment by allogeneic leukocytes in lethally irradiated dogs. Blood 30, 805–811. Received 10 June 2011; accepted 30 June 2012.

© 2013 The Authors. Veterinary Anaesthesia and Analgesia © 2013 Association of Veterinary Anaesthetists and the American College of Veterinary Anesthesia and Analgesia, 40, 403–409

409

Related Documents


More Documents from "Andrew Collins"

My Resume
October 2019 52
Albrecht Ae497s
October 2019 52
Scanner Antenna
October 2019 52
May 2020 47
El Tercer Testamento
May 2020 41