Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Menurut UDHR ( United Declaration of Human Right ), HAM adalah seperangkat hak-hak dasar manusia yang tidak boleh dipisahkan dari keberadaannya sebagai manusia. Martabat manusia merupakan sumber dari seluruh HAM. Martabat manusia akan berkembang jika hak yang paling dasar yaitu kemerdekaaan dan persamaan dapat dikembangkan. Secara umum Hak Asasi Manusia sering sekali terdengar di telinga kita tentang Pelanggaran-pelanggaran HAM.
persoalan perlindungan HAM dari waktu ke waktu tetap menjadi masalah yang tidak biasa, pelanggaran HAM tidak hanya dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat tapi juga corak hubungan konfrontatif diantara manusia telah melecehkan prinsip HAM. Kesadaran tentang HAM sangat tergantung pada tingkat kemajuan masyarakt sendiri. Pelaksanaan HAM tanpa pamrih masih terganggu pula pada perdebatan apakah HAM bersifat universal atau lokal dan kultur, meski menjadi perbedaan pendapat dan kepentingan bagaimanapun perlindungan HAM merupakan sebuah keniscayaan, Tuntutan bahan akan adanya lembaga yang berwenang Mengadili pelanggaran HAM semakin kuat.
Lembaga pengadilan hak asasi manusia merupakan pengadilan khusus yang disebut dengan pengadilan HAM yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia. Pembentukan pengadilan hak asasi manusia merupakan wujud nyata yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia dari segala ancaman mengingat bahwa hak asasi manusia merupakan hak asasi yang bersifat fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Pada pemerintahan Gus dur dan Megawati telah menggelar pengadilan HAM Ad Hoc demi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.
1
Bab II Rumusan Masalah 1. Bagaimana Sejarah perkembangan HAM dan pengadilan HAM di Indonesia? 2. Apa Saja Kewenangan atau Yurisdiksi dari Pengadilan HAM di Indonesia? 3. Bagaimana Penyelesaian Terhadap Pelanggaran HAM berat yang terjadi Di Indonesia? 4. Apa Pengertian, Latar belakang dan Tujuan dari Pengadilan HAM Ad Hoc?
2
Bab III Pembahasan 2.1 Sejarah Perkembangan HAM Dan Pengadilan HAM Di Indonesia Perhatian Pemerintah RI terhadap Hak asasi Manusia sudah Timbul Sejak Tahun 1945 Secara Konstitusional pada saat para Tokoh-Tokoh atau pendiri negara ini menyusun UUD 1945. Dilihat dari sudut Kebijakan Politik sejak 1945, perhatian tersebut sudah tampak pada penyusunan GBHN tahun 1993. Sedangkan pelembagaan hak asasi manusia itu sendiri sudah berlangsung sejak tahun 1993 dengan dibentuknya komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Pada tahun 1998, pemerintah telah mencanangkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) dengan program dan kegiatan lima tahun yaitu sejak tahun 1998 sampai dengan Tahun 2003. Langkah-langkah tersebut disusul kemudian dengan ratifikasi beberapa konvensi internasional mengenai hak asasi manusia seperti konvensi anti penyiksaan dengan Undang-Undang RI Nomer 5 Tahun 1998 (lembaran Negara Tahun 1998 Nomer 164, Tambahan Lembaran Negara Nomer 3783) dan Anti Ras Diskriminasi dengan Undang-Undang RI Nomer 29 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomer 83, Tambahan Lembaran Negara Nomer 3853)1. Langkah-langkah tersebut di atas kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomer XVII/MPR/1998 tanggal 13 November 1998. Dengan landasan Tersebut Pemerintah dan DPR RI telah berhasil menetapkan Undang-undang RI Nomer 39 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia sebagain undangundang payung untuk seluruh peraturan perundang-undangan yang telah ada (hukum positif) dan untuk peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk kemudian. pemberlakuan undang-undang ini dan pertifikasian beberapa konvensi internasional mengenai hak asasi manusia menunjukkan bahwa secara de jure (baik secara konstitusional maupun perundangundangan) pemerintah telah mengakui hak asasi manusia yang bersifat universal di samping secara de fakto pemerintah telah mengambil langkah-langkah pelembagaan hak asasi manusia dikalangan kepolisian yang disponsori oleh KOMNAS HAM. Langkah nyata yang saat itu sedang dilaksanakan oleh pemerintah adalah penyusunan Rancangan Undang-undang tentang
1
Romli Atmasasmita,Remormasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum,Mandar Maju, Jakarta,2001,Hlm137.
3
pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pelaksanaan dari pasal 104 ayat (1) Undang-undang RI Nomer 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia2. Seminar tentang pegadilan hak asasi manusia sangat diperlukan agar tidak mendapat respon atau tanggapan negatif oleh masyarakat maksut dan tujuannya dan sebagai wujud dari transparansi kebijakan. Pengadilan hak asasi manusia merupakan salah satu proses internalisasi dan implementasi kehendak politik pemerintah untuk mewujudkan prinsip tranparansi dan akuntabilitas publik dan keperansertaan masyarakat dalam setiap produk perundang-undangan sehingga diharapkan terciptanya sinergi kultural dan struktural baik secara horisontal maupun secara vertikan antara pemerintah pada umumnya dan pada khususnya aparatur penegakan hukum dan masyarakat luas. Latar belakang pengadilan HAM Di Indonesia Penyusunan Rancangan Undang-undang tentang pengadilan hak asasi manusia adalah merupakan perintah pasal 104 ayat 1 undang-undang RI Nomer 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “untuk pengadilan pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan peradilan umum.” Orde baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak dicatat melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru yang memerintah secara otoriter selama lebih dari 30 tahun telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM karena perilaku negara dan aparatnya.1 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam laporan tahunnya menyatakan bahwa pemerintah perlu menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM yang pernah terjadi di tanah air sebagai akibat dari struktur kekuasaan orde baru yang otoriter. Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas sedangkan gejala pelanggaran kian bertambah. Penyelesaian kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur selama pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan. Atas kondisi ini sorotan dunia internasional terhadap Indonesia sehubungan dengan maraknya pelanggaran HAM yang terjadi kian menguat terlebih sorotan atas pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-timur selama proses jajak pendapat.3
2 3
Ibid. Rikard Bagun, Servas Pandur Dkk,Hak Asasi dalam Tajuk,Institut Ecata &INPI-pact,Jakarta,1997,Hlm18.
4
Kasus pembumihangusan di Timor-timur telah mendorong dunia internasional agar dibentuk peradilan internasional (internasional tribunal) bagi para pelakunya. Desakan untuk adanya peradilan internasional khususnya bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timortimur semakin menguat bahkan komisi Tinggi PBB untuk Hak-hak asasi manusia telah mengeluarkan resolusi untuk mengungkapkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Atas resolusi Komisi HAM PBB tersebut Indonesia secara tegas menolak dan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan ketentuan nasional karena konstitusi Indonesia memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak asasi manusia. Atas penolakan tersebut, mempunyai konsekuensi bahwa Indonesia harus melakukan proses peradilan atas terjadinya pelanggaran HAM di TimorTimur.4 Pengertian tentang perlunya peradilan yang secara khusus dengan aturan yang bersifat khusus pula inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang dikenal dengan pengadilan HAM. Alasan yuridis lainnya yang bisa menjadi landasan berdirinya pengadilan nasional adalah bahwa pengadilan nasional merupakan “the primary forum” untuk mengadili para pelanggar HAM berat.
2.2 Kewenangan Pengadilan HAM Di indonesia Perkara pelanggaran HAM yang berat yang berwenang memutus dan memeriksa adalah pengadilan HAM, kewenangan yang memeriksa juga termasuk menyelesaikan masalah atau perkara yang menyangkut tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi para korban pelanggaran HAM. Kewenangan untuk memutus tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi ini sesuai dengan pasal 35 UU Nomor 26 Tahun 2000, yang menyatakan: “Bahwa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM”5. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan diluar batas teritorial wilayah NKRI oleh Warga Negara Indonesia. Dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara Indonesia yang melakukan pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan diluar batas teritorial, dalam arti dihukum sesuai dengan undang-undang pengadilan HAM. Pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
4
Romli Atmasasmita,Remormasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum,Mandar Maju, Jakarta,2001,Hlm139. 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,Sinar Grafika,hlm136.
5
terdapat larangan atau membatasi pemeriksaan atau pemutusan perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh seseorang yang masih berumur dibawah 18 tahun. Ketentuan tentang pembatasan perkecualian yurisdiksi terhadap mereka yang berumur dibawah 18 tahun sesuai dengan norma yamg diatur dalam Statuta Roma 1998. Jenis kejahatan yang dapat di adili Jenis kejahatan yang dikategorikan pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus dan merupakan yurisdiksi pengadilan HAM adalah6: 1. Kejahatan Genosida, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara7: a. Membunuh anggota kelompok b. Mengakibatkan memar fisik atau sakit mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok. c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh anggota atau sebagian d. Memaksakan tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok yang lain
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa8: a. Pembunuhan, dengan perumusan delik sebagaimana tercantum pada pasal 340 KUHP. b. Pemusnahan, yaitu perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian kelompok c. Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak
6
Ibid,Hlm123. Ibid,Hlm124. 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,Sinar Grafika,hlm124. 7
6
d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, yaitu dengan cara tindakan pemaksaan dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa disadari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar asas pokok hukum internasional f. Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan berat baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seorang yang berada di bawah pengawasan g. Perkosaaan, yaitu perbudakan seks atau pelacuran secara paksa dan atau pemandulan secara paksa dalam bentuk-bentuk kekerasan seksual yang lain yang setara h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, agama, kebangsaan, etnis, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal menurut hukum internasional i. Penghilangan orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan atau penculikan seseorang dengan kuasa atau dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut j. Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan yang tidak manusiawi dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atau kelompok lain yang dimaksudkan untuk mempertahankan rezim tersebut Pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 dalam penjelasannya dinyatakan sebagai ketentuan yang sesuai dengan Rome Statute Of International Criminal Cort 1998. Penjelasan tersebut memiliki konsekuensi bahwa kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan seperti yang tercantum pada pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2000 sama dengan pasal 6 dan 7 dalam Statuta Roma 1998 termasuk penyesuaian unsur-unsur tindak pidananya.
2.3 Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia Mandat yang dibebankan kepada pemerintahan era reformasi adalah menyelesaikan pelangaran HAM yang berat masa lalu yang terjdi di era orde baru. Mandat tersebut tertuang
7
dalam TAP MPR No.V/MPR/2000 dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM. Didalam UU No. 26 Tahun 2000 disediakan dua jalan, yaitu9 : 1. Melalui pengadilan HAM ad hoc 2. Melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
Pasal 43 UU Pengadilan HAM menegaskan sebagai berikut10. 1. Pelanggaran HAM yang berat yeng terjadi sebelum diundangkannya undangundang ini diperiksa dan diputus oleh pegadilan HAM ad hoc. 2. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. 3. Pengadilan HAM a hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkunga Peradilan Umum.
Selanjutnya pasal 47 menegaskan: 1. Pelanggara HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaraan dan Rekonsiliasi. 2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang. Sebagaimana diketahui, jalan pengadilan HAM ad hoc telah dilakukan terhadap pelanggaran HAM yang berat Timor Timur, dan Tanjng Priok. Kedua pengadilan HAM ad hoc tersebut berakhir mengecewakan, dan dituding sebagai pengadilan pura-pura Sementara itu, KKR yang undang-undangnya saja dibentuk sangat terlambat dan belum sempat dilaksanakan justru dibatalkan oleh MK11.
9
Suparman Marzuki,Pengadilan Ham Di Indonesia Melanggengkan Impunity,Erlangga,jakarta,2012,Hlm104. Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,Sinar Grafika,hlm140. 11 Suparman Marzuki,Pengadilan Ham Di Indonesia Melanggengkan Impunity,Erlangga,jakarta,2012,Hlm104. 10
8
Belajar dari pengalaman negara-negara transisional lainnya di bebagai belahan dunia, menuntasan pelanggaran HAM yang dilakukan memang tidak mudah. kesulitan yang menghadang setidakya dapat dibagi menjadi tiga, yakni.12 1. Kesulitan pembuktian jika penyelesaian akan dilakukan melalui jalur hukum (pengadilan), atau disebut kesulitan teknis prosedural; 2. Hadangan kekuatan politik pendukung rezim terdahulu, terutama militer; 3. Tantangan dari kelompok masyarakat tertentu, termasuk sebagian korban atau keluarga korban yang tidak menginginkan mengungkit kembali kasus masa lalu. Dapat kita ketahui bahwasannya perpaduan substansi hukum yang dilemahkan dengan institusi hukum yang juga masih dalam kerangka ideologi orde baru telah menyebabkan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu telah gagal semenjak dalam pikiran para pembuat undang-undang. Ada beberapa hal yang bisa diterapkan untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat diantaranya13; a. Mengakhiri Impunity Politik hukum penyelesaian pelanggaran berat HAM dimasa lalu melalui pengadilan dimaksudkan untuk mengakhiri atau memutus rantai impunity, yaitu suatu tindakan kekuasaan yang tidak mengambil tindakan hukum apapun atas suatu kejahatan yang dilakukan (Absence of Punishment) Praktik impunitas telah terjadi sejak berabad lamanya di berbagai negara dan terus hingga sekarang ini, maka dari itu perlu adanya tindakan untuk mengakhiri impunity agar pelanggaran HAM berat dapat teratasi. Fenomena impunity di Indonesia terjadi juga di era Orde Baru. Tidak satupun pelaku pelanggaran HAM di era tersebut dipertanggungjawabkan dalam bentuk apapun. Oleh karena itulah kekuaaan Soeharto ke B.J Habibie, sebagaimana peralihan kekuasaan otoritarian ke demokrasi di banyak negara mewarisi pelanggaran HAM yang belum dipertanggungjawabkan, dan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah pasca orde baru. Kuatna esakan salam dan luar negeri untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang berat tdak dapat dibendung. Bahkan ada upaya untuk membawa para pelaku ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag Belanda. Pemerintah ea reformasi tidak ada pilihan lain selain membuat Undang-undang yang
12 13
Artidjo Alkostar, Refleksi Satu Dekade Ham di Indonesia. Pusham UII, Yogyakarta,2004, hlm5 Suparman Marzuki,Pengadilan Ham Di Indonesia Melanggengkan Impunity,Erlangga,jakarta,2012,Hlm48.
9
dapat digunakan sebagai dasar hukum mengusut dan menyelesaikan secara tuntas kasus pelanggaran HAM14.
b. Tanggung Jawab Negara Semenjak 1949 hingga 2001, Komisi Hukum Internasional telah menegaskan satu prinsip bahwa setiap tindakan salah yang dilakukan ileh intitusi negara, termasuk di dalamnya instrumen-instrumen negara, menimbulkan tanggung jawab negara bersangutan untuk memulihkannya. Tanggungjawab negara bersifat melekat pada negara, artinya suatu negara memiliki kewajiban untuk memberikan ganti rugi manakala negara tersebut menimbulkan atau menyebabkan kerugian pada negara lain. melekatnya kewajiban negara untuk bertanggung jawab menmbulkan kerugian untuk membayar ganti rugi, misalnya diatur dalam pasal 2 ayat (3) perjanjian internasiona tentang hak sipil dan hak politik. Pasal tersebut mengatu bahwa korban pelanggaran HAM harus mendapat pemulihan efektif, meskipun pelanggran tersebut dilakukan oleh pejabat resmi negara15.
c. Prinsip Retroaktif Para pemerhati HAM secara umum berpendapat bahwa asas retroaktif tidak boleh digunaka, kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif berikut: 1. Kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman atau destruksinya setara dengannya. 2. Peradilan bersifat internasional, bukan peradilan nasional. 3. Peradilan bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen. 4. Keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak danggup menjangkau kejahtan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman atau destruksinya setara dengannya16. Di Indonesia, sejak tahun 1915 tidak pernah diberlakukan asas retroaktif, kecuali saat pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan di Australia menerbitkan
14
Ibid,Hlm48. Ibid,Hlm51. 16 Ibid,Hlm56. 15
10
suatu aturan yang dinamakan Brisbane Ordodannantie 1945 mengenai penerapan delik terhadap keamanan negara. Tujuannya aalah untuk menghukum tentara negara yang kalah perang seperti Jepang dan para kolaboratornya.
2.4 Pengertian, Latar belakang, Tujuan Pengadilan HAM Ad Hoc Pengertian Pengadilan Ad Hoc dalam hal ini memiliki pengertian yaitu pengadilan yang dibentuk secara khusus untuk memeriksa dan memutus suatu perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000. Dalam hal ini berbeda dengan Pengadilan HAM (permanen) yang dapat memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Sedangkan membahas tentang ketentuan yang dimiliki oleh Pengadilan Ad Hoc sendiri diatur dalam pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000, yang meliputi :17 1. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum di undangkannya Undang-undang ini, di periksa dan di putus oleh Pengadilan HAM ad hoc. 2. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. 3. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana di maksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum. Penjelasan dalam pasal 43 ayat (2) tersebut menyatakan bahwa : “Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum di undangkannya Undang-undang ini.”
Pasal 44 UU No. 26 Tahun 2000 menentukan tentang prosedur hukumnya : “Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dann upaya hukumnya di lakukan sesuai dengan ketentuan dalamUndang-undang ini”
17
http://lama.elsam.or.id/downloads/1262845928_17._Pengadilan_HAM_ad_Hoc.pdf
11
Penjelasan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang juga sebagai pihak yangmengusulkan di bentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang- undang ini. Masalah rumusan sebagaimana dalam pasal 43 di atas menimbulkan masala yang cukup serius terutama berkaitan dengan kewenangan DPR untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat berdasarkan pada penjelasan Pasal 43 ayat (2). Rumusan ini bisa ditafsirkan bahwa DPR yang dapat menentukan dugaan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat.18
Latar Belakang Keberadaan Pengadilan Ad Hoc sendiri tidak bisa terlepas dari adanya Pelanggaran HAM berat yang terjadi. Dimana Pengadilan Ad Hoc dalam hal ini ditujukan untuk dapat melakukan penindakan atas pelanggaran HAM berat yang serius yang terjadi terhadap hak asasi manusia. Karena Pelanggaran HAM yang berat sendiri merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) dan universal, dimana dalam menyelesaikan perkara ini membutuhkan suatu penanganan khusus dan cara-cara yang luar biasa untuk mengatasinya. Sehingga penegakan dan perlindungan yang diupayakan guna menyelesaikannya yaitu dengan mulai disahkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Yang hingga kemudian diundangkan pada 23 November 2000 kemudian. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut telah secara tegas menyatakan bahwa sebagai undang-undang yang mendasari adanya pengadilan HAM di Indonesia yang berwenang untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang berat, serta mengatur tentang adanya pengadilan HAM ad hoc yang berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu, sesuai Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa “Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum”. Oleh karena itu, diperlukan metode penegakan
18
http://e-journal.uajy.ac.id/2552/2/1HK09586.pdf
12
hukum dalam suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat. 19
Tujuan Membicarakan tentang tujuan Pengadilan HAM Ad Hoc sendiri adalah untuk dapat melakukan penindakan atas pelanggaran HAM berat yang serius yang terjadi terhadap hak asasi manusia. Serta Pengadilan Ad Hoc sendiri secara khusus ditujukan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000.
19
http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/25.-Pengadilan-Hak-Asasi-Manusia-diIndonesia_Regulasi-Penerapan-dan-Perkembangannya.pdf
13