4.2 Referat Gang Cemas Pada Lansia.docx

  • Uploaded by: Junifer Dalope
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 4.2 Referat Gang Cemas Pada Lansia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,073
  • Pages: 29
BAB I PENDAHULUAN

Proses menua merupakan proses alamiah setelah melalui tiga tahap kehidupan yaitu masa anak, masa dewasa, dan masa tua yang tidak dapat dihindari oleh individu. Proses ini akan menimbulkan perubahan baik dari fisik maupun psikis. Perubahan fisik ditandai dengan kulit mengendur, rambut memutih, penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat dan kelainan berbagai fungsi organ vital. Perubahan psikis yang sering terjadi pada lansia adalah peningkatan sensitivitas emosional, menurunnya gairah dan menurunnya minat terhadap penampilan.1,2 Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari dan akan berjalan terus-menerus dan berkesinambungan. Proses ini selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia pada tubuh serta mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan sehingga biasanya pada lansia akan dijumpai kelemahan dan keterbatasan fungsional dalam proses kehidupannya. 2,3 Constantinides

mendefinisikan

penuaan

sebagai

suatu

proses

menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normal sehingga rentan terhadap infeksi. Tahapan inilah yang membuat lanjut usia (lansia) akan rentan terhadap berbagai masalah kesehatan seperti penyakit degeneratif yang berimplikasi terhadap masalah psikis lansia pada umumnya. 1 2 Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional telah terwujud berbagai hasil positif di berbagai

1

bidang seperti kemajuan di bidang ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) khususnya di bidang medis dan keperawatan yang secara tidak langsung meningkatkan kualitas kesehatan penduduk serta meningkatkan usia harapan hidup.2,3 Berdasarkan data WHO populasi lansia dalam skala dunia mencapai 600 juta jiwa pada tahun 2000, 1,2 miliar pada tahun 2025 dan 2 miliar pada tahun 2050. Perkembangan populasi lansia untuk negara berkembang menurut WHO meningkat dengan presentase 75% dan 2/3 dari semua populasi lansia di dunia hidup di negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi lansia terbanyak. Tahun 2000 jumlah lansia di Indonesia diproyeksikan sebesar 7.28% dan pada tahun 2020 menjadi 11,34%. Data dari Biro Sensus Amerika Serikat memperkirakan Indonesia akan mengalami pertambahan warga lanjut usia terbesar di seluruh dunia pada tahun 1990-2025 yaitu sebesar 414%. 2,3,4

Kecemasan merupakan fenomena umum yang sering terjadi pada lansia yang sifatnya menetap, tidak menyenangkan dan sering tersamarkan yang dimanifestasikan dengan perubahan perilaku seperti gelisah, kelelahan, sulit berkonsentrasi, mudah marah, ketegangan otot meningkat dan mengalami gangguan tidur . Maryam dkk menjelaskan gejala-gejala kecemasan yang sering dialami lansia meliputi perasaan khawatir atau takut yang tidak rasional, sulit tidur sepanjang malam, rasa tegang dan cepat marah, sering membayangkan hal-hal yang menakutkan serta rasa panik terhadap masalah yang ringan. 3,4

2

Kecemasan ditimbulkan oleh berbagai faktor seperti stressor predisposisi berupa ketegangan yang timbul akibat peristiwa traumatik, konflik emosional yang dialami oleh individu, frustasi, medikasi dan gangguan fisik. Maryam dkk menyebutkan faktor-faktor yang berkontribusi tehadap kecemasan pada lansia diantaranya adalah perpisahan dengan pasangan, perumahan dan transportasi yang tidak memadai, masalah kesehatan fisik, sumber finansial yang berkurang serta kurangnya dukungan sosial. 1,3,4

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Gangguan Kecemasan pada Lansia 1. Definisi Gangguan kecemasan (anxiety disorder) adalah gangguan kejiwaan yang sering ditemukan. Banyak pasien dengan gangguan kecemasan mengalami gejala fisik yang berkaitan dengan kecemasan dan kemudian mengunjungi pusat pelayanan kesehatan atau klinik psikiatri. Meskipun tingkat prevalensi gangguan kecemasan ini tinggi, banyak pasien sering tidak mengakui, mengetahui, dan mengobati gangguan klinis yang terjadi.1,4 Pertimbangan pertama adalah kemungkinan bahwa kecemasan adalah karena kondisi medis yang dikenal atau tidak dikenal. Gangguan kecemasan yang disebabkan oleh penyalahgunaan obat-obatan adalah diagnosis yang sering ditemukan. Selain itu, faktor-faktor genetik secara signifikan banyak mempengaruhi timbulnya risiko gangguan kecemasan. Faktor-faktor lingkungan seperti trauma pada awal masa kanak-kanak juga dapat berkontribusi untuk risiko timbulnya gangguan kecemasan. Perdebatan tentang penyebab utama timbulnya gangguan kecemasan antara gen dan lingkungan telah berkembang dengan pemahaman bahwa adanya interaksi antara kedua komponen tersebut. Beberapa individu

4

didapatkan tahan terhadap stres, sementara yang lain rentan terhadap stres yang memicu timbulnya gangguan kecemasan.4

Gangguan kecemasan yang sering dijumpai adalah gangguan psikiatrik fungsional. Teori-teori psikologis menjelaskan kecemasan sebagai perpindahan dari konflik intrapsikis (psychodynamic models) menuju kemampuan dalam memahami dan menerima paradigma yang ada (cognitive-behavioral

models).

Kebanyakan

dari

teori-teori

ini

mengidentifikasi hal yang menjadi masalah dari suatu gangguan yang terjadi.5 Teori psikodinamik menjelaskan kecemasan sebagai konflik antara id dan ego. Teori kognitif juga telah menjelaskan kecemasan sebagai kecenderungan untuk memperkirakan bahwa potensi bahaya terlalu tinggi. Pasien dengan gangguan kecemasan cenderung untuk membayangkan kemungkinan skenario terburuk dan menghindari situasi yang mereka pikir berbahaya, seperti keramaian, ketinggian, atau interaksi sosial.1,6 2. Anatomi dan Patofisiologi

Struktur otak dan daerah-daerah yang terkait dengan gangguan kecemasan mulai dipahami dengan pengembangan pencitraan fungsional dan struktural. Amigdala merupakan kunci dalam modulasi ketakutan dan kecemasan. Pasien dengan gangguan kecemasan sering menunjukkan respon amigdala yang tinggi dalam menanggapi isyarat kecemasan. Amigdala dan struktur sistem limbik lain terhubung ke daerah korteks prefrontal. Respon yang berlebihan dari amigdala memiliki berhubungan

5

dengan berkurangnya aktivasi ambang batas ketika menanggapi ancaman sosial. Kelainan aktifasi limbik prefrontal telah memberikan bukti klinis dalam merespon intervensi psikologis atau farmakologi.7,8 Sistem saraf pusat (SSP) sebagai mediator utama gejala gangguan kecemasan seperti norepinefrin, serotonin, dopamin, dan GABA. Neurotransmiter lain dan peptida diperkirakan terlibat dalam melepaskan faktor kortikotropin. Di perifer, sistem saraf otonom, terutama sistem saraf simpatik, merupakan pengantara banyak gejala. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) telah menunjukkan peningkatan aliran di wilayah parahippocampal kanan, mengurangi serotonin jenis 1A dalam menginduksi reseptor di anterior dan posterior cinguli, dan raphe pada pasien dengan gangguan panik. MRI telah menunjukkan bahwa pada pasien tersebut, volume lobus temporal lebih kecil meskipun volume hippocampus normal. Dalam studi CSF pada manusia menunjukkan kenaikan tingkat orexin, juga dikenal sebagai hypocretin, yang dianggap berperan penting dalam patogenesis terjadinya gangguan panik.7,9 Pencitraan fungsional pada OCD telah menunjukkan beberapa pola kelainan. Secara khusus, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan PET scanning telah menunjukkan peningkatan dalam aliran darah dan aktivitas metabolik di korteks orbitofrontal, struktur limbik, caudatus, dan thalamus, dengan kecenderungan dominasi pada sisi kanan. Dalam beberapa studi, aktivitas yang berlebihan dari daerah-daerah tersebut telah terbukti menunjukkan hasil yang baik setelah perawatan yang terkontrol dengan SSRI atau terapi perilaku-kognitif (CBT).8

6

Temuan ini kemudian menghasilkan hipotesis bahwa gejala OCD didorong oleh gangguan penghambatan intrakortikal dari jalur tertentu pada subkorteks orbitofrontal yang memediasi emosi yang kuat dan respon otonom. (Mirip kelainan inhibisi yang diamati dalam kekacauan Tourette, yang mengemukakan modulasi abnormal dari aktivasi ganglia basalis.) Cingulotomy, intervensi bedah saraf yang kadang-kadang digunakan untuk mengatasi keadaan OCD yang berat dan resisten terhadap pengobatan juga dapat menghambat jalur ini.8,9

3. Etiologi ■ Faktor Biologis Faktor biologik yang berperan pada gangguan ini adalah ‘’neurotransmitter’’.Ada tiga neurotransmitter utama yang berperan pada gangguan ini yaitu, norepinefrin, serotonin, dan gamma amino butiric acid atau GABA. Namun neurotransmitter yang memegang peranan utama pada gangguan cemas adalah serotonin, sedangkan norepinefrin terutama berperan pada gangguan panik.8,9 Dugaan akan peranan norepinefrin pada gangguan cemas didasarkan percobaan pada hewan primata yang menunjukkan respon kecemasan pada perangsangan locus sereleus yang ditunjukan pada pemberian obat-obatan yang meningkatkan kadar norepinefrin dapat menimbulkan tanda-tanda kecemasan, sedangkan obat-obatan menurunkan kadar norepinefrin akan menyebabkan depresi.8,9

7

Peranan Gamma Amino Butiric Acid pada gangguan ini berbeda dengan norepinefrin. Norepinefrin bersifat merangsang timbulnya kecemasan, sedangkan Gamma Amino Butiric Acid atau GABA bersifat menghambat terjadinya kecemasan ini. Pengaruh dari neutronstransmitter ini pada gangguan kecemasan didapatkan dari peranan benzodiazepin pada gangguan tersebut. Benzodiazepin dan GABA membentuk “GABA Benzodiazepin

complex”

yang

akan

menurunkan

anxietas

atau

kecemasan.8,9 Satu penelitian tomografi emisi positron (PET; positron emission tomography) melaporkan suatu penurunan kecepatan metabolik di ganglia basalis dan substansia alba pada pasien gangguan cemas menyeluruh dibandingkan kontrol normal. Satu penelitian menemukan bahwa hubungan genetika mungkin terjadi antara gangguan cemas menyeluruh dan gangguan depresif berat pada wanita. Penelitian lain menemukan adanya komponen yang terpisah tetapi sulit untuk ditentukan pada gangguan cemas menyeluruh. Kira-kira 25 persen sanak saudara derajat pertama dari pasien dengan gangguan cemas menyeluruh umum juga terkena gangguan. Sanak saudara laki-laki lebih sering menderita suatu gangguan penggunaan alkohol. Beberapa laporan penelitian pada anak kembar menyatakan suatu angka kesesuaian 50 persen pada kembar monozigotik dan 15 persen pada kembar dizigotik.10

8

■ Faktor Psikososial Dua bidang pikiran utama tentang faktor psikososial yang menyebabkan perkembangan gangguan cemas menyeluruh adalah bidang kognitif perilaku dan bidang psikoanalitik. Bidang kognitif perilaku menghipotesiskan bahwa pasien dengan gangguan cemas menyeluruh berespon secara tidak tepat dan tidak akurat terhadap bahaya yang dihadapi, ketidakteraturan tersebut disebabkan oleh perhatian selektif terhadap perincian negatif didalam lingkungan oleh distorsi pemprosesan informasi, dan oleh pandangan yang terlalu negatif tentang kemampuan seseorang untuk mengatasinya. Bidang psikoanalitik menghipotesiskan bahwa kecemasan adalah suatu gejala konflik bawah sadar yang tidak terpecahkan.9,11 Suatu hierarki kecemasan adalah berhubungan dengan berbagai tingkat perkembangan. Pada tingkat yang paling primitif, kecemasan mungkin berhubungan dengan ketakutan akan penghancuran atau fusi dengan orang lain. Pada tingkat perkembangan yang lebih matur, kecemasan adalah berhubungan dengan perpisahan dari objek yang dicintai. Kecemasan kastrasi adalah berhubungan dengan fase oedipal dari perkembangan dan dianggap merupakan satu tingkat tertinggi dari kecemasan.11

9

4. Epidemiologi Studi epidemiologis secara konsisten menunjukkan bahwa gangguan kecemasan kurang lazim pada orang dewasa yang lebih tua dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda. Namun prevalensi gangguan kecemasan pada kelompok usia yang lebih tua ini tinggi jika dibandingkan dengan gangguan lainnya. Dalam survei ECA, gangguan kecemasan adalah gangguan kejiwaan yang paling umum (tidak termasuk demensia) pada orang yang berusia 65 tahun atau lebih. Prevalensi 1 bulan dari setiap gangguan kecemasan di antara orang dewasa yang tidak dilembagakan dalam ECA adalah 5,5 persen, lebih dari dua kali prevalensi gangguan mood pada kelompok usia ini. Prevalensi lebih rendah pada pria yang lebih tua, 3,6 persen, dibandingkan dengan 6,8 persen pada wanita yang lebih tua. Perkiraan prevalensi ini hanya mencakup gangguan fobia, gangguan panik, dan gangguan obsesif-kompulsif (OCD), menunjukkan bahwa prevalensi sebenarnya di semua kelompok umur mungkin lebih tinggi daripada yang dilaporkan, karena gangguan kecemasan umum dan gangguan stres pasca trauma (PTSD) tidak dinilai pada semua situs ECA dan karenanya tidak termasuk dalam perkiraan ini. Namun, dalam perkiraan ECA ini, aturan hierarki DSM tidak diterapkan. Dalam survei Edmonton, yang, seperti beberapa situs ECA, tidak termasuk gangguan kecemasan umum, prevalensi 6 bulan dari setiap kecemasan atau gangguan somatoform adalah 3,8 persen di antara orang dewasa yang tidak dilembagakan berusia 65 tahun atau lebih. Di antara studi komunitas

10

orang dewasa yang lebih tua, prevalensi keseluruhan dari setiap gangguan kecemasan berkisar dari 0,7 hingga 18,6 persen.1 Prevalensi gangguan kecemasan pada orang dewasa yang dilembagakan lebih tinggi daripada yang diamati di antara para tetua yang tinggal di komunitas. Dalam survei Edmonton, prevalensi gangguan kecemasan pada wanita yang lebih tua dilembagakan adalah 7,1 persen, dibandingkan dengan 1,4 persen di masyarakat, dan 4,1 persen pada pria yang dilembagakan, dibandingkan dengan 2,7 persen pada pria yang lebih tua di masyarakat. Prevalensi gangguan kecemasan tampaknya menurun dengan bertambahnya usia. Ini berlaku untuk gangguan fobia, gangguan panik, dan OCD. Prevalensi gangguan kecemasan umum dapat tetap stabil dengan bertambahnya usia atau bahkan meningkat. Prevalensi gejala kecemasan pada orang dewasa yang lebih tua lebih tinggi daripada prevalensi gangguan kecemasan. Sekitar 17 persen pria yang lebih tua dan 21 persen wanita yang lebih tua melaporkan gejala kecemasan yang signifikan secara klinis yang tidak memenuhi kriteria DSM untuk gangguan kecemasan apa pun.1

5. Manifestasi klinis Adapun gangguan yang ditimbulkan sebagai akibat dari gangguan kecemasan adalah sebagai berikut.1,8,9,13,14 a. Fisik •

Anorexia



Mual

11



Muntah



Nyeri perut



Berdebar



Berkeringat



Mulut kering



Sesak nafas



Ketegangan otot



Nyeri kepala

b. Pikiran •

Khawatir



Pikiran yang berkaitan dengan ancaman pada emosi dan fisik

c. Perasaan •

Kegelisahan dan ketidaknyamanan atas teror dan panik yang terjadi

d. Perilaku •

Kecemasan memicu perilaku untuk mengurangi ataupun menghindari penderitaan yang terjadi.

6. Teori kecemasan ■ Teori Psikoanalisa Evolusi teori Freud tentang kecemasan dapat dikembalikan dari tulisannya pada tahun 1895 Obsessions and Phobias sampai bukunya di tahun 1895 Studies in Hysteria dan akhirnya pada bukunya di tahun 1926 Inhibitions, Symptoms and anxiety. Menurut Sigmund Freud, kecemasan disebabkan oleh karena id yang tidak terkontrol, ego yang tidak dapat

12

diterima dan super ego yang terganggu. Dalam keadaan normal hal tersebut di atas akan direpresi di bawah alam sadar dalam bentuk mekanisme pertahanan. Jika represi tersebut tidak berhasil dipertahankan maka akan timbul mekanisme pertahanan lain seperti konversi, pengalihan dan regresi yang dapat menyebabkan timbulnya kecemasan.10 Berdasarkan teori di atas, maka kecemasan dapat terbagi atas :1,7,15 1. Id / impulse anxiety : perasaan tidak nyaman pada anak 2. Separation anxiety : pada anak yang merasa takut akan kehilangan kasih sayang orangtuanya. 3. Castration anxiety : merupakan fantasi kastrasi pada masa kanak-kanak yang berhubungan dengan pembentukan impuls seksual. 4. Super Ego anxiety : pada fase akhir pembentukan Super Ego yaitu pada masa prepubertas. ■ Teori perilaku Kecemasan merupakan suatu kondisi sebagai respon terhadap stimulus / suasana lingkungan yang spesifik. Konsep perilaku pada kecemasan non-fobia terdapat perasaan bersalah, penyimpangan pemikiran yang berlawanan, maladapatasi perilaku dan gangguan emosional. Menurut salah satu model, pasien yang menderita gangguan kecemasan cenderung menilai lebih (overestimate) terhadap derajat bahaya dan kemungkinan bahaya di dalam situasi tertentu dan cenderung menilai rendah (underestimate) kemampuannya untuk mengatasi ancaman tersebut.8,10

13

■ Teori eksistensial Teori eksistensial tentang kecemasan memberikan model untuk gangguan kecemasan umum (generalized anxiety disorder), dimana tidak terdapat simulus yang dapat diidentifikasi secara spesifik untuk suatu perasaan kecemasan yang kronis. Biasanya untuk gangguan cemas menyeluruh, seseorang merasa cemas akan hidupnya dan perasaan takut akan kematian.7-9 ■ Teori Biologis Teori biologis tentang kecemasan telah dikembangkan dari penelitian praklinis dengan model kecemasan pada binatang, penelitian pasien yang faktor biologisnya dipastikan, berkembangnya pengetahuan tentang neurologi dasar dan kerja obat psikoterapeutik. Pada dasarnya berhubungan dengan :8,9,16 a. Sistem Saraf Otonom Stimulasi SSO menyebabkan gejala tertentu misalnya kardiovaskular (sebagai contoh takikardi), muskular dengan gejala nyeri kepala, gastrointestinal dengan gejala diare, dan pernapasan dengan gejala takipneu. b. Neurotransmitter Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan berdasarkan penelitian pada binatang adalah norepinefrin, serotonin dan gamma-amonibutyris acid (GABA).

14

● Norepinferin di Locus Cereolus dan di Pons. Memberikan respons atas perasaan nyeri dan situasi yang berbahaya. ● Serotonin berhubungan dengan perasaan cemas dan depresi. ● GABA . Peranan GABA dalam gangguan kecemasan didukung paling kuat oleh manfaat Benzodiazepin yang meningkatkan aktivitas GABA reseptor

GABAA

kecemasan.

didalam

Data

pengobatan

tersebut

beberapa

menyebabkan

jenis

gangguan

beberapa

peneliti

menghipotesiskan bahwa beberapa pasien dengan gangguan kecemasan memiliki reseptor GABA yang abnormal.7,8,9 c. Penelitian Genetika Penelitian genetika telah menghasilkan data yang kuat bahwa sekurangkurangnya suatu komponen genetika berperan terhadap perkembangan gangguan kecemasan. Hampir separuh dari semua pasien dengan gangguan panik memiliki sekurang-kurangnya satu sanak saudara yang menderita gangguan tersebut.17 7. Hubungan Kecemasan dan Lansia Meningkatnya jumlah lanjut usia maka membutuhkan penanganan yang serius karena secara alamiah lanjut usia itu mengalami penurunan baik dari segi fisik, biologi, maupun mentalnya dan hal ini tidak terlepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya sehingga perlu adanya peran serta

keluarga

dan

adanya

peran

sosial

dalam

penanganannya.

Menurunnya fungsi berbagai organ lansia menjadi rentan terhadap penyakit yang bersifat akut atau kronis. Ada kecenderungan terjadi penyakit degeneratif, penyakit metabolik, gangguan psikososial, dan

15

penyakit

infeksi

meningkat.

Kelompok

rentan

yang mempunyai

kemungkinan terbesar untuk menjadi korban peruabahan sosial adalah kelompok usia lanjut. Mereka yang memiliki konsep hidup tradisional, seperti harapan akan dihormati dan dirawat di masa tua, atau hubungan erat dengan anak yang telah dewasa. Pada kenyataannya harus hidup dalam sistem nilai yang berbeda dengan yang dianut misalnya kurang perasaan dihormati, karena anak tidak lagi tergantung secara ekonomi pada orang tua, serata kurangnya waktu bagi menantu perempuan untuk menjaga orang tua, karena bekerja. Keadaan ini dapat mempengaruhi psikologis dan kesejahteraan lanjut usia .1,5,18,19 Pada umumnya masalah kesepian adalah masalah psikologis yang paling banyak dialami lanjut usia. Beberapa penyebab kesepian antara lain (1) Longgarnya kegiatan dalam mengasuh anak-anak karena anak-anak sudah dewasa dan bersekolah tinggi sehingga tidak memerlukan penanganan yang terlampau rumit (2) Berkurangnya teman atau relasi akibat kurangnya aktivitas sehingga waktu yang bertambah banyak (3) Meninggalnya pasangan hidup (4) Anak-anak yang meninggalkan rumah karena menempu pendidikan yang lebih tinggi, anak-anak yang meninggalkan rumah untuk bekerja, (5) Anak-anak telah dewasa dan membentuk rumah tangga sendiri. Beberapa masalah tersebut akan menimbulkan rasa kesepian lebih cepat bagi orang lanjut usia. Dari segi inilah

lanjut

usia

mengalami

masalah

psikologis

yang

banyak

mempengaruhi kesehatan psikis, sehingga menyebabkan orang lanjut usia kurang mandiri.1

16

Pada orang lanjut usia umur 60-an sering mengalami kecemasan, mereka mengatakan kekhawatiran tentang rasa takutnya terhadap kematian, kehilangan keluarga atau teman karib, kedudukan sosial, pekerjaan, uang, atau mungkin rumah tinggi, semua ini dapat menimbulkan reaksi yang merugikan. Bagi kebanyakan orang lanjut usia, kehilangan sumber daya ditambahkan pada sumber daya yang memang sudah terbatas. Menjadi hal yang mendapat perhatian ialah kekurangan kemampuan adaptasi berdasarkan hambatan psikologik, yaitu rasa khawatir dan takut yang diperoleh dari rasa lebih muda dan yang dimodifikasi, diperkuat dan diuraikan sepanjang masa hidup individu. Kecemasan sangat mengganggu homeostasis dan fungsi individu, karena itu perlu segera dihilangkan dengan berbagai macam cara penyesuaian. Kecemasan dianggap patologis bilamana mengganggu fungsi sehari-hari, pencapaian tujuan, dan kepuasan atau kesenangan yang wajar. Walaupun merupakan hal yang normal dialami namun kecemasan tidak boleh dibiarkan karena lama kelamaan dapat menjadi neurosa cemas melalui mekanisme yang diawali dengan kecemasan akut, yang berkembang menjadi kecemasan menahun akibat represi dan konflik yang tak disadari. Adanya stres pencetus dapat menyebabkan penurunan daya tahan dan mekanisme untuk mengatasinya sehingga mengakibatkan neurosa cemas.18,19 Indonesia sebagai negara berkembang memiliki jumlah penduduk dengan usia 60 tahun ke atas sekitar 8,90% dari jumlah penduduk di Indonesia. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia di

17

Indonesia, akan menimbulkan berbagai persoalan dan permasalahan yang akan muncul baik fisik maupun psikologis, yaitu kecemasan. Masalah psikologis yang terjadi pada lanjut usia ini merupakan kondisi penurunan yang turut dipengaruhi oleh kesehatan fisik dengan persoalan mental seperti pola dan sikap hidup, merasa kesepian, perasaan tidak berharga, emosi yang meningkat pada lanjut usia, serta ketidakmampuan dalam menyesuaikan tugas perkembangan lanjut usia.20 Seiring perkembangan nutrisi, sanitasi, dan pengetahuan medis, average life expectancy atau angka harapan hidup manusia telah mengalami perkembangan pesat pada abad ke-20. Pada awal tahun 1900, manusia diperkirakan dapat hidup sekitar 50 tahun, sedangkan pada saat ini, manusia memiliki rata-rata umur 76,5 tahun. Pertambahan jangka umur manusia menyebabkan jumlah orang lanjut usia (lansia) juga semakin bertambah, U.S. Bureau of the Census sebuah lembaga sensus penduduk di negara Amerika Serikat menyebutkan pada tahun 1999 jumlah penduduk yang berusia enam puluh lima tahun atau lebih mengalami peningkatan sebelas kali lipat (tiga puluh empat juta penduduk) dibanding pada saat sensus tahun 1960 (tiga juta penduduk).18 Hal yang serupa terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2020, Indonesia akan mengalami peningkatan rata-rata tahun kehidupan menjadi 71,7 tahun dan proporsi penduduk lansia akan meningkat menjadi 10% atau sekitar 30 juta manusia. Pemenuhan kebutuhan lansia menjadi salah satu faktor penting untuk

18

memastikan kemerataan proses peradaban sebuah negara termasuk Indonesia.20 Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi. Proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi manusia. Dalam proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut usia). Dalam tahap ini, pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum (fisik) maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lanjut usia. Usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan lansia dalam melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk, akan tetapi ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk dari pada yang baik dan kepada kesengsaraan dari pada kebahagiaan, itulah sebabnya mengapa usia lanjut lebih rentan dari pada usia madya. Usia lanjut dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai oleh penderitaan berbagai dengan masa penyakit dan keudzuran serta kesadaran bahwa setiap orang akan mati, maka kecemasan akan kematian menjadi masalah psikologis yang penting pada lansia, khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis. Pada orang lanjut usia biasanya memiliki kecenderungan penyakit kronis (menahun/berlangsung beberapa tahun)

19

dan progresif (makin berat) sampai penderitanya mengalami kematian. Kenyataannya, proses penuaan dibarengi bersamaan dengan menurunnya daya tahan tubuh serta metabolisme sehingga menjadi rawan terhadap penyakit, tetapi banyak penyakit yang menyertai proses ketuaan dewasa ini dapat dikontrol dan diobati. Masalah fisik dan psikologis sering ditemukan pada lanjut usia. Faktor psikologis diantaranya perasaan bosan, keletihan atau perasaan depresi.1,18,19 Kecemasan yang tersering pada usia lanjut adalah tentang kematiannya. Orang mungkin menghadapi pikiran kematian dengan rasa putus asa dan kecemasan, bukan dengan ketenangan hati dan rasa integritas. Kerapuhan sistem saraf anotomik yang berperan dalam perkembangan kecemasan setelah suatu stressor yang berat. Usia lanjut dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai oleh penderitaan berbagai dengan masa penyakit dan keudzuran serta kesadaran bahwa setiap orang akan mati, maka kecemasan akan kematian menjadi masalah psikologis yang penting pada lansia, khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis. Pada orang lanjut usia biasanya memiliki kecenderungan penyakit kronis (menahun/berlangsung beberapa tahun) dan progresif (makin berat) sampai penderitanya mengalami kematian.18,19 8. Penatalaksanaan Terdapat tiga pendekatan terapeutik untuk mengatasi gejala berhubungan dengan kecemasan yaitu :1,21-25 1. Manajemen krisis

20

2. Farmakoterapi 3. Psikoterapi Manajemen krisis Manajemen krisis adalah proses pendek yang di disain untuk menolong sesorang menyembuhkan problem akut kepada tingkat fungsional normal mereka melalui cara personal, social dan lingkungan. Langkah – langkah dalam manajemen krisis :22,25,26 

Pengukuran psikososial dari individu, bahwa keluarga ikut didalam krisis



Pengembangan rencana dengan individu atau keluarga dalam krisis



Penerapan rencana dan penggambaran secara personal



Kelanjutan dari rencana (follow up) Tujuan utama dari Manajemen Krisis adalah :

1.

Peredaaan gejala

2.

Pencegahan konsekuensi yang merugikan dari krisis tersebut untuk jangka pendek

3.

Suportif (dukungan) Farmakoterapi Obat-obat antianxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat karena ditakutkan akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif untuk meredakan anxietas. Obat antiansietas dibagi dalam dua golongan :

21

Obat antiansietas disebut anxiolitika yaitu obat yang dapat mengurang antiansietas dan patologik, ketegangan dan agitasi obat-obat ini tidak berpengaruh pada proses kognitif dan persepsi, efek otonomik dan ekstra piramidal tetapi menurunkan ambang kejang dan berpotensi untuk ketergantungan obat.21,22 Ada dua golongan obat antiansietas : ● Benzodiazepin : diazepam, oxazolam, lorazepam, clobazam ● Non Benzodiazepin : buspiron dan sulpirit Benzodiazepin merupakan obat pilihan untuk kecemasan dan ketegangan jika pasien mengalami ansietas yang intensif. Benzodiazepin dengan paruh waktu yang lebih panjang mungkin dapat diterima. Mekanisme kerja : syndrome Acietas disebabkan oleh hiperaktifitas dari system limbik SSP yang terdiri dari “ dopaminergik, noradrenergik, serotoniergik neurons “ yang dikendalikan oleh GABA – ergic neurons. Ada beberapa efek samping obat dari golongan ini adalah : 

Sedasi : mengantuk, kewaspadaan kurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif melemah.



Relaksasi otot : rasa lemah, cepat lelah dll. Potensi menimbulkan ketergantungan lebih rendah dari narkotik, potensi menimbulkan ketergantungan obat disebabkan oleh efek obat yang masih dapat dipertahankan setelah dosis akhir berlangsung sangat singkat.

22

Penghentian obat secara mendadak, akan menimbulkan gejala putus obat : pasien menjadi irirtable, bingung, gelisah, imsonia, tremor, palpitasi, keringat dingin, konvulsi dll. Hal ini berkaitan dengan penurunan kadar Benzodiasepin dalam plasma. Ketergantungan lebih sering pada individu dengan riwayat peminum alkohol, penyalahgunaan obat, atau ” unstable personalities ” oleh kerena itu obat Benzodiasepin tidak dianjurkan kepada pasien – pasien tersebut.25,26 Golongan Benzodiasepin sebagai obat anti-ancietas yang mempunyai ratio terapeutik yang lebih tinggi dan kurang menimbulkan efek adiksi, toksisitas rendah. Golongan ini merupakan drug of choice dari semua obat yang mempunyai efek anti-ancietas.5,23 Lama pemberian : 

Pada sindrom ansietas yang disebabkan factor situasi eksternal, pemberian obat tidak lebih dari 1 – 3 bulan.



Pemberian sewaktu-waktu dapat dilakukan apabila syndrome anxietas dapat diramlakan waktu datangnya dan hanya pada situasi tertentu, serta terjadinya tidak sering.



Penghentian selalu secara bertahap agar tidak menimbulkan gejala lepas obat. Psikoterapi Psikoterapi melibatkan berbicara dengan kesehatan mental yang terlatih profesional, seperti psikiater, psikolog, pekerja sosial, atau konselor,

23

untuk menemukan apa yang menyebabkan gangguan kecemasan dan bagaimana menangani gejala.5,23 ■ Cognitive-Behavioral Therapy

Terapi kognitif-perilaku (CBT) sangat berguna dalam pengobatan gangguan kecemasan. Bagian kognitif membantu orang mengubah pola pikir yang mendukung ketakutan mereka, dan bagian perilaku membantu orang mengubah cara mereka bereaksi terhadap situasi kecemasan-merangsang. Misalnya, CBT dapat membantu orang dengan gangguan panik belajar bahwa serangan panik mereka tidak benar-benar serangan jantung dan membantu orang dengan fobia sosial belajar bagaimana untuk mengatasi keyakinan bahwa orang lain selalu mengawasi dan menilai mereka. Ketika orang siap untuk menghadapi ketakutan mereka, mereka menunjukkan cara menggunakan teknik eksposur untuk menurunkan rasa mudah terpengaruh diri untuk situasi-situasi yang memicu kecemasan mereka.5,22,23

Terapi perilaku Eksposur berbasis telah digunakan selama bertahuntahun untuk mengobati fobia spesifik. Orang yang secara bertahap menemukan objek atau situasi yang ditakuti, mungkin pada awalnya hanya melalui gambar atau kaset, kemudian tatap muka. Seringkali terapis akan menemani seseorang ke situasi takut untuk memberikan dukungan dan bimbingan. CBT dilakukan ketika orang memutuskan mereka siap untuk itu dan dengan izin mereka dan kerja sama. Agar efektif, terapi harus diarahkan pada kecemasan tertentu orang tersebut dan harus sesuai dengan kebutuhan

24

nya. Ada efek samping tidak lain ketidaknyamanan sementara kecemasan meningkat.5,23

CBT atau terapi perilaku sering berlangsung sekitar 12 minggu. Ini dapat dilakukan secara individual atau dengan sekelompok orang yang memiliki masalah yang sama. Kelompok terapi sangat efektif untuk fobia sosial. Sering kali "PR" diberikan bagi peserta untuk menyelesaikan antara sesiAda beberapa bukti bahwa manfaat dari CBT bertahan lebih lama dibandingkan dengan pengobatan untuk orang dengan gangguan panik, dan yang sama mungkin benar untuk OCD, PTSD, dan fobia sosial. Jika gangguan yang berulang di kemudian hari, terapi yang sama dapat digunakan untuk mengobati dengan sukses untuk kedua kalinya. Obat dapat dikombinasikan dengan psikoterapi untuk gangguan kecemasan yang spesifik, dan ini adalah pendekatan pengobatan terbaik untuk orang banyak.24,25

9. Prognosis Sebenarnya dalam beberapa kasus gangguan cemas dapat diatasi dengan baik bila didapati diagnosis dini serta tatalaksana yang baik, namun sering kali gangguan ini dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak terlalu mendasar dan penting sehingga seringkali ditangguhkan oleh pasien untuk mencari pertolongan dalam menghadapi gangguan yang diderita atau dialaminya. 5

25

BAB III PENUTUP

Keadaan stres, konflik-konflik yang kompleks menjadikan pencetus stres bagi lansia. Secara subyektif kecemasan itu bagi kebanyakan orang adalah perasaan yang tidak enak, yang perlu secepat-cepatnya ditangani. Secara objektif kecemasan itu merupakan suatu pola psikobiologik dengan fungsi pemberitahu (alarm) adanya bahaya, dengan mengakibatkan suatu perencanaan tindakan yang efektif, ialah suatu usaha penyesuaian diri terhadap trauma psikis, krisis dan konflik. Apabila perencanaan dalam penyesuaian diri ini berjalan dengan baik maka kecemasan akan berkurang, tetapi apabila perencanaan ini berlangsung tidak baik kecemasan bahkan akan bertambah hebat.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA: Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry 10 th.ed. Lippincott Williams & Wilkins, 2007 2. Setyonegoro KR, Iskandar Y : Anxietas. Yayasan Drama Usada, Yakarta, 1980:2-4. 3. Rowney, Jess; Hermida, Teresa; Maloney, Donald. Anxiety Disorders. Cleveland Clinic. Di unduh dari www.clinicmeded.com tanggal 1 Mei 2011. 4. American Psychiatric Association. Diagnostic And Statistical Manual of Mental Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American Psychiatric Publishing. Washinton DC. 2013 5. Stahl SM: Essential Psychopharmacology Neuroscientific Basis and Practical Applications 2nd ed Cambridge University Press . 2002 : 300 6. Adult Separation Anxiety and TCI-R Personality Dimensions in Patients with Anxiety, Alcohol Use, and Gambling: A Preliminary Report. Gino Pozzi, Angelo Bruschi, Andrea De Angelis. 2Department of Clinical and Experimental Medicine, Section of Psychiatry, University of Pisa, Pisa, Italy. 2014 7.

Social Anxiety Disorder and Alcohol Use. Sarah W. Book, M.D., and Carrie L. Randall, Ph.D. Journal of Clinical Psychiatry. Volume 6 no 22. 2012

8. Anxiety disorders. Joseph Levine, M.D.,* Daniel P. Cole, M.D., K. N. Roy Chengappa, M.D., and Samuel Gershon, M.D. Western Psychiatric Institute and Clinic, Pittsburgh, Pennsylvania. 2001 9. Mindfulness and Self-Compassion in Generalized Anxiety Disorder: Examining Predictors of Disability. Elizabeth A. Hoge, Britta K. Hölzel, Luana Marques. Department of Psychiatry, Massachusetts General Hospital, Boston, MA, USA. 2013

27

10. Anxiety Disorders and Risks. James M. Bolton, M.D.,Brian J. Cox, Ph.D., Tracie O. Afifi, M.Sc. Department of Psychiatry, University of Manitoba, Winnipeg, Manitoba, Canada. 2007 11. Anxiety and Separation Disorders. Alexa L. Bagnell, MD, Pediatrics in Review Vol.32 No.10 October 2011 12. A Research for Identifying Study Anxiety Sources among. University Students Prima Vitasari. Faculty of Technology Management, Universiti Malaysia Pahang. Vol. 3, No. 2; May 2010 13. Depression,

anxiety

and

their

comorbidity

in

the

Swedish

generalpopulation: point prevalence and the effect on health-related quality of life. Robert Johansson, Per Carlbring, A° sa Heedman, Bjo¨rn Paxling1 and Gerhard Andersson. Department of Psychology, Stockholm University, Stockholm, Sweden. 2013 14. Psychology Anxiety and depression symptoms in patients with diabetes. M. M. Collins, P. Corcoran and I. J. Perry. University of California Cooperative Extension, Sonora, CA, USA, and Department of Epidemiology and Public Health, University College Cork, Cork, Ireland. 2008. 15. Insights on the Anxiety Disorders . Jing-Hong Chen*. Shanghai Key Laboratory of Psychotic Disorders, Shanghai Mental Health Center, Shanghai Jiao Tong University School of Medicine, Shanghai, PR China. 2012 16. An integrative network approach to social anxiety disorder: Thecomplex dynamic interplay among attentional bias for threat,attentional control, and symptoms. Alexandre Heeren , Richard J. McNally.

Department of

Psychology, Harvard University, Cambridge, MA, USA. 2016 17. Positive affect regulation in anxiety disorders. Lori R. Eisner , Sheri L. Johnson , Charles S. Carver. University of Miami, Coral Gables, United States. 2009 18. Furer, P. & Walker, J. R. Death Anxiety: A Cognitive-Behavioral Approach. Journal of Cognitiv Psychotheraphy, 2008, 22(2), 167-182

28

19. Abikusno, N. Sociocultural aspects of the aged: A case studi in Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 2002, 11, 348-350. 20. Badan Pusat Statistik. Jumlah lansia di Indonesia tahun 2010. Jakarta : BPS. 2010 21. Parental factors associated with depression and anxiety in young people: A systematic reviewan dmeta-analysis. Marie Bee HuiYap ,Pamela Doreen Pilkington a,b, Siobhan Mary Ryan. Journal of Affective Disorders 2014 22. Practice Parameter for the Assessment and Treatment of Children and Adolescents With Anxiety Disorders. Sucheta D. Connolly, M.D., Gail A. Bernstein, M.D. American Academy of Child and Adolescent Psychiatry.. 2006 23. Exercise as Treatment for Anxiety: SystematicReview and Analysis. Gregory L. Stonerock, Ph.D. & Benson M. Hoffman, Ph.D. Department of Psychiatry and Behavioral Sciences, Duke University. 2015 24. Impact of depression and anxiety disorders on gastrointestinalsymp-toms and its prevalence in the general population. Abdulbari Bener, and Elnour E. Dafeeah. Department of Psychiatry, Rumailah Hospital, Hamad Medical Corporation, Doha, Qatar. 2011. 25. Cannabis and anxiety : a critical review of the evidence. Jose Alexandre Crippa, Antonio Waldo Zuardi, Rocio Marten Sarcos. Department of Psyvhological medicine, London, UKA. 2009 26. Relationship between sleep deprivation and anxiety – experimental research perspective. Gabriel Natan Pires1, Sergio Tufik1, Monica Levy Andersen. Journal of psychiatry, Brazil. 2012 27. Scaling-up treatment of depression and anxiety: a global return on investment analysis Dan Chisholm, Kim Sweeny, Peter Sheehan, Bruce Rasmussen, Filip Smit, Pim Cuijpers, Shekhar Saxena. Department of Mental Health and Substance Abuse, WHO, Geneva, Switzerland. 2016 28. Paroxetine Treatment of Generalized Anxiety Disorder: A Double-Blind, Placebo-Controlled Study. Karl Rickels, M.D. Rocco Zaninelli, M.D. James McCafferty, B.S. Journal of Psychiatry. 2003

29

Related Documents


More Documents from "kedokteran ump"