STATUS TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN PASCA PANEN TANAMAN KUNYIT DAN TEMU LAWAK SEBAGAI PENGHASIL KURKUMIN Nurliani Bermawie, Mono Rahardjo, Dono Wahyuno dan Ma’mun Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
ABSTRAK Kurkumin atau kurkuminoid adalah suatu campuran yang kompleks berwarna kuning oranye yang diisolasi dari tanaman dan memiliki efek terapeutik, terdapat pada berbagai jenis Curcuma sp, antara lain pada kunyit dan temulawak, yang telah dikenal di kalangan industri jamu/obat tradisional dan banyak digunakan sebagai bahan baku dalam ramuan jamu. Kurkumin baik dari kunyit dan temulawak, telah terbukti secara ilmiah melalui berbagai pengujian pre-klinik dan klinik, berkhasiat untuk mengobati berbagai macam penyakit degeneratif seperti kardiovaskular, stroke, reumatik, sebagai anti oksidan yang mengikat radikal bebas, penurun kadar lipid darah, meluruhkan plak pada otak penderita penyakit Alzheimer, kemampuan memerangi sel kanker dan infeksi virus maupun bakteri. Kunyit maupun temulawak sangat prospektif untuk dikembangkan menjadi berbagai produk obat bahan alam seperti minuman kesehatan, pangan fungsional (nutraseutikal), kosmeseutikal (kometik dan produk kesehatan pribadi), jamu, herbal terstandar dan fitofarmaka dengan label global (global brand). Permintaan bahan baku dari kedua komoditi ini untuk memenuhi kebutuhan industri sangat besar, maka diperlukan dukungan teknologi untuk pengembangannya, mulai dari aspek bahan tanaman sampai teknologi pasca panen serta saran tindak lanjut penelitian yang masih diperlukan untuk mendukung pengembangan kedua komoditi sebagai bahan baku industri obat bahan alam.
84
PENDAHULUAN Kurkumin atau seringkali juga disebut sebagai kurkuminoid adalah suatu campuran yang kompleks berwarna kuning oranye yang diisolasi dari tanaman dan memiliki efek terapeutik. Kurkumin sebenarnya terdiri dari tiga macam kurkumin, yaitu kurkumin I (deferuloyl methane), kurkumin II desmethoxy-kurkumin (feruloyl-p-hydroxy-cinnamoylethane) dan kurkumin III (bis-desmethoxykurkumin (bis-(p-hydroxycinnamoyl)methane) (Wardini dan Prakoso, 1999). Kurkumin merupakan zat yang memiliki aktivitas biologi (zat berkhasiat), yang terdapat pada berbagai jenis Curcuma sp. (Chen dan Fang, 1997). Di dunia ada 40-50 jenis Curcuma sp, yang merupakan tanaman asli dari wilayah Indo-Malesia, ditemukan tumbuh tersebar dari India, Taiwan, Thailand, seluruh wilayah Malesia sampai ke wilayah Pasifik dan Australia utara. Di wilayah Malaisia ada sekitar 20 jenis Curcuma sp. Menurut Krishnamurthy et al. (1976 ) kunyit mengandung 2,5 – 6 % kurkumin, sementara dalam temulawak berkisar antara 1 – 2 %. Temulawak dan kunyit telah dikenal di kalangan industri jamu/obat tradisional dan
banyak digunakan sebagai bahan baku dalam ramuan jamu. Kebutuhan industri terhadap kedua jenis ini cukup tinggi, yaitu sekitar 3,140 ton/tahun berat segar untuk temulawak dan 1,355 ton/tahun berat segar untuk kunyit yang menempati urutan pertama dan ke empat terbesar dibandingkan bahan baku obat lainnya untuk keperluan Industri Obat Tradisional di Jawa Tengah (Kemala, et al.; 2003). Menurut Ketua GP Jamu Charles Saerang (2005) sekitar 70% jamu yang beredar di pasaran mengandung temulawak, dan sekitar 70% hasil produksi temulawak dari Indonesia di ekspor ke luar negeri. Mengingat khasiat kurkumin untuk mengobati berbagai macam penyakit yang telah terbukti secara ilmiah melalui berbagai pengujian preklinik dan klinik, dan tingginya permintaan bahan baku dari kedua komoditi ini untuk memenuhi kebutuhan industri, maka diperlukan dukungan teknologi untuk pengembangannya. Makalah ini menguraikan mengenai khasiat kurkumin dan status teknologi tanaman kunyit dan temulawak dari aspek bahan tanaman sampai teknologi pasca panen serta saran tindak lanjut penelitian yang masih diperlukan untuk mendukung pengembangan kedua komoditi sebagai bahan baku industri obat bahan alam, seperti minuman kesehatan, pangan fungsional (nutraseutikal), kosmeseutikal (kometik dan produk
kesehatan pribadi), jamu, terstandar dan fitofarmaka.
herbal
KARAKTERISTIK KURKUMIN Kurkumin bersifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol dan asam asetat glasial. Kurkumin akan terdegradasi pada pH di atas 7.2 dan oleh sinar ultra violet. Oleh sebab itu pada proses pengeringan menggunakan sinar matahari dan ekstraksi hal tersebut perlu diperhatikan, agar efikasi kurkumin tetap terjamin. Kurkumin termasuk zat yang tidak toksik, daya serap tubuh terhadap kurkumin rendah sampai sedang. Penyerapan kurkumin dalam tubuh dapat dibantu oleh piperin. Di dalam tubuh kurkumin diserap oleh darah, dengan cepat dimetabolisasi di dalam liver dan dibuang melalui kotoran. Penggunaan jangka pendek dan menengah cukup aman. Percobaan pada tikus, pemakaian dosis tinggi secara terus menerus dalam jangka panjang sampai 24 bulan bisa menimbulkan efek samping (adenoma, lymphoma). Kurkumin yang diekstrak dari jenis Curcuma yang berbeda memilki efek terapeutik yang berbeda, antara lain karena efek terapeutik tiap kurkumin dan perbandingan ketiga kurkumin tersebut dalam tiap jenis tanaman berbeda. Sebagai contoh, daya hambat tumor yang diinduksi pada tikus menggunakan kurkumin I mencapai 90 %, kurkumin II 80 % dan pada kurkumin III hanya 60 %. Perbandingan antara kurkumin I, II dan III pada kunyit adalah 46,9%:
85
23,0%:29,2%, sedangkan pada temulawak 62,4 %: 37,6 %: 0 % (Natarajan, 1980). KHASIAT KURKUMIN Hasil kajian pre-klinik mengenai kurkumin menunjukkan khasiatnya yang nyata untuk mengatasi berbagai macam penyakit Kurkumin dari rimpang kunyit memiliki khasiat sebagai anti bakteri broad spectrum, sehingga telah dimanfaatkan dalam ramuan jamu, herba terstandar dan fitofarmaka anti diare. Aplikasi kurkumin pada tikus terbukti mampu menurunkan kadar serum lipid darah dan kolesterol pada liver. Disamping itu kurkumin juga memiliki aktivitas sebagai antioksidan yang kuat dan anti karsinogen. Kurkumin juga memilki prospek untuk mengatasi penyakit Alzheimer, karena daya antioksidan kurkumin yang kuat mampu melarutkan plak pada otak yang menjadi penyebab penyakit Alzheimer. Hasil uji pre-klinik pada tikus menunjukkan bahwa kurkumin dari kunyit mampu menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan sel kanker payudara yang telah resisten terhadap macam-macam obat, baik karena dipengaruhi faktor hormonal maupun tidak (hormone-dependent dan –independet), menghambat perkembangbiakan sel kanker kolon in vitro, limfoma/leukimia dan sel kanker kulit. Aktivitas anti kanker dari kurkumin dengan cara menginduksi kematian sel dengan apostosis (sel lisis).
86
Sebagai anti infeks virus, kurkumin bekerja dengan cara menghambat enzim integrase HIV-1, protease HIV-1 sehingga menghambat transaktivasi HIV-1. Kurkumin juga memiliki aktivitas sebagai imunostimulan dengan karena kemampuannya meningkatkan sintesis antibodi IgG, dan meningkatkan sitotoksisitas sel NK (Natural Killer cells). Kurkumin juga dikenal sebagai anti inflamasi yang sangat kuat dengan cara menghambat aktivitas enzim lipoxigenase dan siklooxigenase. Sebagai anti inflamasi pada reaksi sistem imun terhadap infeksi virus (termasuk H5 N1). Dalam infeksi virus H5N1, terjadi over reaksi sistem imun, menyebabkan over produksi sitokin yang kemudian menyebabkan meningkatnya produksi radikal bebas yang merusak sel-sel paru, dan menyebabkan kematian. Kurkumin terbukti dapat menurunkan sekresi sitokin secara signifikan, sehingga memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai obat anti flu burung. Kurkumin pada temulawak dapat mencegah terjadinya berbagai macam penyakit seperti kolesterol, jantung koroner, stroke dan rematik. Karena senyawa aktif kurkumin mempunyai aktivitas sebagai antioksidan dan imunostimulator/imunomodulator. Antioksidan dalam tubuh bekerja mengikat radikal-radikal bebas yang akan merusak sel-sel tubuh sehingga mendorong terjadinya pertumbuhan sel-sel tidak normal (kanker). Aktivitas imunomodulator dari kurkumin dapat
meningkatkan daya tahan tubuh (Sampoerno, 2006). Berdasarkan atas efek terapeutik kurkumin baik dari kunyit dan temulawak, yang sangat signifikan terhadap berbagai penyakit degeneratif seperti kardiovaskular, sebagai anti oksidan yang mengikat radikal bebas, penurun kadar lipid darah, meluruhkan plak pada otak penderita penyakit Alzheimer, kemampuan memerangi sel kanker dan infeksi virus maupun bakteri, kunyit maupun temulawak sangat prospektif untuk dikembangkan menjadi berbagai produk obat bahan alam dengan label global (global brand). STATUS TEKNOLOGI Dalam pengembangan obat bahan alam, ketersedian bahan baku bermutu menjadi salah satu masalah yang perlu segera dipecahkan. Kelangsungan produksi, jaminan kemanan dan khasiat sangat ditentukan oleh bahan baku. Oleh sebab itu tersedianya inovasi teknologi di sektor hulu diharapkan menjadi solusi dalam pengembangan obat bahan alam. Teknologi di sektor hulu yang diperlukan antara lain, ketersediaan bahan tanaman, teknologi budidaya dan pasca panen. KUNYIT Bahan tanaman Kunyit berasal dari India dan Indo-Malaysia dan kemudian tersebar ke daerah Asia Selatan, Cina Selatan, Taiwan, Filipina dan Indonesia
(Rukmana 1999; Syukur 2001). Keragaman genetik kunyit yang tinggi kemungkinan ditemukan di India dan Indo - Malaya. Keragaman gentik plasma nutfah merupakan bahan dasar pemuliaan untuk merakit varietas unggul. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik memiliki koleksi plasma nutfah 70 nomor aksesi yang merupakan hasil pengumpulan dari berbagai daerah. 20 aksesi telah dievaluasi hasil dan mutunya, memiliki kadar kurkumin 6 -11 %, dari jumlah itu terpilih 10 nomor harapan yang kemudian diuji multilokasi di beberapa daerah pengambangan kunyit di Jawa Barat. Hasil pengujian terpilih 3 nomor yang diajukan dan lolos pada sidang Tim Penilai dan Pelepas varietas tanggal 3 Mei 2006, yaitu Turina 1, stabil, dengan bobot rimpang tinggi (745,93 g/rumpun, setara 23,87 ton/ha), jumlah rimpang sekunder tertinggi (14,07), dan kadar kurkumin tinggi (8,36%), tetapi rentan terhadap penyakit layu bakteri; Turina 2, stabil, dengan kadar kurkumin tertinggi (9,95%), bobot rimpang tinggi (723,70 g/rumpun, setara dengan 23,16 ton/ha), rentan terhadap penyakit layu bakteri dan Turina 3, dengan bobot rimpang tertinggi (782,96 g/rumpun, setara dengan 25,05 ton/ha), tidak stabil, kadar kurkumin 8,55%, rentan terhadap penyakit layu bakteri (Syukur et al., 2006). Ketiga nomor tersebut direkomendasikan untuk dikembangkan di pada kondisi agroekologi yang sesuai dengan daerah pengembangan di
87
Jawa Barat, dengan cara budidaya anorganik dan monokultur. Belum diketahui bagaimana respon varietas unggul ini apabila dibudidayakan pada kondisi di bawah tegakan atau dengan cara budidaya organik. Disamping itu, masih belum diketahui aspek sosial ekonomi penggunaan benih unggul tersebut untuk pengembangan skala luas, dan berapa umur panen yang tepat dan kadar kurkumin yang menguntungkan untuk diusahakan. Varietas unggul di India dibagi ke dalam beberapa kategori waktu panen, umur 7 bulan, umur 8 bulan dan umur 9 bulan. Produktivitas tertinggi untuk rimpang segar dari varietas unggul yang dihasilkan di India adalah 43 t/ha dengan kadar kurkumin 8.7 %. Teknologi budidaya Lingkungan tumbuh
Budidaya kunyit yang sesuai lingkungan tumbuhnya, penggunaan varietas dan benih yang bermutu tinggi, pemupukan dan jarak tanam yang tepat, maka produktivitas tanaman akan mencapai optimal. Pada umumnya kunyit dibudidayakan di daerah dataran rendah antara 300 – 900 m dpl, namun tanaman kunyit dapat dijumpai di daerah dengan ketinggian hingga 1600 m dpl (Abdullah 1988; Kartasapoetra 1988; Darwis et at. 1991; Rukmana 1999; Syukur, 2001). Tanaman kunyit tumbuh di daerah dengan curah hujan berkisar antara 2000 - 4000 mm/tahun. Tanaman kunyit memerlukan tempat yang sedikit ternaungi, tetapi untuk menghasilkan rimpang yang besar diperlukan tempat yang terbuka
88
(Abdullah dibuktikan penelitian.
1988), secara
namun belum ilmiah melalui
Pemupukan Unsur hara N merupakan hara makro yang terbanyak diserap oleh tanaman temu-temuan, kemudian K dan P. Jumlah serapan unsur N, P dan K pada tanaman kunyit belum diketahui, namun dapat mengacu ke tanaman bangle. Di dalam luasan 1 ha tanaman bangle terangkut sebanyak 160 kg unsur N, 75 kg unsur K, dan 32,5 kg P (Rosita et al., 2005). Kebutuhan tanaman terhadap unsur P relatif lebih sedikit dibandingkan dengan unsur N dan K. Pupuk P yang diberikan sebagian besar tidak tersedia oleh tanaman karena terjerap di dalam tanah. Penyerapan unsur P dan K oleh tanaman dapat ditingkatkan dengan memberikan pupuk kandang. Berdasarkan hasil penelitian pada tanaman temu-temuan seperti kunyit penggunaan pupuk bio dapat mengurangi dosis pupuk P sintetis dan meningkatkan produksi rimpang (Yusron dan Januwati, 2004). Penelitian budidaya selama ini memfokuskan pada produksi rimpang segar belum mengarah kepada produksi bahan aktif. Berdasarkan hasil uji potensi produksi dengan penggunaan varietas kunyit unggul di lahan terbuka dan pupuk kandang 10-20 t/ha, pupuk Urea, SP36 dan KCl masing-masing berturut-turut dengan dosis 150, 100 dan 150 kg/ha, produksi rimpang segar mencapai 23,16 – 25,05 t/ha (Syukur et al., 2006).
Validasi SPO menggunakan varietas unggul dengan cara budidaya organik menggunakan pupuk bio, biokashi, pupuk kandang dan zeolit dan anorganik menggunakan urea, SP-36 dan KCl sedang dilakukan pada dua kondisi agroekologi yang berbeda untuk mengetahui potensi produksi dan konsistensi mutunya. Pola tanam Pola tanam dibawah tegakan hutan kemasyarakatan (Jati) dan hutan Rakyat (sengon) denganan tanaman pangan, palawija dan sayuran pada varietas lokal yang beredar di masyarat dengan pupuk anorganik: urea: 100 kg, SP36 200 kg, KCl 200 kg/ha dan pupuk kandang: 10-20 ton/ha, hasilnya rimpang segar. Penelitian tingkat produktivitas beberapa varietas dan nomor harapan kunyit di bawah tegakan akan dilakukan. Organisme Penggangu Tanaman Banyak jamur yang dilaporkan menyerang kunyit, di daun maupun bagian lainnya yang terdapat didalam tanah. Tetapi, penyakit bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum (Pseudomonas solanacearum) mungkin yang paling berpotensi menimbulkan kerusakan paling parah dimasa datang. Saat ini belum diketahui adanya aksesi atau varietas kunyit yang tahan terhadap penyakit ini. Pengujian ketahanan varietas kunyit terhadap Ralstonia solanacearum (Pseudomonas solanacearum) yang dilakukan 10 aksesi menunjukkan semuanya peka terhadap serangan R. solanacearum,
baik pada pengujian menggunakan cara pelukaan pada umbi (tusuk) maupun pelukaan pada akar. Namun peluang untuk mendapatkan aksesi yang tahan masih terbuka, karena masih terdapat 60 aksesi yang belum diuji. Saat ini teknologi pengendalian layu bakteri yang tersedia lebih diarahkan pada pencegahan, dengan perlakuan sebelum atau saat awal tanam (tindakan budidaya): (1) Penggunaan benih sehat, menghindari pelukaan atau memberi perlakuan awal pada benih sebelum ditanam, guna mencegah penyebaran inokulum dan terbawanya inokulum, (2) Memperbaiki system drainase lahan, membersihkan sisa-sisa tanaman, khususnya rimpang tanaman sebelumnya yang sakit dan gulma yang sekiranya dapat digunakan menjadi tempat bertahan atau inang alternatif, (3) Mengusahakan pergiliran tanaman pada lahan yang akan digunakan, untuk memutus siklus penyakit, dan (4) Sanitasi pada tanaman sakit, serta melakukan inspeksi kebun secara seksama dan sesering mungkin guna menghindari kerusakan yang lebih besar apabila gejala awal (daun menguning/layu) telah ditemukan, sehingga sanitasi dan eradikasi dapat segara dilakukan. Pengendalian R. Solanacearum dengan menggunakan agensia hayati dan pestisida nabati belum pernah dilakukan pada kunyit. Teknik ini pernah dilakukan pada tanaman jahe untuk jenis bakteri yang sama dengan yang terdapat pada kunyit. Hasil penelitian di rumah kaca menunjukkan
89
penggunaan agensia hayati, yang terdiri dari tiga kombinasi bakteri Pseudomonas fluorescens, Psedumonas cephala dan Bacillus sp lebih menekan layu bakteri pada jahe dibanding masing-masing isolat digunakan secara terpisah. Beberapa jenis pestisida nabati dengan bahan baku gambir, cengkeh dan temulawak juga pernah diuji pada jahe untuk mengendalikan layu bakteri sampai tingkat lapang. Pestisida nabati berupa tepung temulawak memberi pengaruh lebih baik terhadap jumlah tanaman yang terserang daripada tepung cengkeh, meskipun aspek frekuensi pemberian dan formulasinya masih memerlukan pengujian lebih lanjut. Teknik ini dapat diaplikasi pada kunyit untuk pengendalian penyakit yang sama. Panen Panen pada umur masak fisiologis merupakan waktu panen yang tepat. Seperti pada tanaman temu-temuan lainya, umur panen kunyit dikaitkan dengan kebutuhan untuk benih, belum mengacu kepada panen untuk kebutuhan suatu produk. Di Indonesia kunyit umumnya dipanen setelah daun menguning dan gugur, setelah 10-12 bulan atau kadangkadang dibiarkan sampai 20-24 bulan setelah tanam apabila harga rendah atau pasar tidak tersedia. Saat panen kadar air kunyit bisa mencapai 90%, yang selanjutnya perlu dikeringkan hingga mencapai kadar air 9% agar dapat disimpan lama. Di India umur panen kunyit berbeda untuk setiap varietas. Panen di
90
India dilakukan umumnya umur 7-9 bulan. Varietas yang cepat luruh dipanen umur 7-8 bulan dan lambat luruh 8-9 bulan. Hasil per ha di India 20-22 t/ha, sedangkan varietas unggul bisa mencapai 35 t/ha. Penyimpanan rimpang hasil panen Setelah panen rimpang disimpan dalam gudang atau disusun di atas rak yang terbuat dari bambu dan disimpan di runag tebuka. Penelitian penyimpanan rimpang kunyit dalam tanah (simulasi menggunakan ember plastik), pada ruangan terbuka suhu kamar, dan ber AC serta suhu dingin (<10o C) baik pada rimpang yang diberi perlakuan pengeringan, irradiasi sinar gamma maupun tidak menunjukkan bahwa irradiasi menghasilkan kimera sehingga kurang cocoki untuk kunyit. Penyimpanan pada suhu ruang hasilnya lebih baik daripada ruang dingin. Penyimpanan dalam tanah dengan menggunakan ember plastik hasilnya kurang baik. Di India, rimpang kunyit hasil panen disimpan langsung dalam lubang di dalam tanah. Lubang digali dengan ukuran 450 x 300 x 200 cm, lalu bagian bawahnya dibiarkan kering selama beberapa hari. Kemudian bagian bawah di beri lapisan jerami lalu diberi tikar. Setelah itu rimpang kunyit disusun, ditutup dengan lapiran jerami lalu ditutup dengan tanah. Cara ini bisa menyimpan kunyit untuk jangka waktu lama. Pasca panen Kunyit biasanya diperdagangkan dalam bentuk simplisia kering, bentuk
bubuk, minyak atsiri, oleoresin, ekstrak atau kurkuminoid. Sebelum diproses rimpang kunyit dibersihkan dan dicuci, dikupas bagian kulitnya, kemudian diiris dengan ketebalan 5 – 7 mm, selanjutnya dikeringkan. Menurut Anon ( 1990 ), untuk mendapatkan simplisia dengan warna yang merata, rimping yang sudah diiris direndam dengan air panas terlebih dahulu, dengan pemanasan tersebut sel – sel minyak akan pecah, sehingga zat warna kurkumin akan menyebar keseluruh bagian bahan. Pengeringan Pengeringan dimaksudkan untuk mengurangi kadar air dalam bahan. Kandungan air yang baik berkisar antara 10 – 12 %. Ada beberapa cara pengeringan, yaitu penjemuran langsung di bawah matahari, dijemur di bawah matahari ditutup kain hitam, kering angin dan dengan alat pengering. Pengeringan dengan sinar matahari langsung umum dilakukan di Indonesia. Rimpang yang dihasilkan berwarna kuning pucat. Kurkumin mudah terdegradasi oleh sinar ultra violet, untuk memberikan hasil simplisia dengan warna yang baik, pengeringan ditutup dengan kain hitam hasilnya lebih baik daripada langsung terpapar sinar matahri. Pada cuaca normal penjemuran dapat berlangsung sampai 5 hari. Cara lain adalah dengan kering angin, yaitu bahan yang sudah diiris diletakkan diruangan yang tidak terkena sinar matahari, kemudian dialiri udara panas. Sedangkan pengeringan dengan alat pengering, yaitu alat menggunakan tenaga listrik atau
menggunakan bahan bakar. Selama proses penjemuran atau pengeringan, bahan harus dibolak balik agar panas merata keseluruh bahan. Suhu pengeringan tidak lebih dari 60 derajat C. Persyaratan mutu simplisia kunyit menurut MMI. Parameter Warna Kadar air, % Kadar abu, % Mikroorganisme Logam berat
Komposisi kunyit Komponen
Syarat Kuning kemerahan 8 – 12 Maksimum 3,0 Negatif Negatif
kimia
simplisia
Kunyit
Karbohidrat, % 4,90 Protein, % 7,80 Lemak, % 8,0 Minyak atsiri, % 3–4 Kurkumin, % 3–6 Serat, % 6,70 Vitamin, % 0,03 Mineral, % 4,0 Sumber : Herman ( 1985 ), dan Natajan dan Lewis (1980 ).
Ekstraksi oleoresin Oleoresin merupakan campuran dari minyak atsiri, resin, pigmen kurkumin, dan fix oil, dibuat dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut organik (Purseglove et al., 1981). Oleoresin kunyit berupa cairan kental berwarna merah kecoklatan, sangat banyak digunakan dalam industri pengolahan makanan, karena mudah untuk diblending dengan bahan lain. Oleoresin kunyit biasanya mengandung 45 % kurkumin dan 25 % minyak atsiri ( Purseglove et al.,1981 ). Sampai saat ini Balittro belum melakukan isolasi kurkumin, penelitian mengenai teknik
91
isolasi akan dilakukan pada masa mendatang. Pengemasan dan Penyimpanan Setelah melalui beberapa tahap pemrosesan yang berbeda-beda, kunyit dapat disimpan dalam bentuk (1) Rimpang kering (gelondongan), (2) Irisan kering, (3) Tepung, (4) Minyak atsiri, (5) Oleoresin dan (6) Zat warna kurkuminoid. Simplisia yang sudah kering dimasukkan dalam kantong plastik yang kedap dan rapat dan disimpan dalam ruangan yang bersih, kering dan tidak lembab, suhu ruangan tidak lebih dari 30 derajat C. Akan lebih baik jika kantong – kantong yang berisi simplisia dimasukkan dalam tong bertutup rapat. Sebelum disimpan, simpisia bisa diradiasi dengan sinar gamma agar taha lama dan mencegah kontaminasi mikroba. Dengan cara ini simplisia tahan sampai 6-10 bulan. Minyak atsiri, oleoresin atau ekstrak disimpan dalam botol bewarna gelap dalam ruangan berAC atau dingin. TEMULAWAK Bahan Tanaman Tersedianya benih unggul yang bermutu tinggi merupakan salah satu faktor penentu terhadap tingkat produktivitas tanaman. Benih harus dari tanaman yang cukup umur, sehat, seragam ukurannya, dan mempunyai viabilitas tinggi (Rahardjo, 2001). Benih yang cukup umur dicirikan oleh warna rimpangnya mengkilap dan tidak keriput. Benih yang sehat tidak menunjukkan adanya luka dan busuk.
92
Benih harus seragam ukuranya, untuk temulawak benih berasal dari rimpang induk yang masih utuh adalah yang paling baik, ukurannya sekitar 40 g/benih. Benih yang berviabilitas tinggi harus mempunyai persentase daya tumbuh tinggi sekitar 90% dan seragam daya tumbuhnya. Balittro memiliki 22 nomor aksesi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Hasil karakterisasi dan evaluasi plasma nutfah telah diperoleh enam nomor harapan temulawak hasil seleksi dari dua puluh nomor aksesi plasma nutfah temulawak dengan perbedaan produksi rimpang dan mutu kandungan zat berkhasiat lebih tinggi. Produksi rimpang keenam aksesi tersebut lebih tinggi (2,39 – 3,37 kg/m2) dibandingkan dengan produksi rata-rata nasional (1,07 kg/m2) (Direktorat Aneka Tanaman, 2000). Hasil litkaji di Jawa Timur pada varietas lokal, produksi temulawak masih rendah (12,5 ton/ha), padahal potensi produksi temulawak yang optimal mencapai kisaran 20 – 30 ton/ha. Kandungan minyak atsiri nomor harapan lebih tinggi (6,2 – 9,8%) dibandingkan dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh Materia Medika Indonesia (5,0%). Kadar kurkuminnya berkisar 1,2 – 3,6 % dan rata-rata yang terdapat di pasaran adalah lebih kurang 1,93% (Setiyono dan Ajijah, 2002; Ajijah dan Setiyono 2003). Nomor-nomor harapan tersebut telah diuji multilokasi pada tahun 2005 dan berakhir pada tahun 2007, bertujuan untuk memperoleh varietas
unggul siap dilepas. Varietas unggul yang akan dilepas perlu diikuti oleh data pendukung antara lain; mengenai tingkat produksi dan mutu rimpang di daerah pengembangan atau sentra produksi temulawak yang berkaitan erat dengan teknologi budidaya diantaranya lingkungan tumbuh, perbenihan, pemupukan, dan umur panen. Teknologi budidaya Lingkungan tumbuh
Lingkungan tumbuh yang cocok untuk budidaya temulawak adalah pada ketinggian 100 – 900 m di atas permukaan laut (dpl), walaupun temulawak dapat tumbuh hingga 1500 m dpl. Untuk pertumbuhannya diperlukan curah hujan antara 1500 – 4000 mm/th dengan bulan kering lebih kurang 4 bulan, memerlukan tanah yang gembur dan banyak mengandung bahan organik, tumbuh baik pada jenis tanah latosol, andosol, regosol dan podzolik. Wilayah pengembangan temulawak di Indonesia meliputi 13 propinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Pemupukan Ketersediaan hara tanaman terutama hara makro N, P dan K merupakan keharusan yang harus dipenuhi dalam budidaya temulawak disamping pemberian pupuk oraganik berupa pupuk kandang. Budidaya di
tingkat petani masih dilakukan secara tradisional, jarang dilakukan pemeliharaan dan pemupukan, sehingga produktivitasnya rendah. Oleh karena itu untuk mendapatkan produksi dan mutu yang tinggi di dalam budidaya temulawak perlu dilakukan pemupukan. Pupuk organik yang diperlukan dalam 1 ha antara 20 – 40 t/ha, tergantung tingkat kesuburan tanahnya. Hasil penelitian pemupukan dengan menggunakan pupuk 60 kg N, 50 kg P2O5 dan 75 kg K2O/ha produksi rimpang hanya mencapai 15,7 t/ha (Sudiarto dan Affandi, 1989), sedangkan potensi produksi temulawak dapat mencapai 20-30 t/ha. Unsur hara N merupakan hara makro yang terbanyak diserap oleh tanaman temu-temuan, kemudian K dan P. Jumlah serapan unsur N, P dan K pada tanaman temulawak belum diketahui. Namun sebagai acuan dapat menggunakan data jumlah serapan hara tanaman pada bangle. Tanaman bangle dalam luasan 1 ha menyerap sebanyak 160 kg unsur N, 75 kg unsur K, dan 32,5 kg P (Rosita et al., 2005). Apabila unsur N yang dipergunakan di dalam pemupukan berasal dari pupuk Urea, maka keperluan tanaman dalam 1 ha adalah sebanyak 350 kg/ha, dengan asumsi kandungan N di dalam Urea berkisar 45 – 46%. Tingkat efisiensi penyerapan N tanaman dari pupuk Urea pada umumnya berkisar antara 40 – 60%, lebih kurang 50% sisanya serapan N diperoleh dari tanah. Serapan K sebanyak 75 kg/ha, apabila pupuk KCl mengandung 43%
93
K2O maka di dalam 1 ha tanaman diperlukan 175 kg pupuk KCl, dengan asumsi semua unsur K (100%) di pupuk KCl diserap olah tanaman. Apabila efisiensi penyerapan unsuk K tanaman dari pupuk KCl sebesar 50%, maka dalam 1 ha tanaman bangle memerlukan pupuk KCl sebanyak 350 kg/ha. Namun tanaman selain menyerap K dari pupuk juga menyerap unsur K dari dalam tanah, kurang lebih 25% dari kebutuhan tanaman diperoleh unsur K dari tanah. Serapan unsur P di dalam tanaman bangle sebanyak 32,5 kg P2O5/ha apabila pupuk SP36 mengandung 36% P2O5, maka keperluan pupuk SP36/ha adalah 90 kg, dengan asumsi 100% unsur P2O5 yang terdapat di pupuk SP36 diserap oleh tanaman semua. Berdasarkan informasi bahwa tingkat efisiensi penyerapan unsur P oleh tanaman hanya berkisar 25%, lebih tendah dibandingkan dengan efisiensi serapan unsur N dan K. Oleh kerena itu di dalam 1 ha tanaman akan diperlukan lebih kurang 360 kg pupuk SP36, namun sebagian unsur P di dalam tanaman diperoleh dari tanah. Untuk tanaman temulawak belum dapat diperoleh informasi berapa keperluan pupuk yang tepat untuk masing-masing unsur N, P dan K. Penelitian kearah ini sedang dilakukan, diharapkan pada akhir tahun 2007 informasi keperluan hara N, P dan K di dalam tanaman temulawak dapat diperoleh. Hasil penelitian di Kebun Percobaan Sukamulya tahun 2006,
94
menunjukan bahwa pemupukan dosis 20 ton/ha pupuk kandang ditambah masing-masing 200 kg/ha pupuk Urea, SP396dan KCl, produksi rimpang segar temulawak mencapai antara 19,64 – 21,11 ton/ha dengan kandungan minyak atsirinya berkisar 5%. Beberapa hasil penelitian teknologi budidaya belum dikaitkan dampaknya tehadap mutu simplisia terutama kurkumin dan xanthorizol. Penelitian ke arah ini sedang dilakukan. Organisme Pengganggu Tanaman Sampai saat ini tidak banyak penyakit maupun OPT lainnya yang ditemukan pada tanaman ini, meskipun bercak daun hampir selalu dijumpai pada tanaman ini tetapi kerugian yang ditimbulkan tidak besar. Sebaliknya, untuk penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum. Penyakit layu bakteri jarang dijumpai di lapang, tetapi apabila terjadi serangan kerusakan yang ditimbulkan berdampak nyata terhadap kuantitas dan kualitas produk. Selain R. solanacearum, jamur tular tanah seperti Fusarium sp. dan Pythium sp. juga pernah dilaporkan pada rimpang temulawak. Keberadaan kedua jamur ini menyebabkan rimpang yang terkena serangan R. solanacearum membusuk lebih cepat. Mengingat nilai ekonomi temulawak dan besarnya kerugian yang ditimbulkan, penelitian dan pengendalian lebih ditekankan pada penyakit busuk rimpang. Tindakan pencegahan dan pengendalian yang disarankan pada dasarnya sama dengan yang diterapkan pada kunyit, yaitu: (1)
Penggunaan benih sehat, dan menghindari perlukaan (2) Memperbaiki system drainase, dan (3) Sanitasi dan eradikasi sisa-sisa tanaman dan gulma. Dua serangga hama yang pernah dilaporkan pada temulawak adalah ulat tanah Agrotis ipsilon Hufn dan ulat jengkal Chrysodeixis chalcites E. sp. Keberadaan kedua hama ini dapat diketahui dari adanya gejala daun atau tangkai daun yang terpotong. Ulat A. ipsilon biasanya aktif pada malam hari. Serangan hama ini biasanya muncul saat musim kemarau, tetapi ada sedikit perbedaan awal serangan pada beberapa agroekosistem di Jawa. Serangan A. ipsilon dan C. chalcites akan menurun drastis selama musim hujan. Tindakan pengendalian yang dianjurkan untuk A. ipsilon adalah (1) Melakukan pengolahan tanah, untuk membunuh pupa maupun larva yang bersembunyi di dalam tanah, (2) Melakukan sanitasi kebun, untuk membuang telur yang kemungkinan diletakkan pada daun-daun gulma, (3) Memonitorng kondisi kebun dan pengendalian secara mekanis, apabila populasinya masih sedikit, yaitu mengumpulkan larva atau pupa yang ditemukan. Kegiatan ini biasanya dilakukan di senja hari mengingat bioekologi dari hama ini yang aktif di malam hari. Untuk memperbesar peluang jumlah larva yang terambil, dapat dilakukan dengan meletakkan tumpukan bahan-bahan organik di salah satu sudut kebun, sebagai perangkap, dan (4) Pengendalian
menggunakan pestisida apabila populasinya sudah terlalu tinggi. Pengendalian secara biologis untuk kedua hama ini masih belum berkembang, walaupaun telah dilaporkan ada beberapa serangga parasitoid yang berasosiasi dengan larva A. ipsilon antara lain: Apenteles ruficrus, Goniophana heterocera, Cuphocera varia, Stomatomya tricholygoides dan Sturmia inconspicuoides. Pengendalian yang dianjurkan ulat jengkal adalah secara mekanik (membuang ulat yang ditemukan), karena populasi dari hama ini relatif lebih rendah daripada A. ipsilon. Panen Tanaman temu-temuan pada umumnya dipanen pada waktu tanaman telah mengering daunnya, yaitu setelah 10-12 atau 20-24 bulan setelah tanam. Pada kondisi ini semua asimilat yang terdapat di bagian vegetatif (source) tanaman telah ditranslokasikan ke bagian rimpamg (sink), sehingga akumulasi asimilat di rimpang pada kondisi maksimal. Panen masih dilakukan untuk kepentingan benih, belum untuk tujuan mutu. Umur panen yang tepat untuk panen minyak atsiri atau kurkumin pada kunyit belum diketahui. Beberapa literatur menyatakan bahwa kadar minyak atsiri pada kunyit tertinggi diperoleh pada waktu masa pertumbuhan vegetatif optimum (sebelum daun mengalami senesen), setelah daun senesen ditransformasi dalam bentuk pati dan serat. Penelitian ke arah ini akan dilakukan.
95
Pasca panen Seperti hanya kunyit, temulawak biasanya diperdagangkan dalam bentuk simplisia kering, bentuk bubuk, minyak atsiri, oleoresin, ekstrak atau kurkuminoid. Prosesing rimpang temulwak sama dengan kunyit. Penangan pasca panen dilakukan untuk mendapatkan kualitas simplisia yang memenuhi standar mutu sebagai bahan baku obat tradisional maupun untuk keperluan ekspor, yang salah satunya adalah harus terbebas dari jamur. Pengeringan Pengeringan dilakukan setelah rimpang dicuci, dikupas kulitnya dan dipotong dengan ketebalan ± 5-8 mm. Pengeringan dimaksudkan untuk mengurangi kadar air dalam bahan. Kandungan air yang baik berkisar antara 10 – 12 %. Pengeringan dapat dilakukan dengan cara : (1) Menjemur di bawah sinar matahari secara langsung atau ditutup kain hitam, (2) Dikering anginkan, yang mempunyai kelebihan warna lebih cerah daripada dijemur di bawah sinar matahari dan (3) Pengeringan dengan tanur pemanas, selama 7 jam pada suhu 50-55o C. Proses pengeringan yang benar juga mempermudah pengecekan apabila di dalamnya simplisia tanaman lain melaui karakteristik makroskopis (antara lain, warna, permukaan, kekerasan, berat) maupun mikroskopis simplisia (anatomi). Kurkumin mudah terdegradasi oleh sinar ultra violet, untuk memberikan hasil simplisia dengan warna yang baik, pengeringan
96
ditutup dengan kain hitam hasilnya lebih baik. Persyaratan mutu simplisia temulawak menurut MMI. Parameter Warna Kadar air, % Kadar abu, % Mikroorganisme Logam berat
Komposisi temulawak Komponen
Syarat Kuning kemerahan 8 – 12 Maksimum 3,0 Negatif Negatif
kimia
simplisia
Temulawak
Karbohidrat, % 4,0 – 6,0 Protein, % 5,0 – 8,0 Lemak, % 4,0 – 6,5 Miyak atsiri, % 5,5 – 8,0 Kurkumin, % 0,4 – 2,0 Serat, % Vitamin, % Mineral, % Sumber : Herman ( 1985 ), Leung (1985) dan Natajan dan Lewis (1980 ).
Pengemasan dan Penyimpanan Setelah melalui beberapa tahap pemrosesan yang berbeda-beda, temulawak dapat disimpan dalam bentuk (1) Rimpang kering (gelondongan), (2) Irisan kering, (3) Tepung, (4) Minyak atsiri, (5) Oleoresin dan (6) Kurkuminoid. Simplisia yang sudah kering dimasukkan dalam kantong plastik yang kedap dan rapat dan disimpan dalam ruangan yang bersih, kering dan tidak lembab, suhu ruangan tidak lebih dari 30o C. Akan lebih baik jika kantong – kantong yang berisi simplisia dimasukkan dalam tong bertutup rapat. Sebelum disimpan, simpisia bisa diradiasi dengan sinar gamma agar taha lama dan mencegah kontaminasi mikroba. Dengan cara ini simplisia
tahan sampai 6 - 10 bulan. Minyak atsiri, oleoresin atau ekstrak disimpan dalam botol bewarna gelap dalam ruangan berAC atau dingin. KESIMPULAN DAN SARAN Teknologi yang tersedia saat ini masih terbatas. Keberhasilan penyedian bahan tanaman unggul yang sesuai dengan selera konsumen, sangat tergantung pada kemajuan hasil kegiatan plasma nutfah. Namun, karakterisasi dan evaluasi plasma nutfah belum dilakukan menyeluruh baik dari segi karakter yang diuji maupun jumlah aksesinya, terutama panga kunyit. Evaluasi baru mengacu kepada produksi rimpang segar dan mutu yang terbatas. Aspek waktu panen yang sesuai untuk mutu tertentu, ketahanan terhadap OPT utama, cekaman lingkungan atau toleransi terhadap pola tanam/naungan belum dilakukan. Bahan tanaman berupa tiga varietas unggul yang tersedia pada kunyit, baru untuk sifat daya hasil dan mutu. Ketiga varietas rentan terhadap penyakit layu bakteri. Pada temulawak, varietas unggul baru akan siap setelah uji multilokasi selesai, dipekirakan tahun 2008. Varietas ungul yang tepat untuk berbagai produk maupun aspek sosial ekonomi mengenai penggunaan varietas unggul belum dikaji. Teknologi budidaya mendukung pengembangan varietas unggul baik mengenai benih, pemupukan, pengembangan di bawah tegakan, waktu panen yang tepat untuk berbagai produk sesuai dengan masih
berorientasi produksi untuk rimpang segar. Penentuan dosis pemupukan baik untuk produksi rimpang maupun mutu belum mengacu kepada kebutuhan hara tanaman. Cara penyimpanan rimpang setelah panen untuk keperluan benih masih perlu dikaji baik pada kunyit maupun temulawak Teknik pasca panen juga masih terbatas, beberapa aspek seperti teknik pembuatan simplisia dan penyimpanan simplisia sudah tersedia, namun metode ekstraksi yang dapat mengekstrak kurkumin secara optimal baik untuk kunyit dan temulawak masih dalam validasi melalui kerjasama dengan BPOM. UNGKAPAN PENGHARGAAN Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan program tanaman obat atas dukungan dan sumbangan materi untuk penulisan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Abdullah A.1998. Perkembangan Penelitian Agronomi Tanaman Rempah dan Obat Bogor, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Ajijah, N. dan R.T. Setiyono. 2003 Analisis mutu rimpang 20 nomor temulawak. Belum dipublikasi. Anonim. Temulawak (Curcuma xanthorriza). Seri Pustaka Tanaman Obat. Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alami.
97
Anonim. 1999. Pengenalan dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) tanaman obat. Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Jakarta. Darwis SN, ABD Madjo Indo, Siti Hasiyah, 1991. Tumbuhan obat famili Zingiberaceae. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Bogor. Hlmn 4651 Direktorat Aneka Tanaman. 2000. Budidaya Tanaman Temulawak. Jakarta. 44 p. Kemala S., Susiarto, E.R. Pribadi, JT. Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi, M. Rahardjo, Y. Ferry, B. Waskito dan H. Nurhayati. 2003. Studi serapan pasokan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia. Laporan Teknis Penelitian Bagian Proyek Penelitian Tanaman Rempah dan Obat APBN Tahun 2004. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. 2 : 143241 Krishnamurthy, N.A.G., Mathew, E.S. Nambudiri, S. Shivashankar, Y.S. Lewis, dan C.P. Natarajan. 1976. Oil and oleoresin of tumeric . central Food tech. Res. Inst. Mysore.
98
Leung, A. 1985. Encyclopedia of common natural ingredients. John Willey & Sons. New York. 408 p. Manoi, F. 2004. Standar Prosedur Operasional Penanganan Pasca Panen Kunyit. (Eds). E, Hadipoentyanti, M. Yusron, J.T. Juhono, D. Wahyuno. Budidaya jahe, kencur, kunyit dan temulawak. Circular 8:39-45. Mono, R. dan O. Rostiana. 2004. Standar Prosedur Opersional Budidaya Kuniyt. (Eds). E, Hadipoentyanti, M. Yusron, J.T. Juhono, D. Wahyuno. Budidaya jahe, kencur, kunyit dan temulawak. Circular 8:28-32. Mono, R. dan O. Rostiana. 2004. Standar Prosedur Opersional Budidaya Temulawak. (Eds). E, Hadipoentyanti, M. Yusron, J.T. Juhono, D. Wahyuno. Budidaya jahe, kencur, kunyit dan temulawak. Circular 8:34-38. Mulya, K., Supriadi, E.M. Adhi dan N. Karyani. 1999. Penelitian pengendalian penyakit layu bakteri melalui kultur teknis dan hayati. Laporan Teknis Balittro. 3:11-20. Mulya, K., Supriadi, E.M. Adhi, S. Rahayuningsih dan N. Karyani. 2000. Potensi bakteri antagonis dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri jahe. Jurnal Littri. 2:37-43.
Natarajan, C.P. dan Y.S. Lewis. 1980. Technology of ginger and tumeric dalam M.K. nari, T. Prenkumar, P.N. Ravindran dan Y.R. Sarma. Proceeding of the National Seminar on Ginger and Tumeric. Calcuta Central Plantation Crops Research Inst. Kerala. India Purseglove, J.W., E.G. Brown, C.L. Green dan S.R.J. Robbins. 1981. Spices. Vol 2. Longman, London. Rahardjo, M. 2001. Karakterisasi beberapa bahan tanaman obat keluarga Zingioberaceae. Buletin Plasmanutfah, 7(2):25-30, Bdan Litbang Pertanian. Rosita, SMD, M. Rahardjo dan Kosasih. 2005. Pola pertumbuhan dan serapan hara N, P, K tanaman bangle (Zingiber purpureum Roxb.), Makalah unpublis, 12p. Rukmana R.1999. Kunyit, Yogyakarta: Kanisius Setiyono, R.T. dan N. Ajijah. 2002. Evaluasi beberapa sifat agronomi plasma nutfah temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Buletin penelitian tanaman rempah dan obat, XIII(2):7 – 12. Sudiarto dan S. Affandi. 1989. Temutemuan (Jahe, temulawak, kunyit dan kencur). Perkembangan penelitian agronomi tanaman rempah dan obat. Edsus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, V(12):71-87.
Semangun. 1999. Penyakit tanaman hortikultura. Gadjah Mada Univ. Press. Supriadi, C. Sykur, E.M. Adhi dan S. Rahayuningsih. 2000. Evaluasi ketahanan nomor-nomor harapan tanaman kunyit. Laporan Teknis. Laporan Penyelesaian DIKS-DR Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 4:9-16. Syukur C, Hernani, 2001. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Jakarta. Penebar Swadaya Syukur C, L. Udarno, Supriadi, O.Rostiana dan. S. F. Syahid. 2006. Usulan pelepasan varietas kunyit. Wardini, T.H., dan B. Prakoso. 1999. Curcuma, Dalam: de Padua, L.S., Bunyapraphatsara, N. dan Lemmens, R.H.M.J. (Editors): Plant Resources of South-East Asia. No 12 (1) Medicinal and Poisonous Plants 1. Backhuys Publishers, Leiden, the Netherlands. Pp.210-219. Yusron, M. and M. Januwati. 2004. Pengaruh pupuk Bio terhadap pertumbuhan dan produksi kunyit (Curcuma dosmetica Vahl.) di bawah hutan rakyat sengon. Seminar Nasional Persada, Bogor, 8p.
99