BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Fraktur Femur
2.1.1 Pengertian Fraktur Femur Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2001). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007). Fraktur adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Helmi, 2014). Menurut Muttaqin, Arif (2011), fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis. Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, tanpa atau disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) (Helmi, 2012). 2.1.2 Etiologi Fraktur Femur Penyebab fraktur femur pada umumnya sama dengan penyebab fraktur lainnya. Menurut Helmi (2014), fraktur dapat terjadi akibat hal-hal berikut: 1.
Peristiwa trauma tunggal Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan, atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.
7
8
Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat terjadinya trauma dan menyebabkan kerusakan jaringan lunak. Pemukulan (pukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di atasnya. Penghancuran akan menyebabkan fraktur komunitif yang disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka (Wahid, 2013). Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat terjadinya trauma, kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada. Kekuatan dapat berupa: a.
Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral.
b.
Penekukan (trauma angulasi atau langsung), yang menyebabkan fraktur melintang.
c.
Penekukan dan penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian melintang tetapi disertai fragmen kupu-kupu berbentuk segitiga yang terpisah.
d.
Kombinasi
dari
pemuntiran,
penekukan,
dan
penekanan
yang
menyebabkan fraktur oblik pendek. e.
Penarikan di mana tendon atau ligamen benar-benar menarik tulang sampai terpisah.
2.
Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik) Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang itu lemah
(misalnya oleh tumor) atau jika tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit Paget).
9
2.1.3 Klasifikasi Fraktur Femur Menurut Wahid (2013), fraktur diklasifikasikan sebagai berikut: 1.
Berdasarkan Sifat Fraktur (Luka yang ditimbulkan)
a.
Fraktur Tertutup (Close) Fraktur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen
tulang sehingga lokasi fraktur tidak tercemar oleh lingkungan atau tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar (Helmi, 2014). Berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, fraktur tertutup diklasifikasikan sebagai berikut: 1)
Tingkat 0 Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
2)
Tingkat 1 Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3)
Tingkat 2 Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4)
Tingkat 3 Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindrom kompartemen.
b.
Fraktur Terbuka (Open/Compound) Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya luka pada kulit dan jaringan lunak (Helmi, 2014).
10
Menurut Gustillo dalam Rizal (2014), fraktur terbuka dibagi atas tiga derajat, yaitu: 1)
Grade I Luka bersih ukuran 1 cm atau kurang, garis fraktur tranversal atau oblik.
2)
Grade II Luka laserasi >1 cm, garis fraktur transversal, oblik pendek, atau kominutif minimal.
3)
Grade III Luka dengan kerusakan jaringan lunak otot atau kulit yang luas:
a)
III A : luka dengan kerusakan jaringan lunak luas, tapi masih cukup menutupi tulang, bentuk fraktur segmental/komunitif.
b)
III B : luka dengan kerusakan jaringan lunak luas dengan periosteum terlepas dan bone ekspos, disertai dengan komunitif fraktur.
c)
III C : grade III B disertai dengan cedera vaskuler. Dibutuhkan repair vaskuler.
2.
Berdasarkan Komplit atau Ketidakkomplitan Fraktur
a.
Fraktur Komplit Bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang.
b.
Fraktur Inkomplit Bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang, seperti:
11
1)
Hairline Fracture/Stress Fracture adalah salah satu jenis fraktur tidak lengkap pada tulang. Hairline fracture/stress fracture umum terjadi pada cedera olahraga, dan kebanyakn kasus berhubungan dengan olahraga.
2)
Buckle atau Torus Fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
3)
Green Stick Fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
3.
Berdasarkan Garis Patah dan Hubungannya dengan Mekanisme Trauma
a.
Fraktur Transversal Fraktur transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus (melintang) terhadap sumbu panjang tulang yang disebabkan karena trauma angulasi atau langsung. Biasanya dikontrol dengan bidai gips (Helmi, 2014).
b.
Fraktur Oblik Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang. Fraktur oblik merupakan akibat dari trauma angulasi.
c.
Fraktur Spiral Fraktur spiral adalah fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral dan timbul akibat torsi pada ekstermitas. Fraktur ini khas pada cedera terputar sampai tulang patah. Jenis fraktur rendah energi ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar (Helmi, 2014).
12
d.
Fraktur Avulsi Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
e.
Fraktur Kompresi Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
4.
Berdasarkan Jumlah Garis Patah
a.
Fraktur Komunitif Fraktur dengan garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b.
Fraktur Segmental Fraktur segmental adalah fraktur dengan garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan.
c.
Fraktur Multiple Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tetapi tidak pada tulang yang sama.
5.
Berdasarkan Pergeseran Fragmen Tulang
a.
Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : Garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b.
Fraktur Displaced (bergeser) : Terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen. Terbagi atas:
1)
Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
2)
Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
13
3)
Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
6.
Berdasarkan Posisi Sebatang tulang dibagi menjadi:
1.
1/3 proksimal
2.
1/3 medial
3.
1/3 distal
7.
Fraktur Kelelahan Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
8.
Fraktur Patologik Disebabkan oleh kelemahan tulang akibat kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah karena tumor atau proses patologis lainnya. Penyebab yang paling sering dari fraktur-fraktur semacam ini adalah tumor, baik primer maupun metastasis (Helmi, 2014). Menurut Muttaqin (2011), ada dua tipe fraktur femur yakni:
1.
Fraktur Intrakapsuler Fraktur intrakapsuler femur yakni fraktur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul, dan melalui kepala femur (fraktur kapital).
2.
Fraktur Ekstrakapsuler
a.
Fraktur yang terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih kecil/pada daerah intertrokhanter.
b.
Fraktur yang terjadi di bagian distal menuju leher femur, tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokhanter minor.
14
Menurut Helmi (2014), ada enam jenis fraktur femur, yakni: 1.
Fraktur Intertrokhanter Femur Fraktur intertrokanter adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter mayor dan minor. Fraktur intertrokhanter merupakan patah tulang yang bersifat ekstrakapsuler (di luar kapsul sendi) dari femur (Thomas, 2011). Fraktur ini sering terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis.
2.
Fraktur Subtrokhanter Femur Fraktur subtrokhanter femur ialah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trokhanter minor. Fraktur jenis ini dibagi dalam beberapa klasifikasi, tetapi yang lebih sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding dan Magliato, yaitu sebagai berikut:
a.
Tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trokhanter minor.
b.
Tipe 2 : garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas trokhanter minor.
c.
Tipe 3 : garis patah berada 2-3 inci di distal dari batas atas trokhanter minor.
3.
Fraktur Batang Femur Fraktur batang femur terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan klien mengalami syok.
4.
Fraktur Suprakondiler Femur Secara anatomis, daerah suprakondiler adalah daerah antara batas proksimal kondilus femur dan batas metafisis dengan diafisis (batang)
15
femur. Fraktur suprakondiler disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus, dan disertai gaya rotasi. 5.
Fraktur Interkondiler Femur
6.
Fraktur Kondiler Femur Mekanisme trauma yang terjadi merupakan kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur ke atas.
2.1.4 Patofisiologi Fraktur Femur Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tetapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Wahid, 2013). Pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk mematahkan batang femur dewasa (Muttaqin, 2011). Fraktur femur terjadi jika tulang femur dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur femur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak dan bahkan kontraksi otot ekstrim (Smeltzer & Bare, 2001). Sewaktu tulang patah, maka sel-sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang. Jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa
16
sel mati dimulai. Ditempat patah terbentuk bekuan fibrin (hematom fraktur) dan berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi (Corwin, 2000). Secara klinis, fraktur femur sering menyebabkan kerusakan neurovaskuler. Kerusakan neurovaskuler ini menimbulkan manifestasi peningkatan resiko syok yakni syok hipovolemik karena kehilangan darah dan syok neurogenik karena nyeri yang sangat hebat akibat kompresi atau kerusakan saraf yang berjalan di bawah tulang femur. Kerusakan fragmen tulang femur ini dapat menyebabkan hambatan mobilitas fisik dan diikuti dengan spasme otot paha yang menimbulkan deformitas khas pada paha yaitu, pemendekan tungkai bawah (Muttaqin, 2011). 2.1.5 Manifestasi Klinis Fraktur Femur Menurut Muttaqin (2011), manifestasi klinis fraktur femur hampir sama dengan fraktur umum pada tulang panjang, seperti nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna, yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut (Smeltzer & Bare, 2001): 1.
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
17
2.
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal. Deformitas pada ekstermitas bawah akibat fraktur tulang paha disebabkan oleh penarikan otot-otot femur terhadap fragmen tulang yang patah (Muttaqin, 2011).
3.
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
4.
Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
2.1.6 Komplikasi Fraktur Femur Komplikasi fraktur femur sama seperti komplikasi fraktur secara umum, yakni terdiri atas komplikasi awal dan komplikasi lama (Helmi, 2014). 1.
Komplikasi Awal
18
a.
Syok Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi (Helmi, 2014). Karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur dan pelvis (Smeltzer & Bare, 2001). Pada kondisi tertentu syok neurogenik sering terjadi pada fraktur femur karena rasa sakit hebat pada klien (Helmi, 2014). Penanganan syok meliputi mempertahankan volume darah, mengurangi nyeri yang diderita pasien, memasang pembebatan yang memadai, melindungi pasien dari cedera lebih lanjut (Smeltzer & Bare, 2001). b.
Sindrom Emboli Lemak Sindrom emboli lemak (fat embolism syndrom-FES) adalah komplikasi
serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan sum-sum tulang kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah, yang ditandai dengan gangguan pernapasan, takikardi, hipertensi, takipnea, dan demam (Helmi, 2014). c.
Sindrom Kompartemen Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi terjebaknya
otot, tulang, saraf dan pembuluh darah dalam jaringan parut, akibat suatu pembengkakan dari edema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah (Helmi, 2014). Kondisi sindrom kompartemen akibat komplikasi
19
fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat dengan persendian dan jarang pada bagian tengah tulang (Smeltzer & Bare, 2001). Tanda-tanda sindom kompartemen adalah 5P yaitu, pain (nyeri lokal), pallor (pucat bagian distal), pulsesessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak baik, CRT >3 detik pada bagian distal kaki), parestesia (tidak ada sensasi), paralysis (kelumpuhan tungkai) (Helmi, 2014). Pencegahan dan penatalaksanaan sindrom kompartemen dapat dilakukan dengan mengontrol edema yang dapat dicapai dengan meninggikan ekstremitas yang cedera setinggi jantung, memberikan kompres es dan melonggarkan balutan yang kuat (Smeltzer & Bare, 2001). d.
Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh tidak adanya nadi, CRT
(Cappilary Refill Time) menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, serta dingin pada ekstermitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi pembidaian, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan (Helmi, 2014). e.
Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan OREF) atau plat (Helmi, 2014).
20
f.
Avaskular Nekrosis Avaskular nekrosis terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Iskhemia (Helmi, 2014). Komplikasi awal lainnya yang berhubungan dengan fraktur adalah tromboemboli, emboli paru, yang dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID) (Smeltzer & Bare, 2001). 2.
Komplikasi Lama
a.
Delayed Union Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk sembuh atau tersambung dengan baik. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang. Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan (tiga bulan untuk anggota gerak atas dan lima bulan untuk anggota gerak bawah) (Helmi, 2014). b.
Non-Union Disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara 6-8
bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa infeksi tetapi dapat juga terjadi bersama infeksi yang disebut sebagai infected pseudoartrosis (Helmi, 2014). c.
Mal-Union Keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya, tetapi terdapat deformitas
yang berbentuk angulasi, varus/valgus, rotasi, pemendekan atau menyilang
21
misalnya pada fraktur radius dan ulna (Helmi, 2014). Mal-union dilakukan dengan pembedahan dan remobilisasi yang baik (Wahid, 2013). 2.1.7 Pemeriksaan Penunjang Fraktur Femur Pada umunya pemeriksaan penunjang fraktur femur dengan fraktur lainnya sama. Menurut Wahid (2013) dan Muttaqin (2011), pemeriksaan yang dilakukan pada fraktur, yakni: 1.
Pemeriksaan Radiologis
a.
Rontgen Sinar X menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan hubungan tulang. Sinar-X multipel diperlukan untuk mengkaji secara paripurna struktur yang sedang diperiksa. Sinar-X tekstur tulang menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan, dan tanda iregularitas. Sinar-X
sendi
dapat
menunjukkan
adanya
cairan,
iregularitas,
penyempitan, dan perubahan struktur sendi (Helmi, 2014). b.
Tomografi Menggambarkan tidak hanya satu struktur saja, tetapi juga struktur tertutup yang sulit divisualisasikan.
c.
Computed Tomography-Scanning Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang tempat terdapatnya struktur tulang yang rusak.
d.
Artrografi Artrografi adalah penyuntikan bahan radiopaque atau udara ke dalam rongga sendi untuk melihat struktur jaringan dan kontur sendi (Helmi,
22
2014). Artrografi menggambarkan jaringan ikat yang rusak karena rudapaksa. 2.
Pemeriksaan Laboratorium
a.
Kalsium Serum dan Fosfor Serum Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
b.
Fosfatase Alkali Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c.
Enzim Otot Kadar enzim serum kreatinin kinase (CK), Laktat dehidrogenase (LDH-5), serum glutamik-oksaloasetik transaminase (SGOT, aspartat amino tranferase) meningkat pada kerusakan otot. Aldose meningkat pada penyakit otot (misalnya: distrofi otot dan nekrosis otot skelet) dan meningkat pada tahap penyembuhan tulang (Muttaqin, 2011 dan Helmi, 2014).
3.
Pemeriksaan Lain
a.
Pemeriksaan Kultur Mikroorganisme Pada pemeriksaan kultur mikroorganisme dan tes sensitivitas didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b.
Biopsi Tulang dan Otot Biopsi dilakukan untuk menentukan struktur tulang, otot dan sinovia untuk membantu menentukan penyakit tertentu (Helmi, 2014). Pada intinya
23
pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan kultur mikroorganisme tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi. c.
Indium Imaging Pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
d.
Elektromiografi Memberi informasi mengenai potensial listrik otot dan saraf yang mempersarafi (Smeltzer & Bare, 2001). Pada klien dengan fraktur, dalam pemeriksaan ini didapatkan kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
e.
Artroskopi Artroskopi
merupakan
prosedur
endoskopi
yang
memungkinkan
pandangan langsung ke dalam sendi (Helmi, 2014). Biasanya didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. f.
MRI (Magnetic Resonance Imaging) Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah teknik pencitraan khusus, noninvasif, yang menggunakan magnet, gelombang radio, dan komputer untuk memperlihatkan abnormalitas (misalnya: tumor atau penyempitan jalur jaringan lunak melalui tulang) jaringan lunak, seperti otot, tendon, dan tulang rawan (Helmi, 2014).
2.1.8 Penatalaksanaan Fraktur Femur Menurut Muttaqin (2011) dan Wahid (2013), prinsip penatalaksanaan fraktur ada empat, yakni: 1.
Recognisi: Diagnosis dan penilaian fraktur
24
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan dan menghindari komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan (Muttaqin, 2011). 2.
Reduction/Manipulasi/Reposisi Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimum. Dapat juga diartikan, reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis (Smeltzer & Bare, 2001). Reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung pada sifat fraktur (Wahid, 2013). 3.
Retention: Imobilisasi Fraktur Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimum (Wahid, 2013). Secara umum, teknik penatalaksanaan yang digunakan adalah mengistirahatkan tulang yang mengalami fraktur dengan tujuan penyatuan yang lebih cepat antara kedua fragmen tulang yang mengalami fraktur (Muttaqin, 2011). Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau fiksasi interna. Metode fikasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, dan pin. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur (Wahid, 2013).
25
4.
Rehabilitation: Mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin Program rehabilitasi dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh keadaan
klien pada fungsinya agar aktivitas dapat dilakukan kembali (Muttaqin, 2011). Pada umumnya, metode pengobatan yang digunakan pada fraktur adalah sebagai berikut (Muttaqin, 2011): 1.
Penatalaksanaan Konservatif atau Penatalaksanaan Non Pembedahan
a.
Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi), proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas dan tongkat pada anggota gerak bawah. Tindakan ini terutama diindikasikan pada fraktur-fraktur tidak bergeser.
b.
Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi), imobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna hanya memberikan sedikit imobilisasi. Biasanya menggunakan plaster of Paris (gips) atau dengan bermacam-macam bidai dari plastik atau metal. Metode ini digunakan pada fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan.
c.
Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna dengan gips, reduksi tertutup yang diartikan manipulasi dilakukan dengan pembiusan umum dan lokal. Reposisi yang dilakukan melawan kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips untuk imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.
d.
Reduksi tertutup dengan traksi kontinue dan counter traksi, tindakan ini memiliki dua tujuan, yaitu beberapa reduksi yang bertahap dan imobilisasi. Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh.
26
Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme otot, untuk mereduksi, menyejajarkan, dan mengimobilisasi fraktur untuk mengurangi deformitas dan untuk menambah ruangan di antara kedua permukaan tulang. Prinsip traksi efektif: 1)
Pada setiap pemasangan traksi harus difikirkan adanya kontratraksi. Kontratraksi adalah gaya yang bekerja dengan arah yang berlawanan.
2)
Umumnya berat badan klien dan pengaturan posisi tempat tidur dapat memberikan kontratraksi.
3)
Kontratraksi harus dipertahankan agar traksi tetap efektif.
4)
Traksi harus berkesinambungan agar reduksi dan imobilisasi fraktur efektif.
5)
Traksi kulit pelvis dan serviks sering digunakan untuk mengurangi spasme otot dan biasanya diberikan sebagai traksi intermitten.
6)
Traksi skelet tidak boleh terputus.
7)
Pemberat tidak boleh diambil, kecuali bila traksi yang dimaksudkan intermitten.
8)
Setiap faktor yang dapat mengurangi tarikan atau mengubah garis resultan tarikan harus dihilangkan.
9)
Tubuh klien harus dalam keadaan sejajar dengan pusat tempat tidur ketika traksi dipasang
10)
Tali tidak boleh macet.
11)
Pemberat harus tergantung bebas dan tidak boleh terletak pada tempat tidur atau lantai.
27
12)
Simpul pada tali atau telapak kaki tidak boleh menyentuh katrol atau kaki tempat tidur. Berdasarkan mekanisme traksi dikenal dua macam traksi yaitu (Rizal,
2014): 1.
Traksi Menetap (Fixation Traction) Traksi menetap juga menggunakan leukoplas yang melekat pada bidai Thomas atau bidai Brown Bohler yang difiksasi pada salah satu bagian dari bidai Thomas. Biasanya dilakukan pada fraktur femur yang tidak bergeser (Muttaqin, 2011).
2.
Traksi Berimbang (Sliding Traction) Traksi berimbang (sliding traction) terutama digunakan pada fraktur femur. Traksi ini menggunakan traksi skeletal dengan banyak katrol dan bantalan khusus (Muttaqin, 2011). Berdasarkan jenisnya dikenal dua macam traksi yaitu (Rizal, 2014):
1.
Traksi Kulit Traksi kulit menggunakan plaster lebar yang direkatkan pada kulit dan diperkuat dengan perban elastis. Berat maksimum yang dapat diberikan adalah 5 kg yang merupakan batas toleransi kulit. Jenis-jenis traksi kulit, yaitu:
a.
Traksi ekstensi dari Buck adalah traksi kulit dimana plaster melekat secara sederhana dengan memakai katrol.
b.
Traksi dari Dunlop, dipergunakan untuk fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak.
28
c.
Traksi dari Gallow atau traksi dari Bryant, dipergunakan pada fraktur femur pada anak-anak usia dibawah 2 tahun.
d.
Traksi dari Hamilton Russel, digunakan pada anak-anak usia lebih dari 2 tahun. Indikasi penggunaan traksi kulit adalah:
1)
Traksi kulit merupakan terapi pilihan pada fraktur femur dan beberapa fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak.
2)
Pada reduksi tertutup dimana manipulasi dan imobilisasi tidak dapat dilakukan.
3)
Merupakan pengobatan sementara pada fraktur sambil menunggu terapi definitif.
4)
Fraktur-fraktur yang sangat bengkak dan tidak stabil.
5)
Untuk traksi pada spasme otot atau pada kontraktur sendi misalnya sendi lutut dan panggul.
6)
Untuk traksi pada kelainan-kelainan tulang belakang seperti hernia nukleus pulposus (HNP) atau spasme otot tulang belakang. Komplikasi yang dapat terjadi pada traksi kulit:
a)
Penyakit tromboemboli.
b)
Abrasi, infeksi serta alergi pada kulit.
2.
Traksi Skeletal (Tulang) Traksi tulang menggunakan kawat Kirschner (K-Wire) dan pin Steinman yang dimasukkan ke dalam tulang serta dilakukan traksi dengan menggunakan berat beban dengan bantuan bidai Thomas dan bidai Brown
29
Bohler. Tempat untuk memasukkan pin yaitu pada bagian proksimal tibia di bawah tuberositas tibia, bagian distal femur pada kondilus femur, bagian distal tibia pada kalkaneus (jarang dilakukan), pada prosesus olekranon, pada tengkorak, pada trokhanter mayor, dan bagian distal metakarpal. Jenis-jenis traksi tulang yaitu: a.
Traksi tulang dengan menggunakan kerangka dari Bohler Braun pada fraktur orang dewasa.
b.
Thomas Splint dengan pegangan lutut atau alat traksi dari Pearson.
c.
Traksi tulang dari olekranon, pada fraktur humerus
d.
Traksi yang digunakan pada tulang tengkorak misalnya Gardner Well Skull Calipers, Crutchfield Canial Tong. Indikasi penggunaan traksi tulang, yaitu:
1)
Apabila diperlukan traksi yang lebih berat dari 5 kg.
2)
Traksi pada anak-anak yang lebih besar.
3)
Pada fraktur yang bersifat tidak stabil, oblik atau komunitif.
4)
Fraktur-fraktur tertentu pada daerah sendi.
5)
Fraktur terbuka dengan luka yang sangat jelek dimana fiksasi eksterna tidak dapat dilakukan.
6)
Traksi langsung pada traksi yang sangat berat misalnya dislokasi panggul yang lama sebagai persiapan terapi definitif. Komplikasi traksi tulang, yaitu:
a)
Infeksi, misalnya infeksi melalui kawat/pin yang digunakan.
30
b)
Kegagalan penyambungan tulang (non-union) akibat traksi yang berlebihan.
c)
Luka akibat tekanan misalnya tekanan Thomas Splint pada tuberositas tibia.
d)
Parese saraf akibat traksi yang berlebihan (over traksi) atau bila pin mengenai saraf.
2.
Penatalaksanaan Operatif
a.
Reduksi Tertutup dengan Fiksasi Eksternal Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat tidak stabil, reduksi dapat dipertahankan dengan memasukkan K-Wire perkutan.
b.
Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Internal atau Fiksasi Eksternal Tulang
1)
Reduksi terbuka dengan Fiksasi Internal (ORIF) Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sum-sum tulang. Alat tersebut menjaga aproximasi dan fikasi yang kuat bagi fragmen tulang (Wahid, 2013).
2)
Reduksi terbuka dengan Fiksasi Eksternal (OREF) Digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif (hancur atau remuk). Pemasangan OREF akan memerlukan waktu yang
31
lama dengan masa penyembuhan antara 6-8 bulan. Indikasi pembedahan dengan reduksi dan fiksasi eksternal, yakni: a)
Fraktur terbuka grade II dan grade III.
b)
Fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang yang parah.
c)
Fraktur dengan infeksi atau infeksi pseudoartritis.
d)
Fraktur yang miskin jaringan ikat. Berikut adalah penatalaksanaan fraktur femur, menurut Helmi (2014):
1.
Fraktur Intertrokhanter Femur Reduksi terbuka dan pemasangan fiksasi interna. Intervensi konservatif hanya dilakukan pada penderita yang sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan anestesi general.
2.
Fraktur Subtrokhanter Femur Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan reduksi terbuka dan reduksi tertutup.
a.
Pada intervensi reduksi terbuka dengan fiksasi interna menggunakan sekrup dan plat untuk mengimobilisasi fragmen tulang yang patah.
b.
Pada intervensi reduksi tertutup dilakukan dengan traksi tulang. Pemasangan traksi tulang selama 6-7 minggu dilanjutkan dengan hip gibs selama 7 minggu yang merupakan alternatif pelaksanaan pada pasien dengan usia muda.
32
3.
Fraktur Batang Femur
a.
Penatalaksanaan fraktur batang femur terbuka Pada penatalaksanaan fraktur batang femur terbuka harus dinilai dengan cermat untuk mencari ada tidaknya kehilangan kulit, kontaminasi luka, iskemia otot, serta cedera pembuluh darah dan saraf. Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1)
Profilaksis antibiotik
2)
Debridemen
3)
Stabilisasi, dilakukan pemasangan fiksasi interna atau fiksasi eksterna
4)
Penundaan penutupan
5)
Penundaan rehabilitasi
6)
Fiksasi eksterna terutama pada fraktur segmental, fraktur komunitif, infected pseudoartrosis atau fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat
b.
Penatalaksanaan fraktur batang femur tertutup
1)
Terapi konservatif
a)
Traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan terapi definitif untuk mengurangi spasme otot.
b)
Traksi tulang berimbang dengan bagian Pearson pada sendi lutut. Indikasi traksi terutama fraktur yang bersifat komunitif dan segmental.
c)
Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah terjadi union fraktur secara klinis.
33
2)
Terapi operatif
a)
Pemasangan plat dan sekrup pada fraktur proksimal diafisis atau distal femur.
b)
Menggunakan K-nail, AO-nail, atau jenis lain, baik dengan operasi tertutup maupun terbuka. Indikasi K-nail, AO-nail adalah fraktur diafisis atau batang femur.
c)
Fiksasi eksterna terutama pada fraktur segmental, fraktur komunitif, infected pseudoartrosis atau fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat (Muttaqin, 2011).
4.
Fraktur Suprakondiler Femur
a.
Traksi berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, cast-bracing, dan spika panggul.
b.
Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka atau adanya pergeseran fraktur yang tidak dapat direduksi secara konservatif. Terapi dilakukan dengan mempergunakan nail-phroc dare screw dengan macam-macam tipe yang berbeda.
5.
Fraktur Kondiler Femur Penatalaksanaan dengan reduksi tertutup dengan traksi tulang selama 4-6 minggu dan kemudian dilanjutan dengan penggunaan gips minispika sampai terjadi penyambungan tulang. Reduksi terbuka dan fiksasi interna dilakukan
apabila
intervensi
reduksi
tertutup
tidak
penyambungan tulang, atau keluhan nyeri lokal yang parah.
memberikan
34
2.2
Konsep Hambatan Mobilitas Fisik
2.2.1 Pengertian Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstermitas secara mandiri dan terarah (NANDA, 2012). 2.2.2 Faktor yang Berhubungan dengan Hambatan Mobilitas Fisik Menurut Carpenito (2009), faktor yang berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik adalah: 1.
Patofisiologi, berhubungan dengan menurunnya kekuatan dan daya tahan tubuh akibat dari gangguan neuromuskuler, perubahan autoimun, penyakit sistem saraf, distrofi muscular, paralisis sebagian, tumor pada sistem saraf pusat, peningkatan tekanan intrakranial, defisit sensori, gangguan muskuloskeletal, fraktur, penyakit jaringan penyambung (SLE atau Sistemic Lupus Eritematousus). Berhubungan dengan edema.
2.
Terkait-pengobatan, berhubungan dengan peralatan eksternal (gips atau belat, braces, selang IV), berhubungan dengan kurangnya kekuatan dan daya tahan tubuh untuk berjalan menggunakan walker.
3.
Situasional, berhubungan dengan keletihan, motivasi, dan nyeri.
4.
Maturasional, pada anak-anak berhubungan dengan gaya berjalan yang tidak normal sebagai akibat defisiensi skeletal konginetal, osteomielitis, dysplasia
panggul
konginetal.
Pada
lansia
berhubungan
dengan
menurunnya ketangkasan motorik, berhubungan dengan kelemahan otot.
35
Menurut NANDA (2012), faktor yang berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik, yakni kontraktur, fisik tidak bugar, penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot, penurunan kendali otot, kaku sendi, kerusakan integritas, dan struktur tulang, gangguan muskuloskeletal, nyeri, program pembatasan gerak, keengganan memulai pergerakan, dan penurunan ketahanan tubuh. 2.2.3 Batasan Karakteristik Menurut Carpenito (2009), batasan karakteristik hambatan mobilitas fisik terdiri dari batasan karakteristik mayor dan batasan karakteristik minor. Mayor (80%-100%) yaitu terganggunya kemampuan untuk bergerak secara sengaja di dalam lingkungan (misalnya, mobilitas di tempat tidur, berpindah tempat, ambulasi), dan keterbatasan rentang gerak (range of motion/ROM). Minor (50%80%) yaitu keterbatasan gerak dan keengganan untuk bergerak. Menurut NANDA 2012-2014 dalam Hidayat (2014), batasan karakteristik hambatan mobilitas fisik adalah waktu reaksi menurun, sulit membolak-balik posisi, dispneu setelah aktivitas, gerakan bergetar, tremor akibat pergerakan, tidak mampu melakukan motorik halus dan kasar, perubahan cara berjalan, pergerakan lambat. 2.2.4 Mobilisasi 1.
Pengertian Menurut
Hidayat
(2014),
Mobilitas
atau
mobilisasi
merupakan
kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya.
36
2.
Tujuan Mobilisasi Menurut Asmadi (2008), tujuan mobilisasi adalah sebagai berikut:
a.
Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot.
b.
Mempertahankan fungsi kardiorespirasi.
c.
Menjaga fleksibilitas dari masing-masing persendian.
d.
Mencegah kontraktur/kekakuan pada persendian.
3.
Jenis Mobilisasi Menurut Hidayat (2014), jenis mobilisasi adalah sebagai berikut:
a.
Mobilitas penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari.
b.
Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi. Mobilitas sebagian, dibagi menjadi dua, yakni:
1)
Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal, contohnya dislokasi sendi dan patah tulang.
2)
Mobilitas sebagian permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya hemiplegi pada stroke,
37
paraplegi
karena
cedera
tulang
belakang,
poliomielitis
karena
terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik. 4.
Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi Menurut Hidayat (2014), faktor yang mempengaruhi mobilisasi adalah
sebagai berikut, yaitu: a.
Gaya hidup
b.
Proses penyakit/cedera
c.
Kebudayaan
d.
Tingkat energi
e.
Usia dan status perkembangan
5.
Rentang Gerak Pada Mobilisasi Rentang gerak (Range of Motion) adalah jumlah pergerakan maksimum
yang dapat dilakukan pada sendi (Potter & Perry, 2010). Menurut Carpenito (2000) dalam Mubarak (2015). Ada tiga kategoti rentang gerak (ROM) yaitu: a.
Rentang gerak pasif, rentang gerak ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif. Contoh: perawat mengangkat dan menggerakkan kaki klien.
b.
Rentang gerak aktif, rentang gerak ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Contoh: klien berbaring dengan menggerakkan kakinya.
c.
Rentang gerak fungsional, berguna untuk memperkutat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktivitas yang diperlukan.
38
Menurut Hidayat (2014), rentang gerak dilakukan pada daerah seperti bahu, siku, lengan, dan kaki. Tabel 2.1 Derajat Normal Rentang Gerak Sendi Gerak Sendi Derajat Rentang Normal Bahu Adduksi : gerakan lengan ke lateral dari posisi samping ke atas kepala, telapak tangan menghadap ke posisi yang paling jauh. Siku Fleksi : angkat lengan bawah ke arah depan dan ke arah atas menuju bahu. Pergelangan Tangan Fleksi : tekuk jari-jari tangan ke arah bagian dalam lengan bawah. Ekstensi : luruskan pergelangan tangan dari posisi fleksi. Hiperekstensi : tekuk jari-jari tangan ke arah belakang sejauh mungkin. Abduksi : tekuk pergelangan tangan ke sisi ibu jari ketika telapak tangan menghadap ke atas. Adduksi : tekuk pergelangan tangan ke arah kelingking, telapak tangan menghadap ke atas. Tangan dan Jari Fleksi : buat kepalan tangan. Ekstensi : luruskan jari. Hiperekstensi : tekuk jari-jari tangan ke belakang sejauh mungkin. Abduksi : kembangkan jari-jari tangan. Adduksi : rapatkan jari-jari tangan dari posisi abduksi.
180
150
80-90 80-90 70-90 0-20
30-50
90 90 30 20 20
2.2.5 Imobilisasi 1.
Pengertian Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan dimana seseorang tidak
dapat bergerak bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas). Mobilisasi ditujukan pada kemampuan klien bergerak dengan bebas dan
39
imobilisasi ditujukan pada ketidakmampuan bergerak dengan bebas (Potter & Perry, 2010). 2.
Tujuan Imobilisasi (Tirah Baring) Menurut Mubarak (2015), tujuan imobilisasi adalah sebagai berikut:
a.
Mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh.
b.
Mengurangi nyeri, meliputi nyeri pascaoperasi, dan kebutuhan analgesik dengan dosis besar.
c.
Memungkinkan
klien
sakit
atau
lemah
untuk
beristirahat
dan
mengembalikan kekuatan. d.
Memberikan kesempatan kepada klien yang lebih untuk beristirahat tanpa terganggu.
3.
Jenis Imobilisasi Menurut Hidayat (2014), secara umum ada beberapa macam keadaan
imobilitas antara lain sebagai berikut: a.
Imobilisasi fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan untuk mencegah terjadinya gangguan atau komplikasi pergerakan.
b.
Imobilisasi intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir. Contoh: klien yang mengalami kerusakan otak.
c.
Imobilisasi emosional, keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri.
40
d.
Imobilisasi sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakit sehingga dapat mempengaruhi peranannya dalam kehidupan sosial.
4.
Tingkat Imobilitas Menurut Mubarak (2015), tingkat mobilitas bervariasi diantaranya adalah
sebagai berikut: a.
Imobilitas komplet, imobilitas ini dilakukan pada individu yang mengalami gangguan tingkat kesadaran.
b.
Imobilitas parsial, imobilitas ini dilakukan pada klien yang mengalami fraktur misalnya fraktur ekstermitas bawah (kaki).
c.
Imobilitas karena alasan pengobatan, imobilisasi ini dilakukan pada individu yang menderita gangguan pernapasan (misalnya sesak napas) atau pada penderita penyakit jantung.
5.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imobilisasi
a.
Gangguan muskuloskeletal yang meliputi, osteoporosis, atropi, kontraktur, fraktur, kekakuan dan sakit sendi.
b.
Gangguan kardiovaskuler yang meliputi, postural hipotensis, vasodilatasi vena.
c.
Gangguan sistem respirasi yang meliputi penurunan gerak pernafasan, bertambahnya sekresi paru, atelektasis, dan hipostatis pneumonia (Tarwoto & Wartonah, 2010 dan Hidayat, 2014).
41
6.
Dampak Imobilisasi Menurut Asmadi (2008), Imobilisasi yang berlangsung lama menyebabkan
dampak yang negatif antara lain: a.
Dampak Imobilisasi Terhadap Sistem Tubuh
1)
Sistem Integumen Imobilisasi yang lama dapat menyebabkan kerusakan interitas kulit, seperti abrasi dan dekubitus karena terjadi gesekan, tekanan, jaringan bergeser satu dengan yang lain dan penurunan sirkulasi darah pada area yang tertekan sehingga terjadi iskemia pada jaringan. Sirkulasi darah yang lambat juga dapat mengakibatkan kebutuhan oksigen dan nutrisi pada area yang tertekan menurun sehingga laju metabolisme jaringan menurun dan jika berlangsung terus menerus akan terjadi atrofi otot dan perubahan turgor kulit (Asmadi, 2008).
2)
Sistem Kardiovaskuler
a)
Hipotensi ortostatik, hipotensi ortostatik terjadi karena sistem saraf otonom tidak dapat menjaga keseimbangan suplai darah ke tubuh sewaktu individu bangun dari posisi berbaring dalam jangka waktu lama. Darah berkumpul di ekstermitas, dan tekanan darah menurun drastis. Akibatnya, perfusi di otak mengalami gangguan yang bermakna, dan individu dapat mengalami pusing, berkunang-kunang, bahkan pingsan (Mubarak, 2015).
b)
Pembentukan trombus, trombus atau massa padat darah yang terbentuk di jantung atau pembuluh darah biasanya disebabkan oleh tiga faktor, yakni
42
gangguan aliran balik vena menuju jantung, hiperkoagulabilitas darah, dan cedera pada dinding pembuluh darah (Mubarak, 2015). c)
Edema dependen, edema dependen biasa terjadi di area-area yang menggantung, seperti kaki dan tungkai bawah pada individu yang sering duduk berjuntai di kursi. Lebih lanjut, edema ini akan menghambat aliran balik vena menuju jantung yang akan menimbulkan lebih banyak edema (Mubarak, 2015).
3)
Sistem Respirasi
a)
Penurunan gerak pernapasan, kondisi ini dapat disebabkan oleh pembatasan gerak, hilangnya koordinasi otot, atau karena jarangnya otototot tersebut digunakan. Obat-obat tertentu (misalnya sedatif dan analgesik) dapat pula menyebabkan kondisi ini (Mubarak, 2015).
b)
Penumpukan
sekret,
normalnya,
sekret
pada
saluran
pernapasan
dikeluarkan dengan perubahan posisi atau postur tubuh, serta dengan batuk. Pada kondisi imobilisasi, sekret terkumpul pada jalan napas akibat gravitasi sehingga mengganggu proses difusi oksigen dan karbondioksida di alveoli. Selain itu, upaya batuk untuk mengeluarkan sekret juga terhambat karena melemahnya tonus otot-otot pernapasan (Mubarak, 2015). c)
Atelektasis, pada kondisi tirah baring (imobilisasi), perubahan aliran darah regional dapat menurunkan produksi surfaktan. Kondisi ini, ditambah dengan sumbatan sekret pada jalan napas, dapat mengakibatkan atelektasis (Mubarak, 2015).
43
4)
Sistem Pencernaan
a)
Anoreksia, penurunan nafsu makan biasanya terjadi akibat penurunan laju metabolisme dan peningkatan katabolisme yang kerap menyertai kondisi imobilisasi. Jika asupan protein berkurang, kondisi ini bisa menyebabkan ketidakseimbangan nitrogen yang dapat berlanjut pada status malnutrisi (Mubarak, 2015).
b)
Konstipasi, jumlah adrenergik yang banyak pada imobilisasi menghambat peristaltik dan sphincter menjadi kontriksi. Kondisi ini menyebabkan menurunnya motilitas gastrointestinal. Faktor lain yang mendukung terjadinya konstipasi adalah kurang gerak, perubahan makanan dan minuman, meningkatnya absorbsi air, serta rendahnya intake cairan dan serat (Asmadi, 2008).
c)
Penurunan kecepatan metabolisme, secara umum imobilitas dapat menganggu metabolisme secara normal, mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme dalam tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada menurunnya Basal Metabolisme Rate (BMR) yang menyebabkan berkurangnya energi untuk perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat mempengaruhi gangguan oksigenasi sel (Hidayat, 2014).
d)
Metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Bedrest terus menerus akan menurunkan aktivitas pankreas dimana insulin yang diproduksi tidak cukup untuk mentoleransi glukosa, sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam serum. Selama imobilisasi, terjadi peningkatan ekskresi nitrogen yang merupakan produk akhir protein, hal ini beresiko
44
terjadinya keseimbangan nitrogen yang negatif. Kondisi ini akan mengubah osmolaritas plasma dan menyebabkan terjadinya perpindahan cairan intervaskular ke ruang interstisial pada bagian tubuh yang rendah sehingga terjadi edema. Penurunan mobilitas mengakibatkan perubahan dalam penyimpanan lemak sebagai akibat menurunnya massa tubuh (Asmadi, 2008). 5)
Sistem Perkemihan
a)
Statis urine, pada individu yang mobilisasi, gravitasi memainkan peran yang penting dalam proses pengosongan ginjal dan kandung kemih. Sebaliknya, dalam posisi berbaring untuk waktu lama, gravitasi justru akan menghambat proses tersebut. Akibatnya, pengosongan urine terhambat, dan terjadilah statis urine (terhentinya atau terhambatnya aliran urine) (Mubarak, 2015).
b)
Batu ginjal, pada kondisi imobilisasi, terjadi ketidakseimbangan antara kalsium dan asam sitrat yang menyebabkan kelebihan kalsium. Akibatnya, urine menjadi lebih basa, dan garam kalsium mempresipitasi terbentuknya batu ginjal. Pada posisi horizontal akibat imobilisasi, pelvis ginjal yang terisi urine basa menjadi tempat yang ideal untuk pembentukan batu ginjal (Mubarak, 2015).
c)
Retensi urine, kondisi imobilisasi menyulitkan upaya seseorang untuk melemaskan otot perineum pada saat berkemih. Selain itu, penurunan tonus otot kandung kemih juga menghambat kemampuan untuk mengosongkan kandung kemih secara tuntas (Mubarak, 2015).
45
6)
Sistem Muskuloskeletal
a)
Gangguan Muskular, menurunnya massa otot sebagai dampak imobilisasi menyebabkan turunnya kekuatan otot secara langsung. Menurunnya fungsi kapasitas
otot
ditandai
dengan
menurunnya
stabilitas.
Kondisi
berkurangnya massa otot dapat menyebabkan atropi pada otot (Hidayat, 2014). b)
Gangguan Skeletal, adanya imobilisasi juga dapat menyebabkan gangguan skeletal, misalnya akan mudah terjadinya kontraktur sendi dan osteoporosis. Kontraktur merupakan kondisi yang abnormal (Hidayat, 2014). Kontraktur sendi disebabkan oleh pemendekan serat otot dimana persendian menjadi kaku, tidak dapat digerakkan pada jangkauan penuh dan mungkin menjadi cacat yang tidak dapat disembuhkan (Asmadi, 2008). Terjadinya kontraktur dapat menyebabkan sendi dalam kedudukan yang tidak berfungsi (Hidayat, 2014). Osteoporosis terjadi karena reabsorbsi tulang semakin besar, sehingga menyebabkan jumlah kalsium ke dalam darah menurun dari jumlah kalsium yang yang dikeluarkan melalui urine semakin besar (Hidayat, 2014).
b.
Dampak Imobilisasi Terhadap Psikososial Menurut Asmadi (2008), perubahan emosional yang umum terjadi pada
klien imobilisasi adalah sebagai berikut : 1)
Depresi, depresi pada klien imobilisasi disebabkan karena perubahan dalam konsep diri dan kecemasan tentang kondisi kesehatannya, keuangan, masalah keluarga, serta faktor lain seperti masalah penurunan kemandirian
46
dan otonomi dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari (ADL atau Activity Daily Living). Depresi ditandai dengan perasaan sedih, patah hati, merasa tidak berguna, perasaan kosong, dan tidak ada harapan yang sesuai dengan kenyataannya. 2)
Perubahan tingkah laku, perubahan tingkah laku yang biasanya terjadi antara lain sikap permusuhan, suka bertengkar, mudah marah, pusing, menarik diri, bingung, cemas. Perubahan tingkah laku disebabkan karena kehilangan peran dalam keluarga, tempat kerja dan ketergantungan yang tinggi terhadap orang lain.
3)
Perubahan siklus bangun tidur, posisi berbaring dalam jangka waktu yang lama menimbulkan ketidaknyamanan dalam istirahat dan tidur, sehingga pola tidur klien terganggu. Kurangnya aktivitas, kurangnya rangsang sensori dan kesendirian menyebabkan klien tidak produktif disiang hari dan sering tertidur pada saat itu, sehingga dampaknya klien tidak bisa tidur pada malam hari.
4)
Penurunan kemampuan pemecahan masalah, disebabkan oleh kurangnya stimulus intelektual dan stres terhadap penyakit yang dialaminya dan kondisi tubuhnya yang tidak berdaya.
47
2.2.6 Kategori Kemampuan Aktifitas Menurut Hidayat (2014), penilaian tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Kategori Tingkat Kemampuan Aktivitas Individu Tingkat aktivitas/ Kategori mobilitas Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan peralatan Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam perawatan
2.2.7 Nilai Kekuatan Otot Menurut Hidayat (2014), derajat kekuatan otot dapat ditentukan dengan, sebagai berikut:
Skala 0 1 2 3 4 5
2.3
Tabel 2.3 Derajat Kekuatan Otot Persentase Karakteristik Kekuatan Normal 0 Paralisis sempurna 10 Terlihat ada gerakan, kontraksi otot dapat dipalpasi atau dilihat 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan topangan 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi 75 Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan minimal 100 Kekuatan normal
Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Fraktur Femur Dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik
2.3.1 Pengkajian Keperawatan Pengkajian merupakan tahap awal landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah
48
klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan (Wahid, 2013). I.
Data Subyektif
1.
Identitas klien Meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah sakit, diagnosa medis (Muttaqin, 2011).
2.
Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur femur adalah rasa nyeri yang hebat. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri klien, perawat dapat menggunakan PQRST (Muttaqin, 2011).
a.
Provoking Incident Hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri adalah trauma pada bagian paha.
b.
Quality of Pain Klien merasakan nyeri yang bersifat menusuk.
c.
Region, Radiation, Relief Nyeri terjadi dibagian paha yang mengalami patah tulang. Nyeri dapat reda dengan imobilisasi atau istirahat.
d.
Severity (scale) of Pain Secara subyektif, nyeri yang dirasakan klien antara 2-4 pada rentang skala pengukuran 0-4.
49
e.
Time Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3.
Riwayat Penyakit Sekarang Alasan klien yang menyebabkan terjadinya keluhan/gangguan, tingkat mobilitas dan imobilitas, seperti nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tingkat mobilitas dan imobilisasi, daerah yang mengalami hambatan mobilitas dan imobilitas, serta lama terjadinya hambatan mobilitas (Hidayat, 2014). Maka, pada pengkajian riwayat penyakit sekarang klien fraktur femur, perlu dikaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang paha, pertolongan apa yang telah didapatkan, dan apakah sudah berobat kedukun
patah
tulang.
Dengan
mengetahui
kronologi
terjadinya
kecelakaan perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lain (Muttaqin, 2011). 4.
Riwayat Penyakit Dahulu Kaji riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan mobilitas seperti adanya riwayat penyakit muskuloskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis) (Hidayat, 2014). Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung (Wahid, 2013). Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit Paget menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung. Klien diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronis. Selain itu
50
penyakit diabetes dapat menghambat proses penyembuhan tulang (Muttaqin, 2011). 5.
Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang paha adalah faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Muttaqin, 2011).
6.
Riwayat Psikososial Spiritual Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh adanya gangguan mobilitas dan imobilisasi antara lain perubahan perilaku, perubahan dalam mekanisme koping, dan peningkatan emosi (Hidayat, 2014). Reaksi umum imobilisasi meliputi kebosanan serta perasaan terisolasi, depresi dan marah (Potter & Perry, 2010). Oleh karena itu, kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya, peran klien dalam keluarga dan masyarakat, serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat (Muttaqin, 2011).
7.
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a.
Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Klien fraktur akan merasa takut terjadi kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien, seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
51
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang dapat mengganggu keseimbangan klien, dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak (Muttaqin, 2011). b.
Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehariharinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang (Muttaqin, 2011). Anoreksia umumnya terjadi pada klien yang imobilisasi. Analisa juga catatan keluaran dan asupan cairan untuk melihat keseimbangan cairan. Dehidrasi dan edema meningkatkan derajat kerusakan kulit pada klien yang imobilisasi (Potter & Perry, 2010). Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat, terutama kalsium atau protein. Kurangnya sinar matahari yang diperoleh merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu, obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien (Muttaqin, 2011).
c.
Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur femur, klien tidak mengalami gangguan pola eliminasi. Meskipun demikian, perawat perlu mengkaji frekuensi, konsistensi, serta warna dan bau feses pada pola eliminasi alvi dan pola eliminasi urine. Pada kedua pola ini juga dikaji adanya kesulitan atau tidak (Muttaqin, 2011), karena pada kondisi imobilisasi, penurunan tonus otot
52
kandung kemih dapat menghambat kemampuan untuk mengosongkan kandung kemih secara tuntas (Mubarak, 2015). d.
Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur merasakan nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien (Muttaqin, 2011). Posisi berbaring dalam jangka waktu yang lama menimbulkan ketidaknyamanan dalam istirahat dan tidur, sehingga pola tidur klien terganggu. Kurangnya aktivitas, kurangnya rangsang sensori dan kesendirian menyebabkan klien tidak produktif disiang hari dan sering tertidur pada saat itu sehingga dampaknya klien tidak bisa tidur pada malam hari (Asmadi, 2008). Selain itu, pengkajian juga dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Muttaqin, 2011).
e.
Pola Aktivitas dan Latihan Karena adanya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk aktivitas klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain (Muttaqin, 2011). Hal ini dapat menyebabkan depresi pada klien imobilisasi karena penurunan kemandirian dan otonomi dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari (ADL atau Activity Daily Living) (Asmadi, 2008). Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibandingkan dengan pekerjaan yang lain (Muttaqin, 2011).
53
f.
Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap (Muttaqin, 2011). Kehilangan peran dalam keluarga, tempat kerja dan ketergantungan yang tinggi terhadap orang lain dapat menyebabkan perubahan tingkah laku (sikap permusuhan, suka bertengkar, mudah marah, pusing, menarik diri, bingung, cemas) (Asmadi, 2008).
g.
Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur adalah ketakutan akan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri). Perubahan dalam konsep diri dan kecemasan tentang kondisi kesehatannya, keuangan, dan masalah keluarga dapat menyebabkan depresi pada klien fraktur yang mengalami imobilisasi (Asmadi, 2008).
h.
Pola Sensori dan Kognitif Daya raba klien fraktur berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitifnya tidak mengalami gangguan (Muttaqin, 2011).
i.
Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
54
perkawinannya termasuk jumlah anak, dan lama perkawinannya (Muttaqin, 2011). j.
Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas akan keadaan dirinya, yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien dapat tidak efektif (Muttaqin, 2011). Dimana penurunan kemampuan memecahkan masalah ini disebabkan oleh kurangnya stimulus intelektual dan stres terhadap penyakit yang dialaminya dan kondisi tubuhnya yang tidak berdaya (Asmadi, 2008).
k.
Pola Tata Nilai dan Keyakinan Klien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan baik, terutama frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat disebabkan oleh nyeri dan keterbatasan gerak klien (Muttaqin, 2011).
II.
Data Obyektif
1.
Keadaan Umum Keadaan baik dan buruknya klien. Tanda-tanda yang perlu dicatat adalah kesadaran klien: (apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis yang bergantung pada keadaan klien, kesakitan atau keadaan penyakit (akut, kronis, ringan, sedang, berat, dan pada kasus fraktur biasanya akut), tandatanda vital tidak normal karena ada gangguan lokal, baik fungsi maupun bentuk (Muttaqin, 2011).
55
2.
Pemeriksaan Persistem (Body System)
a.
B1 (Breathing) Kaji sistem pernafasan setidaknya setiap 2 jam pada klien yang aktivitasnya dibatasi (Potter & Perry, 2010). Pada pemeriksaan sistem pernafasan, didapatkan bahwa klien fraktur femur tidak mengalami kelainan pernafasan. Pada palpasi toraks, didapatkan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak ditemukan suara nafas tambahan. Klien yang mengalami imobilisasi, pada sistem ini dapat terjadi penurunan gerak pernapasan, penumpukan sekret, dan atelektasis (Mubarak, 2015).
b.
B2 (Blood) Inspeksi
: Tidak ada iktus jantung
Palpasi
: Nadi meningkat, iktus tidak teraba
Auskultasi
: Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada murmur (Muttaqin,
2011). Klien yang mengalami imobilisasi, pada sistem ini dapat terjadi hipotensi ortostatik, pembentukan trobus, dan edema dependen (Mubarak, 2015). c.
B3 (Brain)
1)
Tingkat kesadaran, biasanya kompos mentis.
2)
Kepala Tidak ada gangguan, yaitu normo sefalik, simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
56
3)
Leher Tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
4)
Wajah Wajah terlihat menahan sakit dan bagian wajah yang lain tidak ada perubahan fungsi dan bentuk. Wajah simetris, tidak ada lesi dan edema.
5)
Mata Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis pada klien dengan patah tulang tertutup karena tidak terjadi perdarahan. Namun pada klien dengan patah tulang terbuka dengan banyaknya perdarahan yang keluar maka biasanya mengalami konjungtiva anemis.
6)
Telinga Tes bisik atau Weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7)
Hidung Tidak ada deformitas. Tidak ada cuping hidung.
8)
Mulut dan Faring Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
9)
Pemeriksaan Fungsi Serebral
a)
Status mental Observasi penampilan dan tingkah laku klien. Status mental tidak mengalami perubahan.
57
10)
Pemeriksaan Saraf Kranial
a)
Saraf I Pada klien fraktur femur, fungsi saraf I tidak ada kelainan.
b)
Saraf II Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
c)
Saraf III, IV, dan VI Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil isokor.
d)
Saraf V Klien fraktur femur umumnya tidak mengalami paralisis pada otot wajah dan tidak ada kelainan pada reflek kornea.
e)
Saraf VII Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
f)
Saraf VIII Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g)
Saraf IX dan X Kemampuan menelan baik.
h)
Saraf XI Tidak ada atrofi otot sternokloidomastoid dan trapezius.
i)
Saraf XII Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecap normal (Muttaqin, 2011).
11)
Pemeriksaan Refleks Tidak didapatkan refleks-refleks patologis (Muttaqin, 2011).
58
12)
Pemeriksaan Sensorik Daya raba klien fraktur femur berkurang terutama pada bagian distal femur, sedangkan indra yang lain dan kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu, timbul nyeri akibat fraktur (Muttaqin, 2011).
d.
B4 (Bladder) Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Klien fraktur femur tidak mengalami kelainan pada sistem ini. Namun pada klien yang mengalami imobilisasi dapat terjadi perubahan dalam eliminasi seperti penurunan jumlah urine yang disebabkan karena kurangnya asupan dan penurunan curah jantung sehingga aliran darah renal dan urine berkurang (Hidayat, 2014).
e.
B5 (Bowel) Inspeksi abdomen
: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi
: Turgor baik, tidak ada defans muskular dan hepar tidak teraba.
Perkusi
: Suara timpani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi
: Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
Inguinal-genitalia-
: Tidak ada hernia, tidak ada
anus
pembesaran limfe, dan tidak ada kesulitan BAB
(Muttaqin, 2011). Konstipasi dapat terjadi pada klien yang mengalami imobilisasi, dimana jumlah adrenergik yang banyak pada imobilisasi menghambat peristaltik dan sphincter menjadi kontriksi. Kondisi ini menyebabkan menurunnya
59
motilitas gastrointestinal. Faktor lain yang mendukung terjadinya konstipasi adalah kurang gerak, perubahan makanan dan minuman, meningkatnya absorbsi air, serta rendahnya intake cairan dan serat (Asmadi, 2008). f.
B6 (Bone) Adanya fraktur pada femur akan mengganggu secara lokal, baik fungsi motorik, sensorik, maupun peredaran darah (Muttaqin, 2011). Klien yang mengalami imobilisasi, pada sistem ini dapat menimbulkan berbagai masalah lain seperti osteoporosis, atrofi otot, kontraktur, dan kekakuan serta nyeri pada sendi (Mubarak, 2015).
3.
Keadaan Lokal
a.
Look (inspeksi) Pada sistem integumen terdapat eritema, suhu disekitar trauma meningkat,
bengkak, edema, dan nyeri tekan. Perhatikan adanya pembengkakan yang tidak biasa (abnormal) dan deformitas. Apabila terjadi fraktur terbuka, dapat ditemukan adanya tanda-tanda trauma jaringan lunak sampai kerusakan integritas kulit. Fraktur oblik, spiral, atau bergeser mengakibatkan pemendekan batang femur. Ada
tanda-tanda
cedera
dan
kemungkinan
keterlibatan
berkas
neurovaskuler (saraf dan pembuluh darah) paha, seperti bengkak atau edema. Pengkajian neuromuskular awal sangat penting untuk membedakan antara trauma akibat cedera dan komplikasi akibat penanganan. Selain itu, didapatkan ketidakmampuan menggerakkan tungkai dan penurunan kekuatan otot tungkai dalam melakukan pergerakan.
60
Perhatikan adanya sindrom kompartemen pada bagian distal fraktur femur. Pada keadaan tertentu, klien fraktur femur sering mengalami sindrom kompartemen pada fase awal setelah patah tulang. Perawat perlu mengkaji apakah adanya pembengkakan pada tungkai atas dapat mengganggu sirkulasi darah ke bagian bawahnya. Terjebaknya lemak, otot, saraf, dan pembuluh darah dalam sindrom kompartemen memerlukan perhatian perawat secara khusus agar organ di bawah paha tidak mengalami penurunan suplai darah atau nekrosis. Tanda klinis sindrom kompartemen pada fraktur femur adalah perfusi yang tidak baik pada bagian distal, seperti jari-jari kaki, tungkai bawah pada sisi fraktur bengkak, adanya keluhan nyeri pada tungkai, dan timbulnya bula yang banyak menyelimuti bagian bawah fraktur femur (Muttaqin, 2011). b.
Feel (palpasi) Kaji adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah paha
(Muttaqin, 2011). c.
Move (pergerakan terutama lingkup gerak) Setelah melakukan pemeriksaan feel, pemeriksaan dilanjutkan dengan
menggerakan ekstrimitas dan mencatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan rentang gerak ini perlu dilakukan agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. Berdasarkan
61
pemeriksaan,
didapatkan
adanya
gangguan/keterbatasan
gerak
tungkai,
ketidakmampuan menggerakkan kaki, dan penurunan kekuatan otot ekstermitas bawah dalam melakukan pergerakan (Muttaqin, 2011 dan
Wahid, 2013).
Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan untuk menilai kemampuan gerak ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun, dan berpindah tanpa bantuan (Hidayat, 2014). 2.3.2 Diagnosis Keperawatan 1.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan struktur tulang, gangguan muskuloskeletal, kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, program pembatasan gerak atau terapi restriktif yaitu imobilisasi (NANDA, 2012 & Wahid, 2013).
2.3.3 Perencanaan Keperawatan Diagnosa Keperawatan : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan struktur tulang atau kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, program pembatasan gerak atau terapi restriktif yaitu imobilisasi (NANDA, 2012 & Wahid, 2013). Tujuan pada
: Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas tingkat
paling
tinggi,
mempertahankan
posisi
fungsional,
meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh, menunjukkan teknik yang memampukan melakukan aktivitas. Kriteria Hasil : a.
Klien dapat ikut serta dalam program latihan.
b.
Tidak mengalami kontraktur sendi.
62
c.
Klien menunjukkan kegiatan untuk meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi. Intervensi
:
MANDIRI 1)
Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya peningkatan kerusakan. Rasional
: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan
aktivitas. 2)
Atur posisi imobilisasi paha. Rasional
: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan
fragmen tulang yang menjadi unsur penyebab nyeri pada paha. 3)
Bantu latihan rentang gerak pasif dan aktif pada ekstermitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien. Rasional
:
meningkatkan
sirkulasi
darah
muskuloskeletal,
mempertahankan tonus otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur atau atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi. 4)
Berikan papan penyangga kaki/gulungan trokanter sesuai indikasi. Rasional
5)
: mempertahankan posisi fungsional ekstermitas.
Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien. Rasional
: meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri
sesuai kondisi keterbatasan klien.
63
6)
Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien. Rasional
: menurunkan insidensi komplikasi kulit dan pernafasan
(dekubitus, atelektasis, pneumonia). 7)
Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari. Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat, mencegah komplikasi urinarius dan konstipasi. KOLABORASI
8)
Kolaborasi dalam pemberian diet TKTP. Rasional
: untuk dapat bergerak atau melakukan aktivitas, tubuh
memerlukan zat gizi sebagai sumber tenaga. Sehingga kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk menghasilkan tenaga, membantu proses penyembuhan dan mempertahankan fungsi fisiologis tubuh. 9)
Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi. Rasional
: kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun
program aktivitas fisik secara individual. (Wahid, 2013 dan Muttaqin, 2011) 2.3.4 Pelaksanaan Keperawatan Pelaksanaan
atau
Implementasi
adalah
tahap
ketika
perawat
mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat dalam tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling membantu, kemampuan melakukan teknik psikomotor,
64
kemampuan
melakukan
observasi
sistematis,
kemampuan
memberikan
pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi. Implementasi keperawatan dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu independent, interdependent, dan dependen. 1.
Independent, yaitu suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dari dokter atau tenaga kesehatan lain. Lingkup tindakan keperawatan independen, yaitu :
a.
Mengkaji klien atau keluarga melalui riwayat keperawatan dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui status kesehatan klien.
b.
Merumuskan
diagnosis
keperawatan
sesuai
respons
klien
yang
memerlukan intervensi keperawatan. c.
Mengidentifikasikan tindakan keperawatan untuk mempertahankan atau memulihkan kesehatan klien.
d.
Mengevaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan dan medis.
2.
Interdependent, yaitu suatu kegiatan yang memerlukan kerjasama dari tenaga kesehatan lain.
3.
Dependent,
berhubungan
dengan
pelaksanaan
rencana
tindakan
medis/instruksi dari tenaga medis (Asmadi, 2008). 2.3.5 Evaluasi Keperawatan Evaluasi merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan. Evaluasi dibagi menjadi dua jenis, yaitu evaluasi formatif
65
dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Pelaksanaan evaluasi formatif meliputi empat komponen dengan istilah SOAP, yakni subjektif merupakan data berupa keluhan klien, Objektif merupakan data hasil pemeriksaan, analisis data yaitu perbandingan data dengan teori, dan perencanaan. Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas dan proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif bertujuan untuk menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan wawancara pada akhir layanan, menanyakan respons klien dan keluarga terkait layanan keperawatan. Terdapat tiga kemungkinan hasil evaluasi, yaitu : 1)
Tujuan tercapai jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
2)
Tujuan tercapai sebagian jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria yang telah ditetapkan atau klien masih dalam proses mencapai tujuan keperawatan.
3)
Tujuan tidak tercapai jika klien hanya menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali serta dapat timbul masalah baru (Asmadi, 2008).