3.bab Ii 2 Yang Di Print.docx

  • Uploaded by: Erika Wulan Sari
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 3.bab Ii 2 Yang Di Print.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,964
  • Pages: 59
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronis adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-menerus. Gagal ginjal kronis dapat timbul dari hampir semua penyakit, pada individu yang rentan, nefropati analgesik, destruksi papila ginjal yang terkait dengan pemakaian harian obat-obat analgesik selama bertahun-tahun dapat menyebabkan gagal ginjal kronis. Apa pun sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang ditandai dengan penurunan GFR yang progresif (Corwin, 2009). Pada pasien GGK dimulai pada fase awal gangguan keseimbangan cairan, penanganan garam serta penimbunan zatzat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit (Muttaqin, 2011). GGK mengakibatkan banyak masalah pada semua sistem pada tubuh tetapi tidak sama pada setiap pasien yaitu meliputi gangguan pada sistem respirasi, kardiovaskular, gaststrointestinal, eliminasi, neuromuskular, cairan dan elektrolit, keseimbangan asam-basa, endokrin, dan hematologi (Nursalam, 2006). Hal tersebut dapat mengakibatkan kegagalan ginjal secara progresif sehingga ginjal gagal menjalankan fungsinya dalam proses filtrasi, reabsorbsi, sekresi dan menyesuaikan kepekatan atau jumlah bahan-bahan yang terkandung dalam darah.

2

Kejadian CKD semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah kejadian CKD di dunia tahun 2009 menurut USDRS terutama di Amerika rata-rata prevalensinya 10 – 13% atau sekitar 25 juta orang yang terkena CKD. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini perkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta penduduk per tahun (Suwitra, 2006). Sedangkan kasus di Indonesia pada tahun 2009 pravalensinya 12,5% atau sebanyak 18 juta orang dewasa yang terkena CKD (Thata dkk, 2009). Yogiantoro (2012) menyampaikan bahwa kasus CKD semakin meningkat dan pada 1970, jumlah penderita < 500.000 kasus, sedangkan pada 2010 tercatat sebanyak 2 juta kasus CKD. Berdasarkan pengamatan di Ruang Intensive Care Unit RUMKITAL Dr. Ramelan Surabaya didapatkan data bahwa pada tahun 2012 kejadian CKD sebanyak 73 orang (6,1%) dari total 1191 orang (100%) dan termasuk ke dalam sepuluh besar penyakit pada ruang tersebut (Buku 10 kasus Ruang Intensive Care Unit, 2012). Sedangkan pada bulan Januari – Juni pada tahun 2013 terdapat 25 orang (4,4%) dirawat karena CKD dari total 558 orang (100%).Penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Pada penyakit ginjal kronik terdapat keluhan pada klien yang berasal dari respon uremik yaitu adanya pernafasan Kussmaul

3

dengan pola nafas cepat dan masalah yang terjadi adalah ketidakefektifan pola napas (Muttaqin, 2011). Klien juga mempunyai keluhan penurunan pengeluaran urin dan masalah yang terjadi adalah ketidakefektifan perfusi jaringan renal (Taylor dan Ralph, 2010). Adanya kelemahan dan keletihan akibat anemia, ketidakadekuatan oksigenasi sekunder akibat gangguan komplikasi jantung atau paru mengakibatkan masalah intoleran aktivitas (Wilkinson, 2011). Jika sudah terdapat gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan klien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Dalam hal ini diperlukan suatu upaya untuk menyikapi masalah yang terjadi pada klien dengan CKD tersebut di dalam bidang kesehatan terutama keperawatan yaitu dilaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan CKD dengan baik. Solusi dalam penatalaksaan klien dengan CKD pada umumnya keadaan sudah sedemikian rupa sehingga etiologi tidak dapat diobati lagi. Usaha harus ditujukan untuk mengurangi gejala, mencegah kerusakan/pemburukan faal ginjal yang dapat terdiri dari usaha pengaturan minum, pengendalian hipertensi, pengendalian kalium dalam darah, penanggulangan anemia, penanggulangan asidosis, pengobatan dan pencegahan infeksi, pengurangan protein dalam makanan, pengobatan neuropati, dialisis dan transplantasi (Muttaqin, 2011). Klien yang mengalami CKD didiagnosis dengan penyakit ginjal tahap akhir pada saat filtrasi glomerulus ginjal tidak dapat lagi

4

memenuhi kebutuhan ekskresi dan kebutuhan metabolik tubuh. Klien yang mengalami penyakit ginjal tahap akhir harus mendapatkan terapi penggantian ginjal, misalnya hemodialisis atau dialisis peritoneum dalam waktu yang tidak terbatas atau mendapatkan transplantasi ginjal atau kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi (Stillwell, 2011). Selain penatalaksanaan terapi diatas, sebagai perawat maka peran kita adalah melaksanakan asuhan keperawatan yang tepat untuk menghindari komplikasi akibat menurunnya fungsi ginjal dan stres serta kecemasan dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa ini. Dalam hal ini diperlukan peran perawat sebagai salah satu bagian dari tim kesehatan melalui upaya preventive dengan memberikan health education kepada klien dan keluarga tentang pengertian, tanda dan gejala penyakit, komplikasi, hal yang harus dihindari serta memotivasi klien dan keluarga untuk selalu kontrol kesehatan rutin di rumah sakit atau pelayanan kesehatan terdekat.

B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa saja anatomi fisiologi ginjal? 2. Apa saja Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) ? 3. Bagaimana etiologi dari Chronic Kidney Disease (CKD) ? 4.

Bagaimana patofisiologis dari Chronic Kidney Disease (CKD)?

5. Apa saja yang menjadi manifestasi klinis dari Chronic Kidney Disease (CKD)?

5

6. Bagaimana komplikasi dari Chronic Kidney Disease (CKD) ? 7. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Chronic Kidney Disease (CKD) ? 8. Bagaimana penatalaksanaan medis dari Chronic Kidney Disease (CKD)

6

BAB II KONSEP TEORI

A. Anatomi fisiologi Ginjal merupakan suatu organ sistem perkemihan, dimana organnya berpasangan berbentuk seperti kacang merah, ginjal memiliki panjang 10-12 cm, lebar 5-7 cm, dan tebal maksimum 2,5 cm, dengan beratnya antara 135150 gram dan terletak pada bagian belakang abdomen pada sebelah lateral vetebralis torakalis beberapa cm disebelah kanan dan kiri garis tengah. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar. (Brunner dan suddarth, 2002) Berikut adalah gambar anatomi ginjal.

2.1 Gambar Anatomi Ginjal (Sumber : Parker. 2007)

7

Berdasarkan gambar 2.1 dapat dijelaskan sebagai berikut, lemak perinefrik merupakan lemak yang melapisi ginjal. Sebuah glandula adrenalis terletak pada bagian atas setiap ginjal. Bila sebuah ginjal di iris memanjang, akan tampak bahwa ginjal terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian kulit (korteks), sumsum ginjal (medula), dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis) (Price dan Wilson, 2006). 1) Kulit ginjal Pada kulit ginjal terdapat bagian yang bertugas melaksanakan penyaringan darah yang disebut nefron. Pada tempat penyaringan darah ini banyak mengandung kapiler-kapiler darah yang tersusun bergumpal-gumpal disebut glomerolus. Tiap glomerolus dikelilingi oleh simpai bownman, dan gabungan antara glomerolus dengan simpai bownman disebut badan malphigi. Penyaringan darah terjadi pada badan malphigi yaitu diantara glomerolus dan simpai bownman. Zatzat yang terlarut dalam darah akan masuk ke dalam simpai bownman. Dari sisi zat-zat tersebut akan menuju ke pembuluh yang merupakan lanjutan dari simpai bownman. Bagian-bagian nefron : a) Glomerolus Suatu jaringan kapiler berbentuk berfungsi sebagai tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya dan menghasilkan urin primer. b) Kapsula bowman

8

Bagian

tubulus

yang

melingkupi

gomerolus

untuk

mengumpulkan cairan yang di filtrasi oleh kapiler glomerolus. c) Tubulus kontortus proksimal Berfungsi sebagai tempat reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubuli sehingga menghasilkan urin sekunder dan mensekresi bahan-bahan dalam cairan tubuli. d) Lengkung henle Membentuk lengkungan tajam berbentuk U yang terdiri dari pars descendens yaitu bagian yang menurun terbenam dari kortekas ke medula, dan pars ascendens yaitu bagian yang naik kembali ke korteks, berfungsi sebagai reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubulus dan sekresi bahan-bahan ke dalam cairan tubulus. Selain itu, berperan penting dalam mekanisme konsentrasi dan difusi urin. e) Tubulus kontortus distal Berfungsi sebagai tempat reabsorbsi dan sekresi zat-zat yang tidak berguna lagi/berlebihan ke dalam urin sekunder sehingga menghasilkan urin yang sesungguhnya. f) Duktus pengumpul Satu duktus pengumpul mungkin menerima cairan dari delapan nefron yang berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk mengosongkan cairan isinya (urin) ke dalam pelvis ginjal.

9

2) Sumsum ginjal (medula) Sumsum ginjal terdiri dari beberapa badan berbentuk kerucut yang disebut piramid renal. Diantara piramid terdapat jaringan korteks yang disebut kolumna renal. Pada bagian ini berkumpul ribuan pembuluh halus yang merupakan lanjutan dari simpai bowman. Di dalam pembuluh halus ini terangkut urin yang merupakan hasil penyaringan darah dalam badan malphigi, setelah mengalami berbagai proses. 3) Rongga ginjal (pelvis renalis) Merupakan ujung ureter yang berpangkal di ginjal, berbentuk corong lebar. Selain itu Ketiga jenis lapis jaringan ini berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan memfiksasi ginjal (Parker, 2007)

B. Konsep Dasar Penyakit 1. Definisi Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu derajat dimana memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Salah satu sindrom klinik yang terjadi pada gagal ginjal adalah uremia. Hal ini disebabkan karena menurunnya fungsi ginjal. (Sudoyo dkk, 2006). CKD merupakan kondisi penyakit pada ginjal yang persisten (berlangsung ≥ 3 bulan) dengan kerusakan ginjal dan kerusakan laju

10

filtrasi

glomerular

(glomerular

filtration rate/GFR) kurang dari 75

ml/mnt/1,73 m2 luas permukaan tubuh. Berdasarkan analisa tersebut, jelas bahwa CKD merupakan gagal ginjal akut yang berlangsung lama, sehingga mengakibatkan gangguan persisten dan dampak yang bersifat kontinyu. Sedangkan National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan dampak

dari

kerusakan

mikroalbuminuria/over

ginjal

proteinuria,

adalah

sebagai

abnormalitas

kondisi

sedimentasi,

dan

abnormalitas gambaran ginjal (Eko & Andi, 2014). CKD, diperkenalkan oleh NKF-K/DOQI, untuk pasien yang memiliki salah satu kriteria seperti kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, dimana terdapat abnormalitas struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, yang dimanifestasikan oleh satu atau beberapa gjala misalnya

abnormalitas

komposisi

darah

atau

urin,

abnormalitas

pemeriksaan pencitraan, abnormalitas biopsi ginjal, dan juga dengan criteria GFR < 60 ml/mnt/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa tanda kerusakan ginjal lainnya yang telah disebutkan sebelumnya di atas. Penulis menyimpulkan bahwa CKD adalah penurunan fungsi ginjal yang menahun ditandai dengan penurunan GFR dengan atau tanpa kerusakan ginjal lainnya. Mengakibatkan gangguan persisten dan dampak yang bersifat kontinyu, ditandai dengan over proteinuria.

11

2. Klasifikasi Klasifikasi penyakit CKD didasarkan atas dasar derajat (stage) penyakit. Menurut Sudoyo dkk (2006) sebelum dilakukan klasifikasi ditentukan dahulu dasar Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai berikut ; (140 – umur) x BB LFG (ml/mnt/1,73m2) =

*)

72 x kreatinin plasma (mg/dl) Keterangan: *) pada perempuan dikalikan 0,85

Berdasarkan hasil perhitungan jumlah LFG akan didapatkan derajat (stage) yanga akan dijelaskan pada tabel 2.2.

Tabel 2.1 Klasifikasi CKD Derajat

Penjelasan

LFG (ml/mn/1.73m2)

1

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat

≥ 90

2

Kerusakan ginjal dengan LFG menurun (ringan)

60-89

3

Kerusakan ginjal dengan LFG menurun (sedang)

30-59

4

Kerusakan ginjal dengan LFG menurun (berat)

15-29

5

Gagal ginjal

< 15 atau dialysis

3. Etiologi Etiologi dari CKD menurut Price dan Wilson (2006), dibagi menjadi delapan kelas,antara lain : 1) Infeksi saluran kemih / pielonefritis kronis. Pielonefritis adalah infeksi yang terjadi pada ginjal itu sendiri. Pielonefritis dapat terjdi akibat infeksi berulang, dan biasanya

12

dijumpai pada individu yang mengidap batu, obstruksi lain, atau refluks vesikoureter. Nefropati refluks merupakan penyebab kerusakan ginjal pada piolenofritis kronis, hal ini disebabkan keparahan pada refluks vesikoureter (VUR). Banyak bukti yang menyokong pendapat bahwa keterlibatan ginjal pada nefropati refluks terjadi pada masa awal kanak-kanak sebelum usia 5 sampai 6 tahun. Pada orang dewasa nefropati refluks dapat berkaitan dengan obstruksi dan neurologik yang menyebabkan sumbatan pada drainase urin. 2) Penyakit peradangan glumerulonefritis. Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus yang diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibodi. Kompleks. Terbentuknya antigen-antibodi dalam darah bersirkulasi di dalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis

terperangkap

dalam

membran

basalis.

Selanjutnya

komplemen yang terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimerfonuklear dan trombosit menuju tempat lesi. Oleh karena adanya lesi merespon timbulnya proliferasi sel-sel. Meningkatnya kebocoran pada glomerulus menyebabkan protein dan sel darah merah keluar melalui urin dan terjadi proteinuria dan hematuria.

13

3) Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis) Nefroskelrosis hepertensif merupakan pengerasan pada ginjal yang menunjukkan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal akibat hipertensi. Penyakit ginjal dan hipertensi saling berhubungan karena pada penyakit ginjal yang berat dapat menyebabkan hipertensi melalui retensi natrium dan air dan sebaliknya hipertensi dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal 4) Gangguan jaringan penyambung (SLE poliarterites nodusa, sklerosis sistemik) Pada kasus SLE tubuh membentuk antibodi terhadap DNAnya sendiri. Gambaran klinis dapat berupa glomerulonefritis akut atau sindrom nefrotik. Perubahan yang paling dini seringkali hanya mengenai sebagian

rumbai

glomerulus

atau

hanya

mengenai

beberapa

glomerulus yang tersebar. 5) Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal) Ganguan herediter yang dapat menyerang tubulus ginjal dan dapat berakhir penyakit ginjal polikistik dan asidosis tubulus

ginjal.

Penyakit ginjal polikistik merupakan ppenyakit ginjal herediter yang ditandai dengan pembesaran ginjal yang masif dengan disertai banyaknya pembentukan kista. Asidosis tubulus ginjal merupakan gangguan ekskresi ion hidrogen dari ekskresi tubulus ginjal atau kehilangan bikarbonat pada urin.

14

6) Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroirisme) DM adalah penyebab tunggal ESRD yang tersering. DM menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk nefropati diabetik. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang teradi di ginjal pada DM. 7) Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik. Ginjal khususnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahanbahan kimia karena alasan-alasan berikut: a) Ginjal menerima 25% dari curah jantung sehingga sering dan mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah besar. b) Intersitium

yang

hiperosmotik

memungkinkan

zat

kimia

dikonsentrasikan pada daerah yang relatif hipovaskuler. c) Ginjal merupakan jalur obligatorik untuk kebanyakan obat, sehingga infusiensi ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi dalam cairan tubulus. 8) Nefropati obstruktif (batu saluran kemih) Batu saluran kemih yang menyebabkan tekanan intra renal disertai infeksi saluran kemih berulang atau urosepsis merupakan faktor dominan sebagai penyebab dekstruksi parenkim ginjal dan penurunan jumlah populasi nefron yang utuh.

15

4. Patofisiologi & WOC CKD tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Pada diabetes melitus, terjadi hambatan aliran pembuluh darah sehingga terjadi nefropati diabetik, dimana terjadi peningkatan tekanan glomerular sehingga terjadi ekspansi mesangial, hipertrofi glomerular sehingga terjadi kerusakan gromelorus. Pada hipertensi yang menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah dan terjadi peningkatan tekanan sehingga adanya perlukaan pada arteriol aferen ginjal sehingga dapat terjadi penurunan filtrasi, pada bakteri E.coli menyebabkan fase inflamasai pelfis ginjal sehingga dapat menyebabkan pielonefritis dan penurunan GFR, pada obstruksi saluran kemih menyebabkan refluk urin ke tubulus dan penekanan arteri renal sehingga menyebabkan hidronefrosis, sedangkan pada glomerulonefritis, saat antigen dari luar memicu antibodi spesifik dan membentuk kompleks imun yang terdiri dari antigen, antibodi, dan sistem komplemen. Sehingga terjadilah mekanisme progresif berupa hiperfiltrasi dan hipertrofi pada nefron yang masih sehat sebagai kompensasi ginjal akibat pengurangan nefron sehingga LFG menurun pada tahap 50% dari yang normal. Kadar kretinin plasma akan mengganda pada penurunan LFG 50%. Walaupun kadar normalnya adalah 0,6 mg/dL menjadi 1,2 mg/dL, ia menunjukkan penurunan fungsi nefron telah menurun sebanyak 50% hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang progresif. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang

16

diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. (Sudoyo dkk, 2006) Pada saat fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang normalnya di ekskresikan kedalam urine menjadi tertimbun didalam darah, sehingga terjadinya uremia dan mempengaruhi sistem sistem tubuh, akibat semakin banyaknya tertimbun produk sampah metabolik, sehingga kerja ginjal akan semakin berat. Substansi darah yang seharusnya dibersihkan, tetapi ginjal tidak mampu untuk memfiltrasinya, sehingga mengakibatkan kadar kreatinin serum, nitrogen, urea darah (BUN) meningkat. Ginjal juga tidak mampu mengencerkan urine secara normal. Sehingga tidak terjadi respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehingga terjadi tahanan natrium dan cairan. Retensi cairan dan natrium, ginjal juga tidak mampu mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir sehingga Pasien sering menahan natrium dan cairan, meingkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Menurut Brunner & Suddarth, 2010 asidosis metabolik dapat terjadi karena ketidakmampuan ginjal mengekspresikan muatan asam yang

17

berlebihan, terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk menyekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik lain juga. Akibat berkurangnya produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama pada saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan dan napas sesak. lsehingga rangsangan eritropoisis pada sumsum tulang menurun, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, defisiensi besi, asam folat dan lain-lain akibat nafsu makan yang berkurang, perdarahan

paling

sering

pada

saluran

cerna

dan

kulit.

1

Obstruks saluran kemih Hipertensi E. coli

WOC CKD DM

Glomerulo nefritis kronis

Nefrorpati

Radang pada ginjal

Arteri renalis tertekan

Inflamasi pelvis ginjal

suplai O2 di ginjal

Pielonefritis

Refluk urin ke tubulus Hidronefrosis

Vasokontriksi pembuluh darah di ginjal

Peningkatan tekanan kapiler darah

Kerusakan glomerolus

GFR menurun <15 ml/mnt/1,73

m2

Kerusakan nefron CKD proteinuria

Ekskresi ureum terganggu

Proses hemodialisa kontinyu

Sekresi eritropoetin

Fosfat serum & kadar kalsium

Renin Kadar protein dalam darah

Sindrom uremia terganggu

konsentrasi

Gangguan keseimbangan asam basa

Mual muntah

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Asidosis metabolik PH

Gangguan pertukaran gas

kontraktilitas jantung

Penurunan curah jantung

kadar Hb dalam darah

keputusasaan

Gangguan kognitif

tekanan osmotik O2 dalam darah Perfusi

Penumpukan kristal urea di kulit pruritus

Kulit kering dan bersisik

Gangguan citra tubuh

angiotensin Angiotensi I Cairan keluar ke ekstravaskuler

Angiotensi II vasokontrik

Ketidakefektifan perfusi jaringan & ginjal

Defisiensi energi

Intoleransi aktivitas

Kerusakan integritas kulit

(Brunner & Sudarth, 2010 ; Prabowo, 2014 ; Sudoyo, 2007) Bagan 2.1 WOC CKD

Merangsang sekresi PTH & kelenjar paratiroid

si tekanan darah O2 ke otak Pusing & sakit kepala

edema

Pelepasan kalsium dari tulang

Udem anasarka

Perubahan komplek kalsium,fosfat & keseimbangan PTH

Kelebihan volume cairan & Gangguan citra tubuh

Osteodistrofi (kelemahan tulang) beban jantung

Nyeri akut & resiko cidera

Bendungan atrium kiri

Resiko cidera

tekanan vena pulmonalis

& resiko cidera Gangguan pertukaran gas

kapiler paru tekanan hidrostatik

Resiko gagal napas & Ketidak efektifan pola napas

Udem paru dyspneu Ekspansi paru

1

5. Manifestasi klinis CKD Menurut Andra dan Yessie 2014 terdapat beberapa manifestasi klinis CKD, yaitu: a. Kardiovaskuler : hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas system rennin-angiotensin-aldosteron, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi perikardiak dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, ganguan irama jantung dan edema serta ditemukannya pembesaran vena jugularis. b. Pulmonar : nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental, suara krekels. c. Gastrointestinal : anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolism protein dalam usus, nafas bau ammonia. d. Muskuloskeletal : resilles leg syndrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning feet syndrome (rasa kesemutan dan terbakar, terutama di telapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot otot eksremitas). e. Integument : kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan akibat penimbunan urokorm, gatal gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh. f. Endokrin : gangguan seksual libido fertilisasi dan ekresi menurun, gangguan menstruasi dan siklus menstruasi yang terhenti (amenore), gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.

2

g. Gangguan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa : hiperkalemia, hipokalsemia (akibat adanya gangguan keseimbangan homeostatik pada seluruh tubuh), asidosis metabolik (akibat penimbunan asam organik sebagai

hasil

metabolisme),

peningkatan

ureum,

hiperfosfatemia,

hipermagnesemi, dehidrasi h. Hematologi : anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritoprotein, sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi thrombosis dan trombositopeni 6. Komplikasi Menurut Brunner & Sudarth (2010) komplikasi potensial CKD yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup : 1) Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi asidosis metabolik 2) Perikarditis akibat efusi perikardial dan temponade jantung akibat retensi produk sampah uremik. 3) Hipertensi akibat retensi cairan dan Na 4) Anemia akibat penurunan eritropoetin, serta penurunan rentang usia sel darah merah 5) Penyakit tulang serta halsifikasi metastasik akibat retensi fosfat

3

7. Pemeriksaan diagnostic / Data penunjang Data penunjang adanya CKD didapatkan dari beberapa pemeriksaan menurut suyono dkk 2006, yaitu : a. Pemeriksaan sinar X atau ultrasonografi untuk memperlihatkan ginjal

yang kecil atau sudah mengalami atrofi b. Pemeriksaan urine : warna, volume, sedimen, berat, kreatinin, protein. c. Pemeriksaan darah: BUN / kreatinin, ureum, hitung darah lengkap, sel

darah merah, natrium serum, kalium, magnesium, fosfat, protein, osmolaritas serum. d. Pemeriksaan USG untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor,

juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal dan kandung kemih. e. Sistouretrogram berkemih menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks

kedalam ureter, retensi. f.

Biopsi ginjal mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologist

g. Endoskopi ginjal nefroskopi dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ;

keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif. h. Uji bersihan kreatinin (kreatinin klirens) caranya cukup mengumpulkan

spesimen urine 24 jam dan satu spesimen darah yang diambil dalam waktu yang sama. i.

Pemeriksaan Radiologi : Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Arteriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal

4

Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen 8. Penatalaksanaan medis Tujuan penatalaksanaan CKD adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Penatalaksanaan CKD dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah tindakan konservatif, untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif, mencegah dan mengobati komplikasi yang terjadi. Penanganan konservatif CKD meliputi: 1) Penatalaksanaan medis a) Pengaturan diet Tujuan diet penyakit CKD menurut Almatsier, 2006 adalah : (1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan kerja ginjal. (2) Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang tinggi (uremia) (3) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit. (4) Mencegah dan mengurangi progresivtas gagal ginjal, dengan memperlambat turunnya laju filtrasi glomerolus. Syarat-syarat diet penyakit CKD adalah : (1) Energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB

5

(2) Protein rendah, yaitu 0,6 – 0,75 g/kg BB. (3) Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, asites, oliguri, atau anuria. (4) Banyaknya natrium yang diberikan antara 1-3 g. (5) Kalium dibatasi (40-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah > 5,5 mEq), oliguri atau anuria. (6) Cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah pengeluaran cairan melalui keringat dan pernafasan. Jenis diet dan indikasi pemberiannya adalah : Tabele 2.2 Jenis diet dan indikasi diet protein No 1

Jenis Diet Diet protein rendah I

2

Diet protein rendah II

3

Diet protein rendah III

Indikasi Pemberian Diet 30 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan 50 kg 35 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan 60 kg 40 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan 65 kg

b) Pencegahan dan pengobatan komplikasi berupa pengobatan hipertensi, hiperkalemi, anemia, asidosis, dialisis, dialisis peritoneal, transolantasi ginjal. (1) Obat anti hipertensi yang sering dipakai adalah Metildopa (Aldomet), propanolol dan klonidin. Obat diuretik yang dipakai adalah furosemid (lasix). (2) Hiperkalemia akut dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena (3) Pengobatan untuk anemia yaitu : pemberian vitamin, dan transfusi darah.

6

(4) Asidosis berat akan dikoreksi dengan pemberian pemberian NaHCO3 parenteral. (5) Dialisis : suatu proses dimana solut dan air mengalir difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari suatu kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. (6) Dialisis peritoneal : Pada orang dewasa, 2 L cairan dialisis steril dibiarkan mengalir ke dalam rongga peritoneal melalui kateter selama 10-20 menit. Biasanya keseimbangan cairan dialisis dan membran semipermeabel peritoneal yang banyak vaskularisasinya akan tercapai setelah dibiarkan selama 30 menit. (7) Transplantasi ginjal : prosedur standarnya adalah memutar ginjal donor dan menempatkannya pada fosa iliaka pasien sisi kontralateral. Dengan demikian ureter terletak di sebelah anterior dari pembuluh darah ginjal, dan lebih mudah dianastomosis atau ditanamkan ke dalam kandung kemih resipien. (Price dan Wilson, 2006).

Perencanaan tatalaksana (action plan) CKD sesuai dengan derajatnya, seperti tabel berikut. Tabel 2.3 Tata laksana CKD Drajat 1

2 3 4

GFR (ml/mnt/1,73 m2) > 90

Rencana tatalaksana Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskuler 60 – 89 Menghambat perburukan fungsi ginjal 30 – 89 Evaluasi dan terapi komplikasi 15 – 29 Persiapan untuk penggantian ginjal (Sumber: National Kidney Foundation, 2010)

7

2) Penatalaksanaan Keperawatan a) Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada beberapa pasien, furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretik loop (bumetanid, asam etakrinta) di perlukan untuk mencegah kelebihan cairan. b) Penimbangan berat badan setiap hari guna mengontrol kelebihan cairan pasien. c) Batasi masukan kalium sampai 40-60 mEq/hr guna mengonrol ketidakseimbangan elektrolit. d) Mengkaji daerah edema, edema lebih terlihat di daerah tubuh yang tergantung atau pada bagian ujung-ujung. e) Melakukan perawatan kulit supaya tidak terjadi pruritus dan dekubitus. f) Lakukan perawatan oral hygien agar pasien merasa nyaman. g) Lakukan pengukuran EKG, mengindikasi adanya hiperkalemia pada pasien. h) Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (1) Anemia Penatalaksanaan

terutama

Pemberian

eritropoetin

(EPO)

merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada CKD harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,

8

hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl. (2) Osteodistrofi Renal Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan untuk menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna dilakukan dengan dua cara meliputi: a) Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada CKD secara umum yaitu tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam b) Pemberian

pengikat

fosfat

misalnya

garam,

kalsium,

alumunium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk meghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. (3) Pembatasan cairan dan elektrolit Mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskuler. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium, karena dapat mengakibatkan hiperkalemia sehingga menyebabkan aritmia jantung yang fatal. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.

9

C. Konsep Asuhan Keperawatan CKD Asuhan keperawatan yang akan dilakukan pada pasien CKD meliputi; 1. Pengkajian Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi dan komunikasi data tentang klien. Fase proses keperawatan ini mencakup dua langkah yakni pengumpulan data dari sumber primer (pasien) dan sumber sekunder (keluarga pasien, perawat ruangan dan status pasien) dan analisa data untuk menegakkan diagnosa keperawatan (Potter dan Perry, 2005). Pengkajian yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data sebagai berikut; a. Biodata 1) Identitas Klien 2) Identitas Penaggung Jawab b. Riwayat kesehatan a. Airway Kaji jalan nafas, apakah paten atau terjadi obstruksi. Kaji adanya retraksi clavikula dan adanya pernafasan cuping hidung, observasi adanya sputum, apakah kental dan banyak. b. Breathing Kaji pergerakan dada apakah simetris atau asimetris, adanya penggunaan otot bantu napas, auskultasi suara napas, nafas cepat dan dalam (Kussmaul), dispnoe nokturnal paroksismal (DNP),

10

takhipnoe (peningkatan frekuensi), adanya suara napas tambahan, batuk dengan/tanpa sputum, keluhan sesak napas, irama pernapasan, dan pemakaian alat bantu napas. c. Circulation Pada kondisi uremi berat, tindakan auskultasi perawat akan menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin, CRT > 3, palpitasi, nyeri dada atau angina, dan sesak napas, gangguan irama jantung,edema, penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan curah jantung akibat hiperkalemi dan gangguan konduksi elektrikal otot ventrikel. d. Neurologi Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan proses pikir dan disorientasi, klien sering mengalami kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrom, restless leg syndrom, kram otot dan nyeri otot.

11

e. Keluhan Utama Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder yang menyertai. Keluhan bisa berupa urine output yang menurun (oliguria) sampai pada anuria. Penurunan kesadaran karena komplikasi pada sistem sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan muntah, diaforesis, fatigue, napas berbau urea, dan priuritus. Kondisi ini dipicu oleh karena peumpukan (akumulasi) zat sisa metabolisme toksin dalam tubuh karen ginjal mengalami kegagalan filtrasi (Andra & Yessie, 2013). f. Riwayat Kesehatan Sekarang Pada klien dengan CKD biasanya terjadi penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas karena komplikasi dari gangguan sistem ventilasi, fatigue, perubahan fisiologis kulit, bau urea pada napas. Selain itu, karena berdampak pada proses metabolism, maka akan terjadi anoreksia, nausea, dan vomit sehingga beresiko untuk terjadinya gangguan nutrisi (Andra & Yessie, 2013)

12

g. Riwayat Kesehatan Terdahulu Kaji riwayat penyakit ISK, payah jantung, penggunaan obat berlebihan (overdosis) khususnya obat yang bersifat nefrotoksik, mampu mempengaruhi kerja ginjal. Selain itu, ada beberapa penyakit yang langsung mempengaruhi/menyebabkan gagal ginjal yaitu diabetes melitus, hipertensi, batu saluran kemih (urolithiasis). (Andra & Yessie, 2013)

h. Riwayat Kesehatan Keluarga CKD bukan penyakit menular atau menurun. Namun, pencetus sekunder seperti DM dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit CKD, karena penyakit tersebut bersifat herediter. Kaji pola kesehatan keluarga yang diterapkan jika ada anggota keluarga yang sakit, misalnya minum jamu saat sakit (Prabowo & Pranata, 2014) i. Pengkajian fisik 1) Keluhan umum : pada umumnya pasien mengeluhkan lemas, nyeri pinggang, sesak, resilles leg syndrome (pegal pada kaki), kulit kering dan gatal-gatal 2) Tingkat kesadaran kompos mentis sampai koma. 3) Pengukuran Berat Badan : berat badan menurun/meningkat, 4) Tanda vital : Sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat,

13

tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat. 5) Kepala a) Mata:

konjungtiva

anemis,

mata

merah,

berair,

penglihatan kabur, edema periorbital. b) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar. c ) Hidung : pernapasan cuping hidung a) Mulut : nafas berbau ammonia, mual muntah, bibir kering akibat adanya dehidrasi. 6) Leher : pembesaran vena leher. 7) Dada

dan

toraks

:

penggunaan

otot

bantu

pernafasan,

pernafasan dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema pulmoner, friction rub pericardial. 8) Abdomen : nyeri area pinggang, asites, palpasi ginjal 9) Genital : atropi testikuler, siklus menstruasi terhenti (amenore). 10) Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik, kuku rapuh dan kusam serta tipis, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot drop, kekuatan otot. 11) Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh,memar (purpura), edema (Brunner & Sudarth, 2010). j. Fokus Pengkajian 1) Sistem kardiovaskuler

14

Hipertensi, nyeri dada, resiko gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung, edema, pembesaran vena leher. 2) Sistem Pulmoner Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi/kedalaman (pernafasan kusmaul), batuk dengan sputum kental dan liat, suara krekels. 3) Sistem gastrointestinal Anoreksia,

nausea,

fomitus,

peningkatan

BB

cepat

(edema)/penurunan BB (anoreksia), nyeri ulu hati, perdarahan pada saluran gastrointestinal, gusi/lidah,

nafas

ulserasi gusi dan

perdarahan

bau amonia, distensi abdomen/asites,

perubahan turgor kulit/kelembaban. 4) Sistem eliminasi Penurunan frekuensi urin, penurunan jumlah urin output, oliguria, anuria, proteinuria, urin berwarna keruh, abdomen asites, konstipasi, diare, distensi abdomen, penurunan CCT (Creatinin Clearance Test) / GFR (Glomerolus Filtration Rate). 5) Sistem Integumen Warna kulit abu-abu mengkilat, pucat dan kekuning-kuningan, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar. 6) Sistem neuromuskular Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral,

15

seperti perubahan proses berfikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrome, restless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot. 7) Sistem reproduktif Libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan siklus menstruasi terhenti (amenore). 8) Sistem Muskuloskeletal Didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, kulit gatal, pruritus, petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada kulit jaringan lunak dan sendi, keterbatasan gerak sendi. Pengkajian kekuatan otot dilakukan dengan Manual Muscle Testing (MMT). Pengukuran kekuatan otot menurut (Mutaqqin, 2012)

16

Table 2.4 tingkat kekuatan otot (Mutaqqin, 2012) Nilai pemeriksaan Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2 Nilai 3 Nilai 4 Nilai 5

Hasil Bila tidak terlihat kontraksi sama sekali Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada gerakan pada sendi Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bias melawan gravitasi Bila dapat melawan gravitasi tetapi tidak dapat melawan tekanan dari pemeriksa Bila terdapat melawan tahanan dari periksa tetapi kekuatannya kurang Bila dapat melawan tekanan dari pemeriksa dengan kekuatan penuh

2. Diagnosa Keperawatan Menurut Judith, 2011. kemungkinan diagnosa yang akan muncul yaitu : 1) Ketidakefektifan pola napas 2) Penurunan curah jantung berhubungan 3) Gangguan pertukaran gas 4) Kelebihan volume cairan 5) Kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan

1

3. Intervensi Tabel 2.5 Perencanaan Keperawatan (Judith, 2011. Doenges, 2006) No

Diagnosa

1

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan HB, kelebihan beban volume, dan penekanan dialisat pada diafragma.

Perencanaan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi NOC : NIC :  Status pernafasan : ventilasi. Manajemen jalan nafas 1-5 : gangguan ekstrim, 1. Posisikan pasien untuk gangguan berat, gangguan memaksimalkan ventilasi sedang, gangguan ringan, tidak 2. Identifikasi pasien perlunya ada gangguan. pemasangan alat jalan nafas  Status pernafasan : kepatenan buatan jalan nafas. 3. Auskultasi suara nafas, catat 1-5 : gangguan ekstrim, adanya suara tambahan gangguan berat, gangguan 4. Awasi frekuensi / upaya sedang, gangguan ringan, tidak pernafasan. Penurunan ada gangguan. kecepatan infus bila ada  Tanda-tanda vital dispnea. 1-5 : gangguan ekstrim, 5. Atur intake untuk cairan gangguan berat, gangguan mengoptimalkan sedang, gangguan ringan, tidak keseimbangan. ada gangguan. 6. Tinggikan kepala tempat tidur. Tingkatkan latihan Kriteria hasil :  Menunjukkan jalan napas yang napas dalam dan batuk. paten (klien tidak merasa 7. Berikan tambahan O2 sesuai tercekik, irama nafas, frekuensi indikasi. pernafasan dalam rentang normal, 8. Monitor adanya kecemasan tidak ada suara nafas abnormal) pasien terhadap oksigenasi.  Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan) Terapi oksigen 9. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea

Rasional Manajemen jalan nafas 1. Memudahkan ekspansi dada/ventilasi dan mobilisasi sekret 2. Meningkatkan pola pernapasan spontan yang optimal sehingga memaksimalkan pertukaran oksigen dan karbondioksida di dalam paru. 3. Penurunan area ventilasi menunjukkan adanya atelektasis,dimana bunyi napas adventisius menunjukkan kelebihan cairan, tertahannya sekresi atau infeksi. 4. Takipnea, dispnea, napas pendek, dan napas dangkal selama dialisa diduga tekanan diafragmatik dari distensi rongga peritonela atau mungkin menunjukkan terjadinya komplikasi. 5. Pada kebanyakan kasus, jumlah aliran harus sama atau lebih dari jumlah yang dimasukkan, keseimbangan positif menunjukkan kebutuhan evaluasi lebih lanjut. 6. Memudahkan ekspansi dada/ventilasi dan mobilisasi sekret. 7. Memaksimalkan oksigen untuk

2

10. Pertahankan jalan napas paten 11. Monitor aliran oksigen 12. Pertahankan posisi pasien 13. Observasi adanya tanda hipoventilasi Monitor tanda vital 14. Monitor TD, nadi, suhu dan RR 15. Monitor frekuensi dan irama pernafasan 16. Monitor pola pernafasan abnormal 17. Monitor kualitas dari nadi 18. Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit

8.

penyerapan vaskular,pencegahan / pengurangan hipoksia. Perasaan takut berat berhubungan dengan ketidakmampuan bernapas/terjadinya hipoksemia dan dapat secara aktual meningkatkan konsumsi oksigen/ kebutuhan.

Terapi oksigen 9. Pembersihan jalan nafas dan meningkatkan kenyamanan. 10. Mempertahankan ventilasi yang maksimal 11. Menunjukkan kebutuhan oksigen pasien 12. Memudahkan memelihara jalan nafas atas paten bila jalan nafas pasien dipengaruhi 13. Dapat menentukan peningkatan upaya pernafasan Monitor tanda vital 14. Dapat menunjukkan intervensi selanjutnya 15. Peningkatan upaya pernafasan dapat menunjukkan derajat hipoksemia 16. Mengetahui adanya suara tambahan 17. Penurunan dan peningkatan nadi adalah manifestasi menunjukkkan kondisi pasien memburuk. 18. Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat

3

seluler. 2

3

Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan beban kerja ventrikel sekunder akibat kelebihan cairan.

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan curah jantung, keterbatasan pengisian jantung atau kontraktilitas ventrikel.

NOC :  Curah jantung efektif  Status sirkulasi  Tanda tanda vital Kriteria Hasil : 4. Tanda tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, respirasi) 5. Curah jantung efektif 6. Menunjukan status sirkulasi yang baik (sebutkan 1-5: ganguan ekstrim, berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami gangguan)

NIC : Cardiac care 1. Monitor status kardiovaskuler 2. Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac output 3. Monitor status pernafasan (dyspnue, fatigue, takipnue) 4. Monitor adanya penurunan tekanan darah 5. Anjurkan untuk mengurangi stress

NOC :  status pernafasan : ventilasi dan pertukaran gas  status tanda tanda vital Kriteria Hasil :  gangguan pertukaran gas akan berkurang  Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress pernafasan  Tanda tanda vital dalam rentang normal

NIC : Manajmen pernafasan 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 2. Auskultasi suara nafas, catat bila adanya suara nafas tambahan 3. Monitoring respirasi dan status O2

monitoring tanda tanda vital 6. Monitor tekanan darah, suhu, dan pernafasan 7. Catat bila adanya fluktuasi tekanan darah 8. Monitor adanya sianosis perifer

Monitoring pernafasan 4. Monitoring rata rata, kedalaman, irama, dan

Cardiac care 1. Bntuk mengetahui apakah ada kelainan pada jantung pasien 2. Mencegah terjadinya gagal jantung 3. Mencegah tidak terjadinya distress pernafasan 4. Untuk mengetahui apakah adanya penurunan curah jantung 5. Untuk merilekskan pasien agar beban kerja jantung tidak terlalu berat Monitoring tanda tanda vital 6. Untuk mencegah terjadinya tanda dan gejala awal penurunan curah jantung 7. Mengetahui tanda tanda penurunan curah jantung 8. Mengetahui adanya penurunan curah jantung sehingga darah tidak lagi sampai pada jaringa di perifer Manajmen pernafasan 1. Memudah kan pasien untuk bernafas 2. Mencegah terjadinya penyumbatan pada jalan nafas pasien 3. Mengetahui adanya tanda tanda gangguan pertukaran gas di paru paru dan dapat melakukan tindakan secara cepat,tepat, dan benar Monitoring pernafasan 4. Untuk mengetahui apakah ada gangguan pertukaran gas di paru

4

usaha respirasi Monitor suara nafas, seperti mendengkur 6. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan/tidak adanya ventilasi dan adanya suara tambahan NIC : Manajemen cairan 1. Pertahankan catatan intake output yang akurat. 2. Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles, CVP, edema, distensi vena leher,asietes). 3. Monitor vital sign (TD dan nadi) perhatikan hipertensi, nadi kuat, distensi vena leher, edema perifer, ukur CVP bila ada. 4. Kaji lokasi dan luas edema. 5. Monitor masukan makanan / cairan setidaknya setiap 4 jam. 6. Monitor status nutrisi. 7. Kolaborasikan pemberian cairan IV 8. Monitor tingkat HB dan Hematokrit 9. Kolaborasi dengtan dokter pemberian diuretik 10. Masukkan/pertahankan kateter tak menetap sesuai indikasi 5.

4

Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi cairan, retensi natriun, hiperglikemia, ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan, pertukaran antara darah dan dialisat.

NOC :  Keseimbangan elektrolit dan asam basa. 1-5 : gangguan ekstrim, gangguan berat, gangguan sedang, gangguan ringan, tidak ada gangguan.  Keseimbangan cairan 1-5 : gangguan ekstrim, gangguan berat, gangguan sedang, gangguan ringan, tidak ada gangguan.  Hidrasi 1-5 : gangguan ekstrim, gangguan berat, gangguan sedang, gangguan ringan, tidak ada gangguan. Kriteria hasil :  Terbebas dari edema, efusi, anasarka  Bunyi nafas bersih, tidak ada dyspneu/ ortopneu  Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output jantung dan vital sign dalam batas normal.  Terbebas dari kelelahan,

paru 5. Untuk melakukan tindakan selanjutnya secara tepat 6. Mencegah terjadinya distress pernafasan yang dapat membuat gangguan pada pertukaran gas di paru paru Manajemen cairan 1. Pada kebanyakan kasus, jumlah aliran harus sama atau lebih dari jumlah yang dimasukkan, keseimbangan positif menunjukkan kebutuhan evaluasi lebih lanjut. 2. Peninggian menunjukkan hipovolemia. Kaji bunyi jantung dan nafas, perhatikan S3 dan/atau gemericik, ronki. Kelebihan cairan berpotensi gagal jantung kongestif (GJK)/edema paru. 3. Peninggian menunjukkan hipervolemia. Kaji bunyi jantung dan napas, perhatikan S3 dan/atau gemercik, ronki. Kelebihan cairan berpotensi gagal jantung kongestif (GJK)/ edema paru. 4. Edema mungkin lebih terlihat di daerah tubuh yang tergantung atau pada bagian ujung-ujung. 5. Asupan lebih dari output dan peningkatan berat badan dapat menunjukkan retensi cairan. 6. Untuk mencegah dan meminimalkan kurang gizi.

5

kecemasan atau kebingungan.  Menjelaskan indikator kelebihan cairan.

5

Kekurangan nutrisi dari kebutuha tubuh

NOC  Status nutrisi : intake makanan

7. Memonitor cairan 11. Monitor berat badan. 12. Monitor serum dan elektrolit urine. 13. Catat secara akurat intake dan output.

NIC Manajemen nutrisi

Asupan lebih dari output dan peningkatan berat badan dapat menunjukkan retensi cairan. 8. Uremia (contoh peningkatan amonia,urea, atau toksin lain) menurunkan produksi eritropoetin dan menekan produksi SDM dan waktu hidupnya. Pada CKD, hemoglobin dan hematokrit biasanya rendah tetapi di toleransi;contoh passien tidak menunjukkan gejala sampai Hb dibawah 7. 9. Mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh. 10. Kateterisasi mengeluarkan obstruksi saluran bawah dan memberikan ratarat pengawasan akurat terhadap pengeluaran urin selama fase akut. Memonitor cairan 11. Mengawasi status cairan terbaik. Peningkatan berat badan lebih dari 0,5 kg/hari diduga adanya retensi cairan. 1 12. Hipernatremia dapat terjadi, meskipun kadar serum dapat menunjukkan efek pengenceran dari kelebihan volume cairan. 13. Pada kebanyakan kasus, jumlah aliran harus sama atau lebih dari jumlah yang dimasukkan, keseimbangan positif menunjukkan kebutuhan evaluasi lebih lanjut. Manajemen nutrisi 1. Mengidentifikasi kekurangan nutrisi /

6

berhubungan dengan kehilangan nafsu makan, mual atau muntah, pembatasan diet.

dan cairan 1-5 : tidak adekuat, kurang adekuat, cukup adekuat, adekuat, sangat adekuat.  Status nutrisi : intake nutrisi 1-5 : tidak adekuat, kurang adekuat, cukup adekuat, adekuat, sangat adekuat.  Berat badan : massa tubuh 1-5 : gangguan ekstrim, gangguan berat, gangguan sedang, gangguan ringan, tidak ada gangguan. Kriteria Hasil:  Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan  Berat badan ideal sesuia dengan tinggi badan  Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi  Tidak ada tanda tanda malnutrisi  Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan  Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

1. Awasi konsumsi makanan/ cairan dan hitung masukan kalori perhari. 2. Berikan makanan sedikit tapi sering. Jadwalkan makan sesuai dengan jadwal dialisis. 3. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien. 4. Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi vitamin cukup, seperti suplemen piridoksin, asam folat,vitamin C dan vitamin D. 5. Berikan diet tinggi karbohidrat yang meliputi jumlah protein kualitas tinggi dan asam amino esensial dengan pembatasan natrium/kalium sesuai indikasi. 6. Awasi kadar protein/albumin serum. 7. Berikan perawatan mulut sering. 8. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian. 9. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi. Memonitor nutrisi 10. Memonitor berat badan.

kebutuhan terapi. Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan. Tipe dialisis mempengaruhi pola makan. 3. Berguna untuk program diet individu untuk memenuhi kebutuhan budaya/pola hidup meningkatkan kerja sama pasien. 4. Menggantikan kehilangan vitamin karena malnutrisi/anemia atau selama dialisis. 2.

5. Memberikan nutrien cukup untuk memperbaiki energi mencegah penggunaan otot, meningkatkan regenerasi jaringan/penyembuhan dan keseimbangan elektrolit. 6. Indikator kebutuhan protein. Catatan : dialisis peritonealdihubungkan dengan kehilangan protein bermakna. 7. Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut,yang dapat mempengaruhi masukan makanan. 8. Dapat meningkatkan pemasukan oral dan meningkatkan perasaan kontrol/tanggung jawab. 9. Mendorong pasien dan anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien. Memonitor nutrisi 10. Mengukur berat badan pasien pada waktu yang sama setiap hari berguna

7

11. Monitor kalori dan intake nutrisi. 12. Monitor lingkungan selama makan 13. Monitor turgor kulit 14. Monitor mual muntah

11. 12. 13.

14.

untuk mendapatkan hasil yang akurat. Untuk mencegah dan meminimalkan kurang gizi. Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial makan. Turgor kulit buruk menandakan area sirkulasi buruk/kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi. Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah/menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi.

4. Implementasi Implementasi keperawatan yang merupakan komponen dari proses keperawatan adalah katergori dari prilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tindakan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang dilakukan dan diselesaikan. Implementasi menuangkan rencana asuhan kedalam tindakan. Setelah rencana dikembangkan, sesuai dengan kebutuhan dan prioritas klien, perawat melakukan intervensi keperawatan spesifik, yang mencakup tindakan perawat. Rencana keperawatn dilaksanakan sesuai intervensi. Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam mencapai peningkatan kesehatan baik yang dilakukan secara mandiri maupun kolaborasi dan rujukan (Potter dan perry, 2005). Tahapannya yaitu : (1) Mengkaji kembali klien/pasien, (2) Menelaah dan memodifikasi rencana perawatan yang sudah ada, (3) Melakukan tindakan keperawatan.

5. Evaluasi Evaluasi adaah tidakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawata, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai berdasarkan tujuan yang telah dibuat dalam perencanaan keperawatan. Selain itu evaluasi juga merupakan proses keperawatan mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Tahap akhir yang bertujuan untuk mencapai kemampuan klien dan tujuan dengan melihat perkembangan klien. Evaluasi klien CKD dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya pada tujuan Evaluasi yang digunakan berbentuk S (Subjektif), O (Objektif), A (Analisis), P (Perencanaan terhadap analisis) (Potter dan Perry, 2005).

2

BAB III TINJAUAN KASUS

Pada tahap pengumpulan data klien dengan CKD dengan asidosis metabolik penulis tidak mengalami kesulitan karena penulis telah mengadakan perkenalan dan menjelaskan maksud penulis yaitu untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada klien sehingga klien dan keluarga terbuka kooperatif dalam proses keperawatan.

1. Identitas klien Pada pasien gagal ginjal kronik (CKD) terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria (Nursalam, 2006). Pada kasus ini klien bernama Ny.S, usia 68 tahun. Hal

3

ini sesuai dengan teori bahwa penyakit CKD akan terjadi pada usia 50-70 tahun pada semua jenis kelamin dan 70% terjadi pada pria. 2. Keluhan utama Pada penderita CKD didapatkan keluhan utama bervariasi, mulai dari urin output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak seleramakan (anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit (Muttaqin, 2011). Pada kasus Ny. S didapatkan keluhan utama sesak napas. Terkadang mual tetapi tidak muntah. Hal ini sesuai dengan teori namun tidak semua penderita CKD mengalami tanda nafas berbau ureum, gelisah sampai penurunan kesadaran, ataupun gatal pada kulit. Mual dan muntah dapat dihubungkan dengan terjadinya sindrom uremi yang mengakibatkan adanya gangguan asam-basa yang dapat meningkatkan produksi asam lambung. Sehingga terjadi iritasi lambung atau gastritis yang berdampak pada keluhan mual, muntah. Manifestasi klinis pada Ny. S pada sistem Breathing meliputi takhipneu, Kussmaul, asidosis metabolik. Tergantung juga pada proses penyakit dan faktor pengaruh eksternal. Pada kasus Ny. S gagal ginjal ditandai dengan adanya asidosis metabolik, anemia dan gangguan elektrolit yaitu hiperkalemia. 3. Riwayat kejadian

4

Pada penderita CKD terdapat riwayat kejadian dengan adanya penurunan output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan pada kulit, adanya napas berbau amonia dan perubahan pemenuhan nutrisi (Muttaqin, 2011). Pada kasus Ny. S didapatkan riwayat kejadian sesak nafas sejak lima hari yang lalu. Pada saat klien datang ke Intensive Care Unit, Ny. S mengalami sesak dengan pola napas Kussmaul. Pernapasan yang meningkat sebagai upaya kompensasi paru-paru untuk menjaga pH tetap normal dengan meningkatkan kecepatan dan kedalaman nafas untuk membuang CO2 melalui paru-paru.

4. Riwayat penyakit dahulu Pada klien dengan gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh penyakit metabolik seperti DM (Price dan Wilson, 2005). Pada kasus Ny. S didapatkan klien tidak pernah mengetahui jika menderita DM karena tidak pernah cek gula darah, tetapi jika dilihat dari hasil kadar glukosa (GDA) pada tanggal 16 Juli 2013 adalah 129 mg/dl, hiperglikemia. Dari keadaan tersebut yaitu hiperglikemia dapat mengakibatkan glikolisasi protein, yang memacu terbentuknya ikatan silang protein. Ikatan silang dapat bersatu dengan molekul kolagen pada membran basal glomerulus atau dapat memicu sel mesangial untuk menyekresi kelebihan matriks ekstraseluler. Peningkatan tekanan intraglomerulus menyebabkan hiperfiltrasi dini serta dapat merusak endotel dan sawar filtrasi glomerulus. Pada kasus CKD yang dialami oleh Ny. S diakibatkan oleh DM yang menahun tetapi tidak terkontol.

5

5. Riwayat alergi Skin test berguna untuk menunjukkan reaksi hipersensitivitas sebelum obat digunakan sebagai terapi. Pada kasus Ny. S didapatkan bahwa klien tidak memiliki alergi pada obat. Setiap penyakit selalu mengakibatkan infeksi melalui bakteri atau virusnya. Maka pada pengobatan selalu ditambahkan dengan pemberian antibiotik sebagai pertahanan sistem imun bagi tubuh. Tentu dengan cara melakukan skin test untuk dapat mengetahui jenis antibiotik yang cocok dengan bakteri yang bersarang di tubuh klien. Ceftiaxone merupakan terapi antibiotik yang sangat mempengaruhi reaksi hipersensitivitas pada tubuh.

6. Pemeriksaan Fisik a.

Keadaan umum

Penderita CKD dapat mengalami hipertensi dan takipnoe (Suwitro, 2006). Pada TTV sering didapatkan adanya perubahan seperti RR meningkat. Tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat (Muttaqin, 2011). Pada kasus Ny. S didapatkan bahwa kesadaran klien adalah compos mentis, GCS 4-5-6, pemeriksaaan tanda – tanda vital meliputi tekanan darah: 150/69 mmHg, nadi: 89x/menit, RR: 30x/menit, suhu: 36,3oC. Pada penderita CKD tidak selalu terjadi hipertensi, takhipnue atau penurunan kesadaran. Semuanya tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan keadaan tubuh klien sendiri. Pada kasus Ny. S terdapat hipertensi dan takipnue tetapi

6

dengan tingkat kesadaran yang compos mentis, hal ini dikarenakan oleh adanya manifestasi klinis yang belum mengarah pada system persarafan sehingga belum terjadinya penurunan perfusi cerebral dan belum mengganggu tingkat kesadaran klien. Hipertensi yang dialami klien Ny. S akibat adanya ketidakseimbangan cairan dan natrium serta malfungsi sistem Renin-Angiostensin-Aldosteron. Efek overload cairan dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan gagal jantung. Pada klien terjadi peningkatan darah dikarenakan proses CKD. Gangguan ginjal yang kronik dapat mengurangi ekskresi natrium serta menyebabkan hipervolemi dan hipertensi.

b. Airway

Penderita CKD tidak sepenuhnya mengalami obstruksi ataupun ditemukan pernapasan cuping hidung. Pada kasus Ny. S didapatkan jalan napas paten, pada pemeriksaan inspeksi daerah pernapasan ditemukan tidak ada penumpukan sputum, tidak ada pernapasan cuping hidung. c.

Breathing Pada penderita CKD dapat mengalami nafas cepat dan dalam (Kussmaul), dispnoe nokturnal paroksismal (DNP), takhipnoe (peningkatan frekuensi), dan pemakaian alat bantu napas (Muttaqin, 2011). Pada kasus Ny. S ditemukan bahwa RR: 30x/menit dan klien menggunakan alat bantu nafas O2 masker dengan aliran 10 lpm dan pola napas

7

Kussmaul. Pernapasan yang meningkat sebagai upaya kompensasi paru-paru untuk menjaga pH tetap normal dengan meningkatkan kecepatan dan kedalaman nafas untuk membuang CO2 melalui paru-paru. Penyakit ginjal kronis menyebabkan asidosis metabolik sebagai akibat ekskresi (H+) dan gangguan reabsorbsi bikarbonat. Hal ini menyebabkan peningkatan (H+) plasma dan penurunan pH. Peningkatan konsentrasi (H+) berperan pada resopsi tulang dan menyebabkan perubahan fungsi saraf dan otot. Dengan meningkatnya konsentrasi ion hidrogen, sistem pernapasan akan terangsang. Terjadi takhipnue (peningkatan kecepatan pernapasan) sebagai usaha mengeluarkan kelebihan hydrogen sebagai karbon dioksida. Respons pernapasan terhadap asidosis ginjal disebut kompensasi respiratorik (Corwin, 2009). Asidosis metabolik timbul akibat masuknya asam atau hilangnya basa berupa bikarbonat. Pada klien Ny. S mengalami asidosis metabolik dan perubahan pernapasan untuk mengkompensasi perubahan pH. Perubahan pH memicu kemoreseptor arteri dan meningkatkan laju ventilasi. Hal ini terlihat jelas pada gambaran klinis pada klien Ny. S yaitu terjadi peningkatan frekuensi pernapasan dengan masalah keperawatan ketidakefektifan pola napas. d. Circulation

Pada penderita CKD dapat mengalami tanda dan gejala gagal jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin, CRT > 3, palpitasi, nyeri dada atau angina, dan sesak napas, gangguan irama jantung, edema, penurunan perfusi perifer

8

sekunder dari penurunan curah jantung akibat hiperkalemi dan gangguan konduksi elektrikal otot ventrikel (Muttaqin, 2011). Pada klien Ny. S didapatkan hasil pengkajian dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi ditemukan bahwa kekuatan pulsasi denyut jantung lemah, CRT < 2 detik, bunyi jantung S1S2 tunggal, hasil cek GDA stik dengan hasil 129mg/dl. Pada penderita CKD akan mengalami mekanisme kompensasi dan adaptasi dari nefron yaitu dengan merusak sisa nefron yang masih hidup dan berfungsi, jika hal tersebut terus terjadi maka terjadi destruksi struktur ginjal secara progresif yang mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus yang berfungsi dalam dalam sistem metabolisme dan keseimbangan cairan. Secara keseluruhan ginjal akan mengalami kegagalan dalam mempertahankan proses metabolisme dan keseimbangan cairan sehingga akan terjadi peningkatan volume cairan, hipernatremi, hiperkalemi, penurunan pH, adanya gangguan sistem Renin-Angiostensin-Aldosteron. Beban kerja jantung yang meningkat dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan gagal jantung. Juga dapat terjadi gangguan konduksi elektrikal otot ventrikel sehingga terjadi aritmia sampai kejang. Pada penderita DM yang tidak terkontrol atau pemantauan glukosa darah yang tidak adekuat maka akan menyebabkan ketidakstabilan glukosa darah yaitu risiko terjadi variasi kadar glukosa darah atau gula darah dari rentang normal (Wilkinson, 2011). Salah satu penyebab gagal ginjal kronik adalah penyakit metabolik seperti DM (Price dan Wilson, 2005). Pada sistem circulation ditemukan masalah keperawatan risiko ketidakefektifan glukosa darah.

9

e.

Neurologi Pada penderita CKD dapat mengalami penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan proses pikir dan disorientasi, klien sering mengalami kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrom, restless leg syndrom, kram otot dan nyeri otot (Muttaqin, 2011). Pada klien Ny. S didapatkan hasil pengkajian dengan pemeriksaan fisik kesadaran klien baik, compos mentis dengan GCS 4-5-6. Cek kimia klinik dengan hasil BUN: 137,24; kreatinin: 16,60; Na: 132,8 mmol/ L; K: 8,00; Cl: 104 mmol/L, Cek darah lengkap (hematologi) dengan hasil leukosit: 12,9x 103; hemoglobin: 7,4; Hct: 22; trombosit: 274 x 103. Gambaran laboratorium pada penyakit ginjal kronik meliputi penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG, penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia, asidosis metabolik, dan gejala komplikasinya adalah hipertensi dan anemia (Suwitra, 2006). Pada penderita CKD didapatkan peningkatan kalium, penurunan pH dan bikarbonat, anemia, peningkatan BUN, serum kreatinin dikarenakan adanya kegagalan ginjal dalam mempertahankan proses metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Ginjal kehilangan banyak daya cadang ginjal (renal reserve), kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi peningkatan kadar uren dan kreatinin serum. Pada sistem neurologi ditemukan masalah keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan renal karena dibuktikan oleh adanya hasil laboratorium dan gejala yang dialami klien.

10

f.

Integumen Pada penderita CKD dapat mengalami nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki (memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, defisit fosfat kalsium pada kulit, keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi (Muttaqin, 2011). Pada klien Ny. S didapatkan kekuatan otot penuh, tidak terdapat atropi otot, turgor kulit elastis, membran mukosa lembab, tidak ada luka bakar tidak ada luka dekubitus, tidak ada fraktur ekstremitas, warna mukosa kulit pucat anemis. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Gangguan lain pada penderia CKD adalah respon sistem integumen akibat penumpukan ureum pada jaringan kulit yang mengakibatkan gangguan pada sirkulasi darah pada kulit. Pada klien Ny. S belum ditemukan adanya gangguan pada kulit.

g. Abdomen

Pada penderita CKD dapat mengalami mual muntah, anoreksia dan diare sekunder dari bau mulut amonia, peradangan mukosa mulut dan ulkus saluran cerna sehingga sering didapatkan penurunan pemasukan nutrisi dari kebutuhan (Muttaqin, 2011). Pada klien Ny. S ditemukan bahwa inspeksi abdomen cembung, tidak ada luka di sekitar abdomen. Pada pemeriksaan auskultasi didapatkan bising usus (+) 25x/menit, palpasi didapatkan tidak teraba bagian lien dan hepar. Mual dan muntah dapat dihubungkan dengan terjadinya sindrom uremi yang mengakibatkan

11

adanya gangguan asam-basa yang dapat meningkatkan produksi asam lambung. Sehingga terjadi iritasi lambung atau gastritis yang berdampak pada keluhan mual, muntah. Pada klien Ny. S hanya mengalami mual saja, tidak mengalami penurunan atau kenaikan BB secara drastis, tidak ada peradangan mukosa mulut dan ulkus saluran cerna dan tidak ditemukan pembesaran hepar. Pada klien Ny. S belum ditemukan tanda-tanda tersebut karena adanya proses perjalanan penyakit. h. Perkemihan Pada penderita CKD dapat mengalami penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut),

perubahan warna urin, (pekat, merah, coklat, berawan) Penurunan urin output <400 ml/hari sampai anuri, terjadi penurunan libido berat (Muttaqin, 2011). Pada klien Ny. S dengan inspeksi ditemukan bahwa klien terpasang folley kateter, produksi urin sekitar ±290 ml dalam 24 jam (oliguri : < 400cc/24 jam), warna urin kuning pekat keruh. Klien mengalami oliguria tetapi tidak mengalami penurunan libido berat. Oliguri disebabkan oleh adanya kegagalan ginjal untuk mempertahankan fungsinya sebagai pengatur cairan dan elektrolit. Ginjal mengalami kerusakan nefron, sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, filtrasi terganggu maka sisa metabolisme ataupun proses pembentukan urin juga tidak bisa berjalan baik, tubuh akan mengkompensasi dengan menyerap urea yang tidak bisa diolah oleh ginjal akibatnya terjadi penurunan haluaran urin. Pada sistem perkemihan ditemukan masalah keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan renal karena salah satu batasan karakteristik masalah ketidakefektifan perfusi jaringan renal adalah penurunan haluaran urin (Taylor dan Ralph, 2010).

12

i.

Pemeriksaan Penunjang Gambaran laboratorium pada penyakit ginjal kronik meliputi penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG, penurunan kadar hemoglobin, hiperkalemia atau hipokalemia, asidosis metabolik (Suwitra, 2006). Hasil pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakan diagnosis pada klien Ny. S yang menderita CKD dengan asidosis metabolik meliputi rekam EKG, hasil laboratorium lengkap yaitu hematologi, kimia klinik dan BGA sudah dapat membuktikan adanya penyakit CKD dengan asidosis metabolik. Hal tersebut dapat dijelaskan berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang yaitu cek darah lengkap (hematologi) dengan hasil leukosit: 12,9x 103; hemoglobin: 7,4; Hct: 22; trombosit: 274 x 103, cek kimia klinik dengan hasil BUN: 137,24; kreatinin: 16,60; Na: 132,8 mmol/ L; K: 8,00; Cl: 104 mmol/L, cek BGA dengan hasil pH: 6,986; PO2: 196; PCO2: 12,7; TCO2: 6,7; HCO3-: 3,1 Beb: -22,0; Beecf: -23,9; SBC: 14,6; %SO2: 99%; O2 ct: 10,8 ml/dl, yang diketahui bahwa terdapat peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, penurunan kadar hemoglobin, penurunan hematokrit, hiperkalemia, asidosis metabolik.

j.

Pemberian Terapi Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik yaitu terapi spesifik terhadap penyakit dasar, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, pembatsan cairan dan elektrolit (Suwitra, 2006). Pada klien Ny. S mendapatkan terapi yang diberikan oleh dokter yaitu Nabic yang berguna menyeimbangkan asam-basa yang terganggu, Insulin berguna dalam mengontrol defisiensi insulin, Lasix berguna untuk mengeluarkan urin dan mencegah terjadinya

13

edema, Antibiotik Ceftriaxon berguna untuk mencegah terjadinya infeksi. Terapi-terapi tersebut sudah tepat menurut teori dan dengan keadaan klien saat ini. 4.1.2 No 1.

Analisis Data

Data senjang Data objektif :  Sesak napas  Mual  Asidosis metabolic  Anemia  Td : 150 mmhg  Rr : 30x/m  Terpasang O2 10L  Hb 7,4  Urine 290ml/24 jam pekat keruh

Etiologi Asidosis metabolik

Masalah Gangguan pola pernapasan

Data subjektif :  Klien mengatakan sesak  Klien terpasang O2

Pada penderita CKD akan terjadi berbagai macam masalah keperawatan meliputi seluruh aspaek bio, psiko, sosio dan sipritual. Adapun masalah-masalah tersebut dapat dijelaskan menjadi suatu diagnosis keperawatan sebagai berikut : Menurut (Muttaqin, 2011; Taylor dan Ralph, 2010; Wilkinson, 2011), terdapat dua belas diagnosis keperawatan pada klien dengan CKD yaitu sebagai berikut:

14

1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan pH pada cairan serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru dan respon asidosis metabolik. 2. Risiko tinggi terjadinya penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung, akumulasi/penumpukan urea toksin, kalsifikasi jaringan lunak. 3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume urin, retensi cairan dan natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR. 4. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan pH pada cairan serebrospinal dari asidosis metabolik, peningkatan laju filtrasi, penurunan TD sistemik/hipoksia, hipovolemia. 5. Risiko tinggi terjadi cedera (profil darah abnormal) berhubungan dengan penekanan, produksi/sekresi eritropoietin, penurunan produksi sel darah merah gangguan faktor pembekuan, peningkatan kerapuhan vaskular. 6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolik, sirkulasi (anemia, iskemik jaringan) dan sensasi (neuropati perifer), penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas, akumulasi ureum dalam kulit.

15

7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pemasukan nutrisi yang tidak adekuat sekunder dari anoreksia, mual, muntah. 8. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, prognosis penyakit, kondisi sakit, perubahan kesehatan proses pengobatan Hemodialisa,

ancaman konsep diri, perubahan status dan peran.

9. Ketidakefektifan perfusi jaringan renal berhubungan dengan kerusakan nefron sehingga tidak mampu mengeluarkan sisa metabolisme. 10. Risiko ketidakstabilan glukosa darah berhubungan dengan pemantauan glukosa darah yang tidak adekuat, tidak menerima diagnosis, tidak mematuhi rencana penatalaksanaan, kurangnya rencana penatalaksanaan.

11. Intoleran aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah, prosedur dialisis. 12. Disfungsi seksual berhubungan dengan penurunan libido, impotensia, amenorea.

Dari diagnosis keperawatan diatas pada tinjauan pustaka tidak semua terjadi pada tinjauan kasus. Diagnosis keperawatan pada tinjauan kasus yaitu :

16

1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan respon asidosis metabolik. 2. Ketidakefektifan perfusi jaringan renal berhubungan dengan kerusakan nefron sehingga tidak mampu mengeluarkan sisa metabolisme. 3. Risiko ketidakstabilan glukosa darah berhubungan dengan pemantauan glukosa darah yang tidak adekuat, tidak menerima diagnosis, tidak mematuhi rencana penatalaksanaan, kurangnya rencana penatalaksanaan.

No

Diagnosa

1

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan asidosis metabolik

Perencanaan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi NOC : NIC :  Status pernafasan : ventilasi. Manajemen jalan nafas 1-5 : gangguan ekstrim, 19. Posisikan pasien untuk gangguan berat, gangguan memaksimalkan ventilasi sedang, gangguan ringan, tidak 20. Identifikasi pasien perlunya ada gangguan. pemasangan alat jalan nafas  Status pernafasan : kepatenan buatan jalan nafas. 21. Auskultasi suara nafas, catat 1-5 : gangguan ekstrim, adanya suara tambahan gangguan berat, gangguan 22. Awasi frekuensi / upaya sedang, gangguan ringan, tidak pernafasan. Penurunan ada gangguan. kecepatan infus bila ada  Tanda-tanda vital dispnea. 1-5 : gangguan ekstrim, 23. Atur intake untuk cairan gangguan berat, gangguan mengoptimalkan sedang, gangguan ringan, tidak keseimbangan. ada gangguan. 24. Tinggikan kepala tempat tidur. Tingkatkan latihan Kriteria hasil :  Menunjukkan jalan napas yang napas dalam dan batuk.

Rasional Manajemen jalan nafas 19. Memudahkan ekspansi dada/ventilasi dan mobilisasi sekret 20. Meningkatkan pola pernapasan spontan yang optimal sehingga memaksimalkan pertukaran oksigen dan karbondioksida di dalam paru. 21. Penurunan area ventilasi menunjukkan adanya atelektasis,dimana bunyi napas adventisius menunjukkan kelebihan cairan, tertahannya sekresi atau infeksi. 22. Takipnea, dispnea, napas pendek, dan napas dangkal selama dialisa diduga tekanan diafragmatik dari distensi rongga peritonela atau mungkin menunjukkan terjadinya

17

paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)  Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)

25. Berikan tambahan O2 sesuai indikasi. 26. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi.

Terapi oksigen 27. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea 28. Pertahankan jalan napas paten 29. Monitor aliran oksigen 30. Pertahankan posisi pasien 31. Observasi adanya tanda hipoventilasi Monitor tanda vital 32. Monitor TD, nadi, suhu dan RR 33. Monitor frekuensi dan irama pernafasan 34. Monitor pola pernafasan abnormal 35. Monitor kualitas dari nadi 36. Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit

komplikasi. 23. Pada kebanyakan kasus, jumlah aliran harus sama atau lebih dari jumlah yang dimasukkan, keseimbangan positif menunjukkan kebutuhan evaluasi lebih lanjut. 24. Memudahkan ekspansi dada/ventilasi dan mobilisasi sekret. 25. Memaksimalkan oksigen untuk penyerapan vaskular,pencegahan / pengurangan hipoksia. 26. Perasaan takut berat berhubungan dengan ketidakmampuan bernapas/terjadinya hipoksemia dan dapat secara aktual meningkatkan konsumsi oksigen/ kebutuhan. Terapi oksigen 27. Pembersihan jalan nafas dan meningkatkan kenyamanan. 28. Mempertahankan ventilasi yang maksimal 29. Menunjukkan kebutuhan oksigen pasien 30. Memudahkan memelihara jalan nafas atas paten bila jalan nafas pasien dipengaruhi 31. Dapat menentukan peningkatan upaya pernafasan Monitor tanda vital 32. Dapat menunjukkan intervensi selanjutnya 33. Peningkatan upaya pernafasan dapat menunjukkan derajat hipoksemia

18

34. Mengetahui adanya suara tambahan 35. Penurunan dan peningkatan nadi adalah manifestasi menunjukkkan kondisi pasien memburuk. 36. Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler.

Related Documents

3bab 1-3.docx
April 2020 11
Bab Ii Yang Betull.docx
October 2019 32
Biasiswa Yang Di
June 2020 13
Yang Mau Di Translte.docx
November 2019 18
Kerudung Yang Di Koyakkan
November 2019 32

More Documents from ""

Document (31).doc
December 2019 9
Document (31).docx
December 2019 16
Isi Modul Okeeeee.docx
December 2019 25
Tengkorak.docx
June 2020 15