399470_stephanus - Imunisasi.docx

  • Uploaded by: Lee Luniverse
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 399470_stephanus - Imunisasi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,609
  • Pages: 22
IMUNISASI

Disusun Oleh: Stephanus Thendean

Pembimbing:
 dr. Afaf Susilawati, Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Periode 30 April 2018 –7 Juli 2018
 RSUD Koja 
 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta


2018 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Imunisasi adalah salah satu cara dalam mencegah penyakit menular terutama Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang diberikan kepada tidak hanya anak sejak masih bayi hingga remaja tetapi juga kepada orang dewasa. Dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi dan pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. Penyelenggaraan imunisasi tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013.1 Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama. Imunisasi yang adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan merupakan hal yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi bekerja sebagai sarana untuk mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada bayi. Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan (imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Program imunisasi bisa didapatkan tidak hanya di puskesmas atau di rumah sakit saja, akan tetapi juga diberikan di posyandu yang dibentuk masyarakat dengan dukungan oleh petugas kesehatan dan diberikan secara gratis kepada masyarakat dengan maksud program imunisasi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Program imunisasi di posyandu telah menargetkan sasaran yang ingin dicapai yakni pemberian Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) pada anak dan bayi. IDL tercapai jika bayi telah mendapat imunisasi HB 0, BCG, pentavalen sebanyak tiga dosis, polio sebanyak empat dosis, dan campak sebelum berusia satu tahun.2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Imunisasi adalah proses di mana seseorang dibuat kebal atau resisten terhadap penyakit menular, biasanya dengan pemberian vaksin. Vaksin merangsang sistem kekebalan tubuh sendiri untuk melindungi orang terhadap infeksi atau penyakit berikutnya. Imunisasi adalah alat yang terbukti untuk mengendalikan dan menghilangkan penyakit menular yang mengancam jiwa dan diperkirakan mencegah antara 2 hingga 3 juta kematian setiap tahun. Ini adalah salah satu investasi kesehatan yang paling efektif biaya, dengan strategi terbukti yang membuatnya dapat diakses bahkan oleh populasi yang paling sulit dijangkau dan rentan.3 Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit infeksi yang berbahaya. Beberapa imunisasi tidak cukup diberikan hanya satu kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan lengkap untuk mendapatkan kekebalan dari berbagai penyakit yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak. Semua imunisasi sama pentingnya, sehingga tidak ada istilah imunisasi wajib dan tidak wajib, akan tetapi di Indonesia, hanya 6 vaksin yang disubsidi oleh pemerintah yaitu BCG, Polio, DPT, Hep. B, campak, dan HiB sehingga ke-6 vaksin ini dianggap sebagai imunisasi dasar.4 Dalam menjalankan program imunisasi, dibutuhkan adanya vaksin untuk menstimulasi respon imun tubuh. Vaksin adalah antigen berupa mikroogranisme yang sudah mati, masih hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid, protein rekombinan yang apabila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.2

Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) Beberapa jenis penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah:2 1. Difteri Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diptheriae. Difteri itu sendiri memiliki gejala seperti radang tenggorokan, demam, timbulnya selaput putih pada tenggorokan dan tonsil, dan hilangnya nafsu makan. 2. Pertusis Pertusis merupakan penyakit pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis. Pertusis atau batuk rejan memiliki gejala seperti pilek, mata merah, bersin, demam, dan batuk yang cepat dan keras. 3. Tetanus Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh Clostridium tetani yang menghasilkan neurotoksin. Tetanus memiliki gejala awal seperti kaku pada rahang, leher, sulit menelan, dan demam. Gejala berikutnya biasanya kejang yang hebat dan tubuh menjadi kaku. 4. Tuberculosis (TBC) TBC merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa. TBC memiliki gejala awal seperti demam, batuk yang bersifat kronis yang terkadang disertai darah, adanya penurunan berat badan, dan keringat pada malam hari. 5. Campak Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus myxovirus viridae measles. Campak memiliki gejala awal seperti demam, bercak kemarahan, batuk, pilek, dan konjungtivitis, serta sering disertai adanya bercak di bagian mulut (koplik spots). 6. Poliomielitis Poliomielitis merupakan penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus polio. Polio memiliki gejala seperti demam, nyeri otot yang berlanjut menjadi pada kelumpuhan di minggu pertama. 7. Hepatitis B Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Hepatitis B

memiliki gejala seperti merasa lemah, nyeri pada bagian perut, urin yang menjadi lebih kuning pekat, kotoran menjadi pucat, kulit dan mata menjadi kuning, mual, dan muntah. 8. Hemofilus Influenza tipe B (HiB) HiB merupakan salah satu bakteri yang dapat menyebabkan infeksi seperti meningitis, epiglotitis, pneumonia, artritis, dan selulitis. Bakteri ini seringkali menyerang anak dibawah usia 5 tahun terutama usia 6 bulan – 1 tahun. 9. Human Papiloma Virus (HPV) HPV merupakan virus yang menyerang kulit dan membran mukosa manusia dan hewan. HPV memiliki banyak serotipe dimana beberapa serotipe dapat menyebabkan kutil kelamin, sedangkan yang lainnya dapat menyebabkan kanker serviks. 10. Hepatitis A Hepatitis A merupakan penyakit dengan gejala mual muntah, mudah lelah, nyeri pada bagian kanan atas, hilangnya nafsu makan, demam, urin yang berwarna kuning gelap dan kulit serta mata yang mulai menguning.

Tipe dan Jenis Vaksin Ada beberapa jenis vaksin yang berbeda. Setiap jenis dirancang untuk menstimulasi sistem kekebalan dan bagaimana melawan jenis kuman tertentu - dan penyakit yang ditimbulkannya.5 Ada 4 jenis utama vaksin:

1. Vaksin hidup yang dilemahkan (Live-attenuated vaccine) Vaksin hidup menggunakan bentuk kuman yang melemah (atau dilemahkan) yang menyebabkan penyakit. Vaksin ini sangat mirip dengan infeksi alami sehingga dapat menciptakan respons kekebalan yang kuat dan tahan lama. Hanya 1 atau 2 dosis vaksin hidup dapat memberikan perlindungan seumur hidup terhadap kuman dan penyakit yang ditimbulkannya. Akan tetapi, vaksin hidup memiliki beberapa keterbatasan. Sebagai contoh: 

Orang dengan respon imun yang lemah, masalah kesehatan jangka panjang, dan orang yang memiliki organ transplantasi, tidak direkomendasikan menerima vaksin dalam bentuk ini dikarenakan vaksin bentuk ini memiliki bakteri yang dilemahkan walaupun dalam jumlah yang sedikit



Diperlukan suhu yang rendah dalam penyimpanannya sehingga sulit untuk mobilisasi

Contoh penggunaan vaksin hidup: Campak, gondok, rubella (vaksin kombinasi MMR), Rotavirus, Cacar air, dan Demam kuning (Yellow fever).

2. Vaksin yang tidak aktif Vaksin yang tidak aktif menggunakan kuman penyebab yang sudah mati. Vaksin jenis ini biasanya tidak memberikan kekebalan (perlindungan) yang lebih lemah jika dibandingkan dengan vaksin hidup yang dilemahkan. Sehingga, vaksin jenis ini seringkali memerlukan beberapa dosis dari waktu ke waktu (suntikan booster) untuk mendapatkan kekebalan yang berkelanjutan terhadap penyakit.

Contoh vaksin jenis ini: Hepatitis A, Polio, Rabies

3. Subunit, rekombinan, polisakarida, dan konjugasi vaksin Vaksin subunit, rekombinan, polisakarida, dan konjugasi menggunakan potongan spesifik dari kuman - seperti protein, gula, atau kapsidnya (casing di sekitar kuman). Vaksin jenis ini dapat digunakan pada hampir semua orang, termasuk orang-orang dengan sistem kekebalan yang lemah dan masalah kesehatan jangka panjang. Salah satu batasan dari vaksin ini adalah diperlukan suntikan booster untuk mendapatkan perlindungan berkelanjutan terhadap penyakit. Vaksin ini digunakan untuk melindungi terhadap: Penyakit Hib (Haemophilus influenzae tipe b), Hepatitis B, HPV (Human papillomavirus), Batuk rejan (bagian dari vaksin kombinasi DTaP), Penyakit pneumokokus, Penyakit meningokokus. 4. Vaksin Toxoid Vaksin toksoid menggunakan racun yang dibuat oleh kuman yang menyebabkan penyakit. Vaksin jenis ini menciptakan kekebalan terhadap bagian-bagian kuman yang menyebabkan penyakit. Itu berarti respon kekebalan ditargetkan ke racun, bukan seluruh kuman. Selain itu, diperlukan suntikan booster untuk mendapatkan perlindungan berkelanjutan terhadap penyakit. Vaksin toksoid digunakan untuk melindungi terhadap: Difteri, Tetanus

Respon Kekebalan Tubuh Manusia Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah dilengkapi dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu :4 1. Kekebalan tidak spesifik (Non Spesific Resistance) Disebut sebagai sistem imun non spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita tidak ditujukan terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu. Contoh bentuk kekebalan non-spesifik : -

Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung yang berfungsi untuk menyaring kotoran yang akan masuk ke saluran nafas bagian bawah.

-

Pertahanan biokimiawi - air susu ibu yang mengandung laktoferin - berperan sebagai antibakteri

-

Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih akan memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.

-

Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan non-spesifik yang diperankan oleh pertahanan selular (monosit dan makrofag) akan menangkap, mencerna, dan membunuh mikroorganisme tersebut.

2. Kekebalan Spesifik (Spesific Resistance) Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel T dan sel B. Sistem kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh mikroorganisme, melainkan sebagai protein saja yang akan merangsang sistem kekebalan. Bagian dari struktur protein mikroorganisme yang dapat merangsang sistem kekebalan spesifik ini disebut antigen. Adanya antigen akan merangsang diaktifkannya sel T atau sistem kekebalan selular. Selanjutnya sel T ini akan memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah bentuk dan fungsi menjadi sel plasma yang selanjutnya akan memproduksi antibodi. Kelebihan dari sistem kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan sel memori. Semakin sering tubuh kita kontak dengan antigen dari luar, maka semakin tinggi pula peningkatan kadar antibodi tubuh karena sel-sel memori telah mengenali antigen tersebut. Yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik kita adalah antigen yang merupakan bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen ini selanjutnya akan ditanggapi oleh

sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi antibodi. Berdasarkan cara memperoleh kekebalan, maka kekebalan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :4,6

1. Kekebalan pasif Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa tubuh mendapat bantuan dari luar antibodi yang sudah jadi. Sifat kekebalan pasif tidak berlangsung lama, umumnya tidak kurang dari 6 bulan. Misalnya bayi yang secara alami telah memiliki kekebalan pasif dari ibunya. 2. Kekebalan aktif Yang umum disebut imunisasi diperoleh melalui pemberian vaksinasi dan berlangsung bertahun tahun, karena tubuh memiliki sel memori terhadap antigen tertentu.

Jadwal Imunisasi

Keterangan:



Cara Membaca kolom usia: Misal

berarti usia 2 bulan (60 hari) sampai dengan 2

bulan 29 hari (89 hari) 

a



b

Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 Apabila diberikan pada remaja usia 10 – 13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan

interval 6 – 12 bulan; respon antibodi setara dengan 3 dosis

Optional

Catch-Up

Booster

Daerah Endemis

Untuk memahami tabel jadwal imunisasi, perlu membaca keterangan tabel. 4 1. Vaksin Hepatitis B (HB) 

Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan



Bayi baru lahir dari ibu dengan HbsAG positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas berbeda



Apabila diberikan vaksin HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada usia 2, 3 dan 4 bulan



Apabila vaksin HB diberikan kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4 dan 6 bulan

2. Vaksin Polio 

Apabila bayi lahir dirumah segera berikan OPV-0



Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat bayi dipulangkan



Selanjutnya untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3

3. Vaksin BCG



Pemberian Vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, optimal pada usia 2 bulan.



Apabila vaksin akan diberikan pada usia 3 bulan atau lebih, maka perlu dilakukan tes tuberkulin terlebih dahulu

4. Vaksin DTP 

Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau dapat dikombinasi dengan vaksin lain



Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu 2, 4 dan 6 bulan



Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap



Untuk DTP 6 dapat diberikan Td atau Tdap pada usia 10 – 12 tahun dan booster diberikan setiap 10 tahun

5. Vaksin Pneumokokus (PCV) 

Apabila diberikan pada usia 7 – 12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terahir



Pada anak dengan usia di atas 2 tahun, PCV cukup diberikan 1 kali

6. Vaksin Rotavirus 

Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan pada usia 6 – 14 minggu (dosis pertama tidak diberikan pada usia ≥15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 24 minggu



Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali dosis, dosis pertama diberikan pada usia 6 – 14 minggu (dosis pertama tidak diberikan pada usia ≥15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4 – 10 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu

7. Vaksin Influenza 

Vaksin influenza diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun



Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi 2 kali dengan interval minimal 4 minggu



Untuk anak usia 6 – 36 bulan, dosis 0,25 ml



Untuk anak usia ≥ 36 bulan, dosis 0,5 ml

8. Vaksin Campak 

Vaksin campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan apabila sudah mendapatkan MMR

9. Vaksin MMR atau MR 

Apabila anak sudah mendapatkan imunisasi campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR atau MR diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan)



Apabila pada usia 12 tahun anak belum mendapatkan vaksin campak, maka dapat diberikan vaksin MMR atau MR

10. Vaksin Varisela 

Vaksin varisela diberikan pada anak setelah berusia 12 bulan, dimana waktu terbaik adalah pada usia sebelum masuk sekolah dasar



Apabila diberikan pada anak usia lebih dari 13 tahun, maka diperlukan 2 kali dosis dengan interval minimal selama 4 minggu

11. Vaksin Human Papiloma Virus (HPV) 

Vaksin HPV diberikan sejak usia 10 tahun



Vaksin HPV bivalen diberikan 3 kali dengan jadwal 0, 1 dan 6 bulan



Vaksin HPV tetravalen diberikan dengan jadwal 0, 2 dan 6 bulan



Apabila diberikan pada remaja usia 10 – 13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6 – 12 bulan (respon antibodi setara dengan pemberian 3 kali dosis)

12. Vaksin Japanese Encephalitis (JE) 

Vaksin JE mulai diberikan pada anak usia 12 bulan dengan lingkungan tinggal endemis atau turis yang akan bepergian ke daerah endemis tersebut



Untuk perlindungan dapat diberikan vaksinasi booster pada 1 – 2 tahun berikutnya

13. Vaksin Dengue 

Diberikan pada usia 9 – 16 tahun dengan jadwal 0, 6 dan 12 bulan

Cara Pemberian Vaksin Pemberian vaksin dapat dilakukan pada lokasi dan cara yang berbeda. Suntikan intramuskular (IM) pada anak yang berusia dibawah 12 bulan, penyuntikan dapat dilakukan di paha atas. Pada anak berusia 1-18 tahun, penyuntikan dapat dilakukan di paha atas atau lengan atas (bahu). Pada orang dewasa berusia 19 tahun keatas penyuntikan dilakukan di lengan atas (bahu).7 Untuk suntikan subkutan (SC), pada anak yang berusia dibawah 12 bulan, penyuntikan dilakukan di paha atas. Sedangkan anak yang berusia diatas 12 bulan, disuntik dibagian lengan atas. Namun, menyuntik anak berusia dibawah 12 bulan di bagian lengan atas dan anak di atas 12 bulan di paha atas tetap diperbolehkan. Sedangkan untuk suntikan intrakutan (IC) pada BCG, dilakukan pada lengan kanan atas sebelum anak berumur 2 bulan dengan cara disuntikan dilapisan terluar hingga menggembungkan kulit dan untuk pemberian vaksin melalui oral, vaksin diberikan dengan cara diteteskan melalui mulut.7 Cara pemberian vaksin dapat ditentukan berdasarkan jenis vaksinnya, vaksin hidup atau mati. Umumnya vaksin mati disuntikan dengan cara intramuskular, sedangkan vaksin hidup disuntukan cengan cara subkutan. Tabel 1. Cara dan Dosis Pemberian Vaksin7 Vaksin Difteri, Pertusis dan Tetanus Haemophilus Influenza tipe B

Jenis Vaksin

0,5 ml

Intramuskular

Kapsul Polisakarida

0,5 ml

Intramuskular

Human Papillomavirus

DNA rekombinan atau plasma Protein kapsid

Influenza mati (trivalen)

Virus inaktif

Campak, Gondongan,

Lokasi Pemberian

Toxoid

Hepatitis A Hepatitis B

Volume Dosis

Hidup dilemahkan

≤ 18 tahun : 0,5 ml ≥ 19 tahun : 1 ml ≤ 19 tahun : 0,5 ml ≥ 20 tahun : 1 ml 0,5 ml 6 – 35 bulan : 0,25 ml ≥ 3 tahun : 0,5 ml 0,5 ml

Intramuskular Intramuskular Intramuskular Intramuskular Subkutan

Rubella Kapsul polisakarida (purified)

0,5 ml

Intramuskular

Kapsul polisakarida

0,5 ml

Subkutan

Konjugasi

0,5 ml

Pneumokokus

Kapsul polisakarida

0,5 ml

Polio hidup

Hidup dilemahkan

2 tetes

Intramuskular Intramuskular atau Subkutan Oral Intramuskular atau Subkutan

Meningokokus Konjugat Meningokokus (polisakarida) Pneumokokus

Polio mati

0,5 ml

Rotavirus

Hidup dilemahkan

Varisela (cacar air) BCG

Bakteri hidup

Rotarix : 1 ml RotaTeq : 2 ml 0,5 ml 0,05 ml

Oral Subkutan Intrakutan

Tabel 2. Isi Vaksin pada Imunisisasi Wajib di Indonesia8,9 Vaksin

Deskripsi Isi

Vaksin BCG

Vaksin beku kering yang mengandung Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan Bacillus Calmette Guerin, strain paris.

Vaksin DPT-HBHiB (Pentabio)

Suspensi homogen yang mengandung toksoid tetanus murni, toksoid difteri murni, pertussis inaktif 12 OU, HbsAg, konjugat Hib, aluminium fosfat (adjuvant), thimerosal (pengawet)

Vaksin Hepatitis B

Vaksin yang mengandung antigen virus Hepatitis B, HbsAg.

Vaksin Polio Oral (OPV)

Vaksin Polio Trivalent yang terdiri dari suspensi virus poliomyelitis tipe 1,2,3 (strain Sabin) yang sudah dilemahkan

Vaksin Inactive Polio Vaccine (IPV)

Bentuk suspensi injeksi untuk pencegahan poliomyelitis pada bayi dan anak immunocompromised, kontak di lingkungan keluarga dan pada individu di mana vaksin polio oral menjadi kontraindikasi

Vaksin Campak

Vaksin beku kering yang terdiri dari virus campak strain CAM 70 yang dilemahkan

Vaksin DT

Suspensi kolodial homogen yang terdiri dari toksoid tetanus dan toksoid difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat. (pemberian kekebalan simultan terhadap difteri dan tetanus pada anak-anak)

Vaksin Td

Suspensi kolodial homogen yang terdiri dari toksoid tetanus dan toksoid difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat. (imunisasi ulangan terhadap tetanus dan difteri pada individu mulai usia 7 tahun)

Vaksin TT

Suspensi kolodial homogen yang terdiri dari toksoid tetanus dan toksoid

difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat. (perlindungan terhadap tetanus neonatorum pada wanita usia subur)

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi KIPI adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa reaksi vaksin, reaksi suntikan, efek farmakologis, kesalahan prosedur, koinsidensi, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah apakah resipien termasuk dalam kelompok risiko. Kelompok risiko adalah anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu dan bayi berat lahir rendah.2 Pada bayi kurang bulan, harus diperhatikan titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari pada bayi cukup bulan, jika berat badan bayi kecil (<1.000 gram) imunisasi ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan, kecuali untuk imunisasi hepatitis B pada bayi dengan ibu yang HbsAg positif.2 KIPI sendiri diklasifikasikan menjadi:10 1. Induksi vaksin (vaccine induced). Terjadinya KIPI disebabkan oleh karena faktor intrinsik vaksin terhadap individual resipien. Misalnya, seorang anak menderita poliomielitis setelah mendapat vaksin polio oral. 2. Provokasi vaksin (vaccine potentiated). Gejala klinis yang timbul dapat terjadi kapan saja, saat ini terjadi oleh karena provokasi vaksin. Contoh: Kejang demam pasca imunisasi yang terjadi pada anak yang mempunyai predisposisi kejang.
 3. Kesalahan (pelaksanaan) program (programmatic errors). Gejala KIPI timbul sebagai akibat kesalahan pada teknik pembuatan dan pengadaan vaksin atau teknik cara pemberian. Contoh: terjadi indurasi pada bekas suntikan disebabkan vaksin yang seharusnya diberikan secara intramuskular diberikan secara subkutan.
 4. Koinsidensi (coincidental). KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain yang sedang diderita. Contoh: Bayi yang menderita penyakit jantung bawaan mendadak sianosis setelah diimunisasi.

Tabel 3. Tindak Lanjut terhadap KIPI2 No. Nama 1.

2.

3.

4.

5.

4.

Reaksi ringan

Gejala lokal Nyeri, eritema, bengkak di daerah bekas suntikan <1cm. Timbul <48 jam setelah imunisasi

Tindakan

Kompres hangat, jika nyeri menggagu beri parasetamol 10 mg/kgBB/kali pemberian. <6 bulan 60mg/kali pemberian 1-3 tahun: 120 mg/kali pemberian Reaksi lokal Eeritema/indurasi >8cm, Kompres hangat, berat nyeri, bengkak dan manifestasi parasetamol sistemis Reaksi Arthus Nyeri, bengkak, indurasi dan Kompres hangat, dan edema. Terjadi reimunisasi parasetamol. pada pasien dengan kadar antibodi yang masih tinggi. Timbul beberapa jam dengan puncaknya 12-36 jam setelah imunisasi Reaksi Umum Demam, lesu, nyeri otot, nyeri Berikan minum kepala, dan menggigil hangat dan selimut, parasetamol. Kolaps/keadaan Episode hipotonik- Rangsangan dengan pre-syok hiporesponsif. Anak tetap wewangian atau bausadar, tetapi tidak bereaksi bauan yang terhadap rangsangan. Pada merangsang. Apabila pemeriksaan frekuensi, belum dapat diatasi amplitudo nadi serta tekanan dalam waktu 30 darah tetap dalam batas normal menit, segera rujuk ke puskesmas terdekat. Reaksi Lumpuh layu, asendens, Rujuk ke rumah sakit Sindroma biasanya tungkai, ataksia, untuk Guillain-Barre penurunan reflex tendon, perawatan dan gangguan menelan dan pemeriksaan pernafasan, parestesi, lebih lanjut. meningismus, tidak demam, peningkatan protein dalam

Keterangan Pengobatan dapat dilakukan oleh guru UKS atau orangtua. Berikan pengertian kepada ibu/keluarga bahwa hal ini dapat sembuh sendiri tanpa obat. Jika ada perubahan, hubungi pusksesmas.

cairan serebrospinal tanpa pleositosis. Terjadi antara 5 hari s.d. 6 minggu setelah imunisasi, perjalanan penyakit dari 1 s.d. 3-4 hari, prognosis umumnya baik. 5.

Nyeri brakialis (neuropati pleksus brakialis).

6.

Syok anafilaktis

Nyeri dalam terus menerus pada daerah bahu dan lengan atas. Terjadi 7 jam s.d. 3 minggu setelah imunisasi.

Parasetamol. Apabila gejala menetap rujuk ke rumah sakit untuk fisioterapi.

Terjadi mendadak, gejala klasik: kemerahan merata, edema, urtikaria, sembab pada kelopak mata, sesak, nafas berbunyi, jantung berdebar kencang, tekanan darah menurun, anak pingsan/tidak sadar, dapat pula terjadi langsung berupa tekanan darah menurun dan pingsan tanpa didahului oleh gejala lain. Abses dingin Bengkak dan keras, nyeri daerah bekas suntikan, terjadi karena vaksin disuntikkan masih dingin. Pembengkakkan Bengkak di sekitar suntikan, terjadi karena penyuntikan kurang dalam.

Suntikan adrenalin 1:1.000 dosis 0,1–0,3 ml,sk/im, jika pasien membaik dan stabil dilanjutkan dengan suntikan deksametason (1 ampul) secara intravena/ intramuskuler. Segera pasang infus NaCl 0,9%, rujuk ke rumah sakit terdekat. Kompres hangat parasetamol.

9.

Sepsis

Kompres hangat, parasetamol, rujuk ke rumah sakit terdekat.

10.

Tetanus

7.

8.

Bengkak di sekitar bekas suntikan, demam, terjadi karena jarum suntik tidak steril. Gejala timbul 1 minggu atau lebih setelah penyuntikan. Kejang, dapat disertai dengan demam, anak tetap sadar.

Kompres hangat.

Rujuk ke rumah sakit terdekat

Jika tidak ada perubahan, hubungi puskesmas terdekat. Jika tidak ada perubahan, hubungi puskesmas terdekat.

11.

Kelumpuhan/ Kelemahan otot

Lengan sebelah (daerah yang disuntik) tidak bisa digerakkan, terjadi karena daerah penyuntikan salah. Pembengkakan bibir dan tenggorokan, sesak nafas, eritema, papula, terasa gatal, tekanan darah menurun.

12.

Alergi

13.

Faktor psikologis

Ketakutan, berteriak, pingsan.

14.

Koinsiden (faktor kebetulan)

Gejala penyakit terjadi secara kebetulan bersamaan dengan waktu imunisasi. Gejala dapat berupa salah satu gejala KIPI tersebut di atas atau bentuk lain.

Rujuk untuk difisoterapi

Suntikkan dexametason 1 ampul im/iv, jika berlanjut pasang infus NaCl 0,9%. Tenangkan penderita. Beri minum air hangat, beri wewangian/ alkohol, setelah sadar beri minum air teh manis hangat. Tangani penderita sesuai gejala. Cari informasi di sekitar anak, apakah ada kasus lain yang mirip, tetapi anak tidak diimunisasi. Kirim ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Tanyakan kepada orangtua, adakah penyakit alergi.

Sebelum penyuntikan, guru sekolah dapat memberikan pengertian dan menenangkan murid. Apabila berlanjut, hubungi Puskesmas.

Tabel 4. Gejala KIPI menurut Jenis Vaksin10 Jenis Vaksin

Gejala Klinis KIPI

Waktu timbul KIPI

Toksoid (DPT, DT, TT)

  

4 jam 2 – 28 hari Tidak tercatat

Pertusis whole-cell (DPT, DPT-HB)

  

Campak, Gondongan, Rubela

  

Shock anafilaksis Neuritis brakial Komplikasi akut (termasuk cacat atau kematian) Shock anafilaksis Ensefalopati Komplikasi akut (termasuk cacat atau kematian) Shock anafilaksis Ensefalopati Komplikasi akut (termasuk

4 jam 72 jam Tidak tercatat 4 jam 5 – 15 hari Tidak tercatat

Rubela

 

Campak

    

Polio hidup (OPV)

 Vaksin polio inaktif (IPV)

 

Hepatitis B

 

Haemophilus Influenza tipe B

 

cacat atau kematian) Artritis Komplikasi akut (termasuk cacat atau kematian) Trombositopenia Klinis campak pada Immunocompromised Komplikasi akut (termasuk cacat atau kematian) Polio paralisis Polio paralisis pada Immunocompromised Komplikasi akut (termasuk cacat atau kematian) Shock anafilaksis Komplikasi akut (termasuk cacat atau kematian) Shock anafilaksis Komplikasi akut (termasuk cacat atau kematian) Klinis infeksi HiB Komplikasi akut (termasuk cacat atau kematian)

7 – 42 hari Tidak tercatat 7 – 30 hari 6 bulan Tidak tercatat 30 hari 6 bulan Tidak tercatat 4 jam Tidak tercatat 4 jam Tidak tercatat 7 hari

Imunisasi Susulan Pada kasus dimana imunisasi tidak bisa dilakukan atau jika imunisasi tertunda, terdapat jadwal tambahan untuk mengejar ketertinggalan imunisasi. Seri vaksin tidak perlu diulang, walaupun jadwal antara dosis sudah terlewati. Tabel dibawah berikut menunjukkan jadwal untuk mengejar ketertinggalan imunisasi dan interval minimum antara dosis untuk anak yang vaksinnya tertunda.11 Tabel 5. Imunisasi Susulan untuk Anak Usia 4 Bulan hingga 6 Tahun11 Interval Minimum

Antar Dosis

Vaksin

Usia min. Dosis 1 ke dosis 2 untuk dosis 1

Dosis 2 ke dosis 3

Hep. B

Lahir

8 mgg dan paling sedikit 16 mgg setelah dosis 1. Usia min. untuk dosis terakhir adalah 24 mgg.

4 mgg

Dosis 3 Dosis 4 ke dosis ke dosis 4 5

Rotavirus 6 minggu. 4 mgg Usia maksimum: 14 mgg 6 hr

4 mgg. Usia max. 8 bln 0 hr

DPT

6 mgg

4 mgg

4 mgg

HiB

6 mgg

4 mgg

4 mgg

Pneumok okkus

6 mgg

4 mgg

4 mgg

Polio Inaktif

6 mgg

4mgg (jika usia <4 thn)

6 bln (min. 4 tahun)

6 bln

6 bln

6 bln (final, jika usia >4 thn) MMR

12 bln

4 mgg

Varicella

12 bln

3 bln

Hep. A

12 bln

6 bln

Meningo coccal

6 mgg

8 mgg

Tabel 6. Imunisasi Susulan untuk Anak Usia 7 hingga 18 Tahun11 Interval Vaksin

Antar

Usia Min. Dosis 1 ke Dosis 2 ke dosis 3 untuk dosis 2 dosis 1

Meningoc occal DPT

Minimum

Hep. A

Dosis 3 ke dosis 4

8 mgg

7 tahun

4 mgg

4 mgg jika dosis pertama 6 bln jika dosis <1 thn pertama <1 thn 6 bln jika dosis pertama >1 thn

HPV

Dosis

9 thn 6 bln

Dosis 4 ke dosis 5

Hep. B

4 mgg

8 mgg dan plg sedikit 16 mgg setelah dosis pertama

Polio Inaktif

4 mgg

6 bln, dosis ke-4 tidak diperlukan jika dosis ke3 diberikan >4 tahun dan 6 bln setelah dosis sebelumnya

MMR

4 mgg

Varicella

3 bln jika <13 tahun 4 mgg jika >13 tahun

Dosis ke-4 diberikan jika dosis sebelumnya diberikan <4 tahun dan <6 bln setelah dosis ke-2

BAB III KESIMPULAN Upaya pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kekebalan atau imunitas tubuh dalam menghadapi ancaman penyakit yang dilakukan dengan pemberian imunisasi. Imunisasi dasar pada anak usia dibawah 2 tahun sangat penting untuk dilakukan oleh karena bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian yang seharusnya dapat dicegah walaupun imunisasi tidak menjamin 100% bahwa seseorang tidak akan terjangkit penyakit tersebut. Dalam hal ini maka harus terus digalakkan program imunisasi kepada masyarakat luas sehingga masyarakat menyadari pentingnya imunisasi dan mau membawa anaknya untuk melakukan imunisasi, khususnya imunisasi dasar. Jika imunitas pada masyarakat tinggi, maka risiko terjadinya penularan dan wabah juga akan berkurang.

Daftar Pustaka 1. Kemenkes. Situasi imunisasi di indonesia. Indonesia: Pusdatin; 2016. 2. Kemenkes. Buku ajar imunisasi. Jakarta Selatan: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan; 2014. 3. World

Health

Organization.

Immunization.

Edisi

2018.

Diunduh

dari

http://www.who.int/topics/immunization/en/, 19 Mei 2018. 4. Cahyono JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Jakarta: Kanisius; 2010. 5. U.S. Department of Health and Human Services. Vaccine Types. Edisi 2018. Diunduh dari https://www.vaccines.gov/basics/types/index.html, 19 Mei 2018. 6. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman imunisasi di indonesia. Edisi kelima. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. 7. Arifianto. Pro kontra imunisasi: agar tak salah memilih demi kesehatan buah hati. Jakarta: Noura Books; 2014. 8. Syah

E.

Imunisasi

dan

cara

pemberiannya.

Edisi

2017.

Diunduh

dari

https://www.medkes.com/2017/11/imunisasi-dan-cara-pemberiannya.html, 19 Mei 2018. 9. Biofarma.

Vaksin

kombinasi.

Edisi

2014.

Diunduh

dari

http://www.bumn.go.id/biofarma/berita/3059, 19 Mei 2018. 10. Sri R, Hadinegoro S. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Jakarta: Sari Pediatri 2015; 2(1). 11. Centers for Disease Control and Prevention. Catch-up immunization schedule for persons aged 4 months through 18 years who start late or who are more than 1 month behind. Edisi 2018. Diunduh dari https://www.cdc.gov/vaccines/schedules/hcp/imz/catchup.html, 19 Mei 2018.

More Documents from "Lee Luniverse"