4. Bab I,ii,iii.doc

  • Uploaded by: Anonymous UxS2v1
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 4. Bab I,ii,iii.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 26,237
  • Pages: 101
1

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Masalah Di era globalisasi seperti sekarang ini, perkembangan dalam teknologi dan

segala disiplin ilmu melaju dengan sangat pesat. Untuk mengimbangi laju perkembangan tersebut tentu dibutuhkan sumber daya manusia yang cerdas dan berkualitas untuk membawa bangsa Indonesia agar tidak lagi tertinggal oleh bangsa-bangsa lain dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting sebagai pencetak generasi bangsa yang terdidik dan berkompeten. Sesuai dengan Permendikbud Nomor 69 Tahun 2013 tentang tujuan Kurikulum 2013, yakni untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Salah satu kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah menempuh pendidikan adalah kemampuan berpikir kreatif. Pengembangan kemampuan berpikir kreatif perlu dilakukan karena kemampuan ini merupakan salah satu kemampuan yang dikehendaki dunia kerja. Sebagaimana yang dikemukakan Career Center Maine Department of Labor (2004 : 3), kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk menciptakan ide atau produk. Kompetensi ini menempati urutan kelima teratas karena penting dimiliki individu. Kemampuan berpikir kreatif juga menjadi penentu keunggulan suatu bangsa. Daya kompetitif suatu bangsa sangat ditentukan oleh kreativitas sumber daya manusianya. Kemampuan untuk berkompetisi ini membutuhkan pemikiran

kritis,

bekerjasama

sistematis,

yang efektif.

logis,

Cara

kreatif

berpikir

dan

seperti

kemauan ini

dapat

dikembangkan melalui belajar matematika karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir kreatif (Depdiknas, 2003 : 5).

2

Menurut McGregor (2007 : 168), berpikir kreatif adalah berpikir yang mengarah pada pemerolehan wawasan baru, pendekatan baru, perspektif baru, atau cara baru dalam memahami sesuatu. Berpikir kreatif melibatkan kemampuan untuk menemukan sesuatu yang baru atau asli. Hal tersebut melibatkan keterampilan yang memiliki fleksibilitas, orisinalitas, kefasihan, elaborasi, curah gagasan (brainstorming), modifikasi, berkhayal, pemikiran asosiatif, daftar atribut, dan berpikir metaforis. Menurut King (1997 : 13), tujuan dari berpikir kreatif adalah untuk merangsang keingintahuan dan merangsang berpikir divergen. Alasan tersebut mendorong anggapan untuk mengelompokan berpikir kreatif dalam kategori keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills). Selanjutnya menurut Alvino (1990 : 50), kreatif adalah melakukan suatu kegiatan yang ditandai oleh empat komponen, yaitu : fluency (menurunkan banyak ide), flexibility (mengubah perspektif dengan mudah), originality (menyusun sesuatu yang baru), dan elaboration (mengembangkan ide lain dari suatu ide). Rincian ciri-ciri dari fluency, flexibility, originality, dan elaboration dikemukan oleh Munandar (1999 : 88): a.

Ciri-ciri fluency diantaranya adalah: (1) Mencetuskan banyak ide, banyak jawaban, banyak penyelesaian masalah, banyak pertanyaan dengan lancar; (2) Memberikan banyak cara untuk melakukan sesuatu (3) Selalu memikirkan lebih dari satu jawaban

b.

Ciri-ciri flexibility diantaranya adalah : (1) Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda; (2) Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda; (4) Mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran.

c.

Ciri-ciri originality diantaranya adalah : (1) Mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik; (2) Memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri; (3) Mampu membuat kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur.

d.

Ciri-ciri elaboration diantarnya adalah : (1) Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk; (2) Menambah atau

3

memperinci detail-detail dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Dalam kegiatan berpikir kreatif, seseorang akan melewati rangkaian proses yang terdiri dari tahapan-tahapan. Hal ini diungkapkan oleh Wallas (1926) yang menyatakan bahwa proses berpikir kreatif meliputi 4 tahap, yaitu : persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Berikut penjelasan tahapan berpikir kreatif. 1.

Pada tahap persiapan, seseorang mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan belajar berpikir, mencari jawaban, bertanya kepada orang lain untuk mengumpulkan informasi dan data yang relevan serta mencari pendekatan untuk menyelesaikannya. Setelah seseorang mengelola informasi yang telah diperoleh pada tahap persiapan, maka ia akan mulai memikirkan ide apa yang akan ia buat atau strategi apa yang akan ia pilih untuk menyelesaikan masalah. Proses berpikir kreatif berlanjut ke tahap kedua, yaitu tahap inkubasi.

2.

Tahap inkubasi adalah tahap dimana individu seakan-akan melepaskan diri untuk sementara dari masalah tersebut, dalam arti seseorang tidak memikirkan masalahnya secara sadar, tetapi “menggeramnya” dalam alam pra sadar. Selama masa ini, otak terus bekerja untuk mencari solusi dari permasalahan yang sedang dipikirkan.

3.

Selanjutnya ialah tahap iluminasi, merupakan tahap timbulnya “insight”, saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru serta proses psikologi yang mengawali munculnya inspirasi baru. Pada tahap ini, gagasan yang muncul dapat berupa gagasan kunci yang memberi arah kepada pemecahan permasalahan, tetapi bukan pemecahan yang sempurna dari persoalan yang dihadapi.

4.

Terakhir tahap verifikasi atau evaluasi, yaitu tahap dimana ide atau kreasi baru tersebut harus diuji terhadap realitas. Pada tahap ini, inspirasi yang muncul dikembangkan dan diuji secara kritis. Kajian kritis rasional merupakan ciri pokok tahap ini dan pemikiran divergen masuk pada pemikiran konvergen. Hingga yang muncul adalah ide kreatif yang telah teruji secara rasional. Kajian kritis juga dapat dimaknai bahwa seseorang yang telah berada pada tahap verifikasi melakukan pengkajian ulang

4

terhadap ide kreatif yang diperoleh pada tahap berpikir kreatif sebelumnya untuk menguji kebenaran ide kreatif yang dihasilkan. Artinya proses yang dilalui seseorang pada tahap ini adalah melakukan metakognisi, yaitu berpikir tentang apa yang telah dipikirkan. Beberapa

hasil

penelitian

(Ratnaningsih,

2007;

Wardani,

2009;

Risnanosanti, 2010; Ismaimuza, 2010; Noer, 2010) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika saat ini pada umumnya masih berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah, yang ditandai dengan diberikannya tugas-tugas yang masih bersifat prosedural (Risnanosanti, 2012 : MP-744). Kebanyakan siswa hanya mengikuti pola aturan untuk menyelesaikan masalah matematika berdasarkan contoh yang diberikan guru. Namun apabila soal yang diberikan tidak mirip seperti yang telah dijelaskan guru, siswa akan bingung dan kesulitan mengerjakannya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menyelesaikan permasalahan matematika, siswa cenderung berfikir secara konvergen atau dengan kata lain meniru cara yang sudah ada dan tidak melakukan inovasi untuk menyelesaikan persoalan. Inilah salah satu hal yang menyebabkan hilangnya esensi kreativitas dalam mempelajari matematika. Apabila hal ini terus dibiarkan dalam jangka waktu yang panjang dapat mematikan kreativitas dan rasa percaya diri siswa, serta dapat berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia. Sejalan dengan pendapat Munandar (1992 : 88-93) berdasarkan hasil survey yang dilakukan Indonesian Education Sector Survey Report, menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia menekankan pada keterampilan rutin dan hafalan semata. Lebih lanjut lagi Munandar beranggapan bahwa jika hal tersebut dibiarkan terjadi pada proses pembelajaran, dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap pengembangan kreativitas siswa. Selain itu Siswono (2004 : 1) menyatakan bahwa kreativitas merupakan suatu hal yang jarang sekali diperhatikan dalam pembelajaran matematika. Guru menempatkan logika sebagai titik incar pembicaraan dan menganggap kreativitas merupakan hal yang tidak penting dalam pembelajaran matematika. Padahal kreativitas itu sangat dibutuhkan dalam perkembangan pembelajaran matematika yang lebih tinggi. Pentingnya kreativitas dalam matematika dikemukakan oleh Bishop (1981 : 63) yang menyatakan bahwa seseorang memerlukan dua keterampilan

5

berpikir yang sangat berbeda dan saling melengkapi dalam matematika, yaitu berpikir kreatif yang sering diidentikkan dengan intuisi dan kemampuan berpikir analitik yang diidentikkan dengan kemampuan berpikir logis. Menurut The Encyclopedia of Philosopy, intuisi didefinisikan sebagai pemahaman segera. Makna kata “segera” adalah tidak membutuhkan inferensi, tidak membutuhkan atau memikirkan penyebab, tidak membutuhkan kemampuan mendefinisikan istilah yang digunakan, tidak membutuhkan pembenaran atau justifikasi, tidak membutuhkan penyimbolan, dan tidak memerlukan pemikiran kembali. Dalam proses berpikir intuitif, individu tidak melakukan pemeriksaan kembali terhadap ide yang sebelumnya telah ia peroleh untuk menyelesaikan masalah. Kemunculan ide yang datang secara seketika dan bersifat otomatis (immediate) atau muncul tiba-tiba (suddenly) merupakan karakter berpikir yang melibatkan intuisi (Sa’o, 2016 : 46). Berbeda dengan berpikir kreatif, individu perlu melewati tahap verifikasi untuk memeriksa kembali ide yang telah diperoleh pada tahap iluminasi. Hal ini tentu bertujuan untuk menguji apakah ide tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dengan demikian, berpikir intuitif pada hakikatnya termasuk ke dalam berpikir kreatif. Berpikir intuitif dilakukan individu ketika melalui tahap iluminasi dalam berpikir kreatif. Setelah tahap iluminasi dilewati, tahap selanjutnya dalam proses berpikir kreatif memerlukan alur berpikir logis atau analitik. Selain itu pentingnya berpikir kreatif juga diungkapkan oleh Peter (2012 : 39) yang mengatakan bahwa “Student who are able to think creatively are able to solve problem effectively”, yang artinya siswa yang dapat berpikir secara kreatif akan mampu menyelesaikan masalah secara efektif. Sementara Kiesswetter (1983 : 63) menyatakan bahwa kemampuan berpikir fleksibel yang merupakan salah satu aspek kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Pendapat ini menegaskan eksistensi kemampuan berpikir kreatif matematis. Rendahnya pengembangan kemampuan berpikir kreatif disebabkan pembelajaran di sekolah pada umumnya hanya melatih proses berpikir konvergen, terbatas pada penalaran verbal dan pemikiran logis. Proses belajar yang dilakukan hanya membentuk siswa yang bisa melakukan prosedur matematik tertentu tanpa

6

mengetahui alasan yang mendasarinya. Sehingga bila dihadapkan pada masalah yang tidak biasa, siswa akan mengalami kesulitan dalam memecahkannya dengan cara berfikir divergen. Karena menurut Guillford (1971) bahwa adanya keterpaduan dua kemampuan berpikir yaitu kemampuan berpikir konvergen dan divergen dapat mewujudkan kreativitas. The Trends in International Mathematics and Science Study (2011) pada surveinya mengatakan bahwa siswa SMP kelas delapan Indonesia mempunyai pengetahuan dasar matematika, tetapi tidak cukup untuk menyelesaikan soal yang non rutin. Pengembangan kemampuan berpikir kreatif salah satunya dapat dilakukan dengan cara melatih siswa menyelesaikan soal yang non rutin atau terbuka (open ended). Menurut Livne (2008 : 1) soal terbuka (open-ended problem) adalah soal yang memiliki beragam jawaban. Dalam hal ini, aspek-aspek yang diukur adalah kelancaran, keluwesan, kebaruan, dan keterincian. Salah satu bentuk soal terbuka yang dapat diujikan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis siswa adalah seperti berikut: Tambahkanlah beberapa persegi lagi pada rangkaian dua buah persegi di bawah ini agar menjadi jaring-jaring kubus!

Sebelum siswa menjawab soal yang diberikan, peneliti memberi arahan dan mendemonstrasikan cara mendapatkan jaring-jaring kubus menggunakan 6 buah karton persegi. Selanjutnya siswa dipersilahkan untuk menemukan sendiri jaring-jaring kubus yang berbeda dari contoh yang diberikan peneliti dengan cara mencoba-coba. Dalam lembar kerja, peneliti menyediakan 9 rangkaian persegi seperti gambar diatas, dengan harapan semua akan diisi oleh siswa. Karena jumlah jaring-jaring kubus yang dapat dibuat sebanyak 11 buah, diharapkan akan ada siswa yang menemukan seluruh jaring-jaring kubus meskipun tanpa bantuan rangkaian dua buah persegi. Hal ini sesuai dengan Teori Vygotsky yang menyatakan bahwa scaffolding yang diberikan sangat mempengaruhi peran siswa dalam mengelola informasi untuk menghasilkan ide-ide kreatifnya (Schunk, 2012). Scaffolding yang diberikan kepada siswa harus dikurangi agar siswa berkesempatan menemukan sendiri pengetahuannya.

7

Jika siswa mampu menemukan 9 buah jaring-jaring kubus, maka dikatakan siswa tersebut telah memenuhi salah satu ciri berpikir kreatif, yaitu fluency (kelancaran). Namun apabila siswa mampu menemukan 11 jaring-jaring kubus, siswa dikatakan telah memenuhi indikator mengembangkan jawaban. Siswa yang dapat menemukan jaring-jaring kubus yang berbeda dari contoh yang diberikan peneliti, dikatakan bahwa siswa telah memenuhi indikator originality (kebaruan). Namun apabila dalam menjawab soal ini siswa menemukan bentuk jaring-jaring kubus yang baru dan unik tetapi salah, maka dikatakan siswa tersebut memiliki masalah dalam tahap verifikasi jawaban pada proses berpikir kreatifnya. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di kelas VIII-1 SMP Al – Washliyah 1 Medan, disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa masih rendah. Banyak siswa yang hanya mampu mengisi 5 dari 9 rangkaian persegi yang diberikan, artinya siswa tidak memenuhi indikator fluency. Adapun siswa yang mengisi 6 jawaban atau lebih, namun jaring-jaring kubus yang digambar banyak yang sama. Selain itu terdapat siswa yang masih salah menggambar jaring-jaring kubus. Hal ini dapat terjadi karena siswa tidak melakukan verifikasi terhadap jawaban yang telah dibuat, sehingga mengakibatkan ide kreatif yang telah muncul pada tahap iluminasi menjadi sia-sia. Berikut pola dan ragam jawaban siswa dipaparkan dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1 . Pola dan Ragam Jawaban Siswa

No. 1.

2.

Pola dan Ragam Jawaban Siswa Kesalahan yang ditemukan : Siswa menggambar 7 persegi pada jaring-jaring tersebut. Padahal kubus hanya terdiri dari 6 sisi yang berbentuk persegi. Hal ini mengakibatkan kubus yang terbentuk memiliki satu sisi yang ganda.

8

(a)

(b)

(c)

Kesalahan yang ditemukan : (a) Siswa salah menempatkan sebuah persegi yang dilingkari pada gambar. Sehingga mengakibatkan jaring-jaring tersebut tidak membentuk kubus. Dari jawaban (b) dan (c) terlihat bahwa siswa tidak teliti memeriksa apakah jaring-jaring yang digambar sudah benar atau belum. Sebab apabila dilipat sesuai rusuk-rusuknya, kubus yang terbentuk akan memiliki satu sisi yang ganda, sedangkan sisi yang lain ada yang kosong. Pada pola jawaban siswa yang pertama dalam Tabel 1.1 diatas, tampak bahwa pemahaman siswa tersebut mengenai konsep kubus dan jaring-jaring kubus masih kurang. Sebab pada jawaban tersebut siswa menggambar rangkaian tujuh buah persegi, padahal kubus hanya memiliki enam buah sisi yang berbentuk persegi. Sehingga jaring-jaringnya pun merupakan rangkaian enam buah persegi. Sedangkan pada pola jawaban siswa yang kedua, tampak bahwa siswa tersebut sudah memahami konsep kubus, namun rangkaian enam buah persegi yang digambar bukanlah jaring-jaring kubus. Sebab ada dua buah sisi yang akan berhimpit apabila rangkaian itu dilipat kembali sesuai rusuk-rusuknya. Berdasarkan lembar jawaban siswa, seluruh siswa mampu menemukan jaring-jaring kubus dengan bentuk yang berbeda atau lain daripada contoh yang diberikan peneliti. Artinya siswa telah mencapai indikator originality karena mampu memberikan jawaban yang baru. Secara umum jika dilihat dari jawaban siswa untuk dua indikator berpikir kreatif lainnya, yaitu elaboration dan flexibility belum tercapai. Dari keseluruhan hasil tes tersebut, jumlah maksimal jaring-jaring kubus berbeda yang dapat ditemukan oleh siswa per individu sebanyak 5 buah. Namun apabila dilihat dari seluruh jawaban siswa, keseluruhan jaring-jaring kubus dapat ditemukan semuanya, yakni 11 buah. Tetapi kesebelas jaring-jaring kubus tersebut ditemukan oleh siswa yang berbeda. Hasil tes diatas didukung oleh hasil wawancara dengan siswa yang menjawab salah pada Tabel 1.1 diatas. Hasil wawancara menunjukkan bahwa siswa menemukan jaring-jaring kubus dengan cara membuat rangkaian enam buah persegi menggunakan karton yang diberikan secara acak diatas meja. Kemudian,

9

untuk memeriksa apakah rangkaian yang disusun secara acak tersebut benar-benar jaring-jaring kubus atau bukan adalah dengan mencoba melipat kembali rangkaian persegi itu dalam pikiran (imajinasi) mereka saja. Setelah peneliti melakukan pemeriksaan, ternyata jawaban siswa tersebut salah. Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa memiliki masalah saat tahap verifikasi. Kesalahan tersebut diduga dapat terjadi karena siswa tidak melibatkan kesadarannya untuk untuk memeriksa kembali jawaban yang sudah ia temukan. Kesalahan siswa pada tahap verifikasi dapat dihindari dengan penggunaan alat bantu atau media yang berbeda dalam menemukan jaring-jaring kubus. Penggunaan media di dalam kelas akan membantu siswa memahami cara menemukan jaring-jaring kubus. Pemahaman yang disertai dengan kegiatan melihat, menyentuh, merasakan, atau mengalami melalui media akan lebih baik hasilnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamalik (1994) yang mengemukakan bahwa pemakaian media dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar dan bahkan membawa pengaruh psikologis terhadap siswa. Salah satu media yang efektif yang dapat membantu siswa menemukan berbagai pola berbeda dari jaring-jaring kubus adalah media kubus guling berwarna (disingkat meku-guwa) (Rohim, 2015) dan (Kohar, 2011). Meku-guwa terbuat dari styrofoam yang dibentuk menjadi kubus dan dilapisi kertas berwarna yang berbeda setiap sisinya. Dengan menggunakan satu buah meku-guwa, dapat ditemukan sebelas pola berbeda jaring-jaring kubus. Aturan penggunaan mekuguwa adalah dengan cara menggulingkannya ke segala arah diatas kertas berpetak. Kemudian satu persatu kotak pada kertas berpetak tersebut diwarnai sesuai dengan warna sisi meku-guwa yang berhimpit dengan kertas. Penggunaan meku-guwa dapat melatih kemampuan berpikir kreatif siswa. Sebab dalam menggulingkan meku-guwa ke segala arah, diperlukan kreativitas siswa agar jaring-jaring kubus yang diperoleh nantinya akan bervariasi. Selain dengan penggunaan meku-guwa, agar kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dapat meningkat dan memenuhi indikator berpikir kreatif, diperlukan suatu fasilitas pembelajaran agar siswa dapat memahami konsep bangun ruang kubus dan jaring-jaringnya secara bertahap dan bermakna. Oleh karena setiap siswa

10

didalam kelas memiliki daya nalar dan tingkat berpikir yang berbeda-beda. Agar guru dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa di dalam kelas maka guru harus menyajikan materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Tingkat perkembangan tersebut merupakan dasar dalam membuat learning trajectory atau lintasan belajar. Lintasan belajar sangat berguna bagi guru, khususnya dalam hal menjawab berbagai pertanyaan seperti: apa tujuan pembelajaran yang akan dicapai? bagaimana memulainya? bagaimana langkahlangkah yang akan dilakukan? bagaimana cara mencapai tujuan tersebut? dan sebagainya. Hypothetical learning trajectory terdiri dari tujuan pembelajaran untuk siswa, rencana aktivitas pembelajaran, dan dugaan dari proses pembelajaran di kelas. Menurut

Simonson (2006), pada waktu menyusun dugaan proses

pembelajaran di kelas, guru perlu memprediksi perkembangan pengetahuan matematika dan pemahaman siswa yang mungkin muncul pada waktu kegiatan pembelajaran sesungguhnya. Lintasan belajar dapat memfasilitasi tumbuh-kembangnya kemampuan berpikir kreatif matematis jika dirancang sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Pada saat merancang aktivitas pembelajaran guru perlu membuat dugaan rute perjalanan yang akan ditempuh sehingga memungkinan siswa memunculkan ide atau gagasan kreatifnya. Sebab kemampuan awal siswa di dalam kelas berbeda-beda, sehingga dengan bantuan dugaan lintasan belajar yang dibuat oleh guru diharapkan dapat diikuti oleh seluruh siswa di dalam kelas. Baik oleh siswa yang kemampuannya rendah, sedang, ataupun tinggi. Dengan demikian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dapat dilatih sesuai tujuan pembelajaran yang dibuat oleh guru. Suatu pendekatan pembelajaran sangat diperlukan agar dapat mendukung terciptanya kemampuan berpikir kreatif siswa dengan fasilitas lintasan belajar yang dirancang oleh guru sesuai tingkat berpikir siswa di dalam kelas. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan ialah dengan menggunakan pendekatan

metakognitif.

Metakognisi

merupakan

suatu

istilah

yang

diperkenalkan oleh Flavell pada Tahun 1976 dan menimbulkan banyak perdebatan pada pendefinisiannya. Menurut Livingston (1997) kegiatan metakognitif pada

11

dasarnya merupakan kegiatan ”berpikir tentang berpikir”, yaitu merupakan kegiatan mengontrol secara sadar tentang proses kognitifnya sendiri. Indikator-indikator metakognisi menurut Hacker tergambar dari pengertian metakognisi yang dikemukakannya dalam artikel yang berjudul “Metacognition: Definitions and Empirical Foundations” bahwa metakognisi adalah proses berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri. Wujud dari berpikir dalam pengertian ini adalah: kesadaran tentang apa yang seseorang ketahui (pengetahuan metakognisi), apa yang dilakukan seseorang (keterampilan metakognisi), dan bagaimana keadaan kognitif dan afektif seseorang (pengalaman metakognisi). Dapat dikatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Schoenfield (1987) mengemukakan secara lebih spesifik tiga cara untuk menjelaskan tentang metakognisi dalam pembelajaran matematika, yaitu: (a) keyakinan dan intuisi, (b) pengetahuan, dan (c) kesadaran diri (regulasi diri). Keyakinan dan intuisi menyangkut ide-ide matematika apa saja yang disiapkan untuk memecahkan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut membentuk jalan/cara untuk memecahkan masalah matematika. Pengetahuan tentang proses berpikir menyangkut seberapa akuratnya seseorang dalam menggambar proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran diri atau regulasi diri menyangkut seberapa baiknya seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang harus dilakukan ketika memecahkan masalah dan seberapa baiknya seseorang menggunakan input dari pengamatan untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas pemecahan masalah. Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh kembangnya kemampuan pembelajaran

berpikir kreatif. Oleh

semestinya membiasakan

karena

itu

pelaksanaan

siswa untuk melatih kemampuan

metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal (Muhfida, 2008). Kegiatan metakognitif sangat penting karena dapat melatih siswa untuk berpikir tingkat tinggi serta mampu merencanakan, mengontrol dan merefleksi segala aktivitas berpikir yang telah dilakukan. Adapun aspek aktivitas metakognitif yang dikemukakan oleh Flavell (1976) adalah: (1)

12

kesadaran mengenal informasi, (2) memonitor apa yang mereka ketahui dan bagaimana

mengerjakannya

dengan

mempertanyakan

diri

sendiri

dan

menguraikan dengan kata-kata sendiri untuk simulasi mengerti, (3) regulasi, membandingkan dan membedakan solusi yang lebih memungkinkan Peneliti memandang bahwa pendekatan metakognitif memiliki banyak kelebihan jika digunakan sebagai alternatif pembelajaran matematika untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif pada siswa SMP. Pandangan ini tentu saja berdasar, yakni dengan mengembangkan kesadaran metakognisinya, siswa akan lebih terlatih untuk selalu memikirkan ide-ide kreatif dalam memilih, mengingat, mengenali kembali, mengorganisasi informasi yang diperoleh agar dapat menyelesaikan masalah. Melalui pengembangan kesadaran metakognisi, siswa diharapkan akan terbiasa untuk selalu memonitor, mengontrol dan mengevaluasi apa yang telah dilakukannya. Hal ini tentu saja tidak akan membuat siswa melakukan kesalahan saat melakukan verifikasi, karena siswa dapat dengan sadar mengevaluasinya dengan baik. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Lintasan Belajar Berpikir Kreatif Pada Materi Jaring-jaring Kubus dengan Penerapan Pendekatan Metakognitif Siswa Kelas VIII SMP Swasta Al – Washliyah 1 Medan T.A. 2018/2019” 1.2.

Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat

diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Siswa kurang mampu menyelesaikan soal yang non rutin atau terbuka 2. Siswa dalam menyelesaikan masalah matematika sering menggunakan cara yang sudah ada dan tidak melakukan inovasi untuk menyelesaikan masalah tersebut 3. Kreativitas merupakan hal yang jarang diperhatikan dalam pembelajaran matematika 4. Kemampuan berpikir kreatif siswa masih rendah karena kurangnya kemampuan siswa melakukan verifikasi atas jawaban yang sudah dibuat; belum ada siswa yang menemukan 11 jaring-jaring kubus yang berbeda; indikator berpikir kreatif secara umum belum dipenuhi oleh seluruh siswa; kurangnya pemahaman konsep kubus dan jaring-jaring kubus

13

5. Rendahnya pengembangan kemampuan berpikir kreatif pada pembelajaran matematika di sekolah disebabkan pada umumnya hanya melatih proses berpikir konvergen, terbatas pada penalaran verbal dan pemikiran logis 6. Perlunya membuat lintasan belajar (learning trayectory) dan penggunaan media kubus guling berwarna dalam menemukan 11 pola jaring-jaring kubus agar kemampuan berpikir kreatif siswa dapat meningkat dengan pendekatan metakognitif. 1.3.

Batasan masalah Dari identifikasi masalah di atas, maka peneliti membatasi masalah dalam

penelitian ini pada kemampuan berfikir kreatif matematis, lintasan belajar kreatif dalam pemecahan masalah matematik, dan penerapan pendekatan metakognitif pada materi jaring-jaring kubus. 1.4.

Rumusan masalah Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana tingkat kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelas VIII SMP Al – Washliyah 1 Medan pada materi jaring-jaring kubus dengan menggunakan pendekatan metakognitif? 2. Bagaimana tahapan proses berpikir kreatif siswa kelas VIII SMP Al – Washliyah 1 Medan pada materi jaring-jaring kubus dengan menggunakan pendekatan metakognitif? 3. Bagaimana lintasan belajar berpikir kreatif yang dilalui oleh siswa kelas VIII SMP Al – Washliyah 1 Medan pada materi jaring-jaring kubus dengan menggunakan pendekatan metakognitif? 1.5.

Tujuan penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan lintasan belajar

berpikir kreatif matematis siswa kelas VIII SMP Al – Washliyah 1 Medan melalui penerapan pendekatan metakognisi. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan tingkat kemampuan berpikir kreatif matematika siswa kelas VIII SMP Al – Washliyah 1 Medan dengan menggunakan pendekatan metakognitif 2. Mengetahui tahapan proses berpikir kreatif siswa kelas VIII SMP Al – Washliyah 1 Medan dengan menggunakan pendekatan metakognitif

14

3. Menemukan lintasan belajar kreatif matematis yang dilalui oleh siswa kelas VIII SMP Al – Washliyah 1 Medan dengan menggunakan pendekatan metakognitif 1.6.

Manfaat penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat

sebagai berikut : 1. Bagi guru, dapat menjadikan penelitian ini sebagai pedoman dalam membentuk kemampuan berpikir kreatif siswa melalui pendekatan metakognitif 2. Bagi sekolah, sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan dan penyempurnaan program pembelajaran matematika di sekolah berbasis kreativitas. 3. Bagi penulis, sebagai bahan informasi dan pegangan dalam menjalankan tugas mengajar sebagai calon pendidik di masa yang akan datang. 4. Sebagai bahan informasi bagi pembaca atau peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis. 1.7.

Definisi Operasional Variabel Untuk dapat melaksanakan dan menelusuri variabel-variabel penelitian di lapangan, maka didefinisikan secara operasional sebagai berikut. 1. Kemampuan berpikir kreatif matematis merupakan kemampuan siswa dalam menghasilkan ide atau gagasan yang memiliki nilai fluency, flexibility, orisinil, dan elaboration pada pembelajaran matematika berupa pemahaman mengenai konsep kubus dan jaring-jaring kubus serta mampu menemukan 11 jaring-jaring kubus yang berbeda. Selanjutnya penjelasan mengenai indikator berpikir kreatif matematis yaitu: (1) fluency yaitu mampu menghasilkan lebih dari satu jawaban; (2) flexibility yaitu mencetuskan jawaban yang bervariasi dan tidak ketat aturan; (3) originality yaitu menemukan jawaban yang unik dan bersifat baru (4) elaboration yaitu mengembangkan atau merinci secara detail suatu gagasan menjadi lebih menarik 2. Tahapan proses berpikir kreatif matematis merupakan rute proses berpikir kreatif matematis siswa mulai dari tahap persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi.

15

3. Metakognisi merupakan kesadaran siswa terhadap proses berpikirnya, yakni meliputi kemampuan merefleksi kembali proses berpikirnya untuk menemukan apa yang telah ia peroleh dari hasil berpikir itu dan mengatur proses berpikir tersebut agar dapat menemukan pengetahuan yang belum ia peroleh dari hasil berpikir itu. 4. Pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa yang melibatkan kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir yang dimaksud adalah kemampuan yang dapat mengontrol kesadaran dalam berpikir, merencanakan dan memilih strategi penyelesaian masalah matematika, memonitor strategi yang dipilih, menganalisis efektivitas strategi yang digunakan, dan merubah strategi sesuai kebutuhan. 5. Lintasan belajar (learning trajectory) adalah sederetan aktivitas terurut yang dilalui siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. 6. Lintasan belajar berpikir kreatif pada penerapan pendekatan metakognitif merupakan dugaan terhadap rute (alur) belajar yang dilalui siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan cara melewati setiap tahapan proses berpikir kreatif melalui kegiatan orientasi masalah, merencanakan solusi penyelesaian, memonitoring (mengontrol) solusi yang diperoleh, dan merefleksi (mengevaluasi) solusi yang lebih memungkinkan.

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Pengertian Berpikir Hal yang membedakan antara manusia dan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan berpikir. Dengan kemampuan tersebut manusia dapat membuat peradabannya jauh lebih pesat berkembang. Keterampilan berpikir bukan hanya penting dalam dunia kerja, pendidikan, pelatihan, atau riset. Namun juga sangat penting dimiliki oleh setiap orang dalam menjalani kehidupan. Seseorang perlu

16

berpikir untuk mengetahui apa yang ia butuhkan dalam hidupnya, namun ia juga harus berpikir bagaimana cara agar dapat memenuhi kebutuhan itu. Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2010), istilah ‘thinking’, diartikan “ideas or opinions about something”. Pemikiran itu adalah ide atau opini tentang sesuatu. Contohnya ketika kita tengah berbicara masalah sepakbola, seperti Piala Eropa, orang yang bisa mengemukakan ide atau opini dikategorikan sebagai orang yang sudah berpikir. Lain halnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berpikir diartikan dengan menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Lince (2016 : 207) mengklasifikasikan berpikir kedalam tiga komponen utama, yaitu : (1) think is a cognitive activity that occurs within the mental or a person's mind, not visible, but can be inferred based on observed behavior, (2) thinking is a process that involves multiple manipulations knowledge in cognitive systems. Knowledge stored in the memory together with the information now, so changing one's knowledge of the situation at hand, and (3) the activity of thinking is directed to produce solutions to problems. Komponen pertama yaitu berpikir adalah aktivitas kognitif yang timbul secara internal dalam pikiran tetapi dapat diperkirakan dari perilaku. Maksudnya aktivitas berpikir terjadi di dalam pikiran individu dan hasil berpikir itu dapat terlihat melalui tindakan yang dilakukan setelah aktivitas berpikir dilakukan. Kedua, berpikir juga merupakan sebuah proses yang melibatkan manipulasi berbagai pengetahuan dalam sistem kognitif. Pengetahuan tersimpan di dalam ingatan bersamaan dengan informasi yang sekarang. Dalam kegiatan berpikir, individu dapat mengolah atau mengombinasikan pengetahuan yang telah tersimpan dalam ingatan dengan pengetahuan baru. Dan yang terakhir, aktivitas berpikir dapat mengarah kepada menghasilkan solusi untuk menyelesaikan masalah. Menurut John Dewey (Sudarma, 2013:38): (1) berpikir adalah “stream of consciousness”. Arus kesadaran ini muncul dan hadir setiap hari, mengalir tanpa terkontrol, termasuk di dalamnya yaitu mimpi atau impian, dan lamunan. Hadirnya arus kesadaran tersebut dapat dikategorikan pula sebagai bagian dari proses berpikir. (2) berpikir adalah imajinasi atau kesadaran. Pada umumnya imajinasi ini muncul secara tidak langsung atau tidak bersentuhan langsung dengan sesuatu yang sedang dipikirkan. (3) berpikir semakna dengan keyakinan (believing). Berpikir semakna dengan satu bentuk keyakinan yang dimiliki

17

seseorang sehingga dirinya dapat beropini, berpendapat, atau bertindak seiring keyakinan yang dimaksud. (4) berpikir reflektif adalah rangkaian pemikiran yang terbaik. Dalam berpikir reflektif ini, ada proses memahami masalah, meneliti atau menggali informasi sampai memecahkan masalah. Jenis berpikir ini merupakan karakter yang baik dan perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan atau pembelajaran. Dapat disimpulkan bahwa aktivitas berpikir menurut John Dewey dilakukan secara sadar, dapat berupa imajinasi atau keyakinan, dan mengalir dalam proses memahami masalah sampai pada akhirnya memecahkan masalah. Pendapat tersebut sejalan dengan beberapa pendapat ahli berikut. Tabel 2.1. Definisi Berpikir Menurut Pendapat Ahli

Liputo

Proses berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang disadari

(1996)

dan diarahkan untuk maksud tertentu. Maksud yang mungkin dicapai dari berpikir selain untuk membangun dan memperoleh pengetahuan, juga untuk mengambil keputusan, membuat perencanaan, memecahkan masalah, serta untuk menilai tindakan.

Maxwell

Berpikir sebagai segala aktivitas mental yang membantu

(2004 : 82)

merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi keinginan untuk memahami; sebuah pencarian jawaban, dan sebuah pencapaian makna

Siswono

Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami

(2007)

seseorang apabila ia dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan.

Dari beberapa pengertian berpikir yang dikemukakan oleh pendapat ahli diatas, berpikir diartikan sebagai suatu aktivitas yang terjadi dalam jiwa (mental) individu yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu seperti mengingat, memecahkan

masalah,

mengambil

keputusan,

memahami

sesuatu,

dan

sebagainya. Secara garis besar dapat dibedakan dua macam cara berpikir, yaitu cara berpikir autistik dan berpikir realistik. Berpikir autistik seringkali disebut sebagai mengkhayal, melamun atau berfantasi. Dengan berpikir autistik orang melarikan diri dari kenyataan, melihat hidup sebagai gambar-gambar yang fantastic.

18

Sebaliknya, berpikir realistik disebut sebagai nalar (reasoning), yaitu berpikir secara logis, berdasarkan fakta-fakta yang ada dan menyesuaikan dengan dunia nyata, beserta semua dalil/hukumnya. Proses berpikir manusia memiliki dua ciri utama, yaitu: a. Covert / unobservable (tidak terlihat) Proses berpikir terjadi pada otak manusia dan secara fisik tidak dapat dilihat prosesnya (dalam pengertian pemrosesan informasinya). Sejumlah ahli yang mencoba memantau proses berpikir secara fisik hanya menemukan aktivitas listrik arus lemah dan proses kimiawi pada otak manusia yang sedang berpikir. Dengan demikian, proses pengolahan informasi tak dapat diamati dan dilihat secara fisik maupun secara kimiawi. Pengolahan makna, baik semantic maupun visual bersifat abstrak sehingga tidak dapat dideteks denan panca indera. b. Symbolic (melibatkan manipulasi dan penggunaan simbol) Dalam berpikir, manusia mengolah informasi yang berupa symbol-simbol, (baik simbol verbal maupun visual). Simbol-simbol itu akan memberikan makna pada informasi yang diolah. Contohnya seperti tanda “ = “ , merupakan sebuah simbol yang mengartikan kesetaraan, kata “skripsi” merupakan simbol yang mengilustrasikan suatu karya tulis ilmiah berupa paparan tulisan hasil penelitian yang membahas suatu permasalahan dalam bidang ilmu tertentu dengan aturan yang berlaku, dan lain sebagainya. Hasil dari aktivitas berpikir yang berupa imajinasi, khayalan, mimpi, lamunan, atau keyakinan dilakukan dengan cara berpikir autistik. Sementara hasil dari aktivitas berpikir realistik dapat terlihat melalui pembelajaran matematika misalnya. Seperti contoh ketika siswa diminta untuk menyebutkan benda-benda yang menyerupai kubus dalam kehidupan sehari-hari. Siswa akan menjawab benda-benda seperti box, kardus, bak mandi merupakan benda-benda yang menyerupai kubus. Jawaban tersebut diperoleh siswa melalui ingatan berdasarkan fakta yang ada dan sesuai dengan kehidupan nyata. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan berpikir adalah suatu aktivitas mental yang terjadi dalam diri seseorang baik dalam keadaan sadar maupun dalam bentuk imajinasi yang dapat menghasilkan sebuah ide, gagasan, pendapat, atau dengan maksud untuk

19

memperoleh pengetahuan, mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan mencetuskan ide/gagasan baru. 2.1.2. Kemampuan Berpikir Kreatif Kreativitas berasal dari kata “to create” yang artinya membuat. Dengan kata lain, kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk membuat sesuatu apakah itu dalam bentuk ide, langkah, atau produk. Pada saat akan membuat sesuatu, ada beberapa aspek penting yang menyertainya. Pertama, individu akan mampu menemukan ide untuk membuat sesuatu. Ide yang dihasilkan merupakan ide kreatif yang mampu merangsang orang lain untuk memahami maksud si pembuat dengan mudah dan bahkan mampu mencerahkan pemikiran orang tersebut (Sudarma, 2013 : 9). Hal ini sesuai dengan pendapat Sternberg (2002) yang mengatakan bahwa seseorang yang kreatif adalah seorang yang dapat berpikir secara sintesis artinya dapat melihat hubungan-hubungan di mana orang lain tidak mampu melihatnya yang mempunyai kemampuan untuk menganalisis ide-idenya sendiri serta mengevaluasi nilai ataupun kualitas karya pribadinya, mampu menerjemahkan teori dan hal-hal yang abstrak ke dalam ide-ide praktis, sehingga individu mampu meyakinkan orang lain mengenai ide-ide yang akan dikerjakannya. Kedua, mampu menemukan bahan yang akan digunakan dalam membuat produk tersebut. Ketiga, mampu melaksanakannya dan terakhir, mampu menghasilkannya. Terdapat banyak makna kreativitas yang dikemukakan oleh pendapat ahli yang sangat beragam. Namun apabila orang yang kreatif ditanya mengenai makna dari kreativitas, ia akan mampu mengemukakan pandangan kreatifnya terhadap makna kreativitas itu sendiri. Sehingga apabila makna kreativitas itu dibakukan, akan membekukan kreativitas. Oleh karena itu, bagi orang kreatif definisi mengenai suatu hal akan dapat dimaknainya sendiri secara kreatif pula. Tanpa harus terpaku dengan definisi yang ada, kita dapat memahami definisi kreativitas dari para ahli bidang apa pun untuk dijadikan landasan dalam merumuskan makna kreatif sendiri. Secara garis besar, kita dapat memandang kreativitas kedalam empat aspek, yaitu : 1. Kreativitas dimaknai sebagai sebuah kekuatan atau energi yang ada dalam diri individu 2. Kreativitas dimaknai sebagai sebuah proses 3. Kreativitas adalah sebuah produk

20

4. Kreativitas dimaknai pada individu kreatif itu sendiri Dalam Kamus Besar Psikologi, Chaplin (1999 : 117) menyatakan arti kreatif ialah berkenaan dengan penggunaan atau upaya memfungsikan kemampuan mental produktif dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah, biasanya dengan maksud agar orang mampu menggunakan informasi yang tidak berasal dari pengalaman atau proses belajar secara langsung, akan tetapi berasal dari perluasan konseptual dari sumber-sumber informasi tadi. Sedangkan kreativitas merupakan kemampuan menghasilkan bentuk baru dalam seni, atau dalam permesinan, atau dalam memecahkan masalah dengan metode baru. Hawadi,

dkk

(2001)

mengatakan

bahwa

kreativitas

merupakan

kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk ciri-ciri aptitude maupun nonaptitude, baik dalam karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang semuanya itu relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Pendapat ini terkait dengan pendapat Munandar yang menekankan kreativitas pada kemampuan individu dalam mengolah informasi untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Munandar (2009) mengatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk melihat atau memikirkan hal-hal yang luar biasa, tidak lazim, memadukan informasi yang tampaknya tidak berhubungan dan mencetuskan solusi-solusi baru atau gagasan-gagasan baru yang menunjukkan kefasihan, keluwesan, dan orisinalitas dalam berpikir. Secara umum kreativitas adalah suatu proses upaya manusia atau bangsa untuk membangun dirinya dalam berbagai aspek kehidupannya. Tujuan pembangunan diri itu ialah untuk menikmati kualitas kehidupan yang semakin baik. Menurut Sudarma (2013 : 18), ada tiga dorongan yang menyebabkan orang bisa kreatif, yaitu (1) kebutuhan untuk memiliki sesuatu yang baru, bervariasi dan lebih baik (2) dorongan untuk mengomunikasi nilai dan ide, serta (3) keinginan untuk memecahkan masalah. Torrance menekankan adanya ketekunan, keuletan, kerja keras, jadi tidak tergantung pada inspirasi. Maksudnya bahwa kreativitas membutuhkan proses yang cukup panjang, tidak terhenti pada timbulnya inspirasi belaka. Kreativitas membutuhkan tindakan seperti ketekunan, keuletan, kerja keras agar dapat mewujudkan keinginan. Hal ini bertentangan dengan pendapat

21

Timpe yang menyatakan bahwa kreativitas adalah suatu hal yang halus dan ilusif; ia adalah perpaduan dari imajinasi, visi, kecerdikan, dan inspirasi. (Soesilo, 2014) Perlu disadari bahwa pentingnya perwujudan ide-ide yang kreatif bukan merupakan suatu anugerah yang sifatnya statis, tetapi dapat diajarkan dan dikembangkan. Setiap individu tentu memiliki kreativitas, tetapi tidak semua individu mampu untuk mengasah kreativitas itu dalam kehidupannya. Lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam pembinaan kreativitas peserta didiknya. Dalam bidang pendidikan, guru tidak hanya memberikan pemahamanan mengenai pengetahuan saja, tetapi metode dan proses pembelajaran perlu dirancang sehingga mampu merangsang pengembangan kemampuan kreatif peserta didik. Pengembangan kemampuan berpikir kreatif dapat dilakukan dengan melatih peserta didik untuk memaksimalkan penggunaan otak kiri dan kanannya dalam belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Risnanosanti (2012 : MP-746), kreativitas juga merupakan hasil interaksi dari kedua belahan otak individu, selain itu kreativitas dapat merupakan hasil dari sebuah latihan. Apabila tidak dilatih maka kreativitas tidak dapat berkembang, bahkan bisa menjadi lumpuh. Kreativitas dapat dipandang sebagai produk dari hasil pemikiran atau perilaku manusia dan sebagai proses memikirkan berbagai gagasan dalam menghadapi suatu persoalan. Salah satu alasan mengapa kemampuan berpikir kreatif ini dapat dilatih karena pada dasarnya setiap individu merupakan makhluk yang kreatif. Namun untuk individu yang memiliki kreativitas pasif, butuh penyadaran atau pencerahan untuk membangkitkannya. Hal ini dipertegas oleh Selo Soemardjan (dalam Soesilo, 2014) yang mengatakan bahwa kreativitas merupakan sifat pribadi seorang individu (bukan merupakan sifat sosial yang dihayati masyarakat) dan tercermin dari kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Berdasarkan berbagai pandangan diatas disimpulkan bahwa kreativitas adalah hasil pemikiran yang diperoleh melalui proses berpikir dan menghasilkan sesuatu berupa produk, ide, atau karya yang sifatnya baru bagi diri penciptanya maupun orang lain dan muncul dari pengetahuan, pengalaman, atau interaksi individu dengan lingkungan.

22

Kreativitas sering dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan produk dalam bidang seni. Padahal sebenarnya kreativitas bukan hanya dimiliki oleh para seniman saja, tetapi semua bidang membutuhkan kreativitas. Hal ini disampaikan oleh Pehkonen (1997), kreativitas tidak hanya terjadi pada bidang-bidang tertentu, seperti seni, sastra, atau sains, melainkan juga ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk matematika. Siswono (2007) menjelaskan 6 alasan mengapa pembelajaran matematika perlu menekankan pada kreativitas, yaitu (1) matematika begitu kompleks dan luas untuk diajarkan dengan hafalan, (2) siswa dapat menemukan solusi-solusi yang asli (original) saat memecahkan masalah, (3) guru perlu merespon konstribusi siswa yang asli dan mengejutkan, (4) pembelajaran matematika dengan hafalan dan masalah rutin membuat siswa tidak termotivasi dan mengurangi kemampuannya, (5) keaslian merupakan sesuatu yang perlu diajarkan, seperti membuat pembuktian asli dari teorema-teorema, (6) kehidupan nyata sehari-hari memerlukan matematika, masalah sehari-hari bukan hal rutin yang memerlukan kreativitas dalam menyelesaikannya. Pembahasan mengenai kreativitas dalam matematika lebih ditekankan pada prosesnya, yakni proses berpikir kreatif. Oleh karena itu kreativitas dalam matematika lebih tepat diistilahkan sebagai kemampuan berpikir kreatif matematis. Sebagai contoh dalam pembelajaran matematika, ketika siswa diminta untuk menggambarkan sebuah kubus kemudian memberi nama pada setiap titik sudut kubus, tentu ia akan berpikir berapa ukuran panjang sisi kubus yang akan ia buat dan akan menamai titik sudutnya dengan simbol apa. Ukuran kubus yang digambarkan setiap siswa tentu akan berbeda, begitu pula dengan cara siswa untuk menamainya. Perbedaan ini bukan hanya disebabkan oleh pengetahuan siswa dalam menggambar kubus, tetapi juga merupakan akibat dari kreativitas sehingga dalam menyelesaikan tugas tersebut ditemukan jawaban siswa yang bervariasi. Berpikir kreatif adalah suatu proses memadukan berpikir divergen dan berpikir logis. Berpikir divergen digunakan untuk mencari ide-ide untuk memecahkan suatu masalah sedangkan berpikir logis digunakan untuk memverifikasi ide-ide tersebut menjadi sebuah penyelesaian yang kreatif. Berpikir kreatif merupakan salah satu cara yang dianjurkan untuk dapat mengembangkan kemampuan diri. Kemampuan berpikir kreatif tentu sangat mungkin dapat

23

dikembangkan melalui mata pelajaran di sekolah. Namun permasalahan yang sering dihadapi guru adalah lebih nyaman untuk memberi pelajaran yang menekankan pola berpikir konvergen daripada berpikir divergen. Sehingga peserta didik juga lebih banyak menggunakan cara berpikir konvergen, karena guru sering tidak menghargai pendapat peserta didik apabila memiliki jawaban yang berbeda dengan yang diberikan guru. Menurut Huda (2011) berpikir kreatif adalah suatu pemikiran yang berusaha menciptakan gagasan baru dan membangun ide atau pemikiran yang baru. McGregor (2007 : 168), berpikir kreatif adalah berpikir yang mengarah pada pemerolehan wawasan baru, pendekatan baru, perspektif baru, atau cara baru dalam memahami sesuatu. Munandar (2009) mendefinisikan berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk melihat atau memikirkan hal-hal yang luar biasa, tidak lazim, memadukan informasi yang tampaknya tidak berhubungan dan mencetuskan solusi atau gagasan baru. Berbeda dengan Grieshober (2004) yang mendefinisikan berpikir kreatif sebagai proses konstruksi ide yang menekankan pada aspek kelancaran, keluwesan, kebaruan, dan keterincian. Berpikir kreatif melibatkan kemampuan untuk menemukan sesuatu yang baru atau asli. Hal tersebut melibatkan keterampilan yang memiliki fleksibilitas, orisinalitas, kefasihan, elaborasi, curah gagasan (brainstorning), modifikasi, berkhayal, pemikiran asosiatif, daftar atribut, dan berpikir metaforis. Tujuan dari berpikir kreatif adalah untuk merangsang keingintahuan dan merangsang berpikir divergen. Alasan tersebut mendorong anggapan untuk mengelompokan berpikir kreatif dalam kategori keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) (King, 1997). Hal ini juga disampaikan oleh Presseisen (1996: 31) menyebutkan bahwa yang termasuk kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan pemecahan masalah (problem solving), pengambilan keputusan (decision making), berpikir kreatif (creative thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Menurut Harris (2000) terdapat tiga aspek kemampuan berpikir kreatif, yaitu kesuksesan, efisiensi, dan koherensi. Kesuksesan berkaitan dengan kesesuaian solusi dengan masalah yang diselesaikan. Efisiensi berkaitan dengan kepraktisan strategi penyelesaian masalah. Sedangkan aspek koherensi berkaitan dengan kesatuan atau keutuhan ide atau solusi. Ide yang koheren adalah ide yang

24

terorganisasi dengan baik, holistis, sinergis, dan estetis. Sementara Mann (2005) mengidentifikasi aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif matematis, yaitu kelancaran, keluwesan, keaslian, elaborasi, dan sensitivitas. Menurut Alvino (1990 : 50), kreatif adalah melakukan suatu kegiatan yang ditandai oleh empat komponen, yaitu : fluency (menurunkan banyak ide), flexibility (mengubah perspektif dengan mudah), originality (menyusun sesuatu yang baru), dan elaboration (mengembangkan ide lain dari suatu ide). Berbeda dengan Martin (2009) yang mengemukakan tiga aspek kemampuan berpikir kreatif, yaitu produktivitas, originalitas atau keaslian, dan fleksibilitas atau keluwesan. Produktivitas berkaitan dengan banyaknya hasil karya yang dihasilkan. Originalitas berkaitan dengan suatu hasil karya yang berbeda dengan hasil karya serupa di sekitarnya. Fleksibilitas merujuk pada kemauan untuk memodifikasi keyakinan berdasarkan informasi baru. Seseorang yang tidak berpikir fleksibel tidak mudah mengubah ide atau pandangan meskipun ia mengetahui terdapat kontradiksi antara ide yang dimiliki dengan ide baru. Secara khusus ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif berdasarkan aptitude-nya antara lain: 1.

Keterampilan berpikir lancar, didefinisikan sebagai berikut: (a) Mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan, (b) memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal, (c) Selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Ciri-ciri perilaku individu yang memiliki keterampilan berpikir lancar sebagai berikut : a. Mengajukan pertanyaan b. Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan c. Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah d. Bekerja lebih cepat dan melakukan lebih banyak dibandingkan orang

2.

lain e. Dapat dengan cepat melihat kekurangan pada suatu objek atau situasi Keterampilan berpikir luwes (fleksibel), didefinisikan sebagai berikut: (a) Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi (b) Dapat melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda (c) Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda (d) mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran. Adapun ciri-ciri perilaku bagi individu yang memiliki keterampilan berpikir luwes (fleksibel) sebagai berikut :

25

a. Memberikan aneka ragam penggunaan yang tidak lazim terhadap suatu objek b. Memberikan macam-macam penafsiran (interpretasi) terhadap suatu gambar, cerita, atau masalah c. Menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang berbeda-beda d. Memberikan pertimbangan terhadap situasi yang berbeda dari yang diberikan orang lain e. Dalam membahas atau mendiskusikan suatu situasi selalu mempunyai posisi yang berbeda atau bertentangan dengan mayoritas kelompok f. Jika diberi suatu masalah biasanya memikirkan macam-macam cara yang berbeda untuk memecahkannya g. Menggolongkan hal-hal menurut pembagian (kategori yang berbeda-

3.

beda) h. Mampu mengubah arah berpikir Keterampilan berpikir rasional, didefinisikan sebagai berikut: (a) Mampu melahirkan ungkapan baru dan unik (b) Memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri (c) Mampu membuat kombinasi-kombinasi dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Ciri-ciri perilaku individu yang memiliki keterampilan berpikir rasional sebagai berikut : a. Memikirkan masalah atau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan orang lain b. Mempertanyakan cara-cara yang lama dan berusaha untuk memikirkan cara baru c. Memiliki cara berpikir yang lain daripada yang lain d. Mencari pendekatan yang baru daripada stereotif e. Setelah membaca dan mendengarkan gagasan, bekerja untuk

4.

menemukan penyelesaian yang baru Keterampilan memerinci atau mengelaborasi, didefinisikan sebagai berikut: (a) Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk, (b) Menambahkan atau memperinci detail dari suatu objek, gagasan, atau situasi sehingga lebih menarik. Adapun ciri-ciri perilaku bagi individu yang memiliki keterampilan memerinci atau mengelaborasi sebagai berikut : a. Memberikan pertimbangan atas dasar sudut pandangnya sendiri b. Menemukan pendapatnya sendiri atas suatu hal c. Menganalisa suatu masalah atau penyelesaian secara kritis dengan selalu menanyakan “mengapa”

26

d. Mempunyai

alasan

yang

dapat

dipertanggungjawabkan

untuk

mencapai suatu keputusan e. Merencanakan suatu rencana kerja dari gagasan yang tercetus f. Pada waktu tertentu tidak menghasilkan gagasan, tetapi menjadi peneliti atau penilai yang kritis g. Menentukan pendapat dan bertahan terhadapnya (Soesilo, 2014:36) Guilford (1971) menyebutkan lima indikator berpikir kreatif yaitu kepekaan (problem sensitivity), kelancaraan (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), dan elaborasi (elaboration). Menurut Purwanto (2008) bahwa tes kemampuan berpikir kreatif yang dikembangkan oleh Guilford mengacu pada operasi, konten, dan produk dengan jawaban yang diinterpretasikan pada kelancaran, keluwesan, dan keaslian. Lain halnya dengan Siswono (2005) yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan siswa dalam memahami masalah dan menemukan penyelesaian dengan strategi atau metode yang bervariasi (divergen). Livne (2008) juga mengatakan berpikir kreatif matematis merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan solusi bervariasi yang bersifat baru terhadap masalah matematika yang bersifat terbuka. Krutetski (1976) mendefinisikan kemampuan berpikir kreatif matematis sebagai kemampuan menemukan solusi masalah matematika secara mudah dan fleksibel. Berdasarkan uraian diatas, dalam penelitian ini dikemukakan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis merupakan kemampuan siswa dalam menghasilkan ide atau gagasan yang memiliki nilai fluency, flexibility, orisinil, dan elaboration pada pembelajaran matematika berupa : pemahaman mengenai konsep kubus dan jaring-jaring kubus serta mampu menemukan 11 jaring-jaring kubus yang bervariasi. Selanjutnya penjelasan mengenai indikator berpikir kreatif matematis yaitu: (1) fluency yaitu mampu menghasilkan lebih dari satu jawaban; (2) flexibility yaitu mencetuskan atau memberikan banyak ide dalam menyelesaikan masalah; (3) originality yaitu menemukan jawaban yang unik dan bersifat baru (4) elaboration yaitu mengembangkan atau merinci secara detail suatu gagasan. 2.1.3. Tingkat Kemampuan Berpikir Kreatif Telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif. Namun tingkat kreativitasnya berbeda-beda. Hal ini dibuktikan oleh terciptanya

27

suatu karya mengagumkan hasil pemikiran orang-orang kreatif seperti Imam Syafi”i, Thomas Alfa Edison, Nadiem Makarim, dan sebagainya. Hurlock (1999) mengatakan kreativitas memiliki berbagai tingkatan sebagaimana mereka memiliki

berbagai

tingkatan

kecerdasan.

Karena

kreativitas

merupakan

perwujudan dari proses berpikir kreatif, maka berpikir kreatif juga mempunyai tingkat atau level. Beberapa ahli telah melakukan penelitian tentang penjenjangan atau tingkat berpikir kreatif seperti Krulik & Rudnick, De Bono, dan Gotoh. Krulik & Rudnick (1995) menyebutkan bahwa penalaran merupakan bagian dari berpikir yang tingkatnya di atas pengingatan (recall). Dalam penalaran dikategorikan dalam berpikir dasar (basic), berpikir kritis (critical) dan berpikir kreatif. Tingkat terendah dari berpikir adalah ingatan (recall) yang memasukkan keterampilan-keterampilan berpikir yang hampir otomatis dan refleksif (tanpa disadari). Tingkat berikutnya adalah dasar (basic), yaitu pemahaman dan pengenalan konsep-konsep matematika seperti penjumlahan atau pengurangan dan aplikasinya dalam masalah-masalah. Tingkat berikutnya adalah berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan berpikir yang melibatkan menguji, menghubungkan dan mengevaluasi semua aspek sebuah situasi atau masalah. Termasuk dalamnya adalah

mengumpulkan,

mengorganisasikan,

mengingat

dan

menganalisis

informasi. Tingkat tertinggi adalah berpikir kreatif. Berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat keaslian dan reflektif dan menghasilkan suatu produk yang komplek. Berpikir tersebut melibatkan sintesis ide-ide, membangun ide-ide baru dan menentukan efektivitasnya. Juga melibatkan kemampuan untuk membuat keputusan dan menghasilkan produk yang baru. De Bono (dalam Barak & Doppelt, 2000) mendefinisikan 4 tingkat pencapaian dari perkembangan keterampilan berpikir kreatif yaitu kesadaran berpikir, observasi berpikir, strategi berpikir dan refleksi berpikir. Tabel 2.2. Tingkat Berpikir Kreatif dari De Bono Level 1: Awareness of Thinking General awareness of thinking as a skill. Willingness to think about something. Willingness to investigate a particular subject. Willingness to listen to others. Level 2: Observation of Thinking Observation of the implications of action and choice, consideration of peers’

28

points view, comparison of alternative. Level 3: Thinking strategy. Intentional use of a number of thinking tools, organization of thinking as a sequence of steps. Reinforcing the sense of purpose in thinking. Level 4: Reflection on thinking. Structured use of tools, clear awareness of reflective thinking, assesment of thinking by thinker himself. Planning thinking tasks and methods to perform them. Sumber: Siswono (2007:4) Pada level 1 merupakan tingkat berpikir kreatif yang rendah, karena hanya mengekspresikan terutama kesadaran siswa terhadap keperluan menyelesaikan tugasnya saja. Sedangkan level 2 menunjukkan berpikir kreatif yang lebih tinggi karena siswa harus menunjukkan bagaimana mereka mengamati sebuah implikasi pilihannya, seperti penggunaan komponen-komponen khusus atau algoritmaalgoritma pemrograman. Level 3 merupakan tingkat yang lebih tinggi berikutnya karena siswa harus memilih suatu strategi dan mengkoordinasikan antara bermacam-macam penjelasan dalam tugasnya. Mereka harus memutuskan bagaimana tingkat detail yang diinginkan dan bagaimana menyajikan urutan tindakan atau kondisi logis dari sistem tindakan. Level 4 merupakan tingkat tertinggi karena siswa harus menguji sifat-sifat produk final membandingkan dengan sekumpulan tujuan. Menjelaskan simpulan terhadap keberhasilan atau kesulitan selama proses pengembangan, dan memberi saran untuk meningkatkan perencanaan dan proses konstruksi. Sementara itu, Gotoh (2004) mengungkapkan tingkat berpikir matematis dalam memecahkan masalah terdiri atas 3 tingkat yang dinamakan aktivitas empiris (informal), algoritmis (formal), dan konstruktif (kreatif). Tabel 2.3. Tingkat Berpikir Matematis dari Gotoh Stage 1: Emperical (informal) activity. In this stage, some kind of tecnical or practical application of mathematical rules and procedures are used to solve problems without a certain kind of awareness. Stage 2: The algoritmic (formal) activity. In this stage, mathematical techniques are used explicitly for carrying out mathematical operations, calculating, manipulating and solving. Stage 3: The constructive (creative) activity.

29

In this stage, a non-algoritmic decision making is performed to solve non-routine problem such as a problem of finding and constructing some rule. Sumber : Siswono (2007:4) Dalam tingkat pertama, berbagai teknik atau aplikasi praktis dari aturan dan prosedur matematis digunakan untuk memecahkan masalah tanpa suatu kesadaran yang pasti/tertentu, sehingga masih dalam coba-coba. Dalam tingkat kedua, teknik-teknik matematis digunakan secara eksplisit untuk menuju operasi, penghitungan, manipulasi dan penyelesaian masalah. Sedang pada tingkat ketiga, pengambilan keputusan yang non algoritmis ditunjukan dalam memecahkan masalah non rutin seperti suatu masalah penemuan dan pengkonstruksian beberapa aturan. Dalam penelitian ini akan diukur tingkar berpikir kreatif siswa menggunakan

penjenjangan

tingkat

kemampuan

berpikir

kreatif

yang

dikemukakan oleh Siswono. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siswono (2010) diperoleh tingkat kemampuan berpikir kreatif (TKBK) terdiri dari 5 tingkat yaitu TKBK 4 (sangat kreatif), TKBK 3 (kreatif), TKBK 2 (cukup kreatif), TKBK 1 (kurang kreatif), dan TKBK 0 (tidak kreatif). Berikut penjelasan mengenai tingkat kemampuan berpikir kreatif pada Tabel 2.4. berikut. Tabel 2.4. Tingkat Kemampuan Berpikir Kreatif TKBK Tingkat 4 (Sangat Kreatif) Tingkat 3 (Kreatif)

Keterangan Siswa mampu menyelesaikan suatu masalah dengan lebih dari satu alternatif jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat masalah yang berbeda-beda dengan lancar (fasih) dan fleksibel. Siswa mampu menunjukkan suatu jawaban yang baru dengan cara penyelesaian yang berbeda (fleksibel) meskipun tidak fasih atau membuat berbagai jawaban yang baru meskipun tidak dengan cara yang berbeda (tidak fleksibel). Selain itu, siswa dapat membuat masalah yang berbeda dengan lancar (fasih) meskipun jawaban masalah tunggal atau membuat masalah yang baru dengan jawaban divergen.

30

Tingkat 2 (Cukup Kreatif)

Siswa mampu membuat satu jawaban atau masalah yang berbeda dari kebiasaan umum meskipun tidak dengan fleksibel atau fasih, atau mampu menunjukkan berbagai cara penyelesaian yang berbeda dengan fasih meskipun jawaban yang dihasilkan tidak

Tingkat 1 (Kurang Kreatif)

baru. Siswa tidak mampu membuat jawaban atau membuat masalah yang berbeda (baru), meskipun salah satu kondisi berikut dipenuhi, yaitu cara penyelesaian yang dibuat berbeda-beda (fleksibel) atau jawaban/masalah yang dibuat beragam (fasih).

Tingkat 0 (Tidak Kreatif)

Siswa tidak mampu membuat alternatif jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat masalah yang berbeda dengan lancar (fasih) dan fleksibel. Sumber : Modifikasi dari Siswono (2010:9)

2.1.4. Tahapan Proses Berpikir Kreatif Ide mengenai tahapan berpikir kreatif dikembangkan oleh Krulik dan Rudnick meliputi tahapan mensintesis ide-ide, membangkitkan atau membangun (generating) ide-ide, dan menerapkan ide-ide tersebut. Siswono (2007) juga mengembangkan tahapan berpikir kreatif. Tahap berpikir kreatif meliputi tahap mensintesis ide, membangun ide, merencanakan penerapan ide, menerapkan ide. Mensintesis ide artinya menjalin atau memadukan ide-ide (gagasan) yang dimiliki yang dapat bersumber dari pembelajaran di kelas maupun pengalamannya sehari-hari. Membangun ide artinya memunculkan ide-ide yang berkaitan dengan masalah yang diberikan sebagai hasil dari proses sintesis ide sebelumnya. Merencanakan penerapan ide artinya memilih suatu ide tertentu untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah yang diberikan atau yang ingin diselesaikan. Menerapkan ide artinya mengimplementasikan atau menggunakan ide yang direncanakan untuk menyelesaikan masalah. Proses kreatif menurut Petty (dalam Soesilo, 2014:70) dijelaskan melalui 6 tahap, yang seringkali disebut ICEDIP. Disingkat ICEDIP karena terdiri dari tahap inspirasi

(inspiration),

tahap

klarifikasi

(clarification),,

tahap

distalasi

(distillation), perspirasi (perspiration), evaluasi (evaluation), dan inkubasi (incubation). Berikut penjelasannya :

31

1. Tahap inspirasi menekankan pengumpulan gagasan sebanyak-banyaknya. Individu atau kelompok diharapkan berani mengeluarkan pendapat tanpa takut adanya suatu kesalahan meskipun memiliki resiko akibat gagasan yang dimunculkan. Gagasan yang bagus tidak harus merupakan sesuatu yang benar-benar baru atau tidak pernah ada sebelumnya. Ciri proses ini ialah spontanitas, eksperimentasi, intuisi, dan ambil resiko. Tahap ini tidak perlu mengkhawatirkan bentuk, kepraktisan, irama, atau kualitas. 2. Tahap klarifikasi sebagai tahap yang memfokuskan pada sasaran/tujuan. Berbagai gagasan yang ditemukan pada tahap inspirasi tidak semuanya dapat digunakan untuk mewujudkan tujuan, namun harus dipilih yang paling sesuai. 3. Tahap distilasi menekankan pada memeriksa gagasan yang telah dihasilkan dan mencoba untuk menentukan strategi yang akan dikerjakan. Tahap ini merupakan tahap berpikir kritis yang memerlukan analisis dan penilaian. Gagasan dari tahap inspirasi disaring, yang sesuai dengan tujuan dipilih dan dikembangkan. 4. Tahap perspirasi menekankan pada pengerjaan gagasan yang terbaik, yakni mengimplementasikan gagasan yang sudah dipilih. 5. Tahap evaluasi merupakan tahap dimana melihat keberhasilan dari suatu pekerjaan berdasarkan tujuan semula. Dalam tahap ini individu memeriksa kekuatan dan kelemahan pekerjaan yang dilakukan. Tahap evaluasi dan perspirasi dapat terjadi secara bergantian membentuk sebuah siklus. Setelah evaluasi, individu dapat melanjutkan pekerjaannya untuk memperbaiki hasil pekerjaannya. 6. Tahap inkubasi menekankan untuk meninggalkan pekerjaan meskipun terkadang masih mempertimbangkannya. Pada tahap ini menekankan adanya kondisi mengistirahatkan diri dengan menjauhkan pikiran dari pekerjaan tersebut. Tak jauh berbeda dengan perspektif teori Wallas (1926), proses kreatif meliputi 4 (empat) tahap, yaitu : persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Hanya saja Wallas tidak menjelaskan apakah tahap-tahap tersebut harus diikuti secara berurutan dari tahap pertama ke tahap kedua dan seterusnya, ataukah bisa tanpa berurutan. 1.

Tahap persiapan

32

Tahap persiapan merupakan tahap seseorang mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan mempelajarinya, mencari jawaban, bertanya kepada orang lain. Pada tahap ini proses kreativitas adalah mengumpulkan informasi dan data yang relevan serta mencari pendekatan untuk menyelesaikan masalah atau menghasilkan pemikiran kreatif. Tahap persiapan ini sangat penting dilalui siswa, sebab ide yang muncul pada tahap ini sangat mungkin diperoleh melalui buku atau referensi yang ditemukan.. Selain itu kegiatan bertanya dengan orang lain atau guru di sekolah juga dapat mempengaruhi munculnya ide kreatif. Yakni penjelasan atau penyampaian materi dari guru atau melalui teman sejawat yang lebih dulu telah memahami materi yang terkait pemecahan masalah. Sebagai contoh, siswa diminta oleh guru untuk mengubah bentuk kotak kapur yang diketahui merupakan bangun ruang menjadi bentuk bangun datar. Hal ini bertujuan agar siswa belajar bagaimana menemukan jaring-jaring kotak tersebut. Dalam benaknya siswa akan bertanya-tanya bagaimana mungkin mengubah bentuk kotak yang memiliki ruang (berdimensi tiga) menjadi bangun datar yang tidak memiliki ruang (berdimensi dua). Hal yang dapat dilakukan siswa ialah bertanya kepada guru langkah apa yang dapat dilakukan agar persoalan tersebut bisa diselesaikan. Siswa juga akan mempelajari konsep materi pelajaran yang dapat mendukung tercapainya solusi pemecahan masalah melalui berbagai referensi. Beberapa tindakan yang disebutkan diatas merupakan langkah persiapan siswa untuk menyelesaikan masalah. Tahap persiapan ini sangat penting dilewati siswa dalam proses berpikir kreatif. Sebab tahap persiapan ini dapat pula diartikan sebagai kesiapan siswa dalam menemukan ide-ide yang kreatif. Apabila siswa mempersiapkan segala hal yang dapat mendukung kelancaran menemukan ide kreatif dengan baik, tentu akan memperoleh hasil yang baik pula. Seperti yang dikemukakan oleh Soejanto (1991 : 5) kesiapan diri siswa sangat penting untuk meraih keberhasilan dalam kegiatan belajar. Keberhasilan siswa melakukan kesiapan sebelum mengikuti pelajaran dapat menentukan kesuksesan siswa dalam belajar. 2.

Tahap inkubasi

33

Tahap inkubasi adalah tahap dimana pengumpulan informasi dihentikan, individu seakan-akan melepaskan diri untuk sementara dari masalah tersebut, dalam arti seseorang tidak memikirkan masalahnya secara sadar, tetapi “menggeramnya” dalam alam pra sadar. Selama masa ini, otak terus bekerja untuk mencari solusi dari permasalahan yang sedang dipikirkan. Hal ini dapat dipahami akibat kejenuhan memikirkan suatu persoalan justru membuat seseorang tidak dapat menemukan solusi yang tepat untuk mengatasinya, bahkan bisa membuat putus asa. Sebaliknya, ketika pikiran sedang jernih dalam kondisi relax, justru akan menemukan ide yang tidak terduga untuk mengatasi masalah tersebut. Kelanjutan dari contoh yang disajikan pada bagian tahap persiapan diatas, maka pada tahap inkubasi ini siswa akan sejenak berhenti memikirkan cara-cara yang mungkin dilakukan agar dapat mengubah kotak kapur menjadi bentuk bangun datar. Namun di bawah alam prasadarnya, pikiran siswa tersebut tetap bekerja untuk menemukan cara yang tepat. Siswa pada tahap ini lebih banyak merenung, terdiam, atau melakukan aktivitas yang kadang tidak berhubungan dengan aktivitas memecahkan masalah. Tahap inkubasi ini sangat penting dilewati dalam tahap proses berpikir kreatif. Hal ini dikemukakan oleh Posner (1973) yang menyatakan bahwa tahap inkubasi dapat membebaskan kita dari pikiran melelahkan akibat proses memecahkan masalah. Melupakan masalah yang berat untuk sementara waktu dapat membantu kita menemukan ide-ide baru yang lebih sesuai untuk memecahkan masalah tersebut. Menghentikan proses pemecahan masalah dapat membantu kita menyusun kembali pemikiran kita terhadap masalah yang sedang dihadapi. 3. Tahap iluminasi Tahap iluminasi adalah tahap timbulnya “insight”, saat timbulnya inspirasi dan gagasan baru serta proses psikologi yang mengawali munculnya inspirasi baru. Pada tahap ini, gagasan yang muncul dapat berupa gagasan kunci yang memberi arah kepada pemecahan permasalahan, tetapi bukan pemecahan yang sempurna dari persoalan yang dihadapi. Diharapkan pada suatu moment setelah melewati masa inkubasi akan ditemukan jalan keluar untuk mengatasi masalah.

34

Sebab tidak jarang seseorang menemukan suatu solusi atas masalahnya ketika sedang beristirahat atau melakukan kegiatan lain. Kelanjutan pada contoh diatas, diharapkan siswa pada tahap ini menemukan ide atau gagasan kunci yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. Pada tahap ini siswa telah menemukan cara untuk mengubah kotak menjadi sebuah bangun datar, yakni dengan cara menggunting kotak tersebut mengikuti rusuk-rusuknya tanpa ada bagian kotak yang terlepas. Sehingga akan diperoleh sebuah bangun datar yang berdimensi dua. Namun siswa belum sepenuhnya yakin dengan solusi tersebut. Sehingga ia perlu memeriksa apakah ide yang diperolehnya itu benar atau tidak. Proses berpikir kreatif siswa berlanjut ke tahap verifikasi atau evaluasi untuk berpikir secara konvergen terhadap solusi yang ditemukan. 4. Tahap verifikasi atau evaluasi, Tahap verifikasi atau evaluasi yaitu tahap dimana ide atau kreasi baru tersebut harus diuji terhadap realitas. Pada tahap ini, inspirasi yang muncul dikembangkan dan diuji secara kritis. Penyeleksian dari berbagai alternatif solusi yang ditemukan untuk mencetuskan ide kreatif perlu dilakukan. Oleh karena itu perlu alasan yang tepat untuk memilih ide kreatif yang tepat pula. Kajian kritis rasional merupakan ciri pokok tahap ini dan pemikiran divergen masuk pada pemikiran konvergen yang bersifat analistis. Hingga yang muncul adalah ide kreatif yang telah teruji secara rasional. Kajian kritis juga dapat dimaknai bahwa seseorang yang telah berada pada tahap verifikasi melakukan pengkajian ulang terhadap ide kreatif yang diperoleh pada tahap berpikir kreatif sebelumnya untuk menguji kebenaran ide kreatif yang dihasilkan. Artinya proses yang dilalui seseorang pada tahap ini adalah melakukan metakognisi, yaitu berpikir tentang apa yang telah dipikirkan. Berkenaan dengan contoh pada tahap sebelumnya, dalam tahap ini siswa akan menguji apakah benar dengan cara menggunting kotak mengikuti rusukrusuknya kotak yang berdimensi tiga itu dapat berubah menjadi bangun datar yang berdimensi dua. Setelah memastikan cara tersebut dapat digunakan sebagai alternatif pemecahan masalah, maka siswa akan mencoba menerapkannya. Dalam menggunting kotak kapur tersebut mengikuti rusuk-rusuknya tanpa ada bagian

35

yang terlepas, akan membuat siswa yang satu dengan yang lain berbeda-beda dalam memulai rusuk mana yang lebih dulu akan digunting. Apabila siswa mampu memulainya dengan rusuk yang berbeda-beda, tentu akan menghasilkan hasil bangun datar yang berbeda pula. Kemampuan siswa ini memiliki nilai flexibility (luwes), yaitu dikatakan siswa mampu menemukan banyak cara atau pendekatan yang berbeda dalam menggunting kotak mengikuti rusuk-rusuknya. Dengan cara yang berbeda-beda, tentu akan menghasilkan bentuk bangun datar hasil bukaan dari kotak tersebut berbeda pula. Apabila siswa mampu menemukan bangun datar dengan bentuk yang bervariasi artinya siswa lancar dalam mencetuskan banyak jawaban. Dengan kata lain nilai fluency (kelancaran) pada indikator berpikir kreatif telah dicapai oleh siswa. Selanjutnya apabila terdapat hasil bangun datar yang dibuat oleh siswa memiliki nilai kebaruan, atau dapat dikatakan belum pernah ditemukan, maka jawaban siswa tersebut memiliki nilai originality. Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini tahap berpikir kreatif dirujuk berdasarkan Teori Wallas yang terdiri atas empat tahap, yaitu persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. 2.1.5. Strategi Berpikir Kreatif Kreativitas merupakan suatu keterampilan, artinya setiap individu yang berusaha untuk menjadi kreatif dan ia mau melakukan latihan-latihan yang benar maka ia akan menjadi kreatif. Kreativitas bukanlah sekedar bakat yang dimiliki oleh individu tertentu saja, semua individu memiliki hak dan peluang untuk menjadi kreatif. Kunci untuk menjadi kreatif adalah yakin bahwa kita berpotensi untuk menjadi kreatif, dan berikutnya adalah berpikir secara kreatif dari masalah yang sederhana menuju yang lebih kompleks secara bertahap. Seperti yang dikemukakan oleh Herman (2008) bahwa tidak ada orang yang sama sekali tidak memiliki kreativitas, seperti halnya tidak ada seorang pun manusia yang intelegensinya nol, meskipun potensi kreativitas orang-orang dapat berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Seseorang dapat menjadi kreatif dengan melatih diri untuk berpikir kreatif. Ada empat langkah penting dalam melatih berpikir kreatif yakni: 1) dalam berpikir jangan mudah puas dan jangan

36

menerima apa adanya 2) jangan terpaku pada satu cara 3) pertajam rasa ingin tahu 4) perlu latihan otak. Berbeda dengan Langrehr (2006) yang mengatakan bahwa untuk melatih berpikir kreatif siswa harus didorong untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal berikut : (1) Membuat kombinasi dari beberapa bagian sehingga terbentuk hal yang baru; (2) Menggunakan ciri-ciri acak dari suatu benda sehingga terjadi perubahan dari desain yang sudah ada menjadi desain yang baru; (3) Mengeliminasi suatu bagian dari sesuatu hal sehingga diperoleh sesuatu hal yang baru; (4) Memikirkan kegunaan alternatif dari sesuatu hal sehingga diperoleh kegunaan yang baru; (5) Menyusun ide-ide yang berlawanan dengan ide-ide yang sudah biasa digunakan orang sehingga diperoleh ide-ide baru; (6) Menentukan kegunaan bentuk ekstrim dari suatu benda sehingga ditemukan fungsi baru dari benda itu. Teknik berpikir kreatif akan menunjukkan cara menghasilkan ide dan solusi kreatif yang dibutuhkan dalam kehidupan. Jika

seseorang dapat

mengorganisasi pikiran dengan strategi berpikir kreatif, ia akan belajar melihat apa yang tidak dilihat orang lain dan memikirkan yang tidak dipikirkan oleh orang lain. Beberapa cara yang dapat dilakukan agar dapat melatih kemampuan berpikir kreatif yaitu : 1. Berpikir Analogi Istilah analogi mengandung arti “sama” atau “serupa”. Lebih tepatnya istilah analogi ini mengandung makna: (1) berkenaan dengan persamaan atau persesuaian dari dua hal yang berlainan (2) sifat memilih persamaan dalam bentuk, susunan, atau fungsi dari dua hal yang berbeda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa analogi adalah proses kognitif dengan cara mentransfer informasi atau makna dari suatu subjek tertentu (analog atau sumber) ke topik tertentu (target). Dalam berpikir analogi terdapat tiga aspek penting yang harus ada, yaitu aspek sumber, kesamaan, dan aspek target. Sumber analogi harus dipahami oleh kita sebagai pembuat analogi dan orang lain. Target analogi dipilih yang berkaitan dengan masalah yang membutuhkan penyelesaian. Diantara sumber analogi dan target analogi, harus ada aspek kesamaan diantara keduanya. Pola pikir analogi tidak bisa dilakukan bila tidak mengembangkan pola pikir yang logis atau rasional. Kreativitas kita dalam membuat analogi, akan

37

beriringan dengan kemampuan logis kita dalam membuat analogi tersebut. Berpikir analogi merupakan modal penting dalam mengembangkan kreativitas. 2. Berpikir Lateral Pada tahun 1970-an, Dwi Suryanto mengatakan bahwa Edward de Bono mengubah persepsi orang tentang kreativitas dengan konsepnya Lateral Thinking. Pada dasarnya otak tidak didesain untuk kreatif. Namun dengan penerapan tools dari Lateral Thinking Tools otak dapat dilatih untuk bergerak menyamping dari pola yang sudah ada. Akibatnya ini akan membuka persepsi, konsep, dan gagasangagasan baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tercantum makna lateral yaitu “posisi yang menunjukkan bahwa letaknya ada di bagian sisi”. Sementara istilah kolateral mengandung makna “sejalan, berdampingan, sejajar, atau dikatakan tentang garis famili yang mempunyai asal-usul. Dengan memerhatikan makna dasar tersebut, dapat disederhanakan berpikir lateral adalah tradisi berpikir yang bervariasi dan memiliki kualitas sejajar. Berpikir lateral digunakan dan dikembangkan sebagai alat berpikir yang dirancang untuk memperluas pola pikir, karakter berpikir, atau jalur berpikir dari pola pikir yang sudah ada sebelumnya. James Darmawan saat mengulas pemikiran de Bono mengatakan bahwa berpikir lateral adalah cara berpikir yang berusaha mencari solusi melalui metode yang tidak umum, atau sebuah cara yang biasanya akan diabaikan oleh pemikiran logis. Pola pikir ini dikelompokkan sebagai pola pikir produktif, yakni alat berpikir yang membantu seseorang untuk memproduksi ide-ide kreatif. Dalam pandangan de Bono, ada enam karakter berpikir paralel/lateral ini, yaitu : (1) Mencari fakta yang dapat dipastikan kebenarannya, (2) Mengambil keputusan yang lebih dipengaruhi aspek emosi atau perasaan (3) Berpikir kritis, (4) Berpikir produktif, yakni berusaha untuk mencari alternatif, gagasan konstruktif, atau solusi (5) Berpikir moderatoris, yakni mengatur dan mengarahkan karakter berpikir sebelumnya. 3. Berpikir Mengembang Kita dapat mengembangkan kreativitas berpikir dengan model berpikir mengembang. Berpikir mengembang (divergent thinking) dimaksudkan untuk menunjukkan kemampuan seseorang dalam meluaskan pemahaman, pengertian, atau analisis. Berpikir mengembang dapat dikatakan sebagai upaya meluaskan kajian atau bahasan ke arah luar. Pengetahuan awal digunakan sebagai pijakan

38

untuk mendapatkan pengetahuan berikutnya. Irma Damajanti (2006 : 52) mengemukakan ada tiga ciri dari orang yang mampu berpikir mengembang, yakni kelancaran, kelenturan, dan memiliki orisinalitas. Berdasarkan pertimbangan itu, menurut Guillford mengatakan bahwa ciri dari orang kreatif itu memiliki kemampuan dalam berpikir mengembang (divergen). 4. Berpikir Kombinasi Kreatif dengan pendekatan kombinatif adalah upaya memanfaatkan berbagai hal yang sudah ada untuk mendapatkan hal-hal baru. Pola pikir ini menarik dan dapat merangsang pikiran-pikiran baru dalam membuat produk, ide, atau memecahkan masalah. Dalam mengkombinasi ide, salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan model kotak ide yang akan digunakan sebagai bahan dasar melakukan kombinasi pemikiran menuju suatu produk baru. Pada model kotak ini, kita dituntut mendata seluruh ide yang terpikir sehingga terbentuklah bank data. Selanjutnya kita melakukan penyilangan kombinasi antara satu ide dengan ide lainnya yang pada akhirnya akan membentuk kreasi yang baru. (Sudarma, 2013) 2.1.6. Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Dalam pembelajaran tentu dibutuhkan penilaian atau evaluasi. Guru perlu melakukan hal tersebut untuk mengukur seberapa besar kemampuan yang telah dicapai peserta didiknya setelah pembelajaran dilakukan. Begitu pula dengan kemampuan berpikir kreatif peserta didik, guru perlu untuk mengukurnya agar dapat melakukan tindak lanjut terhadap hasil pengukuran tersebut. Menurut Worthington (2006), mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa dapat dilakukan dengan cara mengeksplorasi hasil kerja siswa yang merepresentasikan proses berpikir kreatifnya. Sementara menurut McGregor (2007), mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa dapat pula dilakukan dengan mendasarkan pada apa yang dikomunikasikan siswa, secara verbal maupun tertulis. Apa yang dikomunikasikan siswa tersebut dapat berupa hasil kerja siswa terkait tugas, penyelesaian masalah, atau jawaban lisan terhadap pertanyaan guru. Beberapa ahli telah mengembangkan instrumen untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis, seperti Balka dan Torrance. Balka mengembangkan instrumen Creative Ability Mathematical Test (CAMT) dan Torrance mengembangkan instrumen Torrance Tests of Creative Thinking (TTCT)

39

(Silver, 1997). Kedua instrumen ini berupa tugas membuat soal matematika berdasarkan informasi yang terdapat pada soal terkait situasi sehari-hari yang diberikan. Park (2004) berpendapat bahwa untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis salah satunya dengan memberikan tugas membuat sejumlah pertanyaan atau pernyataan berdasarkan informasi pada soal-soal yang diberikan. Soal-soal yang diberikan tersebut disajikan dalam bentuk narasi, grafik, atau diagram. Silver (1997) mengemukakan cara lain untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis, yakni dengan soal terbuka (open-ended problem). Menurut Livne (2008) soal terbuka (open-ended problem) adalah soal yang memiliki beragam jawaban. Dalam hal ini, aspek-aspek yang diukur adalah kelancaran, keluwesan, dan kebaruan, dan keterincian. Berikut contoh soal terbuka pada materi kubus yang dapat mengukur kemampuan berfikir kreatif matematis siswa: Perhatikan gambar kubus tertutup ABCD.EFGH berikut ini! Apabila kubus tersebut digunting menurut rusuk-rusuknya tanpa ada bagian yang terlepas, ada berapa banyak jaringjaring kubus yang terbentuk apabila rusuk EH, FG, AD, dan BC harus digunting? Pada soal diatas, ada beberapa variasi jaring-jaring kubus yang dapat dibuat dengan menggunting rusuk EH, FG, AD, dan BC. Dengan banyaknya variasi jaring-jaring tersebut, diharapkan dapat melatih kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Karena siswa diharuskan untuk memikirkan cara yang berbeda dalam menggunting rusuk lain agar diperoleh jaring-jaring kubus yang bervariasi. Dalam penelitian ini, untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa digunakan soal terbuka yang dirancang dalam Lembar Aktivitas Siswa berdasarkan dugaan lintasan belajar yang dapat membantu siswa menyelesaikan masalah pada soal. 2.1.7. Pengertian Metakognisi Kemampuan berpikir kreatif matematis tidak dapat dimiliki siswa jika hanya sekedar menghafal materi pelajaran, namun siswa perlu memahami konsep pelajaran. Konsep materi pelajaran ini dapat lebih mudah dipahami oleh siswa

40

apabila ia menyadari tentang proses berpikirnya ketika memahami konsep tersebut. Contohnya ketika siswa mempelajari bangun ruang kubus. Apabila siswa memiliki kesadaran untuk memikirkan apa itu bangun ruang kubus, maka siswa akan tahu sejauh mana ia telah mengetahui sifat-sifat kubus, hal-hal apa yang belum ia ketahui, dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut. Kesadaran siswa dalam menggunakan pemikirannya untuk merencanakan, mengontrol, dan menilai proses dan strategi kognitifnya disebut metakognisi. Metakognisi dapat memantau tahap berpikir siswa agar dapat merefleksi cara dan hasil berpikirnya. Siswa akan sadar tentang proses berpikirnya dan mengevaluasi diri sendiri terhadap hasil proses berpikirnya itu, sehingga hal tersebut akan memudahkan siswa dalam melahirkan ide-ide kreatif yang teruji secara rasional. Metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell, seorang psikologi dari Universitas Stanford pada sekitar tahun 1976. John Flavell (1976) mendefinisikan metakognisi sebagai kesadaran siswa, pertimbangan, dan pengkontrolan terhadap proses serta strategi kognitif milik dirinya. Metakognisi secara etimologi berasal dari dua kata yaitu meta dan kognisi (cognition). Istilah meta berasal dari bahasa Yunani yang diterjemahkan dengan after, beyond, with, adjacent adalah sesuatu yang digunakan dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan suatu abstraksi dari suatu konsep. Sedangkan cognition berarti mengetahui (to know) dan mengenal (to recognize). Kognisi disebut juga gejala-gejala pengenalan, merupakan “the act or process of knowing including both awareness and judgement” (Kuntjojo, 2009). Pengertian metakognisi yang lebih menekankan pada proses berpikir diungkapkan oleh Wilson dan Clarke (2004) yang mengatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran siswa akan proses berpikirnya, mengecek kembali proses berpikirnya,

dan

mengatur

proses

berpikirnya.

Selanjutnya

Wilson

mengungkapkan bahwa kesadaran berpikir seseorang dapat diamati. Sehingga tingkat kesadaran berpikir siswa dapat diamati pada langkah-langkah yang dilakukannya dalam menyelesaikan suatu masalah. Weinert dan Kluwe (1987) menyatakan bahwa metakognisi adalah second-order cognition yang memiliki arti berpikir tentang berpikir, pengetahuan tentang pengetahuan, atau refleksi tentang tindakan-tindakan. Erat kaitannya dengan pembelajaran, Schraw & Dennison (1994) mengungkapkan bahwa “metacognition refers to the ability to reflect upon,

41

understand, and control one’s learning”. Metakognisi mengarah pada kemampuan untuk merefleksikan tentang memahami dan mengontrol belajar seseorang. Lebih rinci Suherman, et al (2003) menjelaskan metakognisi merupakan suatu kemampuan untuk menyadari apa yang siswa ketahui tentang dirinya sebagai pembelajar, sehingga dapat mengontrol serta menyesuaikan perilakunya secara optimal. Pendapat tersebut sejalan dengan Weinstein & Mayer (1986) yang menyebutkan bahwa metakognisi berhubungan dengan kesadaran diri siswa terhadap kemampuannya dalam area pembelajaran tertentu. Siswa mengevaluasi performanya dalam pembelajaran dan mencoba memperbaikinya dengan cara yang lebih baik. Dengan memiliki kesadaran untuk mengontrol aktivitas belajarnya, maka siswa akan mengetahui kemajuan yang telah ia capai begitu pula dengan kekurangannya, dan siswa akan dapat meningkatkan kemampuannya pada kegiatan pembelajaran yang akan datang. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa metakognisi merupakan kesadaran siswa terhadap proses berpikirnya dan mampu merefleksi kembali proses berpikirnya untuk menemukan apa yang telah ia peroleh dari hasil berpikir itu kemudian mengatur proses berpikir tersebut agar dapat menemukan pengetahuan yang belum ia peroleh dari hasil berpikir itu. 2.1.8. Aspek-aspek Metakognisi Pendekatan pembelajaran metakognitif meliputi beberapa komponen menurut Elawar (1995) yakni: a. Introductory Discussion, yakni menanamkan kesadaran kepada siswa suatu proses bagaimana merancang, memonitor dan mengevaluasi aktifitas yang dilakukan untuk menentukan solusi dari suatu permasalahan dengan cara memfokuskan pertanyaan pada pemahaman masalah. b. Independent Work, yaitu pengembangan hubungan antara pengetahuan yang lalu dan sekarang, serta penggunaan strategi penyelesaian masalah yang tepat. c. Conclussion,

yakni

merefleksikan

proses

dan

solusi

untuk

menyimpulkan apa yang telah dilakukan dan pengetahuan baru apa yang diperoleh.

42

Flavel (1976) menjelaskan bahwa pendekatan metakognitif memiliki dua aspek penting yaitu metacognitive knowledge (kesadaran seseorang akan pengetahuan diri sendiri) dan metacognitive regulation (kemampuan seseorang untuk mengelola proses berpikir sendiri). Aspek aktivitas metakognitif yang dikemukakan oleh Flavell adalah: (1) kesadaran mengenal informasi, (2) memonitor apa yang mereka ketahui dan bagaimana mengerjakannya dengan mempertanyakan diri sendiri dan menguraikan dengan kata-kata sendiri untuk simulasi mengerti, (3) regulasi, membandingkan dan membedakan solusi yang lebih memungkinkan. Metakognitif meliputi dua komponen yaitu pengetahuan metakognitif (metakognitive knowledge); dan pengalaman/regulasi metakognitif (metakognitive experience or regulation) atau disebut juga strategi metakognitif (Livingston, 1997). Lebih rinci Biryukov (2003) mengemukakan bahwa konsep metakognisi merupakan dugaan pemikiran seseorang tentang pemikirannya yang meliputi pengetahuan metakognitif (kesadaran seseorang tentang apa yang diketahuinya), keterampilan

metakognitif

(kesadaran

seseorang

tentang

sesuatu

yang

dilakukannya) dan pengalaman metakognitif (kesadaran seseorang tentang kemampuan kognitif yang dimilikinya). Berikut penjelasan aspek-aspek metakognisi: a. Pengetahuan Metakognisi Pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan tentang kesadaran berfikir sendiri dan pengetahuan tentang kapan dan di mana menggunakan strategi. Pengetahuan metakognisi mengacu pada pengetahuan seseorang tentang kognisinya sendiri dan kognisi secara umum dalam memori jangka panjang (Christoph, 2006). Woolfolk (1995) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat dua komponen terpisah yang terkandung dalam pengetahuan metakognisi, yaitu pengetahuan deklaratif dan prosedural tentang keterampilan, strategi, dan sumber yang diperlukan untuk melakukan suatu tugas. Mengetahui apa yang dilakukan, bagaimana melakukannya, mengetahui prasyarat untuk meyakinkan kelengkapan tugas tersebut, dan mengetahui kapan melakukannya. Lebih rinci Schraw and Moshman (1995) mengungkapkan bahwa pengetahuan metakognisi dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu pengetahuan deklaratif (mengetahui apa), pengetahuan

43

prosedural (mengetahui bagaimana) dan pengetahuan kondisional (mengetahui kapan dan mengapa) . Pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pebelajar serta pengetahuan tentang strategi, keterampilan dan sumber-sumber belajar yang dibutuhkannya untuk keperluan belajar. Dengan kata lain pengetahuan deklaratif menyangkut pengetahuan faktual yang dimiliki siswa tentang proses kognitifnya. Pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan segala sesuatu yang telah diketahui dalam pengetahuan deklaratif dalam aktivitas belajarnya. Pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan siswa tentang bagaimana menerapkan strategi untuk mencapai tujuan kognitif. Pengetahuan kondisional yaitu pengetahuan tentang menggunakan suatu prosedur, keterampilan, atau strategi dan bilamana hal-hal tersebut tidak digunakan, mengapa suatu prosedur berlangsung dan dalam kondisi yang bagaimana berlangsungnya, dan mengapa suatu prosedur lebih baik daripada prosedur-prosedur yang lain. Pengetahuan kondisional menyangkut pengetahuan tentang kapan dan mengapa menerapkan berbagai jenis strategi pemecahan masalah. Anderson & Krathwol (2001) menyatakan bahwa pengetahuan strategi seperti pengetahuan prosedural adalah alat untuk membantu siswa dalam membangun pemahaman yang kuat terhadap suatu masalah yang diberikan. Sebagai contoh, siswa diberikan persoalan tentang jaring-jaring kubus seperti berikut: Dari gambar bangun datar berikut, manakah yang merupakan jaring-jaring kubus?

A B C D Dalam memahami soal diatas, pengetahuan deklaratif siswa dapat terlihat ketika siswa mengajukan pertanyaan pada diri sendiri apakah siswa telah mengetahui ciri-ciri jaring-jaring kubus dan strategi yang dapat digunakan untuk memperoleh jawaban dari soal tersebut. Siswa dapat menentukan mana yang merupakan jaring-jaring kubus dengan menentukan salah satu sisi rangkaian tersebut sebagai bidang alas (AL). Setelah itu dapat ditentukan bidang-bidang: atas (AT), kanan (KA), kiri (KI), depan (D), dan belakang (B). Jika tidak ada sisi

44

yang berimpit maka rangkaian enam persegi tersebut merupakan suatu jaringjaring kubus.

Hal ini merupakan wujud dari pengetahuan prosedural yang

dimiliki siswa. Namun siswa harus dapat memberikan alasan mengapa cara tersebut dapat digunakan sebagai strategi penyelasaian masalah, ini termasuk pengetahuan kondisional. Flavell (1976) menegaskan bahwa pengetahuan metakognisi merupakan pengetahuan yang diperoleh siswa tentang proses-proses kognitif yaitu pengetahuan yang bisa digunakan untuk mengontrol proses-proses kognitif. Flavell sendiri membagi pengetahuan metakognitif menjadi tiga kategori : (1) Pengetahuan tentang variabel-variabel personal yang berkaitan dengan pengetahuan bagaimana siswa belajar dan memproses informasi serta pengetahuan tentang proses-proses belajar yang dimilikinya. (2) Pengetahuan tentang variabel-variabel tugas, melibatkan pengetahuan tentang sifat tugas dan jenis pemrosesan yang harus dilakukan dalam menyelesaikan tugas itu. Dengan kata lain pengetahuan ini menyangkut pengetahuan bahwa tugas-tugas yang berbeda menuntut pendekatan serta jenis keterampilan yang berbeda pula untuk menyelesaikannya. (3) Pengetahuan tentang variabel-variabel strategi melibatkan pengetahuan kapan dan bagaimana penerapan strategi-strategi itu. Dengan pengetahuan strategi, seseorang mengetahui strategi metakognitif mana yang akan digunakan dan kapan digunakan dalam rangka penyelesaian suatu rangkaian tugas. Pengetahuan strategi membantu pebelajar menjadi efisien dan efektif dengan memberikan cara untuk menyeleksi strategi metakognitif yang paling memadai untuk mencapai tujuannya. b. Keterampilan Metakognisi Metakognisi memiliki peranan penting dalam mengatur dan mengontrol proses kognitif seseorang dalam belajar dan berpikir. Jika siswa memahami keterampilan metakognisi yang dimilikinya maka siswa tersebut dapat dengan baik menyelesaikan masalah matematika lebih sistematis, analitis, dan efisien. Brown (1983) mengemukakan bahwa proses atau keterampilan metakognitif memerlukan operasi mental khusus yang dengannya seseorang dapat memeriksa, merencanakan, mengatur, memantau, memprediksi, dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri.

45

Beberapa indikator yang digunakan dalam keterampilan metakognisi ditunjukkan oleh Tabel 2.5 berikut: Tabel 2.5 Indikator Keterampilan Metakognisi No Level Metakognitif Sublevel Metakognitif 1. Menyadari proses  Menyatakan tujuan  Mengetahui tentang apa dan bagaimana berpikir dan mampu  Menyadari bahwa tugas yang diberikan menggambarkannya membutuhkan banyak referensi  Menyadari kemampuan sendiri dalam

2.

Mengembangkan pengenalan strategi berpikir

3.

Merefleksi prosedur secara evaluatif

4.

Metransfer

   

mengerjakan tugas Mengidentifikasi informasi Merancang apa yang akan dipelajari Memikirkan tujuan yang telah ditetapkan Mengelaborasi informasi dari berbagai



sumber Mengetahui



meningkatkan pemahaman Memikirkan bagaimana

  

memikirkan tugas Menilai pencapaian tujuan Menyusun dan menginterpretasi data Mengatasi hambatan dalam pemecahan



masalah Mengidentifikasi sumber-sumber kesalahan



dari data yang diperoleh Menggunakan prosedur/cara yang berbeda



untuk penyelesaian masalah yang sama Menggunakan prosedur/cara yang sama untuk



penyelesaian masalah lain Mengembangkan prosedur/cara



masalah yang sama Mengaplikasikan pengalamannya pada situasi

 

yang baru Menganalisis kompleksnya masalah Menyeleksi informasi penting



digunakan dalam pemecahan masalah Memikirkan proses berpikirnya selama

pengalaman pengetahuan pada konteks lain

5.

Menghubungkan pemahaman konseptual pengalaman prosedural

dengan

bahwa

pemecahan masalah

strategi

elaborasi

orang

lain

untuk

yang

46

Sumber : (Iskandar, 2014:16) Seseorang yang memiliki keterampilan metakognitif adalah seseorang yang memiliki kemampuan menyusun strategi yang efektif, mengontrol strategi kognitif, memotivasi diri, memiliki kepercayaan diri yang baik serta kemandirian belajar (Nindiasari, 2013). Siswa mengetahui dengan baik segala kekurangannya dalam belajar dan berusaha untuk menyempurnakan kekurangan itu dengan memotivasi diri agar terus belajar. Erat kaitannya dengan keberhasilan pembelajaran, keterampilan metakognitif dalam diri siswa perlu dimunculkan agar siswa dapat mencapai tujuan kognitif secara maksimal tetapi tidak melupakan proses kognitif yang dilaluinya. c. Pengalaman Metakognisi (Regulasi Metakognisi) Regulasi metakognisi mengacu pada aktivitas siswa dalam mengarahkan belajarnya dan proses pemecahan masalah (Christoph, 2006). Pengalaman metakognitif melibatkan penggunaan strategi metakognitif. Strategi metakognitif adalah proses sekuensial untuk mengontrol aktivitas kognitif dan memastikan bahwa tujuan kognitif telah dipenuhi. Strategi yang dapat digunakan untuk mengontrol

langkah-langkah

metakognisi

meliputi:

proses

perencanaan,

pemantauan, dan penilaian. Menurut Schraw & Moshman (1995) ada tiga komponen pengalaman metakognitif yaitu perencanaan, evaluasi, dan pemantauan. Perencanaan meliputi menetapkan tujuan, mengaktifkan sumber daya yang relevan (termasuk waktu anggaran) dan memilih strategi yang tepat. Evaluasi adalah menentukan tingkat pemahaman seseorang dan bagaimana memilih strategi yang tepat. Pemantauan melibatkan memeriksa kemajuan seseorang dan memilih strategi perbaikan yang tepat ketika strategi yang dipilih tidak bekerja. Tidak jauh berbeda, menurut Flavell (1976) metakognisi membantu untuk mengatur dan mengawasi belajar siswa yang terdiri dari: (1) perencanaan (planning), yaitu kemampuan merencanakan aktivitas belajarnya; (2) strategi mengelola informasi (information management strategies), yaitu kemampuan strategi mengelola informasi berkenaan dengan proses belajar yang dilakukan; (3) memonitor secara komprehensif (comprehension monitoring), yaitu kemampuan dalam memonitor proses belajarnya dan hal-hal yang berhubungan dengan proses; (4) strategi debugging (debugging strategies), yaitu strategi yang digunakan untuk membetulkan tindakan-tindakan yang salah dalam belajar; dan (5) evaluasi

47

(evaluation), yaitu mengevaluasi efektivitas strategi belajar, apakah ia akan mengubah strategi, menyerah pada keadaan, atau mengakhiri kegiatan tersebut. NCREL (1995) mengidentifikasi proses metakognisi menjadi tiga kelompok. 1. Mengembangkan rencana tindakan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut. a. Pengetahuan awal apakah yang akan menolong saya mengerjakan tugastugas? b. Dengan cara apakah saya mengarahkan pikiran saya? c. Pertama kali saya harus melakukan apa? d. Mengapa saya membaca bagian ini? e. Berapa lama saya menyelesaikan tugas ini? 2. Memantau rencana tindakan, meliputi pertanyaan-pertanyaan berikut. a. Bagaimana saya melakukan tindakan? b. Apakah saya berada pada jalur yang benar? c. Bagaimana seharusnya saya melakukan? d. Informasi apakah yang penting untuk diingat? e. Haruskah saya melakukan dengan cara berbeda? f. Haruskah saya menyesuaikan langkah-langkah tindakan dengan tingkat kesukaran? g. Jika tidak memahami, apakah yang perlu dilakukan? 3. Mengevaluasi rencana tindakan, meliputi pertanyaan-pertanyaan berikut. a. Seberapa baik saya telah melakukan tindakan? b. Apakah cara berpikir saya menghasilkan sesuai dengan harapan saya? c. Apakah saya telah melakukan secara berbeda? d. Bagaimana saya menerapkan cara berpikir ini terhadap masalah yang lain? e. Apakah saya perlu kembali mengerjakan tugas ini untuk mengisi kekosongan pemahaman saya? Dengan melakukan kegiatan bertanya pada diri sendiri dapat membantu siswa menyadari proses berpikir dan apa yang telah dilakukannya. Sehingga apabila keterampilan menyadari apa yang telah dipikirkan ini dilatih secara kontinu, dapat berimplikasi positif pada perkembangan kognitif siswa.

48

2.1.9. Pendekatan Metakognitif Dalam banyak kasus tidak semua siswa memiliki kesadaran tentang memikirkan apa yang telah ia peroleh selama proses pembelajaran. Guru harus dapat menumbuhkan kesadaran siswa dalam melakukan aktivitas pembelajaran sehingga siswa tidak hanya memiliki keterampilan melakukan sesuatu tetapi harus memahami mengapa aktivitas itu dilakukan dan apa implikasinya. Guru tidak hanya memberikan penekanan pada pencapaian tujuan kognitif saja tetapi juga harus

memperhatikan

dimensi

proses

kognitif,

khususnya

pengetahuan

metakognitif dan keterampilan metakognitif. Proses pembelajaran matematika harus dapat melibatkan proses dan aktivitas

berpikir

siswa secara aktif dengan mengembangkan

perilaku

metakognitif. Salah satunya dengan menerapkan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif. Pendekatan adalah jalan atau arah yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran dilihat bagaimana materi itu disajikan. Dilihat dari pendekatannya, terdapat dua jenis pendekatan pembelajaran, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Pendekatan metakognitif ini merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Sebab difokuskan kepada proses berpikir siswa yang selanjutnya siswa tersebut mampu untuk mengontrol dan mengevaluasi proses berpikirnya. Suzana (2004: B4-3) mendefinisikan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif sebagai pembelajaran yang menanamkan kesadaran bagaimana merancang, memonitor, serta mengontrol tentang apa yang mereka ketahui; apa yang diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana melakukannya. Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif menitikberatkan pada aktivitas belajar siswa, membantu dan membimbing siswa jika ada kesulitan, serta membantu siswa untuk mengembangkan konsep diri apa yang dilakukan saat belajar matematika. Pendapat tersebut sejalan dengan Halter (2013) yang menyatakan bahwa pendekatan

metakognitif

dapat

mengontrol

kesadaran

dalam

belajar,

merencanakan dan memilih strategi, memonitor kemajuan belajar, mengoreksi kesalahan, menganalisis efektivitas strategi belajar, dan merubah tingkah laku

49

belajar dan strategi sesuai kebutuhan. Kim (1998) mengungkapkan bahwa pendekatan metakognitif melibatkan kemampuan berpikir dalam menentukan strategi, merencanakan, menetapkan tujuan, mengatur ide-ide, dan mengevaluasi apa yang diketahui dan tidak diketahui. Lebih lanjut Kim juga mengatakan bahwa pendekatan metakognitif membuat proses berpikir lebih terlihat. Ada dua konteks yang mesti dipahami agar siswa mampu belajar secara baik dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan keterampilan metakognitif, yaitu siswa dapat memahami dan menggunakan strategi kognitif dan strategi kognitif metakognitif selama proses pembelajaran berlangsung. Menurut Hartono (Nindiasari, 2004), pengertian strategi kognitif adalah penggunaan keterampilan-keterampilan intelektual secara tepat oleh seseorang dalam mengorganisasi aturan-aturan ketika menanggapi dan menyelesaikan soal, sedangkan strategi kognitif metakognitif adalah mengontrol seluruh aktivitas belajarnya, bila perlu memodifikasi strategi yang biasa digunakan untuk mencapai tujuan. Bila diterapkan dalam belajar, anak bertanya pada dirinya sendiri untuk menguji pemahamannya tentang materi yang dipelajari. Kegiatan-kegiatan metakognitif dalam pembelajaran muncul melalui empat situasi, yaitu: (1) siswa diminta untuk menjustifikasi suatu kesimpulan atau mempertahankan sanggahan; (2) situasi kognitif dalam menghadapi suatu masalah membuka peluang untuk merumuskan pertanyaan; (3) siswa diminta untuk membuat kesimpulan, pertimbangan dan keputusan yang benar sehingga diperlukan kehati-hatian dalam memantau dan mengatur proses kognitifnya; dan (4) situasi siswa dalam kegiatan kognitif mengalami kesulitan, misalnya dalam pemecahan masalah. Pendekatan metakognitif memiliki ciri utama yaitu guru menyadarkan kemampuan metakognitif siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan metakognitif berisi pemahaman masalah, perencanaan penyelesaian masalah dan meriview hasil penyelesaian masalah (Nindiasari, 2013). Pertanyaan metakognitif adalah pertanyaan-pertanyaan yang di dalamnya terdapat tiga jenis pertanyaan yaitu pertanyaan pemahaman, pertanyaan koneksi dan pertanyaan strategi (Masni, 2015). Dengan pengajuan pertanyaan metakognitif, siswa akan mampu memantau

50

proses berpikirnya sehingga secara tidak langsung siswa telah mampu mengembangkan pengaturan diri (self regulation). Menurut Murni (2013), kegiatan guru dalam menumbuhkan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan: (1) Guru sebagai fasilitator yang mendukung dan membantu siswa agar dapat mengontrol proses dan aktivitas berpikirnya, memilih strategi pemecahan masalah, melakukan evaluasi diri, melakukan refleksi diri, dan tidah mudah menyerah, (2) Bersama siswa mengecek kebenaran jawaban siswa dan memberi penghargaan, (3) Meminta siswa menuliskan catatan harian tentang pengalaman mengikuti pembelajaran, (4) Memodelkan perilaku metakognitif dalam pembelajaran. Selanjutnya kegiatan siswa dapat dilakukan dengan hal-hal berikut: (1) Mengontrol proses berpikir tentang pengetahuan dan strategi pemecahan masalah, (2) Menyatakan proses berpikir dalam diskusi, (3) Membuat rencana kegiatan belajar seperti mengatur waktu, bahan ajar, prosedur pemecahan masalah dan sebagainya, (4) Membuat catatan harian, (5) Mengevaluasi keberhasilan aktivitas pembelajaran. Hargrove (2007) mengatakan bahwa metakognisi sebagai pengetahuan tentang regulasi proses kognitif diri sendiri merupakan penyaluran yang logis untuk mengembangkan pemecahan masalah secara kreatif di kelas. (Hargrove, 2007) juga menyarankan bahwa panduan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dapat meningkatkan potensi siswa untuk berpikir kreatif. Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh kembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Penggunaan proses metakognitif selama pembelajaran, akan membantu siswa agar mampu memperoleh pembelajaran yang bertahan lama dalam ingatan dan pemahaman siswa. Pendekatan keterampilan metakognitif sangat baik diterapkan dalam proses pembelajaran di kelas, karena dengan penerapan pendekatan ini terdapat pengaruh strategi metakognitif terhadap keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Hal ini dibuktikan bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa yang memiliki strategi metakognitif tinggi ada perbedaan yang signifikan secara statistik dengan siswa yang memiliki strategi metakognitif rendah (Iskandar, 2014 : 16). Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi termasuk didalamnya

51

kemampuan

berpikir

kreatif.

Dengan

memilih

pendekatan

metakognitif

diharapkan guru dapat membimbing peserta didik untuk menyadari alur berpikirnya dan mengontrol proses kognitifnya, sehingga kemampuan berpikir kreatif siswa dapat meningkat. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan metakognitif merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa yang dapat mengontrol kesadaran dalam belajar, merencanakan dan memilih strategi, memonitor kemajuan belajar, menganalisis efektivitas strategi belajar, dan merubah strategi belajar sesuai kebutuhan. 2.1.10. Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif Guru dapat menerapkan pendekatan keterampilan metakognitif yang terdiri dari: 1) penetapan tujuan pembelajaran; 2) bagaimana cara mencapai tujuan; 3) pengecekan apakah tujuan sudah tercapai, apabila belum tercapai bagaimana cara mengatasinya; dan 4) evaluasi menyeluruh. Dengan menerapkan keterampilan metakognitif maka siswa diharapkan dapat mengontrol proses konstruk pengetahuan (Iskandar dan Fitriyah, 2013). Secara lebih rinci prosedur pembelajaran dengan pendekatan metakognitif yang diadopsi dan dikombinasikan antara model Mayer dan metode IMPROVE (dalam Fauzi, 2010:9 ) adalah dengan menyajikan proses pembelajaran dalam tiga tahapan, yaitu : 1. Tahap pertama adalah diskusi awal a. Pada tahap ini guru, menjelaskan tujuan umum mengenai topik yang akan dan sedang dipelajari. b. Guru membentuk kelompok belajar yang terdiri dari 4-5 siswa, kemudian setiap siswa menerima bahan ajar berupa Lembar Aktivitas Siswa (LAS). Proses penanaman konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaanpertanyaan yang tertera dalam bahan ajar tersebut. Kesalahan siswa dalam memahami konsep, diminimalisir dengan intervensi guru dengan membimbing siswa untuk memahami konsep tanpa memberikan bentuk akhir begitu saja. c. Siswa dibimbing untuk menanamkan kesadaran dengan bertanya pada diri sendiri saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bahan ajar untuk menemukan konsep dasar atau mengantarkan ke konsep baru.

52

d. Pada akhir proses pemahaman konsep, diharapkan siswa dapat memahami semua materi pelajaran dan menyadari akan apa yang telah dilakukannya, bagaimana melakukannya, bagian mana yang belum di pahami, pertanyaan seperti apa yang belum terjawab, bagaimana cara menemukan solusi dengan berbagai cara dari pertanyaan tersebut. 2. Tahap kedua adalah siswa bekerja secara mandiri berlatih mengajukan dan menjawab pertanyaan metakognisinya dalam menyelesaikan masalah matematis. a. Siswa diberikan persoalan dengan topik yang sama dan mengerjakannya secara individual. b. Guru memantau pekerjaan siswa dan memberi feedback secara interpersonal kepada siswa. Feedback metakognitif akan menuntun siswa untuk memusatkan perhatiannya pada kesalahan yang ia lakukan dan memberi petunjuk agar siswa dapat mengoreksi kesalahannya tersebut. c. Guru membantu siswa mengawasi cara berpikirnya, tidak hanya memberikan jawaban benar ketika siswa membuat kesalahan. 3. Tahap ketiga adalah membuat simpulan atas apa yang dilakukan di kelas dengan menjawab pertanyaan. a. Mendiskusikan jawaban yang dibuat siswa dengan teman sekelompoknya, apakah jawabannya sudah benar, diskusikan permasalahan di depan kelas (permasalahan yang dianggap guru penting). Hal ini diperlukan untuk memperkaya dan mendalami lebih jauh tentang topik yang dikaji, bisa dikategorikan untuk mengembangkan berpikir kreatif siswa yang sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah matematis. b. Penyimpulan yang dilakukan siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang dilakukan di kelas. Pada tahap ini siswa menyimpulkan sendiri dan guru membimbing

dengan

memberi

pertanyaan-pertanyaan

menggiring

(promting questions) atau pertanyaan-pertanyaan menggali (probing questions) sehingga siswa menyadari akan kemampuan kognitif yang dimilikinya. 2.1.11. Tingkat-tingkat Metakognisi Untuk meningkatkan keterampilan metakognisi diperlukan adanya kesadaran yang harus dimiliki siswa pada setiap langkah berpikirnya. Namun setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menghadapi

53

masalah. Berikut ini tingkat kesadaran siswa dalam berpikir ketika menyelesaikan suatu masalah oleh Swartz dan Perkins (1989), yaitu: 1. Tacit use adalah penggunaan pemikiran tanpa kesadaran. Jenis pemikiran yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tanpa berpikir tentang keputusan tersebut. Dalam hal ini, siswa menerapkan strategi atau keterampilan tanpa kesadaran khusus atau melalui coba-coba dan asal menjawab dalam memecahkan masalah. 2. Aware use adalah penggunaan pemikiran dengan kesadaran. Jenis pemikiran yang berkaitan dengan kesadaran siswa mengenai apa dan mengapa siswa melakukan pemikiran tersebut. Dalam hal ini, siswa menyadari bahwa ia harus menggunakan suatu langkah penyelesaian masalah dengan memberikan penjelasan mengapa ia memilih penggunaan langkah tersebut. 3. Strategic use adalah penggunaan pemikiran yang bersifat strategis. Jenis pemikiran yang berkaitan dengan pengaturan individu dalam proses berpikirnya secara sadar dengan menggunakan strategi-strategi khusus yang dapat meningkatkan ketepatan berpikirnya. Dalam hal ini, siswa sadar dan mampu menyeleksi strategi atau keterampilan khusus untuk menyelesaikan masalah. 4. Reflective use adalah penggunaan pemikiran yang bersifat reflektif. Jenis pemikiran yang berkaitan dengan refleksi individu dalam proses berpikirnya sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses berlangsung dengan mempertimbangkan kelanjutan dan perbaikan hasil pemikirannya. Dalam hal ini, siswa menyadari dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan dalam langkah-langkah penyelesaian masalah. Lain halnya dengan Sperling, dkk (2002) yang menyebutkan bahwa siswa yang memiki metakognisi tinggi adalah siswa yang memfokuskan perhatian, belajar dengan sengaja, membuat rencana belajar, dapat menilai performa dirinya sendiri secara akurat, dan bertanya untuk memastikan pemahamannya. Sedangkan siswa yang memiliki metakognisi rendah adalah siswa yang perhatiannya acak, belajar dengan sembarangan, tidak membuat perencanaan belajar, tidak dapat menilai performa dirinya sendiri secara akurat, dan mengerjakan sesuatu tanpa

54

pemahaman. Dengan demikian guru perlu memunculkan kemampuan metakognisi siswa dan melatihnya pada proses pembelajaran. 2.1.12. Lintasan Belajar Tingkat perkembangan kognitif siswa dalam satu kelas tentu berbeda-beda. Menurut Soedjadi (2007 : 31) secara umum perkembangan kemampuan kognitif anak mulai dengan hal yang konkrit secara bertahap mengarah ke hal yang abstrak. Bagi setiap anak perjalanan dari konkrit ke abstrak dapat saja berbeda. Ada yang cepat dan ada yang lamban sekali. Bagi yang cepat mungkin tidak memerlukan banyak tahapan, tetapi bagi yang tidak cepat, tidak mustahil perlu melalui banyak tahapan. Dengan demikian bagi setiap anak mungkin saja memerlukan learning trajectory atau alur belajar yang berbeda. Selanjutnya Soedjadi memberikan sebuah ilustrasi tentang alur belajar (learning trajectory) seperti gambar berikut:

Gambar 2.1. Sebuah Ilustrasi tentang Alur Belajar (Sumber : Nurdin, 2011:4) Alur belajar tersebut atau yang lebih dikenal sebagai lintasan belajar dapat membantu guru dalam menetapkan tujuan pembelajaran, kemudian merencanakan langkah-langkah pembelajaran agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Pentingnya lintasan belajar bisa dianalogikan dengan perencanaan rute perjalanan. Jika kita memahami rute-rute yang mungkin untuk menuju tujuan, kita bisa memilih rute terbaik untuk menuju tujuan kita (Wijaya, 2009). Dengan mengetahui lintasan belajar siswa, guru bisa mendapatkan lintasan belajar yang tepat untuk digunakan dalam membantu siswa memahami sebuah konsep. Istilah “learning trajectory” atau lintasan belajar digunakan untuk menggambarkan transformasi belajar yang dihasilkan dari partisipasi dalam

55

aktivitas belajar matematika. Lintasan belajar matematika diajukan oleh Sarama dan Clements (2009) pada pembelajaran konsep pengukuran panjang yang dirancang dari penelitian berbasis teori yang telah dikembangkan dari teori belajar Piaget dan Vygotski. Sarama dan Clements (2009) menyatakan bahwa Mathematichal Learning Trajectory terdiri dari tiga bagian: Math learning trajectories have three parts: a mathematical goal, a developmental path along which children’s math knowledge grows to reach that goal, and a set of instructional tasks, or activities, for each level of children’s understanding along that path to help them become proficient in that level before moving on to the next level. Lintasan belajar matematika mempunyai tiga bagian penting yakni: tujuan pembelajaran matematika yang ingin dicapai, lintasan perkembangan yang akan dikembangkan oleh siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran, dan seperangkat kegiatan pembelajaran ataupun tugas-tugas, yang sesuai dengan tingkatan berpikir pada lintasan perkembangan yang akan membantu anak dalam mengembangkan proses berpikirnya bahkan sampai pada proses berpikir tingkat tinggi. Simon (1995) mengajukan konsep tentang hypothetical learning trajectory sebagai berikut. “A hypothetical learning trajectory provides the teacher with a rationale for choosing a particular instructional design; thus, I (as a teacher) make my design decisions based on my best guess of how learning might proceed. This can be seen in the thinking and planning that preceded my instructional interventions … as well as the spontaneous decisions that I make in response to students’ thinking. Bagian dari lintasan cenderung fleksibel. Tujuan belajar dan aktivitas disesuaikan dengan persepsi tingkat pemahaman siswa. Evaluasi dilakukan secara terus menerus terhadap kinerja tugas kelas dari siswa. Jadi lintasan belajar yang sebenarnya tidak dapat diketahui terlebih dahulu. Tujuan pembelajaran akan menentukan arah belajar-mengajar yang diinginkan. Kegiatan yang akan dilakukan oleh guru dan siswa menjadi prediksi tentang bagaimana pemikiran dan pemahaman siswa akan berkembang dalam konteks belajar. Sebuah lintasan belajar dapat memberikan petunjuk bagi guru untuk menentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Selanjutnya guru dapat membuat keputusan tentang strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan

56

tujuan tersebut. Sebelum menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pembelajaran, guru harus memiliki informasi tentang pengetahuan prasyarat, strategi berpikir yang digunakan siswa, level berpikir yang mereka tunjukkan dan bagaimana variasi aktivitas yang dapat menolong mereka mengembangkan pemikiran yang dibutukan untuk tujuannya tersebut. Dengan mengetahui level dan alur berpikir yang dimiliki siswa, dalam proses pembelajaran kita dapat mengetahui mana yang harus didahulukan dalam proses pengembangan alur belajarnya. Dengan analogi yang sama, hypothetical learning trajectory dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Guru perlu membuat dugaan rute perjalanan yang akan ditempuh sehingga memungkinan siswa memunculkan ide atau gagasan kreatifnya. Sebab kemampuan awal siswa di dalam kelas berbeda-beda, sehingga dengan bantuan dugaan lintasan belajar yang dibuat oleh guru diharapkan dapat diikuti oleh seluruh siswa di dalam kelas. Baik oleh siswa yang kemampuannya rendah, sedang, ataupun tinggi. Dengan demikian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dapat dilatih sesuai tujuan pembelajaran yang dibuat oleh guru. Berikut ini adalah sebuah siklus pembelajaran yang memuat alur belajar yang dikonstruk oleh guru untuk perencanaan pembelajaran yang mengacu pada: (a) tujuan belajar, (b) pengaturan pembelajaran dan aktivitas, dan (c) proses belajar yang mungkin untuk melibatkan peserta didik secara aktif.

Gambar 2.2 Siklus pembelajaran matematika menurut Simon (Sumber : Nurdin, 2011:6) Simon memberikan ilustrasi bahwa pada saat kita menemui masalah dalam kehidupan sehari-hari, kita akan mencoba menyelesaikan masalah tersebut menurut cara yang mampu kita lakukan atau pengetahuan yang kita miliki.

57

Namun dalam proses menyelesaikan masalah kita harus secara konstan melakukan penyesuaian terhadap kendala yang dihadapi. Oleh karena itu kita terus menerus berusaha untuk memperoleh pengetahuan tentang cara memecahkan masalah maupun tentang kendala yang ditemui. Berdasarkan hal tersebut mungkin kita akan mengubah cara menyelesaikan masalah berkenaan dengan tujuan untuk memecahkan masalah. Kita dapat memodifikasi cara atau strategi yang dilakukan sebagai hasil interaksi dengan orang lain yang kita tanya selama proses pemecahan masalah. Kita dapat menambahkan tujuan-tujuan baru yang mana tujuan baru itu tidak diketahui sebelum proses pemecahan masalah. Proses pemecahan masalah yang secara aktual kita lalui itulah yang disebut dengan proses belajar sebenarnya. Strategi yang kita ubah pada saat tertentu dalam proses pemecahan masalah itulah yang disebut disebut proses belajar hipotetik. Berdasarkan uraian diatas, Gambar 2.2 menunjukkan bahwa alur belajar memberikan gambaran secara utuh tentang apa yang terjadi atau yang kita temui saat berinteraksi dengan lingkungan. Dengan demikian dalam pemecahan masalah sebuah alur belajar akan memberikan gambaran tentang pengetahuan prasyarat yang telah dimiliki peserta didik (sebagai titik start) dan setiap langkah dari satu titik ke titik berikutnya menggambarkan proses berpikir yang mereka gunakan, metode yang mereka pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang mereka tunjukkan. Pada waktu menyusun dugaan proses pembelajaran di kelas, guru perlu memprediksi perkembangan pengetahuan matematika di kelas dan pemahaman atau strategi siswa yang mungkin muncul sebagaimana yang terjadi pada waktu kegiatan pembelajaran sesungguhnya (Simonson, 2006). Suatu lintasan belajar disediakan oleh guru harus didasarkan pada pemikiran untuk memilih desain pembelajaran khusus, sehingga hasil belajar terbaik sangat mungkin untuk dicapai. Hal ini dapat terlihat dalam pemikiran dan perencanaan yang terjadi dalam pengajaran, termasuk respon spontan yang dibuat dalam menanggapi pemikiran siswa. Pengajuan learning trajectory dapat hanya berupa hipotesis, karena pengalaman guru membuat keputusan dan mengadaptasi aspek-aspek dari aktivitas yang direncanakan dalam respon adalah untuk membuktikan pemikiran dan belajar yang dilakukan siswa, perbedaan aspek dan tingkat pemahaman akan

58

menjadi jelas terlihat bagi guru. Selain itu istilah hipotesis digunakan agar guru menjadi fleksibel dalam merubah arah pembelajaran dan mengadaptasi aspekaspek aktivitas yang telah direncanakan dalam menanggapi respon siswa sepanjang pembelajaran. Oleh karena learning trajectory yang dirancang masih berupa dugaan maka disebut dengan Hypothetical Learning Trajectory. (Risnanosanti, 2012 : MP-745) Tidak jauh berbeda dengan pendapat Hadi (2006), alur belajar hipotetik adalah dugaan seorang desainer atau seorang peneliti mengenai kemungkinan alur belajar yang terjadi di kelas pada saat merancang pembelajaran. Karena bersifat hipotetik tentu tidak selalu benar. Pada kenyataannya memang banyak salah karena apa yang terjadi di kelas sering tak terduga. Setelah peneliti melakukan uji coba, diperoleh alur pembelajaran yang sebenarnya, itulah yang disebut dengan alur belajar. Pada siklus pembelajaran berikutnya alur belajar tadi dapat dijadikan sebagai sebuah alur belajar hipotetik yang baru. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa lintasan belajar merupakan barisan aktivitas yang dilalui siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pada penelitian ini lintasan belajar yang dirancang oleh peneliti dalam LAS mencerminkan keterampilan metakognisi siswa untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis. Adapun keterampilan metakognisi yang dimaksud yaitu meliputi perencanaan strategi untuk memperoleh solusi penyelesaian, kemampuan mengelola informasi yang berkenaan dengan solusi, memonitor (mengontrol) solusi yang didapatkan, membetulkan tindakan yang salah dalam mencapai solusi dan mengevaluasi efektivitas solusi yang diperoleh. Dengan demikian, dapat didefinisikan lintasan belajar berpikir kreatif pada penerapan pendekatan metakognitif merupakan dugaan terhadap rute (alur) belajar yang dilalui siswa untuk memcapai tujuan pembelajaran dengan cara melewati setiap tahapan proses berpikir kreatif melalui kegiatan orientasi masalah, merencanakan solusi penyelesaian, memonitoring (mengontrol) solusi yang diperoleh, dan merefleksi (mengevaluasi) solusi yang lebih memungkinkan. Lintasan belajar berpikir kreatif pada penerapan pendekatan metakognitif dimulai dengan merencanakan tindakan, memantau rencana tindakan, dan mengevaluasi rencana tindakan. Tahapan proses berpikir kreatif pada lintasan belajar

dengan

pendekatan

metakognitif

dari

“merencanakan

tindakan

penyelesaian masalah menuju memantau rencana tindakan” diduga adalah

59

persiapan, inkubasi, dan iluminasi. Pada tahap persiapan, hal yang dapat dilakukan siswa adalah: (1) mengamati masalah, (2) memahami masalah; (3) memperoleh informasi, dan (4) mengajukan pertanyaan. Pada tahap inkubasi, dua hal penting yang dilakukan siswa adalah menenangkan diri dan mengalami kebuntuan berpikir. Karena mengalami kebuntuan berpikir, hal yang mungkin dapat dilakukan siswa adalah: (1) mengamati dan memahami kembali tahap persiapan, (2) mengingat pengetahuan yang dimiliki, (3) mencoba memunculkan ide yang belum sempurna. Pada tahap iluminasi, hal yang dapat dilakukan siswa ialah: (1) menemukan ide-ide yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, (2) menerapkan strategi penyelesaian masalah. Selanjutnya tahapan proses berpikir kreatif pada lintasan belajar dengan pendekatan metakognitif dari “memantau rencana tindakan menuju mengevaluasi rencana tindakan” ialah verifikasi. Ketika memantau rencana tindakan, siswa memeriksa penerapan ide kreatif yang apakah sesuai untuk menyelesaikan masalah. Apabila tidak sesuai, siswa perlu memilih strategi perbaikan yang tepat ketika strategi yang dipilih sebelumnya tidak bekerja. Saat kondisi seperti ini, tahap verifikasi diperlukan untuk evaluasi terhadap rencana tindakan. Pada tahap verifikasi siswa melakukan: (1) pemeriksaan hasil penyelesaian masalah dengan cara mendiskusikan ide kreatifnya dengan guru atau teman sebagai proses koreksi, (2) mengecek kembali proses pembentukan ide kreatif, mulai dari tahap persiapan sampai iluminasi (3) merevisi hasil penyelesaian masalah yang salah, (4) menelusuri kembali informasi yang berkenaan dengan penyelesaian masalah untuk proses evaluasi. Pada lintasan belajar dengan pendekatan metakognitif “mengevaluasi rencana tindakan”, siswa mengevaluasi efektivitas strategi pemecahan masalah yang diterapkan sebelumnya. Apabila strategi pemecahan masalah yang diterapkan sudah sesuai dengan tujuan, maka akan diperoleh hasil pemecahan masalah. Namun jika sebaliknya, maka siswa akan melakukan pemantauan kembali terhadap strategi penyelesaian masalah. Berdasarkan uraian diatas, lintasan belajar berpikir kreatif dengan penerapan pendekatan metakognitif dapat dilihat pada Gambar 2.3 dibawah ini.

60

Gambar 2.3. Lintasan Belajar Berpikir Kreatif 2.1.13. Teori Belajar yang Mendukung 1. Teori Belajar Piaget Piaget terkenal dengan teori perkembangan kognitifnya. Ia memaparkan bahwa terkait dengan perkembangan usia, maka kemampuan kognitif anak juga berkembang. Piaget kemudian membagi perkembangan kognitif anak dalam empat tahap: (1) Tahap sensori motorik yaitu sejak lahir hingga anak berusia 2 tahun, (2) Tahap praoperasional konkrit yaitu sejak usia 2 tahun hingga 7 tahun, (3) Tahap operasional konkrit yaitu sejak usia 7 tahun hingga 11 tahun, dan (4) Tahap operasional formal yaitu sejak usia 11 tahun dan seterusnya. Perkembangan kognitif yang dipengaruhi oleh usia inilah yang kemudian menjadi acuan pembelajaran matematika. Pemahaman bahwa anak-anak perlu kapasitas struktur kognitif tertentu untuk mempelajari matematika pada tingkat tertentu berimplikasi pada strategi mengajar guru. Misalnya, anak pada taraf berpikir operasional konkrit maka materi matematika hendaknya dihadirkan melalui objek konkrit yang dapat dimanipulasi oleh siswa. Dengan demikian, belajar matematika menurut teori Piaget perlu disesuaikan dengan taraf perkembangan kognitif individu. Bagi pembelajaran matematika, teori Piaget jelas sangat relevan, karena dengan menggunakan teori ini, guru dapat mengetahui adanya tahap

61

perkembangan tertentu pada kemampuan berpikir anak di kelas. Dengan demikian guru bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi siswanya, misalnya dalam memilih cara penyampaian materi bagi siswa, penyediaan alat-alat peraga dan sebagainya, sesuai dengan tahap perkembangan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh siswa masing-masing. Guru perlu mencermati apakah symbolsimbol matematika yang digunakan guru dalam mengajar cukup mudah dipahami siswa, dengan mengingat tingkat kemampuan berpikir yang dimiliki oleh masingmasing siswa. Dalam kaitannya dengan epistemologi, Piaget berpendapat bahwa anak membentuk pengetahuan melalui eksplorasi lingkungan secara aktif. Problem pembelajaran matematika di Indonesia yang cenderung individual dapat direduksi dengan mengelola pembelajaran yang memungkinkan anak untuk berinteraksi sosial. Namun, guru harus mempertimbangkan jenis dan model interaksi yang sesuai dengan taraf berpikir anak. Konsep Piaget yang mendasari dalam penelitian ini adalah bahwa siswa dalam proses menemukan ide-ide kreatif harus melalui tahapan-tahapan sesuai tingkat perkembangan kognitif siswa yang tercermin oleh lintasan belajar yang akan dirancang dalam LAS. Dengan pendekatan metakognitif memungkinkan siswa untuk berinteraksi dengan siswa lainnya dalam proses berpikir kreatif melalui kegiatan diskusi, belajar mandiri, dan membuat kesimpulan atas apa yang telah dipelajari dengan menerapkan keterampilan metakognisi. 2. Teori Belajar Vygotsky Perkembangan kognitif dalam pandangan Vygotsky diperoleh melalui dua jalur, yaitu proses dasar secara biologis dan proses psikologi yang bersifat sosiobudaya (Elliot, et.al, 2000: 52). Studi Vygotsky fokus pada hubungan antara manusia dan konteks sosial budaya di mana mereka berperan dan saling berinteraksi

dalam

berbagi

pengalaman

atau

pengetahuan.

Kemajuan

perkembangan kognitif anak diperoleh sebagai hasil interaksi sosial dengan orang lain yang lebih memahami tentang sesuatu hal. Dalam kaitannya dengan pemikiran matematika, maka anak akan berkembang kemampuan berpikir matematisnya melalui interaksinya dengan orang lain yang menguasai matematika dengan lebih baik.

62

Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti yang dikutip oleh Slavin (2000: 256) yaitu: (1) Pembelajaran sosial (social leaning). Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap. Vygotsky memberinya istilah More Knowledgable Other (MKO) atau orang lain yang lebih tahu. MKO mengacu kepada siapa saja yang memiliki pemahaman yang lebih baik, pemahaman yang lebih baik ini sehubungan dengan tugas tertentu, proses, atau konsep yang sedang dipelajari oleh siswa. MKO biasanya dianggap sebagai seorang guru, pelatih, atau orang dewasa yang lebih tua, tetapi MKO juga bisa menjadi teman sebaya, orang yang lebih muda, atau bahkan komputer atau media belajar lainnya. (2) ZPD (zone of proximal development). Zone of Proximal Development (ZPD) adalah jarak antara kemampuan siswa untuk melakukan tugas di bawah bimbingan orang dewasa dan atau dengan kolaborasi teman sebaya dan pemecahan masalah secara mandiri sesuai kemampuan siswa. Implikasinya dalam pembelajaran matematika adalah ZPD dapat berguna dalam menjembatani antara berpikir konkrit dan berpikir abstrak. Pada umumnya siswa mengalami kesulitan dalam memahami matematika yang abstrak, kemampuan tersebut dapat didorong melalui interaksi sosial melalui ZPD. Siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan dari MKO. Bantuan dimaksud agar siswa mampu untuk mengerjakan tugas-tugas yang lebih tinggi kerumitannya daripada tingkat perkembangan kognitif anak. (3) Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, atau teman yang lebih pandai. (4) Pembelajaran Termediasi (mediated learning). Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa. Terdapat beberapa pendapat Vygotsky yang berimplikasi terhadap pembelajaran matematika, yaitu pandangan Vygotsky tentang perlu adanya

63

sumber belajar lain untuk memudahkan siswa belajar matematika serta materi yang sesuai dengan kapasitas siswa. Teori Vygotsky yang mendasari penelitian ini adalah perlunya penggunaan media kubus guling berwarna sebagai salah satu MKO untuk memudahkan siswa menemukan pola jaring-jaring kubus. Selain itu bantuan guru (scaffolding) diberikan kepada siswa melalui pertanyaan metakognitif ketika siswa melewati setiap titik lintasan belajarnya. Sehingga pada ZPD siswa dapat berpikir secara maksimal untuk menemukan ide kreatifnya memecahkan persoalan. 2.1.14. Media Kubus Guling Berwarna Dalam menemukan pola jaring-jaring kubus dapat dilakukan dengan menggunting benda yang berbentuk kubus sesuai rusuk-rusuknya tanpa ada bagian yang terlepas. Untuk menemukan pola jaring-jaring kubus dengan cara seperti itu akan membutuhkan waktu yang relatif lama apabila diterapkan pada saat pembelajaran di kelas. Untuk itu diperlukan strategi yang lebih efektif agar memungkinkan siswa menemukan seluruh pola jaring-jaring kubus. Sebagaimana yang dikatakan Susilo (2014) bahwa pembelajaran merupakan proses yang membutuhkan berbagai sumber untuk penunjang keberhasilan belajar. Sumber belajar yang dibutuhkan sangat beragam sesuai dengan materi dan kondisi pembelajaran. Salah satu sumber belajar itu adalah media pembelajaran. Media didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa, sehingga dapat terdorong untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Manfaat penggunaan media pembelajaran adalah : (1) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu verbalistik, (2) Mengatasi keterbatasan ruang. (3) Mengatasi kepasifan siswa dalam kelas, (4) Mengatasi kesulitan guru karena perbedaan latar belakang dan pengalaman siswa. (Barokati, 2013 : 3). Ada beberapa penelitian yang membahas tentang penggunaan media untuk menemukan pola jaring-jaring kubus. Penelitian yang dilakukan oleh Riana (2013). Media yang dipakai adalah berupa bangun kubus. Melalui imajinasi siswa, siswa membuat jaring-jaring kubus pada kertas berpetak dan menemukan rumus luas permukaan kubus. Penelitian Widjayanto (2014) yang berjudul peningkatan hasil belajar materi jaring-jaring balok dan kubus dengan menggunakan media karton berpetak. Penggunaan media ini juga membutuhkan daya imajinasi siswa.

64

Kedua penelitian itu berhasil meningkatkan prestasi siswa, akan tetapi siswa belum mengetahui secara luas tentang pola jaring-jaring kubus. Dengan demikian, jaring-jaring kubus yang bervariasi dapat dibuat melalui banyak cara dan melalui berbagai media. Akan tetapi diperlukan sebuah media yang terbukti efektif dalam menemukan secara luas pola jaring-jaring kubus. Salah satunya dengan media kubus guling berwarna. Media kubus guling berwarna adalah salah satu media yang efektif yang dapat membantu siswa menemukan berbagai pola berbeda dari jaring-jaring kubus (Rohim, 2015) dan (Kohar, 2011). Meku-guwa dibuat dari styrofoam berbentuk kubus yang dilapisi dengan kertas karton berwarna yang setiap sisinya berbeda warna. Adapun Mekuguwa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut:

Gambar 2.4 Media Kubus Guling Berwarna, (Sumber: Rohim, 2015:30) Media ini dinamakan media kubus guling berwarna karena berbentuk kubus

berwarna

yang

dalam

penggunaannya

dilakukan

dengan

cara

menggulingkan kubus pada kertas berpetak. Aturan dalam menggunakan mekuguwa ini adalah : 1. Salah satu alas meku-guwa diletakkan pada salah satu persegi dalam kertas 2. 3.

berpetak Warnai persegi tersebut dengan warna yang sama pada alas media Meku-guwa dapat digulingkan kesegala arah dengan ketentuan tidak boleh

4.

ada warna yang sama dalam satu pola. Pola yang sudah ditemukan, diberikan warna sesuai dengan warna yang ada

5.

di permukaan yang bersentuhan dengan meku-guwa. Jaring-jaring yang sudah terbentuk dapat digunting. Adapun salah satu contoh penggunaan meku-guwa dapat dilihat pada gambar berikut.

65

(a) (b) Gambar 2.5 Penggunaan Meku-guwa, (Sumber: Rohim, 2015:334) Dari jawaban siswa diatas, bagian yang diarsir merupakan bagian yang berhimpit dengan sisi pada meku-guwa. Apabila rangkaian enam persegi yang diarsir pada Gambar 2.4(a) tersebut diberi batas seperti Gambar 2.4 (b), maka kita akan memperoleh sebuah jaring-jaring kubus. Tampak melalui penggunaan media ini siswa dapat menemukan kesebelas jaring-jaring kubus secara efektif. 2.1.15. Tinjauan materi jaring-jaring kubus Perhatikanlah gambar benda-benda berikut ini!

(Sumber: wordpress.com) Gambar 2.6 Disket, Bantal, dan Papan Catur, Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat bangun datar yang berbentuk persegi panjang, tetapi seluruh panjang sisinya sama. Bangun ini disebut persegi. Kesamaan yang dimiliki oleh ketiga benda pada gambar 2.5 diatas adalah bentuknya, yaitu berbentuk persegi. Masih ingatkah kalian dengan bangun datar persegi ? Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, persegi adalah bangun datar dua dimensi yang dibentuk oleh empat buah sisi yang sama panjang dan memiliki empat buah sudut yang semuanya adalah sudut siku-siku. Bangun ini dahulu disebut sebagai bujur sangkar.

66

Gambar 2.7 Bangun Datar Persegi Unsur-unsur bangun persegi yaitu dibentuk oleh empat buah rusuk (sisi) dan memiliki empat titik sudut. Adapun sifat-sifat persegi yaitu sebagai berikut: a. Semua sisinya sama panjang dan sisi-sisinya yang berhadapan sejajar. b. Setiap sudutnya merupakan sudut siku-siku, yaitu sebesar 900. c. Mempunyai dua buah diagonal yang sama panjang, berpotongan di tengah-tengah, dan membentuk sudut siku-siku. d. Setiap sudutnya dibagi dua sama besar oleh diagonal-diagonalnya. e. Memiliki empat sumbu simetri lipat. Apabila enam buah bangun datar persegi dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi suatu bangun baru yang memiliki ruang, bangun ruang itu dinamakan kubus.

Gambar 2.8 Enam buah persegi yang kongruen membentuk kubus Kubus adalah bangun ruang tiga dimensi yang dibatasi oleh enam bidang sisi yang kongruen berbentuk persegi. Unsur-unsur kubus yaitu : a. Dibentuk oleh enam bidang datar berbentuk persegi yang kongruen, yaitu ABCD (sisi bawah), EFGH (sisi atas), ABFE (sisi depan), CDHG (sisi belakang), ADHE (sisi samping kiri), dan BCGF (sisi samping kanan). b. Garis potong antara dua sisi bidang kubus dan terlihat seperti kerangka yang menyusun kubus disebut rusuk, ada 12 rusuk pada kubus yaitu rusuk AB, BC, AC, DA, AE, BF, CG, DH, EF, FG, GH, HF. c. Titik temu ketiga rusuk disebut sudut, ada 8 titik sudut pada kubus yakni sudut A, B, C, D, E, F, G, dan H. Selain ketiga unsur di atas, kubus juga memiliki diagonal. Diagonal pada kubus ada tiga, yaitu diagonal bidang, diagonal ruang, dan bidang diagonal. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar dibawah ini.

67

Gambar 2.9 Diagonal bidang, diagonal ruang, dan bidang diagonal kubus d. Dalam Gambar 2.4(a), pada kubus ABCD.EFGH terdapat garis AF yang menghubungkan dua titik sudut yang saling berhadapan dalam satu sisi/ bidang. Ruas garis tersebut dinamakan sebagai diagonal bidang. Ada 12 diagonal bidang, yaitu AF, BE, BG, CF, AH, DE, DG, CH, EG, HF, AC, BD. e. Perhatikan kubus ABCD.EFGH pada Gambar 2.4(b). Pada kubus tersebut, terdapat ruas garis HB yang menghubungkan dua titik sudut yang saling berhadapan dalam satu ruang. Garis HB membelah ruang kubus menjadi dua bagian yang sama besar. Ruas garis tersebut disebut diagonal ruang. Ada 4 diagonal ruang pada kubus yaitu HB, DF, EC, GA. f. Perhatikan kubus ABCD.EFGH pada Gambar 2.4(c), terlihat dua buah diagonal bidang pada kubus yaitu AC dan EG. Ternyata diagonal bidang AC dan EG beserta dua rusuk kubus yang sejajar, yaitu AE dan CG membentuk suatu bidang di dalam ruang kubus bidang ACGE pada kubus ABCD.EFGH. Bidang ACGE disebut sebagai bidang diagonal. Ada 6 bidang diagonal, yaitu ACGE, DBFH, BGHA, AFGD, CDEF, dan BEHC.

Gambar 2.10 Kubus ABCD.EFGH

68

Untuk memahami sifat-sifat kubus, coba kamu perhatikan Gambar 2.5 diatas. Gambar tersebut menunjukkan kubus ABCD.EFGH yang memiliki sifat – sifat sebagai berikut. a. Semua sisi kubus berbentuk persegi. Jika diperhatikan, sisi ABCD, EFGH, ABFE, dan sisi lainnya memiliki bentuk persegi dan memiliki luas yang sama. b. Semua rusuk kubus berukuran sama panjang dan terdapat rusuk – rusuk yang saling sejajar, seperti AB, DC, EF, dan HG. c. Setiap diagonal bidang pada kubus memiliki ukuran yang sama panjang. Perhatikan garis BG dan CF pada Gambar 2.5, kedua garis tersebut merupakan diagonal bidang kubus ABCD.EFGH yang memiliki ukuran sama panjang. d. Setiap diagonal ruang pada kubus memiliki ukuran sama panjang. Dari Gambar 2.5, terdapat dua diagonal ruang HB dan DF yang keduanya berukuran sama panjang. e. Setiap bidang diagonal kubus memiliki bentuk persegi panjang. Perhatikan bidang diagonal ACGE pada Gambar 2.5. terlihat dengan jelas bahwa bidang diagonal tersebut memiliki bentuk persegi panjang. f. Bidang yang sejajar dengan bidang gambar disebut bidang frontal, yaitu bidang ABFE dan DCGH. Bidang yang tegak lurus dengan bidang gambar disebut bidang ortogonal, yaitu bidang ADHE, BCGF, ABCD dan EFGH. Adapun benda-benda dalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita temui berbentuk kubus seperti gambar-gambar berikut ini.

(Sumber: matematohir.wordpress.com) Gambar 2.11 Benda-benda yang menyerupai kubus, Menurut Adinawan dan Sugiono (2007 : 96) dalam hakikat jaring-jaring bangun ruang disebutkan bahwa satu bangun ruang diiris pada beberapa rusuknya kemudian direbahkan sehingga terjadi bangun datar maka bangun itu disebut jaring-jaring. Sementara Harta (2011) menekankan bahwa jaring-jaring adalah

69

pola suatu bangun ruang sehingga jika sisi-sisinya disambungkan akan membentuk bangun ruang tersebut. Untuk mendapatkan jaring-jaring kubus, coba ambil kardus atau kotak kue yang berbentuk kubus, beri nama setiap sudutnya. Kemudian irislah beberapa rusuk tanpa ada bagian dari kardus yang terlepas sehingga apabila dibuka dan direbahkan pada bidang datar akan membentuk bangun datar. Coba perhatikan gambar berikut!

Gambar 2.12 Kubus, Bukaan Kubus, dan Jaring-jaring kubus Gambar 2.11 diatas merupakan gambar kubus yang digunting pada tiga buah rusuk atapnya serta empat buah rusuk tegaknya, yang direbahkan pada bidang datar sehingga membentuk jaring-jaring kubus. Apabila rusuk yang digunting pada kubus berbeda-beda, maka akan menghasilkan bentuk jaringjaring kubus yang berbeda pula. Sebagai contoh, dengan menggunting sebuah rusuk alas, tiga buah rusuk tegak, dan tiga buah rusuk atap, maka akan diperoleh jaring-jaring kubus seperti berikut ini.

Gambar 2.13 (a) Kubus, (b) Bukaan Kubus, (c) Jaring-jaring kubus Shadiq (2006 : 1) mengungkapkan bahwa ada 11 pola jaring-jaring kubus yang berbeda, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk meyakinkan diri kita bahwa hanya ada 11 jaring-jaring kubus dapat dilakukan dengan membuat kartu polymino. Kartu polymino ialah kartu yang mewakili bentuk jaring-jaring kubus dan terdiri atas enam buah monomino yang kongruen. Cara membuatnya ialah sebagai berikut :

70

1.

Langkah pertama ialah dengan

membuat monomino dan domino.

Monomino terbentuk dari satu persegi saja, sedangkan domino terbentuk dari dua persegi yang kongruen dan saling berimpitan tepat pada salah satu sisinya.

2.

Dari domino asal di atas, dengan menambah satu monomino pada sisi-sisinya mengikuti arah yang berlawanan dengan arah jarum jam, akan didapat beberapa tromino seperti berikut.

Ternyata dari enam bentuk tromino itu ada beberapa tromino yang bentuknya sama setelah diputar atau dibalik. Contohnya,

tromino

pertama

sama

dengan

tromino

keempat. Begitu juga tromino kedua, ketiga, kelima, dan keenam adalah sama jika diputar atau dibalik sehingga pada akhirnya hanya didapat dua macam atau dua bentuk tromino saja, yaitu:

3.

Dengan mengulangi langkah 2 pada kedua tromino di atas, akan didapat lima macam rangkaian empat persegi yang saling berimpitan paling tidak tepat pada salah satu sisinya yang disebut dengan tetromino.

4.

Selanjutnya dengan merangkaikan satu monomino berturut-turut pada salah satu kartu tetromino di atas, akan didapat rangkaian lima persegi yang tepat saling berimpitan paling tidak pada salah satu sisinya yang dikenal dengan pentomino. Ternyata ada 12 macam pentomino seperti ditunjukkan gambar di bawah ini.

71

Dari 12 kartu berbentuk pentomino di atas, ada 8 pentomino yang merupakan jaring-jaring kubus tanpa tutup dan ditunjukkan oleh keterangan 5.

gambar yang berwarna merah. Dengan melakukan hal yang sama pada 8 pentomino diatas, akan diperoleh 35 hexomino dan akan didapat 11 hexomino saja yang merupakan jaringjaring kubus. Adapun jaring-jaring kubus yang diperoleh yaitu :  Pola 1-4-1 sebanyak 6 macam. Pola 1-4-1 berarti terdiri atas rangkaian empat persegi pada satu baris di bagian tengah diikuti dengan masing-masing 1 persegi pada sebelah menyebelah rangkaian empat persegi 

tersebut. Pola 2-3-1 sebanyak 3 macam. Pola 2-3-1 berarti terdiri atas rangkaian tiga persegi pada satu baris di bagian tengah diikuti dengan dua persegi pada bagian atas dan satu persegi pada bagian bawah rangkaian



tiga persegi tadi. Pola 2-2-2 dan pola 3-3 masing-masing sebanyak 1 macam.

72

Kubus merupakan bangun ruang istimewa karena dibentuk oleh enam sisi persegi yang kongruen sehingga jaring-jaringnya pun merupakan rangkaian enam buah persegi yang kongruen dan apabila dilipat kembali dapat membentuk kubus. Tetapi rangkaian enam buah persegi yang kongruen belum tentu merupakan jaring – jaring kubus, karena apabila dilipat kembali tidak dapat membentuk kubus tertutup. Misalnya rangkaian enam persegi pada Gambar 2.8 (a) bukanlah jaringjaring kubus, karena rangkaian enam persegi yang susunannya seperti itu tidak dapat dibentuk menjadi kubus. Akan tetapi rangkaian enam persegi pada Gambar 2.8 (b) merupakan jaring-jaring kubus.

Gambar 2.14 Rangkaian enam buah persegi Untuk memastikan apakah rangkaian enam buah persegi merupakan jaring-jaring kubus atau tidak, dapat dilakukan dengan menentukan salah satu sisi rangkaian tersebut sebagai bidang alas (AL). Setelah itu dapat ditentukan bidang-bidang: atas (AT), kanan (KA), kiri (KI), depan (D), dan belakang (B). Jika tidak ada sisi yang berimpit maka rangkaian enam persegi tersebut merupakan suatu jaringjaring kubus.

73

Pada

Gambar

2.8(a)

di

atas,

dimulai

dengan memilih salah satu sisi sebagai sisi alas (AL), akan didapat sisi kanan (KA), kiri (KI), belakang

(B),

dan

depan

sekarang sisi X, yang jika

(D).

Perhatikan

dilihat dari sisi

belakang (B) akan menjadi sisi kiri (KI). Dengan demikian sisi X akan berimpit dengan sisi kiri (KI).

Simpulannya,

rangkaian

enam

persegi

tersebut bukanlah jaring-jaring kubus. Jaring-jaring yang sudah ditemukan akan membantu siswa menemukan konsep luas permukaan kubus. Pembelajaran seperti ini bisa dipakai acuan pada bangun ruang sisi datar yang lain dengan maksud untuk menemukan konsep luas permukaan. 2.2. Penelitian yang Relevan Sebelum adanya penelitian ini, sudah ada beberapa penelitian tentang lintasan proses berpikir kreatif matematis yang menerapkan pendekatan metakognitif pada beberapa mata pelajaran yang berbeda maupun dengan mata pelajaran yang sama. Penelitian-penelitian pendukung tersebut dipaparkan sebagai berikut. 1. Graham Wallas (1926) dalam penelitiannya mengidentifikasi empat tahap dalam proses berpikir kreatif, yaitu persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Pada tahap persiapan, seseorang mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan belajar berpikir, mencari jawaban, bertanya kepada orang lain untuk mengumpulkan informasi dan data yang relevan serta mencari pendekatan untuk menyelesaikannya. Tahap inkubasi adalah tahap dimana individu seakan-akan melepaskan diri untuk sementara dari masalah tersebut, dalam arti seseorang tidak memikirkan masalahnya secara sadar, tetapi “menggeramnya” dalam alam pra sadar. Selama masa ini, otak terus bekerja untuk mencari solusi dari permasalahan yang sedang dipikirkan. Tahap iluminasi adalah tahap timbulnya “insight”, saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru serta proses psikologi yang mengawali munculnya inspirasi baru. Pada tahap ini, gagasan yang muncul dapat berupa gagasan kunci yang

74

memberi arah kepada pemecahan permasalahan, tetapi bukan pemecahan yang sempurna dari persoalan yang dihadapi. Selanjutnya tahap verifikasi atau evaluasi, yaitu tahap dimana ide atau kreasi baru tersebut harus diuji terhadap realitas. Pada tahap ini, inspirasi yang muncul dikembangkan dan diuji secara kritis. Kajian kritis rasional merupakan ciri pokok tahap ini dan pemikiran divergen masuk pada pemikiran konvergen. Hingga yang muncul adalah ide kreatif yang telah teruji secara rasional. Kajian kritis juga dapat dimaknai bahwa seseorang yang telah berada pada tahap verifikasi melakukan pengkajian ulang terhadap ide kreatif yang diperoleh pada tahap berpikir kreatif sebelumnya untuk 2.

menguji kebenaran ide kreatif yang dihasilkan. Alex Osborn (1953) dalam penelitiannya mengidentifikasi tahapan proses berpikir kreatif ke dalam 7 (tujuh) tahap, yaitu: orientasi, persiapan, analisis, ideation, inkubasi, sintesis, dan evaluasi. Pada tahap orientasi melibatkan suatu tahap pemikiran divergen yang menghasilkan sejumlah ide atau gagasan, dan kemudian tahap berpikir konvergen yang memilih hanya sebuah gagasan untuk eksplorasi lebih lanjut. Plsek menyatakan bahwa langkah analisis dan ideation memerlukan berpikir secara kreatif, sedangkan tahap-

3.

tahap lainnya memerlukan berpikir secara analitik. Getzelts dan Jackson (dalam Silver, 1997) mengembangkan suatu tes untuk mengukur kreativitas. Salah satu tugas meminta subjek untuk mengajukan masalah matematika yang jawabannya menggunakan informasi yang disediakan dalam suatu kumpulan cerita tentang situasi sehari-hari. Tugas lain ialah menilai kefasihan dan keaslian jawaban subjek ketika ia memecahkan masalah yang mempunyai jawaban beragam atau menggunakan strategi yang berbeda. Hasil pengembangan ini menunjukkan bahwa aktivitas dalam memecahkan masalah dan mengajukan masalah sangat baik digunakan untuk

4.

mengukur kreativitas dalam pembelajaran matematika. Sarama dan Clements (2009) dalam penelitiannya menghasilkan tiga temuan penting: a. Learning substantial math is critical for primary grade children. b. All children have the potential to learn challenging and interesting math. c. Understanding children’s mathematiccal development helps teachers be knowledgeable and effective in teaching math.

75

Uraian diatas dapat diartikan : (a) Belajar matematika cukup penting untuk anak-anak kelas dasar. (b) Semua anak memiliki potensi merasa tertantang dan tertarik untuk mempelajari matematika. (c) Memahami perkembangan

matematika

anak

dapat

membantu

guru

menjadi

berpengetahuan luas dan efektif dalam mengajar matematika. Dari hasil penelitiannya, Sarama dan Clements memberikan saran pendekatan pengajaran di kelas awal sebagai berikut: 1. Mengetahui dan menggunakan lintasan belajar. 2. Menyertakan berbagai kegiatan pembelajaran. Lintasan belajar memberikan panduan untuk kegiatan yang cenderung menantang anak-anak untuk menciptakan strategi baru dan membangun pengetahuan baru. 3. Menggunakan kombinasi strategi pengajaran. 4. Salah satu pendekatan yang efektif adalah (a) mendiskusikan masalah dengan kelompok, (b) menindaklanjuti dengan bekerja berpasangan, dan kemudian (c) mengharuskan anak-anak berbagi strategi penyelesaian dengan kelompoknya semula. Diskusikan strategi dengan anak-anak secara berpasangan dan individual. Membedakan instruksi dengan memberi kelompok atau individu 5.

jenis masalah yang berbeda. Siswono (2011) mendeskripsikan karakteristik tingkat berpikir kreatif siswa di

kelas

matematika

melalui

pengajuan

masalah.

Hasil

penelitian

menunjukkan : (1) Siswa mampu menyelesaikan suatu masalah dengan lebih dari satu alternatif jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat masalah yang berbeda-beda dengan lancar (fasih) dan fleksibel. Siswa yang mencapai tingkat ini dinamakan sebagai siswa yang sangat kreatif. (2) Siswa mampu menunjukkan suatu jawaban yang baru dengan cara penyelesaian yang berbeda (fleksibel) meskipun tidak fasih atau membuat berbagai jawaban yang baru meskipun tidak dengan cara yang berbeda (tidak fleksibel). Selain itu, siswa dapat membuat masalah yang berbeda dengan lancar (fasih) meskipun jawaban masalah tunggal atau membuat masalah yang baru dengan jawaban divergen. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa yang kreatif. (3) Siswa mampu membuat satu jawaban atau masalah yang berbeda dari kebiasaan umum meskipun tidak dengan fleksibel atau fasih, atau mampu menunjukkan berbagai cara penyelesaian yang berbeda dengan fasih meskipun jawaban yang dihasilkan tidak baru. Siswa yang

76

mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa yang cukup kreatif. (4) Siswa tidak mampu membuat jawaban atau membuat masalah yang berbeda (baru), meskipun salah satu kondisi berikut dipenuhi, yaitu cara penyelesaian yang dibuat berbeda-beda (fleksibel) atau jawaban/masalah yang dibuat beragam (fasih). Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa yang kurang kreatif. (5) Siswa tidak mampu membuat alternatif jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat masalah yang berbeda dengan lancar (fasih) dan fleksibel. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat 6.

dinamakan sebagai siswa yang tidak kreatif. Mursidik, E.M., dkk. (2015) meneliti kemampuan berpikir kreatif siswa SD ditinjau dari indikator kemampuan berpikir kreatif dalam menyelesaikan soal open-ended berdasarkan tingkat kemampuan matematika siswa. Hasil penelitian menunjukkan kemampuan berpikir kreatif siswa yang memiliki tingkat kemampuan matematikanya tinggi pada aspek berpikir lancar sangat baik karena siswa kategori tinggi mampu memunculkan lebih dari satu ide dalam menyelesaikan masalah matematika open-ended. Untuk aspek berpikir luwes, siswa pada kategori tinggi berada pada kriteria baik artinya pada umumnya mampu menentukan satu cara dalam menyelesaikan masalah matematika open-ended. Aspek keaslian juga berada pada kriteria baik artinya cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah dengan cara yang umum tetapi mengarah pada penyelesaian. Sedangkan kemampuan pada aspek berpikir elaboratif sangat baik, artinya siswa dapat memperjelas penyelesaian dengan rinci dan tepat. Kemampuan berpikir kreatif siswa untuk kategori sedang pada aspek berpikir lancar, berpikir luwes, dan berpikir orisinil berada pada kriteria baik. Sedangkan kemampuan pada aspek berpikir elaboratif berada pada kriteria sangat baik, artinya siswa dapat memperinci penjelasan dengan tepat.Kemampuan berpikir kreatif siswa untuk kategori rendah secara keseluruhan berada pada kriteria kurang baik. Secara keseluruhan untuk siswa

7.

kemampuan rendah masih perlu pembinaan. Kurniawan, Indra, Kusmayadi, T.A., dan Sujadi, Imam. (2015) meneliti proses berpikir kreatif siswa climber dalam pemecahan masalah matematika pada materi peluang. Proses tersebut ialah : (1) pada tahap persiapan, siswa semangat saat diberikan tes pemecahan masalah. Siswa menyampaikan hal

77

yang diketahui dan ditanyakan secara lengkap dan benar dengan berbagai cara, yaitu: (a) menuliskan langkah-langkah dan mengubah ke dalam bentuk pemisalan, (b) hanya menuliskan langkah-langkah pengerjaan, (c) hanya mengubah hal yang diketahui ke dalam bentuk pemisalan; (2) pada tahap inkubasi, saat memahami peluang suatu kejadian, ada siswa yang: (a) mempraktekkan peluang tersebut, (b) fokus memahami permasalahan, (c) kurang fokus memahami permasalahan. Selanjutnya siswa mendapatkan ide dengan membuat diagram lengkap kemudian mengalikan kemungkinan yang terjadi pada peluang pengambilan pertama dan kedua; (3) pada tahap iluminasi, siswa menghitung nilai peluang yang ditanyakan berdasarkan diagram lengkap dengan menjumlahkan kemungkinan peluang yang sesuai. Siswa mendapatkan berbagai cara baru, yaitu: (a) diagram tidak lengkap dan rumus peluang, (b) diagram tidak lengkap, (c) rumus peluang. Siswa menjelaskan asal mula cara baru yang didapat. Siswa menyelesaikan permasalahan yang ada dengan cara baru; (4) pada tahap verifikasi, siswa mengawali dengan menguji kembali semua hal yang telah dikerjakan pada 8.

cara lama dan cara baru. Habiba, F.E., Sunardi, dan Trapsilasiwi, D. (2015) mendeskripsikan keterampilan metakognisi berdasarkan kemampuan berpikir kreatif dalam menyelesaikan masalah matematika. Hasil penelitian menunjukkan siswa kategori tidak kreatif tidak memenuhi indikator keterampilan metakognisi. Pada monitoring, siswa tidak dapat menentukan strategi untuk menyelesaikan masalah. Pada evaluasi, siswa tidak mengevaluasi atau memperbaiki kembali cara dan perhitungan. Siswa kategori kurang kreatif dapat memahami soal dan menentukan rencana di awal. Pada monitoring, strategi diselesaikan dengan langkah-langkah yang sudah benar. Pada evaluasi, siswa secara sadar mengetahui kesalahannya tetapi tidak mengevaluasi kembali pekerjaannya. Siswa kategori cukup kreatif memenuhi indikator keterampilan metakognisi. Siswa mengidentifikasi informasi dan menentukan rencana awal dengan baik. Pada monitoring, siswa dapat menentukan strategi untuk menyelesaikan masalah. Pada evaluasi, siswa mengevaluasi langkah atau perhitungan pemecahan masalah.

78

9.

Anggraini,

M.D.

(2016)

menganalisis

kemampuan

berpikir

kreatif

berdasarkan kemampuan metakognisi siswa pada pembelajaran matematika. Hasil penelitian diperoleh sebagai berikut: a. Siswa dengan kemampuan metakognisi tinggi termasuk ke dalam kelompok siswa yang kreatif karena memenuhi dua aspek yaitu kefasihan dan fleksibilitas. Siswa tersebut mensintesis ide melalui pengalaman sehari-hari dan buku serta tidak merasa kesulitan dalam menemukan cara apa yang harus digunakan. Pada tahap membangun ide, siswa mempertimbangkan informasi yang diketahui pada soal dan dapat menggabungkan beberapa ide dalam menyelesaikan masalah. Siswa merencanakan penerapan ide dengan mencoret-coret ide yang muncul dalam

pikirannya

dan

tidak

mengaitkan

konsep

lain

dalam

menyelesaikan soal yang diberikan. Sedangkan pada tahap menerapkan ide, ide yang digunakan merupakan cara atau konsep yang baru dengan memperhatikan yang diketahui, rumus-rumus dan soalsoal yang pernah diberikan oleh guru. b. Siswa dengan kemampuan metakognisi sedang termasuk ke dalam kelompok siswa yang sangat kreatif dan kurang kreatif. Siswa yang sangat kreatif memenuhi aspek fleksibilitas dan kebaruan sedangkan siswa yang kurang kreatif hanya memenuhi aspek kefasihan. Pada tahap mensintesis ide siswa yang sangat kreatif mendapatkan ide dari pengalaman mengerjakan soal-soal di internet, tempat les dan buku, sedangkan siswa yang kurang kreatif mendapatkan ide dengan mengirangira rumus yang pernah di dapatkan dalam pembelajaran. Dalam membangun ide, siswa-siswa tersebut mempertimbangkan apa yang diketahui pada soal untuk memunculkan ide, tidak merasa kesulitan membangun ide untuk memecahkan soal yang diberikan dan dapat menggabungkan beberapa ide dalam menyelesaikan masalah. Pada tahap merencanakan penerapan ide siswa yang sangat kreatif membayangkaan ide, kemudian ditulis di lembar jawab yang disediakan, sedangkan siswa yang kurang keratif merencanakan penerapan dengan mencoret-coret idenya. Akan tetapi siswa-siswa tersebut tidak mengaitkan konsep lain dalam menyelesaikan soal yang diberikan. Siswa-siswa tersebut

79

menerapkan ide berdasarkan cara baru dengan memperhatikan yang diketahui pada soal dan soal yang pernah diberikan oleh guru. Akan tetapi siswa yang kurang kreatif mempertimbangkan soal yang mudah dahulu. 10. Chuang (2002) menerapkan alur belajar dalam pemecahan masalah. Chuang lebih melihat alur belajar sebagai barisan aktivitas atau proses. Para responden diminta untuk memberikan komentar terhadap pernyataan Barbara beserta alasannya. Barbara mengatakan bahwa panjang dari keempat sisi dari segiempat yang paling kanan pada gambar dibawah ini adalah sama, jadi bangun tersebut adalah belah ketupat.

Dalam penelitian tersebut ditemukan beberapa alur belajar berupa proses belajar yang bersifat hipotetik tentang bagaimana responden mengomentari pernyataan tersebut lengkap dengan alasannya. Alur belajar tesebut sebagai berikut: (1) dugaan lugu dari responden mengenai pernyataan Barbara, (2) penjelasan dangkal (3) penjelasan tidak lengkap dengan argumen ada yang benar dan ada yang tidak benar (4) menuju penjelasan lengkap (5) penjelasan lengkap. 11. Lestari, July, Pranata, O.H., dan Muiz L, D.A. (2018) merancang sebuah desain didaktis jaring-jaring kubus dan balok yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Desain didaktis dikembangkan dalam bahan ajar berupa Lembar Aktivitas Siswa yang dirancang berdasarkan hypothetical learning trajectory. Penelitian ini menghasilkan data mengenai hambatan belajar siswa pada materi jaring-jaring kubus dan balok, desain didaktis yang dapat mengatasi hambatan belajar siswa pada materi jaring kubus dan balok, dan implementasi desain didaktis jaring kubus dan balok untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam proses pembelajaran. Berdasarkan implementasi desain yang dilakukan, diketahui bahwa Lembar Aktivitas Siswa dapat digunakan pada proses pembelajaran

80

jaring-jaring kubus dan balok yang dapat mengarahkan siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya. 12. Abdur Rohim (2015) meneliti tentang efektivitas penggunaan media kubus guling berwarna (meku-guwa) dalam menemukan pola jaring-jaring kubus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 siswa dari 5 siswa yang berhasil menemukan minimal 5 pola berbeda jaring-jaring kubus dalam waktu 30 menit. Hasil ini memberikan arti bahwa penggunaan media kubus guling berwarna dalam menemukan pola jaring-jaring kubus efektif. Lebih lanjut, Abdur Rohim (2016) mengembangkan suatu desain pembelajaran atau teori pembelajaran lokal (local instruction theory) yang menghasilkan learning trajectory penemuan konsep luas permukaan kubus melalui jaring-jaring kubus yang diperoleh menggunakan media kubus guling berwarna (mekuguwa) pada siswa kelas VIII. Berdasarkan hasil penelitian langkah-langkah pembelajaran luas permukaan kubus adalah: 1. Menentukan tujuan pembelajaran 2. Menjelaskan penggunaan media kubus guling berwarna (meku-guwa) 3. Menemukan berbagai pola jaring-jaring kubus 4. Memberikan pertanyaan bertahap untuk mengarahkan siswa menemukan konsep luas permukaan kubus 5. Mengechek pemahaman siswa dengan variasi soal yang beragam dan bertingkat (masalah sederhana ke masalah kompleks). 2.3.

Kerangka Konseptual Siswa yang dapat berpikir kreatif akan mampu menyelesaikan masalah

secara efektif. Agar kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dapat meningkat, guru dapat membantu dengan cara membuat lintasan belajar. Lintasan belajar sangat berguna bagi guru, khususnya dalam menentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, kemudian merencanakan langkah-langkah pembelajaran agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Bagi siswa, lintasan belajar dapat memfasilitasi tumbuh-kembangnya kemampuan berpikir kreatif matematis jika dirancang sesuai dengan karakteristik tujuan belajar. Pada saat merancang aktivitas belajar, guru perlu membuat dugaan rute perjalanan yang akan ditempuh siswa agar dapat mencapai tujuan pembelajaran tetapi harus dapat memungkinkan siswa memunculkan ide kreatifnya.

81

Ide kreatif yang mungkin muncul ketika siswa melewati setiap rute belajarnya dapat terekam dengan baik oleh siswa apabila guru membantu dengan mengajukan pertanyaan yang dapat memicu kesadaran siswa tentang proses berpikirnya. Pertanyaan-pertanyaan itu disebut pertanyaan metakognisi. Melalui pertanyaan metakognisi siswa dilatih untuk memiliki keterampilan metakognisi, yakni dapat merencanakan ide kreatifnya, memonitor (mengatur) ide tersebut agar dapat digunakan sebagai pemecahan masalah, dan mengevaluasi ide kreatifnya apakah memiliki kekurangan, dan berusaha menyempurnakannya. Pendekatan pembelajaran yang sangat diperlukan agar dapat mendukung meningkatnya kemampuan berpikir kreatif siswa dengan fasilitas lintasan belajar ialah menggunakan pendekatan metakognitif. Beberapa aspek metakognisi yaitu pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural memberikan pengaruh pada kreativitas. Pengetahuan deklaratif dapat meningkatkan kreativitas dengan menyediakan informasi faktual dan pengetahuan prosedural mempengaruhi kreativitas dengan menyediakan petunjuk-petunjuk untuk strategi berpikir. Metakognisi bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh kembangnya kemampuan pembelajaran

berpikir kreatif. Oleh

karena

itu

pelaksanaan

semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan

metakognisi ini.

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Swasta Al-Washliyah 1 Medan yang beralamat di Jalan Ismailiyah No 10 pada Semester Ganjil T.A. 2018/2019. 3.2. Subjek dan Objek Penelitian 3.3.1. Subjek Penelitian

82

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-1 dan VIII-3 SMP Swasta Al-Washliyah 1 Medan. Subjek penelitian pada pilot experiment berjumlah 10 (sepuluh) orang siswa kelas VIII-1. Siswa yang berasal dari kelas VIII-1 dipilih sebagai subjek penelitian pada pilot experiment berdasarkan tingkat kemampuan berpikir kreatifnya. Tingkat kemampuan berfikir kreatif siswa diketahui melalui soal terbuka yang diberikan peneliti pada saat melakukan observasi. Masingmasing 2 orang subjek berasal dari siswa yang berkemampuan “sangat kreatif”, “kreatif”, “cukup kreatif”, “kurang kreatif”, dan “tidak kreatif”. Selain menggunakan hasil tes observasi, pemilihan siswa yang akan dijadikan subjek penelitian dibantu oleh Guru Bidang Studi Matematika. Selanjutnya pada teaching experiment subjek penelitian berjumlah 17 orang siswa kelas VIII-3. Kelas VIII-3 dipilih sebagai subjek penelitian karena secara umum siswa-siswa di kelas tersebut memiliki antusiasme yang tinggi terhadap pembelajaran dan lebih aktif dalam belajar. Hal ini menjadi alasan agar memudahkan peneliti mengungkap lintasan belajar berpikir kreatif siswa, terutama dalam mengungkap tahapan proses berpikir kreatif. Selain itu kelas VIII3 merupakan kelas dengan siswa yang jumlahnya paling sedikit dibandingkan kelas lain yang setara. Hal ini bertujuan agar aktivitas siswa pada saat pembelajaran dapat diamati lebih spesifik karena jumlah siswanya yang sedikit. Berdasarkan hasil tes kemampuan berpikir kreatif siswa yang akan diberikan pada akhir pembelajaran, akan dipilih minimal 3 orang siswa yang berpikir kreatif berdasarkan indikator berpikir kreatif yang telah dijelaskan diatas. Siswa-siswa tersebut dipilih dari masing-masing indikator berpikir kreatif. Selanjutnya mereka akan dijadikan sebagai informan kunci pada penelitian ini. Informan lain pada penelitian ini adalah guru dan teman siswa itu sendiri. Perubahan penetapan siswa sebagai informan kunci pada saat penelitian berjalan sangat mungkin dilakukan. Hal ini dapat terjadi apabila terdapat hambatan dalam mengungkap lintasan proses berpikir kreatif siswa, misalnya siswa sulit berbicara saat diwawancarai atau karena faktor lain. Namun penetapan informan kunci tetap berdasarkan indikator berpikir kreatif. 3.3.2. Objek Penelitian Objek yang diamati dalam penelitian ini adalah perilaku kreatif siswa dan kegiatan belajar saat proses pembelajaran menggunakan pendekatan metakognitif

83

pada materi jaring-jaring kubus. Variabel-variabel penelitian yang dijadikan titik incar untuk menjawab rumusan masalah adalah berupa: (1) kemampuan berpikir kreatif matematis siswa; (2) lintasan belajar siswa; dan (3) tahapan proses berpikir kreatif matematis siswa. 3.3. Jenis dan Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian desain (design research). Penelitian desain merupakan metode penelitian yang fokus pada pengembangan Local Instructional Theory (LIT) dengan kerjasama antara peneliti dan guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran (Gravemeijer & Eerde, 2009). Menurut Plomp (2007:13), design research adalah suatu kajian sistematis tentang merancang, mengembangkan dan mengevaluasi intervensi pendidikan (seperti program, strategi dan bahan pembelajaran, produk dan sistem) sebagai solusi untuk memecahkan masalah yang kompleks dalam praktik pendidikan, yang juga bertujuan untuk memajukan pengetahuan kita tentang karakteristik dari intervensi-intervensi tersebut serta proses perancangan dan pengembangannya. Menurut Cobb (dalam Bakker, 2004) istilah design research juga dimasukan ke dalam penelitian pengembangan (developmental research), karena berkaitan dengan pengembangan materi dan bahan pembelajaran. Gravemeijer dan Eerde (2009) menyatakan bahwa terdapat dua karakteristik yang menonjol dalam design research, yaitu peran khusus dari desain dan peran khusus dari eksperimen. Walaupun memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan model penelitian pengembangan yang lain, design research memiliki karakteristik khusus sebagai berikut (dalam van den Akker et al., 2006 : 5). a. Interventionist, penelitian bertujuan untuk merancang suatu intervensi dalam dunia nyata. Design research bersifat fleksibel karena desain aktivitas pembelajaran dapat diubah selama penelitian untuk mengatur situasi pembelajaran b. Iterative, penelitian menggabungkan pendekatan siklikal (daur) yang meliputi perancangan, evaluasi dan revisi. Proses pembelajaran yang sebenarnya digunakan sebagai dasar untuk merevisi aktivitas berikutnya. c. Process oriented, desain disusun berdasarkan rencana pembelajaran dan sebagai alat atau perangkat yang digunakan untuk membantu pembelajaran

84

d. Utility oriented, keunggulan dari rancangan diukur untuk bisa digunakan secara praktis oleh pengguna. e. Theory oriented, rancangan dibangun didasarkan pada preposisi teoritis kemudian dilakukan pengujian lapangan untuk memberikan konstribusi pada teori. Ada tiga motif penggunaan design research (van den Akker et al., 2006), yaitu untuk meningkatkan relevansi penelitian, mengembangkan landasan teori secara empiris, dan meningkatkan kekokohan penerapan rancangan. Penggunaan design research didasarkan pada keinginan untuk meningkatkan relevansi penelitian dengan kebijakan dan praktik pendidikan. Design research memiliki tujuan untuk mengembangkan teori-teori yang diperoleh dari pengalaman empiris dengan menggabungkan kajian pada proses pembelajaran dengan berbagai aspek yang mendukung proses pembelajaran tersebut. Motif ini menegaskan design research sebagai penelitian design experiment yang menghasilkan landasan teori (grounded theory) melalui pendekatan kualitatif. Dalam upaya meningkatkan kekokohan dari penerapan sebuah rancangan, ada kebutuhan untuk mengekstrak rancangan penbelajaran agar eksplisit dan menghasilkan upaya pengembangan rancangan berikutnya. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap pelaksanaan yang dikemukakan oleh Gravemeijer & Cobb (2006), yaitu tahap persiapan eksperimen, tahap pelaksanaan eksperimen dan tahap analisis retrospektif. Pada tahap persiapan eksperimen, disusun perangkat pembelajaran berdasarkan dugaan alur belajar perbandingan yang telah dirumuskan, kemudian perangkat divalidasi dan diuji keterbacaannya sebelum digunakan. Pada tahap pelaksanaan eksperimen, perangkat pembelajaran diujicobakan dan dugaan alur belajar menjadi acuan dalam menentukan fokus pengamatan. Pada tahap analisis retrospektif, data-data yang diperoleh saat maupun setelah tahap pelaksanaan eksperimen dianalisis dengan dugaan alur belajar sebagai acuan dalam menentukan fokus analisis. Dalam uji coba desain pada penelitian design research terdiri atas proses siklik dari eksperimen pikiran dan eksperimen pembelajaran. Siklus kecil dari eksperimen

pikiran

(thought

experiment)

dan

eksperimen

pembelajaran

(instruction experiment) menyediakan pengembangan teori pembelajaran lokal. Dalam kenyataannya, ada relasi reflektif antara eksperimen pikiran dan

85

eksperimen pembelajaran dengan teori pembelajaran lokal yang dikembangkan. Di satu sisi, dugaan teori pembelajaran lokal mengarahkan eksperimen pikiran dan eksperimen pembelajaran, di lain sisi, eksperimen pikiran dan eksperimen pembelajaran mempertajam teori pembelajaran lokal (local instructional theory). Adapun proses siklik yang dimaksud ditunjukkan oleh Gambar 3.1 berikut.

Gambar 3.1. Siklus Design Research Hypothetical learning trajectory (HLT) merupakan instrumen yang digunakan dalam keseluruhan tahap design research (Bakker, 2004). HLT berisi rencana aktivitas pembelajaran dan antisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi di kelas, dengan tetap memperhatikan tujuan pembelajaran. HLT digunakan sebagai acuan untuk mengumpulkan data yang akan dianalisis, meliputi data hasil validasi, data proses belajar siswa, data hasil wawancara, data hasil tes dan data catatan lapangan. Melalui HLT sebagai acuan, peneliti membandingkan dugaan alur belajar (HLT) dengan proses belajar siswa yang sesungguhnya (Actual Learning Trajectory) selama kegiatan pembelajaran. Peneliti menginvestigasi bagaimana HLT yang telah dibuat dapat berjalan di kelas, dengan mengamati video kegiatan pembelajaran dan menelaah hasil pekerjaan siswa berupa hasil tes. Melalui video kegiatan pembelajaran, peneliti memilih beberapa momen penting (potongan video yang menunjukkan proses belajar siswa) yang sesuai atau tidak sesuai dengan HLT. Selanjutnya, dibuat transkrip dari percakapan yang terjadi pada potongan video yang telah dipilih tersebut. Transkrip ini merupakan dasar empiris dalam menginterpretasikan kesesuaian dugaan alur belajar (HLT) dengan proses belajar siswa (ALT). Kemudian peneliti menelaah data hasil pekerjaan siswa sebagai sumber data lain untuk menginvestigasi kesesuaian dugaan alur belajar dengan proses belajar siswa, baik yang mendukung proses belajar yang terekam pada video

86

pembelajaran atau yang tidak terekam. Berdasarkan potongan video yang telah dipilih dan hasil pekerjaan siswa, selanjutnya data-data tersebut dikonfirmasikan dengan data hasil wawancara sebagai bagian dari upaya untuk memperoleh informasi tentang proses belajar siswa jika terdapat hasil pekerjaan siswa yang berbeda dengan apa yang terekam pada video kegiatan pembelajaran. Jika pembelajaran yang dilakukan tidak sesuai dengan desain HLT yang sudah dirancang, maka peneliti meginvestigasi apa yang menjadi penyebabnya dan apa yang harus dilakukan pada rancangan HLT berikutnya, untuk memperbaiki alur belajar siswa. Setelah peneliti melakukan pendesainan kembali (though experiment) terhadap HLT, kemudian HLT yang baru (instruction experiment) tersebut akan diujikan kembali kepada siswa. Proses ini berlangsung secara terus menerus sampai desain HLT yang dirancang sesuai dengan ALT (Actual Learning Trajectory). Selanjutnya kesimpulan ditarik berdasarkan hasil analisis yang memaparkan deskripsi alur belajar siswa untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian Produk yang dihasilkan oleh penelitian ini ialah suatu teori pembelajaran lokal (local instruction theory). Desain yang dikembangkan adalah dugaan lintasan belajar atau Hypothetical Learning Trajectory (HLT) yang memuat sederetan aktivitas pembelajaran yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran dari suatu topik yang dipilih, yaitu menemukan berbagai pola jaring-jaring kubus. HLT tersebut direvisi secara berulang sampai dianggap cukup untuk menghasilkan sebuah LIT (local instruction theory). Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini menghasilkan data berupa jawaban tertulis atau lisan dari subjek dan perilaku yang diamati. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan segala sesuatu yang berkaitan dengan lintasan belajar yang dilalui siswa pada materi jaring-jaring kubus, proses berpikir kreatif dan tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa. Melalui bahan ajar berupa Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang dirancang berdasarkan Hypothetical Learning Trajectory dan dengan kegiatan belajar menggunakan pendekatan metakognitif dalam menemukan jaring-jaring kubus diharapkan dapat memfasilitasi siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Adapun hypothetical learning trajectory pada materi jaringjaring kubus ditunjukkan oleh Tabel 3.1 berikut.

87

88

Tabel 3.1 Hypothetical Learning Trajectory Materi Jaring-Jaring Kubus

Periode Topik Subtopik

Pertemuan keRencana Aktivitas Pembelajaran

Periode 1 ————→ Periode 2 ——————→ Periode 3 ———————→ Periode 4 ——————→ Periode 5 Kubus dan Jaring-jaring Kubus Persegi dan sifat- Kubus dan sifat-sifatnya Pengenalan JaringMembuat jaring-jaring Mengenali sifatnya jaring Kubus kubus perbedaan jaring-jaring kubus dan yang bukan jaringjaring kubus I II III IV V (1) Review (1) Mengonstruksi enam (1) Menyebutkan mengingat buah persegi menjadi benda-benda yang bangun datar sebuah bangun ruang menyerupai kubus persegi dalam kehidupan sehari-hari (2) Memahami (2) Memahami pengertian (2) Memahami pengertian bangun ruang yang pengertian jaringpersegi terbentuk dan jaring kubus mengetahui nama bangun tersebut (3) Menyebutkan (3) Menyebutkan unsur- (3) Memahami sifatunsur-unsur unsur bangun tersebut sifat yang dimiliki persegi jaring-jaring kubus

1. Menemukan jaringjaring kubus dengan pola 1-4-1 2. Menemukan jaringjaring kubus dengan pola 2-3-1 3. Menemukan jaringjaring kubus dengan pola 2-2-2 4. Menemukan jaringjaring kubus dengan pola 3-3 5. Menemukan jaringjaring kubus yang baru (jika ada)

(4) Menyebutkan (4) Menyebutkan sifat-sifat (4) Mengetahui cara sifat-sifat bangun tersebut membuat jaringpersegi jaring kubus Keterangan : Periode 1,2,3,.. : Urutan waktu pembelajaran → : Urutan antar subtopik

Membedakan rangkaian bangun datar mana yang merupakan jaring-jaring kubus dan mana yang bukan jaring-jaring kubus

↓ : Urutan antar submateri

89

3.4. Prosedur Penelitian Gravemeijer & Cobb (2006) mengungkapkan bahwa terdapat tiga tahap dalam penelitian desain, yaitu preparing for experiment, design experiment, dan retrospective analysis. Berikut penjelasan dari masing-masing tahap tersebut. 1. Preparing for the Experiment a. Desain Pendahuluan (Preliminary Design) Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk mengembangkan urutan aktivitas pembelajaran dan mendesain instrumen untuk mengevaluasi proses pembelajaran tersebut (Widjaja, 2008). Pada tahap ini peneliti mengklarifikasi tujuan pembelajaran yang akan dicapai siswa dan menentukan titik awal pembelajaran, merencanakan kegiatan pembelajaran, dan membuat konjektur pemikiran siswa. Adapun rincian hal-hal yang dilakukan pada tahap ini yaitu :  Mengkaji literatur. Beberapa literatur yang dijadikan sebagai bahan penelitian yaitu tentang kemampuan berpikir kreatif, pendekatan metakognitif, lintasan belajar (learning trajectory), materi jaring-jaring kubus, media kubus guling berwarna, dan design 

research, sehingga dapat dibentuk suatu konjektur strategi dan berpikir siswa. Melakukan diskusi antara peneliti dan guru mengenai kondisi kelas, keperluan penelitian,



jadwal dan cara pelaksanan penelitian. Peneliti menelusuri kemampuan awal siswa dengan memberikan tes berupa soal terbuka untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif yang diberikan pada saat observasi. Hasil ini digunakan sebagai landasan dalam membuat learning trajectory sehingga desain



instruksionalnya lebih sesuai dengan kemampuan siswa. Merancang HLT. Pada tahap ini peneliti membuat rancangan HLT, yaitu prediksi urutan aktivitas pembelajaran pada materi jaring-jaring kubus. Perkiraan dari HLT disesuaikan

 

dengan tahapan pembelajaran siswa selama penelitian berlangsung. Merancang perangkat pembelajaran, berupa RPP dan LAS, dan instrumen penelitian Menyusun lembar validasi untuk RPP, LAS, dan tes kemampuan berpikir kreatif. b. Percobaan penelitian (Pilot Experiment) Percobaan penelitian ini merupakan jembatan antara tahap desain awal dan tahap

teaching experiment. Tujuan dari percobaan penelitian ini adalah untuk menguji HLT awal. Sasaran utama dari tahap ini adalah mengumpulkan data untuk mendukung kesesuaian HLT awal dengan lintasan belajar sesungguhnya. Pada tahapan ini HLT akan diujicobakan pada 6 siswa kelas VIII-1 dengan tingkat kemampuan berpikir kreatif yang berbeda. Kemudian keenam siswa tersebut juga akan diwawancarai untuk mengetahui pemahaman dan kesulitan siswa secara mendalam. Hasil diskusi dengan guru dan wawancara dengan siswa akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memperbaiki HLT. 2. Teaching Experiment Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan desain eksperimen yang dilakukan setelah tahap persiapan. Menurut Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker et al, 2006) tujuan dari uji coba

90

desain adalah menguji dan meningkatkan dugaan teori pembelajaran lokal (a conjecture local instruction theory) yang sudah dikembangkan pada tahap pertama, serta mengembangkan pemahaman bagaimana desain tersebut bekerja selama eksperimen berlangsung. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan penelitian. Selama proses pembelajaran berjalan, konjektur dapat dimodifikasi sebagai revisi dari local instructional theory untuk aktivitas berikutnya. Sebelum melakukan kegiatan pembelajaran dalam teaching experiment, peneliti dan guru melakukan diskusi tentang kegiatan pembelajaran. Peneliti bertindak sebagai pengajar dan dibutuhkan dua pengamat lain untuk mengamati setiap aktivitas dan momen penting selama proses uji coba tersebut. Pada tahap ini sederetan aktivitas pembelajaran dilakukan sesuai dengan aktivitas yang ada pada HLT, lalu pengamat mengobservasi apa yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung di kelas. Kegiatan pembelajaran di kelas dilakukan selama 2 jam pelajaran pada 5 pertemuan Selama pelaksanaan tahap teaching experiment, peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan foto dan video, hasil kerja siswa, lembar observasi aktivitas siswa dan beberapa siswa dipilih untuk diwawancarai. 3. Retrospective Analysis Pada tahap retrospective analysis, data yang diperoleh akan dianalisis untuk mengetahui apakah desain HLT yang dirancang sesuai atau tidak dengan ALT (Actual Learning Trajectory). Peneliti membandingkan HLT dengan aktivitas pembelajaran yang telah terlaksana dan kemudian digunakan sebagai panduan referensi utama dalam menjawab rumusan masalah penelitian. Selain itu HLT juga dibandingkan dengan data-data yang dihasilkan untuk mendeskripsikan kemampuan berpikir kreatif siswa. Data yang dianalisis meliputi rekaman video proses pembelajaran dan hasil interview terhadap siswa dan guru, Lembar Aktivitas Siswa, hasil tes kemampuan berpikir kreatif pada materi jaring-jaring kubus, serta rekaman audio hasil wawancara yang memuat proses penelitian. Setelah melakukan analisis terhadap data yang diperoleh, maka selanjutnya dapat ditarik kesimpulan mengenai pertanyaan penelitian.

3.5. Perancangan Perangkat Pembelajaran Rancangan perangkat pembelajaran disusun sesuai dengan prinsip dan karakteristik pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Perangkat pembelajaran yang akan dirancang yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Aktivitas Siswa (LAS).

91

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun berdasarkan pada komponen sintaks pembelajaran dengan pendekatan metakognitif. RPP ini digunakan sebagai pegangan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas setiap pertemuan. Komponen utama RPP yang disusun meliputi: (1) Identitas sekolah, mata pelajaran, dan kelas/semester, (2) Kompetensi Inti, (3) Kompetensi Dasar, (4) Indikator Pencapaian Kompetensi, (5) Materi Pokok, (6) Model, strategi, dan pendekatan pembelajaran, (7) Skenario pembelajaran, berisi kegiatan guru dan siswa selama proses pembelajaran dan pemberian petunjuk penggunaan fasilitas pembelajaran (8) Media/alat, bahan, sumber bacaan, dan (9) Penilaian. Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang disusun didasarkan pada komponen sintaks pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan berisi soal-soal terbuka untuk melatih kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. LAS ini digunakan oleh siswa dalam memahami konsep kubus dan jaring-jaring kubus dengan cara menyelesaikan masalah yang terdapat di dalamnya. Pada LAS ini, disajikan langkah-langkah serta petunjuk pemecahan masalah dengan tujuan agar siswa melakukan kegiatan pemecahan masalah dan memahami berbagai konsep dan prinsip materi jaring-jaring kubus. Di bagian akhir LAS, disajikan soal tantangan yang akan diselesaikan siswa sebagai aplikasi konsep dan prinsip matematika yang telah dipahami. Komponen utama LAS yang disusun meliputi: (1) Kompetensi Inti, (2) Kompetensi Dasar, (3) Indikator Pencapaian Kompetensi, (4) Petunjuk penggunaan LAS, dan (5) Sajian langkah-langkah dan petunjuk pemecahan masalah. 3.6. Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan metode dan prosedur yang digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada 5 (lima) cara, yaitu : a. Tes Tertulis Tes dalam hal ini adalah seperangkat soal-soal open ended berbentuk uraian yang digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan berpikir kreatif matematis yang diberikan kepada siswa sesudah pembelajaran dilaksanakan. Tes dilakukan untuk menentukan minimal 3 (tiga) orang siswa yang akan dijadikan sebagai informan kunci yang memiliki kemampuan berpikir kreatif matematis. Penentuan informan kunci dilihat dari hasil tes berdasarkan indikator berpikir kreatif, yaitu keluwesan (fluency), kelenturan (flexibility), kebaruan (originality), dan mengembangkan (elaboration). Keluwesan (fluency) merupakan banyaknya alternatif jawaban yang diberikan siswa. Kelenturan (flexibility) merujuk pada alternatif jawaban yang tidak ketat aturan. Kebaruan (originality) merujuk pada banyaknya alternatif jawaban yang unik dan baru, dan mengembangkan (elaboration) merujuk pada alternatif jawaban yang rinci dan detail sehingga membuatnya lebih menarik.

92

Selain itu tes dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan berpikir kreatif siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif pada materi jaring-jaring kubus berbantuan media kubus guling berwarna. Berdasarkan hasil tes siswa akan dikelompokkan pada tingkat kemampuan berpikir kreatifnya. Adapun penentuan untuk mengelompokkan siswa ke dalam tingkat kemampuan berpikir kreatif yaitu berdasarkan Tabel 3.2 berikut. Tabel 3.2 Karakteristik Tingkat Kemampuan Berpikir Kreatif TKBK Tingkat 4 (Sangat Kreatif) Tingkat 3 (Kreatif)

Keterangan Siswa mampu menghasilkan lebih dari satu alternatif jawaban (fasih) yang bervariasi (fleksibel) dan unik (original), serta mampu membuat jawaban tersebut menjadi lebih menarik (mengembangkan). Siswa mampu menghasilkan jawaban yang baru (original) dengan cara penyelesaian yang berbeda (fleksibel) meskipun tidak fasih atau membuat berbagai jawaban yang baru (original) meskipun tidak

Tingkat 2 (Cukup Kreatif) Tingkat 1 (Kurang Kreatif) Tingkat 0 (Tidak Kreatif)

dengan cara yang berbeda (tidak fleksibel) Siswa mampu membuat satu jawaban yang berbeda dari kebiasaan umum (fleksibel) meskipun tidak fasih, atau mampu menunjukkan berbagai cara penyelesaian yang berbeda (fleksibel) dengan fasih meskipun jawaban yang dihasilkan tidak baru. Siswa tidak mampu membuat jawaban yang berbeda (baru), meskipun salah satu kondisi berikut dipenuhi, yaitu cara penyelesaian yang dibuat bervariasi (fleksibel) atau jawaban yang dibuat beragam (fasih). Siswa tidak mampu membuat alternatif jawaban maupun cara penyelesaian yang berbeda dengan lancar (fasih) dan fleksibel.

Tes disusun berdasarkan materi ajar “jaring-jaring kubus” di kelas VIII SMP dengan jumlah soal sebanyak 2 butir. Dalam perancangan tes, dilakukan kegiatan berikut: (1) membuat kisi-kisi tes; (2) merancang masalah untuk setiap indikator pencapaian kompetensi dasar; (3) membuat kunci jawaban untuk setiap masalah yang diajukan, dan (4) membuat rubrik penskoran (tes uraian). Berikut kisi-kisi instrumen tes berpikir kreatif matematis . Tabel 3.3. Kisi-kisi Instrumen Tes Berpikir Kreatif Matematis Kompetensi Dasar

Aspek Penilaian

Indikator Penilaian

93

1.1

Menghargai

dan Kelancaran

menghayati

ajaran (fluency)

agama yang dianutnya Keluwesan 2.1 Menunjukkan sikap (flexibility) logis, kritis, analitik, konsisten

dan

bertanggung responsif,

 Menghasilkan banyak alternatif jawaban,

teliti, jawab,

dan

tidak

(originality)

memecahkan masalah. Memperinci 3.9 Menentukan luas (elaborasi) permukaan dan volume dan limas 4.9 Menyelesaikan

menemukan pola jaring-jaring kubus  Menemukan pola jaring-jaring kubus yang bervariasi dan tidak ketat aturan  Dapat melihat suatu masalah yang berkaitan

Kebaruan

mudah menyerah dalam

kubus, balok, prisma,

gagasan, dan penyelesaian masalah dalam

dengan

jaring-jaring

kubus

dari

sudut

pandang yang berbeda  Mampu menemukan pola jaring-jaring kubus yang baru dan unik  Memikirkan cara yang tidak lazim untuk menemukan pola jaring-jaring kubus yang 

baru Mengembangkan atau merinci secara detail jawaban sehingga menjadi lebih menarik.

masalah yang berkaitan dengan luas permukaan dan

volume

bangun

ruang sisi datar (kubus, balok, prima dan limas), serta gabungannya Tes tertulis yang dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung ialah dengan menggunakan Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang dirancang oleh peneliti untuk membimbing siswa memahami konsep kubus dan jaring-jaring kubus. Soal yang diberikan dalam LAS dikerjakan secara berkelompok oleh siswa dan berguna untuk melihat perwujudan HLT. Melalui LAS, lintasan belajar sesungguhnya (ALT) dapat dibandingkan dengan dugaan lintasan belajar yang dirancang dalam LAS. Dengan demikian apabila lintasan belajar yang sesungguhnya telah diperoleh melalui tahap teaching experiment dapat diwujudkan kembali dalam LAS yang baru hasil revisi LAS awal. b. Observasi Proses observasi dilakukan selama proses pembelajaran dengan menggunakan skema observasi dan rekaman video. Kegiatan siswa yang diamati disesuaikan dengan kegiatan siswa yang ada pada panduan wawancara. Observasi dilakukan terhadap tahap proses berpikir kreatif siswa saat pembelajaran berlangsung, mulai dari tahap persiapan, inkubasi,

94

iluminasi, sampai tahap verifikasi. Observasi ini sekaligus digunakan untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifan dari desain pembelajaran yang telah dirancang. Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh dua orang observer yang bertugas mengamati aktivitas siswa. Observer hanya melakukan check list pada lembar observsi yang disediakan. Adapun indikator penilaian yang diobservasi dipaparkan pada Tabel 3.4 berikut.

Tabel 3.4 Lembar Observasi Proses Kreatif Siswa No.

Kegiatan yang Diamati

Hasil Pengamatan Ya

1.

Tidak

Membaca buku atau referensi lain

2.

Membuat ringkasan dari buku yang dibaca

3.

Bertanya kepada teman

4.

Berdiskusi dengan teman

5.

Bertanya kepada guru

6.

Melakukan kegiatan lain yang tidak berhubungan dengan aktivitas pemecahan masalah Melakukan aktivitas untuk menemukan ide kreatif

7.

Menggunakan media dalam proses pencarian ide

Keterangan

95

8.

Menggunting kertas dan kemudian melipat-lipatnya

9.

Menggambar objek-objek matematika Kegiatan presentasi

10.

Mengkritisi jawaban teman dengan bertanya

11.

Menanggapi kritikan teman

12.

Memperbaiki jawaban Pada kolom “Keterangan”, observer memberi keterangan pada masing-masing item

yang diamati bila di checklist “YA”, misalnya: Menuliskan nama referensi dan materi yang dibaca siswa Menuliskan isi ringkasan dari referensi yang dibaca siswa Menuliskan apa yang didiskusikan dengan temannya Menuliskan apa yang ditanya kepada temannya Menuliskan apa yang ditanya kepada gurunya Menuliskan kegiatan lain yang dilakukan siswa Melakukan aktivitas untuk menemukan ide kreatif 7. Menuliskan media yang digunakan siswa untuk menemukan ide 8. Menuliskan nama bangun datar yang digunting kemudian dilipat-lipat 9. Menuliskan nama bangun datar yang digambar Kegiatan presentasi 10. Menuliskan apa yang dikritisi oleh temannya 11. Menuliskan isi tanggapan kritikan teman 12. Menuliskan jawaban yang diperbaiki siswa c. Wawancara Pada tahap preparing for the experiment wawancara dilakukan kepada guru mengenai 1. 2. 3. 4. 5. 6.

rancangan HLT awal dan pembelajaran yang akan menggunakan pendekatan metakognitif. Setelah pelaksanaan teaching experiment, wawancara dilakukan kepada siswa yang berperan sebagai informan kunci untuk mengetahui proses berpikir kreatifnya ketika memecahkan masalah dalam LAS dan tes akhir berdasarkan tahapan proses berpikir kreatif menurut Wallas. Adapun indikator panduan wawancara yang dirancang dipaparkan pada Tabel 3.5.

96

Tabel 3.5 Panduan Wawancara Proses Kreatif Siswa No.

Tahapan Berpikir Kreatif

1

Persiapan

Indikator  Siswa mengumpulkan semua data-data yang relevan dengan pemecahan masalah  Mempersiapkan bahan materi berupa buku, bahan bacaan, dan sumber data lain.  Siswa membuat ringkasan dari bahan yang dibaca  Berusaha memahami masalah  Mencoba mengubah masalah kedalam bentuk penyelesaian yang lebih memungkinkan  Melakukan penyelidikan terhadap masalah dengan

2

Inkubasi



salah satu cara bertanya kepada guru atau teman Siswa mengalihkan perhatian ke masalah lain dan

cenderung tidakpeduli terhadap masalah yang dihadapi  Siswa merasa bosan dan melakukan kegiatan lain  Melakukan aktivitas merenung atau terdiam  Siswa merasa gelisah dan kurang koordinasi  Siswa membaca soal berkali-kali  Mencoba mengingat pelajaran yang berkaitan dengan 

pemecahan masalah Mencoba membuat

sketsa,

mencoret-coret,

atau

membuat catatan untuk menghasilkan ide pemecahan 3

Iluminasi

4

Verifikasi

    

masalah Siswa terlihat menemukan idenya tiba-tiba Mencoba menyusun ide-ide kreatif yang telah muncul Siswa mencoba menerapkan ide kreatifnya Siswa merasa kurang yakin atas ide yang ia cetuskan Siswa melakukan evaluasi terhadap jawabannya



apabila ditemui jawaban tersebut masih salah Siswa mencoba mencari cara lain untuk menyelesaikan masalah

d.

Rekaman video dan foto Rekaman video yang digunakan pada penelitian ini untuk merekam strategi-strategi

siswa dalam menyelesaikan masalah pada saat pembelajaran berlangsung, baik secara individu maupun secara berkelompok. Selain itu rekaman video juga berguna untuk memudahkan peneliti dalam mengamati dan menganalisis aktivitas pembelajaran yang telah dilakukan. Rekaman video tersebut dilakukan pada tahap teaching experiment. Selain

97

rekaman video, peneliti juga merekam hasil kegiatan siswa, berupa foto kegiatan, baik dalam proses pembelajaran, diskusi dan hasil jawaban, sebagai bukti yang terkait dalam pelaksanaan penelitian. 3.7. Teknik Analisis Data Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini ialah membandingkan hasil pengamatan selama proses pembelajaran dengan HLT yang telah didesain pada tahap preliminary design. Design research merupakan metode kualitatif, maka teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan memperhatikan hasil pengumpulan data yang telah dilakukan. Data yang telah memenuhi proses validitas dan reliabilitas yang dilakukan kemudian dianalisis lebih lanjut dengan metode berikut: a. Metode deskriptif, metode ini digunakan untuk menguraikan informasi yang diperoleh dalam pelaksanaan kegiatan penelitian desain. b. Metode transkrip, metode ini digunakan untuk mentransfer informasi rekaman video ke dalam bahasa tulisan. c. Metode klasifikasi, metode ini digunakan untuk menginterpretasi hasil observasi yang diperoleh dalam kegiatan desain riset. Selain menganalisis hasil tes tertulis siswa, analisis data pada metode design research ini juga dilakukan untuk melihat ketepatan antara HLT yang dirancang dengan hasil data yang diperoleh. Dalam retrospective analysis peranan HLT yang telah dirancang dibandingkan dengan proses pembelajaran yang dilakukan siswa sehingga dapat dilakukan penyelidikan dan dijelaskan bagaimana siswa memahami konsep kubus dan menemukan pola jaring-jaring kubus. Untuk suatu penelitian yang memperhatikan validitas dan reliabilitas, kedua hal ini diuraikan sebagai bagian dalam proses analisis data. a. Validitas Validitas berasal dari kata validity yang artinya sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Djaali & Muljono, 2008). Lebih jauh Djaali & Muljono (2008) menjelaskan bahwa validitas suatu instrumen mempermasalahkan apakah instrument atau tes tersebut benar-benar mengukur apa yang hendak diukur. Data yang akan divalidasi adalah RPP, lintasan belajar yang tercermin dalam LAS, dan tes kemampuan berpikir kreatif. Validitas data secara kualitatif dalam penelitian ini mengacu pada:  Rencana lintasan belajar sebagai acuan; rencana lintasan belajar memuat tujuan pembelajaran untuk siswa, aktivitas pembelajaran terencana, dan suatu dugaan proses pembelajaran dan bagaimana kemampuan pemahaman siswa yang berkembang dalam

98

aktivitas pembelajaran selama penelitian. Bagian-bagian tersebut termuat dalam suatu jalur yang diharapkan terlaksana sehingga terlihat dengan jelas dan baik untuk mengemukakan jawaban terhadap pertanyaan penelitian yang diajukan. Selain itu, melihat keterkaitan dan menghubungkan dugaan sebelumnya dengan data yang dikumpulkan dan menghindari bias sistematik, sehingga HLT ini berperan untuk mendukung validitas yang berfungsi sebagai pedoman dan titik acuan dalam menjawab pertanyaan penelitian pada tahap retrospective analysis.  Pengambilan kesimpulan; proses pengambilan kesimpulan mengacu pada rekaman video, hasil observasi dan hasil kerja siswa. Informasi tersebut memungkinkan pembaca untuk membangun penalaran dan mengarahkan argument menuju suatu kesimpulan. b. Reliabilitas Reliabilitas berasal dari kata reliability yang berarti sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Djaali & Muljono, 2008). Suatu hasil pengukuran hanya dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama, diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Reliabilitas secara kualitatif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:  Triangulasi data, di mana teknik ini akan digunakan untuk melihat keterkaitan yang diperoleh dari sumber data berupa tes, lembar observasi dan rekaman video terhadap rencana lintasan belajar.  Interpretasi silang, dimana teknik ini akan digunakan untuk meminta pertimbangan pakar (misalnya, pembimbing) untuk memberikan saran mengenai data yang diperoleh seperti video. Hal ini dilakukan untuk mengurangi subjektivitas peneliti dalam menginterpretasi hasil penelitian yang diperoleh di lapangan.

Reliabilitas pada penelitian design research terbagi atas dua jenis, yaitu : 

Reliabilitas internal, dilakukan dengan cara memisahkan data berdasarkan jenisnya, memberikan kode tertentu pada setiap data yang telah terkumpul, terutama untuk data video dan foto, dan melakukan diskusi dengan observer tentang tugas dan perannya selama teaching eksperimen berlangsung

99



Reliabilitas eksternal, dilakukan dengan cara melaporkan hasil penelitian, baik keberhasilan maupun kegagalan, menjelaskan prosedur yang dijalani selama penelitian, kerangka teori yang digunakan, dan alasan yang dibuat untuk tiap pilihan. (Novianda, Sudaryani, & Meiliasari, 2014), Untuk memperjelas posisi antara data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data,

berikut disertakan tabel untuk memilah data, bagaimana cara mengumpulkan data, serta bagaimana cara menganalisis data yang didapatkan. Tabel 3.6. Data, Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data Kegiatan Penelitian

Tahapan

Teknik

Instrumen

Pengumpulan

Teknik Analisis Data

Mengetahui kesulitan isi Preparing

Data Komentar

HLT, dan ketersediaan for

pembimbing dan wawancara

kualitatif

pendapat guru Tes tertulis

Metode

waktu untuk penelitian Memvalidasi HLT awal Menguji

HLT

sekaligus

the

Experimen t

awal Pilot melihat Experimen

kemampuan awal siswa

t

Panduan

LAS

Deskriptif

deskriptif tertulis, LAS, kamera, Metode

Tes rekaman

video, panduan

deskriptif,

wawancara

wawancara

metode

Pengujian kembali HLT Teaching

-

Tes tertulis

-

LAS

klasifikasi - Metode

hasil revisi dari

-

Rekaman

-

Kamera

video

-

Panduan

tahap Experimen

sebelumnya

t -

Wawancara

Mengetahui kepraktisan

-

Observasi

dan

-

Rekaman

keefektifan

dari

desain yang dirancang

video

Wawancara

-

Lembar observasi

-

Kamera

deskriptif - Metode klasifikasi

- Metode klasifikasi - Metode transkrip

3.8. Indikator Keberhasilan Penelitian Kriteria keberhasilan penelitian ini akan dilihat dari proses pembelajaran dan hasil tes kemampuan berpikir kreatif. Keberhasilan penelitian design research dilihat dari kesesuaian antara dugaan lintasan belajar (HLT) yang dirancang dengan proses pembelajaran sesungguhnya yang dilalui siswa (ALT). Jika pembelajaran yang dilakukan tidak sesuai dengan desain HLT yang sudah dirancang atau setelah melakukan analisis retrospektif peneliti menemukan desain HLT tersebut memiliki kekurangan, maka peneliti melakukan

100

pendesainan kembali (though experiment) terhadap HLT, kemudian HLT yang baru (instruction experiment) tersebut akan diujikan kembali kepada siswa pada siklus berikutnya. Proses ini berlangsung secara terus menerus sampai desain HLT yang dirancang sesuai dengan ALT (Actual Learning Trajectory) dan dianggap cukup untuk menghasilkan sebuah local instruction theory (LIT). (Prahmana, 2017 : 23) Selain itu, untuk melihat tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa, pada penelitian ini dapat diketahui melalui tes kemampuan berpikir kreatif yang skornya dihitung dengan menggunakan rumus berikut. Nilai = Nilai Kriteria 81,25% ≤ N <100% 62,5% ≤ N < 81,25% 43,75% ≤ N < 62,5% 25% ≤ N < 43,75% < 43,75%

Jumlah skor yang diperoleh �100% Jumlah skor maksimal

Sangat Kreatif Kreatif Cukup Kreatif Kurang Kreatif Tidak Kreatif

Sumber : Sudijono (2008) Djamarah (2006 : 107) mengatakan bahwa keberhasilan proses mengajar dapat mencapai kriteria baik atau minimal apabila 60% sampai dengan 75% siswa menguasai bahan ajar dan 75% atau lebih yang mengikuti proses belajar mengajar mencapai taraf keberhasilan minimal, optimal, maupun maksimal. Dengan berlandaskan pendapat tersebut, maka ketuntasan minimal pada masing-masing tingkat kemampuan berpikir kreatif dicapai oleh siswa secara klasikal adalah sebesar 70%. Apabila belum tercapai 70%, maka penelitian akan lanjut ke siklus berikutnya pada penelitian design research. Adapun rancangan penelitian design research pada penelitian ini, ditunjukkan pada Gambar 3.2.

101

Gambar 3.2. Rancangan penelitian

Related Documents

Bab 4
May 2020 52
Bab 4
December 2019 75
Bab 4
November 2019 71
Bab 4
November 2019 71
Bab 4
June 2020 34
Bab 4
October 2019 65

More Documents from ""