52890_tugas Etika Profesi Klp 2.docx

  • Uploaded by: Manix AngeLeeteuk
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 52890_tugas Etika Profesi Klp 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,291
  • Pages: 27
TUGAS ETIKA PROFESI FILSAFAT ETIKA, NORMA, HUKUM, AGAMA DAN MORAL

Oleh Kelompok II : 1. PUTU DEVIANA PRAMASATYA PUTRI

P07131215038

2. NI MADE DWI GUNANTARI

P07131215043

3. LUH KISSARA BELLA DELIA

P07131215050

4. NIA AINIYAH

P07131215053

5. NI KOMANG HELIN ANGGITA DIPAYANI

P07131215064

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN GIZI PROGRAM STUDI D IV DENPASAR 2017

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma, dan moralitas. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat dan mengamati nilai dan norma moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai norma moral itu ( Aji dan Sabeni 2003). Sebagai cabang filsafat, etika dapat dibedakan menjadi dua : obyektivisme dan subyektivisme. Menurut pandangan yang pertama, nilai kebaikan suatu perbuatan bersifat obyektif yaitu terletak pada substansi perbuatan itu sendiri. Paham ini melahirkan rasionalisme dalam etika, suatu perbuatan dianggap baik, bukan karena kita senang melakukannya, tetapi merupakan keputusan rasionalisme universal yang mendesak untuk berbuat seperti itu. Sedangkan aliran subyektivisme berpandangan bahwa suatu perbuatan disebut baik bila seejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu baik subyek Tuhan, subyek kolektitf seperti masyarakat maupun subyek individu (Muhammad, 2004). Masalah etika itu sendiri merupakan cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang yang dilakukan dengan penuh kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya. Persoalan etika itu pula merupakan persoalan yang berhubungan dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya baik individu maupun masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesame manusia dan dirinya (Musa, 2001). Etika juga dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus, etika khusus dibedakan lagi menjadi yaitu etika individual dan etika sosial. Pembagian etika menjadi umum dan etika khusus dipopulerkan oleh Frans Magnis Suseno (1993) dengan istilah etika deskriptif. Frans Magnis Suseno (1993) menjelaskan bahw etika umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, seperti tentang pengertian etika, fungsi etika, masalah kebebasan, tanggung jawab dan peranan suara hati. Sedangkan etika khusus menerapkan prinsip-prinsip dasar dari moral itu pada masingmasing bidang kehidupan manusia.

2. RUMUSAN MASALAH 1.

Apa pengertian filsafat ?

2. Apa pengertian Norma Umum? 3. Apa pengertian Norma Hukum? 4. Apa pengertian Norma Agama ? 5. Apa pengertian Moral? 6. Apa pengertian Moral Kesadaran (hati nurani/suara hati)? 3. TUJUAN PENULISAN 1. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian Norma Umum. 2. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian Norma Hukum. 3. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian Norma Agama. 4. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian Moral. 5. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian Moral Kesadaran(hati nurani/suara hati).

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Filsafat Secara etimologi atau asal usul bahasa, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, “philosophia”, yang merupakan penggabungan dua kata yakni “philos” atau “philein” yang berarti “cinta”, “mencintai”, atau “pecinta”, serta kata “shopia” yang berarti “kebijaksanaan” atau “hikmat”. Dengan demikian, secara bahasa, “filsafat” memiliki arti “cinta akan kebijaksanaan”. Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan, artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Kaitan antara kebijaksanaan dan kebenaran dijelaskan oleh Suparlan Suhartono, Ph.D. (2007:35) bahwa orang yang mencintai kebijaksanaan akan selalu “tertari” untuk mencari kebenaran. Ketertarikan ini bisa digambarkan ketika seseorang mengunkapkan pernyataan “aku cinta kamu”. Aku adalah subjek dan kamu adalah objek. Dalam hal ini, aku menyatu dengan objek “kamu”, yang di dalamnya terkandung “persatuan” antara aku sebagai subjek dan kamu sebagai objek. “Persatuan” akan terjadi hanya jika adanya “pengetahuan” bagi aku (subjek) tentang kamu (objek). Semakin jauh dan mendalam pengetahuanku mengenai kamu, maka semakin kukuhlah cinta itu. Sedangkan secara epistemologi (istilah), terdapat ratusan rumusan pengertian “filsafat”. Namun secara mendasar, filsafat adalah hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran sejati. Mengutip The Liang Gie, Suhartono Suparlan, Ph.D. (2007:45-46) mengatakan bahwa, definisi filsafat dapat dipetakan menurut kronologi sejarah filsafat. Beberapa definisi berdasarkan kronologi tersebut adalah : 1. Plato (427-347), mengatakan bahwa filsafat adalah mengkritik pendapatpendapat yang berlaku. Jadi, kearifan atau pengetahuan intelektual itu diperoleh melalui suatu proses pemeriksaan secara kritis, diskusi, dan penjelasan. 2. Aristoles (384-322 SM), menyatakan bahwa filsafat sebagai ilmu menyelidiki tentang hal ada sebagai hal ada yang berbeda dengan bagian-

bagiannya yang satu atau lainnya. Ilmu ilmu ini juga dianggap sebagai ilmu yang pertama dan terakhir, sebab secara logis disyaratkan adanya ilmu yang juga harus dikuasai, sehinnga untuk memahaminya orang harus menguasai ilmu-ilmu yang lain itu. 3. Sir Francis Bacon ( 1561-1626 M) menyebutkan bahwa filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu . Filsafat menangani semua pengetahuan sebaqgai bidangnya. 4. Rene Descartes (1590-1650), menulis filsafat sebagai kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan. 5. Immanuel Kant (1724-1804), menyampaikan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup dalam empat persoalan, yakni : a. Apakah yang dapat kita ketahui? (jawabannya : metafisika). b. Apakah yang seharusnya kita ketahui? (jawabannya : etika). c. Sampai dimanakah harapan kita? (jawabannya : agama). d. Apakah yang dinamakan manusia? (jawabannya : antropologi). 6. G.W.F Hegel (1770-1831), menggambarkan filsafat sebagai landasan maupun pencerminan dari peradaban. Sejarah filsafat karenanya merupakan pengungkapan sejarah peradaban, dan begitu juga sebaliknya. 7. Herbert Spencer (1820-1903), menggariskan filsafat sebagai nama pengetahuan tentang generalitas yang tingkatannya paling tinggi. 8. John

Dewey (1859-1952),

pengungkapan

mengenai

mendefinisikan perjuangan

filsafat

manusia

sebagai

dalam

suatu

melakukan

penyesuaian kumpulan tradisi secara terus-menerus yang membentuk budi manusia yang sesungguhnya terhadap kecenderungan ilmiah dan citacitapolitik baru dan yang tidak sejalan dengan wewenang yang diakui. Jadi, filsafat merupakan alat untuk membuat penyesuaian-penyesuaian di antara yang lama dan yang baru dalam suatu kebudayaan. 9. Bertrand Rusell (18872-1970), mengakui filsafat sebagai suatu kritik terhadap pengetahuan. Filsafat memeriksa secara kritis asas-asas yang dipakai dalam ilmu dan kehidupan sehari-hari, dan mencari suatu ketidakselarasan yang dapat terkandung di dalam asas-asas itu.

10. Louis O. Kattsoff (1963), di dalam bukunya Elements of Philosophy mengartikan filsafat sebagai berpikir secara kritis, sistematis, rasional, komprehensif (menyeluruh), dan menghasilkan sesuatu yang runtut. 11. Windelband, seperti dikutip Hatta dalam pendahuluan Alam Pikiran Yunani, “filsafat sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu keadaan atau hal yang nyata. 12. Frans Magnis Suseno dalam bukunya yang berjudul Berfilsafat Dari Konteks (Jakarta : Gramedia, 1999), mengartikan “filsafat” sebagai usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentahmentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain. Yaitu, untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data, dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. 2.2 Pengertian Norma Di dalam kehidupan sehari-hari sering dikenal dengan istilah norma-norma atau kaidah, yaitu biasanya suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap tindak, dan berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Patokan atau pedoman tersebut sebagai norma (norm) atau kaidah yang merupakan standar yang harus ditaati atau dipatuhi Kehidupan masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran yang beraneka ragam, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, akan tetapi kepentingan bersama itu mengharuskan adanya ketertiban dan keamanan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk peraturan yang disepakati bersama, yang mengatur tingkah laku dalam masyarakat, yang disebut peraturan hidup.Untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan kehidupan dengan aman, tertib dan damai tanpa gangguan tersebut, maka diperlukan suatu tata (orde=ordnung), dan tata itu diwujudkan dalam “aturan main” yang menjadi pedoman bagi segala pergaulan kehidupan sehari-hari, sehingga kepentingan masing-masing anggota masyarakat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui “hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan tata peraturan”, dan tata itu lazim disebut “kaedah” (bahasa Arab), dan “norma” (bahasa Latin) atau ukuran-ukuran yang menjadi pedoman, norma-norma tersebut mempunyai dua macam menurut isinya, yaitu:

1. Perintah, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang baik. 2. Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang tidak baik.Artinya norma adalah untuk memberikan petunjuk kepada manusia bagaimana seseorang hams bertindak dalam masyarakat serta perbuatanperbuatan mana yang harus dijalankannya, dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari (Kansil, 1989:81).

Norma-norma itu dapat dipertahankan melalui sanksi-sanksi, yaitu berupa ancaman hukuman terhadap siapa yang telah melanggarnya. Tetapi dalam kehidupan masyarakat yang terikat oleh peraturan hidup yang disebut norma, tanpa atau dikenakan sanksi atas pelanggaran, bila seseorang melanggar suatu norma, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat dan sifatnya suatu pelanggaran yang terjadi, misalnya sebagai berikut:

Semestinya tahu aturan tidak akan berbicara sambil menghisap rokok di hadapan tamu atau orang yang dihormatinya, dan sanksinya hanya berupa celaan karena dianggap tidak sopan walaupun merokok itu tidak dilarang.Seseorang tamu yang hendak pulang, menurut tata krama harus diantar sampai di muka pintu rumah atau kantor, bila tidak maka sanksinya hanya berupa celaan karena dianggap sombong dan tidak menghormati tamunya. Mengangkat gagang telepon setelah di ujung bunyi ke tiga kalinya serta mengucapkan salam, dan jika mengangkat telepon sedang berdering dengan kasar, maka sanksinya dianggap “intrupsi” adalah menunjukkan ketidaksenangan yang tidak sopan dan tidak menghormati si penelepon atau orang yang ada disekitarnya. Orang yang mencuri barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya, maka sanksinya cukup berat dan bersangkutan dikenakan sanksi hukuman, baik hukuman pidana penjara maupun perdata (ganti rugi).

Kemudian norma tersebut dalam pergaulan hidup terdapat empat (4) kaedah atau norma, yaitu norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum . Dalam pelaksanaannya, terbagi lagi menjadi norma-norma umum (non hukum) dan norma hukum, pemberlakuan norma-norma itu dalam aspek kehidupan dapat digolongkan ke dalam dua macam kaidah, sebagai berikut:

1. Aspek kehidupan pribadi (individual) meliputi:  Kaidah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan yang beriman.  Kehidupan kesusilaan, nilai moral, dan etika yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi demi tercapainya kesucian hati nu-rani yang berakhlak berbudi luhur (akhlakul kharimah).

2. Aspek kehidupan antar pribadi (bermasyarakat) meliputi:  Kaidah atau norma-norma sopan-santun, tata krama dan etiketdalam pergaulan seharihari dalam bermasyarakat (pleasantliving together).  Kaidah-kaidah hukum yang tertuju kepada terciptanya ketertiban, kedamaian dan keadilan dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan kepastian atau ketenteraman (peaceful living together).Sedangkan masalah norma non hukum adalah masalah yang cukup penting dan selanjutnya akan dibahas secara lebih luas mengenai kode perilaku dan kode profesi Humas/PR, yaitu seperti nilai-nilai moral, etika, etis, etiket, tata krama dalam pergaulan sosial atau berma-syarakat, sebagai nilai aturan yang telah disepakati bersama, dihormati, wajib dipatuhi dan ditaati. Norma moral tersebut tidak akan dipakai untuk menilai seorang dokter ketika mengobati pasiennya, atau dosen dalam menyampaikan materi kuliah terhadap para mahasiswanya, melainkan untuk menilai bagaimana sebagai profesional tersebut menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik sebagai manusia yang berbudi luhur, juiur, bermoral, penuh integritas dan bertanggung jawab.Terlepas dari mereka sebagai profesional tersebut jitu atau tidak dalam memberikan obat sebagai penyembuhnya, atau metodologi dan keterampilan dalam memberikan bahan kuliah dengan tepat. Dalam hal ini yang ditekankan adalah “sikap atau perilaku” mereka dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai profesional yang diembannya untuk saling menghargai sesama atau kehidupan manusia. Pada akhirnya nilai moral, etika, kode perilaku dan kode etik standard profesi adalah memberikan jalan, pedoman, tolok ukur dan acuan untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang akan dilakukan dalam berbagai situasi dan kondisi tertentu dalam memberikan pelayanan profesi atau keahliannya masing-masing. Pengambilan keputusan etis atau etik, merupakan aspek kompetensi dari perilaku moral sebagai seorang profesional yang telah memperhitungkan konsekuensinya, secara matang baik-buruknya akibat yang ditimbulkan dari tindakannya itu secara obyektif, dan sekaligus memiliki tanggung jawab

atau integritas yang tinggi. Kode etik profesi dibentuk dan disepakati oleh para profesional tersebut bukanlah di-tujukan untuk melindungi kepentingan individual (subyektif), tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan yang lebih luas (obyektif).

Fungsi Norma Fungsi norma dalam masyarakat secara umum sebagai berikut : - Norma merupakan factor perilaku dalam kelompok tertentu yang memungkinkan seseorang untuk menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakan akan dinilai orang lain. - Norma merupakan aturan , pedoman, atau petunjuak hidup dengan sanksi-sanksi untuk mendorong seseorang, kelompok , dan masyarakat mencapai dan mewujudkan nilai-nilai social. - Norma-norma merupakan aturan-aturan yang tumbuh dan dan hidup dalam masyarakat sebagai unsur pengikat dan pengendali manusia dalam hidup masyarakat.

Oleh sebab itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma hukum, norma agama, norma moral, dan norma kesadaran moral. 1. Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu,

misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. ada 2 macam norma hukum, yaitu : -

Yang tertulis, berupa undang – undang

-

Yang tidak tertulis, misalnya hukum adat

Ciri khas norma hukum : -

Pelaksanaannya merupakan suatu keharusan

-

Pelanggaran atas norma hukum perlu ditindak atau dikenai sanksi hukuman oleh penguasa

-

Harus berlaku dengan pasti dan bersifat adil

-

Berlaku untuk orang – orang di wilayah hukum tersebut

2. Norma Agama

Semua manusia, apapun agamanya, sejauh ia adalah manusia, terikat oleh norma moral. Norma moral berhubungan erat dengan norma agama, karena norma agama memuat norma moral. Akan tetapi, norma moral lebih bersifat umum daripada norma

agama, karena norma agama (yang tidak sekaligus sebagai norma moral) hanya berlaku bagi mereka yang memeluk agama tersebut.

Tetapi, bisa terjadi bahwa ada norma agama yang dalam praktiknya ternyata bertentangan dengan norma moral. Misalnya, norma agama yang membenarkan penyiksaan dan pembunuhan terhadap kaum kafir, pengorbanan jiwa manusia untuk dipersembahkan pada dewa – dewa, praktik pelacuran suci, dan sebagainya. Padahal, sejujurnya hati kecil mampu menyadari bahwa semua hal tersebut bertentangan dengan norma moral.

Ciri khas norma agama : -

Sanksi terhadap pelanggaran norma agama diberikan oleh Tuhan Sang Pencipta

-

Keberlakuannya hanya bagi mereka yang memeluk agama tersebut

3. Norma Moral

Moral Secara bahasa moral merupakan bentuk jamak dari kata mos yang bermakna kebiasaan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Moral dipahami sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, dan patokan-patokan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral dapat berupa agama, nasihat para bijak, orang tua, guru dan sebagainya. Pendek kata, sumber ajaran moral meliputi agama, adat istiadat, dan ideologi-ideologi tertentu. Maududi membagi moral menjadi dua macam, yakni moral religius dan moral sekuler. Moral religius mengacu pada agama sebagai sumber ajarannya, sedngkan moral sekuler bersumber pada ideologiideologi nonagama. Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya tingkah laku manusia. Sedangkan norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan salah-betulnya sikap dan tindakan manusia itu sendiri. Suatu kegiatan dinyatakan bermoral, apabila sesuai dan sejalan dengan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Dan tidak menutup kemungkinan moralitas di masyarakat tertentu berbeda dengan moralitas pada masyarakat lainnya. 4. Kesadaran Moral, dasar Etika Bermasyarakat

Secara langsung atau tidak langsung, moralitas dan etika hanya bisa berlaku secara sempurna didalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang hidup dengan mengisolir diri di tengah hutan, seolah-olah tidak memerlukan moral dan etika. Tetapi ketika mulai

memanfaatkan sumber daya hutan, apalagi jka cara pemanfaatannya cenderung merusak, maka perilakunya sudah masuk ke dalam lingkup moral dan etika. Hal itu karena kelangsungan hidup dan kehidupan pada umumnya, termasuk kehidupan bermasyarakat, mutlak bergantung pada keberadaan hutan. Karena sifatnya universal, maka pemikiran kritis tentang moral dan etika lebih mensoal pada masalah kesadaran moral, yang berkedudukan pada awal dari seluruh kegiatan hidup. Sadar akan asal-mula dan tujuan kehidupan, maka manusia sadar tentang apa yang perlu dilakukan dalam menjalani kehidupannya. Atas kesadaran moralnya, seseorang terdorong untuk melakukan perbuatan yang baik dan bernilai guna bagi kelangsungan dan tuj uan hidup. Selanjutnya, agar kehidupan berlangsung hingga tujuan akhir, maka manusia harus mampu menyediakan segala kebutuhan hidup. Sadar atas segala kekurangan dan keterbatasannya, seseorang lalu menjalin hubungan dengan orang lain sesamanya. Adapun tuju annya tidak lain adalah agar mereka bisa saling menutupi kekurangannya, dengan cara mengikat diri dalam kebersamaan menurut sistem tertentu yang telah mereka sepakati, sehingga terbentuk suatu kebersamaan di dalam sebuah organisasi sosial kemasyarakatan. A tas kesadaran moralnya itu, setiap orang terdorong untuk membangun potensi diri menjadi lebih otonom dan kreatif, agar kualitas kerja sama menjadi semakin kuat. Jika dorongan itu berkembang, maka otomatis dinamika kehidupan sosial ke arah kemajuan hidup be rkembang pula. Kemudian, kesadaran moral juga berfungsi sebagai pengendali perilaku, sedemikian rupa sehingga seseorang mampu berperilaku jujur menurut moralitas bersyukur (ketika memperoleh sesuatu), bersabar (ketika mendapat ujian hidup) dan berikhlas (ketika harus kehilangan). Sesungguhnya, kesadaran moral itu selalu ada di dalam diri setiap orang. Hanya saja sering kali terhalang oleh nafsu negatif yang mendorong suatu perbuatan dilakukan. Nafsu adalah baik, tetapi ketika tidak terkontrol oleh akal dan tanpa pertimbangan rasa, maka lalu berubah menjadi kejahatan. Kepada para penjahat, koruptor dan kawan -kawannya sekalipun, jika ditanya “mengapa melakukan kejahatan korupsi?”. Maka atas kesadaran moralnya, jawaban mereka pasti juga tidak bisa menyetujui pe rbuatannya itu. Mereka cenderung menyesali perbuatan, tetapi kesadaran moral hanya bisa terbentuk melalui kehidupan keluarga yang terdidik, kualitas pembelajaran di sekolah dan kehidupan masyarakat yang berbudaya. Seluruh proses itu, kemudian membentuk suatu kepribadian bermoral dan beretika di dalam hidup bermasyarakat.

Van Peursen (1990), filsuf Belanda yang sangat tertarik pada persoalan kebudayaan menunjuk “kualitas pribadi” sebagai kunci dari daya dorong hidup. Antara lain dianjurkan: “setiap pribadi harus beraksi terhadap realitas, situasi nyata dan terhadap tantangan tantangan yang ada. Disamping itu, setiap pribadi harus bersifat kreatif dalam segala keputusannya, dengan bersikap menyesuaikan diri dalam perubahan kehidupannya maupun terhadap tuntuta n yang berubah-ubah dari suatu periode baru dalam sejarah atau dalam kebudayaan yang berbeda”. Dari anjurannya itu, Van Peursen menunjuk potensi kreatif sebagai ciri penting kepribadian manusia. Dengan daya kreatif, seseorang mampu bersikap arif dalam bere aksi terhadap realitas kehidupan yang sarat perubahan. Kreativitas rupanya dinilai sebagai daya dalam memahami sesuatu apa sebenarnya yang menjadi tuntutan perubahan. Oleh karena itu, dengan kreativitas itu pula seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap s egala perubahan yang sedang dan bahkan yang akan terjadi. Karena kreativitas adalah sumber daya perubahan itu sendiri, maka di dalamnya terkandung potensi dialektik -futuristik. Ketika suatu perubahan dicipta,bisa menangkap apa saja yang bakal berubah di masa datang. Pada dasarnya, sebagai komponen kesadaran moral, daya kreativitas ada secara menginti di dalam tujuan hidup, dorongan hidup dan kecakapan hidup. Artinya, untuk mencapai tujuan hidup, maka harus ada kreativitas yaitu suatu kecakapan dan ketrampil an dalam membuat perubahan. Setiap perubahan berfungsi sebagai dorongan ke arah tujuan hidup. Pada hakikatnya, kreativitas selalu cenderung mencipta perubahan untuk kemajuan, karena itu pula mengandung nilai. Secara keseluruhan, sistem nilai adalah suasana moralitas manusia yang harus dipertanggung-jawabkan secara etis di sepanjang kehidupan. Di dalam kehidupan bermasyarakat, setiap orang harus berpedoman pada norma -norma etika, menurut kesadaran moral, karena mereka akan selalu diperhadapkan dengan masalah hak dan kewajiban. Apakah karena hak, sesuatu itu dilakukan atau sebaliknya karena telah menjalankan kewajiban lalu mendapatkan hak. Keduanya mengandung nilai kebenaran sederajat. Pada keadaan mapan ( stability), hak mendahului kewajiban, tetapi pada titik dinamika bisa jadi kewajiban mendahului hak. Atas kepemilikan secarik sertifikat tanah, adalah wajib (karena hak) baginya untuk menjaga dan mengelola sebidang tanah tersebut, tetapi ketika yang berhak tidak memenuhi kewajiban mengelola sebidang tanah itu, maka berati ia kehilangan hak. Dalam

kondisi seperti ini, hak atas sebidang tanah itu bisa beralih kepada orang lain yang telah mengelolanya bertahun -tahun. Fakta selalu berpihak pada hukum positif. Tarik-menarik antara hak dan kewajiban semakin tidak be rimbang ketika korupsi merajalela di dalam kehidupan sosial. Dalam kondisi sosial seperti itu, moral dan etika terpola menjadi bersifat egoistik dan altruistik. Ketika tuntutan hak individual berupa perilaku korup, maka moral dan etika individual berubah menjadi egoistik yang mutlak merusak harmoni tata kehidupan masyarakat. Sebaliknya, ketika tuntutan hak masyarakat terlalu kuat, maka moral dan etika berubah menjadi altruisme kolektif (komunistik) yang mutlak mengancam hak dan kebebasan individual. Oleh sebab itu, hanya ada satu jalan rekonstruksi sosial yaitu “revolusi moral”, tentu melalui jalan pendidikan bukan melalui jalan pertumpahan darah. Seluruh komponen pendidikan (formal, informal, dan non-formal) mutlak perlu mengelola proses pembelajaran ke ara h titik puncak piramida yaitu membangun kesadaran moral. Karena, dengan kesadaran moral, maka dunia bathin menjadi dinamis bergerak ke arah perilaku jujur, penuh kesyukuran, kesabaran dan keikhlasan. Jika kesadaran moral tumbuh, maka norma -norma etika dan aturan hukum positif akan mudah ditaati oleh siapapun (terutama para pemimpin). Berarti pintu gerbang kesejahteraan umum terbuka lebar. Jadi, kesadaran moral memiliki kekuatan memposisikan dan memfungsikan segala potensi individual untuk “social eforcement”, sedangkan masyarakat difungsikan sebagai sistem proses mencapai kesejahteraan umum. Oleh karena itu tidak perlu lagi terjadi saling menyudutkan antara paham individualisme dan kolektivisme. Justru dengan kesadaran moral, kebebasan dan kreativitas individual mendapat saluran yang tepat, dan sebaliknya kolektivisme bisa mendapatkan jati dirinya di dalam kehidupan bermasyarakat.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pengertian Norma Umum. norma-norma atau kaidah, yaitu biasanya suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap tindak, dan berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. 2. Pengertian Norma Hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. 3. Pengertian Norma Agama Ciri khas norma agama : -

Sanksi terhadap pelanggaran norma agama diberikan oleh Tuhan Sang Pencipta

-

Keberlakuannya hanya bagi mereka yang memeluk agama tersebut

4. Pengertian Moral adalah tolok ukur untuk menentukan salah-betulnya sikap dan tindakan manusia itu sendiri. 5. Pengertian Moral Kesadaran(hati nurani/suara hati adalah kesadaran moral memiliki kekuatan memposisikan dan memfungsikan segala potensi individual untuk “social eforcement”, sedangkan masyarakat difungsikan sebagai sistem proses mencapai kesejahteraan umum.

Daftar Pustaka

Kaelan Ms.( 2004). Pendidikan Pancasila. Jakarta: Paradigma offset. Acmat (2007). Pendidikan Kewarganegaraan. Jogyakarta: Paradigma. https://id.wikipedia.org/wiki/Norma_hukum http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/Kesadaran%20Moral%20Kehidupan%20Bermasyara kat.pdf http://eprints.walisongo.ac.id/2963/3/4104034_Bab2.pdf

BAB I

BACKGROUND

Ethics is part of a philosophy that deals rationally and critically about values, norms, and morality. As a branch of philosophy, ethics strongly emphasizes a critical approach in viewing and observing these moral values and norms as well as the problems that arise in relation to the value of moral norms (Aji and Sabeni 2003).

As a branch of philosophy, ethics can be divided into two: objectivism and subjectivism. In the first view, the virtue of an action is objective in that it lies in the substance of the act itself. This notion gives birth to rationalism in ethics, a deed considered good, not because we are happy to do it, but it is a universal rationalism decision that is urgent to do so. While the flow of subjectivism holds that an action is good when it comes to the will or the consideration of certain subjects both the subject of God, the subjects of collectivism such as society or individual subjects (Muhammad, 2004).

The ethical problem itself is a branch of philosophy that seeks the nature of good and evil values relating to the actions and actions of a person who is made with consciousness based on the consideration of his thinking. Ethical issues are also a matter related to human existence in all its aspects both individuals and society, both its relationship with God and with fellow human beings and himself (Musa, 2001).

Ethics can also be divided into general ethics and special ethics, specific ethics is differentiated into individual ethics and social ethics. The division of ethics became common and special ethics was popularized by Frans Magnis Suseno (1993) with the term descriptive ethics. Frans Magnis Suseno (1993) explains that general ethics deals with basic moral principles, such as ethical understanding, ethical functions, freedom, responsibility and the role of conscience. Whereas special ethics applies the basic principles of morality to each field of human life.

FORMULATION OF THE PROBLEM 1. What is philosophical understanding? 2. What is the definition of General Norm? 3. What is the definition of legal norms? 4. What is the meaning of Norma Religion? 5. What is Moral? 6. What is the Moral Consciousness (conscience / conscience)?

WRITING PURPOSE 1. In order for students to know the definition of General Norm. 2. So that students can know the definition of Law Norms. 3. So that students can know the meaning of Norms Religion. 4. So that students can know Moral understanding. 5. So that students can know the understanding of Moral Awareness (conscience / conscience).

BAB II

PHILOSOPHY DEFINITION

Etymologically or the origin of language, the word philosophy comes from the Greek, "philosophia", which is a combination of two words namely "philos" or "philein" meaning "love", "love", or "lovers", and the word "shopia "Which means" wisdom "or" wisdom ". Thus, language, "philosophy" means "love of wisdom". Love means a great desire or a burning or a real one. Wisdom, meaning true truth or true truth.

The link between wisdom and truth is explained by Suparlan Suhartono, Ph.D. (2007: 35) that the man who loves wisdom will always be "sought" to seek the truth. This attraction can be described when someone reveals the statement "I love you". I am the subject and you are the object.

In this case, I am one with the "you" object, in which there is "unity" between me as subject and you as an object. "Unity" will occur only if there is "knowledge" for me (subject) about you (object). The farther and deeper my knowledge of you, the stronger the love. While epistemologically (term), there are hundreds of formulas of "philosophy" meaning. But fundamentally, philosophy is the sole desire or desire to find the true truth.

Citing The Liang Gie, Suhartono Suparlan, Ph.D. (2007: 45-46) says that, the definition of philosophy can be mapped according to the chronology of the history of philosophy. Some definitions based on the chronology are:

1. Plato (427-347), says that philosophy is to criticize the prevailing opinions. Thus, the wisdom or intellectual knowledge is obtained through a critical examination process, discussion, and explanation.

2. Aristoles (384-322 BC), states that philosophy as a science of investigating things exists as being different from one or the other. Science is also considered the science of the first and last, because logically required the science that must also be mastered, sehinnga to understand it people must master the other sciences.

3. Sir Francis Bacon (1561-1626 AD) mentions that philosophy is the great mother of the sciences. Philosophy deals with all knowledge as its field.

4. Rene Descartes (1590-1650), writes philosophy as a collection of all knowledge in which God, nature, and humanity are the subject of investigation.

5. Immanuel Kant (1724-1804), conveys that philosophy is the science that is the subject and the base of all knowledge which is covered in four issues, namely: a. What can we know? (answer: metaphysics). b. What should we know? (answer: ethics). c. Until where is our hope? (answer: religion). d.What are people called? (answer: anthropology).

6. G.W.F Hegel (1770-1831), describes philosophy as the foundation and reflection of civilization. The history of philosophy is therefore a revelation of the history of civilization, and vice versa.

7. Herbert Spencer (1820-1903), outlines philosophy as the name of knowledge of the highest level of generality.

8. John Dewey (1859-1952), defines philosophy as a revelation of the human struggle in continuously adapting the collection of traditions that constitute a genuine human mind against scientific tendencies and new political ideals that are inconsistent with recognized powers. Thus, philosophy is a tool for making adjustments between the old and the new in a culture.

9. Bertrand Rusell (18872-1970), recognizes philosophy as a criticism of knowledge. Philosophy examines critically the principles used in science and everyday life, and seeks an unconformity that can be contained in these principles.

10. Louis O. Kattsoff (1963), in his book Elements of Philosophy, defines philosophy as thinking critically, systematically, rationally, comprehensively (comprehensive), and producing something coherent.

11. Windelband, as Hatta quotes in the introduction to the Greek Mind Realm, "his philosophy stretches the mind as far as possible about a real state or thing.

12. Frans Magnis Suseno in his book Philosophizing From Context (Jakarta: Gramedia, 1999), defines "philosophy" as an orderly, methodical, intellectually accountable attempt to do what is actually expected of any person who not only wants to duck, who not only want to swallow what has been chewed before by other parties. That is, to understand, to understand, to interpret, to judge, to criticize the data, and to the facts produced in everyday experience and through the sciences Definition of Norm In everyday life is often known by the term norms or rules, which is usually a value that regulates and provides specific guidelines or standards for every person or society to behave, and behave in accordance with the rules that have been agreed upon. Such standards or guidelines as norms or norms are standards that must be obeyed or obeyed (Soekanto: 1989:

7).

The life of the community is a diverse group and flow, each of which has its own interests, but the common interest requires orderliness and security in everyday life in the form of mutually agreed rules governing behavior in society, called rules To meet the needs and interests of life safely, orderly and peacefully without such interruption, a necessary order (orde = ordnung) is required, and the order is manifested in the "rules of the game" that guide all societies of everyday life, each member of the community is preserved and guaranteed. Every member of the public knows that "their rights and duties are in accordance with the rules of the ordinance", and the order is commonly called "kaedah" (Arabic), and "norm" (Latin) or the guiding criteria, the norms has two kinds according to its contents, namely:

1. Command, which is a necessity for someone to do something because the result is considered good. 2. Prohibition, which is a requirement for a person to not do something because the consequences are considered not good. The norm is to provide guidance to man how one should act in society and what actions should be done, and what actions should be avoided (Kansil, 1989: 81).

Those norms can be maintained through sanctions, which are the threat of punishment against who has violated them. But in the life of a society bound by a living rule called the norm, without or subject to sanctions for a violation, if a person violates a norm, it shall be liable to sanctions in accordance with the extent and nature of an offense, for example as follows: • Should know that the rules will not speak while smoking cigarettes in front of the guest or the person he respects, and his sanctions are only a reproach for being rude even though smoking is not forbidden. A guest who wants to return home must be escorted to the front door of the house or office, if not then the sanction is only a reproach because it is considered arrogant and disrespectful to his guest. • Raises the receiver after the third sound and greets, and if picking up the phone is ringing roughly, then the sanctions are considered "intrusions" is showing disrespectful disrespect and disrespect to the caller or the people around him. • The person who steals another person's property without the owner's knowledge, then the sanction is quite severe and subject to penalty sanction, both prison and civil penalty (compensation).

Then the norm in the association of life there are four (4) kaedah or norm, namely religious norms, morality, decency and law. In practice, it is subdivided into general (non-legal) norms and legal norms, the enforcement of those norms in the aspects of life can be categorized into two kinds of rules, as follows: 1. Aspects of personal life (individual) include: • The rule of belief to achieve the sanctity of a personal life or a life of faith. • Moral life, moral values, and ethics are directed to the good of personal life for the achievement of the virtue of nu-rani morality (akhlakul kharimah). 2. Aspects of interpersonal life (community) include: • Rules or norms of manners, etiquette and etiquette in pleasantliving together. • Legal rules aimed at the creation of order, peace and justice in community life or community that is full of certainty or peaceful (peaceful living together). While the problem of non-legal norms is a problem that is quite important and will be discussed more broadly about the code behavior and code of PR profession / PR, such as moral

values, ethics, ethics, etiquette, etiquette in social or social intercourse, as the value of rules that have been mutually agreed, respected, must be obeyed and obeyed. The moral norm will not be used to judge a physician when treating his patient, or lecturer in delivering course material to his students, but to assess how as a professional performs his duties and duties well as a virtuous, juiur, moral, integrity and are responsible. Regardless of them as professionals are telling or not in giving medicine as a cure, or methodology and skill in giving the course material appropriately. In this case emphasized is their "attitude or behavior" in carrying out the duties and functions as a professional that diembannya to respect each other or human life. Ultimately the moral, ethical, codes of conduct and codes of ethics of the profession standard are to provide a way, a guide, a benchmark and a reference for making decisions about what action will be taken in certain situations and conditions in providing their respective professional services or expertise. Ethical or ethical decision making is an aspect of the competence of moral conduct as a professional who has calculated the consequences, maturely and badly the consequences of his actions are objective, and at the same time have high responsibility or integrity. Professional codes of ethics are established and agreed upon by these professionals not aimed at protecting individual (subjective) interests, but rather emphasizing the broader (objective) interests. Normal Function The function of norms in society in general is as follows: - Norms are behavioral factors in a particular group that allows a person to determine in advance how the actions will be judged by others. - Norms are rules, guidelines, or petunjuak live with sanctions to encourage people, groups, and society to achieve and realize social values. - Norms are rules that grow and and live in society as the element of binding and controlling people in the life of society. Therefore, the norm in its embodiment can be legal norms, religious norms, moral norms, and norms of moral consciousness.

1. Legal norms are social rules created by certain institutions, such as government, so as to expressly prohibit and force people to behave in accordance with the wishes of the regulators themselves. there are 2 kinds of legal norms, namely: - Written, in the form of law - Unwritten ones, eg customary law Characteristic of legal norms: - Implementation is a must - Violations of legal norms need to be punished or subject to punishment by the authorities - Must apply with certainty and be fair - Applies to people in the jurisdiction

2. Religion Norms All human beings, whatever their religion, insofar as they are human, are bound by moral norms. Moral norms are closely related to religious norms, because religious norms contain moral norms. However, moral norms are more general than religious norms, since religious norms (which are not at the same time as a moral norm) apply only to those who embrace that religion. However, it can happen that there are religious norms that in practice turn out to be contrary to moral norms. For example, religious norms that justify the torture and killing of infidels, the sacrifice of the human soul to be dedicated to the gods, the practice of sacred prostitution, and so on. In fact, frankly a small heart can realize that all these things are against the moral norms.

Characteristic of religious norms:

- Sanctions against violations of religious norms are given by God the Creator - Its validity is only for those who embrace that religion Moral Sense Moral The moral language is the plural of the word mos meaningful habits. In Indonesian General Dictionary it is said that morals are a good determination of bad deeds and behavior. Moral is understood as teachings, discourses, sermons, and standards on how man should live and act in order to become a good human being. The immediate source of moral teaching can be religion, wise counsel, parent, teacher and so on. In short, the source of moral teaching includes religion, customs, and certain ideologies. Maududi divides morals into two kinds, namely religious morals and secular morals. Religious morals refer to religion as the source of his teachings, as secular morals derive from non-religious ideologies. Moral word always refers to the good of human behavior. While moral norms are benchmarks to determine the wrong attitude and actions of human beings themselves. An activity is declared moral, if appropriate and in line with the prevailing customs in society. And does not rule out the morality in a particular society is different from morality in other communities. Moral Awareness, the Basic of Community Ethics Directly or indirectly, morality and ethics can only apply perfectly in the life of society. People who live by isolating themselves in the forest, as if they do not require morals and ethics. But when it comes to exploiting forest resources, let alone how its utilization tends to be destructive, then its behavior has entered into the moral and ethical sphere. That's because survival and life in general, including social life, absolutely depend on the existence of the forest. Because of its universal nature, critical thinking about morals and ethics is more concerned with the problem of moral consciousness, which is at the beginning of all life activities. Aware of the origin and purpose of life, then people are aware of what needs to be done in living his life. Upon moral awareness, one is encouraged to do good deeds and worth for the survival and survival Furthermore, for life to last until the end, then humans must be able to provide all the necessities of life. Conscious of all the shortcomings and limitations, a person then establish relationships with other peoples. The goal is no other is so that they can cover each other's deficiencies, by binding themselves in togetherness according to certain systems that they have agreed, so that formed a togetherness in a social organization of society. A bag of moral

awareness that, everyone encouraged to build the potential of self become more autonomous and creative, so that the quality of cooperation becomes stronger. If the urge grows, then the dynamic of social life toward the progress of life develops as well Then, moral consciousness also serves as a controlling behavior, in such a way that a person is able to behave honestly according to the grateful morality (when acquiring something), be patient (while getting a life test) and berikhlas (when to lose). Indeed, moral consciousness is always within everyone. It's just often blocked by the negative appetite that drives an action done. Lust is good, but when it is not controlled by reason and without consideration of taste, then it turns into a crime. To the criminals, corruptors and friends even if asked "why do corruption crimes?". So on moral awareness, their answer would also not be able to approve the action. They tend to regret the act, but moral consciousness can only be formed through an educated family life, the quality of learning in school and the life of a cultured society. The whole process, then formed a moral and ethical personality in the life of society Van Peursen (1990), the Dutch philosopher who was deeply interested in cultural issues pointed to "personal quality" as the key to the thrust of life. Among others it is advisable: "Every person must act against reality, the real situation and against the challenges that exist. In addition, every individual must be creative in all his decisions, by adjusting to changes in his life as well as to the changing tuntuta of a new period in history or in different cultures. " From his suggestion, Van Peursen pointed to the creative potential as an important feature of human personality. With creative power, one is able to act wisely in an action against the reality of life that is full of change. Creativity seems to be judged as the power to understand what exactly is the demand for change. Therefore, with creativity it is also possible for a person to adjust to the changes that are being and even that will happen. Because creativity is the resource of change itself, it contains the potency of dialectics futuristik. When a change is created, it can capture everything that will change in the future. Basically, as a component of moral consciousness, creativity exists in the purpose of life, the drive of life and life skills. That is, to achieve the purpose of life, then there must be creativity that is a skill and a skill in making changes. Each change serves as a boost toward a life goal. In essence, creativity is always inclined to create change for progress, because it also contains value.

Overall, the value system is an atmosphere of human morality that must be accounted for ethically throughout life. In social life, everyone should be guided by ethical norms, according to moral conscience, because they will always be confronted with the issue of rights and duties. Whether because of rights, something is done or vice versa because it has run the duty and get the right. Both contain equally true values. In a state of stability, the right precedes the obligation, but at the point of dynamic it may be the obligation to precede the right. The ownership of a piece of land certificate is compulsory (because of the right) for him to maintain and manage the plot, but when the right does not fulfill the obligation to administer a plot of land, it means he has lost his right. Under these circumstances, the right to a plot of land may shift to others who have been managing it for years. Fact is always on the side of positive law. The attractiveness of rights and duties is even more irrelevant when corruption is rampant in social life. In such social conditions, ethical morals and ethics become egoistic and altruistic. When the demands of individual rights are corrupt, individual morals and ethics are transformed into an absolute egoistic that undermines the harmony of society's life order. Conversely, when the demands of society's rights are too strong, morality and ethics change into collective (communist) altruism that absolutely threatens individual rights and freedoms. Therefore, there is only one way of social reconstruction that is "moral revolution", of course through the path of education not through the way of bloodshed. All components of education (formal, informal, and non-formal) are absolutely necessary to manage the learning process to the point of the pyramid's peak of building moral awareness. Because, with moral consciousness, the inner world becomes dynamically moving toward honest behavior, full of gratitude, patience and sincerity. If moral consciousness grows, then ethical norms and positive rule of law will be easily obeyed by anyone (especially leaders). That means the public welfare gate is wide open. Thus, moral awareness has the power of positioning and functioning of the individual potential for "social eforcement", while the community functioned as a process system to achieve the common prosperity. Therefore there is no need to occur each other against individualism and collectivism. Precisely with moral consciousness, individual freedom and creativity gets the right channel, and collectivism can in turn get its identity in the life of society.

BAB III

COVER A. Conclusion 1. Definition of General Norms. norms or rules, that is usually a value that regulates and provides certain guidelines or standards for each person or society to act, and behave in accordance with the rules that have been mutually agreed upon. 2. Definition of Law Norms are social rules created by certain institutions, such as the government, so as to expressly prohibit and force people to behave in accordance with the wishes of the regulators themselves. 3. Definition of Religious Norms Characteristic of religious norms: - Sanctions against violations of religious norms are given by God the Creator - Its validity is only for those who embrace that religion 4. Moral Definition is the benchmark to determine the wrong attitude and action of man himself. 5. Moral Understanding Consciousness (conscience / conscience is a moral awareness has the power to position and enable all potential individual for "social eforcement", while the community functioned as a process system to achieve the general welfare.

preliminary

discussion

Related Documents

Etika Profesi
December 2019 51
Etika Profesi
July 2020 25
Etika Profesi
April 2020 29
Etika Profesi Farmasi
December 2019 25
Etika Profesi & Bp_cetak
April 2020 14

More Documents from ""

Tinjauan Pustaka.docx
June 2020 21
Poa.docx
June 2020 19
Nuclear Notes.pdf
October 2019 23