378 VERSI RUANG TERBUKA HIJAU September 7, 2007 in opini
” You can Fool Some Of the People All the Time And all the people some of the time; But you can’t FOOL all the people all the TIME” Abraham Lincoln Lagi-lagi kebohongan telah dilakukan dan diciptakan teori ‘PEMBENARAN’ dengan dilandasi berbagai argumentasi kepentingan golongan tertentu.Peruntukan RTH ( Baca ; Ruang Terbuka Hijau) jelas tercetak pada peraturan daerah , mempunyai fungsi utama sebagai ‘paru-paru kota’ telah berganti dan mengalami degradasi perubahan makna dan arti sebagai fungsi ‘cadangan tanah’ bagi pertumbuhan dan perkembangan kota. Akibatnya ,kebingungan terjadi dalam menentukan landasan berpijak saat mengambil sikap untuk menyiasati makin berkurang dan berubahnya fungsi sisa-sisa RTH di ibukota Jakarta. Sungguh ironis, program Bapak Sutiyoso sebagai Gubernur DKI yang terdahulu yang terkenal dengan Program kerja ‘ijo royo-royo dan burung berkicaunya’ dan belum sempat rampung pada akhir jabatan selama 5 tahun, telah tergantikan dengan program Gubernur DKI yang baru walaupun dengan orang yang sama untuk merobohkan setiap pohon besar di jalur-jalur strategis kota dan menggantikannya dengan tiang-tiang jalur transportasi ‘monorel’ dengan mendepankan kepentingan jalur transportasi untuk mengatasi kemacetan kota jakarta. Inkonsistensi Pemerintah daerah dalam menjalankan program nya selama ini sudah menjadi hal yang lumrah dan dapat dimaafkan, pameo “ berganti gubernur berarti berganti juga program kerja” sudah menjadi hal yang baku dan menjadi santapan para masyarakat kota dan menghilangkan kepastian dan pengharapan akan terwujudnya suatu program yang berpihak kepada masyarakat kota. Standar peruntukan luasan Ruang Terbuka Hijau pun menjadi kata pemanis bagi indahnya dan idealnya sebuah buku ‘standarisasi pedoman perencanaan kota Jakarta”. Permasalahannya adalah : Apakah Gubernur Kota Jakarta yang baru terpilih yaitu Bapak Fauzi Bowo Akan kembali melakukan hal yang sama seperti pendahulunya yaitu memasyarakatkan penebangan pohon kota dan melakukan minimalis luasan RTH ? Menoleh kebelakang sejenak, keberadaan Ruang Terbuka Hijau tidak hanya merupakan impian dari kaum naturalis untuk sekedar ingin mencapai suatu bentukan lansekap kota yang hijau dan asri yang siap memberikan perlindungan klimatologis bagi masyarakat penduduk kota, tapi lebih jauh dari itu keberadaan Ruang Terbuka Hijau haruslah menjadi bagian yang menyatu dan berjalan sejajar pararel dengan pertumbuhan dan perkembangan kota sebab kota juga membutuhkan ruang untuk
bernafas. hal ini lebih ditekankan lagi dalam aspek hukum dan tercatat pada peraturan daerah dan undang-undang lingkungan yang melindungi keberadaan luasan dan fungsi ruang terbuka hijau bagi sebuah pembangunan kota, bahkan Presiden RI Bapak SBY dalam pidato “ Hari Bumi ’ secara makro menyatakan sikap anti terhadap penebangan pohon yang setiap hari makin merajalela. Saratnya berbagai kepentingan dari kota yang semakin sesak dengan jumlah penduduk dan makin bertambah kompleksitas aspek permasalahan kota menyebabkan keberadaan Ruang Terbuka Hijau sebagai paru-paru kota tinggal menunggu nasib dan waktu untuk Ruang Terbuka Hijau masih bisa tetap eksis berada di kota Jakarta.Pemangkasan demi pemangkasan luasan Ruang Terbuka Hijau dan beralihnya lahan-lahan Ruang Terbuka Hijau menjadi fungsi peruntukan yang lain seperti Pom bensin, Pos polisi,Tempat penampungan Sampah sementara dan sebagian Area malah telah menjadi gedunggedung bertingkat malah jika dilakukan penelitian yang sedikit akurat mungkin tidak tertutup kemungkinan telah menjadi rumah-rumah mewah. Para ahli perencana lansekap kota telah melakukan studi mengenai makin berkurangnya jumlah luasan RTH dari tahun ketahun dan mengumumkan kondisi keberadaan ruang terbuka hijau telah berada dalam kondisi ambang batas kepunahan.hal ini dapat dilihat dari data yang berhasil didapat, jumlah luasan RTH telah berkurang secara signifikan yaitu pada tahun 1965-1985 , luas RTH masih berkisar 37,2% ,tahun 1985-2005 luasan RTH menjadi 25,85% dan pada Rencana Tata Ruang Wilayah thn 2000-2010 jumlah tersebut menjadi 13,94% dari luasan wilayah kota jakarta akan tetapi kenyataan data dilapangan diperkirakan malah luasan RTH hanya berkisar 9% dari luasan wilayah jakarta (sumber ,Kompas) Dengan berkurangnya lahan RTH dijakarta ,salah satu dampak yang terasa suhu di Jakarta semakin meningkat karena pendingin udara alami telah dihabisi satu persatu dan gejala yang timbul di masyarakat adalah semakin tinggi penggunaan AC yang menjadi pendingin buatan yang dipasang pada setiap rumah maupun gedung hanya untuk sekedar menghindari udara yang sesak dan berdebu di ruang luar, bukankah hal itu malah menimbulkan efek yang lebih parah dengan makin bertambahlah jumlah freon yang dilepaskan diudara akibatnya dapat meningkatkan “green house effect” bagi lingkungan kota dan dampak negatifnya masyarakat kota akan lebih merasakan peningkatan suhu yang drastis. Mungkin belum adanya penelitian ilmiah untuk membuktikan adanya keterkaitan perilaku psikologis masyarakat kota dengan keberadaan RTH ini yang membuat pemerintah daerah menjadi tidak terlalu kuatir dengan makin tingginya tingkat depresi yang terjadi pada masyarakat kota akibat berkurangnya unsur-unsur penghasil oksigen murni didalam kota sehingga menyebabkan masyarakat lebih sensitif dan gampang beringas dan kadang-ladang logika agak terlupakan jika terjadi perbedaan pendapat dan terjadilah bentuk anarki. Seringkali kita tertawa dalam hati jika mendengar gembar-gembor gencarnya sosialisasi perda pemerintah DKI yang melarang kaum perokok untuk tidak merokok pada area publik dengan alasan akan merusak kesehatan paru-paru bagi kaum masyarakat bukan
perokok dan dengan slogan yang lebih mengecam lagi yaitu dapat mengakibatkan tingginya polusi di kota jakarta, serta dikecamnya kendaraan-kendaraan bermotor yang mengeluarkan emisi diluar ambang batas toleransi lingkungan hidup, dan di canangkan-nya program kampanye untuk membuat jakarta memiliki langit biru ini. semua program tersebut benar dan beralasan, akan tetapi tidak akan menjadi benar dan beralasan jika disisi lain perda pemerintah DKI diterbitkan untuk mengganti ‘paru-paru kota’ yang nota bene bernama RTH menjadi fungsi-fungsi lainnya dengan mengurangi tempat tumbuhnya pohon-pohon besar dan menebangi pohon-pohon besar serta menggantikannya dengan peruntukan lain yang belum tentu menpunyai fungsi yang terkait dan menunjang terbinanya sebuah lingkungan hidup kota yang berkualitas. Pohon-pohon besar ditebangi tanpa menghiraukan berapa lama waktu dan berapa besar biaya telah dikeluarkan untuk sebuah pohon itu tumbuh,hidup dan menjadi besar dan semua itu berasal dari uang pajak masyarakat yang terkumpul , lapangan-lapangan rumput golf yang didengung-dengungkan sebagai daerah resapan air tetapi pada kenyataannya merupakan landasan rumput yang menyimpan berjuta-juta ton racun petsisida yang mengancam pernafasan dan kesehatan manusia kota disekelilingnya dan sungai-sungai yang tidak lagi bisa bernafas karena penuh dijejali dengan sampah kota. Bukan hal yang aneh, jika saat ini kita kritisi bahwa Kota Jakarta semakin panas, Jakarta semakin semrawut dengan banyaknya kemacetan yang timbul dan muncullah para ahli dengan berkedok pakar perencana perkotaan ikut berperan serta berusaha mengatasi hal tersebut dengan segala teori dan konsep akal-akalan demi untuk menyenangkan hati para penguasa jakarta. Mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang dianggap ‘ilmiah’ untuk membuktikan bahwa pengeseran lahan RTH itu wajar dan sah-sah saja bagi perkembangan suatu kota dan untuk tetap mencapai titik keseimbangan lingkungan kompensasi berkurangnya lahan RTH tsb dapat dilakukan usaha dengan membuat RTH ditempat yang lain, beginikah ‘kelihaian otak’ pakar-pakar pintar itu ? Mungkin mereka sudah terlalu pintar sehingga dapat menggiring segala burung diudara dan ekosistem RTH tersebut untuk ikut dengan sukarela pindah ber imigrasi dengan membawa semua kelengkapan hidup menuju ketempat RTH yang baru ,perlu diketahui suatu rangkaian ekosistem yang berlangsung hidup pada suatu tempat tidaklah mudah seperti membalikan tangan untuk dikembalikan keposisi semula, dengan adanya campur tangan manusia dalam siklus ekosistem yang telah stabil akan .butuh penantian waktu yang lama dengan kesabaran yang panjang ,agar ekosistem pada tempat yang baru dapat kembali seperti siklus asalnya ,malah mungkin sampai sekarang para ahli tersebut belum mampu menemukan metode untuk mengukur dan menetapkan dalam satuan waktu berapa lama sebuah ekosistem akan kembali normal seperti sediakala. Kebohongan apalagi ini,apakah mereka lupa jika dilakukan pembuktian segara terbalik maka akan terkuak semua kebohongan publik yang telah dilakukan dan ancaman pidana penjara adalah harga yang pantas bagi pelaku-pelakunya. karena apa yang sedang mereka mainkan sekarang bukanlah hal yang main-main ,segala tindakan dalam merubah suatu peruntukan RTH perlu suatu penanganan yang transparan dan penuh tanggung jawab kepada masyarakat kota disebabkan keberadaan RTH pada peruntukan suatu lahan telah mempunyai landasan-landasan hukum yang tetap dan kuat Jika boleh
berandai-andai,jika gempa yang terjadi dinegeri ini berlangsung di Jakarta, bayangkan dimana masyarakat akan berlari untuk menyelamatkan diri jika tidak ada lagi RTH sebagai tempat menyelamatkan diri dari reruntuhan bangunan, bukan hal yang tidak mungkin dengan skala yang sama dan luas wilayah gempa yang sama korban akan lebih banyak berjatuhan dijakarta, karena tidak adanya tanah lapang untuk menghindar dari reruntuhan bangunan akibat gempa . kita semua tahu bahwa kota jakarta bukanlah kota yang aman dari ancaman gempa, beberapa kali goncangan gempa itu telah sempat warga jakarta rasakan secara langsung.belum lagi dengan ancaman kebakaran.Kemana masyarakat harus lari menyelamatkan diri apa harus kembali lagi ke jalanan. Sudah matikah nurani para petinggi pejabat pemerintah kota jakarta? sudah tulikah mereka semua terselimuti oleh ambisi pribadi dan kelompok, demi kepentingan karier dan posisi dalam gedung pemerintahan? sehingga enggan dan tidak berani untuk berkata YA untuk ’KEBENARAN’ dan TIDAK untuk “KEBOHONGAN” bagi tindakan-tindakan yang nyata-nyata melanggar dari aturan yang telah ada dan telah disepakati bersama. Semoga gubernur DKI yang baru bapak Fauzi Bowo tidak melupakan ilmunya sebagai perencana kota yang baik dan dapat lebih berpihak kepada masyarakat kota seadiladilnya dan secara pasti masyarakat kota akan dapat menilai prestasi akademis bapak fauzi bowo yang lulus dengan predikat cum-laude tidaklah merupakan suatu kebohongan yang baru..