REFERAT
MARET 2019
“ ENDOMETRIOSIS”
NAMA
: SITI RAHMA MANSUR
STAMBUK
: N 111 16 099
PEMBIMBING
: dr.DANIEL SARANGA, Sp.OG(K)
DEPARTEMEN ILMU OBSTERTI DAN GYNECOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU 2019
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Endometriosis sudah diketahui sejak berabad yang lampau berdasarkan catatan pada Papyrus 1600 SM. Publikasi lengkap yang pertama dibuat oleh Sampson pada tahun 1921. Namun demikian hingga kini etiologi endometriosis masih belum diketahui secara pasti sehingga pengobatan maupun penanganan yang selama ini telah banyak digunakan ternyata tidak ada satu pun yang benarbenar ampuh untuk semua keadaan endometriosis.1 Pada tahun 1990-1998, endometriosis merupakan penyakit ginekologik ketiga terbanyak pada perempuan berusia antara 15-44 tahun. Prevalensi endometriosis pada populasi secara umum berkisar 10%. Prevalensi ini meningkat hingga 82% pada perempuan dengan nyeri pelvik dan 21% pada perempuan infertil.4 Di Amerika Serikat, endometriosis ditemukan 5-10% perempuan usia produktif.5 Dan di Indonesia, ditemukan 15-25% perempuan infertil disebabkan oleh endometriosis, sedangkan prevalensi endometriosis pada perempuan infertil idiopatik mencapai 70-80%.1 Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukan angka kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5-15 % dapat ditemukan diantara semua operasi pelvik. Endometriosis jarang didapatkan pada orang-orang Negro, dan lebih sering didapatkan pada perempuan-perempuan dari golongan sosio-ekonomi yang kuat. Yang menarik perhatian adalah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan ada perempuan yang tidak kawin pada umur muda, dan yang tidak mempunyai banyak anak. Rupanya fungsi ovarium secara sikllis yang terus menerus tanpa diselingi oleh kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya endometriosis.2 Penanganan endometriosis yang baik memerlukan diagnosis yang tepat. Pengobatan secara hormonal masih merupakan pilihan utama dan beberapa peneliti menyatakan bahwa gabungan pengobatan hormonal dengan tindakan pembedahan memberikan hasil yang lebih baik.1
1
1.2 Tujuan Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan mengikuti ujian akhir dari serangkaian kegiatan kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan. 1.3 Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penyusunan referat ini, yaitu: a) Bagi Institusi Pendidikan: Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan untuk menjadi kepustakaan untuk penyusunan karya ilmiah lainnya. b) Bagi mahasiswa: 1. Mahasiswa mampu mengaplikasikan semua ilmu yang telah diperoleh selama proses penyusunan referat ini. 2. Menambah wawasan mahasiswa dalam memahami ilmu yang diperoleh selama proses penyusunan referat ini.
2
BAB II ENDOMETRIOSIS
2.1 Definisi Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus) yang memiliki susunan kelenjar atau stroma endometrium atau keduaduanya dengan atau tanpa makrofag yang berisi hemosiderin dan fungsinya mirip dengan endometrium karena berhubungan dengan haid dan bersifat jinak, tetapi dapat menyebar ke organ-organ dan susunan lainnya.1 Endometriosis merupakan suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat baik diluar endometrium kavum uteri maupun di miometrium (otot rahim).4 Bila jaringan endometrium tersebut berimplantasi di dalam miometrium disebut endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan jaringan endometrium yang berimplantasi di luar kavum uteri disebut endometriosis eksterna atau endometriosis sejati.1-3Pembagian ini sekarang sudah tidak dianut lagi karena baik secara patologik, klinik ataupun etiologik adenomiosis dan endometriosis berbeda.2 2.2 Lokasi Endometrosis Berdasarkan urutan tersering endometrium ditemukan ditempat-tempat sebagai berikut : 1) Ovarium; 2) Peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dinding belakang uterus, tuba Fallopi, plika vesiko uterina, ligamentum rotundum, dan sigmoid. 3) Septum rektovaginal; 4) Kanalis inguinalis; 5) Apendiks; 6) Umbilikus;
3
7) Serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum; 8) Parut laparotomi; 9) Kelenjar limfe; dan 10) Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan, paha, pleura, dan perikardium.
2.3 Patogenesis Sampai saat ini belum ada yang dapat menerangkan secara pasti penyebab terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan kejadian endometriosis, antara lain : 2.3.1 Teori implantasi dan regurgitasi (John A. Sampson) Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis.1,2Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.2Teori ini paling banyak penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan kasus endometriosis di luar pelvis. 2.3.2 Teori metaplasia (Rober Meyer) Endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium.2 Secara endokrinologis, epitel germinativum dari ovarium, endometrium dan peritoneum berasal dari epitel selom yang sama.1Teori Robert Meyer akhir-akhir ini semakin banyak ditentang. Disamping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometroisis dengan jalan penyebaran melalui darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium saat operasi.2 2.3.3 Teori penyebaran secara limfogen (Halban) Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan
4
endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis pada sampai 20% dari penderita endometriosis.7 2.3.4Teori imunologik Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan, bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan, dan menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Di samping itu telah dikemukakan bahwa danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis yang disangka bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati penyakit autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik.1 2.4 Patologi Lokasi yang sering terdapat endometriosis ialah pada ovarium, dan biasanya di dapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil sampai kista besar berisi darah tua menyerupai coklat (disebut kista coklat atau endometrioma). Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista, dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak ke dalam rongga peritoneum karena robekan dinding kista, dan menyebabkan acute abdomen. Tuba pada endometriosis biasanya normal. Pada salah satu atau kedua ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dan permukaan uterus sebelah belakang dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai benjolan kecil yang berwarna kebiru-biruan. Juga pada permukaan sigmoid atau rektum seringkali ditemukan benjolan yang berwarna kebiru-biruan ini. Sebagai akibat dari timbulnya perdarahan pada waktu haid dari jaringan endometriosis, mudah sekali timbul perlekatan antara alat-alat di sekitar kavum Douglasi.2 2.5 Gambaran Mikroskopik Pada
pemeriksaan
mikroskopik
ditemukan
ciri-ciri
khas
bagi
endometriosis yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, serta perdarahan
5
bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin dan sel-sel makrofag berisi hemosiderin. Disekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi dari jaringan endometriosis.2 2.6 Gambaran Klinis Aktivitas jaringan endometriosis sama halnya dengan endometrium yakni sangat bergantung pada hormon. Aktivitas jaringan endometriosis akan terus meningkat selama hormon masih ada dalam tubuh, setelah menopause gejala endometriosis akan menghilang.1Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penyakit endomeriosis berupa : 1) Dismenorea adalah nyeri haid siklik merupakan gejala yang sering dijumpai. Terjadi 1-3 hari sebelum haid dan dengan makin banyaknya darah haid yang keluar keluhan dismenorea pun akan mereda.1penyebab dari dismenorea ini belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan adanya vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid.2 2) Dispareunia merupakan gejala tersering dijumpai setelah dismenorea, keluhan ini disebabkan adanya endometriosis di dalam kavum Douglasi.2 3) Diskezia atau nyeri waktu defekasi terutama pada waktu haid, disebabkan adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.2 4) Gangguan miksi dan hematuria bila terdapat endometriosis di kandung kencing, tetapi gejala ini jarang terjadi.2 5) Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis apabila kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu.2 6) Infertilitas juga merupakan suatu gejala endometriosis yang masih sulit dimengerti.7 Tetapi faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis ialah mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan disekitarnya.2 Pada pemeriksaan ginekologik, khususnya pada pemeriksaan vaginorekto-abdominal, ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat
6
sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum Douglasi, dan pada ligamentum sakrouterinum dengan uterus dalam retrofleksi dan terfiksasi. Ovarium mula-mula dapat diraba sebagai tumor kecil, akan tetapi dapat membesar sampai sebesar tinju.2 2.7 KlasifikasiEndometriosis 2.7.1 Klasifikasi endometriosis menurut Acosta(1973)3 1) Ringan −
Endometriosis menyebar tanpa perlekatan pada anterior atau posterior
kavum
Douglasi
atau
permukaan
ovarium
atau
peritoneum pelvis. 2) Sedang −
Endometriosis pada satu atau kedua ovarium disertai parut dan retraksi atau endometrioma kecil.
−
Perlekatanminimal juga di sekitar ovarium yang mengalami endometriosis.
−
Endometriosispada anterior atau posterior kavum Douglasi dengan parut dan retraksi atau perlekatan, tanpa implantasi di kolon sigmoid.
3) Berat −
Endometriosispada satu atau dua ovarium, ukuran lebih dari 2 x 2 cm2.
−
Perlekatansatu atau dua ovarium atau tuba atau kavum Douglasi karena endometriosis.
−
Implantasi atau perlekatan usus dan/ atau traktus urinarius yang nyata.
2.7.2
Klasifikasi endometriosis menurut Revisi American Fertility Society
(1985)7
7
2.8 Diagnosis Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi dan sebagainya, biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis. Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing.2 Diagnosis banding endometriosis berdasarkan gejala, yakni4: 1) Dismenorea : dismenorea primer, dismenorea sekunder yang disebabkan antara lain adenomiosis, mioma, infeksi, dan stenosis servikalis. 8
2) Dispareunia : kurangnya lubrikasi,kelainan gastrointestinal (irritable bowel syndrome), kongestif vaskular pelvik, dan sebagainya. 3) Infertilitas : anovulasi, defisiensi fase luteal, infeksi atau penyakit tuba.
9
BAB III PENGOBATAN ENDOMETRIOSIS
3.1 Pencegahan Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan sesudah
kehamilan
karena
regresi
endometrium
dalam
sarang-sarang
endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama, dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya merupaka profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, karena dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul.2 3.2 Terapi Medis Standar terapi medis pada pasien endometriosis meliputi : analgesik (NSAID atau acetaminophen), pil kontrasepsi oral, agen androgenik (danazol [Danocrine]), agen progestogen (medroksiprogesteron asetat [Provera]), hormon pelepas-gonadotropin (GnRH) misalnya leuprolid [Lupron], goserelin [Zoladex],triptorelin
[Trelstar
Depot],
nafarelin[Synarel]),
and
antiprogestogen (gestrinone).4
10
Dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis sama seperti jaringan endometrium yang normal, dimana jaringan endometriosis juga dikontrol oleh hormon-hormon steroid. Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis mengandung reseptor estrogen, progesteron dan androgen, yakni estrogen merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi, sedang progesteron masih diperdebatkan, namun progesteron sintetik yang mengandung efek androgenik tampaknya
menghambat
pertumbuhan
endometriosis.2 Daridasar tersebut, prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik, sehingga diharapkan kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis dan keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid yang berarti tidak terjadinya pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis. Kemudian prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon
11
tinggi androgen atau tinggi progestogen yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi progestogen juga menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel.2 3.3 Terapi Pembedahan Endometriosis yang cukup berat (stadium III atau IV) dapat menyebabkan kelainan anatomis pelvis, dimana hal tersebut sangat memungkinkan merusak fertilitas (kesuburan) dengan cara mengganggu jangkauan oosit dan transportasi sepanjang tuba fallopi. Keadaan ini umumnya diterapi dengan cara pembedahan.6 Pada umumnya terapi pembedahan pada endometriosis bersifat bedah konservatif
yakni
mengangkat
saranng-sarang
endometriosis
dengan
mempertahankan fungsi reproduksi dengan cara meninggalkan uterus dan jaringan ovarium yang masih sehat, dan perlekatan sedapat mungkin dilepaskan.1,2 pembedahan konservatif dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni laparotomi atau laparoskopi operatif.2Pembedahan konservatif pada pasien usia duapuluhan akhir dan awal empatpuluhan terutama bila fertilitas di masa depan dikehendaki, maka endometriosis yang cukup luas diterapi dengan 1) reseksi endometriomata; 2) melepaskan perlekatan tuba dengan atau tanpa neurektomi presakral (untuk mengurangi dismenorea); 3) suspensi uterus (melepaskan fiksasi retroversi fundus uteri dari kavum Douglasi akibat perlekatan endometriotik); 4) menghilangkan apendiks dikarenakan tidak jarang sarang-sarang endometriosis terdapat pada serosa apendiks.2,7 Pembedahan radikal dilakukan pasien usia 40 tahun dengan menderita endometriosis yang luas disertai banyak keluhan. Pilihan pembedahan radikal histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateral dan pengangkatan sarang-sarang endometriosis yang ditemukan.2,7,8 Komplikasi tersering pembedahan adalah pecahnya kista, tidak dapat terangkatnya seluruh dinding kista secara baik dan sempurna. Hal ini mengakibatkan tingginya perlekatan pasca-pembedahan. Untuk mencegah pecahnya kista, dianjurkan pengobatan terapi hormonal praoperatif selama
12
beberapa bulan. Cara lain untuk mencegah pecahnya kista dengan pungsi kista per-laparaskopi yang kemudian dilanjutkan terapi hormonal selama 6 bulan, tetapi cara ini masih belum banyak dilakukan dan masih diperdebatkan.1
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Baziad A, Jacoeb TZ, Basalamah A, Rachman IA. Endometriosis. Dalam : Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z, editor. Endokrinologi Ginekologi. Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi Indonesia (KSERI), Edisi Ke-1, Jakarta 1993; 107-23. 2. Prabowo, Raden P. Endometriosis. Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Edisi Ke-2, Jakarta 2005; 314-27. 3. Manuaba, Ida Bagus G. Endometriosis. Dalam : Manuaba, editor. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 2001; 526-32. 4. Mounsey A, Wilgus A, Slawson DC. Diagnosis and Management of Endometriosis. Dalam : American Academy of Family Physician 2006, Vol. 74, No. 4; 594-602. 5. Bulun SE. Mechanisms of Disease Endometriosis. Dalam : The New England Journal of Medicine 2009, Vol. 360, No. 3; 268-79. 6. Olive DL, Pritts EA. Treatment Endometriosis. Dalam : Wood AJ, editor. The New England Journal of Medicine 2001, Vol. 345, No. 4; 26675. 7. Moore JG. Endometriosis dan Adenomiosis. Dalam : Christina Y, editor. Esensial Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Buku Hipokrates, Edisi Ke-2, Jakarta 2001; 401-9. 8. Taber B. Endometriosis. Dalam : Melfiawati, editor. Kapita Selekta Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1994; 200-5.