46901_pbl Sk 2 Blok Hemato Kel-b-7.docx

  • Uploaded by: Po Jana
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 46901_pbl Sk 2 Blok Hemato Kel-b-7.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,066
  • Pages: 34
DAFTAR ISI 1. SKENARIO …………………………………………………………………................................................ .......2 2. KATA SULIT …………….…………………………………………………................................................... ...3 3. PERTANYAAN …………………………………………………………........................................................4 4. HIPOTESIS…………………………………………………………………............................ ..........................5 5. SASARAN BELAJAR………………………………………………………............................................... ..6 5.1. Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin …………………....................................... 7 5.1.1 Definisi dan kadar ............................................................................................7 5.1.2 Fungsi ............................................................................................................. 7 5.1.3 Struktur ........................................................................................................... 7 5.1.4 Sintesis .............................................................................................................8 5.2 Memahami dan Menjelaskan Thalasemia ............................................................10 5.2.1 Definisi .............................................................................................................10 5.2.2 Epidemiologi Thalasemia ...............................................................................11 5.2.3 Patofisiologi Thalasemia ................................................................................12 5.2.4 Klasifikasi Thalasemia ................................................................................... 14 5.2.5 Etiologi Thalasemia ....................................................................................... 18 5.2.6 Manifestasi Thalasemia ................................................................................ 19 5.2.7 Diagnosis dan Diagnosis banding ................................................................ 20 5.2.8 Tatalaksana Thalasemia .............................................................................. 24 5.2.9 Komplikasi Thalasemia ..................................................................................30 5.2.10 Pencegahan Thalasemia .............................................................................31 5.2.11 Prognosis Thalasemia ................................................................................ 31 1

6. DAFTAR PUSTAKA……………...……………………………….........................................................3 2

SKERNARIO 2 PERTUMBUHAN BADAN TERLAMBAT DAN PERUT MEMBUNCIT Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa orangtuanya ke dokter praktek umum dengan keluhan pertumbuhan badan terlambat bila dibandingkan dengan teman sebayanya. Keluhan tersebut baru disadari orangtuanya sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan perut membuncit, lekas lelah, dan sesak nafas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal. TB= 98 cm, BB= 12 kg, konjungtiva pucat, sklera ikterik, dan splenomegali schufner II. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil : Pemeriksaan Hemoglobin (Hb) Hematokrit (Ht) Eritrosit MCV MCH MCHC Leukosit Trombosit Retikulosit Sediaan apus darah tepi

Kadar Nilai Normal 9 g/dL 11,5-15,5 g/dL 35% 34-40% 5 x 106 /µl 3,9-5,3 x 106 /µl 65 fL 75-87 fl 13 pg 24-30 pg 19% 32-36% 8000/µl 5000-14.500 /µl 260.000/µl 250.000-450.000 /µl 2% 0,5-1,5 % Eritrosit mikrositik hipokrom, anisopoikilositosis, sel target (+), polikromasi, fragmentosit (+), eritrosit berinti (+).

KATA SULIT

2

1. Fragmentosis : Keadaan eritrosit pecah dan membentuk fragmen dalam keadaan thalasemia. 2. Anisopoikilositosis : Adanya eritsosit yang ukurannya bervariasi dan bentuknya abnormal dalam darah. 3. Polikromasi : Banyaknya eritrosit polikrom yaitu eritrosit berwarna biru dan lebih besar dari pada eritrosit yang normal. 4. Splenomegali Schufner II : Pembesaran limfa ke arah medial 5. Sklera ikterik : menguning kulit dan bagian putih pada bagian mata.

PERTANYAAN 1. Mengapa skelara pasien ikterik? 2. Mengapa ditemukan erirosit berinti? 3. Apa yang menyebabkan pasien perutnya membuncit? 3

4. Kenapa terjadi kenaikan retikulosit? 5. Mengapa pertumbuhan pada anak terhambat? 6. Mengapa pasien mengalami sesak nafas dan lekas lelah? 7. Mengapa terdapat spenomegali? 8. Bagaimana diagnosis penyakitnya? 9. Apakah penyakit ini hanya terjadi pada anak-anak saja? 10. Efek yang terjadi apabila pasiem tidak segera diobati? 11. Setelah diobati apakah pasien dapat sembuh? 12. Apakah pemeriksaan penunjang pada penyakit ini? 13. Kenapa kadar Hemoglobin menurun? JAWABAN 1. Karena kadar bilirubin berlebihan di dalam darah atau terjadi kerusakan hati yang mencegah pembuangan bilirubin didalam darah. 2. Karena eritrosit menurun dan tubuh melakukan kompensasi sehingga eritrosit mengeluarkan semua eritrosit yang belum matang. 3. Karena disebabkan oleh infeksi, gangguan sirkulasi, neoplasma atau tumor dan kelainan sel darah. 4. Karena merupakan kompensasi dari tubuh akibat kehilangan eritosit, biasanya karena hemolisis atau perdarahan. 5. Sintesis Hemoglobin menurun sehingga nutrisi ke jaringan berkurang yang mengakibatkan pertumbuhan terlambat. 6. Hemoglobin menurun → eritrosit sedikit mengikat oksigen → suplai oksigen dalam tubuh berkurang. 7. Sebagai kompensasi tubuh untuk memenuhi hemoglobin. 8. Cara mendiagnosis dengan melakukan anemnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Diagnosis penyakit pada skenario ini adalah thalasemia. 9. Tidak, karena bisa tergantung klasifikasi thalasemianya dan faktor keturunan. 10. Terjadinya komplikasi seperti gagal organ, kematian dan pada masa pertumbuhan akan semakin terlambat. 11. Tergantung bagiaman cara pengobatannya, seperti transfusi darah,kelasi besi,vaksin,asupan nutrisi dan transplantasi sumsum tulang 12. Pemeriksaan radiologi, lab (eketroforesis hb), kimia darah dan biofsi hati. 13. Karena banyak ditemukan eritrosit abnormal → mempengaruhi kadar hemoglobin dan kehilangan globin → hemoglobinnya menurun.

4

HIPOTESIS Thalasemia merupakan penyakit herediter yang ditandai oleh splenomegali yang disebabkan karena dekstruksi eritrosit yang abnormal. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan terhambat karena Sintesis Hemoglobin menurun sehingga nutrisi ke jaringan berkurang yang mengakibatkan pertumbuhan terlambat. Penyakit ini dapat di diagnosis dengan melakukan anemnsis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan radiologi, lab (elektroforesis hb), kimia darah dan biofsi hati. Jika tidak segera diobati maka akan terjadi komplikasi seperti gagal organ, pertumbuhan akan terlambat dan kematiaan.

5

SASARAN BELAJAR LI.1 Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin LO.1.1 Definisi dan kadar LO.1.2 Fungsi LO.1.3 Struktur LO.1.4 Sintesis Globin LI.2. Memahami dan Menjelaskan Anti Thalasemia LO.2.1 Definisi Thalasemia LO.2.2 Epidemiologi Thalasemia LO.2.3 Patofisiologi Thalasemia LO.2.4 Klasifikasi Thalasemia LO.2.5 Etiologi Thalasemia LO.2.6 Manifestasi Thalasemia 6

LO.2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Thalasemia LO.2.8 Tatalaksana Thalasemia LO.2.9 Komplikasi Thalasemia LO.2.10 Pencegahan Thalasemia LO.2.11 Prognosis Thalasemia

LI.1 Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin LO.1.1 Definisi dan kadar Hemoglobin merupakan protein yang berperan paling besar dalam transport oksigen kejaringan dan karbon dioksida ke paru-paru. Hemoglobin merupakan protein heme sama seperti myoglobinyang bersifat monomerik (mengandung satu sub unit) banyak ditemukan diotot , seangkan hemoglobin yang ditemukan didarah memiliki empat subunit polipeptida maka disebut tetramerik. Kadar normal hemoglobin 11,5-15,5 g/dL. Kadar Normal Wanita Pria Anak Bayi baru lahir

12-16 mg/dl 14-18 mg/dl 10-16 mg/dl 12-24 mg/dl

LO.1.2 Fungsi Selain mengangkut oksigen, hemoglobin juga dapat berikatan dengan yang berikut : a. Karbon dioksida (CO2) : hemoglobin membantu mengangkut gas ini dari sel jaringan kemabali ke paru. b. Bagian ion-hidrogen (H+) dari asam karbonat terionisasi, yang dihasilkan ditingkat jaringan darah CO2 hemoglobin menyangga asam ini sehingga asam ini tidak banyak mengubah pH darah.

7

c. Karbon monksida (CO) : gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat di dalam darah, tetapi jika terhirup gas ini menempati bagian hemoglobin yang berikatan dengan oksigen menyebabkan keracunan CO. d. Nitrat dioksida (NO) : di paru, nitrat oksida yang bersifat vasodilatasi berikatan dengan hemaglobin. NO dilepaskan di jaringan, tempat zat ini melemaskan dan melebarkan aretri lokal. Vasodilatasi membantu menjamin bahwa darah kaya oksigen dapat mengalir dengan lancar dan juga membantu menstabilkan tekanan darah. Karena itu, hemoglobin berperan dalam transpor oksigen sekaligus memberi konstribusi signifikan pada transpor CO2 dan kemampuan darahdalam menyangga pH. Selain itu, dengan membawa vasodilatasnya sendiri, hemoglobin membantu menyalurkan oksigen yang dibawanya. LO.1.3 Struktur

Bagian globin, suatu protein yang terbentuk dari empat rantai polipeptida yang sangat berlipat-lipat dan empat gugus non-protein yang mengandung besi yang dikenal dengan gugus hem, dengan masing-masing terikat ke salah satu polipeptida. (Sherwood ed.8, 2014) Terdapat beberapa variasi kecil di berbagai rantai subunit hemoglobin, bergantung pada susunan asam amino di bagian polipeptidanya. Tipe-tipe rantai itu disebut rantai alfa, rantai beta, rantai gamma, dan rantai delta. Bentuk hemoglobin yang paling umum pada orang dewasa, yaitu hemoglobin A, merupakan kombinasi dari dua rantai alfa dan dua rantai beta. Hemoglobin A mempunyai berat molekul 64.458. Oleh karena setiap rantai hemoglobin mempunyai sebuah gugus prostetik heme yang mengandung satu atom besi, dan karena adanya empat rantai hemoglobin di setiap molekul hemoglobin, kita dapat menemukan adanya empat atom besi di setiap molekul hemoglobin; setiap atom ini dapat berikatan longgar dengan satu molekul oksigen, sehingga empat molekul oksigen (atau delapan atom oksigen) dapat diangkut oleh setiap molekul hemoglobin. LO.1.4 Sintesis Globin Semua gen globin mempunyai 3 ekson (regio yang mengkode) dan 2 intron (regio yang tidak mengkode).RNA menyalin (transkripsi) intron dimulai pada nukleotida G-T diakhiri A-G. Pada kepala gugus 5 ditambahkan gugus 7 metil guanosin untuk perlekatan mRNA pada ribosom dan pada ekor gugus 3 mengalami poliadenilasi untuk menstabilkan mRNA. Promotor pada gugus 5 untuk perlekatan RNA polimerase dan mengkatalis transkripsi gen. Regio pengendali lokus (LCR) berfungsi untuk mengendalikan aktivitas genetik domain. Kemudian mRNA menuju ribosom untuk translasi. Di sitoplasma 4 molekul hem dan 4 molekum globin menjadi hemoglobin. 8

BCL11A adalah regulator transkripsi untuk perubahan dan penghentian sintesis delta (terjadi pada usia 3-6 bulan setelah kelahiran pada sintesis gamma yang sebagian besar digantikan betta sehinnga HbF menjadi HbA saat dewasa (Hoffbrand,2012) Anemia dapat terjadi karena kelainan di tingkat DNA , defek dalam interpretasi cetakan RNA, atau karena selama sintesis protein kode perantara nonsense tidak ditranslasi atau diekspresikan. Karena masing-masing kromosom individual berasal dari kedua orangtua, ekspresi genetic jelas bergantung pada gen mana diwariskan ke anak. Gangguan herediter produksi hemoglobin dapat menyebabkan anemia serius. Messenger RNA gobin, yang dipanen dari retikulosit, membentuk suatu system sel in vitro stabil yang memungkinkan kita mempelajari sintesis globin di laboratorium riset. Kode-kode genetic ini telah berhasil diungkapkan, yang mengarahkan pembentukan 141 asam amino menjadi rantai alfa dan 146 asam amino menjadi rantai non-alfa (Sivalal,2017)

9

Jenis –jenis Hb pada orang dewasa: - HbA (96%), terdiri atas 2 pasang rantai globin alfa dan beta (𝛼 2β2) - HbA2 (2,5%), terdiri atas 2 pasang rantai globin alfa dan delta (2𝛿 2) Pada fetus: - HbF (predominasi), terdiri atas 2 pasang rantai globin alfa dan gamma (2𝛾2) - Pada saat dilahirkan HbF terdiri atas rantai globin alfa dan Ggamma (2G𝛾2) dan alfa dan A gamma (2A𝛾2), dimana kedua rantai globin gamma berbeda pada asam amino di posisi 136 yaitu glisin pada G𝛾 dan alanin pada A𝛾 Pada embrio: - Hb Gower 1, terdiri atas rantai globin zeta dan epsilon (𝜁 2𝜀 2) - Hb Gower 2, terdiri atas rantai globin alfa dan epsilon (2𝜀 2) - Hb Portland, terdiri atas rantai globin zeta dan gamma (𝜁 2𝛾2), sebelum minggu ke 8 intrauterin - Semasa tahap fetus terdapat perubahan produksi rantai globin dari rantai zeta ke rantai alfa dan dari rantai epsilon ke rantai gamma, diikuti dengan produksi rantai beta dan rantai delta saat kelahiran Komponen utama hemoglobin adalah heme dan globin. Hemoglobin yang normal pada dewasa adalah hemoglobin A yang terdiri dari empat kelompok heme dan empat rantai polipeptida (tetramer) dengan jumlah keseluruhan 547 asam amino. Rantai polipeptida ini mempunyai dua rantai alfa dan dua rantai beta (α2β2). Setiap rantai ini akan mengikat satu kelompok heme. Satu rantai alfa terbentuk dari 141 asam amino,sedangkan satu rantai beta terbentuk dari 146 asam amino . Selain Hb A pada manusia dewasa terdapat hemoglobin pendamping (minor) yang disebut Hb A2 (α2δ2). Pada bayi (neonatus) dan janin (embrio) terdapat bentuk hemoglobin lain yaitu: Hb F (α2γ2) dan hemoglobin embrional : Hb Gowers1 (ζ2ε2), Hb Gowers 2 (α2ε2), dan Hb Portland (ζ2 γ2). Kadar Hb normal dewasa yaitu: Hb A : 96-98 %, Hb A2 : 1,5 – 3,2 %, Hb F : 0,5 – 0,8 % . Pada tahap perkembangan hemoglobin manusia dimulai dengan pembentukan Hb Gowers 1 kemudian pembentukan Hb Gowers 2 yang bekerja sama dengan Hb Portland dalam 10

masa transisi menuju Hb F. Pada saatnya adanya pergantian pembentukan rantai gamma pada Hb F oleh rantai globin alfa sehingga terbentuk HbA. Perubahan utama dari hemoglobin fetus ke hemoglobin dewasa terjadi 3-6 bulan setelah kelahiran .Terjadi penurunan kadar Hb F mulai bayi berumur 20 minggu post partum (setelah kelahiran). Pada manusia dewasa normal Hb F masih ditemukan walau pun dalam jumlah yang sangat kecil (kurang dari 1%). Hemoglobin embrional hanya bertahan sampai umur janin 10 minggu. Ekspresi gen hemoglobin dibawah kendali sel erythroid. Gen diekspresikan pada tingkat yang sangat tinggi pada akhir diferensiasi eritroid, dengan produksi α-globin dan β-globin yang seimbang. Gen globin lintang diekspresikan pada tahap perkembangan progresif. Peraturan ini diberikan setidaknya sebagian oleh pengikatan faktor transkripsi tertentu ke rangkaian DNA yang berfungsi sebagai modul pengaturan cis (CRMs), seperti promotor dan enhancer. LI.2. Memahami dan Menjelaskan Anti Thalasemia LO.2.1 Definisi Thalasemia  

Thalassemia adalah sekelompok gangguan genetik heterogen yang disebabkan oleh menurunnya kecepatan sintesis rantai α atau β. (Hoffbrand ed.7, 2018) Thalassemia adalah kelompok heteregon anemia hemolitik herediter yang ditandai oleh penurunan kecepatan sintesis satu rantai polipeptida hemoglobin atau lebih, diklasifikasikan menurut rantai yang tedapat (α,β,δ); dua kategori mayor adalah α dan β- thalasemia (kamus dorland,ed.28)

LO.2.2 Epidemiologi Thalasemia 1. Thalassemia beta Thalassemia β banyak dijumpai di Mediterania, Timur Tengah, India/Pakistan dan Asia. Di Siprus dan Yunani lebih banyak dijumpai varian β+, sedangkan di Asia Tenggara lebih banyak varian βo. Prevalensi thalassemia di berbagai negara adalah sebagai berikut:

11

Ket: Thalassemia dan hemoglobinopati di dunia. Sabuk thalassemia tampak melalui Indonesia, Asia Tenggara, India, Timur Tengah dan Mediterania. Italia: 10%, Yunani: 5-10%, Cina: 2%, India: 1-5%, Negro: 1%, Asia Tenggara: 5%. Jika dilukiskan dalam peta dunia, seolah-olah membentuk sebuah sabuk (thalassemia belt), dimana Indonesia termasuk di dalamnya. 2. Thalassemia alfa Sering dijumpai di Asia Tenggara, lebih sering dari thalassemia beta. (Bakta “Hematologi Klinik”, 2006)

LO.2.3 Patofisiologi Thalasemia



Rantai α 

Thalasemia 

Akan mengendap pada precursor SDM di SSTL dan di Sel Progenitor

Anemia

Poliferasi eritroid berlebihan

Gangguan pematangan eritrosit

Eritrosit berumur pendek

Eritrosit 

Ekspansi SSTL (membesar)

Fe 

-

Deformitas Tulang Gangguan Pertumbuhan Gangguan metabolisme

12 Hemodilusi akibat ekspansi SSTL (Splenomegali)

Pada Thalasemia-, dimana terdapat penurunan produksi rantai , terjadi produksi berlebihan rantai . Produksi rantai globin , dimana pasca kelahiran masih tetap diproduksi rantai globin 22 (HbF), tidak mencukupi untuk mengkompensasi defisiensi 22 (HbA). Hal ini menunjukan bahwa produksi rantai globin  dan rantai globin  tidak pernah dapat mencukupi untuk mengikat rantai  yang berlebihan. Rantai  yang berlebihan ini merupakan ciri khas pada pathogenesis Thalasemia . Rantai  yang berlebihan, yang tidak dapat berikatan dengan rantai globin lainnya, akan berpresipitasi pada precursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan dalam sel progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan menimbulkan gangguanpematangan eritroid dan eritropoiesis yang tidak efektif, sehinga umur eritrosit menjadi pendek. Akibatnya, timbul anemia. Anemia ini lebih lanjut lagi akan menjadi pendorong (drive) poliferasi eritroid yang terus menerus (intense) dalam sumsum tulang yang inefektif, sehingga terjadi ekspansi sumsum tulang. Hal ini kemudian akan menyebabkan deformitas skeletal dan berbagai gangguan pertumbuhan dan metabolism. Anemia kemudian akan ditimbukan lagi (exacerbated) dengan adanya hemodilusi akibat adanya hubungan langsung (shunting) darah akibat sumsum tulang yang berekspansi dan juga oleh adanya splenomegaly. Pada limpa yang membesar makin banyak sel darah merah yang abnormal yang terjebak , untuk kemudian akan dihancurkan oleh system fagosit. hiperplasia sumsum tulang kemudian akan meningkatkan absorbs dan muatan besi. Transfuse yang diberikan secara teratur juga menambah muatan besi. Hal ini akan menyebabkan penimbunan besi yang progresif di jarngan berbagai organ, yang akan diikuti kerusakan organ dan diakhiri dengan kematian. Thalasemia 

13

2 gen kromosom 16 untuk globin- 2 copy kromosom 16, setiap sel diploid membuat 4 globin-

Mutasi / delesi satu atau lebih alel 

 jumlah produksi globin

silent Carrier

Thalasemia Trait

HbH Disease

Hb Bart's

sedikit sintesis globin

 produksi globin-

 produksi globin-

Fetus mengandalkan HbF untuk mengambil O2 dari ibu

asimptomatik

tidak ada perubahan signifikan dari  dan 

 HbA konsentrasi Hb dlm RBC

HbA  Kadar Hb dlm RBC

 globin- pengikatan  membentuk tetramer (4)

tidak ada produksi globin

Anemia Sedang

Anemia Ringan

Anemia Mikrositik Hipokrom

HbH Disease

 pengikatan    4

 afinitas O2, mencegah pelepasan O2  Hipoksia Organ

14

Patofisiologi thalassemia-α umumnya sama dengan thalaseemia-β kecuali beberapa perbedaan utama akibat delesi (-) atau mutasi (T) rantai globin-α. Hilangnya gen globin-α tunggal tidak berdampak pada fenotip. Sedangkan thalassemia-2ᵃ-α homozigot (-α/α) atau thalassemia-1ᵃ-α heterozigot (αα/- -) memberi fenotip seperti thalassemia-β carrier. Kehilangan 3 dari 4 gen globin-α memberikan fenotip tingkat penyakit berat mencegah, yang dikatakan sebagai HbH disease. Sedangkan thalassemia α⁰ homozigot (- -/- -) tidak dapat bertahan hidup, disebut sebagai Hb-Bart’s hydrops syndrome. Kelainan dasar thalassemia-α sama dengan thalassemia β, yakni ketidakeimbangan sintesis rantai globin. Namun ada perbedaan besar dalam hal patofisiologi kedua jenis thalassemia ini: 1. Rantai- α dimiliki bersama oleh hemoglobin fetus ataupun dewasa (tidak seperti pada thalassemia-β), maka thalassemia-α bermanifestasi pada masa fetus. Sifat-difat yang ditimbulkan akibat produksi secara berlebihan rantai globin- dan –β yang disebabkan oleh defek produksi rantai globin- α sangat berbeda dibandingkan dengan akibat produksi berlebihan rantai-α pada thalassemia-β. (Kumar,2007) LO.2.4 Klasifikasi Thalasemia Tabel klasifikasi thalassemia secara klinis dan genetis Tatanama klinis Thalasemia  Thalasemia mayor

Thalasemia minor

Thalasemia  Silent carrier

Sifat thalassemia-

Genotipe

Penyakit

Genetika Molekular

Thalassemia 0 homozigot (00); Thalasemia-+ homozigot (++) 0/ +/

Parah, memerlukan transfuse darah secara berkala

Delesi gen yang jarang pada 0/0 Defek pada pemrosesan transkripsi, atau translasi mRNA globin

-/

Asimptomatik;tidak Terutama delesi gen tampak kelainan SDM Asimtomatik; seperti thalassemia minor Anemia berat, tetramer -globin (HbH) terbentuk di SDM Letal in utero

Penyakit HbH

-/ (Asia); -/- (afrika kulit hitam) -/-

Hidrops fetalis

--/--

Asimtomatik dengan anemia ringan atau tanpa anemia; ditemukan kelainan SDM

15

Klasifikasi secara molekuler talasemia dibedakan atas : Talasemia alpha (α) Karena tiap individu sepasang autosom maka individu normal mengandung empat gen α yang menghasilkan protein dalam jumlah yang sama. Pasien dengan talasemia α disebabkan karena penurunan sintesis globin α. Rantai beta yang bebas akan membentuk tetramer yang tidak stabil (HbH) dan tetramer ini akan merusak sel-sel darah merah serta prekursornya. Rantai gamma yang bebas akan membentuk tetramer yang stabil (Hb Barts) dan tetramer ini mengikat oksigen dengan kekuatan (aviditas) yang berlebihan sehingga terjadi hipoksia jaringan (Mitchell, dkk. 2006: 367). Ada empat gen yang terlibat dalam pembentukan rantai hemoglobin alfa, dua diantaranya didapatkan dari masing-masing orang tua sebagai penyumbangnya. Kalau satu atau lebih dari hemoglobin alfa tidak sempurna, dapat mengakibatkan thalassemia yang berbeda tingkat keparahannya, sebagai berikut: A.

1. Thalasemia-2- α trait Pada penderita hanya dijumpai delesi satu rantai α (-α), yang diwarisi dari salah satu orangtuanya. Sedangkan rantai- α lainnya yang lengkap (αα), diwariasi dari pasangan orang tuanya dengan rantai- α normal. Penderita kelainan ini merupakan pembawa sifat yang fenotipnya tidak memberikan gejala dan tanda ( an asymptomatic, silent carrier state). Kelainan ini ditemukan pada 15-20% populasi keturunan afrika. 2. Thalasemia-1-α trait (-α/-α atau αα/--) Pada penderita ditemukan delesi dua loki. Delesi ini dapat berbentuk thalassemia-2a- α homozigot (-α/-α) atau thalassemia-1a- α heterozigot (αα/--). Fenotip thalassemia-1- αtrait menyerupai fenotip thalassemia- α minor. 3. Hemoglobin H disease (--/-α) Pada penderita ditemukan delesi tiga loki. Berbentuk heterozigot ganda untuk thalassemia-2-α dan thalassemia-1- α (--/-α). Pada fetus terjadi akumulasi beberapa rantai beta yang tidak ada pasangannya (unpaired -chains). Sedangkan pada orang dewasa akumulasi unpaired -chains yang mudah larutini membentuk tetramer 4, yang disebut HbH. HbH membentuk sejumlah kecil inklusi di dalam eritroblast, tetapi tidak berpresipitasi dalam eritrosit yang beredar. Delesi tiga loki ini memberikan fenotip yang lebih berat. Bentuk kelainan ini disebut HbH disease. Fenotip HbH disease berupa thalassemia intermedia, ditandai dengan anemia hemolitik sedang-berat, namun dengan inefektivitas eritropoiesis yang lebih rinagn. 4. Hydrops Fetalis dengan Hb Bart’s (--/--) Pada fetus ditemukan delesi empat loki. Pada keadaan embryonal ini samasekali tidak diproduksi rantai globin α. Akibatnya produksi rantai globin- berlebihan dan membentuk tetramer globin-, yang disebut Hb Bart’s (4). 4 ini memiliki afinitas O2 yang sangat tinggi. Akibatnya oksigen tidak ada yang mencapai jaringan fetus, sehingga terjadi asfiksia jaringan, edema (hydrops fetalis), gagal jantung kongestif dan meninggal dalam uterus.

16

B. Thalasemia- Thalassemia- mencakup tiga bentuk utama: Thalassemia mayor disebut sebagai "Anemia Cooley" dan "Anemia Mediterania", Thalassemiaintermedia dan Thalassemia minor juga disebut " beta- thalassemia carrier ", " beta-thalassemia trait " atau "talasemia beta heterozigot". Terlepas dari bentuk dominan yang jarang terjadi, pasien dengan talasemia mayor adalah homozigot atau heterozigot campuran untuk 0 atau +gen, pasien dengan thalassemia intermedia kebanyakan homozigot atau heterozigot campuran dan pasien dengan talasemia minor sebagian besar adalah heterozigot. Thalassaemia dapat menyebabkan masalah yang signifikan karena ini adalah kelainan bawaan, skrining bayi baru lahir dan diagnosis pralahir penting dalam penanganan pasien. Topik ini akan meninjau fitur klinis thalassemia sambil memusatkan perhatian pada faktor pengubah genetik, patofisiologi, overload besi, komplikasi, manajemen, diagnosis dan gaya hidup dalam talasemia-

1. Thalasemia-0, Thalasemia- +, thalassemia homozigot dan heterozigot Thalasemia-0 (-zero-thalasemia) Terjadi karena gen normal tidak diekspresikan atau terjadi delesi gen (jarang). Pada thalassemia homozigot (00) ratai- tidak diproduksi samasekali dan hemoglobin A tidak dapat diproduksi. Pada thalassemia Thalasemia- + ekspresi gen  normal menurun, namun tidak menghilang samasekali, sehinga hemoglobin A masih di produksi. Hingga saat ini telah ditemukan banyak jenis mutase thalassemia-+ dengan berat defek sintesis rantai- yang bervariasi, dari yang ringan sampai berat. Genotip homozigot thalassemia- menunjukan fenotip yang bervariasi, dari yang ringan sampai yang sangat berat. Sementara itu, heterozigot ganda dapat memiliki dua gen thalassemia-0 yang berbeda, atau dua gen thalassemia-+ yang berbeda, atau kombinasi gen thalassemia 0 dan +. 17

2.

Thalasemia- trait Thalassemia- trait mempunyai genotip berupa heterozigot thalassemia-, seringkali disebut juga sebagai thalassemia- minor. Fenotip kelainan ini secara klinis tidak memberikan gejala (asimptomatik) 3.

Thalasemia- mayor Thalasemia- mayor, dengan genotip homozigot atau heterozigot ganda thalassemia-, menunjukan fenotip klinis berupa kelainan yang berat karena penderita bergantung pada transfuse darah untuk memperpanjang usia. 4.

Thalasemia- intermedia Thalassemia- intermedia menunjukan fenotip klinis diantara thalassemia- mayor dan thalassemia- minor. Oenderita thalassemia- intermedia secara klinis dapat berupa asimptomatik, namun kadang-kadang memerlukan transfuse darah yang umumnya tidak bertujuan mempertahankan hidup. Thalasemia- intermedia merupakan kelompok kelainan yang heterogen dengan derajat beratnya kelainan bervariasi, mencangkup: - Homozigot dan heterozigot ganda thalassemia-+ minor, atau - Heterozigot thalassemia- yang diperberat dengan faktor pemberat genetik berupa triplikasi alpha baik dalam bentuk heterozigot maupun homozigot 5.

Thalasemia- dominan Mutase thalassemia yang dikaitkan dengan fenotip klinis yang abnormal dari bentuk heterozigot disebut juga sebagai thalassemia- dominan

18

LO.2.5 Etiologi Thalasemia Adapun etiologi thalassemia adalah faktor genetik/herediter. Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (<100 hari). Penyebab kerusakan tersebut karena hemoglobin yang tidak normal dan kelainan pembentukan hemoglobin karena gangguan struktur pembentuk hemoglobin (hemoglobin abnormal). (Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2007) Penyebab anemia pada thalasemia bersifat primer dan sekunder: 1. Primer adalah berkurangnya sintetis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel – sel eritrosit intramedular. 2. Sekunder adalah karena defesiensi asam folat bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi dan distribusi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati. Penelitian biomolekuler menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai Alfa atau Beta dari hemoglobin berkurang. Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berkurang , peningkatan absorbis besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis, serta proses hemolisis. (Mansjoer,2000). Mekanisme penurunan penyakit thalassemia:  



Jika kedua orang tua tidak menderita Thalassemia trait/bawaan, maka tidak mungkin mereka menurunkan Thalassemia trait atau bawaan atau Thalassemia mayor kepada anakanak meraka. Semua anak-anak mereka akan mempunyai darah yang normal. Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassemia trait atau bawaan, sedangkan yang lainnya tidak maka satu dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan menderita Thalassemia trait/bawaan, tetapi tidak seseorang diantara anak-anak mereka Thalassemia mayor. Apabila kedua orang tua menderita Thalassemia trait atau bawaan, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita thalassemia traitatau bawaan atau mungkin juga memiliki darah yang normal, atau mereka mungkin menderita Thalassemia mayor.

19

Dari skema diatas dapat dilihat bahwa kemungkinan anak dari pasangan pembawa sifat thalassemia beta adalah 25% normal, 50% pembawa sifat thalassemia beta, dan 25% thalassemia beta mayor (anemia berat). LO.2.6 Manifestasi Thalasemia Kelainan genotip thalassemia memberikan fenotip yang khusus, bervariasi, dan tidak jarang tidak sesuai dengan yang diperkirakan. Manifestasi klinis thalassemia-β dibagi 3 (tiga) sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru ditentukan, yakni:  





Thalassemia-β minor (trait)/ heterozigot: anemia hemolitik mikrositik hipokrom. Hepatomegali dan splenomegali ditemukan pada sedikit penderita. Thalassemia-β mayor/ homozigot: anemia berat yang bergantung pada transfusi darah. Biasanya ditemukan pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun dengan klinis anemia berat. Bila anak tersebut tidak diobati dengan hipertransfusi (transfusi darah yang bertujuan mencapai kadar Hb tinggi) akan terjadi peningkatan hepatosplenomegali, ikterus, perubahan tulang yang nyata karena rongga sumsum tulang mengalami ekspansi akibat hiperplasia eritroid ekstrim. Thalassemia-β intermedia: gejala di antara thalassemia-β mayor dan minor. Gambaran klinis bervariasi dari bentuk ringan, walaupun dengan anemia sedang, sampai dengan anemia berat yang tidak dapat mentoleransi aktivitas berat dan fraktur patologik. Muatan besi berlebih dijumpai, walaupun tidak mendapat transfusi darah. Eritropoeisis nyata meningkat, namun tidak efektif, sehingga menyebabkan peningkatan turnover besi dalam plasma, kemudian merangsang penyerapan besi via saluran cerna. Komplikasi jantung dan endokrin muncul 10-20 tahun kemudian pada penderita thalassemia intermedia yang tidak mendapat transfusi darah. Pembawa sifat tersembunyi thalassemia-β (silent carrier). (Sudoyo, 2014)

Penderita -thalassemia minor biasanya asimtomatis dengan temuan normal pada pemeriksaan fisik. Berbeda dengan -thalasemia mayor yang normal saat lahir tapi berkembang menjadi anemia siknifikan sejak tahun pertama kelahiran. Jika kelainan tersebut tidak teridentifikasi dan di terapi dengan tranfusi darah, pertumbuhan anak sangat buruk dan disertai hepatoslenomegali masiv dan perluasan dari jarak medulla dengan penjalaran pada cortex tulang. Perubahan tulang terlihat jelas pada deformitas wajah gambar 2.7-1. (prominen dari kepala dan maksilla) dan hal ini juga sering menyebabkan penderita thalasemia rentan terhadap fraktur patologis. (Hay W.W, Hayward A.R, Levin M..J and Sandheimer J.M. (2003). Current pediatric diagnosis and treatment. Part 27 hematologic disorder, congenital hemolytic anemias hemoglobinopaties. 16th edition. Lange medical books/McGraw- hill. North America)

20

Gambar.2.7-1 karakteristik wajah penderita thalasemia

LO.2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Thalasemia DIAGNOSIS Thalassemia yang bergantung pada transfusi adalah pasien yang membutuhkan transfusi secara teratur seumur hidup. Diagnosis thalassemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Manifestasi klinis thalassemia mayor umumnya sudah dapat dijumpai sejak usia 6 bulan. 1. Anamnesis: riwayat penyakit (ras, riwayat keluarga, usia awal penyakit, pertumbuhan). (Buku IPD Jilid 2 Ed.2, 2014)  Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan.  Pada thalassemia β/HbE usia awitan pucat umumnya didapatkan pada usia yang lebih tua.  Riwayat transfusi berulang; anemia pada thalassemia mayor memerlukan transfusi berkala.  Riwayat keluarga dengan thalassemia dan transfusi berulang.  Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya hepatosplenomegali.  Etnis dan suku tertentu; angka kejadian thalassemia lebih tinggi pada ras Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Thalassemia paling banyak di Indonesia ditemukan di Palembang 9%, Jawa 6-8%, dan Makasar 8%.  Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat. 2. Pemeriksaan fisik: pucat menunjukkan anemia, ikterus menunjukkan hemolitik, splenomegali menunjukkan adanya penumpukan (pooling) sel abnormal, deformitas skeletal, pigmentasi. (Buku IPD Jilid 2 Ed.2, 2014) 21

Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisis pada anak dengan thalassemia yang bergantung transfusi adalah pucat, sklera ikterik, facies Cooley (dahi menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek, pubertas terlambat, dan hiperpigmentasi kulit. 3. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium darah dan sediaan apus (hemoglobin, MCV, MCH, retikulosit, jumlah eritrosit, gambaran darah tepi/termasuk badan inklusi dalam eritrosit darah tepi atau sumsum tulang, dan presipitasi HbH). Penderita sindrom thalassemia menunjukkan anemia mikrositik hipokrom, kadar hemoglobin dan hematokrit menurun, tetapi hitung jenis eritrosit biasanya secara disproporsi relatif tinggi terhadap derajat anemia, yang menyebabkan MCV yang sangat rendah. MCHC biasanya sedikit menurun. (Sudoyo, 2014) PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Pemeriksaan Laboratorium Pada hapusan darah tepi didapatkan gambaran hipokrom m i k r o s i t i k , a n i s o s i t o s i s , poikilositosis, dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel normoblas). Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi rendah dan dapat mencapai nol. Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30% kadang ditemukan juga hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien thalasemia juga mempunyai HbE maupun HbS. Kadar bilirubin dalam serum meningkat SGOT dan SGPT dapat meningkat karena kerusakan parenkim hati o l e h h e m o s i d e r o s i s . P enyelidikan sintesi s alfa & beta ter hadap retikulo s i r k u l a s i memperlihatkan peningkatan nyata ratio alfa & beta yakni berkurangnya atau tidak adanya sintesis rantai beta (Ngastiyah,2005)

Gambar 7 . Gambaran darah tepi pada thalassemia mayor 1. Pemeriksaan Radiologis Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medulla yang lebar, korteks tipis, dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan hair-onend yang disebabkan perluasan sumsum tulang ke dalam tulang korteks (Harnawartiaj, 2008) 2. Analis

22

DNA, DNA probing, gone blotting, dan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan jenis pemeriksaan yang lebih maju (Harnawartiaj, 2008)

Diagnosis thalassemia intermedia: 1. Anamnesis:  Usia tersering > 18-67 tahun (dapat terjadi pada usia 2-18 tahun)  Adanya tanda dan gejala anemia dengan atau tanpa riwayat:  Splenomegali  Batu empedu  Trombosis (DVT, stroke, fetal loss syndrome, APS)  Kardiomiopati  Hemopoeisis ekstramedular  Penyakit hati kronik  Ulkus maleolar  Kelainan endokrin/diabetes melitus 2. Pemeriksaan fisik:  Facies thalassemia 23

    3. 



4.   5.       

Pucat Ikterik +/Hepatosplenomegali sedang-berat Gangguan pertumbuhan tulang +/Laboratorium: Darah tepi lengkap  Hemoglobin  Hematokrit  Retikulosit  Sediaan apus darah tepi: anemia mikrositer, hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit muda (normoblast), fragmentosit, sel target.  Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC, RDW) bil tidak ada cell counter, lakukan uji resistensi osmotik 1 tabung (fragilitas). Analisis hemoglobin:  Elektroforensis hemoglobin o Hb varian kualitatif (elektroforesis cellulose acetaet membrane) o HbA2 kuantitatif (metoda mikrokrom) o HbF (alkali denaturasi modifikasi betke 2 menit) o HbH inclusion bodies (perwarnaan supravital/retikulosit)  Metoda HPLC (beta short variant biorad): analisis kualitatif dan kuantatif. Radio imajing (tentative) MRI: untuk melihat hematopoeisis ekstramedular. MRI T2*: untuk melihat iron overload pada jantung. Pemeriksaan komplikasi penyakit thalassemia Splenomegali: pemeriksaan fisik atau USG Kolelitiasis: USG/ CT scan Hemopoeisis ekstramedular: foto rontgen (X ray) Kelainan tulang: X ray/MRI Trombosis (DVT, stroke, APS): USG duplex, angiografi, hemostasis Kelainan jantung: eko kardiografi atau T2* MRI Kelainan hati: LIC/ Liver Iron Concentration (biopsi atau T2* MRI). (Sudoyo,2014)

DIAGNOSIS BANDING Diagnosis Banding

Thalassemia

Splenomegali Ikterus Perubahan morfologi eritrosit

+ + Tak sebanding dengan derajat anemia

Anemia Def. Besi

Anemia Sideroblastik

ACD

Hb-pati

Sebanding dengan derajat anemia

24

Sel target Resitensi osmotic Besi serum TIBC Cadangan besi Feritin serum

++

HbA2/HbF



↑ ↑ ↓ ↑ ↑

+/N ↓ ↑ Kosong ↓ N

N N N N

N N

LO.2.8 Tatalaksana Thalasemia 1. Transfusi darah Indikasi transfusi darah Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah untuk menekan hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Keputusan untuk memulai transfusi darah sangat individual pada setiap pasien. Transfusi dilakukan apabila dari pemeriksaan laboratorium terbukti pasien menderita thalassemia mayor, atau apabila Hb <7g/dL setelah 2x pemeriksaan dengan selang waktu >2 minggu, tanpa adanya tanda infeksi atau didapatkan nilai Hb >7gr/dL dan dijumpai, gagal tumbuh, dan/atau deformitas tulang akibat thalassemia. (Level of evidence IV) Evaluasi sebelum transfusi Pasien perlu menjalani pemeriksaan laboratorium berikut sebelum memulai transfusi pertama: a. Profil besi: feritin serum, serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC) b. Kimia darah berupa uji fungsi hati; SGOT, SGPT, PT, APTT, albumin, bilirubin indirek, dan bilirubin direk. c. Fungsi ginjal : ureum, kreatinin d. Golongan darah: ABO, Rhesus e. Marker virus yang dapat ditransmisikan melalui transfusi darah: f. antigen permukaan Hepatitis B (HbsAg), antibodi Hepatitis C (anti-HCV), dan antibodi HIV (anti-HIV). g. Bone age. Cara pemberian transfusi darah : a. Volume darah yang ditransfusikan bergantung dari nilai Hb. Bila kadar Hb pratransfusi >6 gr/dL, volume darah yang ditransfusikan berkisar 10-15 mL/kg/kali dengan kecepatan 5mL/kg/jam. b. Target pra kadar Hb post-transfusi tidak melebihi dari 14-15g/dL22, sedangkan kadar Hb pratransfusi berikutnya diharapkan tidak kurang dari 9,5 mg/dL. Nilai Hb pretransfusi antara 9-10g/dL dapat mencegah terjadinya hemopoesis ekstramedular, menekan konsumsi darah berlebih, dan mengurangi absorpsi besi dari saluran cerna. c. Jika nilai Hb <6 gr/dL, dan atau kadar Hb berapapun tetapi dijumpai klinis gagal jantung maka volume darah yang ditransfusikan dikurangi menjadi 2-5 ml/kg/kali dan 25

d.

e.

f. g.

h. i.

kecepatan transfusi dikurangi hingga 2 mL/kg per jam untuk menghindari kelebihan cairan/overload. Darah yang diberikan adalah golongan darah donor yang sama (ABO, Rh) untuk meminimalkan alloimunisasi dan jika memungkinkan menggunakan darah leucodepleted yang telah menjalani uji skrining nucleic acid testing (NAT) untuk menghindari/meminimalkan tertularnya penyakit infeksi lewat transfusi. Darah yang sudah keluar dari bank darah sudah harus ditransfusikan dalam waktu 30 menit sejak keluar dari bank darah. Lama waktu sejak darah dikeluarkan dari bank darah hingga selesai ditransfusikan ke tubuh pasien maksimal dalam 4 jam. Transfusi darah dapat dilakukan lebih cepat (durasi 2-3 jam) pada pasien dengan kadar Hb > 6 gr/dL. Nilai Hb dinaikan secara berlahan hingga target Hb 9 gr/dL. Diuretik furosemid dipertimbangkan dengan dosis 1 hingga 2mg/kg pada pasien dengan masalah gangguan fungsi jantung atau bila terdapat klinis gagal jantung. Pasien dengan masalah jantung, kadar Hb pratransfusi dipertahankan 10-12 g/dL. Pemberian transfusi diberikan dalam jumlah kecil tiap satu hingga dua minggu. Interval antar serial transfusi adalah 12 jam, namun pada kondisi anemia berat interval transfusi berikutnya dapat diperpendek menjadi 8-12 jam. Setiap kali kunjungan berat badan pasien dan kadar Hb dicatat, begitu pula dengan volume darah yang sudah ditransfusikan. Data ini dievaluasi berkala untuk menentukan kebutuhan transfusi pasien. Pasien tanpa hipersplenisme kebutuhan transfusi berada di bawah 200 mL PRC/kg per tahun.. Pada saat transfusi diperhatikan reaksi transfusi yang timbul dan kemungkinan terjadi reaksi hemolitik. Pemberian asetaminofen dan difenhidramin tidak terbukti mengurangi kemungkinan reaksi transfusi. Jenis produk darah yang digunakan Idealnya darah yang ditransfusikan tidak menyebabkan risiko atau efek samping bagi pasien. Beberapa usaha mulai dari seleksi donor, pemeriksaan golongan darah, skrining darah terhadap infeksi menular lewat transfusi darah (IMLTD), uji silang serasi (crossmatch), dan pengolahan komponen telah dilakukan untuk menyiapkan darah yang aman. Beberapa produk darah dapat dijumpai di bank darah, salah satunya adalah eritrosit cuci/ washed erythrocyte (WE). Produk ini memberikan beberapa keuntungan antara lain dapat menghilangkan leukosit 50-95% dan eritrosit 15%. Komponen darah WE dapat mengurangi risiko terjadinya reaksi alergi, dan mencegah reaksi anafilaksis pada defisiensi IgA. Kerugian WE ini memiliki waktu simpan yang pendek 4-6 jam dan memiliki risiko bahaya kontaminasi. 2. Kelasi besi Kelebihan besi dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang diberbagai sistem organ. Pemberian terapi kelasi besi dapat mencegah komplikasi kelebihan besi dan menurunkan angka kematian pada pasien thalassemia. Kelasi besi diberikan bila kadar ferritin serum >1000 ng/mL atau saturasi transferin >70%. Indikasi kelasi besi Terapi kelasi besi bertujuan untuk detoksifikasi kelebihan besi yaitu mengikat besi yang tidak terikat transferin di plasma danmengeluarkan besi dari tubuh. Kelasi 26

dimulai setelah timbunan besi dalam tubuh pasien signifikan, yang dapat dinilai dari beberapa parameter seperti jumlah darah yang telah ditransfusikan, kadar feritin serum, saturasi transferin, dan kadar besi hati/ liver iron concentration – LIC (biopsi, MRI, atau feritometer). 

Jenis kelasi besi

yang terbaik adalah yang dapat digunakan pasien secara kontinu, dengan mempertimbangkan efektifitas, efek samping, ketersediaan obat, harga, dan kualitas hidup pasien. Tiga jenis kelasi besi yang saat ini digunakan adalah desferoksamin, deferipron, dan deferasiroks. Desferoksamin merupakan terapi lini pertama pada anak. Bila tingkat kepatuhan buruk atau pasien menolak, deferipron atau deferaksiroks dapat menjadi alternatif. a. Desferoksamin (Desferal, DFO) menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien thalassemia. Bioavailabilitas oralnya buruk sehingga harus diberikan secara subkutan, intravena, atau terkadang intramuskular. DFO juga memiliki waktu paruh yang pendek (30 menit) sehingga diberikan dalam durasi 8-12 jam per hari, 5-7 kali per minggu. Desferoksamin diberikan dengan dosis 30–60 mg/kg per kali, dengan kecepatan maksimal 15 mg/kg/jam dan total dosis per hari tidak melebihi 4-6 gram. Asam askorbat (vitamin C) dapat meningkatkan ekskresi besi jika diberikan bersamaan dengan desferoksamin, sehingga vitamin C dikonsumsi per oral dengan dosis 2-4 mg/kg/hari (100-250 mg) segera setelah infus desferoksamin dimulai. 

Kontraindikasi :

Desferoksamin tidak disarankan pada pasien anak di bawah usia 2 tahun karena risiko toksisitas yang lebih tinggi pada usia lebih muda. b. Deferipron (Ferriprox, DFP, L1) Deferipron mampu menurunkan timbunan besi dalam tubuh, bahkan lebih efektif menurunkan besi di jantung dibandingkan desferoksamin. Dosis yang diberikan adalah 75-100 mg/kg per hari, dibagi dalam 3 dosis, diberikan per oral sesudah makan. c. Deferasiroks (Exjade/DFX) Deferasirox adalah kelator oral berupa tablet dispersible. Bioavailabilitas oralnya baik dan waktu paruhnya panjang sehingga sesuai untuk pemberian 1 kali per hari. Dosis dimulai dari 20 hingga 40 mg/kg/hari. Tablet dicampurkan ke dalam air, jus apel, atau jus jeruk, dan sebaiknya dikonsumsi dalam keadaan perut kosong 30 menit sebelum atau setelah makan. 

Pemantauan respon terapi kelasi besi 27

Pemantauan timbunan besi dalam tubuh dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pengukuran kadar besi bebas / Labile plasma iron (LPI) atau non transferin bound iron (NTBI) dan LIC melalui biopsi hati adalah cara paling akurat namun saat ini pemeriksaan MRI dapat mengukur konsentrasi besi di organ secara non-invasif. Berikut adalah beberapa batasan target terapi kelasi besi pada pasien thalassemia: a. LIC dipertahankan <7000 ug/g berat kering hati. b. Feritin serum 1000-2500 ng/mL; namun feritin kurang mampu memperkirakan timbunan besi dalam tubuh secara tepat, karena kadarnya banyak dipengaruhi faktor eksternal seperti inflamasi dan infeksi. 

Pemantauan efek samping kelasi besi

Kelasi besi dengan DFO a. b. c. d.

Audiologi Optamologi Pertumbuhan Reaksi alergi dan reaksi lokal

Kelasi besi dengan DFP a. Neutropenia Neutropenia b. Gangguan gastrointestinal Kelasi besi dengan DFX a. Nefrologi 3. Nutrisi dan Suplementasi Pasien thalassemia umumnya mengalami defisiensi nutrisi akibat proses hemolitik, peningkatan kebutuhan nutrisi, dan morbiditas yang menyertainya seperti kelebihan besi, diabetes, dan penggunaan kelasi besi. Idealnya pasien thalassemia menjalani analisis diet untuk mengevaluasi asupan kalsium, vitamin D, folat, trace mineral (kuprum/ tembaga, zink, dan selenium), dan antioksidan (vitamin C dan E). Pemeriksaan laboratorium berkala mencakup glukosa darah puasa, albumin, 25-hidroksi vitamin D, kadar zink plasma, tembaga, selenium, alfa- dan gamma-tokoferol, askorbat, dan folat. Rekomendasi diet berbeda pada tiap pasien bergantung pada riwayat nutrisi, komplikasi penyakit, dan status tumbuh kembang. Hindari suplementasi yang mengandung zat besi. Diet khusus diberikan pada pasien dengan diabetes, intoleransi laktosa, wanita hamil, dan pasien dalam kelasi besi. Konsumsi rokok dan alkohol harus dihindari. Rokok dapat menyebabkan remodeling tulang terganggu, dan dapat mengakibatkan osteoporosis. Konsumsi alkohol 28

menyebabkan proses oksidasi besi terganggu dan memperberat gangguan fungsi hati. Nutrien yang perlu diperhatikan pada pasien thalassemia : a. Zat Besi Makanan yang banyak mengandung zat besi atau dapat membantu penyerapan zat besi harus dihindari, misalnya daging merah, jeroan, dan alkohol. Makanan yang rendah zat besi, dapat mengganggu penyerapan zat besi, atau banyak mengandung kalsium dapat dikonsumsi lebih sering yaitu sereal dan gandum. b. Vitamin C berperan untuk memindahkan besi dari penyimpanan di intraselular dan secara efektif meningkatkan kerja DFO. Vitamin C dengan dosis tidak lebih dari 2-3 mg/kg/hari diberikan bersama desferoksamin untuk meningkatkan ekskresi besi. c. Asam Folat asam folat hanya diberikan pada pasien bila kadar Hb pratransfusinya <9 g/dL, karena belum terjadi eritropoiesis hiperaktif sehingga tidak memerlukan asam folat untuk pembentukan eritrosit. d. Vitamin E 2x200 IU/hari dan Asam folat 2x1 mg/hari diberikan pada semua pasien thalassemia. 4. Splenektomi Indikasi splenektomi Transfusi yang optimal sesuai panduan saat ini biasanya dapat menghindarkan pasien dari tindakan splenektomi, namun splenektomi dapat dipertimbangkan pada beberapa indikasi di bawah ini: a. Kebutuhan transfusi meningkat hingga lebih dari 200-250 mL PRC /kg/tahun atau 1,5 kali lipat dibanding kebutuhan biasanya (kebutuhan transfusi pasien thalassemia umumnya 180 mL/kg/tahun). b. Kondisi hipersplenisme ditandai oleh splenomegali dan leukopenia atau trombositopenia persisten, yang bukan disebabkan oleh penyakit atau kondisi lain. c. Splenektomi dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah secara signifikan hingga berkisar 30-50% dalam jangka waktu yang cukup lama. Splenomegali masif yang menyebabka perasaan tidak nyaman dan berisiko untuk terjadinya infark dan ruptur bila terjadi trauma. 5. Transplantasi sumsum tulang Hingga saat ini tata laksana kuratif pada thalassemia mayor hanya transplantasi sumsum tulang (hematopoietic stem cell transplantation / HSCT). Tiga faktor risiko mayor yang memengaruhi luaran dari transplantasi adalah pasien dengan terapi kelasi besi yang tidak adekuat, hepatomegali, dan fibrosis portal. Pasien dengan 29

transplantasi HLA-matched related allogenic tanpa faktor risiko memiliki tingkat harapan hidup/overall survival (OS) 93% dan harapan hidup tanpa penyakit/diseasefree survival (DFS) 91%.

6. Vaksinasi Pasien thalassemia hendaknya mendapatkan vaksinasi secara optimal karena pasien thalassemia merupakan kelompok risiko tinggi akibat transfusi darah dan tindakan splenektomi. Status imunisasi perlu dievaluasi secara teratur dan segera dilengkapi. Vaksin pneumokokus diberikan sejak usia 2 bulan, kemudian dibooster pada usia 24 bulan. Booster kembali dilakukan tiap 5 hingga 10 tahun. Bila perlu dilakukan pemeriksaan kadar antibodi pneumokokus. Vaksinasi hepatitis B wajib dilakukan karena pasien mendapatkan transfusi rutin. Pemantauan dilakukan tiap tahun dengan memeriksakan status hepatitis. Pasien dengan HIV positif ataupun dalam pengobatan hepatitis C tidak diperkenankan mendapatkan vaksin hidup. Vaksin influenza diberikan tiap tahun. Status vaksinasi perlu diperhatikan lebih serius pada pasien yang hendak menjalani splenektomi. Vaksin merupakan upaya imunoprofilaksis untuk mencegah komplikasi pasca-splenektomi. a. Vaksinasi pneumokokus dilakukan mengunakan vaksin polisakarida 23-valent (PPV-23) minimal 2 minggu sebelum splenektomi. Revaksinasi diulang setelah 5 tahun post splenektomi. b. Vaksinasi Haemophilus influenzae B (Hib) diberikan 2 minggu sebelum operasi jika tidak terdapat riwayat vaksinasi sebelumnya. c. Vaksinasi meningokokus direkomendasikan di area endemis.

30

LO.2.9 Komplikasi Thalasemia Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi darah yang Berulang-ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain- lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa yangbesarmudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia disertai tanda hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung. (Hassan R dan Alatas H. (2002). Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus, dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin. (Herdata,Heru Noviat.2008) 31

LO.2.10 Pencegahan Thalasemia Pecegahan thalassemia dilakukan dengan: A. Penapisan pembawa sifat thalassemia dan diagnosis prenatal B. Penapisan pembawa thalassemia beta lebih berguna jika dikerjakan dengan indeks SDM, MCV dan MCH turun dinilai konsentrasi HbA2nya. Masalah timbul pada penapisan individu dengan pembawa sifat thalassemia alfa bersamaan dengan thalassemia alfa C. Di Indondesia, pencegahan Thalassemia beta mayor dikaji oleh Departemen Kesehatan melalui program “Health Technology Assesesment” beberapa butir rekomendasi, sebagai hasil kajian diusulkan dalam prevalensi thalassemia (termasuk uji saring, teknik, strategi pelaksanaan dan aspek medikolegal, psikososial dan agama). Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah bayi lahir dengan thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan target dalam pencegahan thalassemia yaitu secara retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif dilakukan dengan cara melakukan penelusuran terhadap anggota keluarga dengan riwayat keluarga menderita thalassemia mayor. Sementara pendekatan prospektif dilakukan dengan melakukan skrining untuk mengidentifikasi karier thalassemia pada populasi tertentu.Secara garis besar bentuk pencegahan thalassemia dapat berupa edukasi tentang penyakit thalassemia pada masyarakat, skrining (carrier testing), konseling genetika pranikah, dan diagnosis pranatal. LO.2.11 Prognosis Thalasemia Tanpa terapi penderita akan meninggal pada dekade pertama kehidupan, pada umur, 2-6 tahun, dan selama hidupnya mengalami kondisi kesehatan buruk. Dengan tranfusi saja penderita dapat mencapai dekade ke dua, sekitar 17 tahun, tetapi akan meninggal karena hemosiderosis, sedangkan dengan tranfusi dan iron chelating agent penderita dapat mencapai usia dewasa meskipun kematangan fungsi reproduksi tetap terlambat. (Sunarto, 2000) Pasien yang tidak memperoleh transfusi darah adekuat, akan sangat buruk. Tanpa transfusi sama sekali mereka akan meninggal pada usia 2 tahun, bila dipertahankan pada Hb rendah selama masih kecil. Mereka bisa meninggal dengan infeksi berulang-ulang bila berhasil mencapai pubertas mereka akan mengalami komplikasi akibat penimbunan besi, sama dengan pasien yang cukup mendapat transfusi tapi kurang mendapat terapi khelasi

32

DAFTAR PUSTAKA Hoffbrand, A.V dan P.A.H Moss. 2013. Kapita Selekta Hematologi Edisi.7. Jakarta : EGC Sudoyo, Aru W, et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing Bakta, Made I. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC Kumar, V., S. Cotran, R. and L. Robbins, S. (2007). Buku Ajar Patologi. 7th ed. EGC. Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC) Dorland, 2002. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29.Jakarta:EGC. F. Al-Mosawy, W. (2017). THE BETA-THALASSEMIA. Scientific Journal of Medical Research, [online] 1(1), pp.24-30. Available at: http://www.sjomr.org Hassan R dan Alatas H.2002. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak.bagian19 Hematologi hal. 419-450. Bagian ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta Thalasemia,http://ebookfkunsyiah.wordpress.com/category/hemato-onkologi/thalassemia Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/1/2018 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Thalasemia

33

34

Related Documents


More Documents from "Muhammad Khoirul Sodiq"