365500_buku Panduan Pelayanan Neonatal Final Edit 13 Feb Rev-converted.pdf

  • Uploaded by: Muthmainnah
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 365500_buku Panduan Pelayanan Neonatal Final Edit 13 Feb Rev-converted.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 136,714
  • Pages: 757
BUKU PANDUAN PELAYANAN NEONATAL UKK NEONATOLOGI PP IDAI

Edisi pertama 2018

Penyunting: Adhi Teguh Perma Iskandar Kartika Darma Handayani Rocky Wilar Setyadewi Lusyati Tetty Yuniati Toto Wisnu Hendrarto Tunjung Wibowo

TIM PENYUSUN KONTRIBUTOR 1. Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, SpA(K) UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RSCM Jakarta 2. Dr. Agnes Yunie Purwita Sari, SpA(K) Bagian Neonatologi RS Persahabatan Jakarta 3. Dr. Agus Harianto, SpA(K) Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya 4. Dr. Akira Prayudijanto, SpA Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta 5. Dr. Andhika Tiurmaida Hutapea, SpA(K) Bagian Neonatologi RSUD Cengkareng 6. Dr. Aris Primadi, SpA(K) Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung 7. Dr. Arum Gunarsih, SpA(K) Bagian Neonatologi RSU Tangerang Selatan 8. Dr. Desiana Nurhayati, SpA(K) Bagian Neonatologi RSU Bunda Margonda Depok 9. Dr. Dina Angelika, SpA(K) Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya 10. Dr. Distyayu Sukarja, SpA Bagian Neonatologi RSCM Jakarta 11. Dr. Ellen R Sianipar, SpA(K) Bagian Neonatologi RSUD Pasar Rebo Jakarta 12. Dr. Firaz Alfarizi Alkaff, SpA Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya 13. Dr. Gatot Irawan Sarosa, Sp.A(K) Bagian Neonatologi RSUP dr. Kariadi Semarang

ii

14. Dr. Indrayady, SpA(K) Bagian Neonatologi RSUP dr. Moh. Hoesin Palembang 15. DR. Dr. Johanes Edy Siswanto, SpA (K) Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta 16. Dr. Johnwan Usman, SpA RS. Hermina Kemayoran Jakarta 17. Dr. Kartika Darma Handayani, SpA(K) UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya 18. Dr. Lily Rundjan,SpA(K) Bagian Neonatologi RSCM Jakarta 19. Dr. Lucia Nauli Simbolon, SpA Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta 20. Dr. Mahendra Tri Arif Sampurna, SpA Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya 21. DR. Dr. Martono Tri Utomo, SpA(K) Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya 22. DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K) Bagian Neonatologi RSCM Jakarta 23. DR. Dr. Risa Etika, SpA(K) Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya 24. Dr. Rizalya Dewi, Sp.A(K) Bagian Neonatologi RSIA Budhi Mulia Pekanbaru 25. DR. Dr. Rocky Wilar, SpA(K) UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RSUP Prof Kandou 26. Dr. Setyadewi Lusyati, SpA(K)., PhD UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta

iii

27. Dr. Setya Wandita, M.Kes, SpA(K) Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta 28. DR. Dr. Tetty Yuniati, SpA(K) UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung 29. Dr. Thomas Harry Adoe, SpA(K) Bagian Neonatologi RSUD Kota Bekasi 30. DR. Dr Toto Wisnu Hendrarto, SpA(K)., DTM&H UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta 31. Dr. Tunjung Wibowo, SpA(K) UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta 32. Dr. Vinny Yoana, SpA Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta 33. Dr. Yanti Susianti, SpA(K) FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

iv

PENYUNTING 1. Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, SpA(K) UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RSCM Jakarta 2. Dr. Kartika Darma Handayani, SpA(K) UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RSUD dr .Sutomo Surabaya 3. DR. Dr. Rocky Wilar, SpA(K) UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RSUP Prof Kandou 4. Dr. Setyadewi Lusyati, SpA(K)., PhD UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta 5. DR. Dr. Tetty Yuniati, SpA(K) IDAI, UKK Neonatologi Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung 6. DR. Dr Toto Wisnu Hendrarto, SpA(K)., DTM&H UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta 7. Dr. Tunjung Wibowo, SpA(K) UKK Neonatologi, PP IDAI Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta DIBANTU OLEH: Tim Sekretariat UKK Neonatologi 2017 – 2020: •

dr. Chindy Arya Sari



dr. Reza Latumahina



dr. Dilla Aprilia



dr. Ferry Liwang



dr. M. Reza Syahli

v

KATA SAMBUTAN

Kata Sambutan Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya kita masih diberikan kesempatan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di bidang Ilmu Kesehatan Anak. Selamat dan terima kasih kami ucapkan kepada Unit Kerja Koordinasi Neonatologi IDAI yang telah menyelesaikan Buku Panduan Pelayanan Neonatal. Dalam upaya mencapai tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, IDAI berusaha melaksanakan program untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia. Berbagai bentuk usaha harus dilakukan untuk menyelaraskan tujuan SDG, yaitu mengurangi kematian bayi hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup dan kematian dibawah usia 5 tahun hingga paling rendah 25 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Fokus lainnya terkait pelayanan neonatal yang dimaksud adalah dengan mengurangi 1/3 kematian prematur dari penyakit tidak menular. Target IDAI saat ini yang juga sesuai dengan fokus program Asia Pacific Pediatric Association (APPA) adalah mengenai periode seribu hari pertama kehidupan, penyakit tidak menular, tuberkulosis dan kehamilan pada remaja. Seribu hari pertama kehidupan merupakan periode yang penting sebagai fondasi untuk mengoptimalkan kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan anak. Mengingat angka kematian neonatus di Indonesia menyumbang lebih dari setengah kematian bayi (59,4%), acuan mengenai sistem pelayanan neonatus di fasilitas kesehatan sangat diperlukan. Adanya pelayanan kesehatan yang terstandardisasi dapat membantu untuk menurunkan angka kematian neonatal. Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah berkurang dari 10,2 persen pada tahun 2013 menjadi 6,2% pada tahun 2018. Bayi berat lahir rendah merupakan salah satu faktor yang memegang peran penting dalam kematian neonatal dengan kematian utamanya akibat prematuritas, infeksi, asfiksia dan hipotermi. Penanganan awal mengenai hal itu akan tertuang dalam Buku Panduan Pelayanan Neonatal. Buku ini merupakan panduan dalam pelayanan kesehatan di bidang neonatus meliputi kompetensi tenaga medis, kebutuhan fasilitas, alat dan obat-obatan serta panduan prosedur klinis yang telah dibuat dan disusun oleh para ahli dibidangnya. Ucapan terima kasih dan penghargaan kami berikan kepada seluruh kontributor yang turut serta membantu dalam penyelesaian buku pedoman ini. Semoga buku ini dapat menjadi panduan dalam praktik klinis dokter guna menurunkan angka

vi

kematian bayi di Indonesia. Bersama kita bisa meningkatkan kesehatan generasi penerus bangsa. Jakarta, Februari 2019 Ketua Umum PP IDAI

DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP

vii

KATA PENGANTAR Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas izinNya, Buku Panduan Pelayanan Neonatal Unit Kerja Koordinasi (UKK) Neonatologi PP IDAI ini dapat diterbitkan. Panduan ini merupakan salah satu rujukan dasar bagi unit pelayanan intensif neonatal di Indonesia menuju standarisasi pelayanan neonatus berkualitas.

Tidak

mudah

mencapai

standarisasi

pelayanan

neonatal di Indonesia karena adanya disparitas yang luas mulai dari jumlah

dokter

spesialis

anak

dan

konsultan

neonatologi,

kelengkapan fasilitas unit pelayanan intensif neonatal serta alat antar satu rumah sakit dengan rumah sakit yang lain, di berbagai wilayah di Indonesia. Adanya perbedaan kapasitas layanan neonatus dari satu daerah dengan daerah lain memerlukan pembagian tingkat kemampuan yang mampu laksana. Atas dasar tersebut panduan cetakan pertama ini memodifikasi panduan American Academy of Pediatric (AAP) tahun 2012 yang berlandaskan pada konsep regionalisasi Toward Improving the Outcome of Pregnancy III (TIOP III), yaitu pada pembagian tingkat layanan neonatus menurut AAP tahun 2004 (TIOP II). Keadaan tersebut disesuaikan dengan kapasitas rumah sakit di Indonesia menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PMK RI) nomor 56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Panduan ini juga menjelaskan kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang Neonatologi sebagai upaya memperkenalkan sistem pembiayaan kesehatan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat ini. Inti dari panduan ini adalah tiga Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang sudah disahkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Panduan Praktik Klinis (PPK)

viii

yang disusun oleh tim UKK Neonatologi sebagai rujukan di tiap unit pelayanan neonatus. Hasil dari upaya menuju standarisasi pelayanan neonatus adalah tercapainya kualitas pelayanan neonatal di Indonesia menuju ke tingkat yang lebih baik, sehingga diharapkan dapat membantu upaya penurunan angka kematian di Indonesia pada angka 9 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2025. Upaya tersebut harus dilaksanakan bersama dan serentak di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kem Kes RI) melalui program Rangkaian Aksi Nasional (RAN) Neonatal yang terdiri dari upaya tercapainya cakupan pelayanan neonatal berkualitas, intervensi klinis untuk menurunkan kematian neonatus mulai dari tatakelola klinis ibu hamil dan bersalin sampai pada penanganan neonatus sakit, yang mengikut sertakan peran orang tua, keluarga dan masyarakat. Sudah tentu panduan ini masih jauh dari sempurna, dan sudah

seharusnya

perkembangan

ilmu

secara

periodik

pengetahuan

direvisi

dan

sesuai

teknologi

di

dengan bidang

Neonatologi minimal dua tahun sekali. Semoga buku panduan ini bermanfaat terutama untuk para dokter spesialis anak yang bertanggung jawab atas tatakelola klinis, untuk pengelola tatakelola manajemen di fasilitas kesehatan dan pemangku kebijakan dalam menentukan tatakelola program dalam sistem layanan neonatus di Indonesia. Dan pada kesempatan ini diucapkan terima kasih untuk seluruh keluarga besar UKK Neonatologi yang dengan ikhlas meluangkan waktunya menyusun buku panduan ini. Jakarta, November 2018 Dr. Toto Wisnu Hendrarto, dr., SpA(K)., DTM&H Ketua UKK Neonatologi, PP IDAI

ix

DAFTAR SINGKATAN AAP

American Academy of Pediatrics

AC

Assist Control

ACCEPT

Assesment,

Control,

Communication,

Evaluation,

Preparation,

Transportation ACOG

American College of Obstetric and Gynaecology

ADH

Antidiuretic Hormone

aEEG

Amplitude Integrated Electroencephalography

AGD

Analisis Gas Darah

AGREE II

Appraisal of Guidelines for Research & Evaluation II

AHA

American Heart Association

AIDS

Acquired Immuno Deficiency Syndrome

AKB

Angka Kematian Bayi

ALT

Alanin Aminotransferase

APTT

Activated Partial Tromboplastin Time

ASD

Atrial Septal Defect

ASI

Air Susu Ibu

AST

Aspartate Aminotransferase

ATM

Aset Tenaga Manusia

BAER

Brainstem Auditory Evoked Responses

BBL

Berat Badan Lahir

BBLASR

Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah

BBLR

Bayi Berat Lahir Rendah

BBLSR

Bayi Berat Lahir Sangat Rendah

BIND-M

Bilirubin Induced Neurological Dysfunction-Modified

BKB

Bayi Kurang Bulan

BMK

Besar Masa Kehamilan

BMS

Balon Mengembang Sendiri

BPD

Bronchopulmonary Dysplasia

BPJS

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

BTMS

Balon Tidak Mengembang Sendiri

BUN

Blood Urea Nitrogen

CAB

Clinical Advisory Board

COX inhibitors

Cyclo-oxygenae inhibitors

x

CPAP

Continuous Positive Airway Pressure

CP

Clinical Pathway

CRP

C-Reactive Protein

CRT

Capillary Refill Time

CSS

Cairan Serebrospinal

CT-Scan

Computed Tomography Scan

DIC

Disseminated Intravascular Coagulation

DM

Diabetes Melitus

DMG

Diabetes Melitus Gestasional

DPJP

Dokter Penanggung Jawab Pasien

DPM

Dewan pertimbangan Medis

D10W

Dektrosa 10%

D12,5W

Dektrosa 12,5%

D15W

Dektrosa 15%

EBM

Evidence Based Medicine

ECMO

Extracorporeal Membrane Oxygenationn

EEG

Electroencephalography

EKG

Elektrokardiografi

ET

Expiration time

ETT

Endotracheal Tube

FFP

Fresh Frozen Plasma

FFS

Fee For Services

FiO2

Fraksi Oksigen

FIRS

Fetal Inflammatory Response Syndrome

FJ

Frekuensi Jantung

FKTP

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

FKRTL

Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut

G6PD

Glucose-6-Phospatase Dehydrogenase

GD

Glukosa Darah

GDS

Glukosa Darah Sewaktu

GIR

Glucose Infusion Rate

GIT

Gastrointestinal Tract

GLUT-1

Glucose Transporter-1

HDN

Hemorrhagic Disease of the Newborn

HIE

Hypoxic Ischemic Encephalopathy (Ensefalopati Hipoksik Iskemik)

xi

HIV

Human Immunodeficiency Virus

HMF

Human Milk Fortifier

HSV

Herpes Simplex Virus

HTA

Health Technology Assessment

IFN

Interferon

IGD

Instalasi Gawat Darurat

IK

Interval Kepercayaan

ILCOR

The International Liaison Committee on Resuscitation

IMD

Inisiasi Menyusu Dini

INA-DRG

Indonesia Diagnosis Related Group

INA-CBG

Indonesia Case Based Group

IT

Inspiration time

ITP

Idiopathic Thrombocytopenic Purpura

IUGR

Intrauterine Growth Retardation

IVH

Intraventricular Hemorrhage (perdarahan intraventrikular)

IVIg

Intavenous Immunoglobulin

IWL

Insensible Water Loss

JKN

Jaminan Kesehatan Nasional

KLB

Kejadian Luar Biasa

KMC

Kangaroo Mother Care

KMK

Kecil Masa Kehamilan

KPD

Ketuban Pecah Dini

KSD

Kernicterus Spectrum Disorder

LBP

Lipopolysacharide-Binding Protein

LFT

Liver Function Test

LJ

Laju Jantung

MAP

Mean Arterial Pressure

MAS

Meconium Aspiration Syndrome

MDGs

Millenium Development Goals

MODS

Multiple Organ Dysfunction Syndrome

MRI

Magnetic Resonance Imaging

NAP

Natriuretic Atrial Peptide

NAIT

Neonatal Alloimmunie Thrombocytopenia

NCC

National Casemix Center

NCPAP

Nasal Continuous Positive Airway Pressure

xii

NEC

Necrotizing Enterocolitis

NETS

Newborn Amergency Transport Service

NGT

Naso Gastric Tube

NICE

National Institute for Health and Care Excellence

NICHD

The Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development

NICU

Neonatal Intensive Care Unit

NIPPV

Nasal Intermittent Positive Pressure Ventilation

NIRS

Near Infrared Spectroscopy

NNH

Number Needed to Harm

NNT

Number Needed to Treat to Benefit

NO

Nitric Oxide

NRP

Neonatal Resuscitation Program

nRBC

nucleated Red Blood Cell

NRM

Non-rebreathing mask

OGT

Oro Gastric Tube

PaO2

Tekanan Parsial Oksigen arteri

PCT

Procalcitonin

PCV

Polisitemia Vera

PDA

Patent Ductus Arteriosus

PDVK

Perdarahan akibat Defisiensi Vitamin K

PEEP

Positive End Expiratory Pressure

PES

Pediatric Endocrine Society

PIP

Peak Inspiratory Pressure

PJB

Penyakit Jantung Bawaan

PJT

Pertumbuhan Janin Terhambat

PMK

Peraturan Menteri Kesehatan

PMK

Perawatan Model Kanguru

PNPK

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

PPHN

Persistent Pulmonary Hipertension of the Newborn

PPK

Panduan Praktik Klinis

PT

Prothrombin Time

PRC

Packed Red Cell

PVL

Periventricular Leukomalacia (leukomalasia periventrikular)

RAN

Rangkaian Aksi Nasional

xiii

RDS

Respiratory Distress Syndrome

RO

Rasio Odds

ROP

Retinopathy of Prematurity

RR

Respiratory Rate

SAA

Serum Amiloid-A

SDGs

Sustainable Developmental Goals

SDKI

Survei Demografi Kesehatan Indonesia

SEP

Surat Eligibilitas Peserta

SHC

Selective Head Cooling

SIGN

Scottish Intercollegiate Guidelines Network

SIMV

Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation

SKRT

Survei Kesehatan Rumah Tangga

SLE

Systemic Lupus Erythematosus

SpO2

Saturasi Oksigen

SSP

Susunan Syaraf Pusat

STABLE

Sugar, Temperature, Airway, Blood Pressure, Lab work, and Emotional support

STOP-ROP

Supplemental Therapeutic Oxygen for Prethreshold Retinopathy of Prematurity

TAR

Trombocytopenia Absent Radius

TcB

Transcutaneus Bilirubin

TEF

Tracheaoesophageal fistula

TGA

Transposition of Great Arteries

TIOP

Toward Improving the Outcome of Pregnancy

TKMKB

Tim Kendali Mutu Kendali Biaya

TMI

Transient Myocardial Ischaemia

TMR

Transient Tricuspid Regurgitation

TNF

Tumor Necrosis Factor

TOF

Tetralogy of Fallot

TORCH

Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus Herpes Simplex Virus and other disease

TSB

Total Serum Bilirubin

TTN

Transient Tachypnea of the Newborn

UDCA

Ursodeoxycholic acid

USAID

US Agency for International Development

xiv

USG

Ultrasonography

WBC

Whole Body Cooling

WHO

World Health Organization

VATER

Vertebral defect, Anal atresia, Tracheoesophageal fistula with Esophageal atresia, Radial/Renal anomaly

Vedika

Verifikasi di Kantor

VILI

Ventilator Induced Lung Injury

VKDB

Vitamin K Deficiency Bleeding

VSD

Ventricular Septal Defect

VTP

Ventilasi dengan Tekanan Positif

xv

DAFTAR ISI TIM PENYUSUN...................................................................................................................................... ii KATA SAMBUTAN ................................................................................................................................ vi KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ viii DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................................................... x DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... xvi DAFTAR TABEL.................................................................................................................................. xviii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................. xix RINGKASAN EKSEKUTIF.................................................................................................................... xx BAB I PANDUAN TINGKAT PELAYANAN NEONATUS ................................................................ 1 1.1 Pendahuluan ................................................................................................................................... 1 1.2 Batasan tingkat pelayanan neonatus ....................................................................................... 3 1.3 Uraian unit layanan sesuai dengan tingkat kompetensinya ................................................ 6 1.3.1 Unit layanan neonatus tingkat I (di fasilitas kesehatan primer/ puskesmas, fasilitas kesehatan sekunder/ ruang rawat gabung rumah sakit) ........................................................ 6 1.3.2 Unit layanan neonatus tingkat II (di fasilitas kesehatan sekunder/ rumah sakit) ..12 1.3.3 Unit layanan neonatus tingkat III (di fasilitas kesehatan tersier/ rumah sakit) ......22 1.4 Uraian panduan prosedur registri morbiditas, mortalitas dalam pengelolaan rekam medik pasien; manajemen ATM; manajemen fasilitas, alat kesehatan dan obat-obatan ..31 BAB II KODIFIKASI DIAGNOSIS DAN PROSEDUR NENATOLOGI ...........................................34 2.1 Rujukan berjenjang .....................................................................................................................34 2.2 Sistem pembiayaan JKN ...........................................................................................................35 2.3 Proses klaim, persyaratan dan permasalahannya ..............................................................39 2.4 Manfaat rekam medis ................................................................................................................44 BAB III PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN ......................................................47 1. PNPK BBLR: Resusitasi, Stabilisasi dan Transport Neonatus ..................................................48 2. PNPK Asfiksia Neonatorum ....................................................................................................... 193 3. PNPK Hiperbilirubinemia .......................................................................................................... 356 BAB IV PANDUAN PRAKTIK KLINIS.............................................................................................. 473 4.1 Kriteria rawat inap dan keluar dari rumah sakit .............................................................. 473 4.2 Komunikasi interpersonal dan konseling .............................................................................. 478 4.3 Penilaian fisik ............................................................................................................................ 483 4.4 Dampak penyakit ibu pada neonatus ................................................................................. 496 4.5 Kelainan bawaan yang sering ditemui pada neonatus ................................................... 506 4.6 Trauma lahir .............................................................................................................................. 514 4.7 Resusitasi neonatus ................................................................................................................... 519

xvi

4.8 Pedoman stabilisasi neonatus ................................................................................................ 529 4.9 Transportasi neonatus.............................................................................................................. 537 4.10 Asfiksia perinatal dan HIE ................................................................................................... 546 4.11 Kejang pada neonatus ......................................................................................................... 552 4.12 Transient tachypnea of newborn (TTN)................................................................................ 559 4.13 Respiratory distress syndrome (RDS) ................................................................................... 562 4.14 Meconium aspiration syndrome (MAS) ................................................................................ 565 4.15 Pneumonia pada neonatus .................................................................................................. 569 4.16 Air leak syndrome................................................................................................................... 572 4.17 Apnea of prematurity............................................................................................................. 575 4.18 Terapi oksigen........................................................................................................................ 578 4.19 CPAP ........................................................................................................................................ 583 4.20 Ventilasi invasif ...................................................................................................................... 595 4.21 Bayi kurang bulan dan PJT ................................................................................................. 604 4.22 Asuhan kontak kulit dengan kulit ........................................................................................ 615 4.23 Kangaroo Mother Care (KMC) ............................................................................................ 618 4.24 Termoregulasi neonatus ........................................................................................................ 628 4.25 Hipoglikemia pada neonatus .............................................................................................. 635 4.26 Hiperbilirubinemia pada neonatus .................................................................................... 641 4.27 Anemia pada neonatus ........................................................................................................ 646 4.28 Polisitemia neonatorum ....................................................................................................... 651 4.29 Trombositopenia pada neonatus ........................................................................................ 654 4.30 Hemorrhagic Disease of The Newborn (HDN) pada neonatus ....................................... 657 4.31 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) pada neonatus ...................................... 660 4.32 Pengendalian infeksi di Unit Perawatan Neonatus ....................................................... 663 4.33 Sepsis Neonatorum................................................................................................................ 668 4.34 Syok pada neonatus ............................................................................................................. 673 4.35 Kelainan jantung yang sering ditemui pada neonatus .................................................. 676 4.36 Pemberian ASI di fasilitas kesehatan ................................................................................ 680 4.37 Pemberian nutrisi enteral bagi neonatus .......................................................................... 692 4.38 Tatalaksana nutrisi parenteral pada neonatus ............................................................... 699 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................................. 706 4.1 Kesimpulan ................................................................................................................................ 706 4.2 Saran .......................................................................................................................................... 706 DAFTAR RUJUKAN .......................................................................................................................... 707 Lampiran 1. Kodifikasi diagnosis dan prosedur neonatologi................................................. 717

xvii

DAFTAR TABEL Tabel 1. Batasan tingkat pelayanan neonatus TIOP II 1993 ..................................................... 4 Tabel 2. Parameter penilaian neurologis neonatus ................................................................. 487 Tabel 3. Parameter penilaian pernapasan neonatus .............................................................. 488 Tabel 4. Parameter penilaian kardiovaskular .......................................................................... 488 Tabel 5. Parameter penilaian gastrointestinal.......................................................................... 489 Tabel 6. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................... 559 Tabel 7. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................... 562 Tabel 8. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe................................... 565 Tabel 9. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................... 569 Tabel 10. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................ 572 Tabel 11. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................ 575 Tabel 12. Standar transfusi internasional ................................................................................. 650 Tabel 13. Rute pemberian nutrisi pada bayi prematur ......................................................... 694 Tabel 14. Frekuensi dan volume nutrisi enteral bayi prematur ............................................ 695 Tabel 15. Pemantauan laboratorium terkait pemberian nutrisi pada bayi prematur .... 696 Tabel 16.Nilai rujukan parameter biokimia pascarawat ...................................................... 697 Tabel 17. Pemantauan laboratorium terkait pemberian nutrisi pada bayi prematur .... 704

xviii

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Area cuci tangan ............................................................................................................ 9 Gambar 2. Area resusitasi ...............................................................................................................11 Gambar 3. Ruang Transisi ................................................................................................................17 Gambar 4. Unit layanan neonatus tingkat III. Perbedaan di unit layanan tingkat II pada tunjangan ventilasi non-invasif. ........................................................................................................20 Gambar 5. Area laktasi (contoh gambar ada wastafel, tempat duduk nyaman) ...............21 Gambar 6. Trolley emergency..........................................................................................................26 Gambar 7. Area pencucian inkubator ...........................................................................................31 Gambar 8. Kaidah penulisan resume medik ................................................................................43 Gambar 9. Klasifikasi neonatus berdasarkan maturitas dan pertumbuhan intrauterin ... 494 Gambar 10. Perkiraan usia kehamilan menurut maturitasnya .............................................. 495 Gambar 11. Algoritma resusitasi neonatus ............................................................................... 528 Gambar 12. Alur persiapan dan komunikasi proses rujukan bayi baru lahir .................... 531 Gambar 13. Mengukur panjang pipa ........................................................................................ 534 Gambar 14. Fiksasi pipa orogastrik ........................................................................................... 534 Gambar 15. Alogaritma tatalaksana kejang ........................................................................... 558 Gambar 16. Peralatan untuk pemberian oksigen.................................................................... 579 Gambar 17. Penggunaan BMS dengan atau tanpa reservoir .............................................. 581 Gambar 18. Inspirasi pendek saat pertukaran gas ................................................................ 598 Gambar 19. Akibat waktu ekspirasi terlalu pendek ............................................................... 598 Gambar 20. Oksigenasi selama dibantu ventilasi invasif ...................................................... 599 Gambar 21. Eliminasi CO2 selama dibantu ventilasi invasif ................................................. 600 Gambar 22. Posisi bayi untuk KMC ............................................................................................ 621 Gambar 23. Posisi bayi dalam KMC .......................................................................................... 621 Gambar 24. Memberikan ASI yang telah diperah menggunakan selang nasogastrik ... 625 Gambar 25. Kehilangan panas pada neonatus....................................................................... 629 Gambar 26. Alogaritma tatalaksana hipoglikemia ................................................................ 639 Gambar 27. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar bilirubin serum sesuai dengan usia (dalam jam) ....................................................................................... 644

xix

RINGKASAN EKSEKUTIF Standarisasi pelayanan neonatus merupakan kebutuhan saat ini agar percepatan penurunan angka kematian neonatus (AKN) 9 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2025 dapat tercapai. Upaya kearah tersebut juga diperlukan untuk mengatasi adanya disparitas jumlah dan kompetensi aset tenaga manusia (ATM), fasilitas kesehatan serta alat kedokteran di berbagai wilayah di Indonesia. Upaya standarisasi dilaksanakan dengan menghilangkan fragmentasi

pelaksanaan

sistem

kesehatan

neonatal

pada

tatakelola program, manajemen dan klinis. Pada buku panduan ini diuraikan tingkat pelayanan neonatus sebagai dasar pelaksanaan tatakelola manajemen di fasilitas kesehatan. Disamping itu diuraikan pula kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang neonatologi sebagai bagian dari sistem pendanaan di era Jaminan Kesehatan

Nasional

(JKN),

yang

merupakan

kesatuan

dari

tatakelola program, manajemen dan klinis. Tatakelola klinis dibahas lebih rinci baik sebagai dasar bagi panduan nasional maupun panduan di tiap fasilitas kesehatan yaitu dalam bentuk Panduan Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) dan Panduan Praktik Klinis (PPK). Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran di bidang Neonatal pada

edisi

pertama

tahun

2018

buku

panduan

ini

baru

menyampaikan tiga topik yang sudah resmi menjadi panduan nasional yaitu PNPK bayi berat lahir rendah (BBLR) untuk Resusitasi, Stabilisasi dan Transport, PNPK Asfiksi Neonatus serta PNPK Hperbilirubinemia. Panduan Praktik Klinis yang sudah tersusun oleh tim UKK Neonatologi dengan format PP IDAI meliputi 38 topik, dimana PPK tersebut merupakan rujukan dasar tatakelola klinis bagi fasilitas kesehatan yang harus direvisi minimal setiap

xx

dua tahun sekali menurut basis bukti terbaru dan kapasitas yang dimiliki oleh masing-masing fasilitas kesehatan. Pada lampiran diuraikan algoritma sistem pendanaan di era JKN ini yang masih merujuk pada sistem kodifikasi ICD 9-CM untuk prosedur dan ICD 10 untuk diagnosis. Dengan demikian buku panduan ini diharapkan dapat secara paripurna memberikan pedoman dalam pelaksananan pelayanan di bidang neonatal.

xxi

BAB I PANDUAN TINGKAT PELAYANAN NEONATUS

1.1 Pendahuluan Standarisasi pelayanan neonatus menjadi kebutuhan saat ini dengan semakin berkembangnya kemampuan rumah sakit di seluruh Indonesia dalam melaksanakan tugasnya. Unit kerja koordinasi (UKK) Neonatologi PP IDAI perlu menetapkan panduan baku dalam sistem pelayanan tersebut, meliputi kompetensi aset tenaga mediknya, fasilitas, alat dan obat-obatan yang digunakan serta panduan prosedur pelayanannya. Tujuan dari buku ini adalah menetapkan acuan baku sistem pelayanan neonatus di fasilitas kesehatan mulai dari tingkat primer di puskesmas (pelayanan neonatus tingkat satu atau dasar), sekunder (pelayanan neonatus spesialistik di rumah sakit tipe D dan tipe C menurut PMK No 604/MenKes/SK/VII/2008 tentang pedoman pelayanan maternal perinatal pada rumah sakit kelas B, kelas C dan kelas D) dan tersier (pelayanan neonatus subspesialistik di rumah sakit tipe B dan A). Peraturan menteri kesehatan tersebut sudah waktunya direvisi karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan pengetahuan saat ini. Dan untuk melengkapi peraturan tersebut disusun buku panduan ini yang nantinyapun harus dievaluasi dan apabila perlu direvisi setiap tahun. Adapun program Kementerian Kesehatan RI dalam pelayanan neonatal pada prinsipnya mengacu pada Rangkaian Aksi Nasional di bidang neonatal (RAN-Neonatal) yang memiliki tiga kerangka aksi yaitu cakupan pelayanan neonatal yang berkualitas, intervensi klinis untuk kelangsungan hidup neonatus (tatakelola

1

klinis

kehamilan,

persalinan

dan

neonatus

sakit)

serta

pemberdayaan partisipasi keluarga. Kepentingan standarisasi adalah upaya mencapai cakupan pelayanan

neonatal

berkualitas,

menetapkan

acuan

dalam

melaksanakan tugas pelayanan khususnya di bidang neonatus sebagai bagian dari intervensi klinis dalam tatakelola neonatus sakit. Tetapi karena adanya disparitas yang sangat luas di negara kita, maka pada saat ini belum dapat dilakukan standarisasi secara baku. Oleh sebab itu, pada saat ini baru dapat ditetapkan panduan minimal yang harus dilaksanakan dalam pelayanan di bidang neonatus. Panduan minimal meliputi kompetensi aset tenaga medis, kebutuhan fasilitas, alat dan obat-obatan serta panduan prosedur klinis yang harus dilakukan, sesuai dengan: •

PMK

No

604/MENKES/SK/VII/2008

tentang

pedoman

pelayanan maternal perinatal pada rumah sakit kelas B, kelas C dan kelas D •

PMK No 1051/MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman penyelenggaraan PONEK 24 jam di rumah sakit



PMK No 39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga



PMK No 43 tahun 2016 tentang standar pelayanan minimal bidang kesehatan. Hasil dari panduan ini menuju kesamaan konsep dalam

melaksanakan pelayanan neonatus. Kesamaan konsep akan mendukung

konsep

rujukan

regionalisasi

(sesuai

PMK

No

HK.02.02/MENKES/391/2014 tentang pedoman penetapan rumah sakit rujukan regional), dan ini sangat dibutuhkan oleh kondisi Indonesia yang sangat unik secara geografis. Selain itu juga mendukung

program

Kementerian

Kesehatan

RI

dalam

mengupayakan penurunan angka kematian neonatal 9 per 1000

2

kelahiran di tahun 2025.

1.2 Batasan tingkat pelayanan neonatus Batasan tingkat pelayanan neonatus di Indonesia memodifikasi klasifikasi Toward Improving the Outcome of Pregnancy I (TIOP I) pada Tabel 1 karena adanya disparitas kemampuan rumah sakit di Indonesia.

Pada

pelayanan

neonatus

tingkat

II,

modifikasi

ditetapkan berdasarkan berat badan lahir. Pelayanan neonatus tingkat IIA diperuntukan rumah sakit tipe D yang pada umumnya mempunyai kapasitas yang hampir sama untuk melakukan perawatan pada bayi berat lahir

2000 gram, tingkat IIB untuk

rumah sakit tipe C yang pada umumnya mempunyai kapasitas merawat bayi berat lahir

1800 gram. Pada pelayanan neonatus

tingkat IIIA diperuntukkan pada rumah sakit tipe B yang hanya memiliki pelayanan spesialistik luas, tingkat IIIB untuk rumah sakit tipe B dengan kemampuan minimal spesialistik plus (mendapat pelatihan khusus di bidangnya) atau subspesialistik terbatas. Pelayanan neonatus tingkat IIIC dan IIID adalah rumah sakit tipe A yang memiliki kemampuan subspesialistik luas.

3

Tabel 1. Batasan tingkat pelayanan neonatus TIOP II 19931 Tingkat Pelayanan

Uraian tingkat kompetensi dan kemampuan pelayanan

Layanan Neonatus Dasar (tingkat I), Perawatan neonatus bugar

Evaluasi dan perawatan pasca lahir neonatus bugar pasca resusitasi Stabilisasi neonatus sakit sampai dilaksanakan proses rujukan ke RS dengan tingkat layanan spesialistik. Modifikasi di Indonesia: • Mengupayakan pertolongan persalinan, janin dan neonatus normal. • Identifikasi tanda bahaya pada neonatus • Resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus nonbugar/ sakit untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan sekunder atau tersier sesuai regionalisasi wilayahnya. • Perawatan neonatal esensial pada neonatus sehat

Layanan Neonatus Spesialistik (tingkat II)

Layanan neonatus dengan berat lahir 1500 gram Resusitasi dan stabilisasi bayi prematur bugar atau sakit sampai dirujuk ke RS yang memiliki layanan subspesialistik Modifikasi di Indonesia: Rumah sakit tipe D (kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat IIA, spesialistik terbatas). • Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat I, ditambah: • Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 2000 gram dan usia kehamilan 36 minggu. • Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi non-invasif. Rumah sakit tipe C (kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat IIB, spesialistik luas). • Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat IIA, ditambah: • Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 1800 gram dan usia kehamilan 35 minggu. • Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif dengan ventilator konvensional ≤5 hari untuk stabilisasi neonatus sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier. • Dapat melaksanakan tindakan bedah minor pada neonatus.

Layanan Neonatus Subspesialistik (tingkat III) Tingkat III A

Unit atau fasilitas layanan intensif neonatus yang membutuhkan tunjangan ventilasi mekanik. Modifikasi di Indonesia: Rumah sakit tipe B (kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat IIIA, spesialistik dengan pelatihan tambahan manajemen neonatus tingkat III atau subspesialistik terbatas, dokter spesialis lain). • Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat IIB, ditambah: • Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 1000 gram dan usia kehamilan 28 minggu. • Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif dengan ventilator konvensional.

4

• Tingkat III B

Dapat melaksanakan tindakan bedah major terbatas (tindakan bedah spesialistik) pada neonatus.

Unit layanan tingkat III A dengan kemampuan tambahan dapat melaksanakan prosedur bedah major seperti reparasi omfalokel, atresia trakeheo esophagus dengan atau tanpa fistel, prosedur bedah saluran cerna neonatus, reparasi mielomeningokel, dan pemasangan VP-shunt. Tidak ada batasan usia kehamilan dan berat lahir. Modifikasi di Indonesia: Rumah sakit tipe A (kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat IIIA, subspesialistik/ konsultan neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak terbatas) • Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat IIIA, ditambah: • Layanan neonatus tanpa batas batasan berat lahir dan usia kehamilan. • Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif tidak terbatas (ventilator konvensional, high frequency ventilator, high frequency oscillator). • Dapat melaksanakan tindakan bedah major tidak terbatas (tindakan bedah subspesialistik) pada neonatus.

Tingkat III C

Unit layanan tingkat III B dengan kemampuan tambahan dapat melaksanakan prosedur bedah jantung kompleks yang tidak melaksanakan tindakan bypass kardiopulmonar dan/ atau dengan ECMO. Modifikasi di Indonesia: Rumah sakit tipe A (kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat IIIB, subspesialistik/ konsultan neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak terbatas, fasilitas prosedur kardiotorasis terbatas) • Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat IIIB, ditambah: • Dapat melaksanakan prosedur kardiotorasis kompleks yang tidak melaksanakan tindakan bypass kardiopulmonal dan/ atau dengan ECMO.

Tingkat III D

Unit layanan tingkat III C dengan kemampuan tambahan dapat melaksanakan prosedur bedah jantung kompleks dengan tindakan bypass kardiopulmonar dan/ atau dengan ECMO. Modifikasi di Indonesia: Pusat rujukan nasional untuk neonatal terintegrasi dengan Pusat Jantung Nasional (kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat IIIC, subspesialistik/ konsultan neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak terbatas, fasilitas prosedur kardiotorasis lengkap) • Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat IIIC, ditambah: • Dapat melaksanakan prosedur kardiotorasis kompleks dengan tindakan bypass kardiopulmonal dan/ atau dengan ECMO.

5

1.3 Uraian unit layanan sesuai dengan tingkat kompetensinya 1.3.1 Unit layanan neonatus tingkat I (di fasilitas kesehatan primer/ puskesmas, fasilitas kesehatan sekunder/ ruang rawat gabung rumah sakit) 1.3.1.1

Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti

profesi medis, bidan dan perawat.

A. Dokter •

Kompetensi: tingkat dasar untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional di bidang neonatologi, yaitu: o Tanda bahaya kedaruratan pada neonatus o Resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus tidak terbatas pada berat lahir dan usia kehamilan. o Manajemen neonatal esensial.



Uraian tugas dan tanggung jawab: o Tatakelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi dasar yang direkam dalam cacatan medis pasien. o Tatakelola manajemen: ▪ Pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil aktivitas medis yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan secara internal unit pelayanan. ▪ Perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat kedokteran dan obat-obatan kebutuhan di unitnya. ▪ Penyusunan dan revisi/ updating panduan prosedur klinik di unitnya. o Tatakelola program: ▪ Pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil aktivitas medis yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut

perbaikan

secara

eksternal

berkolaborasi

dan

berkoordinasi lintas sektoral dalam satu sistem rujukan di

6

wilayah regionalnya, misalnya dalam kegiatan audit maternal peri-neonatal. ▪ Perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat kedokteran

dan

obat-obatan

kebutuhan

di

unitnya

terintegrasi dalam sistem pengadaan layanan kesehatan vertikal dari tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. ▪ Standarisasi

panduan

prosedur

klinis

secara

regional

maupun nasional.

B. Bidan dan perawat •

Kompetensi: tingkat dasar untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional asuhan keperawatan di bidang neonatologi, yaitu: o Tanda bahaya kedaruratan pada neonatus o Asistensi dalam melaksanakan resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus tidak terbatas pada berat lahir dan usia kehamilan. o Asuhan keperawatan dalam manajemen neonatal esensial.



Uraian tugas dan tanggung jawab: o Tatakelola klinis dalam asuhan keperawatan neonatus dengan tingkat kompetensi dasar yang direkam dalam cacatan medis pasien. o Tatakelola manajemen: ▪ Membantu dalam pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil aktivitas medis yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan secara internal unit pelayanan. ▪ Membantu

dalam

perencanaan,

pengadaan

dan

pemeliharaan fasilitas, alat kedokteran dan obat-obatan kebutuhan di unitnya. 7

▪ Penyusunan

dan

revisi/

updating

panduan

asuhan

keperawatan prosedur klinik di unitnya.

1.3.1.2 Uraian fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan obatobatan A. Area cuci tangan 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi area Lokasi strategis dekat di sekitar pintu masuk lokasi neonatus ditempatkan, mudah dijangkau tetapi tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan pengunjung.

1.2

Kebersihan harus terjaga dengan struktur yang mudah dibersihkan.

1.3 1.4 1.5

Pencahayaan terang dan nyaman Ventilasi optimal dengan aliran udara bebas yang maksimal Wastafel Ukuran besar untuk menampung cipratan air saat melakukan cuci tangan, dengan aliran air limbah yang lancer, memiliki kran yang dioperasikan dengan siku atau lengan.

2. Mebel 2.1 Rak atau gantungan gaun bersih untuk petugas atau pengunjung. 2.2 Wadah gaun kotor setelah digunakan 2.3 Rak sepatu 2.4 Lemari untuk barang pribadi petugas atau pengunjung 2.5 Wadah limbah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik, infeksius. 3. Bahan-bahan 3.1 Sabun Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam dispenser dengan pompa. 3.2

Pengering Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai atau pengering elektronik. Tidak dianjurkan pengering handuk

8

Gambar 1. Area cuci tangan

B. Area resusitasi, stabilisasi dan transport 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi area - Lokasi: o Di IGD: terletak diluar alur lalu lintas petugas dan pasien. o Di ruang bersalin, lokasi harus sangat dekat dengan tempat menolong ibu bersalin. - Ukuran luas minimal 4 m2 untuk posisi meja resusitasi, di luar kebutuhan untuk meja alat, sumber oksigen dan sumber udara serta peralatan lainnya. 1.2 Kebersihan terjaga setiap waktu dan siap pakai 1.3 Pencahayaan optimal menerangi area resusitasi 1.4 Ventilasi baik, dihindari adanya aliran udara. 1.5 Suhu ruangan dapat diatur sekitar 24-28ºC dengan kelembaban udara optimal 1.6 Steker listrik Ruang harus dilengkapi paling sedikit enam steker yang dipasang dengan tepat untuk peralatan listrik. Steker harus mampu memasok beban listrik yang diperlukan, aman dan berfungsi baik. 2. Mebel 2.1 Meja resusitasi dengan penghangat (berupa lampu pijar 60 watt berjarak 60 cm dari alas meja atau radiant warmer) lengkap, minimal memiliki: Lampu penerang sekaligus sebagai alat penghangat area resusitasi yang dapat diatur suhunya. Matras yang cukup keras, bersih, kering dan mudah menyerap panas. Selimut alas yang bersih kering dan hangat Mudah dibersihkan dan dikeringkan, dengan bagian logam bebas berkarat.

9

2.2 2.3 3. 3.1 3.1 3.2

Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi baik. Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topinya, kering, bersih dan hangat. Fasilitas, alat dan obat-obatan Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan Perlengkapan jalan napas (air way): Alat penghisap lendir harus ada minimal alat penghisap lendir dinding atau portable dengan segala kelengkapannya Pasokan oksigen dan udara Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase kadar oksigen yang optimal diinginkan. Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus. Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang tersambung langsung ke blender. Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus. Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi. Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan diberikan ke neonatus melalui: Alat ventilasi non-invasif Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah (low flowmeter) dan tinggi (high flowmeter)

3.3

Alat bantu ventilasi: Ventilasi non-invasif dengan segala kelengkapannya: t-piece resuscitator CPAP neonatus lengkap

3.4 3.4.1

Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut: Alat pembebas jalan napas: Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR Harus ada balon penghisap lendir atau mucous extractor untuk penghisapan lendir sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran 5FR dan 8FR. Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan digunakan. Bola lampu laringoskop cadangan Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1 Alat pemberi oksigenisasi: Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif. Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan gunting untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif. Alat monitor Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable. Stetoskop bayi atau anak Obat-obatan: Alat sunti/spuit 1cc; 2,5cc; 3cc; 5cc; 10cc; 20cc; 50cc Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000) Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL) Alat penunjang sirkulasi dan cairan: Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR Three-way stopcock Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate Alat pelindung diri:

3.4.2

3.4.3

3.4.4

3.4.5

3.5

10

3.6

3.7 3.8

Topi Masker Kaca mata google Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang Gaun plastic Sepatu pelindung Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi: AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC Termometer ruangan Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan selimut untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur Inkubator transport atau kain/ gaun metode kanguru Laboratorium penunjang: Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana Pemeriksaan laboratorium gula darah

Gambar 2. Area resusitasi

11

1.3.2 Unit layanan neonatus tingkat II (di fasilitas kesehatan sekunder/ rumah sakit) 1.3.2.1

Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti

profesi medis, bidan dan perawat.

A. Dokter spesialis anak • Kompetensi: tingkat

spesialistis

untuk

pengetahuan,

ketrampilan dan sikap profesional di bidang neonatologi. •

Uraian tugas dan tanggung jawab: o Tatakelola

klinis

neonatus

dengan

tingkat

kompetensi

spesialistis yang direkam dalam cacatan medis pasien. o Tatakelola manajemen dan program: membantu melancarkan kinerja fasilitas kesehatan dalam

tatakelola manajemen

neonatus dan kinerja sistem rujukan neonatus di regional wilayah kerjanya.

B. Bidan dan perawat • Kompetensi: tingkat

spesialistis

untuk

pengetahuan,

ketrampilan dan sikap profesional asuhan keperawatan di bidang neonatologi. •

Uraian tugas dan tanggung jawab: Membantu dokter spesiais dalam tatakelola klinis, manajemen progran di unit layanan neonatus tingkat II di rumah sakit.

12

1.3.2.2 Uraian fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan obatobatan A. Area cuci tangan 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi area Lokasi strategis dekat di sekitar pintu masuk ruang rawat atau tindakan neonatus, mudah dijangkau tetapi tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan pengunjung. Ruang rawat atau tindakan neonatus di rumah sakit: IGD, kamar bersalin, kamar operasi, ruang transisi, ruang rawat gabung. 1.2 Kebersihan harus terjaga dengan struktur yang mudah dibersihkan. 1.3 Pencahayaan terang dan nyaman 1.4 Ventilasi optimal dengan aliran udara bebas yang maksimal 1.5 Wastafel Ukuran besar untuk menampung cipratan air saat melakukan cuci tangan, dengan aliran air limbah yang lancar, memiliki kran yang dioperasikan dengan siku atau lengan. 2. Mebel 2.1 Rak sepatu 2.2 Wadah limbah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik, infeksius. 3. Bahan-bahan 3.1 Sabun Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam dispenser dengan pompa. 3.2 Pengering Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai. Tidak dianjurkan pengering handuk

B. Area resusitasi, stabilisasi dan transport 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi area Harus tersedia di IGD, ruang bersalin, ruang kamar operasi. Di ruang rawat neonatus, menyatu dalam unit layanan neonatus baik di tingkat II maupun tingkat III. Lokasi di area yang tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan pengunjung. Di kamar bersalin dan kamar operasi harus terletak dekat dengan tempat menolong ibu. - Ukuran luas minimal 4 m2 untuk posisi meja resusitasi, di luar kebutuhan untuk meja alat, sumber oksigen dan sumber udara serta peralatan lainnya. 1.2 Kebersihan terjaga setiap waktu dan siap pakai 1.3 Pencahayaan optimal menerangi area resusitasi 1.4 Ventilasi baik, dihindari adanya aliran udara. 1.5 Suhu ruangan dapat diatur sekitar 24-28ºC dengan kelembaban udara optimal 1.6 Steker listrik Ruang harus dilengkapi paling sedikit enam steker yang dipasang dengan tepat untuk peralatan listrik. Steker harus mampu memasok beban listrik yang diperlukan, aman dan berfungsi baik. 2. Mebel 2.1 Meja resusitasi dengan penghangat (berupa lampu pijar 60 watt berjarak 60 cm dari alas meja atau radiant warmer) lengkap, minimal memiliki: Lampu penerang sekaligus sebagai alat penghangat area resusitasi yang dapat diatur suhunya. Matras yang cukup keras, bersih, kering dan mudah menyerap panas. Selimut alas yang bersih kering dan hangat

13

Mudah dibersihkan dan dikeringkan, dengan bagian logam bebas berkarat.

2.2 2.3 3. 3.1 3.1 3.2

Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi baik. Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topi, kering, bersih dan hangat. Fasilitas, alat dan obat-obatan Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan Perlengkapan jalan napas (air way): Alat penghisap lendir harus ada minimal alat penghisap lendir dinding atau portable dengan segala kelengkapannya. Pasokan oksigen dan udara Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase kadar oksigen yang optimal diinginkan. Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus. Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang tersambung langsung ke blender. Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus. Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi. Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan diberikan ke neonatus melalui: Alat ventilasi non-invasif Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi

3.3

Alat bantu ventilasi: Ventilasi non-invasif dengan segala kelengkapannya: t-piece resuscitator CPAP

3.4 3.4.1

Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut: Alat pembebas jalan napas: Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR Harus ada balon penghisap lendir atau mucous ectractor untuk penghisapan lendir sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran 5FR dan 8FR. Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan digunakan. Bola lampu laringoskop cadangan Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1 Alat pemberi oksigenisasi: Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif. Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan guntingnya untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif. Alat monitor Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable. Stetoskop bayi atau anak Obat-obatan: Alat suntik /spuit 1cc; 2,5 cc; 3 cc; 5 cc; 10 cc; 20 cc; 50cc Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000) Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)

3.4.2

3.4.3 3.4.3

14

3.4.4

3.5

3.6

3.7 3.8

Alat penunjang sirkulasi dan cairan: Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR Three-way stopcock Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate Alat pelindung diri: Topi Masker Kaca mata google Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang Gaun plastic Sepatu pelindung Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi: AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC Termometer ruangan Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan selimut untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur Inkubator transport atau kain/ gaun metode kanguru Laboratorium penunjang: Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana Pemeriksaan laboratorium gula darah

C. Ruang transisi (ruang observasi neonatus bugar pasca lahir) 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi ruang - Lokasi ruang harus berdekatan dengan kamar operasi, dan merupakan bagian atau bersebelahan dengan kamar bersalin. - Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah sakit, terutama untuk menuju ruang perawatan neonatus maupun ruang rawat gabung (ruang rawat bayi sehat gabung dengan perawatan ibu pasca lahir). - Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m 2 untuk setiap inkubator pasien dan perlengkapannya. - Lokasi tersendiri, tetapi mudah dijangkau oleh keluarga yang ingin menjenguknya. - Prosedur menjenguk hanya dapat melalui jendela kaca. Struktur fisik didisain sedemikian rupa menyerupai aquarium, karena yang dapat masuk ruangan hanya ayah bayi baru lahir pada saat melaksanakan komunikasi, informasi edukasi tentang bayinya segera setelah lahir. 1.2

Pencahayaan Secara umum nyaman dan terang sehingga pengunjung dapat melihat dari luar ruang ke segala arah.

1.3

Ventilasi Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal. Suhu ruangan dan kelembaban Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal

1.4

Sumber listrik: Minimal tiga steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.

1.5

Tersedia sumber oksigen dan udara yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada neonatus

1.6

Tersedia sumber tekanan negatif untuk alat hisap lendir yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada neonatus

15

1.7

Kebersihan terjaga setiap waktu

1.8

Lampu darurat

1.9

Memiliki area cuci tangan yang memenuhi kebutuhan dan siap pakai.

2. Mebel 2.1 Lemari instrumen Tersedia dua: - Lemari linen, set alat steril. - Lemari alat kedokteran, bahan habis pakai dan obat-obatan untuk pelayanan neonatal esensial. 2.2

Meja Tersedia tiga meja: - Meja trolley pertama untuk meletakkan kotak resusitasi dan kelengkapannya. Apabila fasilitas terbatas, kotak resusitasi untuk kamar bersalin dan kamar operasi diletakkan dan disimpat di ruang transisi. - Meja trolley kedua untuk meletakkan perlengkapan antropometri (timbangan berat badan analog atau digital, alat pengukur panjang badan, pita pengukur lingkar kepala), alat untuk pemeriksaan laboratorium pada pelayanan neonatal esensial. - Meja ketiga di area administrasi, selain untuk keperluan administrasi juga untuk melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.

2.3

Kursi - Harus ada tiga kursi di area administrasi dan edukasi yang berfungsi baik.

2.4

Wadah sampah tertutup dengan kantong plastik, terdiri dari sampai organik, nonorganik dan sampai infeksius.

2.5

Jam dinding - Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik (dilengkapi hitungan detik) Fasilitas, alat kedokteran dan obat-obatan

3. 3.1

Alat periksa: Stetoskop bayi atau anak Termometer Alat pengukur saturasi oksigen (oximeter) Alat dan jarum suntik serta swab alkohol untuk memberikan: Vitamin K1 Imunisasi Hepatitis B Pengambilan darah untuk pemeriksaan golongan darah/ Rh, darah rutin lengkap, gula darah 3.2

3.3

Inkubator, asuhan normal - Paling sedikit harus ada 2 inkubator yang berfungsi baik. - Jarak satu inkubator dengan yang lain minimal 1m 2 - Inkubator transport Penghangat (Radiant warmer) - Paling sedikit harus ada satu penghangat yang berfungsi baik. Cairan pencuci tangan

16

Gambar 3. Ruang Transisi

D. Ruang perawatan untuk layanan neonatus tingkat II 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi ruang - Lokasi ruang harus bersebelahan dan satu lantai dengan kamar bersalin dan kamar operasi. - Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah sakit, terutama untuk menuju ruang rawat gabung (ruang perawatan ibu pasca lahir). - Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m 2 untuk setiap inkubator pasien dan perlengkapannya. - Ruang terdiri dari: o Area perawatan o Ruang peracikan obat/ ruang obat o Ruang tindakan o Ruang perah ASI/ Area laktasi o Area konsultasi o Ruang administrasi o Ruang pencucian inkubator 1.2 Pencahayaan Secara umum nyaman, pencahayaan terang hanya disekitar inkubator untuk melaksanakan prosedur klinis pada bayi 1.3 Ventilasi Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal. Suhu ruangan dan kelembaban Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal 1.4 Sumber listrik: Minimal enam steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik. 1.5 Sumber oksigen dan udara pada dinding untuk satu inkubator 1.6

Sumber tekanan negatif untuk alat hisap dinding untuk satu inkubator

1.7

Kebersihan selalu terjaga setiap waktu

1.8

Lampu darurat

17

1.9 1.10

Jam dinding - Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik (dilengkapi hitungan detik) Area cuci tangan di pintu masuk ruang perawatan neonatus

1.11

Generator listrik darurat - Harus ada generator listrik cadangan yang dioperasikan jika pasokan listrik utama tidak ada. 2. Area perawatan: memiliki unit layangan neonatus tingkat II. Satu unit layanan neonatus tingkat II, terdiri dari: 2.1 Perlengkapan menjaga jalan napas. Minimal satu alat penghisap lendir dinding atau portable lengkap dengan: Regulator pengukur tekanan negatif Selang penghisap Kateter penghisap nomor 6FR, 8FR, 10FR/12FR 2.2 Pasokan oksigen dan udara Minimal satu sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase kadar oksigen yang optimal diinginkan. Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus. Setiap sumber oksigen dilengkapi dengan regulator aliran rendah dan alirang tinggi. Minimal satu sumber udara yang dilengkapi dengan selang menuju alat pencampur udara (blender). Persediaan udara tidak boleh terputus, harus tersedia terus menerus. Minimal satu alat pencampur oksige (blender oxygen) dengan regulatornya. 2.3 Alat bantu ventilasi: Harus ada alat ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIA): t-piece resuscitator CPAP dengan segala perlengkapannya.

2.4

Harus ada alat bantu ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIB): Ventilator mekanik konvensional. Inkubator

2.5

Radiant warmer

2.6

Monitor bed-side

2.7

Infusion pump

2.8

Syringe pump

2.9

Kursi kangaroo care dan perlengkapannya 2.10 Unit terapi sinar - Paling sedikit harus ada satu unit terapi sinar yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat tidur bayi 2.11 Timbangan bayi - Paling sedikit harus ada satu timbangan bayi yang berfungsi baik di setiap ruangan. 2.12 Stetoskop - Harus ada stetoskop yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat tidur bayi 2.13 Cairan pencuci tangan 2.14 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik, infeksius. 3. Area tempat meletakkan troley emergency dengan segala kelengkapan yang siap pakai 4. Ruang penyimpanan dan peracikan obat Memiliki lemari instrument tempat menyimpan bahan-bahan habis pakai dan obatobatan 4.1 Gaun

18

4.2

Masker

4.3

Sarung tangan

4.4

Alat suntik /spuit 1 cc, 2,5 cc, 3 cc , 10 cc, 20 cc, 50cc

4.5

Pipa minum, ukuran 5 Fr dan 8 Fr

4.6

Pipa penghisap lendir, ukuran 6 dan 8

4.7

Kanula, ukuran 22 dan 24

4.8

Kateter umbilikus, ukuran 3 ½, 5, 8

4.9

Masker oksigen neonatus

4.10

Terapi oksigen : • Nasal kanul high flow • Nasa kanul low flow

4.11

Penutup mata untuk terapi sinar

4.12

Popok sekali pakai (Pampers)

4.13 4.14

Penutup sepatu sekali pakai Betadine/alkohol untuk disinfeksi

4.15

Kantung plastik untuk wadah sampah besar

4.16

Cairan infus Dextrose 5%, 10%, 40% NaCL 0,9%; NaCl 3% KCl 7,4% Ca glukonas 10% Ringer Lactate 4.17 Cairan nutrisi parenteral Solusio asam amino 6% Intralipid 20% 4.18 Antibiotik Ampisilin Gentamisin 4.19 Obat respirasi Aminofilin 4.20 Kardiotonik Dopamin Dobutamin Epinefrin 4.21 Lemari es 5. Ruang tindakan memiliki perlengkapan: 5.1 Meja atau tempat tidur untuk melakukan tindakan 5.2

Lampu tindakan

5.3

Cairan pencuci tangan

5.4

Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik, infeksius. 6. Ruang konsultasi Mebel 6.1 Meja - Untuk keperluan komunikasi informasi dan edukasi - Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan. 6.2 Kursi - Harus ada tiga kursi yang berfungsi baik. 7. Ruang administrasi 7.1 Meja - Untuk keperluan administras - Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.

19

7.2

Kursi - Harus ada kursi yang berfungsi baik.

Gambar 4. Unit layanan neonatus tingkat III. Perbedaan di unit layanan tingkat II pada tunjangan ventilasi non-invasif.

E. Area laktasi 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi ruang - Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2. 1.2 Kebersihan 1.3 Pencahayaan 1.4 Ventilasi 1.5 Wastafel

20

2. Mebel 2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik, infeksius. 2.2

Kursi (1-3) -Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.

F. Area pencucian inkubator 1.

Struktur Fisik

1.1

Spesifikasi ruang -Paling kecil, ruangan berukuran 6-8 m2.

1.2

Kebersihan

1.3 1.4

Pencahayaan Ventilasi

1.5

Wastafel

1.6

Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik, infeksius.

Gambar 5. Area laktasi (contoh gambar ada wastafel, tempat duduk nyaman)

G. Area pelayanan Kangaroo Mother Care 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi ruang - Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2 - Area Ganti pakaian yang tertutup 1.2 Kebersihan 1.3 Pencahayaan 1.4 Ventilasi 1.5 Wastafel 2. Mebel 2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik, infeksius.

21

2.2

Kursi (1-3) -Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.

1.3.3 Unit layanan neonatus tingkat III (di fasilitas kesehatan tersier/ rumah sakit) 1.3.3.1 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti profesi medis, bidan dan perawat di layanan neonatus tingkat IIIA. •

Kompetensi: tingkat spesialistis dengan tambahan pelatihan manajemen tingkat III untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional di bidang neonatologi.



Uraian tugas dan tanggung jawab: o Tata kelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi subspesialistis terbatas yang direkam dalam cacatan medis pasien. o Tata kelola manajemen dan program: membantu melancarkan kinerja fasilitas kesehatan dalam tatakelola manajemen neonatus dan kinerja sistem rujukan neonatus di regional wilayah kerjanya.

1.3.3.2 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti profesi medis, bidan dan perawat di layanan neonatus tingkat IIIB, IIIC, IIID. •

Kompetensi: tingkat subspesialistis/ konsultan neonatologi.



Uraian tugas dan tanggung jawab: o Tata kelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi subspesialistis yang direkam dalam cacatan medis pasien. o Tata kelola manajemen dan program: membantu melancarkan kinerja fasilitas kesehatan dalam tatakelola manajemen neonatus dan kinerja sistem rujukan neonatus di regional wilayah kerjanya.

22

Bidan dan perawat • Kompetensi: tingkat

spesialistis

untuk

pengetahuan,

ketrampilan dan sikap profesional asuhan keperawatan di bidang neonatologi. •

Uraian tugas dan tanggung jawab: Membantu dokter spesiais dalam tata kelola klinis, manajemen progran di unit layanan neonatus tingkat II di rumah sakit.

1.3.3.3 Uraian fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan obatobatan A. Area cuci tangan 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi area Lokasi strategis dekat di sekitar pintu masuk ruang rawat atau tindakan neonatus, mudah dijangkau tetapi tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan pengunjung. Ruang rawat atau tindakan neonatus di rumah sakit: IGD, kamar bersalin, kamar operasi, ruang transisi, ruang rawat gabung. 1.2 Kebersihan harus terjaga dengan struktur yang mudah dibersihkan. 1.3 Pencahayaan terang dan nyaman 1.4 Ventilasi optimal dengan aliran udara bebas yang maksimal 1.5 Wastafel Ukuran besar untuk menampung cipratan air saat melakukan cuci tangan, dengan aliran air limbah yang lancer, memiliki kran yang dioperasikan dengan siku atau lengan. 2. Mebel 2.1 Rak sepatu 2.2 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik, infeksius. 3. Bahan-bahan 3.1 Sabun Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam dispenser dengan pompa. 3.2 Pengering Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai Tidak dianjurkan pengering handuk

B. Area resusitasi, stabilisasi dan transport 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi area Harus tersedia di IGD, ruang bersalin, ruang kamar operasi. Di ruang rawat neonatus, menyatu dalam unit layanan neonatus baik di tingkat II maupun tingkat III. Lokasi di area yang tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan pengunjung. Di kamar bersalin dan kamar operasi harus terletak dekat dengan tempat menolong ibu.

23

- Ukuran luas minimal 4 m2 untuk posisi meja resusitasi, di luar kebutuhan untuk meja alat, sumber oksigen dan sumber udara serta peralatan lainnya. 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6

2. 2.1

2.2 2.3 3. 3.1 3.2 3.3

Kebersihan terjaga setiap waktu dan siap pakai Pencahayaan optimal menerangi area resusitasi Ventilasi baik, dihindari adanya aliran udara. Suhu ruangan dapat diatur sekitar 24-28ºC dengan kelembaban udara optimal Steker listrik Ruang harus dilengkapi paling sedikit enam steker yang dipasang dengan tepat untuk peralatan listrik. Steker harus mampu memasok beban listrik yang diperlukan, aman dan berfungsi baik. Mebel Meja resusitasi dengan penghangat (radiant warmer) lengkap, minimal memiliki: Lampu atau alat penghangat area resusitasi yang dapat diatur suhunya. Matras yang cukup keras, bersih, kering dan mudah menyerap panas. Selimut alas yang bersih kering dan hangat Mudah dibersihkan dan dikeringkan, dengan bagian logam bebas berkarat. Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi baik. Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topinya, kering, bersih dan hangat. Fasilitas, alat dan obat-obatan Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan Perlengkapan jalan napas (air way): Alat penghisap lendir harus ada minimal alat hisap lendir dinidng atau portable dengan segala kelengkapannya Pasokan oksigen dan udara Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase kadar oksigen yang optimal diinginkan. Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus. Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang tersambung langsung ke blender. Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus. Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi. Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan diberikan ke neonatus melalui: Alat ventilasi non-invasif Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan diberikan ke neonatus melalui: Alat ventilasi invasif Alat ventilasi non-invasif Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi

3.4

Alat bantu ventilasi: Ventilasi non-invasif dengan segala kelengkapannya: t-piece resuscitator CPAP Ventilasi invasif dengan segala kelengkapannya: Ventilator konvensional (tingkat IIIA) High frequency ventilator (HFV)(tingkat IIIB, IIIC, IIID) High frequency oscillator (HFO)(IIIB, IIIC, IIID)

3.5

Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:

24

3.5.1

3.5.2

3.5.3 3.5.4

3.5.5

3.6

3.7

3.8 3.9

Alat pembebas jalan napas: Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR Harus ada balon penghisap lendir atau mucous ectractor untuk penghisapan lendir sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran 5FR dan 8FR. Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan digunakan. Bola lampu laringoskop cadangan Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1 Alat pemberi oksigenisasi: Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif. Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan guntingnya untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif. Alat monitor Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable. Stetoskop bayi Obat-obatan: Alat suntik /spuit 1cc; 2,5 cc; 3 cc; 5 cc; 10 cc; 20 cc; 50cc Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000) Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL) Alat penunjang sirkulasi dan cairan: Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR Three-way stopcock Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate Alat pelindung diri: Topi Masker Kaca mata google Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang Gaun plastik Sepatu pelindung Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi: AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC Termometer ruangan Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan selimut untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur Inkubator transport atau kain/ gaun metode kanguru Laboratorium penunjang: Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana Pemeriksaan laboratorium gula darah

25

Gambar 6. Trolley emergency

C. Ruang Transisi (ruang observasi neonatus bugar pasca lahir) 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi ruang - Lokasi ruang harus berdekatan dengan kamar operasi, dan merupakan bagian atau bersebelahan dengan kamar bersalin. - Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah sakit, terutama untuk menuju ruang perawatan neonatus maupun ruang rawat gabung (ruang rawat bayi sehat gabung dengan perawatan ibu pasca lahir). - Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m 2 untuk setiap inkubator pasien dan perlengkapannya. - Lokasi tersendiri, tetapi mudah dijangkau oleh keluarga yang ingin menjenguknya. - Prosedur menjenguk hanya dapat melalui jendela kaca. Struktur fisik didisain sedemikian rupa menyerupai aquarium, karena yang dapat masuk ruangan hanya ayah bayi baru lahir pada saat melaksanakan komunikasi, informasi edukasi tentang bayinya segera setelah lahir. 1.2 Pencahayaan Secara umum nyaman dan terang sehingga pengunjung dapat melihat dari luar ruang ke segala arah. 1.3 Ventilasi Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal. Suhu ruangan dan kelembaban Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal 1.4 Sumber listrik: Minimal tiga steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.

26

1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2. 2.1

2.2

2.3 2.4 2.5 3. 3.1

3.2

3.3 3.4

Tersedia sumber oksigen dan udara yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada neonatus Tersedia sumber tekanan negatif untuk alat hisap lendir yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada neonatus Kebersihan terjaga setiap waktu Lampu darurat Memiliki area cuci tangan yang memenuhi kebutuhan dan siap pakai. Mebel Lemari instrumen Tersedia dua: - Lemari linen, set alat steril. - Lemari alat kedokteran, bahan habis pakai dan obat-obatan untuk pelayanan neonatal esensial. Meja Tersedia tiga meja: - Meja trolley pertama untuk meletakkan kotak resusitasi dan kelengkapannya. - Meja trolley kedua untuk meletakkan perlengkapan antropometri (timbangan berat badan digital, alat pengukur panjang badan, pita pengukur lingkar kepala), alat untuk pemeriksaan laboratorium pada pelayanan neonatal esensial. - Meja ketiga di area administrasi, selain untuk keperluan administrasi juga untuk melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada keluarga pasien. Kursi - Harus ada tiga kursi di area administrasi dan edukasi yang berfungsi baik. Wadah sampah tertutup dengan kantong plastik, terdiri dari sampai organik, nonorganik dan sampai infeksius. Jam dinding - Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik. Fasilitas, alat kedokteran dan obat-obatan Alat periksa: Stetoskop Termometer Alat pengukur saturasi oksigen (oximeter) Alat dan jarum suntik serta swab alkohol untuk memberikan: Vitamin K1 Imunisasi Hepatitis B Pengambilan darah untuk pemeriksaan golongan darah/ Rh, darah rutin lengkap, gula darah Inkubator, asuhan normal - Paling sedikit harus ada 2 inkubator yang berfungsi baik. - Jarak satu inkubator dengan yang lain minimal 1m 2 - Inkubator transport Penghangat (Radiant warmer) - Paling sedikit harus ada satu penghangat yang berfungsi baik. Cairan pencuci tangan

D. Ruang perawatan untuk layanan neonatus tingkat III 1. 1.1

Struktur Fisik Spesifikasi ruang - Lokasi ruang harus bersebelahan dan satu lantai dengan kamar bersalin dan kamar operasi. - Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah sakit, terutama untuk menuju ruang rawat gabung (ruang perawatan ibu pasca lahir). - Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m 2 untuk setiap inkubator pasien dan perlengkapannya. - Ruang terdiri dari: o Area perawatan

27

o Ruang peracikan obat/ ruang obat o Ruang tindakan o Ruang perah ASI/ Area laktasi o Area konsultasi o Ruang administrasi o Ruang pencucian inkubator 1.2 Pencahayaan Secara umum nyaman, pencahayaan terang hanya disekitar inkubator untuk melaksanakan prosedur klinis pada bayi 1.3 Ventilasi Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal. Suhu ruangan dan kelembaban Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal 1.4 Sumber listrik: Minimal enam steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik. 1.5 Sumber oksigen dan udara pada dinding untuk satu inkubator 1.6 Sumber tekanan negatif untuk alat hisap dinding untuk satu inkubator 1.7 Kebersihan selalu terjaga setiap waktu 1.8 Lampu darurat 1.9 Jam dinding - Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik. 1.10 Area cuci tangan di pintu masuk ruang perawatan neonatus 1.11 Generator listrik darurat - Harus ada generator listrik cadangan yang dioperasikan jika pasokan listrik utama tidak ada. 2. Area perawatan: memiliki unit layangan neonatus tingkat II dan III. Satu unit layanan neonatus tingkat III, terdiri dari: 2.1 Perlengkapan menjaga jalan napas. Minimal dua alat penghisap lendir dinding atau portable lengkap dengan: Regulator pengukur tekanan negatif Selang penghisap Kateter penghisap nomor 6FR, 8FR 2.2 Pasokan oksigen dan udara Minimal dua sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase kadar oksigen yang optimal diinginkan. Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus. Setiap sumber oksigen dilengkapi dengan regulator aliran rendah dan alirang tinggi. Minimal dua sumber udara yang dilengkapi dengan selang menuju alat pencampur udara (blender). Persediaan udara tidak boleh terputus, harus tersedia terus menerus. Minimal satu alat pencampur oksige (blender oxygen) dengan regulatornya. 2.3 Alat bantu ventilasi: Harus ada alat ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIA): t-piece resuscitator CPAP dengan segala perlengkapannya.

2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9

Harus ada alat bantu ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIB): Ventilator mekanik konvensional. High Frequency Ventilatior High Frequency Oscillator Inkubator Radiant warmer Monitor bed-side Infusion pump Syringe pump Kursi kangaroo care dan perlengkapannya

28

2.10

Unit terapi sinar - Paling sedikit harus ada satu unit terapi sinar yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat tidur bayi 2.11 Timbangan bayi - Paling sedikit harus ada satu timbangan bayi yang berfungsi baik di setiap ruangan. 2.12 Stetoskop - Harus ada stetoskop yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat tidur bayi 2.13 Cairan pencuci tangan 2.14 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik, infeksius. 3. Area tempat meletakkan troley emergency dengan segala kelengkapan yang siap pakai 4. Ruang penyimpanan dan peracikan obat Memiliki lemari instrument tempat menyimpan bahan-bahan habis pakai dan obatobatan 4.1 Gaun 4.2 Masker 4.3 Sarung tangan 4.4 Alat suntik /spuit 1cc, 2,5 cc, 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50cc 4.5 Pipa minum, ukuran 5 Fr dan 8 Fr 4.6 Pipa penghisap lendir, ukuran 6 dan 8 Fr 4.7 Kanula, ukuran 22 dan 24 4.8 Kateter umbilikus, ukuran 3 ½, 5, 8 4.9 Masker oksigen neonatus 4.10 Head box / t-piece reuscitator 4.11 Penutup mata untuk terapi sinar 4.12 Popok sekali pakai (Pampers) 4.13 Penutup sepatu sekali pakai 4.14 Betadine/alkohol untuk disinfeksi 4.15 Kantung plastik untuk wadah sampah besar 4.16 Cairan infus Dextrose 5%, 10%, 40% NaCL 0,9%; NaCl 3% KCl 7,4% Ca glukonas 10% Ringer Lactate 4.17 Cairan nutrisi parenteral Solusio asam amino 6% Intralipid 20% 4.18 Antibiotik Ampisilin Gentamisin 4.19 Obat respirasi Aminofilin 4.20 Kardiotonik Dopamin Dobutamin Epinefrin 4.21 Lemari es 5. Ruang tindakan memiliki perlengkapan: 5.1 Meja atau tempat tidur untuk melakukan tindakan 5.2 Lampu tindakan 5.3 Cairan pencuci tangan 5.4 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik, infeksius. 6. Ruang konsultasi Mebel

29

6.1

Meja - Untuk keperluan komunikasi informasi dan edukasi - Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan. 6.2 Kursi - Harus ada tiga kursi yang berfungsi baik. 7. Ruang administrasi 7.1 Meja - Untuk keperluan administras - Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan. 7.2 Kursi - Harus ada kursi yang berfungsi baik.

E. Area laktasi 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi ruang - Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2. 1.2 Kebersihan 1.3 Pencahayaan 1.4 Ventilasi 1.5 Wastafel 2. Mebel 2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik, infeksius. 2.2 Kursi (1-3) -Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.

F. Area pencucian inkubator 1. Struktur Fisik 1.1 Spesifikasi ruang -Paling kecil, ruangan berukuran 6-8 m2. 1.2 1.3

Kebersihan Pencahayaan

1.4 1.5 1.6

Ventilasi Wastafel Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik, infeksius.

30

Gambar 7. Area pencucian inkubator

1.4 Uraian panduan prosedur registri morbiditas, mortalitas dalam pengelolaan rekam medik pasien; manajemen ATM; manajemen fasilitas, alat kesehatan dan obat-obatan 1. Panduan prosedur klinik 1.1 Panduan prosedur klinik, harus ada di unit perawatan neonatus, dan selalu di revisi minimal satu tahun sekali. Uraian secara rinci panduan klinis neonatologi diuraikan pada bab II. 2. Perangkat registri pasien, sistem informasi pasien 2.1 Perangkat registri pasien meliputi: • Buku register masuk dan keluarnya pasien lengkap dengan data mortalitas dan morbiditas. • Catatan medik pasien yang menggambarkan: o Alur pelayanan pasien menurut unit perawatan atau DPJP o Proses tatalaksana pasien lengkap mulai dari penegakkan diagnosis sampai pada tindakan prosedur yang diberikan. o Ringkasan akhir pasien yang menggambarkan diagnosis akhir pasien selama dirawat dan sebab kematian pasien apabila pasien meninggal o Ssurat rujukan pasien yang menyebutkan: ▪ Keadaan terakhir pasien, tunjangan yang diberikan untuk menjaga stabilisainya dalam proses rujukan ▪ Rumah sakit rujukan yang dituju • Rekapitulasi pencatatan dan pelaporan bulanan pasien di unit pelayanan neonatus. 2.2 Sistem database catatan medis pasien yang dapat diakses dan disimpan kembali setiap waktu 3. Aset tenaga manusia 3.1 Jumlah, gambaran tugas dan pembagian waktu

31

3.1.1

Pelayanan neonatus tingkat I di fasilitas kesehatan primer: seorang dokter sebagai DPJP yang bertanggung jawab selain untuk tatakelola klinis, juga memiliki tugas pokok dan fungsi untuk tatakelola manajemen dan program lintas sekoral berhubungan dengan sistem rujukan Pelayanan neonatus tingkat IIA, di rumah sakit tipe D dan tipe C: minimal seorang dokter spesialis anak yang dibantu oleh dokter, perawat dan bidan. • Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite medik: o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat II (pelayanan neonatal spesialistik) o Waktu kerja minimal 6 jam kerja on-site, 18 jam kerja on-call dengan pendelegasian kewenangan kepada dokter jaga. • Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran direktur rumah sakit • Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan setempat dan jajaran lintas sektoral terkait. Pelayanan neonatus tingkat IIIA, IIIB di rumah sakit tipe B: minimal seorang dokter spesialis anak dengan kompetensi tambahan dari pelatihan perawatan intensif neonatus yang dibantu oleh dokter, perawat dan bidan. • Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite medik: o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat III minimal didapat dari pelatihan tambahan pelayanan neonatus subspesialistik atau yang setingkat) o Idealnya ada DPJP dengan waktu kerja 24 jam on-site. Apabila jumlah tenaga tidak memadai dapat disesuaikan dengan kondisi setempat yang disetujui oleh komite medik dan disahkan oleh direktu RS setempat dengan adanya konsulen jaga on-call dengan pendelegasian kewenangan kepada dokter jaga. • Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran direktur rumah sakit • Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.

3.1.2

Pelayanan neonatus tingkat IIIC, IIID di rumah sakit tipe A: minimal seorang dokter spesialis anak konsultan neonatologi yang dibantu oleh dokter spesialis anak, dokter, perawat dan bidan. • Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite medik: o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat III yang didapat dari pendidikan subspesialistik/ konsultan neonatologi. o Idealnya ada DPJP dengan waktu kerja 24 jam on-site. Apabila jumlah tenaga tidak memadai dapat disesuaikan dengan kondisi setempat yang disetujui oleh komite medik dan disahkan oleh direktu RS setempat dengan adanya konsulen jaga on-call dengan pendelegasian kewenangan kepada dokter jaga. • Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran direktur rumah sakit • Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan setempat dan jajaran lintas sektoral terkait. Dokter yang melaksanakan tugas jaga dengan mendapat pendelegasian kewenangan dari DPJP /shift *

32

3.1.3

Proporsi perawat di pelayanan neonatus tingkat II: Satu perawat/ 3-4 inkubator/ shift Porporsi perawat di pelayanan neonatus tingkat III: Satu perawat/ 2 inkubator/ shift 3.2 Berikut ini adalah kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh petugas di pelayanan neonatus tingkat I, II dan III 3.2.1 Pelatihan manajemen neonatus tingkat II untuk dokter, dokter spesialis anak Pelatihan manajemen neonatus tingkat II untuk perawat 3.2.2 On the job training manajemen neonatal tingkat II untuk dokter, dokter spesialis anak On the job training manajemen neonatal tingkat II untuk perawat 3.2.3 Pelatihan manajemen neonatus tingkat III untuk dokter, dokter spesialis anak Pelatihan manajemen neonatus tingkat III untuk perawat 3.2.4 On the job training manajemen neonatal tingkat III untuk dokter, dokter spesialis anak On the job training manajemen neonatal tingkat III untuk perawat 3.2.5 Program pendidikan subspesialistik/ konsultan di bidang neonatologi 3.3. Program pendidikan kedokteran berkelanjutan di bidang neonatologi secara periodik 4. Manajemen perencanaan, pemeliharaan dan penggantian fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan obat-obatan

33

BAB II KODIFIKASI DIAGNOSIS DAN PROSEDUR NEONATOLOGI

2.1 Rujukan berjenjang Pada era JKN pelayanan kesehatan harus dilakukan berjenjang menurut tingkat kompetensi dan fasilitas pendukung. Dimulai dari pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan (faskes) tingkat primer dengan kompetensi dasar, faskes sekunder dengan kompetensi spesialis dan faskes tersier dengan kompetensi subspesialis. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan menyebutkan

bahwa

sistem

rujukan

pelayanan

kesehatan

merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horisontal. Pelayanan rujukan bisa dilakukan secara horisontal maupun vertikal. Rujukan horisontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan jika fasilitas kesehatan yang merujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap sedangkan rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi: 1. Terjadi keadaan gawat darurat (Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku)

34

2. Bencana (Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah) 3. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien;untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan. 4. Pertimbangan geografis 5. Pertimbangan ketersediaan fasilitas.

2.2 Sistem pembiayaan JKN Pembiayaan kesehatan merupakan bagian yang penting dalam implementasi JKN. Dalam Permenkes No 76 tahun 2016 disebutkan bahwa metode pembayaran program JKN menggunakan sistem case based payment (casemix). Sistem casemix adalah pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan mengacu pada ciri klinis yang mirip/sama dan penggunaan sumber daya/biaya perawatan yang mirip/sama. Pengelompokan dilakukan dengan menggunakan software grouper. Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun 2006 dengan nama INA-DRG (Indonesia- Diagnosis Related Group). Pada tanggal 31 September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur

dari

INA-DRG (Indonesia Diagnosis

Related Group) menjadi INA-CBG (Indonesia Case Based Group) yang sampai saat ini masih digunakan dalam pelaksanaan JKN. Tujuan sistem ini adalah dalam rangka pengendalian biaya kesehatan,

mendorong

peningkatan

membatasi

pelayanan

kesehatan

mutu yang

sesuai tidak

standar,

diperlukan,

mempermudah administrasi klaim, adanya kendali biaya. Beberapa pengertian terkait sistem INA-CBG sebagai metode pembayaran kepada FKRTL dalam pelaksanaan JKN : 1)

Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan 35

kesehatan 
agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah. 
 2)

Badan

Penyelenggara

Jaminan

Sosial

Kesehatan

yang

selanjutnya disingkat BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan. 
 3)

Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan. 


4)

Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat. 


5)

Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) meliputi klinik utama atau yang setara, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. 


6)

Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan adalah upaya

pelayanan

kesehatan

perorangan

yang

bersifat

spesialistik atau sub spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat inap di ruang perawatan khusus. 
 7)

Pelayanan Kesehatan Darurat Medis adalah pelayanan kesehatan yang harus diberikan secepatnya untuk mencegah kematian, keparahan, dan/atau kecacatan sesuai dengan

36

kemampuan fasilitas kesehatan. 
 8)

Pelayanan

Kesehatan

adalah

pelayanan

kesehatan

komprehensif yang meliputi pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kesehatan darurat medis,

pelayanan

penunjang

dan

atau

pelayanan

kefarmasian. 
 9)

Pelayanan rawat inap adalah pelayanan kepada pasien untuk observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya dengan menempati tempat tidur. 


10)

Sumber daya adalah segala dukungan berupa material, tenaga, pengetahuan, teknologi dan/atau dukungan lainnya yang

digunakan

untuk

menghasilkan

manfaat

dalam

pelayanan kesehatan. 
 11)

Peserta bayi baru lahir dalam JKN menurut Pasal 16 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan adalah apabila didaftarkan kepada BPJS Kesehatan paling lama 28 hari setelah dilahirkan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan membayar

klaim atas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dengan sistem kapitasi dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) dengan sistem paket INA-CBGs yang menganut sistem prospectife payment. Pembayaran pelayanan kesehatan dengan menggunakan sistem di luar paket INA-CBGs terhadap FKRTL berdasarkan pada ketentuan Menteri Kesehatan. Semua faskes meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan gawat daruratnya teratasi

37

dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak

menjalin

kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut. Dengan

sistem

pembiayaan

prospectife

payment

ini,

manajemen Rumah sakit (RS) harus melakukan efisiensi pada sisi input dan melakukan subsidi silang dari biaya pelayanan lain yang surplus. Rumah Sakit membayar jasa dokter yang layak dan sesuai dengan kaidah. Namun demikian, efisiensi yang diterapkan dalam pelayanan Rumah sakit harus tetap mempertahankan mutu dan wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran sebagaimana disebutkan dalam Undang–Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 . Standar pelayanan kedokteran di rumah sakit atau disebut Panduan Praktik Klinik (PPK) disusun mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) atau pustaka mutakhir dan dengan menyesuaikan kondisi setempat. Panduan Praktik Klinik dibuat oleh staf medis setiap departemen atau divisi dibawah koordinasi komite medis dan baru dapat dilaksanakan setelah diresmikan oleh

direksi. Dalam PPK terdapat hal-hal yang

memerlukan rincian langkah demi langkah. Sesuai dengan karakteristik permasalahan serta kebutuhan pelayanan maka disusun pula clinical pathway (CP) untuk mendukung kesuksesan pelayanan kesehatan. Menurut

Peraturan

1438/PER/MENKES/IX/2010

Menteri tentang

Kesehatan Standar

RI

No.

Pelayanan

Kedokteran yang menyebutkan bahwa setiap rumah sakit membuat Standar Prosedur Operasional dalam bentuk PPK, maka RS

38

memiliki

kewajiban

dalam

menyusun

CP

demi

menunjang

pelayanan kesehatan yang efisien dan berkualitas. Clinical Pathway adalah dokumen perencanaan pelayanan kesehatan terpadu yang merangkum pelayanan yang dilakukan pada pasien mulai masuk sampai keluar RS berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan dan standar pelayanan tenaga kesehatan lainnya yang berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur. Tujuan CP antara lain : memfasilitasi penerapan clinical guide dan audit klinik dalam praktek, memperbaiki komunikasi dan perencanaan multidisiplin, mencapai atau melampaui standar mutu yang ada, mengurangi variasi yang tidak diperlukan dalam praktek klinik, memperbaiki komunikasi antara klinisi dan pasien, meningkatkan kepuasan pasien, identifikasi masalah riset dan pengembangan.

2.3 Proses klaim, persyaratan dan permasalahannya Dalam era pelaksanaan JKN saat ini pengisian rekam medik yang lengkap menjadi hal yang sangat penting. Ringkasan pulang atau resume medik terdapat rincian diagnosis pasien selama dalam pelayanan yang merupakan dasar bagi petugas koding untuk menetapkan kode diagnosis yang pada akhirnya mempengaruhi tarif INA-CBGs. Menurut Permenkes No 76 Tahun 2016 Tentang Petunjuk Teknis INA-CBGs, Tarif INA-CBGs merupakan besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FKRTL atas paket layanan

yang

diberikan

didasarkan

kepada

pengelompokan

diagnosis dan prosedur. Penulisan diagnosis seorang pasien adalah tanggung jawab dokter yang merawat dan tidak boleh diwakilkan. Formulir resume medik merupakan salah satu formulir yang sangat penting dalam menilai mutu suatu rekam medik. Resume medik digunakan oleh tim koder rumah sakit untuk memberikan kode

39

diagnosis atau mengkoding yang akan menentukan besaran pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan. Menurut Petunjuk Teknis dari Pedoman Pelaksanaan Badan Penyelenggara

Jaminan

Sosial

Kesehatan,

Panduan

Praktis

Administrasi Klaim Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan, klaim diajukan

kepada

kantor

cabang/kantor

operasional

kabupaten/kota BPJS kesehatan secara kolektif setiap bulan dengan kelengkapan administrasi umum antara lain sebagai berikut: 1. Rekapitulasi pelayanan 2. Berkas pendukung masing-masing pasien, yang terdiri dari: •

Surat eligibilitas peserta (SEP)



Surat perintah rawat inap

3. Resume medis yang ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP) 4. Bukti pelayanan lain yang ditandatangani oleh DPJP (bila diperlukan), misal: •

Laporan operasi



Protokol

terapi

dan

regimen

(jadwal

pemberian

obat)

pemberian obat khusus •

Perincian tagihan rumah sakit



Berkas pendukung lain yang diperlukan Dalam alur baku, setelah selesai pelayanan dalam satu

bulan,

kemudian RS menyusun dan mengajukan berkas klaim.

Pekerjaan menyusun berkas klaim ini dilakukan oleh pihak RS dengan menyertakan proses verifikasi internal oleh stafnya untuk selanjutnya berkas klaim diserahkan untuk diverifikasi oleh verifikator eksternal dari BPJS Kesehatan. Dalam proses verifikasi oleh BPJS Kesehatan, sebagian berkas tidak langsung disetujui dan

40

dapat dikembalikan ke RS untuk diperbaiki dan dilengkapi, sementara proses klaim akan ditunda (pending claim). Bila sudah dilengkapi namun masih belum disetujui, sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat atau persepsi antara verifikator internal RS dan eksternal (BPJSK), dan

masuk dalam “Dispute Claim”.

Terhadap dispute claim ini, dapat dicari jalan keluar dengan dilakukan diskusi bersama Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB), Dewan pertimbangan Medis (DPM), Dewan Pertimbangan Klinis/ Clinical Advisory Board (CAB) yang difasilitasi oleh BPJS Kesehatan mulai dari level cabang sampai pusat. Beban verifikasi oleh BPJS Kesehatan makin berat seiring bertambah banyaknya jumlah peserta JKN , jumlah Faskes dan variasi kasus penyakit. Untuk standarisasi dan percepatan proses verifikasi, BPJS Kesehatan mengembangkan sistem Verifikasi di Kantor (Vedika), yaitu sebuah sistem untuk proses verifikasi dan klaim dari Fasilitas Kesehatan, salah satu tujuan vedika adalah untuk mengurangi kegiatan yang dioperasikan secara manual. Beberapa hal tentang Vedika adalah sebagai berikut: 1. Dilakukan di kantor cabang BPJS Kesehatan 2. Dilakukan oleh verifikator BPJS Kesehatan dan Verifikator Internal Rumah Sakit 3. Verifikasi Administrasi dilakukan pada seluruh klaim 4. Verifikasi pelayanan hanya sampling klaim 5. Klaim yang masuk, langsung secara menyeluruh setiap bulanan hal ini akan meminimalisir adanya klaim susulan 6. Rumah Sakit juga berperan aktif dalam melakukan verifikasi dengan verifikator internal rumah sakit 7. Rumah Sakit juga melakukan audit klaim (post review claim) 8. Rumah Sakit membuat Surat tanggung jawab mutlak dalam pengajuan klaim oleh FKTL

41

9. Lama waktu verifikasi sampai pembayaran sama (15 hari) di setiap daerah 10.

Konfirmasi klaim dilakukan baik ke Rumah Sakit dan ke

Peserta

42

Gambar 8. Kaidah penulisan resume medik sesuai National Casemix Center (NCC)

43

Hal hal yang dapat menjadi kendala proses klaim BPJS 1. Penulisan diagnosis pada form casemix tidak sesuai dengan resume medis. 2. Kesalahan penempatan penulisan diagnosis utama dengan diagnosis sekunder 3. Ketidaklengkapan berkas rekam medis, misalnya : Tidak ada laporan operasi / tindakan medis lainnya dan hasil penunjang diagnosis . 4. Resume medis tidak lengkap, misalnya : •

Diagnosis dan prosedur tidak terisi



Tanda tangan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) tidak ada.

5. Ketidaklengkapan berkas klaim 6. Perbedaan persepsi terhadap peraturan dan verifikasi klaim antara petugas BPJS dengan petugas RS (Diagnosis penyakit dan tindakan, kelengkapan berkas klaim, dan lain lain).

2.4 Manfaat rekam medis Manfaat

rekam

medis

berdasarkan

Permenkes

Nomor

269/MenKes/Per/III/2008, tentang rekam medis adalah sebagai berikut: 1. Pengobatan. Rekam medis bermanfaat sebagai dasar dan petunjuk untuk merencanakan dan menganalisis penyakit serta merencanakan pengobatan, perawatan dan tindakan medis yang harus diberikan kepada pasien 2. Peningkatan kualitas pelayanan. Membuat

Rekam

Medis

bagi

penyelenggaraan

praktik

kedokteran dengan jelas dan lengkap akan meningkatkan

44

kualitas pelayanan, untuk melindungi tenaga medis dan untuk pencapaian kesehatan masyarakat yang optimal. 3. Pendidikan dan penelitian. Rekam

medis

yang

merupakan

informasi

perkembangan

kronologis penyakit, pelayanan medis, pengobatan dan tindakan medis, bermanfaat untuk bahan informasi bagi perkembangan pengajaran dan penelitian di bidang profesi kedokteran dan kedokteran gigi. 4. Pembiayaan. Berkas rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk menetapkan pembiayaan dalam pelayanan

kesehatan pada

sarana kesehatan. Catatan tersebut dapat dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien. 5. Statistik kesehatan. Rekam medis dapat digunakan kesehatan,

khususnya

untuk

sebagai bahan statistik mempelajari

perkembangan

kesehatan masyarakat dan untuk menentukan jumlah penderita pada penyakit- penyakit tertentu 6. Pembuktian masalah hukum, disiplin dan etik. Rekam medis merupakan alat bukti tertulis utama, sehingga bermanfaat dalam penyelesaian masalah hukum, disiplin dan etik. Salah satu tujuan dari rekam medis adalah pembiayaan rumah sakit, dilaksanakannya program JKN mulai tanggal 1 Januari 2014 diterapkan metode pembayaran prospektif dengan INA-CBGs, maka ketepatan koding diagnosis dan prosedur sangat berpengaruh terhadap hasil grouper dalam aplikasi INA-CBG. Kodefikasi diagnosis dan tindakan/prosedur yang ditulis oleh dokter selama merawat pasien sesuai dengan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9CM untuk tindakan/prosedur yang bersumber dari rekam medis

45

pasien dan dilakukan oleh Perekam medis atau petugas Casemix. Perekam Medis dan dokter harus paham ICD 10 dan ICD 9- CM. Perekam medis harus selalu berkoordinasi dengan dokter bila menemukan

ketidakjelasan

dalam

penulisan

diagnosis.

Ketidaktepatan dalam pengkodean, dapat menyebabkan kerugian finansial

berdampak

pada

perhitungan

biaya

rumah

sakit.

Kodefikasi diagnosis dan tindakan/ prosedur di bidang Neonatologi dapat dilihat pada Lampiran 1.

46

BAB III PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN Pedoman nasional pelayanan kedokteran (PNPK) merujuk pada PerMenKes Nomor 1438/MenKes/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran. Standar pelayanan kedokteran bertujuan untuk memberikan jaminan kepada pasien memperoleh pelayanan kedokteran yang berdasarkan pada nilai ilmiah sesuai dengan kebutuhan medis pasien. Disamping itu, untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kedokteran yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi. Untuk itu Pedoman nasional pelayanan kedokteran (PNPK) secara umum diperlukan apabila : • Jumlah kasus banyak (high volume) • Mempunyai resiko tinggi (high risk) • Cenderung memerlukan biaya tinggi atau banyak sumber praktisi untuk penanganan kasus yang sama. Pada periode 2018 ada tiga PNPK di bidang neonatologi yang sudah ditanda tangani oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia yaitu: 1. PNPK bayi berat lahir rendah (BBLR) untuk resusitasi, stabilisasi dan transport. 2. PNPK asfiksia 3. PNPK hiperbilirubinemia.

47

1. PNPK BBLR: Resusitasi, Stabilisasi dan Transport Neonatus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Angka kematian bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi sampai usia satu tahun, per 1000 kelahiran hidup.1 Dalam masalah mortalitas bayi kita mengenal istilah the two third rule atau aturan 2/3, yang maksudnya 2/3 AKB berasal dari angka kematian neonatus. Berikutnya dari angka kematian neonatus, 2/3 kematian terjadi dalam usia kurang dari 1 minggu, dan 2/3 dari angka tersebut meninggal dalam 24 jam pertama.2,3 Dengan demikian aturan ini memperlihatkan bahwa kematian neonatus merupakan komponen utama kematian bayi dan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya AKB.1,4 Di Indonesia, Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan AKB sebesar 22,23 per 1.000 kelahiran hidup, yang artinya sudah mencapai target MDG 2015 sebesar

23 per

1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian neonatus (AKN) 19 per 1.000 kelahiran hidup tidak berbeda jauh dengan SDKI tahun 2007 yaitu 20 per 1.000 kelahiran.5 Bayi berat lahir rendah (BBLR) memiliki mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi berat lahir normal, tidak hanya pada periode neonatal melainkan juga selama masa bayi dan masa anak. Angka kelahiran BBLR di dunia adalah 15,5% atau sekitar 20 juta bayi setiap tahunnya. Sebanyak 95,6% kelahiran BBLR terjadi di negara berkembang dan 18,3% di antaranya terjadi di Asia.4,6 Berat lahir rendah menurut World Health Organization (WHO) adalah berat lahir <2500 g. Batasan 2500 g ini berdasarkan data

48

epidemiologis bahwa bayi dengan berat <2500 g berisiko mengalami kematian 20 kali lebih besar dibanding bayi dengan berat >2500 g.7 Berat lahir rendah dapat terjadi akibat kelahiran prematur (kurang dari usia gestasi 37 minggu), pertumbuhan janin yang terhambat, atau keduanya.6,7 Berat lahir rendah sangat berpengaruh terhadap tingginya mortalitas dan morbiditas masa neonatal serta gangguan pertumbuhan dan perkembangan.8-10 Besaran masalah ekonomi yang timbul akibat berat lahir rendah tergambar dari satu analisis biaya di Kanada (1995). Untuk tiap BBLR, biaya perawatan selama satu tahun pertama termasuk perawatan NICU adalah $48.183. Khusus BBLR yang lahir prematur, biaya untuk menghadapi berbagai disabilitas permanen akibat berbagai masalah perinatal adalah $676.800.11 Di Amerika Serikat pembiayaan kesehatan BBLR ini mencapai 10% dari seluruh pembiayaan kesehatan bagi populasi anak usia 0-15 tahun,12 dengan

laporan

biaya

medis,

pendidikan,

dan

kehilangan

produktivitas orangtua berkisar $ 26.2 milyar.13 Italia mendapatkan data rata-rata biaya perawatan bayi berat lahir sangat rendah €20,502 (standar deviasi= SD €8409) dengan rata-rata lama rawat 59,7 hari (SD 21,6 hari).14 1.2. Permasalahan Upaya menurunkan angka kejadian BBLR senantiasa dilakukan, terutama dari aspek nutrisi selama kehamilan. Namun upaya tersebut masih belum berhasil menurunkan angka kejadian BBLR secara bermakna, bahkan di negara maju sekalipun.15 Demikian pula di Indonesia, jika diamati dari bayi lahir, prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berkurang dari 11,1 persen tahun 2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013.16

49

Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada ibu hamil dapat menyebabkan Kurang Energi Kronis (KEK). Ibu hamil dengan KEK berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Anemia pada ibu hamil dihubungkan dengan meningkatnya kelahiran prematur, kematian ibu dan anak dan penyakit infeksi. Anemia defisiensi besi pada ibu dapat memengaruhi pertumbuhan dan

berkembangan

janin/bayi

saat

kehamilan

maupun

setelahnya.17 Di Indonesia, berat lahir rendah akibat kurang bulan adalah penyebab nomor 3 kematian masa perinatal di rumah sakit pada tahun 2005.18 Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan (2007) menyebutkan kematian bayi baru lahir usia 0-6 hari paling banyak disebabkan

oleh

gangguan

pernapasan/asfiksia

(37%),

prematuritas (34%), dan sepsis (12%).19 Hal ini menunjukkan bahwa upaya resusitasi dan mengatasi gangguan pernapasan di awal kehidupan atau segera pasca-lahir merupakan faktor penting dalam menurunkan mortalitas bayi baru lahir. Tata laksana saat kelahiran BBLR sangat menentukan prognosis, bukan saja dalam harapan hidup, melainkan juga dalam morbiditas jangka panjang. Meta-analisis oleh Laswell et al20 (2010) menunjukkan bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi dengan berat lahir <1500 g, memiliki risiko kematian yang lebih tinggi jika lahir bukan di rumah sakit dengan fasilitas perawatan neonatal level III. Morbiditas BBLSR tersebut juga meningkat, hal ini

berhubungan

dengan

tingginya

kejadian

perdarahan

intraventrikular dan leukomalasia periventrikular, yang berkaitan dengan kelainan perkembangan saraf.21 Studi morbiditas jangka panjang lainnya dilakukan oleh Ribeiro et al.22 (2011) terhadap 1288 subyek BBLR (<2500 g) dengan usia gestasi <38 minggu, dan menyimpulkan bahwa berat lahir

50

rendah

bersama

prematuritas

merupakan

risiko

gangguan

berbahasa pada usia 18-36 bulan. Studi oleh Robertson et al.23 (2009) pada 1279 anak yang lahir sangat prematur (usia gestasi ≤28 minggu dan berat lahir <1250 g), menemukan ketulian pada 3,1% kasus serta gangguan pendengaran sedang dan berat pada 1,9% kasus. Studi tersebut menyimpulkan bahwa penggunaan oksigen jangka lama merupakan faktor prediktor yang paling penting untuk terjadinya gangguan pendengaran. Kesintasan BBLR kini makin baik berkat penggunaan surfaktan

dan

steroid

maternal,

serta

kemajuan

teknologi

perawatan neonatal dalam 50 tahun terakhir.24 Di negara maju bahkan viabilitas BBLR dapat tercapai mulai kelahiran usia gestasi 23 minggu.25 Meskipun mortalitas menurun, proporsi BBLR hidup yang kemudian mengalami gejala sisa berat seperti penyakit paru kronik,26,27 kelainan ginjal,28,29 gangguan kognitif dan gangguan perilaku,30 palsi serebral, serta defisit neurosensorik termasuk kebutaan31 dan ketulian26 ternyata tetap besar. Komplikasi akut pada masa perinatal dapat berakibat gejala sisa berat pada jangka panjang dan memengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarganya.32 Bayi berisiko seperti BBLR harus ditangani di fasilitas perawatan yang sesuai dengan kebutuhan medisnya, sehingga memfasilitasi tercapainya luaran yang optimal. American

Academy

of

Pediatrics

(AAP)

merekomendasikan

pembagian level perawatan bayi baru lahir menjadi level I, II, dan III berdasarkan

tingkat

kemampuan

fasilitas

tersebut

dalam

menangani bayi baru lahir.33 Level I (pelayanan neonatal dasar) mampu melakukan stabilisasi dan merawat bayi baru lahir usia gestasi 35-37 minggu yang secara fisiologis stabil, serta stabilisasi usia gestasi <35 minggu maupun bayi baru lahir sakit sampai dapat dirujuk ke

51

fasilitas perawatan yang memadai. Level II (pelayanan neonatal spesialistik) mampu merawat bayi baru lahir usia gestasi >32 minggu dan berat lahir >1500 g yang memiliki fungsi fisiologis yang imatur (apne of prematurity, tidak mampu mempertahankan suhu tubuh, dan tidak mampu menerima diet per oral (PO), sakit sedang dengan masalah yang diperkirakan akan membaik dalam waktu singkat dan tidak akan memerlukan perawatan subspesialistik, serta

dalam

(pelayanan

pemulihan neonatal

pasca-perawatan

subspesialistik)

intensif.

adalah

NICU

Level

III

dengan

kelengkapan petugas dan peralatan yang mampu menyediakan continuous life support dan perawatan yang komprehensif untuk bayi baru lahir berisiko sangat tinggi serta bayi dengan sakit kompleks dan kritis.34 Level IV (pelayanan neonatal subspesialistik) mampu menangani kasus di level III dan dapat menangani kasus kelainan kongenital kompleks atau kelainan didapat. Di level IV kasus-kasus bedah subspesialis dapat segara ditangani dengan adanya tenaga konsultan pediatrics anesthesiologist dan konsultan bedah anak on site.35 Idealnya tindakan merujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih baik dilakukan pada ibu hamil berisiko tinggi, sehingga bayi yang lahir bermasalah segera memperoleh penanganan yang memadai di NICU. Faktanya mayoritas kelahiran bayi bermasalah termasuk BBLR

terjadi

di

pelayanan

kesehatan

tanpa

fasilitas

yang

memadai.36,37 Pada 30-50% kasus bayi lahir yang akhirnya memerlukan perawatan NICU, ibu hamil baru datang ke fasilitas kesehatan pada masa intrapartum akhir, sehingga tindakan merujuk ibu pada saat itu justru akan berisiko.38 Riskesdas 2013 mendapatkan anemia terjadi pada 37,1% ibu hamil di Indonesia, 36,4% ibu hamil di perkotaan dan 37,8% ibu hamil di perdesaan.17

52

Mortalitas koordinasi

yang

BBLR

akan

baik

antara

berhasil

diturunkan

pelayanan

jika

kesehatan

ada

berbasis

komunitas dengan rumah sakit. Bayi prematur yang bermasalah dapat mengalami kematian akibat ketiadaan fasilitas, SDM, dan mekanisme

merujuk

yang

memadai

dari

pelayanan

tingkat

komunitas sampai dengan pelayanan Level III. Koordinasi yang komprehensif antar pelayanan kesehatan mutlak diperlukan untuk mengurangi kematian neonatus.39-46 Faktor yang berpengaruh buruk terhadap kesintasan BBLSR terdiri atas kelahiran sebelum tiba di rumah sakit,40 skor APGAR rendah,41-46 tidak bernapas spontan di ruang bersalin,43 intubasi di ruang bersalin,47-49 memerlukan kompresi dada atau adrenalin di ruang bersalin,42 resusitasi di ruang bersalin,47 respiratory distress syndrome (RDS),47 hipotensi,42 dan penggunaan nasal continuous positive airway pressure

(NCPAP).42

Sedangkan

faktor

yang

berpengaruh memperbaiki kesintasan BBLR adalah kelahiran di fasilitas kesehatan tersier.48,49 Faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa upaya resusitasi neonatus yang tepat akan memengaruhi luaran BBLR. Pada BBLR yang stabil, tata laksana selanjutnya adalah di ruang rawat gabung. Untuk BBLR bermasalah misalnya mengalami ancaman gagal napas, gagal sirkulasi atau syok, dan kelainan kongenital berat, maka tata laksana berikutnya adalah merujuk ke ruang rawat bayi berisiko tinggi atau ke rumah sakit lain dengan fasilitas unit perinatal yang lengkap.34,38 Bayi berat lahir sangat rendah yang memperoleh perawatan NICU (meskipun tidak lahir di fasilitas level III tetapi mengalami rujukan), kesintasannya lebih tinggi 21% dibandingkan dengan BBLSR

yang

tidak

dirawat

di

NICU.50

Studi

epidemiologi

menunjukkan bahwa BBLSR yang lahir di rumah sakit yang

53

mempunyai fasilitas level III, mencapai kesintasan yang lebih tinggi hingga 51% dibandingkan dengan BBLSR yang lahir di level perawatan neonatal yang lebih rendah atau BBLSR yang mengalami rujukan.20 Dengan demikian perawatan di NICU adalah penting untuk kesintasan BBLR, demikian pula merujuk kasus BBLSR yang bermasalah. Dalam mengerjakan mekanisme merujuk, tenaga kesehatan harus terlebih dahulu memastikan bahwa BBLR dalam kondisi yang sudah stabil. Pedoman ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi langkah-langkah yang dapat dikerjakan di fasilitas kesehatan primer hingga tersier dalam menangani kelahiran BBLR, dalam lingkup resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme merujuk. Dengan penerapan

rekomendasi

ini,

BBLR

diharapkan

mendapat

penanganan yang optimal sesuai degan kondisinya, menurunkan morbiditas neonatus, dan mengurangi risiko gejala sisa, sehingga BBLR yang hidup akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik. 1.3. Tujuan 1.3.1.Tujuan umum Menurunkan mortalitas dan morbiditas BBLR. 1.3.2.Tujuan khusus a. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan pada bukti ilmiah (scientific evidence), untuk membantu dokter, bidan, dan perawat tentang tata laksana BBLR dalam

fase

resusitasi,

stabilisasi,

dan

mekanisme

merujuk. b. Memberi rekomendasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan primer sampai dengan tersier serta penentu kebijakan untuk penyusunan protokol setempat atau Panduan

54

Praktik Klinis (PPK), dengan melakukan adaptasi terhadap Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini. 1.4. Sasaran 1) Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses kelahiran BBLR, termasuk dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan primer sampai dengan tersier. 2) Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta kelompok profesi terkait.

55

BAB II METODOLOGI 2.1. Penelusuran kepustakaan Penelusuran

bukti

sekunder

berupa

meta-analisis,

telaah

sistematik, ataupun guidelines berbasis bukti sistematik dilakukan pada situs Cochrane Systematic Database Review, Bandolier (http://www.medicine. ox.ac.uk/bandolier/), dan ACP Journal Club (http://www.acpjc.org/) memakai kata kunci “low birth weight” pada judul artikel yang dipublikasikan dalam 15 tahun terakhir, dan menghasilkan 50 artikel. Setelah dilakukan penelaahan lebih lanjut terhadap judul dan abstrak, 3 artikel dianggap relevan dengan topik “Manajemen BBLR resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme merujuk”. Penelusuran bukti primer dilakukan pada mesin pencari TRIP database

(www.tripdatabase.com)

dan

Pubmed.

Pencarian

mempergunakan kata kunci “low birth weight” yang terdapat pada judul artikel, dengan batasan publikasi bahasa Inggris dan dalam waktu 15 tahun terakhir, menghasilkan 7045 artikel. Setelah penelaahan lebih lanjut terhadap judul dan abstrak, sebanyak 36 artikel dianggap relevan dengan topik PNPK ini. 2.2. Penilaian – telaah Kritis Pustaka Setiap evidence yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis oleh dua pakar dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak. 2.3. Peringkat bukti (hierarchy of evidence) Levels of

evidence

ditentukan

berdasarkan

klasifikasi

yang

dikeluarkan oleh Oxford Centre for Evidence-based Medicine Levels

56

of Evidencei yang dimodifikasi untuk keperluan praktis, sehingga peringkat bukti adalah sebagai berikut: IA metaanalisis, telaah sistematik IB uji klinis yang besar dengan validitas yang baik IC all or none II uji klinis tidak terandomisasi III studi observasional (kohort, kasus kontrol) IV konsensus dan pendapat ahli 2.4. Derajat rekomendasi Berdasarkan

peringkat

bukti,

rekomendasi/simpulan

dibuat

sebagai berikut: 1) Rekomendasi A bila berdasar pada bukti level IA atau IB. 2) Rekomendasi B bila berdasar atas bukti level IC atau II. 3) Rekomendasi C bila berdasar atas bukti level III atau IV.

57

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Bayi berat lahir rendah adalah bayi dengan berat lahir (BBLR) <2500 g.8,10 Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi berat lahir <1500 g dan bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) adalah bayi berat lahir <1000 g. Makin rendah usia gestasi dan makin rendah berat lahir bayi, makin berat pula stres fisiologis dan inflamasi yang dapat dialaminya. Respons tubuh terhadap stres pada masing-masing kelompok BBLR berdasarkan penggolongan berat lahir berbeda-beda,24 oleh sebab itu dalam tata laksana resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme merujuk pada tiap kelompok tersebut juga berbeda. 3.1. RESUSITASI Sekitar 10% bayi membutuhkan intervensi bantuan untuk mulai bernapas saat lahir dan 1% membutuhkan intervensi yang lebih ekstensif.51 Panduan baru untuk resusitasi bayi baru lahir disusun oleh The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR), American Heart Association (AHA), American Academy of Paeditrics (AAP) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2017 dan menyatakan kunci kesuksesan resusitasi bayi baru lahir adalah ventilasi

yang

efektif.18,52,53

Rekomendasi

utama

resusitasi

neonatus menurut ILCOR, AHA 2015 dan IDAI 2017 adalah sebagai berikut (Gambar 1) yaitu:ii • Setiap usaha resusitasi neonatus harus didahului oleh persiapan yang baik. Persiapan resusitasi meliputi konsultasi antenatal, persiapan tim penolong dan persiapan tempat beserta alat-alat resusitasi.54-56

58

• Penilaian awal kondisi bayi sesaat setelah dilahirkan akan menentukan perlu tidaknya resusitasi neonatus. Penilaian ini berupa penilaian tonus otot dan usaha nafas. Jika terdapat tonus otot atau usaha napas yang buruk

maka bayi harus segera

mendapat resusitasi.18 • Resusitasi harus selalu didahului oleh langkah awal yang terdiri dari meletakkan bayi dibawah infant warmer, membersihkan jalan napas jika terdapat sumbatan, mengeringakan dan merangsang

taktil

dan

memosisikan

bayi

dalam

posisi

menghidu.18,57 • Tindakan resusitasi selanjutnya setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua tanda vital, yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan. Oksimetri digunakan untuk menilai oksigenasi

karena

penilaian

warna

kulit

tidak

dapat

diandalkan.57 • Apabila bayi tidak bernapas (apnea) ataupun bernapas sangat lemah (gasping) maka ventilasi tekanan positif yang efektif harus segera dilakukan sesegera mungkin.57 • Resusitasi bayi cukup bulan lebih baik dilakukan dengan udara kamar (FiO2 21%) oksigen konsentrasi rendah (FiO2 30%) untuk neonatus dengan usia kehamilan kurang dari 35 minggu.58,59 • Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended oxygen), dan pengaturan konsentrasi oksigen berdasarkan panduan oksimetri.18 • Bukti yang ada tidak menganjurkan

dilakukannya pengisapan

trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur mekonium,

bahkan

pada

bayi

dalam

keadaan

tidak

bugar/depresi (lihat keterangan pada Langkah Awal).60 •

Rasio kompresi dada dan ventilasi efektif adalah 3 banding 1.61-66

59

• Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau mendekati cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai panduan.58 • Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10 menit. Banyak faktor berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10 menit.67-71 • Penjepitan tali pusat harus ditunda sedikitnya 30 detik sampai 3 menit untuk bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Tidak terdapat cukup bukti

untuk merekomendasikan lama waktu

penjepitan talipusat pada bayi yang memerlukan resusitasi.51,54

60

Gambar 1. Algoritma resusitasi bayi baru lahir rekomendasi IDAI.18

61

Rekomendasi AHA modifikasi IDAI (2017)18 menyatakan bahwa kita dapat melakukan penilaian cepat pada bayi baru lahir, yaitu memutuskan seorang bayi memerlukan resusitasi atau berdasarkan dua karakteristik berikut: 1) Menangis atau bernapas? 2) Tonus otot baik? Penilaian usia kehamilan sesuai rekomendasi AHA tidak diprioritaskan karena memerlukan ketrampilan khusus dan waktu dalam menilai usia kehamilan. Jika jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah “ya”, maka bayi memerlukan perawatan rutin, tidak memerlukan resusitasi dan tidak boleh dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diposisikan kontak kulit dengan kulit (skin-to-skin) pada ibu, dan diselimuti dengan linen kering untuk mempertahankan temperatur. Selanjutnya tenaga kesehatan tetap melakukan pemantauan pernapasan, aktivitas, dan warna bayi.18 Jika ada jawaban “tidak” dari kedua pertanyaan tersebut, maka langkah yang harus dikerjakan berikutnya secara umum serupa dengan rekomendasi oleh ILCOR, AHA, AAP dan IDAI yaitu dilakukan satu atau lebih tindakan secara berurutan di bawah ini:72-74 A. Langkah awal

memberikan kehangatan, membersihkan jalan

napas jika diperlukan, mengeringkan, dan memberi stimulasi B. Ventilasi tekanan positif yang efektif jika bayi apnea atau pertimbankan pemberian CPAP jika bayi mengalami sesak napas C. Kompresi dada D. Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume. Waktu 60 detik (the Golden Minute) diberikan untuk melengkapi langkah awal, menilai kembali, dan memulai ventilasi. Tindakan lanjut meneruskan ventilasi dengan meningkatkan

62

oksigenisasi pada 30 detik berikut, dan apabila tidak berhasil dilanjutkan dengan 60 detik berikut dengan tambahan tindakan kompresi dada. Empat langkah tersebut dilakukan secara simultan. Keputusan petugas resusitasi untuk melanjutkan dari satu langkah ke langkah berikutnya adalah berdasarkan evaluasi laju denyut jantung, usaha napas pernapasan dan tonus otot.18 Petugas resusitasi maju ke langkah berikutnya jika langkah sebelumnya sudah dikerjakan dengan baik. Berikut adalah penjelasan untuk tiap-tiap langkah tersebut di atas: 1. Langkah awal Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan bayi di bawah penghangat atau radiant warmer, memosisikan bayi pada posisi menghidu (posisi setengah ekstensi) untuk membuka jalan napas, membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan memberi stimulasi napas. Penggunaan topi dan plastik transparan yang menutupi bayi (BBLSR) sampai leher dapat digunakan untuk mencegah kehilangan panas tubuh secara konveksi dan evaporasi.18,54 Membersihkan jalan napas atas dilakukan sebagai berikut: •

Jika cairan amnion jernih, pengisapan langsung pada orofaring segera setelah lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya dilakukan pada bayi yang mengalami obstruksi napas dan yang memerlukan VTP.75,76



Jika terdapat mekonium dan bayi tidak bugar atau depresi, bukti yang ada tidak menganjurkan

pengisapan trakea

secara rutin.60 2. Ventilasi tekanan positif Pimpinan resusitasi harus segera memberikan VTP

bila bayi

mengalami apne atau gasping, atau laju denyut jantung <100

63

per menit. Ventilasi tekanan positif (VTP) yang dilakukan harus efektif sehingga mampu mengembalikan usaha napas hampir semua bayi baru lahir yang apne atau bradikardia. Ventilasi tekanan positif

yang efektif

ditandai dengan pengembangan

dada, peningkatan laju denyut jantung dan peningkatan saturasi pada monitor saturasi (SpO2).18,57 Sebaiknya VTP yang efektif sudah teridentifikasi paling lama 15 detik pasca VTP dimulai oleh asisten sirkulasi. Pimpinan resusitasi harus menghentikan VTP jika teridentifikasi tidak efektif dan mulai melakukan langkah koreksi. Langkah koreksi yang dilakukan agar VTP menjadi efektif adalah sebagai berikut : reposisi sungkup agar perlekatan menjadi sempurna dan tidak bocor, reposisi kepala menjadi posisi menghidu, membersihkan saluran napas dari lendir yang menyumbat, membuka mulut agar lebih terbuka, menaikkan tekanan puncak inspirasi secara bertahap namun tidak lebih dari 40 cmH2O dan lakukan pemasangan sungkup laring atau intubasi orotrakeal sebagai jalan akhir.54 Apabila dalam 30 detik VTP efektif tidak berhasil meningkatkan laju denyut jantung di atas 60x/menit, maka segera lakukan intubasi endotrakeal atau pemasangan sungkup laring dan tingkatkan pemberian oksigen menjadi 100%.57 3. Kompresi dada Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung <60 denyut per menit setelah ventilasi dilakukan secara efektif selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio kompresi berbanding ventilasi efektif adalah 3:1, yang berarti setiap 3 kali kompresi dada harus di berikan 1 VTP efektif. Kompresi dada dan VTP efektif harus dilakukan secara sinkron dengan durasi 2 detik

64

untuk setiap 3 kompresi dada dan 1 VTP efektif. Kompresi dada dan VTP efektif ini dilakukan selama 60 detik tanpa jeda. Titik penekanan kompresi dada adalah pertengahan antara processus xyphoideus dan garis imajiner yang menghubungkan kedua mamae. Kedalaman kompresi dada adalah 1/3 diameter antero-posterior dinding dada bayi. Terdapat 2 teknik kompresi dada yang umum digunakan yaitu teknik 2 ibu jari dan teknik 2 jari (jari tengah dan telunjuk). Pastikan dada mengembang saat VTP diberikan dengan cara tidak menekan diding dada.54,61-66 Kompresi dada dihentikan sementara pasca 30 siklus kompresi dada (60 menit) untuk memberikan kesempatan pada asisten sirkulasi menilai laju denyut jantung.

Langkah resusitasi

selanjutnya akan ditentukan oleh laju denyut jantung dan usaha napas seperti tertera pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Langkah resusitasi didasari pada laju denyut jantung dan usaha napas Laju denyut

Usaha napas

Tindakan resusitasi lanjutan

Apnea

Pemberian Adrenalin dilanjutkan

jantung < 60x/menit

dengan kompresi dada dan VTP efektif >60x/menit

Apnea

Hentikan

kompresi

dada

,

lanjutkan VTP efektif >100 x /menit

Bernafas

Hentikan

VTP

efektif,

spontan

pertimbangan pemberian CPAP PEEP 7 cmH2O sampai bayi bernapas adekuat

4. Medikamentosa Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun jika frekuensi denyut jantung tetap

<60 per menit

65

walaupun telah diberikan ventilasi efektif dengan oksigen 100% dan kompresi dada secara sinkron selama 60 detik, maka terindikasi

pemberian

obat

Adrenalin

atau

Epinefrin.

Konsentrasi adrenalin/epinefrin yang direkomendasikan adalah 1/10.000 (0,1 mg/mL adrenalin/epinefrin).77 Terdapat

2

jalur

pemberian

adrenalin/epinefrin

yaitu

intratrakeal dan intravena. Pemberian adrenalin /epinefrin melalui jalur intratrakeal bukan merupakan pilihan karena beberapa penelitian menemukan tingkat keamanan dan efikasi tidak sebaik pemberian adrenalin/epinefrin intravena,

tetapi

pemberian intratrakeal dapat diberikan sambil menunggu tersedianya akses intravena.54,57,78 Dosis

adrenalin/epinefrin

intratrakeal

yang

direkomendasikan adalah 0,05-0,1 mg/kgBB setara dengan 0,51 mL/KgBB larutan

adrenalin/epinefin. Diberikan tanpa

dilakukan flusing dengan larutan NaCl 0,9% dan dilanjutkan dengan VTP. Sementara dosis intravena yang direkomendasikan adalah 0,1 sampai 0,3 mL/KgBB

larutan 0,1 mg/mL larutan

adrenalin/epinefrin ( perbandingan 1:10.000).Q2016, Eu 2015 Dosis intravena lebih kecil dari dosis intratrakeal dan membutuhkan flushing NaCl 0,9% 2-3 ml sesudah diberikan. Pemberian dapat diulang 2-3 menit kemudian apabila frekuensi nadi masih kurang dari 60 kali/menit.77 Pemberian volume expanders dipertimbangkan jika diketahui atau diduga terjadi kehilangan darah dan frekuensi denyut jantung bayi tidak menunjukkan respons adekuat terhadap upaya resusitasi lain. NaCl 0,9% atau darah dapat diberikan dengan dosis 10 mL/kg dan dapat diulangi sesuai kebutuhan.57 Masa sejak bayi lahir sampai dilakukannya ventilasi, dikenal sebagai the golden minute untuk resusitasi. Resusitasi kardio-

66

pulmoner dilakukan selama 10 menit dan setelahnya dapat dihentikan jika tidak ada denyut jantung. Setelah resusitasi yang adekuat, resusitasi dapat dihentikan jika tidak ada denyut jantung (asistol) selama 10 menit.58 Pada semua bayi, skor Apgar harus dicatat pada menit ke-1 dan menit ke-5, dan pada bayi yang diresusitasi ditambah dengan skor Apgar menit ke-10 (Tabel 2). Skor Apgar dinilai dengan 0, 1, atau 2 dengan skor total minimal 0 dan maksimal 10, tapi tidak memengaruhi tindakan resusitasi.79

Tabel 2 Skor APGAR74 Kriteria Warna (Appearance)

0 Seluruhnya pucat atau kebiruan

1 Tubuh merah muda, ekstremitas kebiruan

2 Seluruh tubuh dan ekstremitas berwarna merah muda >100 kali per menit

Denyut Jantung (Pulse) Refleks (Grimace) Tonus Otot (Activity) Pernapasan (Respiration)

Tidak ada

< 100 kali per menit

Tidak ada respon Tidak ada/lumpuh Tidak ada

Meringis/menangis lemah Sedikit fleksi

Menangis/bergerak aktif Bergerak aktif

Lemah dan iregular

Menangis kuat, pernapasan baik dan teratur

Pada bayi yang sangat prematur (< 25 minggu), keputusan untuk

melakukan

resusitasi

masih

kontroversi,

karena

kemungkinan keberhasilannya yang kecil. Pada bayi sangat prematur

yang

berhasil

diresusitasi

pun,

beberapa

studi

melaporkan luaran yang beragam dengan berbagai gejala sisa.80,81 Oleh sebab itu ketika seorang tenaga kesehatan menghadapi kelahiran bayi yang sangat prematur, resusitasi sebaiknya tetap dimulai. Sementara meresusitasi, tenaga kesehatan mengevaluasi kemungkinan prognosis dan selanjutnya memutuskan hendak

67

menghentikan atau melanjutkan resusitasi yang telah dimulainya itu. Resusitasi hampir selalu diindikasikan pada kasus yang kesintasannya tinggi atau kasus yang kemungkinan morbiditasnya dapat diterima.82 Tindakan resusitasi tidak terindikasi pada kasus dengan usia gestasi, berat lahir, ataupun kelainan kongenital yang hampir pasti menyebabkan kematian dini atau morbiditas yang sangat berat, misalnya bayi yang sangat prematur (< 25 minggu). Pada kasus yang prognosisnya tidak pasti, misalnya kasus dengan kesintasan borderline dan morbiditas yang relatif tinggi, maka keputusan untuk resusitasi harus melibatkan pertimbangan orangtua.83,84 Resusitasi dilakukan pada kasus yang kesintasannya tinggi atau yang kemungkinan morbiditasnya dapat diterima. Tindakan resusitasi tidak dilakukan pada kasus dengan usia gestasi, berat lahir,

ataupun

kelainan

kongenital

yang

hampir

pasti

menyebabkan kematian dini atau morbiditas yang sangat berat. Pada kasus yang prognosisnya tidak pasti, keputusan untuk resusitasi harus melibatkan pertimbangan orangtua. Level of evidence II, derajat rekomendasi B Pada bayi yang tidak berespons terhadap resusitasi adekuat selama 10 menit, kemungkinan bayi hidup adalah kecil. Selain itu jika saja resusitasi berhasil, risiko morbiditas terutama kelainan neurologis adalah besar. Oleh sebab itu resusitasi bayi baru lahir dapat dihentikan jika setelah resusitasi yang adekuat tidak terdapat denyut jantung setelah 10 menit. Resusitasi dapat dilanjutkan setelah 10 menit tersebut, jika (1) dipertimbangkan resusitasi ada kemungkinan berhasil, dan (2) orangtua (yang telah diedukasi

68

sebelumnya) menyatakan akan menerima risiko morbiditas yang dapat timbul.85 Belum ada bukti yang cukup untuk memutuskan akan menghentikan atau melanjutkan resusitasi pada bayi baru lahir yang tetap bradikardia setelah 10 menit dengan resusitasi adekuat.86,87 Resusitasi bayi baru lahir dapat dihentikan jika setelah resusitasi yang adekuat tidak terdapat denyut jantung selama 10 menit. Level of evidence II, derajat rekomendasi B Pemberian

ventilasi

bantuan

dalam

resusitasi

dapat

diberikan dengan balon mengembang sendiri83 (Gambar 2)88 Pada BBLR, alat yang sebaiknya digunakan adalah pompa yang mampu memberikan tekanan positif akhir ekspirasi (TPAE) dan tekanan puncak inspirasi (TPI) terukur (Gambar 3). Dalam resusitasi yang membutuhkan continuous positive airway pressure (CPAP) di kamar bersalin, dapat digunakan alat T-piece resuscitator (Gambar 4).

Gambar 2 Balon mengembang sendiri89

69

Gambar 3 Balon resusitasi yang dapat memberikan TPAE dan TPI terukur

Gambar 4 T-piece resuscitator89

70

Gambar 5 T-piece resuscitator dengan blender O2, sumber O2 bertekanan (FiO2 100%), dan gas medis/kompresor (FiO2 21%) untuk pemberian O2 dengan konsentrasi O2 yang diinginkan.

Tabel 3 Perbandingan alat untuk pemberian VTP89

Jenis alat

Kelebihan

Kelemahan

Balon mengembang sendiri atau self inflating bag

1. Selalu terisi setelah diremas walaupun tanpa sumber gas bertekanan 2. Katup pelepas tekanan berfungsi untuk menjaga agar tidak terjadi pengembangan

1. Tetap mengembang walaupun tidak terdapat perlekatan antara sungkup dan wajah bayi Membutuhkan reservoir oksigen untuk mendapatkan oksigen kadar tinggi

71

balon yang berlebihan

T-piece resuscitator

1. Tekanan konsisten 2. Pengatur TPI dan TPAE dapat diandalkan 3. Dapat mengalirkan oksigen 100% 4. Operator tidak lelah karena memompa

2. Tidak dapat digunakan dengan baik untuk memberikan oksigen aliran bebas melalui sungkup 3. Tidak dapat digunakan untuk memberikan CPAP dan baru dapat memberikan TPAE bila ditambahkan katup TPAE 5. Membutuhkan aliran gas bertekanan 6. Pengaturan tekanan dilakukan sebelum digunakan 7. Mengubah tekanan inflasi selama resusitasi akan lebih sulit 8. Risiko waktu inspirasi memanjang

Pada fasilitas yang tidak memiliki blender oksigen ataupun Ytube, pemberian oksigen resusitasi dapat dilakukan menggunakan modifikasi balon mengembang sendiri sehingga menghasilkan FiO2 21%, 40%, dan 100% (Gambar 6).

72

Gambar 6 Modifikasi terapi oksigen dalam resusitasi dengan balon mengembang sendiri pada fasilitas terbatas 73

1.

Penggunaan oksigen pada resusitasi: oksigen ruangan (fraksi

oksigen

21%),

fraksi

oksigen

100%,

atau

lainnyaiii,iv,v,vi,vii Berdasarkan meta analisis dari 7 uji klinis terandomisasi yang membandingkan inisiasi pemberian oksigen konsentrasi tinggi (≥65%) dan oksigen konsentrasi rendah (21%-30%) pada resusitasi dari bayi baru lahir prematur (usia kehamilan kurang dari 35 minggu) menunjukkan tidak ada perbedaan lama waktu perawatan di rumah sakit.90-96 Demikian pula, pada studi-studi lainnya yang menilai outcome tersebut, tidak terdapat manfaat untuk mencegah terjadinya

displasia

bronkopulmoner,91,93-96

perdarahan

intraventrikular, dan retinopati pada bayi premature.91,94,95 Ketika target saturasi digunakan sebagai terapi tambahan, konsentrasi oksigen pada udara resusitasi dan saturasi oksigen preductal didapatkan adanya persamaan antara grup yang mendapat oksigen konsentrasi tinggi dan grup yang mendapat oksigen konsentrasi rendah pada 10 menit pertama kehidupan.91,94 Pada semua studi95, terlepas dari penggunaan oksigen pada inisiasi resusitasi dengan konsentrasi oksigen udara bebas (21%) atau oksigen konsentrasi tinggi (≥65% sampai 100%), hampir seluruh bayi berada pada kadar oksigen 30% saat stabilisasi. Resusitasi bayi prematur dengan usia kehamilan kurang dari 35 minggu harus diinisiasi / diawali dengan oksigen konsentrasi rendah (21%-30%), dan konsentrasi oksigen tersebut harus dititrasi hingga mencapai saturasi oksigen preductal yang mendekati ukuran kisaran interkuartil pada bayi baru lahir yang sehat setelah dilahirkan pervaginam pada ketinggian sejajar permukaan laut.123 (Level of Evidence 1A, Rekomendasi A).

74

Mengawali

resusitasi

bayi

prematur

dengan

oksigen

konsentrasi tinggi (≥65%) tidak direkomendasikan. (Level of Evidence 1A, Rekomendasi A). Rekomendasi ini mencerminkan kecenderungan untuk tidak memaparkan bayi baru lahir prematur dengan oksigen tambahan tanpa data yang menunjukkan bukti adanya manfaat atau untuk luaran yang penting. Resusitasi awal (initial resuscitation) sebaiknya dilakukan dengan udara ruangan. Resusitasi awal dengan udara ruangan dapat menurunkan mortalitas dan disabilitas neurologis pada bayi baru lahir bila dibandingkan dengan pemberian oksigen 100%. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100% bila resusitasi awal dengan udara ruangan gagal. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A Alur IDAI pencampur

(Gambar 1)

oksigen

(blender)

merekomendasikan penggunaan (Gambar

7)

untuk

mengatur

konsentrasi oksigen selama proses resusitasi, dan sementara itu pulse oxymeter tetap dipasang untuk memantau saturasi oksigen (Gambar 8).58 Pemantauan dengan pulse oxymeter harus dilakukan pada semua neonatus yang mendapatkan terapi oksigen.97 Untuk mengurangi kemungkinan artefak akibat gerak bayi, pengukuran saturasi oksigen (SpO2) dan denyut jantung menggunakan pulse oximeter khusus bayi.

75

Pengukuran saturasi oksigen dan denyut jantung menggunakan pulse oximeter hasilnya terpercaya jika dilakukan mulai 30 detik pasca lahir saat dimulainya tindakan ventilasi tekanan positif. Level of evidence II, derajat rekomendasi B

a

b

c

Gambar 7. a. Pencampur oksigen (blender) dengan T-piece resuscitator tampak depan. b. Pencampur oksigen (blender) dengan T-piece resuscitator tampak samping. c. Pengatur FiO2 blender xxx .97

Gambar 8 Pulse oximeter.

76

Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) janin adalah 15-30 mmHg dan menghasilkan saturasi oksigen (SpO2) 45-55%. Setelah kelahiran, nilai ini akan meningkat dalam beberapa menit menjadi 50-80 mmHg (SpO2 >90%), tergantung pada fungsi paru, sirkulasi pulmonal, dan adanya stresor lain saat persalinan. Kadar oksigen pada fetus yang beralih menjadi neonatus mengalami peningkatan secara bertahap dalam 5-10 menit pertama setelah lahir.98 Mekanisme pertahanan antioksidan sebenarnya secara alami baru terbentuk pada usia gestasi yang lanjut, oleh sebab itu bayi yang sangat prematur rentan terhadap hiperoksia.99 Oksigen ruangan telah terbukti bermanfaat untuk mengatasi asfiksia pada bayi cukup bulan.96,100,101 Pada bayi kurang bulan, beberapa studi prospektif membandingkan efek penggunaan oksigen konsentrasi rendah dan tinggi selama resusitasi, namun studi-studi tersebut tidak melakukan evaluasi dalam jangka panjang, seperti evaluasi perkembangan saraf yang merupakan parameter penting untuk efek samping terapi oksigen.95,102,103 Saugstad et al104 (2008) menyatakan bahwa pada bayi baru lahir, penggunaan oksigen ruangan (fraksi oksigen (FiO2) 21%) menurunkan risiko mortalitas dan HIE. Resusitasi dengan VTP dimulai

dengan

oksigen

ditingkatkan/dititrasi

ruangan

sesuai

(FiO2

dengan

21%),

kemudian

kebutuhan

neonatus.

Beberapa studi menyimpulkan bahwa pada bayi kurang bulan dengan berat lahir >1000 g, resusitasi menggunakan udara ruangan menurunkan

mortalitas

dibandingkan

dengan

resusitasi

menggunakan FiO2 100% (21% vs. 35%, rasio odds (RO) 0,51: interval kepercayaan 95% (IK95%) 0,28-0,9;P<0,02).104-106 Namun sebenarnya belum ada bukti yang memadai untuk menetapkan fraksi

oksigen

untuk

resusitasi

bayi

usia

gestasi

32-37

minggu.58viii,ix,x,xi

77

Pada bayi usia gestasi <32 minggu, resusitasi yang dimulai dengan udara ruangan atau FiO2 100% berisiko menghasilkan hipoksemia atau hiperoksemia, dibandingkan dengan FiO2 30% atau 90% yang kemudian dititrasi.95,103 Pada BBLR usia gestasi <32 minggu, Wang et al96 (2008) menunjukkan bahwa resusitasi dengan udara ruangan (FiO2 21%) gagal mencapai target SpO2 70% dalam 3 menit pertama kehidupan. Beberapa studi lain menyatakan pada bayi kurang bulan usia gestasi ≤28 minggu, resusitasi yang dimulai dengan oksigen 30% akan menurunkan stress oksidatif, inflamasi, kebutuhan oksigen, dan risiko BPD.10,95,107,108 Pada BBLSR, Stola dkk109 (2009) menyimpulkan bahwa resusitasi dapat dimulai dengan udara ruangan tanpa menimbulkan morbiditas yang bermakna. Selama resusitasi, pencampur oksigen (blender) digunakan untuk mengatur konsentrasi oksigen dan pulse oxymeter dipasang untuk memantau saturasi oksigen. Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Resusitasi bayi usia gestasi <35 minggu dimulai dengan fraksi oksigen 30% atau Hal ini dilakukan dengan panduan oksimeter dan blender oksigen. Level of evidence IB, derajat rekomendasi A Pada semua bayi usia gestasi 36 minggu atau lebih, IDAI merekomendasikan untuk memulai resusitasi dengan udara kamar (FiO2 21%).18 Suplementasi oksigen baru diberikan pada resusitasi jika kondisi bayi tidak membaik atau SpO2 dibawah target saturasi berdasarkan waktu (usia 1 menit: 60 sampai 65%, usia 2 menit:

78

65% sampai 70%, 3 menit: 70% sampai 75%, 4 menit: 75% sampai 80%, 5 menit: 80% sampai 85%, 10 menit: 85% sampai 95%.18 Pengaturan FiO2 berikutnya disesuaikan ketika saturasi telah mencapai >90%. Untuk mencegah toksisitas oksigen terjadi, maka terapi oksigen diberikan dengan target mempertahankan PaO2 <100 mmHg dan SpO2 88-92%.18 Namun pada fasilitas terbatas, campuran oksigen dapat dilakukan dengan:48 •

Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan konektor Y

Gambar 9 Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan konektor Y



Konsentrator oksigen dengan kompresor udara

Gambar 10 Konsentrator oksigen

79



T-piece resuscitator (mixsafe®) dengan mini kompresor

Gambar 11 Mixsafe®

Pemberian campuran oksigen dan udara bertekanan tersebut dapat dilakukan dengan panduan tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Panduan campuran oksigen dan udara bertekanan

Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2017.18 (dengan modifikasi)

Untuk menyederhanakan tabel pemberian campuran oksigen dan udara tekan, digunakan prinsip rule of eight. Misalnya klinisi ingin memulai ventilasi dengan memberikan oksigen berkonsentrasi 21%, maka dapat digunakan 8 L udara tekan, tanpa oksigen murni. Begitu pula dengan oksigen 100% didapatkan dari 8 L oksigen

80

murni tanpa udara tekan. Bila konsentrasi oksigen dinaikkan menjadi 31%, klinisi dapat menggunakan udara tekan 7 L per menit dengan kombinasi 1 L per menit oksigen murni, demikian seterusnya seperti pada tabel yang diarsir.18 Pada fasilitas terbatas, dimana pencampur oksigen (blender) tidak tersedia, resusitasi bayi usia gestasi <35 minggu dimulai dengan udara ruangan atau fraksi oksigen 21%. Suplementasi oksigen diberikan pada resusitasi jika kondisi bayi tidak membaik dalam pemantauan saturasi oksigen tiap menit (sesuai algoritme resusitasi). Level of evidence I, derajat rekomendasi A

Pada fasilitas terbatas, bayi usia gestasi > 35 minggu, resusitasi dimulai dengan udara ruangan atau fraksi oksigen 21%. Suplementasi oksigen diberikan pada resusitasi jika kondisi bayi tidak membaik dalam pemantauan saturasi oksigen tiap menit (sesuai algoritme resusitasi). Level of evidence I, derajat rekomendasi A Pada bayi kurang bulan yang memerlukan bantuan ventilasi, dengan bantuan alat, tekanan inisial yang dapat diberikan adalah 20-25 cmH2O. Jika besarnya tekanan tidak dapat diketahui karena keterbatasan fasilitas, maka besarnya inflasi yang diberikan adalah inflasi minimal yang sudah dapat menimbulkan peningkatan denyut

jantung.

Petugas

resusitasi

harus

menghindari

pengembangan dinding dada yang berlebihan. Jika dengan tekanan inisial 20-25 cmH2O tersebut belum tercapai peningkatan denyut jantung dan pergerakan dinding dada, maka pemberian tekanan

81

yang lebih besar dapat diberikan sehingga menghasilkan ventilasi yang efektif. Pada bayi kurang bulan yang apne pasca-lahir, bantuan ventilasi inisial dengan TPAE perlu diberikan jika fasilitas tersedia.110 Pada bayi kurang bulan yang memerlukan bantuan ventilasi, dengan bantuan alat, tekanan inisial yang dapat diberikan adalah 20-25 cmH2O. Level of evidence III, derajat rekomendasi C

2.

Imaturitas sistem respirasi: penggunaan continuous positive airway pressure

Pada bayi kurang bulan yang bernapas spontan tetapi mengalami gangguan napas, dapat diberi bantuan dengan CPAP atau intubasi dan ventilasi mekanis.58 Pada BBLR yang memerlukan, intubasi dan

surfaktan

diberikan

sebagai

upaya

untuk

membantu

pematangan sistem respirasi. Continuous positive airway pressure dini dianjurkan pada bayi <32 minggu, dapat menurunkan mortalitas dan kejadian gagal napas pada BBLR.111 Tiga uji klinis acak terkontrol melibatkan 2358 bayi lahir prematur (usia kehamilan <30 minggu) menunjukkan penggunaan CPAP segera pada bayi baru lahir lebih bermanfaat dibandingkan dengan intubasi dan PPV. Penggunaan CPAP dini berdampak pada menurunnya tindakan intubasi di ruang bersalin, menurunnya durasi pemakaian ventilasi mekanik, mengurangi kematian atau displasia

bronkopulmoner.

Penggunaan

berhubungan bermakna dengan

CPAP

dini

tidak

peningkatan kejadian air leak

syndrome atau perdarahan intraventrikel yang berat. Berdasarkan

82

bukti tersebut, bayi prematur yang bernapas spontan dengan sesak napas dapat dibantu dengan penggunaan CPAP dini.21,112,113 Selama resusitasi neonatus, intubasi endotrakeal dilakukan jika terdapat indikasi diantaranya ketika bag-mask tidak efektif atau digunakan berkepanjangan, terdapat penekanan pada rongga dada, atau terdapat kondisi khusus seperti hernia diafragma kongenital. Saat PPV dilakukan dengan intubasi endotrakea, indikator terbaik dalam mengetahui keberhasilan inflasi dan aerasi paru-paru adalah dengan meningkatnya denyut jantung. Namun, studi pada tahun 2010 membahas bahwa deteksi pengeluaran CO2 tetap membutuhkan konfirmasi penempatan ETT dengan metode yang reliabel. Kegagalan dalam mendeteksi pengeluaran CO2 pada neonatus dengan cardiac output yang adekuat menunjukkan secara kuat bahwa intubasi yang dilakukan adalah intubasi esofageal. Sedikitnya atau ketiadaan dari aliran darah ke paru-paru (misalnya selama henti jantung) dapat mengakibatkan kegagalan dalam mendeteksi pengeluaran CO2 meskipun penempatan ETT dilakukan dengan benar di trakea dan dapat mengakibatkan ekstubasi dan reintubasi yang tidak perlu pada bayi baru lahir dengan kondisi kritis. Penilaian klinis seperti pergerakan dada, suara napas yang simetris dan kondensasi pada ETT adalah indikator

tambahan

bawa

ETT

ditempatkan

dengan

benar.18,21,112,113 Studi lain merekomendasikan intubasi dini untuk pemberian surfaktan profilaksis pada BBLSR segera di kamar bersalin. Finer et al113 (2010) merekomendasikan CPAP dini (sejak di kamar bersalin) sebagai alternatif dari intubasi dini dan surfaktan profilaksis dalam satu jam pasca-lahir, pada bayi BBLASR dengan usia gestasi 24-28 minggu.

83

Pada BBLSR yang bernapas spontan dan teratur saat lahir, bantuan pernapasan diberikan CPAP dengan PEEP 7 cmH2O. Jika bayi masih retraksi, tekanan CPAP dapat ditingkatkan menjadi maksimal 8 cmH2O. Pertimbangkan pemberian surfaktan jika masih didapati sesak napas walaupun sudah mendapat CPAP 8 cmH2O. Pemberian surfaktan dapat diberikan dengan metode INSURE (intubate-surfactant-extubate) atau metode MIST (minimally invasive surfactant therapy). Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

3. Terapi Surfaktan Saat ini pemberian surfaktan berperan penting dalam manajemen bayi dengan Respiratory Distress Syndrome.

Sejak tahun 2013

dengan membaiknya penggunaan steroid prenatal, surfaktan profilaksis (pemberian surfaktan pada bayi baru lahir <28 minggu sebelum mengalami sesak napas) sudah tidak direkomendasikan. Pemberian CPAP dini menjadi pilihan pertama untuk mencegah sesak napas bayi prematur. Jika terdapat tanda tanda gagal CPAP (masih didapati sesak napas walaupun sudah menggunakan tekanan 8 cmH2O Fio2 >40%) maka terindikasi pemberian surfaktan (surfactant rescue). Beberapa uji klinis membuktikan pemberian surfaktan ini dapat mencegah penggunaan ventilator mekanik, displasia

bronkopulmoner,

dan

memperpendek

lama

rawat.

Surfaktan sebaiknya diberikan sedini mungkin pada bayi yang mengalami RDS dan gagal CPAP.114-116 Terdapat beberapa teknik pemberian surfaktan. INSURE (intubate-surfactant-extubate to CPAP), adalah teknik pemberian

84

surfaktan melalui endotracheal tube yang diikuti dengan proses ekstubasi segera dan pemberian CPAP. Ikatan Dokter Anak Indonesia

sejak

tahun

2014

merekomendasikan

pemberian

surfactant rescue melalui metode INSURE.114

a. Metode Pemberian Surfaktan Pemberian

surfaktan

merupakan

sebuah

keahlian

yang

membutuhkan pengalaman kerja tim secara klinis yang handal melakukan

intubasi

neonatus

dan

ventilasi

mekanik

jika

dibutuhkan. Hingga saat ini sebagian besar uji klinis tentang surfaktan diberikan secara bolus melalui ETT dalam periode waktu singkat dengan penggunaan ventilasi manual atau ventilasi mekanik untuk mendistribusikan obat, baik yang diikuti oleh ventilasi mekanik atau ekstubasi segera untuk beralih pada CPAP ketika telah didapatkan napas spontan (jika menggunakan metode INSURE). Dalam pedoman tahun 2013, INSURE direkomendasikan karena dapat mengurangi cedera paru.114,117 Namun dalam studi sedasi untuk intubasi, INSURE dipertimbangkan sebagai pilihan (masih diperdebatkan. Sejak saat itu telah dilakukan studi-studi untuk menentukan jika pemberian surfaktan dilakukan tanpa intubasi endotrakeal, maka menghasilan luaran yang lebih baik.114 Dua metode serupa yang tentang pemberian surfaktan melalui kateter

tanpa melakukan intubasi

“tradisional” telah

dipelajari. Metode pertama dikembangkan di Jerman dan sekarang digunakan di beberapa negara Eropa. Ujung kateter fleksibel diposisikan dalam trakea di bawah pita suara

menggunakan

laringoskopi dan cunam Magil sementara itu bayi tetap dalam CPAP.118 Metode ini dikenal sebagai LISA (less invasive surfactant administration). Metode kedua dikembangkan di Australia, dengan

85

menggunakan kateter vaskular yang lebih kaku dan tipis. Ujung kateter dapat diposisikan dalam trakea di bawah pita suara dengan laringoskopi indirek tanpa forceps sementara bayi tetap dalam CPAP119, disebut sebagai MIST (minimally invasive surfactant treatment). Kedua metode tersebut bertujuan untuk mempertahankan napas spontan pada CPAP, sementara surfaktan diberikan secara bertahap beberapa menit dengan menggunakan syringe sehingga bayi terhindar dari ventilasi tekanan positif. Kedua metode ini telah dibandingkan dengan pemberian surfaktan metode INSURE. Studistudi ini melaporkan berkurangnya penggunaan ventilasi mekanik dan kejadian BPD pada bayi yang menggunakan metode LISA atau MIST. Uji klinis tanpa randomisasi dengan subjek bayi amat sangat prematur (usia gestasi 23–27 minggu) menunjukkan tidak ada peningkatan signifikan terhadap kesintasan (survival) tanpa BPD pada subjek yang diberikan surfaktan dengan metode lisa LISA, meskipun bayi-bayi tersebut lebih sedikit membutuhkan ventilator mekanik.120 Studi ini juga menunjukkan kejadian pneumothoraks dan perdarahan intraventrikuler yang lebih rendah. Namun demikian, hampir 75% subyek yang mendapat intervensi (LISA) akhirnya membutuhkan ventilasi mekanik dengan kejadian desaturasi yang lebih berat.121 Meskipun perbandingan dengan INSURE secara langsung melaporkan hasil tersebut dalam satu studi.122 Meta analisis menunjukkan tidak ada perbedaan luaran yang signifikan antara kedua metode ini.123 Penggunaan surfaktan yang paling tidak invasif adalah dengan cara nebulisasi, namun hingga saat ini belum mencapai tahap rekomendasi untuk penggunaan klinis secara rutin.124

86

b. Sediaan Surfaktan Sediaan surfaktan yang banyak tersedia saat ini dapat dilihat di tabel 5 Surfaktan alami (surfaktan yang berasal dari hewan) sebelumnya disebut, lebih baik dibandingkan dengan surfaktan sintetik lama (tidak mengandung protein, hanya mengandung fosfolipid), dapat mengurangi kejadian air leaks syndrome dan kematian.125

Tabel 5 Sediaan Surfaktan Alami Nama Generik

Nama Dagang

Sumber

Beractant

Survanta®

Bovine

Produsen Manufaktur Ross (USA)

Laboratories

Dosis (Volume)

100 mg/kg/dosis (4 ml/kg)

Bovactant

Alveofact®

Bovine

Lyomark (Germany)

50 mg/kg/dose (1.2 ml/kg)

Poractant alfa

Curosurf®

Porcine

Chiesi Farmaceutici (Italy)

100-200 mg/kg/dose (1.25-2.5 ml/kg)

Surfaktan sintetis mengandung analog protein SP-B

dan

protein SP-C yang saat ini masih dalam evaluasi uji klinis.126 Perbandingan penggunaan berbagai surfaktan alami menunjukkan efektivitas yang berbeda-beda. Secara umum, terdapat peningkatan angka kesintasan (survival) bayi yang mendapatkan 200 mg/kg poractant alfa (surfaktan yang berasal dari paru babi) dibandingkan dengan 100 mg/kg beractant (surfaktan yang berasal dari paru

87

sapi). Belum dapat dipastikan apakah hal ini disebabkan oleh karena perbedaan dosis pemberian atau perbedaan jenis sediaan surfaktan.127

c. Kapan Bayi Mendapat Terapi Surfaktan? Bayi yang menunjukkan gejala RDS harus segera mendapatkan CPAP sedini mungkin, apabila memungkinkan CPAP dipertahankan tanpa beralih pada intubasi dan ventilasi mekanik. Jika RDS memburuk dan surfaktan dibutuhkan, pemberian surfaktan dini memiliki luaran yang lebih baik dalam upaya mengurangi air leaks syndrome.128 Dalam sebuah studi observasional, Agertoft dkk menyimpulkan penggunaan CPAP dengan Fio2 >30% pada saat bayi berusia 2 jam merupakan prediktor kegagalan CPAP pada saat bayi berusia 6 jam, sehingga akan memberikan luaran yang lebih buruk.129 Sehingga IDAI merekomendasikan pemberian surfaktan dini (<2 jam sejak bayi lahir) untuk mencegah mencegah intubasi dan penggunaan

ventilator

mekanik.

Pemberian

dosis

surfaktan

ulangan memberikan luaran lebih baik (penurunan kejadian air leaks syndrome). Namun kesimpulan ini diambil dari berbagai uji klinis terandomisasi pada masa sebelum ventilasi non-invasif banyak digunakan. Kesimpulan ini menjadi tidak tepat saat penggunaan ventilasi non-invasif umum digunakan.130 Pemberian ulangan dengan surfaktan metode INSURE juga telah berhasil dan tidak memberikan luaran yang lebih buruk.131

88

Bayi yang mengalami RDS dan gagal membaik pasca pemberian CPAP (tekanan 8 cm H2O dan Fio2 >40%) dapat diberikan surfaktan alami. Surfaktan sebaiknya diberikan sedini mungkin (<2 jam) dan tidak direkomendasikan pemberian surfaktan bila usia bayi >12 jam. Surfaktan boleh diberikan di kamar bersalin/NICU dengan syarat terdapat monitor kardiorespirasi dan alat-alat bantuan penyelamat hidup. Metode

pemberian

surfaktan

dapat

berupa

INSURE

atau

LISA/MIST. Pemberian surfaktan dosis ulangan dapat diberikan apabila ada bukti perburukan RDS, seperti kebutuhan oksigen persisten yang membutuhkan ventilasi mekanik. Level of Evidence IV, Rekomendasi C

4. T-piece resuscitator sebagai pengganti CPAP dini di kamar bersalin menurunkan angka kegagalan CPAP pada bayi kurang bulan dengan gangguan napas Ventilasi pada bayi baru lahir dapat diberikan dengan balon mengembang sendiri maupun T-piece resuscitator. Tekanan inflasi atau TPAE yang dihasilkan T-piece resuscitator lebih stabil daripada balon mengembang sendiri.54

Penelitian mengenai efektivitas T-

piece resuscitator menunjukkan hasil bervariasi. Dibandingkan dengan balon mengembang sendiri, T-piece resuscitator relatif aman, menghasilkan tekanan optimal dengan risiko volutaruma dan barotrauma yang kecil, dan tekanan yang diberikan tidak dipengaruhi keahlian operator. Fitur T-piece resuscitator dengan

89

ukuran yang relatif kecil, portabel, sederhana, dan mudah digunakan serta dapat berfungsi seperti CPAP, membuat alat ini direkomendasikan oleh Rekomendasi IDAI sebagai alat ventilasi di tempat bayi dilahirkan. Penggunaan rutin T-piece resuscitator memiliki kendala yaitu harga yang cukup mahal dibandingkan dengan balon mengembang sendiri.132-137 Penggunaan CPAP secara rutin di tempat bayi dilahirkan memiliki kendala terkait biaya per unit dan ketidakpraktisannya. Balon mengembang sendiri merupakan alat ventilasi yang lebih sering digunakan di kamar bersalin atau kamar operasi, namun alat ini memiliki risiko volutrauma dan barotrauma yang besar.73 T-piece resuscitator digunakan sebagai alat pengganti CPAP di tempat bayi dilahirkan. Alat tersebut memberi ventilasi dengan tekanan yang relatif stabil, kontinu, dan dapat berfungsi sebagai CPAP.97,108,133135,137-140

Studi mengenai efektivitas CPAP pada bayi kurang bulan dengan gangguan napas menunjukkan hasil yang positif, namun belum banyak penelitian yang menilai efektivitas T-piece resuscitator sebagai pengganti CPAP dini pada bayi kurang bulan dengan gangguan napas. Prinsip kerja CPAP yang memberikan tekanan terus-menerus secara kontinu dapat menimbulkan efek samping yang serius, yaitu efek barotrauma atau volutrauma hingga pneumotoraks. Komplikasi jangka panjang seperti BPD, ROP, dan IVH juga dapat terjadi. Mengingat angka komplikasi yang tinggi, maka saat ini pengunaan T-piece resuscitator lebih disarankan. Satu studi kohort prospektif mengevaluasi bayi kurang bulan dengan gangguan

napas

yang

mendapat

ventilasi

dengan

T-piece

resuscitator di kamar bersalin dan dilanjutkan dengan CPAP, dibandingkan dengan bayi kurang bulan dengan gangguan napas yang

mendapatkan

ventilasi

dengan

balon

resusitasi

dan

90

dilanjutkan

dengan

CPAP.

Penggunaan

T-piece

resuscitator

menurunkan risiko kegagalan CPAP sebesar 90% (RR 0,1;IK95% 0,02-0,5;P=0,003).137 Penggunaan

T-piece

resuscitator

dibandingkan

dengan

penggunaan balon resusitasi tanpa katup TPAE di kamar bersalin, menurunkan risiko kegagalan CPAP. Level of evidence III, derajat rekomendasi C Pada bayi baru lahir, nasal prong merupakan salah satu pilihan

jalur

pemberian

bantuan

pernapasan

(Gambar

12).

Pemberian VTP melalui nasal prong menghasilkan luaran yang lebih baik dibandingkan dengan sungkup.134

Dalam pemberian bantuan ventilasi pada bayi baru lahir, nasal prong merupakan cara yang lebih efektif dibandingkan dengan sungkup muka. Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

a

b

Gambar 12a Single nasal prong. 12b CPAP dengan single nasal prong

91

5. Resusitasi di Fasilitas Terbatas (Helping Babies Breathe) Helping Babies Breathe merupakan kurikulum resusitasi bayi baru lahir yang disusun oleh American Academy of Pediatrics, US Agency for International Development (USAID), The Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development (NICHD), dan Saving Newborn Lives/Save the Children, yang didukung oleh WHO (Gambar 13). Kurikulum ini dapat diterapkan pada fasilitas yang terbatas. Kurikulum Helping Babies Breathe menekankan pentingnya

keterampilan

tenaga

kesehatan

yang

membantu

kelahiran dalam menilai kondisi klinis, mempertahankan suhu tubuh, menstimulasi pernapasan, dan memberikan ventilasi bantuan bayi jika diperlukan.141 Alur resusitasi bayi baru lahir menurut Helping Babies Breathe dimulai dengan menilai kondisi bayi. Jika terdapat mekonium saat bayi lahir, segera bersihkan jalan napas dan keringkan bayi. Kemudian petugas mengevaluasi kondisi bayi menangis atau tidak.79 a. Apabila bayi menangis spontan, jaga agar bayi tetap hangat, periksa pernapasan, dan potong tali pusat. Biarkan bayi di atas badan ibu. b. Apabila bayi tidak menangis, bersihkan jalan napas dan beri stimulasi. Periksa ulang pernapasan, bila bayi bernapas dengan baik, jaga agar bayi tetap hangat dan potong tali pusat. Bila bayi belum bernapas dengan baik, potong tali pusat dan berikan bantuan ventilasi. Kemudian jika bayi bernapas, bayi dapat dibiarkan bersama ibunya dengan pengawasan. Jika bayi masih belum bernapas, panggil bantuan, beri dan perbaiki bantuan ventilasi, lalu periksa detak jantung. Apabila detak jantung lambat, lanjutkan ventilasi dan rawat bayi di perawatan lanjutan (advanced care).

92

Gambar 13 Rencana pelaksanaan Helping Baby Breathe141

93

3.2.

STABILISASI PASCA-RESUSITASI

Pencatatan perkembangan keadaan bayi maupun tindakan medis adalah penting. Dokumentasi ditulis dalam satu format formulir pemantauan yang mudah diisi, jelas, dan singkat.135 Pascaresusitasi di kamar bersalin, bayi yang bermasalah harus distabilisasi untuk selanjutnya dirujuk ke perawatan yang lebih memadai. Upaya stabilisasi dilakukan sebelum bayi dirujuk. Bayi harus dirujuk dalam keadaan stabil dan kondisi tersebut dapat dicapai dengan menerapkan program STABLE.38 1.

PROGRAM STABLE: MEMBUAT KONDISI BAYI “WARM,

PINK, AND SWEET” Program STABLE adalah panduan yang dibuat untuk tata laksana bayi baru lahir yang sakit, mulai dari pasca-resusitasi/pratransportasi. Program ini berisi standar tahap-tahap stabilisasi pasca-resusitasi untuk memperbaiki kestabilan, keamanan, dan luaran bayi. STABLE tersebut merupakan singkatan dari:38 S: SUGAR and SAFE care (kadar gula darah dan keselamatan bayi) T: TEMPERATURE (suhu) A: AIRWAY (jalan napas) B: BLOOD PRESSURE (tekanan darah) L: LAB WORK (pemeriksaan laboratorium) E: EMOTIONAL SUPPORT (dukungan emosional) Catatan: Di dalam proses stabilisasi, penting mengutamakan stabilisasi pernafasan, di samping stabilisasi suhu. Aspek stabilisasi yang lain, dilakukan kemudian.

94

a. SUGAR Inisiasi terapi cairan IV pada bayi yang berisiko hipoglikemia. Pemberian cairan dan nutrisi untuk bayi sakit dilakukan secara parenteral.

Koordinasi

menghisap,

menelan,

dan

bernapas

terganggu ketika bayi bernapas cepat, sehingga pemberian secara enteral (PO maupun melalui pipa nasogastrik) dihindari karena risiko aspirasi yang tinggi. Bayi yang sakit terutama bayi dengan infeksi juga dapat mempunyai waktu pengosongan lambung yang lambat karena adanya ileus intestinal. Pada bayi dengan riwayat kadar oksigen darah yang rendah atau tekanan darah yang rendah selama ataupun pasca-lahir, aliran darah ke usus halus berkurang, sehingga meningkatkan risiko iskemia.38 Bayi baru lahir paska resusitasi tidak direkomendasikan mendapat asupan nutrisi enteral. Bayi dengan paska resusitasi akibat hipoksia yang dialaminya memiliki risiko cedera hipoksik iskemik. Oleh sebab itu pemberian glukosa IV harus segera diberikan

setelah

resusitasi

selesai,

untuk

menghindari

hipoglikemia.136,142 Tempat pemasangan akses IV yang paling baik adalah umbilikal dan ekstremitas. Akses vena umbilikal masih dapat digunakan hingga usia satu minggu dan hingga dua minggu pada kasus khusus.38 Glukosa

IV

diberikan

segera

setelah

resusitasi

untuk

menghindari hipoglikemia. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A Bayi yang berisiko tinggi mengalami hipoglikemia adalah bayi kurang bulan (usia gestasi <37 minggu),

kecil masa kehamilan

(KMK), besar masa kehamilan (BMK), bayi dari ibu DM, bayi sakit, dan bayi dari ibu yang mengonsumsi obat-obat tertentu (beta-

95

simpatomimetik, penghambat beta, klorpropamid, benzotiazid, dan anti-depresan trisiklik) selama kehamilan. Janin memperoleh glukosa dan asam amino transplasenta. Setelah pemotongan tali pusat dilakukan, maka secara fisiologis enzim mengaktivasi konversi

glikogen

menjadi

glukosa

untuk

selanjutnya

didistribusikan melalui aliran darah. Ada tiga faktor yang dapat menimbulkan

gangguan

terhadap

kemampuan

bayi

mempertahankan kadar glukosa darah yang normal setelah kelahiran,

yaitu

simpanan

glikogen

yang

tidak

adekuat,

hiperinsulinemia, dan utilisasi glukosa yang meningkat.38,142 Baku emas kadar glukosa adalah glukosa darah vena, namun pemeriksaan tersebut memerlukan sejumlah sampel darah dan lebih sulit sehingga membutuhkan waktu yang lama. Maka pemeriksaan yang lazim dikerjakan adalah skrining gula darah melalui darah kapiler. Alat skrining yang dianjurkan adalah alat dengan tingkat kesalahan 15% dari nilai glukosa darah vena.38 Hasil skrining yang menunjukkan hasil LOW dapat saja tidak akurat dan menyebabkan over ataupun undertreatment. Jika hasil skrining

LOW,

petugas

sebaiknya

mengonfirmasi

dengan

pemeriksaan glukosa darah vena, sementara itu terapi hipoglikemia tetap dikerjakan.38 Gejala klinis hipoglikemia seringnya asimtomatis. Gejala hipoglikemia

adalah

tidak

spesifik

jitteriness,

rewel/gelisah,

hipotonia, letargi, tangis yang high-pitch atau tangis lemah, hipotermia, gangguan menghisap, takipne, sianosis, apne, dan kejang).38 Sehingga panapisan gula darah dilakukan pada semua bayi dengan memiliki risiko hipoglikemia. Penting bagi praktisi untuk mengenali risiko hipoglikemia pada bayi baru lahir. World

Health

Organization

merekomendasikan

terapi

hipoglikemia dimulai jika kadar gula darah neonatus <47 mg/dl (2,6

96

mmol/L). Pada bayi berisiko hipoglikemi, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan segera setelah lahir dan selanjutnya dilakukan secara berkala. Kadar

glukosa

terendah

yang

bisa

diterima

berdasar

algoritma AAP adalah 25 mg/dL sesudah pemberian minum pertamakali, rentang yang ditatalaksana lebih lanjut adalah kadar glukosa 25-40 mg/dL selama 4 jam pertama kehidupan atau masa transisi pasca lahir. Umur 4-24 jam kadar terendah adalah 35 mg/dL, tatalaksana lanjut pada kadar glukosa 35-45 mg/dL.143 Perbedaan hasil pemeriksaan dapat terjadi pada bayi baru lahir karena bergantung pada waktu pemeriksaan. Bayi usia 0 - <4 jam kadar gula darah harus ≥40 mg/dl, usia ≥4 - 24 jam kadar gula darah harus ≥45 mg/dl, dan usia ≥24 jam kadar gula darah harus ≥50 mg/dL. Karena adanya proses hipoglikemia fisiologis pada bayi baru lahir, maka setelah pemeriksaan kadar gula darah pasca-lahir, pemeriksaan kadar gula darah ulangan disarankan pada 2-4 jam setelah pemeriksaan kadar gula pertama.144,145 Skrining dan manajemen homeostasis glukosa pasca lahir pada bayi late preterm dan bayi cukup bulan kecil masa kehamilan, bayi lahir dari ibu diabetes/besar masa kehamilan sebagai berikut, bila bayi pasca lahir simtomatik dan kadar gula < 40mg/dL diberikan infus glukosa. Simtom hipoglikemia termasuk iritabilitas, tremor, jitteriness, refleks Moro yang berlebihan, tangis melengking, kejang, letargi, kelemahan anggota gerak, sianosis, apnea, malas minum. Bayi pasca lahir asimtomatik, bila umur 0-4 jam dimulai minum peroral dalam 1 jam pertama, kemudian 30 menit sesudahnya dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Bila hasil < 25 mg/dL diberikan minum dan kemudian 1 jam sesudahnya dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Bila hasil < 25 mg/dL diberikan infus glukosa 200mg/kg (dektrosa 10% 2ml/kg) dan atau

97

infus dengan kecepatan 5-8 mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma yang diharapkan 40-50 mg/dL. Bila kadar gula 25-40 mg/dL diberikan minum atau infus glukosa seperti tersebut di atas sesuai kebutuhan. Pada umur 4 sampai 24 jam lanjutkan minum tiap 2-3 jam, dilakukan skrining pemeriksaan glukosa pada tiap kali sebelum diberikan minum, bila hasilnya < 35 mg/dL maka diberikan minum dan cek glukosa dalam waktu 1 jam. Bila kadar gula < 35 mg/dL maka diberikan infus glukosa, bila kadar gula 35-45 mg/dL diberikan minum atau infus glukosa sesuai kebutuhan seperti tersebut di atas.143 Terapi hipoglikemia dilakukan jika kadar gula darah neonatus <47 mg/dL. Level of evidence II, derajat rekomendasi B Pada BBLR, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan segera setelah lahir dan diulang 2-4 jam kemudian. Level of evidence II, derajat rekomendasi B

98

Tatalaksana hipoglikemi

99

Pemberian cairan parenteral inisial menggunakan dektrosa 10% (D10W)

dengan

target

mg/kgBB/menit.

glucose

Pemberian

infusion

cairan

rate

D10W

80

(GIR)

4



6

mL/kgBB/hari

menghasilkan GIR 5,5 mg/kgBB/menit. Bila ada riwayat syok dan normoglikemia, maka pemberian cairan dibatasi menjadi 60 mL/kgBB/hari menggunakan D10W (GIR 4,2 mg/kgBB/menit), D12,5W

(GIR

5,2

mg/kgBB/menit),

atau

D15W

(GIR

6,2

mg/kgBB/menit). Akses vena sentral diperlukan untuk pemberian cairan dekstrosa >12,5% atau dekstrosa 12,5% yang diberi zat/komponen tambahan. Perhitungan GIR dilakukan dengan persamaan berikut:38,146

GIR (mg/kg/menit) = kecepatan cairan (mL/jam) x konsentrasi dekstrosa (%) 6 x BB (kg)

GIR 4-7 mg/kg/menit bisa digunakan pada sebagian besar bayi cukup bulan dan near term. GIR 6-8 mg/kg/menit diperlukan lebih sering pada bayi IUGR.147 Pada masa stabilisasi bayi dapat menerima nutrisi enteral hanya bila bayi tersebut asimtomatik dan berisiko hipoglikemia, namun diikuti pemantauan ketat. Pada bayi dengan kadar gula darah 25-< 45 mg/dl terapi bolus Dextrosa dianjurkan pada bayi dengan simtomatik hipoglikemi. Pada pasien yang mengalami hipoglikemia(<25 mg/dL) diberikan cairan bolus D10W 2 mL/kgBB dengan kecepatan 1 mL/menit. Pemeriksaan kadar gula darah diulangi tiap 15-30 menit berikutnya setelah pemberian bolus atau peningkatan jumlah cairan parenteral. Bila kadar gula darah masih ≤45 mg/dL, ulangi pemberian bolus D10W 2 mL/kgBB. Jika kadar gula darah masih belum stabil setelah dua kali bolus, maka ulangi bolus dan naikkan cairan dekstrosa 10% menjadi 100-120

100

mL/kgBB/hari

atau

naikkan

konsentrasi

dekstrosa

bila

peningkatan volume cairan dihindari karena kondisi tertentu pada bayi.38,148 Pemeriksaan gula darah evaluasi dilakukan tiap 30-60 menit sampai kadarnya stabil pada dua pemeriksaan berturut-turut. Sesudahnya frekuensi pemeriksaan ulangan ditentukan oleh tenaga kesehatan, berdasarkan penilaian perkembangan klinis.38 Kotak 1 menunjukkan pendekatan umum inisiasi cairan dan pemberian glukosa pada BBLR sakit.

Pendekatan umum inisiasi cairan dan pemberian glukosa pada BBLR sakit 1. Bayi tidak diberikan apapun secara enteral. 2. Mulai pemberian cairan dengan dekstrosa 10% tanpa elektrolit, sebanyak 80 mL/kgBB/hari melalui vena perifer atau vena umbilikus. Pada bayi usia >24 jam, elektrolit dapat ditambahkan ke dalam larutan IV. 3. Pantau gula darah secara berkala dan pertahankan kadar gula darah 45-110 mg/dL (2,8-6 mmol/L). 4. Apabila Apabila glukosa <45 m/dL (2,6 mmol/L), berikan bolus dekstrosa 10% 2 mL/kg disamping infus dekstrosa 10% 80 mL/kg/hari. Hitung asupan GIR. Pertahankan GIR berkisar 4-6 mg/kg/menit dan dinaikkan bertahap 2 mg/kg/menit ampai maksimal 12 mg/kg menit bila ulangan pemeriksaan gula darah tetap rendah. 5. Periksa kadar gula darah dalam 15-30 menit: a. pada setiap bolus glukosa b. setelah memulai pemberian cairan IV

101

c. pada BBLR yang pernah mempunyai kadar gula darah yang rendah 6. Lakukan penilaian klinis berdasarkan kondisi BBLR dan faktor risiko hipoglikemia, untuk menentukan kekerapan pemeriksaan gula darah yang perlu dilakukan setelah kadar gula darah stabil. 7. Konsentrasi glukosa tertinggi yang diberikan melalui vena perifer adalah dekstrosa 12,5%. Apabila konsentrasi glukosa yang lebih tinggi diperlukan atau jika zat tambahan ditambahkan ke dalam dekstrosa 12,5% (misalnya untuk memberikan nutrisi parenteral total), maka sebaiknya pemberian cairan melalui vena sentral. 8. Pemberian dekstrosa melalui vena sentral sebaiknya tidak lebih dari 25% pada hipoglikemia dengan maksimal GIR 15-30. Apabila bayi tetap mengalami hipoglikemia, harus diberikan

obat

seperti

glukagon,

diazoksid,

glukokortikoid, octreotide dan konsultasikan kepada ahli neonatologi atau endokrinologi anak.149 9. Jika kadar glukosa darah >150 mg/dL (8,3 mmol/L) dan tidak mengalami penurunan pada ulangan berikutnya setelah bayi stabil ini dapat terjadi akibat intoleransi glukosa atau sebagai respons stres. Kadar gula darah >250 mg/dL yang tidak membaik memerlukan pemberian insulin, konsultasikan kepada ahli neonatologi atau endokrinologi jika tidak membaik.

Kotak 1. Pendekatan umum inisiasi cairan dan pemberian glukosa pada BBLR sakit.38,148

102

b. TEMPERATURE Hal-hal

yang

menyebabkan

bayi

kehilangan

panas,

cara

menurunkan kehilangan panas, akibat hipotermia, serta metode rewarming bayi hipotermia Hipotermia

adalah

kondisi

yang

dapat

dicegah

dan

dapat

memengaruhi morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir, terutama bayi kurang bulan. Bayi baru lahir yang berisiko tinggi mengalami hipotermia adalah bayi yang kurang bulan dan BBLR terutama BBLSR, KMK, mengalami resusitasi berkepanjangan terutama yang mengalami hipoksia, mengalami sakit akut (penyakit infeksi, kardiak, neurologik, endokrin, dan yang memerlukan pembedahan terutama dengan defek dinding tubuh), serta bayi yang kurang aktif dan hipotonia akibat obat sedatif, analgesik, paralitik, atau anestetik (Kotak 2).38 Suhu normal bayi baru lahir adalah 36,5-37,5˚C di aksila. Hipotermia diklasifikasikan menjadi 3 kelompok suhu, yaitu ringan (36-36,4˚C), sedang (32-35,9˚C), dan berat (<32˚C). Tata laksana suhu bertujuan mempertahankan suhu pada 37°C. Pemeriksaan suhu dilakukan tiap 15-30 menit sampai suhu berada pada kisaran normal, kemudian sekurang-kurangnya tiap jam sampai bayi dirujuk. Jika temperatur bayi cenderung sudah berada pada kisaran normal, maka pemeriksaan dapat dijarangkan.38 Suhu lingkungan yang tidak mendukung untuk menjaga suhu badan bayi dapat menyebabkan kehilangan panas tubuh secara konduksi dan konveksi. Suhu ruang bersalin maupun ruang perawatan bayi harus diatur pada suhu ≥26˚C.72,150 Suhu ruang bersalin <26˚C berhubungan dengan suhu BBLR (usia gestasi <28 minggu) yang lebih rendah ketika dimasukkan ke NICU.151

103

Suhu kamar bersalin pada BBLR usia gestasi <28 minggu sekurang-kurangnya 26˚C. Level of evidence II, derajat rekomendasi B Pada keadaan hipotermia terjadi peningkatan konsumsi oksigen dan penurunan tingkat kesadaran, frekuensi napas, denyut jantung, dan tekanan darah. Bayi kurang bulan memiliki risiko hipotermia yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi cukup bulan karena simpanan lemak coklat (brown fat) sedikit, lemak insulator (insulating fat) tidak ada, kemampuan vasokonstriksi rendah, tonus otot dan kemampuan fleksi lemah, serta simpanan glikogen terbatas sehingga berisiko

tinggi hipoglikemia. Faktor-faktor tersebut

mengakibatkan hipoksia dan hipoglikemia pada bayi kurang bulan yang hipotermia.38 Kehilangan panas tubuh dapat terjadi melalui mekanisme konduksi, konveksi, evaporasi, dan radiasi. Proses ini dipercepat oleh permukaan kulit yang basah, suhu ruangan yang dingin, dan pergerakan udara melalui bayi meningkat. Tindakan pencegahan hipotermia yang dapat dilakukan meliputi:38 1) Kehilangan panas secara konduksi •

Baringkan bayi di tempat yang permukaannya telah dihangatkan.



Hangatkan terlebih dahulu obyek yang akan kontak dengan bayi: tempat tidur, tangan, stetoskop, permukaan film Röntgen, dan selimut.



Kenakan topi.



Alasi timbangan dengan selimut hangat dan jangan lupa buat skala kembali nol sebelum menimbang bayi.

104



Jangan lakukan pemanasan perlengkapan memasukkan ke dalam microwave ataupun meletakkannya di atas lampu radiant warmer, gunakan selimut hangat.



Gunakan matras chemical thermal di bawah bayi dan tutupi bayi dengan kain atau selimut tipis.



Hindarkan

kontak

dengan

alat-alat

yang

berisiko

menimbulkan luka bakar maupun hipertermia: botol air panas,

sarung

tangan

panas,

dan

selimut

yang

dihangatkan dengan microwave. 2) Kehilangan panas secara konveksi •

Naikkan suhu ruangan menjadi 25-28˚C.152



Tutupi BBLSR dengan plastik polietilen dari leher sampai kaki.



Rujuk bayi sakit dan atau kurang bulan dari kamar bersalin ke ruang perawatan dengan inkubator tertutup dan telah dihangatkan sebelumnya. Jika hal ini tidak mungkin, maka bayi dibungkus dengan plastik (tanpa menghalangi

jalan

napas)

sebelum

dirujuk

melalui

jalan/lorong penghubung yang dingin. •

Hangatkan inkubator terlebih dahulu sebelum meletakkan bayi di dalamnya.



Gunakan

oksigen

yang

telah

dihangatkan

dan

dilembabkan. •

Pastikan heating unit pada radiant warmer tidak tertutupi oleh petugas yang sedang bekerja.

3) Kehilangan panas secara evaporasi •

Segera keringkan bayi setelah kelahiran, atau lap dengan selimut atau handuk yang telah dihangatkan dan segera singkirkan semua kain yang basah.



Setelah mengeringkan kepala bayi, kenakan topi.

105



Tutupi BBLSR segera setelah kelahiran dengan plastik polietilen dari leher sampai kaki.



Naikkan suhu ruangan menjadi 25-28˚C.153



Minimalkan atau hindarkan bayi dari aliran udara di sekelilingnya.



Hangatkan dan lembabkan oksigen segera.



Hangatkan cairan atau krim yang akan berkontak dengan kulit bayi, misalnya hangatkan cairan antiseptik terlebih dahulu,

tetapi

jangan

over-heated

yang

dapat

menimbulkan luka bakar. 4) Kehilangan panas secara radiasi •

Jauhkan bayi dari kaca atau dinding yang dingin.



Pasang penghalang hantaran suhu pada jendela.



Tutupi inkubator dan menjauhkannya dari kaca atau dinding yang dingin.



Gunakan inkubator berdinding ganda untuk menyediakan permukaan yang lebih hangat di dekat bayi.

Suhu ruang perawatan BBLR adalah 25-28˚C. Level of evidence IV, derajat rekomendasi C Kotak 2 menunjukkan secara garis besar tata laksana temperatur pada BBLR untuk menciptakan kondisi “warm”.38

106

Tata laksana suhu BBLR 1.

Waspada dengan hipotermia.

2.

Bayi yang paling rentan mengalami hipotermia:

a. kurang bulan dan KMK b. mengalami resusitasi yang berkepanjangan c. sedang sakit akut d. mengalami defek kulit terbuka (pada perut dan tulang belakang) 3.

Ingat dasar-dasar penting:

▪ gunakan oksigen yang hangat dan lembab ▪ hangatkan peralatan yang akan digunakan sebelum bersentuhan dengan bayi ▪ gunakan radiant warmer on servo-control (bukan manual) 4.

Lakukan rewarming pada bayi yang mengalami

hipotermia dengan hati-hati dan persiapkan untuk keperluan resusitasi pada saat atau setelah rewarming. Kotak 2. Tata laksana suhu BBLR.38

Bayi juga perlu dihindarkan dari terkena panas terlalu banyak (heat gain). Over-heated dapat terjadi dengan paparan bayi terhadap sinar matahari langsung, penghangat tempat tidur bayi berada dalam mode manual control sementara tidak ada pengukur suhu yang melekat pada tubuh bayi, serta penggunaan lampu pemanas yang tidak berhati-hati. Penghangat tempat tidur bayi sebaiknya diatur dalam servo-control.38 Tenaga kesehatan harus melakukan rewarming pada bayi yang

hipotermia.

Rewarming

disarankan

untuk

dilakukan

bertahap, sekitar 0,5⁰C per jam. Rewarming yang dilakukan dengan cepat bisa memicu kejang pada neonatus. Untuk melakukan

107

rewarming, inkubator atau radiant warmer dapat digunakan. Inkubator

memungkinkan

tenaga

kesehatan

untuk

dapat

mengontrol proses rewarming lebih baik dibandingkan dengan radiant warmer. Saat proses rewarming, pemantauan ketat meliputi suhu aksilar denyut dan irama jantung (waspadai aritmia), tekanan darah (waspadai hipotensi akibat vasodilatasi yang tiba-tiba), frekuensi dan usaha napas, saturasi oksigen, tingkat kesadaran, status asam/basa, dan kadar gula darah. Rewarming dapat dilakukan menggunakan: 1) Inkubator Kelebihan dalam

menggunakan

mengontrol

inkubator

kecepatan

adalah

rewarming

kemudahan

(Gambar

14).

Inkubator diatur dalam mode air temperature yang diatur 11,5˚C di atas suhu bayi, lalu naikkan suhu inkubator secara perlahan sesuai toleransi bayi. Tenaga kesehatan harus tetap melakukan pemantauan ketat selama proses rewarming. Saat suhu bayi telah mencapai set point inkubator dan tidak ada tanda perburukan klinis pada bayi, suhu inkubator dapat dinaikkan 1-1,5˚C di atas suhu aksila sampai suhu bayi mencapai normal. Tanda-tanda perburukan klinis yang dapat terjadi saat proses rewarming meliputi takikardia, aritmia, hipotensi, hipoksemia, perburukan gangguan napas, dan perburukan status asidosis.38 Inkubator unggul dalam mengurangi risiko insensible water loss (IWL) maupun kehilangan panas secara konveksi, oleh sebab itu inkubator cenderung dipilih untuk bayi kurang bulan. Tetapi inkubator dapat

menyulitkan

ketika

tenaga

kesehatan

hendak

melakukan prosedur/tindakan medis.136

108

2) Radiant warmer Radiant warmer yang digunakan untuk rewarming harus diatur dalam mode servo-control dengan suhu 36,5˚C (Gambar 15). Bayi dibaringkan telentang dan servo-temperature probe diposisikan di atas hati. Tenaga kesehatan harus memantau ketat hal-hal yang disebutkan di atas beserta tanda-tanda perburukan klinis. Kecepatan rewarming tidak dapat diatur pada radiant warmer, maka rewarming menggunakan radiant warmer memiliki risiko vasodilatasi jika output panas terlalu tinggi. Untuk mengantisipasi terjadinya hipotensi, tenaga kesehatan sebaiknya mempersiapkan tambahan cairan dan obat inotropik.38 Radiant warmer unggul dibandingkan inkubator

dalam kemudahan

tenaga

kesehatan

untuk

memantau serta melakukan prosedur/tindakan pada bayi. Kekurangan radiant warmer yaitu meningkatkan IWL dan tidak melindungi bayi dari kehilangan panas secara konveksi dan

evaporasi.

Adanya

risiko

peningkatan

IWL

ini

menyebabkan penyesuaian dengan perhitungan kebutuhan cairan perlu dilakukan sesuai dengan kondisi tiap bayi.136 Penggunaan radiant warmer meningkatkan insensible water loss (IWL) sehingga perhitungan kebutuhan cairan perlu disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap bayi. Level of evidence IB, derajat rekomendasi A Jika bayi diletakkan di radiant warmer, skin probe perlu dipasang pada bayi untuk melindunginya dari over-heating. Dengan demikian warmer dapat berfungsi seperti termostat dan mempertahankan suhu bayi 36,5-37,5°C. Bayi harus dalam keadaan telanjang di dalam warmer, dan tindakan

109

menutupi bayi justru akan mencegah panas sampai ke bayi. Pencatatan temperatur bayi harus dilakukan selama bayi berada dalam radiant warmer maupun inkubator.154

Gambar 14 Inkubator

Gambar 15 Radiant warmer

3) Perawatan metode kanguru (PMK) atau Kangoroo mother care (KMC) Perawatan metode kanguru adalah alternatif yang efektif untuk mencegah hipotermia pada BBLR di sarana dengan fasilitas terbatas.155 Perawatan metode kanguru dilakukan pada berat lahir ≤1800 g, tidak ada kegawatan napas dan sirkulasi, tidak ada kelainan kongenital yang berat, dan mampu bernapas sendiri. Apabila BBLR tersebut masih memerlukan

pemantauan

kardiopulmonal,

oksimetri,

pemberian terapi oksigen, atau pemberian VTP atau CPAP, infus IV, dan pemantauan lain, maka hal-hal tersebut tidak mencegah pelaksanaan PMK (Gambar 16).

110

Metode perawatan metode kanguru (PMK) efektif untuk mencegah hipotermia pada BBLR di sarana dengan fasilitas terbatas. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

111

Gambar 16 Tahap-tahap perawatan bayi kangguru

112

Selain menggunakan inkubator, radiant warmer, dan PMK, teknik lain untuk mengatasi hipotermia adalah menggunakan cling wrap. Cling wrap adalah polythene film yang umumnya digunakan sehari-hari untuk membungkus makanan (Gambar 17a dan 17b).156

a

b

Gambar 17a Cling wrap.157 17b Bayi dibungkus plastik untuk mencegah hipotermia.157

Pemakaian plastik transparan pada bayi baru lahir <1500 g dan/atau usia gestasi <28 minggu dari leher sampai kaki, tanpa terlebih dahulu mengeringkan bayi, dapat mempertahankan suhu bayi baru lahir sehingga menurunkan kejadian hipotermia.158 Setelah dibungkus dengan plastik transparan, bayi baru lahir diletakkan di radiant warmer, selanjutnya resusitasi dan stabilisasi dapat dimulai sesuai dengan pedoman standar. Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu, kombinasi pengaturan suhu kamar bersalin polythene

sekurang-kurangnya merupakan

26°C

metoda

dan

yang

penggunaan

paling

efektif

plastik untuk

mempertahankan temperatur.151,159

113

Membungkus bayi dengan berat lahir <1500 g

dan/atau usia

gestasi <28 minggu menggunakan plastik transparan setinggi leher sampai kaki, tanpa mengeringkan bayi terlebih dahulu, mengurangi kejadian hipotermia. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu, kombinasi setting suhu kamar bersalin sekurang-kurangnya 26°C dan penggunaan plastik polythene merupakan metoda yang paling efektif untuk mempertahankan temperatur. Level of evidence II, derajat rekomendasi B 1)

Terapi

hipotermia:

penggunaan

aliran

oksigen

yang

dihangatkan dan dilembabkan (heated and humidified air) xii,xiii,xiv

Salah satu masalah yang sering dijumpai pada BBLR adalah hipotermia akibat kehilangan panas tubuh melalui penguapan. Luasnya permukaan kulit BBLR disertai rendahnya temperatur di ruang bersalin akan meningkatkan risiko terjadinya hipotermia.160162

Panduan resusitasi neonatal internasional menganjurkan

berbagai teknik untuk mengatasi hipotermia, salah satunya adalah membungkus bayi dengan plastik yang ditutup sampai leher untuk mengurangi kehilangan panas tubuh97 disertai penggunaan matras yang telah dihangatkan dan penyesuaian temperatur ruang bersalin.140,151 Te Pas et al161 (2010) melaporkan bahwa penggunaan udara yang telah dihangatkan dan dilembabkan (heated and humidified air) mengurangi kejadian hipotermia pada BBLR. Alat yang digunakan adalah MR850 heated humidifier dan heated circuit (900RD110 humidified resuscitation circuit). Udara dilembabkan

114

dengan mengisi 20 mL air pada humidifier, volume udara diatur sebesar 8 L/menit dan udara dihangatkan pada suhu 37˚C. c. AIRWAY dan breathing Airway adalah melakukan evaluasi bebasnya jalan napas untuk identifikan adanya gangguan napas. Breathing upaya memberikan bantuan bernapas dengan memberikan tunjangan terapi oksigen. Penggunaan

aliran

oksigen

yang

telah

dihangatkan

dan

dilembabkan (heated and humidified air) mengurangi kejadian hipotermia pada BBLR. Level of evidence III, derajat rekomendasi C 1) Evaluasi gangguan napas Kegagalan respiratorik dapat terjadi dengan cepat, sehingga penanganan penanganan jalan napas atau airway yang cepat dan tepat merupakan salah satu modalitas utama untuk meningkatkan kesintasan neonatus. Neonatus dengan RDS merupakan kasus gangguan napas yang paling banyak memerlukan perawatan intensif. Neonatus dengan masalah respiratorik ini membutuhkan evaluasi setiap beberapa menit dan jika sudah stabil, maka evaluasi dapat dilakukan setiap 1-3 jam sekali.38 Penilaian RDS dapat dilakukan dengan melihat derajat RDS itu sendiri, menilai frekuensi napas, usaha bernapas, kebutuhan oksigen, saturasi oksigen, foto dada, dan AGD. Derajat RDS dibagi menjadi tiga, yaitu:38 a) Ringan Frekuensi napas meningkat (>60x/menit) tanpa suplementasi oksigen, dengan atau tanpa usaha napas yang minimal seperti retraksi dan napas cuping hidung.

115

b) Sedang Neonatus sudah tampak sianosis dalam udara kamar dan menunjukkan tanda-tanda usaha bernapas yang meningkat, dengan AGD yang abnormal. c) Berat Neonatus mengalami sianosis sentral, kesulitan bernapas, dengan AGD yang abnormal. Penilaian berat gangguan napas pada bayi dapat dilakukan dengan sistem penilaian Downes (Downes score)163 dan dapat digunakan pada segala kondisi dan usia gestasi bayi (Tabel 6)164,165 Tabel 6 Downes Score164,166 Karakteristik

0

1

2

Frekuensi napas

<60 kali per menit

60-80 kali per menit

>80 kali per menit atau apne

Retraksi dada

Tidak ada

Ringan

Berat

Sianosis

Tidak ada

Hilang dengan terapi oksigen

Menetap walaupun diberi terapi oksigen

Masuknya udara

Udara masuk

Penurunan ringan

Tidak ada udara masuk

Merintih

Tidak ada

Terdengar dengan stetoskop

Terdengar tanpa stetoskop

Frekuensi

napas

yang

rendah

(<30

kali

per

menit)

mengindikasikan adanya gangguan pada otak (seperti ensefalopati hipoksik iskemik atau hypoxic ischemic encephalopathy (HIE), edema, atau perdarahan intrakranial), pengaruh obat (opioid), atau mengalami syok yang berat. Neonatus dengan kondisi seperti ini dapat mengalami apne atau gasping.38 Frekuensi napas yang cepat (takipne) merupakan indikasi untuk melakukan evaluasi yang lebih menyeluruh meliputi usaha napas, oksigenasi, SpO2, foto dada, dan AGD. Takipne yang terjadi

116

tanpa peningkatan PaCO2 (<35 mmHg) kemungkinan tidak berasal dari masalah pulmonal, misalnya penyakit jantung bawaan (PJB), asidosis metabolik, dan kerusakan otak. Takipne yang disertai peningkatan PaCO2 dapat terjadi karena masalah pulmonal seperti RDS, pneumonia, transient tachypnea of the newborn (TTN), aspirasi mekonium, perdarahan paru, obstruksi jalan napas, massa paru, hernia diafragmatika, atau pneumotoraks.38 2) Terapi oksigen Neonatus yang mengalami sianosis di udara kamar, dan mengalami RDS

ringan

hingga

sedang

membutuhkan

oksigen

dalam

penanganannya. Terapi oksigen adalah salah satu terapi yang sering digunakan dalam penanganan neonatus yang bermasalah, untuk mencegah hipoksemia, mengurangi kerja otot pernapasan, dan menurunkan beban miokardium.166 Terapi oksigen dalam jangka

panjang

dapat

menimbulkan

toksisitas

sehingga

pemakaiannya harus diatur. Efek toksisitas oksigen yang dapat terjadi adalah ROP, BPD, enterokolitis nekrotikans, PVL, dan dapat juga memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.167,168 Saat ini pemberian oksigen melalui inkubator sudah tidak direkomendasikan

lagi.

Sehubungan

konsekuensi

intoksikasi

oksigen pada neonatus, maka disarankan oksigen diberikan dengan dititrasi, dan dimulai dari konsentrasi 21%, serta 25-30% pada bayi prematur dengan usia gestasi < 35 minggu. Target saturasi oksigen adalah >90-95%. Udara yang digunakan

sebaiknya

udara

yang

telah

dihangatkan

dan

dilembabkan untuk mengurangi cold stress dan IWL. Observasi klinis respons bayi terhadap terapi oksigen meliputi warna, frekuensi napas, usaha napas, dan keadaan umum (bayi yang hipoksia dapat terlihat letargis). Pencatatan respons bayi dilakukan

117

tiap jam hingga kondisi bayi stabil, selanjutnya tiap 2-4 jam sesuai dengan kebutuhan.74 Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian terapi oksigen pada bayi prematur dengan menjaga kecukupan oksigen (dihindari

dari

hipoksia

atau

hiperoksia)

adalah

dengan

mempertahankan saturasi oksigen berkisar antara >90%-95%.169 Pada bayi dengan SaO2 <90% ternyata 50% dari bayi tersebut mempunyai PaO2 yang sangat bervariasi serta pada umumnya < 45mmHg. Sebaliknya pada bayi dengan Sa)2 > 95% didapatkan PaO2 dari 80 mmHg -300mmHg. Tabel 7 Kadar SpO2 yang dibutuhkan neonatus.170 Neonatus Cukup bulan dan kurang bulan Neonatus dengan hipertensi pulmonal Semua neonatus dalam udara bebas

Rentang SpO2 (%)

Alarm limits (lowhigh) (%)

>90-95%

88-96

Sesuai pertimbangan dokter

Data tidak tersedia

86-100

Target saturasi oksigen dalam fase stabilisasi adalah >90-95% Level of evidence II, derajat rekomendasi a) Metode pemberian terapi oksigen Mengingbat pentinganya stabilisasi pernafasan dengan menjaga agar alveoli paru senantiasa terbuka, maka pada fase akut /stabilisisai pemberian terapi oksigen melalui sungkup kepala, nasal kanula aliran rendah tidak direkomendasikan.

118

Gambar 18 Terapi oksigen melalui sungkup kepala

Gambar 19 Terapi oksigen menggunakan nasal kanul

(1) Continuous positive airway pressure (CPAP) CPAP merupakan salah satu modalitas utama terapi oksigen non-invasif yang memberikan TPAE. Indikasi penggunaan CPAP adalah semua neonatus dengan kesulitan bernafas selama tidak didapatkan kontra indikasi seperti obstruksi saluran cerna dan NEC stadium II.

119

Gambar 20 Peralatan CPAP

Gambar 21 Ventilator

Pemberian oksigen melalui nasal kanula aliran tinggi dapat dipertimbangkan bila tidak ada fasilitas pemberian cpap, namun dengan beberapa hal yang harus diperhatikan seperti: aliran > 2L per menit, besar maksimum aliran tergantung jenis alat yang dipakai, harus disertai humidifikasi dan dihangatkan. Dari meta analisis yang dilakukan pada tahun 2016 didapatkan bahwa pemberian oksigen nasal kanula aliran tinggi dan cpap mempunyai efektifitas yang sama dan aman sebagai penanganan bantuan pernafasan fase akut, meski masih memerlukan studi lebih lanjut. (Level of Evidence II)

120

(2) Ventilator Neonatus yang membutuhkan ventilator adalah neonatus yang pernah mengalami apne, gagal napas,penggunaan terapi oksigen dengan CPAP tidak adekuat (kebutuhan FiO2 >40%, asidosis respiratorik (pH <7,20-7,25), PaO2<50 mmHg, dan kulit pucat

atau

sianosis

disertai

agitasi),

adanya

gangguan

neurologis (apne of prematurity, perdarahan intrakranial, dan gangguan neuromuskular kongenital), RDS, sindrom aspirasi mekonium, gangguan kardiovaskular (persistent pulmonary hypertension of the newborn, pasca-resusitasi, PJB, dan syok), dan

pasca-operasi

karena

gangguan

fungsi

ventilasi.171

Neonatus yang menggunakan ventilator harus diawasi secara ketat termasuk pengawasan pengaturan ventilator (Gambar 21). Terapi oksigen pada neonatus sering diberikan dalam jangka panjang dan menggunakan SpO2tinggi. Perhitungan terapi oksigen untuk mencegah ROP dapat dibantu dengan tabel supplemental therapeutic oxygenfor prethreshold retinopathy of prematurity (STOPROP) (Tabel 8 dan Tabel 9).172,173

121

Tabel 8 Konversi FiO2 STOP ROP.174

Aliran (lpm)

Berat (kg) 0,7

1

1,25 1,5

2

2,5

3

3,5

4

0,01 = 1/100

1

1

1

1

1

0

0

0

0

0,03 = 1/32

4

3

3

2

2

1

1

1

1

0,06 = 1/16

9

6

5

4

3

3

2

2

2

0,13 = 1/8

18

13

10

8

6

5

4

4

3

0,15 = 3/20

21

15

12

10

8

6

5

4

4

0,25 = ¼

36

25

20

17

10

10

8

7

6

0,50 = ½

71

50

40

33

17

20

17

14

13

0,75 = ¾

100 75

60

50

38

30

25

21

19

1

100 100 80

67

50

40

33

29

25

1,25 = 1¼

100 100 100

83

63

50

42

36

31

1,50 = 1½

100 100 100

100 75

60

50

43

38

2

100 100 100

100 100 80

67

57

50

3

100 100 100

100 100 100 100 86

75

4

100 100 100

100 100 100 100 100 100

5

100 100 100

100 100 100 100 100 100

6

100 100 100

100 100 100 100 100 100

Faktor: 100* min (1, lpm/kg)

122

Tabel 9 FiO2 efektif sebagai fungsi dari faktor dan konsentrasi oksigen173,174

Faktor

Konsentrasi oksigen (%) 21

22

25

30

40

50

100

0

21

21

21

21

21

21

21

1

21

21

21

21

21

21

22

2

21

21

21

21

21

22

23

3

21

21

21

21

22

22

23

4

21

21

21

21

22

22

24

5

21

21

21

21

22

22

25

6

21

21

21

22

22

23

26

Faktor Konsentrasi oksigen (%) 7

21

21

21

22

22

23

27

8

21

21

21

22

23

23

27

9

21

21

21

22

23

24

28

10

21

21

21

22

23

24

29

12

21

21

21

22

23

24

30

13

21

21

22

22

23

25

31

14

21

21

22

22

24

25

32

15

21

21

22

22

24

25

33

21

22

25

30

40

50

100

17

21

21

22

23

24

26

34

18

21

21

22

23

24

26

35

19

21

21

22

23

25

27

36

20

21

21

22

23

25

27

37

21

21

21

22

23

25

27

38

25

21

21

22

23

26

28

41

29

21

21

22

24

27

29

44

30

21

21

22

24

27

30

45

31

21

21

22

24

27

30

45

33

21

21

22

24

27

21

47

36

21

21

22

24

28

31

49

123

38

21

21

23

24

28

32

51

40

21

21

23

25

29

33

53

42

21

21

23

25

29

33

54

43

21

21

23

25

29

33

55

50

21

22

23

26

31

36

61

57

21

22

23

26

32

38

66

60

21

22

23

26

32

38

68

63

21

22

24

27

33

39

71

67

21

22

24

27

34

40

74

71

21

22

24

27

34

42

77

75

21

22

24

28

35

43

80

80

21

22

24

28

36

44

84

Faktor Konsentrasi oksigen (%) 83

21

22

24

28

37

45

87

86

21

22

24

29

37

46

89

100

21

22

25

30

40

50

100

FiO2 = 21 + Faktor * (konsentrasi – 21)/100 Contoh penggunaan Tabel STOP ROP Kasus: Berapakah FiO2 yang efektif pada bayi dengan berat badan 1500 g, yang terpasang kanula oksigen 100% dengan aliran 0,25 lpm? Penanganan: Carilah kolom berat 1500 g dan 0,25 lpm dalam Tabel 5 untuk mendapatkan faktor. Pada kasus ini faktor 17 diperoleh. Gunakan faktor 17 tersebut dan oksigen 100% dalam Tabel 6 untuk menentukan FiO2 yang efektif. Maka hasilnya adalah 34%. Masalah terapi oksigen yang dihadapi oleh fasilitas kesehatan di Indonesia terutama selain di kota besar adalah ketiadaan pulse oximeter, blender, oxygen analyzer, sumber udara tekan, dan T-piece resuscitator. Alternatif terapi oksigen dengan tidak tersedianya 124

blender, oxygen analyzer, dan sumber udara tekan antara lain dengan venturi (Gambar 20) dan Y-tube (Gambar 21). Venturi adalah tabung plastik pendek yang disambungkan dengan pipa penyalur oksigen. Venturi dapat disambungkan dengan sungkup kepala dan sungkup wajah. Beberapa venturi mencampur

oksigen

murni

dengan

udara

kamar

untuk

memberikan FiO2 sesuai kebutuhan. Venturi memiliki beberapa adaptor, masing-masing dengan bukaan/jendela yang besar untuk memasukkan udara kamar. Oksigen melalui venturi dan menarik udara kamar sehingga terjadi percampuran kedua gas (Tabel 7).

Gambar 22 Venturi

125

Tabel 10 Terapi oksigen dengan venturi

Warna venture

Flow (L/menit)

FiO2 (%)

Biru

3

24

Putih

6

28

Kuning

12

35

Merah

15

40

Merah muda

15

50

Modifikasi terapi oksigen pada fasilitas terbatas lainnya adalah dengan Y tube. Penggunaan Y-tube bertujuan mencampur oksigen dengan udara tekan (Gambar 21) dengan perhitungan pada Tabel 8.

Gambar 23 Modifikasi terapi oksigen dengan Y-tube

126

Tabel 11 Perhitungan terapi oksigen dengan Y-tube Udara Bertekanan (L/menit) Konsentrasi O2 (%)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

41%

37%

34%

32%

31%

30%

29%

28%

61%

53%

47%

44%

41%

38%

37%

35%

34%

1 2 3

80%

68%

61%

55%

51%

47%

45%

43%

41%

39%

4

84%

74%

66%

61%

56%

52%

50%

47%

45%

44%

5

86%

77%

70%

65%

61%

57%

54%

51%

49%

47%

6

88%

80%

74%

68%

64%

61%

57%

54%

53%

51%

7

90%

82%

76%

71%

67%

64%

61%

58%

56%

54%

8

91%

84%

78%

74%

70%

66%

63%

61%

58%

56%

9

92%

86%

80%

76%

72%

68%

65%

63%

61%

58%

10

93%

87%

82%

77%

74%

70%

67%

65%

63%

61%

3) Terapi oksigen: target kadar oksigen darah rendah atau tinggi, pemberian oksigen terbatas atau liberal Terapi oksigen lazim diterapkan dalam perawatan neonatal, bertujuan untuk menangani hipoksemia, mengurangi kerja otot pernapasan, dan menurunkan beban kerja miokardium. Terapi oksigen ternyata tidak hanya memberikan keuntungan, melainkan juga kerugian. Kontroversi mengenai suplementasi oksigen ini adalah dalam menetapkan target kadar oksigen dalam darah pada BBLR. Target kadar oksigen yang tinggi memberi nilai positif dalam hal pola tidur bayi yang stabil serta mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang baik dalam jangka panjang. Tetapi target kadar oksigen yang tinggi ini dapat menimbulkan keadaan hiperoksia, dan menjadi faktor yang berpengaruh untuk terjadinya ROP dan penyakit paru kronik seperti BPD.42,175 Bayi kurang bulan berpotensi mengalami stres oksidatif bukan hanya karena mereka terpapar dengan terapi oksigen yang lebih banyak, melainkan juga secara bersamaan bayi kurang bulan

127

mengalami inflamasi, memiliki pertahanan yang kurang terhadap stres oksidatif, serta mempunyai kadar besi bebas di jaringan yang memicu

pembentukan

radikal

hidroksil.176

Terapi

dengan

antioksidan selama ini belum memberikan hasil yang baik, oleh karena itu saat ini intervensi yang rasional untuk mengurangi risiko stres oksidatif adalah dengan mengontrol suplementasi oksigen dan mencegah inflamasi.177 Faktor lain yang dapat memicu stres oksidatif di antaranya transfusi dan nutrisi parenteral.178,179 Telaah sistematik oleh Ballot et al40 (2010) terhadap 5 studi menunjukkan bahwa terapi oksigen yang terbatas (restricted) secara bermakna menurunkan angka kejadian dan derajat ROP, tanpa terjadi peningkatan mortalitas. Satu studi prospektif, multisenter, tersamar ganda menunjukkan bahwa kelompok BBLR yang memiliki kadar oksigen darah yang rendah dan tinggi tidak berbeda bermakna dalam kejadian ROP, mortalitas, maupun pertumbuhan dan perkembangan. Tetapi subyek yang memiliki kadar oksigen darah tinggi mengalami peningkatan kejadian penyakit paru kronik dan penggunaan oksigen di rumah. Dengan demikian pemberian terapi oksigen yang liberal dan tidak dipantau akan menghasilkan luaran yang buruk, sedangkan pemberian oksigen restricted sebaliknya. Namun hingga saat ini belum ada bukti yang memadai untuk menetapkan besarnya suplementasi oksigen yang paling baik bagi BBLR.176 Meta-analisis oleh Chen et al180 (2010) melaporkan kejadian ROP pada bayi kurang bulan lebih rendah pada penggunaan oksigen

rendah

dibandingkan

dengan

oksigen

tinggi

(RR

0,48;IK95% 0,31-0,75). Khusus pada populasi BBLSR dan BBLASR, telaah sistematik oleh Saugstad et al181 (2011) menganalisis 8 studi yang membandingkan efek pemberian kadar oksigen rendah (70≤95%) dengan tinggi (88-100%) yang dipantau dengan pulse

128

oximeter, terhadap kejadian ROP dan BPD. Telaah tersebut menyimpulkan bahwa penurunan risiko ROP derajat berat terjadi pada pemberian oksigen rendah (9,5%) dibandingkan dengan oksigen tinggi (20,9%) (risiko relatif (RR) 0,48; interval kepercayaan 95% (IK95%) 0,34-0,68). Penurunan risiko BPD juga terjadi pada penggunaan oksigen rendah (29,7%) dibandingkan dengan oksigen tinggi (40,8%) (RR 0,79;IK95% 0,64-0,97). Hanya 2 studi yang mengevaluasi kematian sebagai luaran, dan telaah ini memperoleh data mortalitas yang meningkat pada penggunaan oksigen rendah dibandingkan dengan oksigen tinggi (RR 1,12;IK95% 0,86-1,45). Pemberian terapi oksigen harus secara terbatas (restricted) dan terpantau kadarnya dalam darah. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A Terapi oksigen dalam kadar rendah yaitu 30% menurunkan risiko ROP dan BPD. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A 4) Penghentian terapi oksigen: bertahap atau tiba-tiba Gangguan pernapasan sering menjadi masalah pada BBLR, sehingga suplementasi oksigen diperlukan. Pemberian oksigen terlalu

rendah

ataupun

terlalu

tinggi

dapat

menimbulkan

kerusakan terhadap organ mata dan paru, oleh karena itu pemberian oksigen dalam kadar yang tepat merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Demikian pula cara menghentikan terapi oksigen atau weaning, yaitu secara bertahap atau tiba-tiba adalah pilihan yang masih menjadi kontroversi. Telaah sistematik tentang metoda penghentian oksigen ini hanya memperoleh satu studi

dengan

besar

sampel

51

subyek.

Telaah

tersebut

129

menyimpulkan bahwa penghentian terapi oksigen secara bertahap dibandingkan dengan secara tiba-tiba, menurunkan kejadian vascular retrolental fibroplasia (misalnya ROP derajat berat) (RR 0,22; IK95% 0,07-0,68).182 Penghentian terapi oksigen dilakukan secara bertahap. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A d. BLOOD PRESSURE Syok didefinisikan sebagai perfusi organ vital dan pengangkutan oksigen yang tidak adekuat. Definisi lain untuk syok adalah keadaan

yang

kompleks

dengan

disfungsi

sirkulasi

yang

mengakibatkan pengangkutan oksigen dan nutrisi tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Kegagalan untuk segera mengenali dan menatalaksana syok dapat meyebabkan kegagalan organ multipel dan bahkan kematian pada bayi baru lahir, sehingga tata laksana syok harus dilakukan segera dan agresif. Syok terbagi dalam tiga tipe yaitu syok hipovolemik, kardiogenik, dan septik.38 1)

Syok hipovolemik Syok

hipovolemik

disebabkan

oleh

rendahnya

volume

sirkulasi darah. Penyebab syok hipovolemik terdiri atas: a) Kehilangan darah akut selama periode kelahiran (1) Perdarahan fetal-maternal (2) Plasenta previa (3) Luka pada tali pusat (4) Transfusi antar bayi kembar (twin-to-twin transfusion) (5) Laserasi organ (hati atau pankreas) b) Perdarahan pasca-lahir • Otak

130

• Paru • Kelenjar adrenal • Kulit kepala (perdarahan subgaleal) c) Penyebab bukan perdarahan • Kebocoran kapiler yang berat sekunder terhadap infeksi • Dehidrasi d) Hipotensi fungsional • Tension pneumothorax (mengganggu curah jantung) • Pneumopericardium (mengganggu curah jantung) Beberapa penyebab perdarahan pasca-lahir dapat terjadi sebelum kelahiran atau selama periode kelahiran. Bayi dengan syok hipovolemik menunjukkan tanda-tanda curah jantung yang kurang: takikardia, nadi lemah, waktu pengisian kapiler memanjang, dan warna kebiruan. Apabila bayi kehilangan darah dalam jumlah banyak maka bayi dapat terlihat pucat, dan disertai asidosis dan hipotensi (tanda akhir dari curah jantung yang lemah).38 2)

Syok kardiogenik Syok kardiogenik (gagal jantung) terjadi saat otot-otot jantung berfungsi dengan lemah dan dapat terjadi pada bayi dengan: Error! Bookmark not defined.

• Asfiksia selama masa kelahiran atau pasca-lahir • Hipoksia dan/atau metabolik asidosis • Infeksi bakteri atau virus • Gangguan pernapasan berat (membutuhkan bantuan ventilasi) • Hipoglikemia berat • Metabolik dan/atau gangguan elektrolit berat • Aritmia

131

• Kelainan

jantung

bawaan,

terutama

bayi

dengan

hipoksemia berat atau obstruksi aliran darah ke sirkulasi sistemik 3)

Syok septik (distributif) Infeksi

berat

dapat

mengakibatkan

syok

septik

atau

distributif. Keadaan bayi dengan syok septik memburuk dengan cepat. Dengan adanya infeksi bakterial, terjadi reaksi sistematik yang kompleks yang berakibat pada penurunan sirkulasi. Karakteristik khas pada syok tipe ini adalah hipotensi dengan respons lemah terhadap resusitasi cairan. Vaskuler

yang

kehilangan

integritasnya

menyebabkan

kebocoran cairan dari pembuluh darah ke ruang jaringan (juga

mengakibatkan

syok

hipovolemik).

Kontraksi

miokardium yang lemah juga mengakibatkan perfusi dan oksigenasi jaringan yang lemah. Bayi dengan syok septik seringkali membutuhkan pengobatan untuk memperbaiki hipotensi berat. Risiko trauma organ dan kematian sangat tinggi pada bayi dengan syok tipe ini. Kadang kala, bayi dapat juga menderita kombinasi dari ketiga tipe syok tersebut.38 Pemeriksaan fisis untuk syok Usaha napas •

Peningkatan usaha napas (retraksi, mendengkur, pernapasan cuping hidung)



Takipnea



Apne



Napas

terengah-engah

(tanda

akan

terjadinya

cardiorespiratory arrest)

132

Nadi a) Nadi perifer lemah atau tidak teraba b) Nadi brakial lebih kuat daripada nadi femoral (pertimbangkan koarktasio aorta atau kelainan arkus aorta) Perfusi perifer a) Perfusi lemah (terjadi akibat vasokonstriksi dan curah jantung yang kurang) b) Pemanjangan waktu pengisian kapiler (>3 detik pada bayi yang sakit dianggap tidak normal) c) Mottled sign d) Kulit yang dingin Warna a) Sianosis b) Pucat (dapat mengindikasikan kadar hemoglobin yang sangat rendah sebagai akibat sekunder perdarahan) c) Evaluasi oksigenasi dan saturasi d) Evaluasi gas darah untuk asidosis respiratorik, metabolik, atau keduanya Denyut jantung a) Bradikardia (<100 denyut per menit) dengan tanda-tanda perfusi yang buruk (1) Hipoksemia,

hipotensi,

dan

asidosis

menyebabkan

penurunan sistem konduksi (2) Bradikardia yang dikombinasikan dengan syok berat adalah tanda awal akan terjadi henti jantung dan paru (3) Singkirkan heart block sebagai salah satu penyebabnya b) Takikardia

(>180

denyut

per

menit

yang

terjadi

berkepanjangan saat istirahat) (1) Takikardia dapat mengindikasikan curah jantung yang kurang dan/atau gagal jantung kongestif

133

(2) Denyut jantung yang normal adalah 120-160 denyut per menit, tetapi dapat berkisar 80-200 denyut per menit tergantung tingkat aktivitas bayi (3) Apabila

denyut

jantung

>220

denyut

per

menit,

pertimbangkan takikardia supraventrikular Jantung a) Ukuran jantung yang membesar pada Röntgen toraks (berhubungan

dengan

disfungsi

miokardium

dan

perkembangan gagal jantung kongestif) b) Ukuran jantung lebih kecil dari normal, atau terkompresi pada Röntgen toraks (dapat merefleksikan pengisian jantung atau pre-load yang lemah) c) Evaluasi adanya murmur (meskipun tidak ada murmur, kelainan jantung bawaan struktural dapat terjadi) Tekanan darah a) Dapat berupa normal atau rendah: hipotensi adalah tanda akhir dari dekompensasi jantung. b) Evaluasi tekanan nadi (tekanan sistolik – tekanan diastolik). Tekanan nadi normal pada bayi cukup bulan 25-30 mmHg dan pada bayi kurang bulan 15-25 mmHg. Tekanan nadi yang sempit dapat mengindikasikan vasokonstriksi perifer, gagal jantung, atau curah jantung rendah. Tekanan nadi yang lebar dapat mengindikasikan runoff aortic yang besar, seperti yang terlihat pada duktus arteriosus paten yang signifikan atau malformasi arteriovena besar. Pemeriksaan laboratorium untuk evaluasi syok 1) Analisis gas darah Asidosis metabolik dapat terjadi dengan pH dan bikarbonat yang

rendah.

Apabila

bayi

mengalami

insufisiensi

134

pernapasan, pCO2 dapat meningkat dan kombinasi asidosis respiratorik dan metabolik dapat terjadi. a) pH <7,3 tidak normal b) pH <7,25 mencurigakan, terutama jika ada bersamaan dengan

perfusi

yang

buruk,

takikardia,

dan/atau

hipotensi c) pH <7,2 tidak normal secara signifikan d) pH <7,1 mengindikasikan bayi dengan kondisi krisis berat 2) Glukosa Hiperglikemia dapat menjadi tanda awal respon bayi terhadap stress. Gula darah harus dievaluasi secara teratur sampai pola stabilitas gula darah tercapai. 3) Elektrolit (hipo- atau hiper-natremia, hipo- atau hiperkalemia) Apabila terdapat metabolik asidosis, hitung anion gap. 4) Pemeriksaan lain dan observasi: a) Ekokardiografi untuk mengevaluasi fungsi jantung dan mengeliminasi

kelainan

jantung

bawaan

struktural

sebagai penyebab b) Evaluasi produksi urin (oliguria atau anuria) c) Evaluasi sepsis (pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis dan kultur darah) Prinsip curah jantung Curah jantung (cardiac output (CO)) dipengaruhi oleh frekuensi denyut jantung (heart rate (HR) dan isi sekuncup (stroke volume (SV)). Denyut jantung dikali dengan isi sekuncup sama dengan cardiac output (HR x SV = CO). Miokardium bayi baru lahir memiliki kapasitas yang terbatas untuk meningkatkan isi sekuncup dengan sendirinya, sehingga dalam merespons syok, denyut jantung bayi

135

akan naik untuk meningkatkan curah jantung dan mengakibatkan takikardia. Selain elektrolit, mineral, atau ketidakseimbangan energi,

terdapat

beberapa

faktor

yang

menurunkan

curah

jantung:38 12)

Penurunan volume kembalinya darah vena ke jantung

(preload) sehingga jantung memompa volume yang lebih sedikit pada setiap kontraksi 13)

Peningkatan resistansi vaskuler sistemik (afterload)

yang membuat jantung harus bekerja lebih keras dalam memompa darah ke seluruh tubuh 14)

Penurunan kontraktilitas miokardium

Tata laksana syok Langkah pertama dalam tata laksana syok adalah melakukan evaluasi risiko apakah bayi mempunyai risiko untuk mengalami syo atau tidak. Perlu dicatat bahwa tanda klinis syok pada awalnya adalah hampir sama dengan tanda gangguan pernafasan, sehingga setiap

bayi

dengan

masalah

pernafasan,

setelah

dilakukan

pemberian dukungan pernafasan diikuti dengan evaluasi tanda tanda

dini

syok.

Langkah

berikutnya

adalah

pencegahan syok

terjadi lebih lanjut serta

penyebab

Langkah

syok.

selanjutnya

melakukan

mengidentifikasi

adalah

tatalaksana

penyebabTujuan tata laksana syok adalah meningkatkan curah jantung dengan meningkatkan volume, meningkatkan perfusi jaringan,

meningkatkan

oksigenasi

jaringan,

menurunkan

metabolisme anaerob, menurunkan timbunan asam laktat, dan meningkatkan pH.38 Pada umumnya syok pada bayi adalah syok hipovolemik. Oleh sebab itu bila mendapati bayi dengan tanda tanda awal syok, segera diberikan bolus cairan larutan fisiologis

136

sebanyak 10 ml/kgBB dalam 30-60 menit. Selanjutnya penanganan tergantung sebab yang mendasari syok. 1)

Tata laksana syok hipovolemik Tujuan

tata

laksana

syok

hipovolemik

adalah

untuk

meningkatkan volume sirkulasi darah yang dapat dicapai dengan memberikan kristaloid atau darah. Tata laksana menggunakan normal saline bila tidak ada kehilangan darah akut. Bila masih terdapat kehilangan darah akut, transfusi sel darah merah dan whole blood diberikan.Error! Bookmark not d efined. Meskipun demikian, satu meta-analisis menyimpulkan

belum ada bukti yang cukup tentang efektivitas penggunaan normal saline atau whole blood untuk membantu kerja jantung dalam tata laksana hipoperfusi.183 a) Apabila tidak terdapat kehilangan darah akut, normal saline 0,9% atau Ringer Laktat dapat digunakan dengan dosis 10 mL/kgBB/kali via IV, kateter vena umbilikus, atau intraosseous selama 15-30 menit (dapat diberikan dalam waktu yang lebih singkat tergantung keadaan bayi). Pada syok berat, pemberian bolus sebanyak dua atau lebih mungkin diperlukan. Evaluasi respons bayi (pantau denyut jantung, perfusi, dan tekanan darah) pada akhir setiap pemberian

bolus sehingga dapat diputuskan

kebutuhan pemberian bolus selanjutnya. Apabila terdapat kehilangan darah kronik, beberapa bayi dalam keadaan syok berat tidak dapat mentoleransi pemberian bolus untuk

meningkatkan

volume.

Sebelum

diberikan

penambahan volume, konsultasi dengan ahli neonatologi di layanan kesehatan tersier.

137

b) Apabila terdapat kehilangan darah akut, mulai resusitasi cairan dengan normal saline sambil menunggu transfusi sel darah merah atau whole blood. Dosis pemberian cairan adalah 10 mL/kgBB/kali IV, kateter vena umbilikus, atau intraosseous selama 30 menit-2 jam. Waktu pemberian bervariasi, dapat lebih cepat dari 30 menit tergantung dari beratnya keadaan bayi. Dalam keadaan darurat yang tidak memungkinkan untuk pemeriksaan cross-match sebelum pemberian darah, transfusi sel darah merah tipe O-negatif dapat diberikan. Transfusi sedapat mungkin berupa sel darah merah yang kurang dari satu minggu, negatif CMV, dan leuko-reduced. 2)

Tata laksana syok kardiogenik (gagal jantung) Evaluasi bayi untuk tanda-tanda syok kardiogenik seperti takikardia, bradikardia, hipotensi, oliguria, hipoksemia, asidosis, dan hipoglikemia. Tujuan tata laksana adalah memperbaiki penyebab masalah yang menurunkan fungsi jantung,

termasuk

hipoksia,

hipoglikemia,

hipotermia,

hipotensi, asidosis, aritmia, infeksi, dan ketidakseimbangan elektrolit atau mineral. Tata laksana dengan mengatasi hipoksia,

hipoglikemia,

hipotermia,

hipotensi,

asidosis,

aritmia, infeksi, dan ketidakseimbangan elektrolit atau mineral.38 Tata

laksana

syok

dopamin/dobutamin

drip

kardiogenik (dosis

5-20

menggunakan μg/kgBB/menit

menggunakan pump untuk meningkatkan output jantung dan tekanan

darah).

Pemberian

dopamin/dobutamin

harus

didahului pemberian volume yang cukup. Tenaga kesehatan harus memantau tekanan darah dan denyut jantung secara

138

ketat

selama

pemberian.

Dopamin/dobutamin

harus

diberikan dengan syringe pump (Gambar 22) melalui kateter vena umbilikalis.38 Satu meta-analisis melaporkan bahwa penggunaan

sodium

bikarbonat

4,2%

belum

terbukti

menurunkan mortalitas dan morbiditas pada resusitasi pasca-lahir.184

Gambar 24 Syringe pump

3)

Tata laksana syok septik (distributif) Tata laksana syok septik meliputi kombinasi terapi syok hipovolemik dan kardiogenik. Bayi dengan syok septik membutuhkan lebih banyak bolus cairan dibandingkan tipe syok yang lain, karena pergerakan cairan dari ruang intravaskular ke ruang interstitial atau ruang ekstravaskular yang disebabkan oleh trauma kapiler dan berkumpulnya darah di jaringan kapiler. Pemberian infus dopamin secara kontinu diperlukan untuk tata laksana hipotensi berat. Oksigenasi dan ventilasi yang optimal sangat penting dalam tata laksana syok jenis ini. Cairan yang digunakan untuk tata laksana syok kardiogenik dan septik adalah normal saline 0,9% atau Ringer Laktat 10 mL/kgBB/kali IV, kateter vena umbilikus, atau intraosseous untuk meningkatkan volume sirkulasi darah. Cairan sodium bikarbonat

4,2%

(0,5

mEq/mL)

dengan

dosis

2-4

139

mL/kgBB/kali selama 30-60 menit IV untuk mengobati asidosis metabolik berat (pH arteri <7,15 dan pada bayi dengan ventilasi adekuat). Pemberian sodium bikarbonat yang sangat hipertonik jika diberikan terlalu cepat dapat mengakibatkan

perdarahan

intraventrikular.

Dopamin

hidroklorida dapat juga digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas kardiak dengan dosis 5-20 mcg/kgBB/menit melalui pompa IV (tidak boleh diberikan melalui arteri atau ETT). Beberapa peraturan dalam infus dopamin: a) Dalam sebagian besar kasus, bolus volume (ekspansi volume)

diberikan

sebelum

memutuskan

pemberian

dopamin. b) Dosis awal pemberian dopamin disesuaikan dengan status klinis bayi dan penyebab hipotensi. Dopamin dimulai dari 5

mcg/kgBB/menit

dan

dapat

dinaikkan

(atau

diturunkan) sebesar 2,5 mcg/kgBB/menit. Pada banyak NICU, dopamin dicampur untuk menghasilkan solusi dengan konsentrasi yang lebih besar dan kecepatan kenaikan

atau

penurunan

terbatas

pada

1

mcg/kgBB/menit pada setiap perubahan kecepatan. c) Pantau tekanan darah dan denyut jantung setiap 1-2 menit selama 15 menit lalu setiap 2-5 menit tergantung respons pengobatan. Apabila bayi tidak merespons dengan dosis 20 mcg/kgBB/menit, maka peningkatan dosis lebih lanjut tidak dianjurkan. d) Infus dopamin menggunakan pompa infus dan untuk meningkatkan

keamanan,

gunakan

teknologi

"smart

pump" bila memungkinkan.

140

e) Pemberian sedapat mungkin melalui vena umbilikus, bila posisi kateter sudah dikonfirmasi dengan Röntgen toraks dan ujungnya terletak tepat di atas hati pada vena kava inferior/right atrial junction. Apabila tidak terdapat akses vena sentral, infus dopamin melalui IV perifer. Pantau daerah infus terhadap terjadinya infiltrasi dan ganti bila perlu. f) Pemberian dopamin tidak boleh dilakukan melalui arteri termasuk kateter arteri umbilikus. g) Dopamin jangan diberikan secara cepat karena tekanan darah dapat mendadak naik dan denyut jantung turun dengan drastis. Belum ada bukti memadai yang mendukung pemberian ekspansi volume pada BBLR dengan masalah kardiovaskular. Metaanalisis oleh Osborn et al185 (2009) menyimpulkan albumin tidak terbukti

lebih

baik

dibandingkan

normal

saline

dalam

meningkatkan tekanan darah untuk hipotensi pada bayi baru lahir kurang bulan. Meta-analisis oleh Beveridge (2009) menyatakan belum ada bukti memadai yang mendukung manfaat cairan sodium bikarbonat dalam resusitasi di kamar bersalin untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir.184 Kotak 3 menunjukkan tata laksana komponen “blood pressure” pada bayi baru lahir yang sakit. Dalam penanganan hipotensi bayi prematur yang baru lahir, albumin tidak terbukti lebih bermanfaat dibandingkan dengan normal saline. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

141

Pemberian sodium bikarbonat dalam resusitasi di kamar bersalin belum terbukti bermanfaat menurunkan mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A • Disfungsi organ terjadi akibat perfusi dan oksigenasi tidak optimal. • Evaluasi penyebab syok dan lakukan tata laksana dengan agresif. • Keputusan

tata

laksana

syok

menggunakan

volume

dan/atau medikamentosa adalah berdasarkan pada riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan fisis, tidak hanya pada tekanan darah.

Kotak 3 . Kunci tata laksana tekanan darah bayi baru lahir yang sakit.38

3.2.1.1.1.

Penggunaan

inotropik

untuk

instabilitas

hemodinamik: dopamin atau epinepfrinxv,xvi,xvii Studi terhadap efektifitas katekolamin menyimpulkan bahwa dopamin

lebih

superior

dibandingkan

dobutamin

dalam

meningkatkan tekanan darah pada BBLR dengan hemodinamik tidak stabil.186,187,188 Studi lain melaporkan penggunaan dopamin >5 mcg/kg per menit meningkatkan resistensi sistemik sehingga memperberat kerja miokardium. Pada studi tersebut dopamin dibandingkan dengan epinefrin, yang dianggap memiliki efek yang lebih baik untuk kerja jantung karena mempunyai predominasi efek β. Epinefrin dosis rendah (0,5 mcg/kg per menit) memiliki efektivitas yang sama dengan dopamin dosis rendah/sedang (<10 mcg/kg per menit) untuk menaikkan rerata tekanan darah sistemik

142

pada BBLR. Walaupun demikian, epinefrin menimbulkan efek samping yang bersifat sementara seperti peningkatan laktat plasma dalam 36 jam pertama, menurunkan bikarbonat dan ekses basa dalam 6 jam pertama, serta hiperglikemia dalam 24 jam pertama.186 Dopamin dosis rendah/sedang (<10 mcg/kg per menit) sama efektif dengan epinefrin dosis rendah (0,5 mcg/kg per menit) dalam mengatasi hipotensi pada BBLR. Level of evidence IB, derajat rekomendasi A e. LAB WORK (Pemeriksaan Laboratorium) Infeksi neonatal, interpretasi pemeriksaan darah lengkap, dan terapi antibiotik inisial untuk dugaan infeksi Pemeriksaan

laboratorium

penting

sebagai

indikator

awal

terjadinya infeksi pada bayi baru lahir. Bayi dengan risiko tinggi infeksi adalah bayi dengan: Error! Bookmark not defined. 1) Ketuban pecah dini (KPD) > 18 jam 2) Kelahiran prematur 3) Riwayat korioamnionitis 4) Ibu yang memiliki riwayat diare, ISK atau infeksi lain. 5) Ibu yang memiliki riwayat demam intrapartum/postpartum (≥38˚C) 6) Riwayat prosedur invasif setelah kelahiran Tanda-tanda klinis infeksi pada bayi baru lahir berupa gangguan napas, suhu tubuh tidak stabil, intoleransi diet, perubahan perfusi kulit, denyut nadi, tekanan darah, dan status neurologis.

Bayi

dengan

tanda

klinis

infeksi,

sebelum

ditansportasikan, harus diperiksa 4 B: Error! Bookmark not defined.Error! Bo okmark not defined.

143

1) Blood count: darah lengkap termasuk hitung jenis leukosit 2) Blood culture: kultur darah 3) Blood SUGAR: kadar gula darah 4) Blood gas: AGD untuk mendeteksi distres napas Keputusan tata laksana sepsis pada bayi baru lahir tidak hanya tergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium, tetapi juga pada riwayat klinis dan gejala. Kotak 4 menunjukkan kunci pemeriksaan laboratorium untuk tata laksana bayi baru lahir yang sakit



Tinjau kembali riwayat ibu dan bayi untuk faktor risiko infeksi.



Waspadai tanda dan gejala infeksi yang tidak kentara.



Ingat bahwa hasil pemeriksaan darah lengkap dapat normal pada stadium awal terjadinya infeksi.



Ambil volume darah yang cukup untuk kultur darah.



Segera mulai pemberian antibiotik.

Kotak 4. Kunci pemeriksaan laboratorium untuk tata laksana bayi baru lahir yang sakitError! Bookmark not defined. f. EMOTIONAL SUPPORT Keadaan yang dapat terjadi seputar kelahiran bayi sakit dan cara memberi dukungan emosional kepada keluarga Bayi baru lahir yang sakit dan membutuhkan perawatan intensif merupakan suatu krisis bagi keluarga. Tenaga kesehatan dapat memberikan dukungan emosional sejak awal, stabilisasi, saat akan dirujuk, setelah dirujuk, sampai dengan tiba di NICU. Sejak awal dan stabilisasi, ibu dapat diijinkan melihat bayi. Tenaga kesehatan

144

memberi selamat atas kelahiran bayi dan memanggil bayi dengan nama apabila sudah diberi nama oleh keluarga. Hal lain yang dapat dilakukan keluarga adalah mengambil foto dan jejak kaki bayi. Keberadaan kerabat dan pemuka agama juga dapat membantu. Error! B ookmark not defined.

Saat bayi akan dirujuk, tenaga kesehatan dapat memberi penjelasan mengenai keadaan bayi dan rencana tata laksana. Saat bayi tiba di NICU, tenaga kesehatan dapat melibatkan peran orangtua sejak dini dan mengkomunikasikan keadaan bayi. Error! B ookmark not defined.

3.3 HAL-HAL YANG PERLU DIPIKIRKAN SETELAH RESUSITASI a. Penundaan pemotongan tali pusat Bayi prematur berisiko mengalami keterlambatan perkembangan kognitif dan motorik pada masa anak. Sebanyak 30-40% BBLSR di kemudian hari mengalami keterlambatan perkembangan motorikxviii dan gangguan ini terlihat jelas pada BBLSR yang pernah mengalami cedera otak. Keterlambatan perkembangan ini terjadi antara lain akibat stres fisiologis pada proses kelahiran prematur yang menimbulkan kerusakan setempat dalam proses pematangan otak. Keterlambatan perkembangan motorik ini terutama terjadi bila kerusakan melibatkan korteks, corpus callosum, dan ganglia basalis.188 Pemotongan

tali

pusat

segera

dapat

menimbulkan

hipovolemia yang mengganggu stabilitas kardiovaskular, yang selanjutnya mengganggu mekanisme autoregulasi aliran darah ke otak. Penundaan pemotongan tali pusat memberi tambahan 10-15 mL/kg darah tali pusat kepada BBLSR sehingga menghindari kemungkinan gangguan autoregulasi. Dengan demikian penundaan

145

pemotongan tali pusat akan mencegah iskemia yang dapat menyebabkan kerusakan otak.189 Aladangady

et

al190

(2006)

menyatakan

penundaan

pemotongan tali pusat menurunkan kejadian IVH dan sepsis awitan lambat dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera. Mercer et alError! Bookmark not defined. (2010) melaporkan bahwa pada B BLSR laki-laki, penundaan pemotongan tali pusat selama 30-45 detik sambil merendahkan posisi bayi, merupakan faktor protektif terhadap disabilitas motorik pada usia koreksi tujuh bulan. Hal ini terjadi karena bayi yang mengalami penundaan pemotongan tali pusat, mempunyai aliran sel darah merah ke otak (korteks motorik) yang lebih banyak dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera (<10 detik), sehingga pemenuhan kebutuhan oksigen pada beberapa hari pertama lebih baik. Pada bayi cukup bulan yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan pemotongan tali pusat menghasilkan status besi yang lebih baik pada bayi baru lahir. Penundaan pemotongan tali pusat dilakukan selama satu menit atau sampai umbilikus berhenti berdenyut setelah kelahiran.191 Pada bayi kurang bulan yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga menit menghasilkan tekanan darah bayi yang lebih baik pada tahap stabilisasi dan angka kejadian IVH yang lebih rendah, dibandingkan tanpa penundaan pemotongan tali pusat. Sedangkan pada bayi kurang bulan yang memerlukan resusitasi, belum ada bukti yang cukup mengenai penundaan pemotongan tali pusat.192,193 Belum ada studi yang mampu membuktikan pengaruh gaya gravitasi atau posisi bayi sebelum pemotongan tali pusat dengan kebutuhan oksigen, kejadian transfusi, maupun IVH.194

146

Pada bayi yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga menit, menghasilkan tekanan darah bayi yang lebih baik pada fase stabilisasi, mengurangi risiko perdarahan intraventrikular, dan mengurangi risiko keterlambatan perkembangan motorik. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A b. Ibuprofen untuk mencegah duktus arteriosus paten Duktus arteriosus paten atau patent ductus arteriosus (PDA) adalah penyulit yang sering terjadi pada bayi kurang bulan dan dapat menimbulkan kematian. Indometasin merupakan terapi standar untuk menutup PDA, tetapi mempunyai efek samping terhadap fungsi ginjal, saluran gastrointestinal, dan otak. Sementara ibuprofen,

jika

dibandingkan

dengan

indometasin,

memiliki

pengaruh yang lebih kecil terhadap kecepatan aliran darah terutama ke organ-organ penting.195 Beberapa studi melakukan evaluasi mengenai efektvitas ibuprofen profilaksis. Satu telaah sistematik menganalisis studi yang membandingkan ibuprofen dengan plasebo/tanpa intervensi. Tujuh studi (n=931) menyimpulkan bahwa ibuprofen menurunkan insidens PDA pada hari ke-3 (RR 0,36;IK95% 0,29-0,46; risk difference (RD) -0,27 (IK95% -0,32-(-0,21); number needed to treat to benefit (NNT) 4 (IK95% 3-5). Ibuprofen tidak hanya menurunkan risiko perlunya terapi penghambat siklo-oksigenase atau cyclooxygenase inhibitors (COX inhibitors), melainkan juga menurunkan risiko perlunya bedah ligasi.196 Pada telaah sistematik yang sama, dua studi memperoleh hasil positif yang serupa, namun menunjukkan risiko perdarahan gastrointestinal yang meningkat, dengan number needed to treat to harm (NNH) 4 (IK95% 2-17). Mortalitas, kejadian perdarahan

147

intraventrikular, dan kejadian penyakit paru kronik pada kelompok ibuprofen dengan kelompok plasebo/tanpa intervensi tidak berbeda bermakna. Pada kelompok kontrol, proporsi PDA yang menutup spontan pada hari ke-3 adalah 58%. Selain efek samping pada saluran

gastrointestinal,

menemukan

efek

studi-studi

samping

tersebut

terhadap

fungsi

ternyata ginjal

juga dalam

pemantauan jangka pendek. Oleh sebab itu ibuprofen profilaksis belum direkomendasikan sampai hasil pemantauan jangka panjang (saat ini studi masih berlangsung) diperoleh.196 Ibuprofen sebagai profilaksis PDA belum terbukti bermanfaat dalam

jangka

panjang,

sehingga

penggunaannya

belum

direkomendasikan. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A c. Pemberian vitamin K1 (fitomenadion) Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) merupakan salah satu penyebab kematian neonatus. Semua bayi baru lahir mengalami kekurangan vitamin K, ditandai dengan rendahnya konsentrasi vitamin K plasma dan faktor pembekuan yang bergantung pada vitamin K (vitamin K dependent clotting factors). Untuk itu Kementerian Kesehatan RI, berdasarkan analisis EBM merekomendasikan pemberian profilaksis vitamin K1 (fitomenadion) secara IM atau PO pada semua bayi baru lahir. Dosis yang diberikan adalah 1 mg IM dosis tunggal atau 2 mg PO sebanyak 3 kali (saat lahir, usia 3-7 hari, dan usia 1-2 bulan). Bayi yang lahir di rumah dengan pertolongan dukun juga diberi vitamin K1 PO. Vitamin K1 1 mg IM dosis tunggal disuntikkan di paha kiri paling lambat 2 jam setelah lahir, sebelum vaksinasi Hepatitis B.196

Dosis tunggal

148

pemberian vitamin K1 1 mg IM maupun PO dilaporkan mengurangi perdarahan klinis pada hari 1-7.

197

Vitamin K1 diberikan kepada semua bayi baru lahir untuk mencegah perdarahan akibat defisiensi vitamin K. Level of evidence IA, derajat rekomendasi A 3.4 MEKANISME MERUJUK ATAU MEKANISME TRANSFER Transport ibu hamil risiko tinggi ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap merupakan bagian penting dalam pelayanan perinatal.198 Morbiditas dan mortalitas dapat diturunkan sangat bermakna terutama pada kehamilan kurang bulan.199,200 Identifikasi ibu hamil risiko tinggi sangat dibutuhkan untuk tatalaksana tersebut. Apabila keadaan terpaksa dimana proses trasnport ibu hamil dengan risiko tinggi tidak dapat dilaksanakan, maka diperlukan perlu sistem transport neonatus bagi fasilitas kesehatan primer yang meliputi kompetensi tenaga kesehatan, peralatan dan panduan yang sesuai. Sistem transport tersebut harus dapat menjaga keadaan stabil neonatus dari fasilitas layanan primer sepanjang waktu baik sebelum, selama atau setelah sampai di fasilitas rujukan baik di layanan sekunder maupun tersier.201 Transportasi intrauteri lebih diutamakan pada ibu dengan kehamilan

risiko

tinggi

dibandingkan

dengan

transport

neonatus dengan risiko tinggi. Level of evidence 1A, rekomendasi A Kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh tenaga kesehatan untuk melaksanakan transportasi neonatus meliputi resusitasi dan stabilisasi

neonatus.

Peralatan

transport

neonatus

yang

149

dibutuhkan dalam sistem transport neonatus terdiri dari alat transport, alat kedokteran atau kesehatan untuk menjaga kondisi stabil neonatus dan melaksanakan resusitasi dalam keadaan gawat darurat. Panduan dasar dalam melaksanakan transport neonatus selain panduan klinik juga panduan komunikasi dan dokumentasi yang berhubungan dengan keadaan klinik pasien. Panduan dasar dalam melaksanakan transport neonatus meliputi: 1. Indikasi perlunya dilakukan transport neonatus 2. Adanya tenaga kesehatan yang kompeten dalam melaksanakan prosedur transport neonatus 3. Keadaan stabil neonatus sebelum, selama dan sesudah proses transport. 4. Kelengkapan

alat

kedokteran

dalam

menjaga

stabil

dan

melaksanakan resusitasi selama proses dan transport. 5. Kejelasan komunikasi keadaan klinis neonatus sebelum, selama dan sesudah proses transport, baik kepada orang tua/ keluarga pasien, rumah sakit rujukan, dan petugas pelaksana transport neonatus. 6. Kelengkapan dokumentasi. 7. Kelayakan alat transport neonatus. Indikasi merujuk neonatus ke fasilitas layanan neonatus sekunder atau tersier yang memerlukan prosedur transport adalah sebagai berikut:202,203 1. Gangguan napas berat: ancaman gagal napas/apne/sesak napas berat, misalnya RDS yang terus memburuk atau persisten dalam 5-6 jam, distres napas akibat aspirasi mekoneum, sianosis yang menetap meskipun dengan terapi oksigen, dan asfiksia perinatal dengan skor Apgar <8 2. Ancaman gangguan sirkulasi (syok)

150

3. Kelainan kongenital berat dengan prognosis yang baik (dapat dinilai dengan skor paediatric index of mortality atau skor PIM*) 4. Bayi berat lahir rendah dengan tiga masalah di atas 5. Bayi berat lahir sangat rendah 6. Bayi yang tidak bugar dengan tampak letargi, menangis lemah, mengalami poor feeding, sianosis, atau muntah 7. Kejang 8. Perdarahan 9. Memerlukan transfusi tukar karena ikterik 10.

Bayi dari ibu DM

11.

Memerlukan pembedahan, misalnya kasus obstruksi saluran

gastrointestinal, mielomeningokel, dan atresia koana 12.

Gagal jantung atau aritmia

13.

Memerlukan uji diagnostik ataupun terapi khusus Tenaga kesehatan perujuk harus memiliki kompetensi

melaksanakan stabilisasi dan resusitasi neonatus. Hasil kajian beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses transport neonatal yang dilakukan oleh tenaga medis trampil dengan pengetahuan dan tingkat profesionalime tinggi akan menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatus.204,205 Transport neonatus yang diperlukan dalam proses rujukan untuk mendapatkan proses diagnosis dan tatalaksana di fasilitas layanan neonatus lebih lengkap, perlu dilaksanakan oleh tenaga medis dengan kerja sama tim dan kompetensi yang baik. Level of evidence 1A, rekomendasi A

151

3.4.1 Persiapan merujuk neonatus206,207, ACCEPT a. Penilaian adekuat (Assessment) Pada saat diputuskan untuk dirujuk, neonatus harus dalam keadaan stabil, dengan indikasi tepat untuk dirujuk ke fasilitas layanan neonatus sekunder atau tersier.203,208

Penilaian indikasi dan keadaan klinis neonatus sakit yang akan dirujuk harus dilakukan sebelum proses transport dilaksanakan. Level of evidence 1A, rekomendasi A b. Terkendali (Control) Sistem transport neonatus terkendali dengan baik mulai dari kompetensi tenaga medik yang akan melaksanakan prosedur transportasi sampai pada kelengkapan alat kedokteran dan kesehatan yang diperlukan. Tujuan keberadaan tim transpor dapat diilustrasikan sebagai “to take intensive care to the baby rather than take the baby to intensive care”. Di dalam ambulans ada tenaga kesehatan yang mampu menangani kondisi bayi selama perjalanan termasuk perburukan klinis dan kegawatdaruratan, atau bahkan memperbaiki kondisi bayi jika ia mampu. Idealnya tenaga kesehatan yang menyertai transpor BBLR adalah seorang perawat perinatologi yang terampil.209 Sampai saat ini belum ada standar nasional ataupun pelatihan metode transfer, seperti halnya standar maupun pelatihan resusitasi yang telah ada saat ini.210

152

Peralatan dan perlengkapan yang harus diperhatikan selama merujuk yaitu:211 1) Inkubator transpor (Gambar 28) 2) Monitor denyut nadi, pernapasan, suhu, tekanan darah, konsentrasi oksigen inspirasi, SpO2, dan PaCO2 (monitor CO2 transkutan dapat digunakan jika AGD sulit dikerjakan212,213) 3) Peralatan ventilasi: T-piece resuscitator, balon resusitasi dan sungkup neonatus ukuran bayi kurang bulan dan cukup bulan 0/0, 0/1, dan 2, serta pulse oxymeter 4) Peralatan intubasi: laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 dan pipa endotrakeal ukuran 2, 2,5, 3, 3,5, dan 4 mm, gunting, serta sarung tangan 5) Peralatan infus IV 6) Kateter penghisap ukuran 6, 8, 10, dan 12 7) Obat-obatan: adrenalin/epinefrin 1:10.000, dekstrosa 10%, natrium bikarbonat 4,2%, aminofilin, fenobarbital, dan aqua steril 8) Cairan pengganti volume: NaCl 0,9% dan atau ringer laktat 9) Analisis gas darah portable 10)

Analisis gula darah portabel

11)

Gas medis (O2, NO)

153

Gambar 25 Inkubator transpor

Pengaturan (setting) peralatan yang digunakan harus baik selama transportasi.211 Meskipun terdapat sumber daya portabel, sumber energi peralatan sebaiknya menggunakan catu daya kendaraan transportasi itu sendiri, termasuk dalam penggunaan gas medis.214

Sistem transport neonatus sakit terdiri dari kompetensi tenaga medis yang melaksanakan dengan alat kedokteran untuk proses transport dan panduan dalam melaksanakan transportasi neonatus sakit harus terjaga dengan baik. Level of evidence 1A, rekomendasi A c. Komunikasi (Communication)xix

154

Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) diberikan kepada orang tua dan kelurga neonatus yang akan menjalani proses transportasi ke fasilitas kesehatan rujukan. Implementasi hasil KIE dengan orang tua dan keluarga diwujudkan di dalam informed consent. Komunikasi juga dilakukan dengan tim transport neonatus dan tim rawat di rumah sakit rujukan. Komunikasi antara tenaga kesehatan di tempat kelahiran BBLR (tim perujuk), tim transpor, maupun dokter di rumah sakit rujukan harus berjalan baik. Komunikasi mencakup riwayat kelahiran bayi, faktor antenatal lain yang dapat berpengaruh, dan perkembangan kondisi bayi. Tim perujuk terlebih dahulu menghubungi dokter penerima rujukan untuk memastikan ketersediaan tempat, kemudian menghubungi tim transpor.202,215 Komunisasi informasi dan edukasi terhadap orang tua pasien harus dilaksanakan dengan sejelas-jelasnya dengan hasil akhir ditanda tanganinya informed consent. Komunikasi antara dokter penanggung jawab, tim transport neonatus sakit dan dokter penanggung jawab di RS rujukan harus dilakukan dan tercatat dengan baik. Level of evidence 1A, rekomendasi A d. Evaluasi dan pemantauan (Evaluation)215 Evaluasi

dan

pemantauan

klinis

neonatus

dilakukan

berkesinmbungan dan terus menerus, baik sebelum, selama dan setelah pelaksanaan transport neonatus di RS rujukan. Stabilisasi yang harus dicapai sebelum prosedur transport: 1) Airway-breathing (A dan B)146,213 a) Apakah jalan napas bersih? b) Apakah jalan napas aman? c) Apakah bayi harus diintubasi?

155

Indikasi intubasi pada bayi yang hendak dirujuk lebih sederhana dibandingkan dengan indikasi intubasi bayi di NICU, hal ini bertujuan mengurangi kemungkinan perlunya intervensi yang mendadak selama proses transportasi. Jika kita menilai ada kemungkinan bantuan pernapasan mekanis akan diperlukan dalam masa transpor, maka intubasi dan memulai dukungan respiratorik yang stabil dan adekuat sudah harus dilakukan sebelum transport.214 Pada usia gestasi >30 minggu, jika tanda vital (denyut nadi, tekanan darah, frekuensi napas, dan temperatur) stabil pada terapi oksigen <50% dan PaCO2 normal maka bayi boleh dirujuk tanpa intubasi. Jika bayi tidak stabil (membutuhkan oksigen >50%, mengalami peningkatan PaCO2, apne rekuren, dan usia gestasi <30 minggu)

maka

intubasi

dengan

dukungan

respiratorik

diperlukan, setidaknya selama perjalanan. Jika bayi sudah diintubasi, pipa endotrakeal harus senantiasa berada pada posisi yang benar dan aman, untuk mencegah terekstubasi. Dukungan respiratorik yang adekuat harus diberikan. d) Apakah bayi memerlukan surfaktan? Surfaktan harus diberikan jika ada indikasi dan tersedia. 2) Circulation (C)

146

,159,202

a) Apakah perfusi adekuat? b) Apakah akses arterial sudah terpasang dengan benar dan aman? c) Akses arterial dipertimbangkan pemasangannya pada bayi yang memerlukan pemeriksaan AGD dan atau tekanan darah yang akurat secara berulang-ulang. Jika pemasangan jalur arteri tidak akan memengaruhi tata laksana sebelum dan

156

selama transpor, maka pemasangan jalur arteri dapat ditunda pasca-transpor. d) Apakah kateter urin sudah benar dan aman? e) Apakah neonatus membutuhkan bantuan cairan dan obat-obat inotropik? f) Dukungan cairan IV dan atau inotropik harus dimulai sejak awal, sesuai dengan indikasi. Kateter IV harus dipantau pada posisi yang benar dan aman. 3) Deficiencies atau defect of neurologies (D)143,216 a) Apakah neonatus mengalami kejang karena gangguan elektrolit, metabolik (hipoglikemia) atau gangguan keseimbangan asam basa? b) Apakah terdapat gangguan susunan saraf pusat karena infeksi atau trauma lahir? Adanya kejang harus segera apapun penyebabnya. Hipoglikemia dapat ditatalaksana di fasilitas layanan neoantus primer, tetapi gangguan elektrolit dan asam masih belum terdiagnosis karena fasiitas laboratroium belum tentu tersedia. Adanya kecurigaan infeksi, dapat dilakukan pemeriksaan awal sesuai fasilitas yang tersedia dan berikan antibiotik sesuai panduan yang ditetapkan. 4) Environment (E) atau gangguan temperatur161 Apakah temperatur bayi normal? a) Apakah bayi dalam keadaan nyaman pada suhu lingkungan? Pantau temperatur dan beri dukungan yang diperlukan untuk mempertahankan temperatur selama prosedur transportasi. Selain di dalam inkubator, neonatus dapat diletakkan di dalam tas berlapis polietilen atau dibungkus dengan plastik (Gambar 26).217 Apabila fasilitas kurang memadai, metode kanguru juga dapat diterapkan selama transportasi.155

157

Gambar 26 Tas pembawa bayi: bayi di dalam tas, dibungkus plastik, dan mengenakan selimut pembungkus217

Suhu neonatus dipertahankan sehingga suhu aksila 36,537,5°C.218 Neonatus yang mengalami hipotermia harus dihangatkan dalam suhu yang terkontrol, dan hal ini memang sulit dilakukan selama transpor. Keterlambatan penghangatan ulang (rewarming) neonatus yang hipotermia akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Penanganan hipotermia harus dilakukan dalam waktu <90 menit, karena hipoksia otak dapat terjadi jika hipotermia berlangsung melebihi waktu tersebut.219 Untuk membantu menjaga suhu neonatus, tim transpor dapat

melakukan hal seperti

membuat suhu kendaraan lebih tinggi dari suhu lingkungan, meyakinkan seluruh pintu kendaraan dan pintu inkubator dalam keadaan tertutup, dan menggunakan matras penghangat untuk membuat bayi lebih nyaman. Bayi baru lahir dirujuk harus dalam keadaan stabil, dengan

“warm,

pink,

and

sweet”.

Komponen

ditandai

yang

harus

diperhatikan untuk menciptakan kondisi stabil adalah“warm, pink, and sweet”: a) Regulasi temperatur b) Oksigenasi

158

c) Kadar glukosa 5) Pastikan bayi hangat Bayi dalam kondisi hangat ditandai dengan suhu aksila 36,537,5°C. Bayi dikenakan plastik transparan, diletakkan dalam inkubator, atau diterapkan metode kanguru (pada fasilitas terbatas). 6) Pastikan bayi bernapas adekuat a) Frekuensi napas: 40-60 kali per menit b) Tidak ada tanda-tanda gangguan napas, misalnya napas cuping hidung,

retraksi,

merintih,

dan

sianosis

(dapat

dinilai

berdasarkan sistem penilaian Down (Tabel 2) Berikut adalah penatalaksanaan saat bayi mengalami desaturasi: a) Nilai monitor saturasi berfungsi dengan baik. b) Pastikan bayi berada pada posisi yang baik (usahakan posisi tengkurap). c) Pengisapan jalan napas bila diperlukan. d) Naikkan FiO2 5% hingga saturasi naik dan turunkan FiO2 bila saturasi melebihi target. e) Bayi dengan peningkatan episode desaturasi → pikirkan infeksi. 7) Pastikan sirkulasi baik a) Denyut jantung normal 120-160 kali per menit b) Waktu pengisian kapiler atau capillary refill time (CRT) ≤3 detik220 c) Akral hangat e. Kelengkapan dokumentasi (Packaging) Dokumentasi harus menyertai setiap proses transport neonatus yaitu surat rujukan yang berisi keterangan tentang: 1) Identitas pasien dan orang tua 2) Catatan riwayat penyakit yang menjelaskan penyakit kehamilan, persalinan dan keadaan pasca persalinan

159

3) Catatan

medik

keadaan

sebelum

dan

selama

proses

transportasi. 4) Termasuk informed consent. Evaluasi klinis sebelum, selama transportasi neonatus sakit dan sesudah sampai di RS rujukan harus dilakukan dan dicatat dengan baik. Level of evidence 1A, rekomendasi A

f. Alat transportasi (Transportation) Kendaraan merupakan kunci utama berjalannya mekanisme merujuk36. Pilihan jenis kendaraan tergantung pada ketersediaan alat transportasi, keadaan geografik (darat, air, atau udara), kegawatdaruratan situasi, dan pengalaman petugas.36 Newborn Amergency Transport Service (NETS) Sydney, Australia menetapkan batasan

penggunaan

moda

transportasi

adalah

jalan

darat

(menggunakan ambulans) untuk jarak <50 km, helikopter untuk 50-500 km, dan air ambulance untuk >500 km. Waktu respons tim transpor sangat memengaruhi luaran. Waktu respons ini bukan hanya waktu yang dibutuhkan oleh tim transpor untuk mencapai tempat kelahiran bayi, melainkan juga waktu tim transpor untuk mempersiapkan semua peralatan dan perlengkapan kemudian memobilisasinya ke kendaraan transpor. Waktu respons NETS yang dilaporkan adalah 45-60 menit untuk jalan darat, 20-30 menit untuk helikopter, dan 1-3 jam untuk air ambulance.36

210

Ambulans merupakan salah satu pilihan transportasi darat dengan jarak tempuh yang dekat. Pada cuaca buruk ambulans dapat

mencapai

tujuan

lebih

cepat

dibandingkan

dengan

transportasi udara atau air. Keuntungan menggunakan ambulans

160

adalah biaya transportasi murah, dapat berjalan dalam cuaca apapun, dan ruangan dalam ambulans relatif lapang sehingga dapat memuat dua inkubator dan peralatan merujuk.202,209,203, Di Indonesia ambulans dapat menjadi pilihan utama kendaraan transpor karena ambulans merupakan kendaraan medis utama yang tersedia. Rumah sakit maupun puskesmas di Indonesia sudah banyak yang memiliki ambulans. Di dalam ambulans, BBLR diletakkan di dalam inkubator transpor dan inkubator tersebut difiksasi selama perjalanan. Satu ambulans dapat menampung sampai dua buah inkubator. Alat transportasi neonatus sakit dari fasilitas layanan neonatus primer sampai pada layanan neonatus sekunder atau tersier harus dapat menjaga keadaan neonatus tetap stabil secara klinis, baik selama proses transportasi maupun setelah sampai di tempat rujukan. Level of evidence 1A, rekomendasi A 3.5 Analisis Biaya Suatu rekomendasi untuk dapat diterima dan diaplikasikan dengan baik oleh pemberi layanan kesehatan maupun perencana pelayanan kesehatan, harus terbukti efektif secara klinis dan cost-effective dalam tata laksana suatu penyakit atau keadaan. Belum ada studi yang melaporkan analisis biaya secara rinci mengenai tata laksana BBLR sejak mekanisme resusitasi sampai mekanisme merujuk. Berikut ini harga dasar peralatan (Gambar 29) dan obat-obatan yang diperlukan dalam resusitasi, stabilisasi, dan merujuk BBLR, berdasarkan level perawatan neonatal:

161

Tabel 12. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang harus ada di perawatan neonatal level I

Alat / obat

Harga satuan (Rp ,00)

Balon resusitasi jenis balon mengembang sendiri

(self

inflating

bag)

yang

dapat 5.000.000

ketepatan

dua 750.000

menyediakan TPAE221 Timbangan

bayi

dengan

angka222 Infant radiant warmer sederhana223

5.000.000

Stetoskop ABN Spectrum Lines bayi221

55.000

Oksigen konsentrator

5.000.000

Pulse Oxymeter yang dapat dilepas224

22.000.000

Syringe pump (5 buah)189

75.625.000

Baju kanguru

75.000

Tabel 13. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang harus ada di perawatan neonatal level II

Alat / obat

Harga satuan (Rp ,00)

Balon resusitasi jenis balon mengembang sendiri (self inflating bag) yang dapat

5.000.000

menyediakan TPAE225 Timbangan

bayi dengan ketepatan

dua 750.000

angka221 Infant radiant warmer222

100.000.000

Stetoskop ABN Spectrum Lines bayi221

55.000

Oksigen konsentrator

5.000.000

Inkubator digital226

20.000.000

162

Inkubator transpor digital227

40.000.000

Alat analisis gula darah228

1.100.000

Syringe pump (5 buah)189

75.625.000

Pulse Oxymeter lengkap229

47.000.000

Continuous

positive

airway

pressure

150.000.000

(CPAP)223 Laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 2.750.000 dan 00 T-piece resuscitator230

22.000.000

Fototerapi

8.000.000

Baju kanguru

75.000

163

Tabel 14. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang harus ada di perawatan neonatal level III

Alat / obat

Harga satuan (Rp ,00)

Balon resusitasi jenis balon mengembang sendiri (self inflating bag) yang dapat

5.000.000

menyediakan TPAE222 Infant radiant warmer lengkap224 Timbangan

bayi

dengan

100.000.000

ketepatan

dua 750.000

angka221 Stetoskop ABN Spectrum Lines bayi221

55.000

Sumber oksigen221

750.000

Ventilator231

525.000.000

Inkubator digital227

20.000.000

Inkubator transpor digital226

40.000.000

Monitor elektrokardiografi185

125.000.000

Alat analisis gas darah

206.250.000

Alat analisis gula darah227

1.100.000

Syringe pump (5 buah)189

75.625.000

Pulse Oxymeter229

47.000.000

Continuous

positive

airway

pressure

150.000.000

(CPAP)228 Laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 2.750.000 dan 00 T-piece resuscitator223

22.000.000

Fototerapi

8.000.000

Baju kanguru

75.000

Elektrokardiografi satu kanal225

30.000.000

164

Tabel 15. Harga barang medis habis pakai dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang harus ada di level perawatan neonatal I, II, dan III

Alat / obat

Harga satuan (Rp ,00)

Pipa endotrakeal ukuran 2, 2,5, 3, 11.000 3,5, dan 4 mm232 Sarung tangan steril (1 pasang)233

3.600

Peralatan infus IV (abocath, infusion line, alcohol swab 2

buah, dan 34.200

plester 5 cm x 5 m)234,235 Selang oksigen threeway

38.600

Selang oksigen

15.000

Spuit 1 mL/3 mL/5 mL/10 mL

4.800/3.600/4.800/5.900

Kateter penghisap ukuran 6, 8, 10, 5.000 dan 12233 Adrenalin/epinefrin ampul 0,1% (1 400 mL)236 Sulfas atropin ampul 0,25 mg/mL (1 1.000 mL)236 Dekstrosa 10% (kolf)237

9.000

Aminofilin injeksi 24 mg/mL (10 1.300 mL)235 Fenobarbital ampul 50 mg/mL (1 750 mL)235 Aqua steril vial 500 mL238

8.650

NaCl 0,9% (500 mL)239

15.000

NaCl 0,9% (100 mL)

12.700

Sodium bikarbonat 8,4% (25 mL)

33.350

Vit K1 ampul 2 mg/mL

1.500

Gas O2 (termasuk tabung oksigen isi 850.000 1 kubik, regulator, dan trolley)240

165

d Gambar 27 Peralatan resusitasi

Merujuk bayi melalui jalan darat tersedia dengan mobil ambulans dengan biaya sebagai berikut (pelayanan di wilayah DKI Jakarta):241 1) Rp 300.000,00 a) Pelayanan pra-rumah sakit dari rumah/kediaman pasien ke rumah sakit rujukan swasta maupun pemerintah. b) Pelayanan rujukan antar rumah sakit (dari puskesmas ke rumah sakit, dari klinik 24 jam ke rumah sakit, dari klinik bersalin ke rumah sakit, rumah sakit ke rumah sakit, dan rumah sakit ke rumah/kediaman pasien) 2) Rp 750.000,00 Pelayanan dari rumah sakit ke bandar udara, pelabuhan laut, atau stasiun kereta api. Merujuk bayi dapat juga menggunakan transportasi udara baik ke dalam maupun ke luar negeri dengan perkiraan biaya sebagai berikut:242 1) Jakarta - Singapura:

US$

20.000

atau

±

Rp

170.000.000,00 (kurs Rp 8.500,00)

166

2) Jakarta - Kuala Lumpur:

US$

27.000

atau

±

Rp

229.500.000,00 (kurs Rp 8.500,00) 3) Jakarta - Surabaya: US$ 17.000 atau ± Rp 144.500.000,00 (kurs Rp 8.500,00)

167

BAB IV SIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 TAHAP RESUSITASI Resusitasi dilakukan pada kasus yang kesintasannya tinggi atau yang kemungkinan morbiditasnya dapat diterima. Tindakan resusitasi tidak dilakukan pada kasus dengan usia gestasi, berat lahir,

ataupun

kelainan

kongenital

yang

hampir

pasti

menyebabkan kematian dini atau morbiditas yang sangat berat. Pada kasus yang prognosisnya tidak pasti, keputusan untuk resusitasi harus melibatkan pertimbangan orangtua. (hlm 13) Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Resusitasi bayi baru lahir dapat dihentikan jika setelah resusitasi yang adekuat tidak terdapat denyut jantung selama 10 menit. (hlm 13) Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Pengukuran saturasi oksigen dan denyut jantung menggunakan pulse oximeter hasilnya terpercaya jika dilakukan mulai 30 detik pasca-lahir. (hlm 18) Level of evidence III, derajat rekomendasi C

168

Selama resusitasi, pencampur oksigen (blender) digunakan untuk mengatur konsentrasi oksigen dan pulse oxymeter dipasang untuk memantau saturasi oksigen. (hlm 19) Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Resusitasi bayi usia gestasi <32 minggu dimulai dengan fraksi oksigen 30% atau 90% yang kemudian dititrasi. Hal ini dilakukan dengan panduan oksimeter dan blender oksigen. (hlm 19) Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Jika pencampur oksigen (blender) tidak tersedia, resusitasi bayi usia gestasi <32 minggu dimulai dengan udara ruangan atau fraksi oksigen 21%.

Suplementasi oksigen diberikan pada

resusitasi jika kondisi bayi tidak membaik atau saturasi oksigen <70% pada usia 5 menit. (hlm 20) Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Pada bayi usia gestasi 32-37 minggu, resusitasi dimulai dengan udara ruangan atau fraksi oksigen 21%. Suplementasi oksigen diberikan pada resusitasi jika kondisi bayi tidak membaik atau saturasi oksigen <70% pada usia 5 menit. (hlm 20) Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

169

Pada bayi kurang bulan yang memerlukan bantuan ventilasi, dengan bantuan alat, tekanan inisial yang dapat diberikan adalah 20-25 cmH2O. (hlm 20) Level of evidence III, derajat rekomendasi C

Pada BBLSR yang bernapas spontan dan teratur saat lahir, bantuan pernapasan diberikan berupa CPAP. Tindakan intubasi hanya dilakukan untuk pemberian surfaktan jika ada indikasi. (hlm 22) Level of evidence IB, derajat rekomendasi A Pada bayi kurang bulan yang sudah diintubasi di kamar bersalin akibat gangguan napas, pemberian surfaktan dalam dua jam pertama

menurunkan

risiko

acute

pulmonary

injury,

mortalitas, maupun penyakit paru kronik. (hlm 22) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pada bayi kurang bulan (usia gestasi <33 minggu), pemberian inflasi yang kontinu diikuti penggunaan NCPAP sejak di kamar bersalin dibandingkan pemberian tekanan positif dengan balon mengembang

sendiri,

menurunkan

kejadian

intubasi,

penggunaan ventilasi mekanis dalam 72 jam, dan kejadian BPD. (hlm 23) Level of evidence IB, derajat rekomendasi A Pemberian surfaktan dini dengan ekstubasi segera (<1 jam) kemudian

digantikan

oleh

NCPAP,

dibandingkan

dengan

170

surfaktan selektif lambat dengan ventilasi mekanis kontinu dan ekstubasi ketika dukungan ventilasi mekanis telah minimal, menurunkan kejadian BPD dan pemakaian ventilasi mekanis selama perawatan. (hlm 23) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Penggunaan

T-piece

resuscitator

dibandingkan

dengan

penggunaan balon resusitasi tanpa katup TPAE di kamar bersalin, menurunkan risiko kegagalan CPAP. (hlm 24) Level of evidence III, derajat rekomendasi C

Dalam pemberian bantuan ventilasi pada bayi baru lahir, nasal prong merupakan cara yang lebih efektif dibandingkan dengan sungkup muka. (hlm 24) Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

171

4.2 TAHAP STABILISASI Glukosa

IV

diberikan

segera

setelah

resusitasi

untuk

menghindari hipoglikemia. (hlm 26) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A Terapi hipoglikemia dilakukan jika kadar gula darah neonatus <45 mg/dL. (hlm 27) Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Pada BBLR, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan segera setelah lahir dan diulang 2-4 jam kemudian. (hlm 27) Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Suhu kamar bersalin pada BBLR usia gestasi <28 minggu sekurang-kurangnya 26˚C. (hlm 30) Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Suhu ruang perawatan BBLR adalah 25-28˚C. (hlm 32) Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

172

Penggunaan radiant warmer meningkatkan insensible water loss (IWL) sehingga perhitungan kebutuhan cairan perlu disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap bayi. (hlm 34) Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Metode

perawatan

metode

kanguru

(PMK)

efektif

untuk

mencegah hipotermia pada BBLR di sarana dengan fasilitas terbatas. (hlm 35) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Membungkus bayi dengan berat lahir <1500 g dan/atau usia gestasi <28 minggu menggunakan plastik transparan setinggi leher sampai kaki, tanpa mengeringkan bayi terlebih dahulu, mengurangi kejadian hipotermia. (hlm 36) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu, kombinasi setting suhu kamar bersalin sekurang-kurangnya 26°C dan penggunaan plastik polythene merupakan metoda yang paling efektif untuk mempertahankan temperatur. (hlm 36) Level of evidence II, derajat rekomendasi B

173

Penggunaan

aliran

oksigen

yang

telah

dihangatkan

dan

dilembabkan (heated and humidified air) mengurangi kejadian hipotermia pada BBLR. (hlm 37) Level of evidence III, derajat rekomendasi C

Target saturasi oksigen dalam fase stabilisasi adalah 88-92%. (hlm 40) Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Pemberian terapi oksigen harus secara terbatas (restricted) dan terpantau kadarnya dalam darah. (hlm 49) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Terapi oksigen dalam kadar rendah yaitu 30% menurunkan risiko ROP dan BPD. (hlm 49) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Penghentian terapi oksigen dilakukan secara bertahap. (hlm 49) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

174

Dalam penanganan hipotensi bayi prematur yang baru lahir, albumin tidak terbukti lebih bermanfaat dibandingkan dengan normal saline. (hlm 57) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pemberian sodium bikarbonat dalam resusitasi di kamar bersalin belum terbukti bermanfaat menurunkan mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. (hlm 57) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Dopamin dosis rendah/sedang (<10 mcg/kg per menit) sama efektif dengan epinefrin dosis rendah (0,5 mcg/kg per menit) dalam mengatasi hipotensi pada BBLR. (hlm 58) Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Pada bayi yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga menit, menghasilkan tekanan darah bayi yang lebih baik pada fase stabilisasi, mengurangi risiko perdarahan intraventrikular, dan mengurangi risiko keterlambatan perkembangan motorik. (hlm 60) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

175

Ibuprofen sebagai profilaksis PDA belum terbukti bermanfaat dalam

jangka

panjang,

sehingga

penggunaannya

belum

direkomendasikan. (hlm 61) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Vitamin K1 diberikan kepada semua bayi baru lahir untuk mencegah perdarahan akibat defisiensi vitamin K. (hlm 62) Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

4.3 MEKANISME MERUJUK Transportasi intrauteri lebih diutamakan pada ibu dengan kehamilan

risiko

tinggi

dibandingkan

dengan

transport

neonatus dengan risiko tinggi. (hlm 87) Level of evidence 1A, rekomendasi A

Transport neonatus yang diperlukan dalam proses rujukan untuk mendapatkan proses diagnosis dan tatalaksana di fasilitas layanan neonatus lebih lengkap, perlu dilaksanakan oleh tenaga medis dengan kerja sama tim dan kompetensi yang baik. (hlm 88) Level of evidence 1A, rekomendasi A

176

Penilaian indikasi dan keadaan klinis neonatus sakit yang akan dirujuk harus dilakukan sebelum proses transport dilaksanakan. (hlm 89) Level of evidence 1A, rekomendasi A Sistem transport neonatus sakit terdiri dari kompetensi tenaga medis yang melaksanakan dengan alat kedokteran untuk proses transport dan panduan dalam melaksanakan transportasi neonatus sakit harus terjaga dengan baik. (hlm 91) Level of evidence 1A, rekomendasi A Komunisasi informasi dan edukasi terhadap orang tua pasien harus dilaksanakan dengan sejelas-jelasnya dengan hasil akhir ditanda tanganinya informed consent. Komunikasi antara dokter penanggung jawab, tim transport neonatus sakit dan dokter penanggung jawab di RS rujukan harus dilakukan dan tercatat dengan baik. (hlm 91) Level of evidence 1A, rekomendasi A Evaluasi klinis sebelum, selama transportasi neonatus sakit dan sesudah sampai di RS rujukan harus dilakukan dan dicatat dengan baik. (hlm 95) Level of evidence 1A, rekomendasi A Alat transportasi neonatus sakit dari fasilitas layanan neonatus primer sampai pada layanan neonatus sekunder atau tersier harus dapat menjaga keadaan neonatus tetap stabil secara

177

klinis, baik selama proses transportasi maupun setelah sampai di tempat rujukan. (hlm 96) Level of evidence 1A, rekomendasi A

178

DAFTAR RUJUKAN 1. United Nations Children's Fund. Basic Indicators [UNICEF Website]. 2011. (Accessed July 07, 2011, at https://www.unicef.org/infobycountry/stats_popup1.html.) 2. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. Lancet Neonatal Survival Steering Team. 4 million neonatal deaths: when? Where? Why? Lancet 2005;365:891-900. 3. Lawn JE, Osrin D, Adler A, Cousens S. Four million neonatal deaths: counting and attribution of cause of death. Paediatr Perinat Epidemiol 2008;22:410-6. 4. Central Intelligence Agency. The World Factbook: Infant Mortality Rates of The World [CIA Website]. 2011. (Accessed July 11, 2011, at http://world.bymap.org/InfantMortality.html.) 5. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2017. 6. United Nation. Millennium Development Goals. UN, 2015. (Accessed Jan, 2018, at https://www.un.org/millenniumgoals/.) 7. United Nations Children’s Fund and World Health Organization. Low Birthweight: Country, regional and global estimates. New York2004. 8. Roberts G, Anderson PJ, Cheong J, Doyle LW. Parent‐reported health in extremely preterm and extremely low‐birthweight children at age 8 years compared with comparison children born at term. Dev Med Child Neurol 2011;53:927-32. 9. Walden RV, Taylor SC, Hansen NI, et al. Major congenital anomalies place extremely low birth weight infants at higher risk for poor growth and developmental outcomes. Pediatrics 2007;120:e1512-19. 10. De-Kieviet JF, Piek JP, Aarnoudse-Moens CS, Oosterlaan J. Motor development in very preterm and very low-birth-weight children from birth to adolescence: a meta-analysis. JAMA 2009;302:2235-42. 11. Shah P, Ohlsson A. Literature review of low birth weight, including small for gestational age and preterm birth. Toronto, Toronto Public Health 2002. 12. Lewit EM, Baker LS, Corman H, Shiono PH. The direct cost of low birth weight. Future Child 1995:35-56. 13. WHO. Born too soon: The global action report on preterm birth. Switzerland: WHO Press; 2012. 14. Cavallo MC, Gugiatti A, Fattore G, Gerzelli S, Barbieri D, Zanini R. Cost of care and social consequences of very low birth weight infants without premature-related morbodity. Italian J Pediatr 2015;41:1-12. 15. Lopez NB, Choonara I. Can we reduce the number of low-birth-weight babies? The Cuban experience. Neonatology 2009;95:193-7. 16. Badan Pusat Statistik. Survei sosial dan ekonomi nasional. Jakarta; BPS2005. 17. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2013. 18. Rundjan L, Rohsiswatmo R. Resusitasi Neonatus UKK Neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia 2017. 19. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2007.

179

20. Lasswell SM, Barfield WD, Rochat RW, Blackmon L. Perinatal regionalization for very low-birth-weight and very preterm infants: a meta-analysis. JAMA 2010;304:9921000. 21. Mercier CE, Dunn MS, Ferrelli KR, Howard DB, Soll RF. Vermont Oxford Network ELBW Infant Follow-Up Study Group. Neurodevelopmental outcome of extremely low birth weight infants from the Vermont Oxford network: 1998–2003. Neonatology 2010;97:32938. 22. Ribeiro LA, Zachrisson HD, Schjolberg S, Aase H, Rohrer-Baumgartner N, Magnus P. Attention problems and language development in preterm low-birth-weight children: Crosslagged relations from 18 to 36 months. BMC Pediatr 2011;11:59. 23. Robertson CMT, Howarth TM, Bork DLR, Dinu IA. Permanent bilateral sensory and neural hearing loss of children after neonatal intensive care because of extreme prematurity: a thirty-year study. Pediatrics 2009;123:e797-07. 24. Hahn WH, Chang JY, Chang YS, Shim KS, Bae CW. Recent trends in neonatal mortality in very low birth weight Korean infants: in comparison with Japan and the USA. J Korean Med Sci 2011;26:467-73. 25. Martin JA, Kung HC, Mathews TJ, et al. Annual summary of vital statistics: 2006. Pediatrics 2008;121:788-801. 26. Pei L, Chen G, Mi J, et al. Low birth weight and lung function in adulthood: retrospective cohort study in China, 1948–1996. Pediatrics 2010;125:e899-905. 27. Manktelow BN, Draper ES, Annamalai S, Field D. Factors affecting the incidence of chronic lung disease of prematurity in 1987, 1992, and 1997. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001;85:F33-5. 28. Kwinta P, Klimek M, Drozdz D, et al. Assessment of long-term renal complications in extremely low birth weight children. Pediatr Nephrol 2011;26:1095-103. 29. Mackay CA, Ballot DE, Cooper PA. Growth of a cohort of very low birth weight infants in Johannesburg, South Africa. BMC Pediatr 2011;11:50. 30. Aarnoudse-Moens CS, Weisglas-Kuperus N, Van-Goudoever JB, Oosterlaan J. Meta-analysis of neurobehavioral outcomes in very preterm and/or very low birth weight children. Pediatrics 2009;124:717-28. 31. Hameed B, Shyamanur K, Kotecha S, et al. Trends in the incidence of severe retinopathy of prematurity in a geographically defined population over a 10-year period. Pediatrics 2004;113:1653-7. 32. Stephens BE, Bann CM, Poole WK, Vohr BR. Neurodevelopmental impairment: predictors of its impact on the families of extremely low birth weight infants at 18 months. Infant Ment Health J 2008;29:570-87. 33. Stark AR. Levels of neonatal care. Pediatrics 2004;114:1341-7. 34. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and Gynecologists. Guidelines for perinatal care: Amer Academy of Pediatrics; 2002. 35. Committee on Fetus and Newborn. Levels of neonatal care. Pediatrics 2012;130:587. 36. Gill AB, Bottomley L, Chatfield S, Wood C. Perinatal transport: problems in neonatal intensive care capacity. Arch Dis Child Fetal NeonataL Ed 2004;89:F220-3. 37. Cusack JM, Field DJ, Manktelow BN. Impact of service changes on neonatal transfer patterns over 10 years. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2007;92:F181-4.

180

38. Karlsen K. Post-Resuscitation/Pre-Transport Stabilization Care of Sick Infants, Guidelines for Neonatal Healthcare Providers. Utah: The S.T.A.B.L.E; 2006. 39. Enweronu-Laryea C, Nkyekyer K, Rodrigues OP. The impact of improved neonatal intensive care facilities on referral pattern and outcome at a teaching hospital in Ghana. J Perinatol 2008;28:561-5. 40. Ballot DE, Chirwa TF, Cooper PA. Determinants of survival in very low birth weight neonates in a public sector hospital in Johannesburg. BMC Pediatr 2010;10:30. 41. Vonderweid UD, Carta A, Chiandotto V, et al. Italian Multicenter Study on Very Low Birth Weight Babies. Ann Ist Super Sanita 1991;27:633-50. 42. Vakrilova L, Kalaĭdzhieva M, Slŭncheva B, Popivanova A, Metodieva V, Garnizov T. Resuscitation in very low birth weight and extremely low birth weight newborns in the delivery room. Akush Ginekol (Mosk) 2002;41:18-23. 43. Basu S, Rathore P, Bhatia BD. Predictors of mortality in very low birth weight neonates in India. Singapore Med J 2008;49:556. 44. Almeida MF, Guinsburg R, Martinez FE, et al. Perinatal factors associated with early deaths of preterm infants born in Brazilian Network on Neonatal Research centers. J Pediatr (Rio J) 2008;84:300-7. 45. Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. Survival and outcome of very low birth weight infants born in a university hospital with level II NICU. J Med Assoc Thai 2007;90:1323. 46. Velaphi SC, Mokhachane M, Mphahlele RM, Beckh-Arnold E, Kuwanda ML, Cooper PA. Survival of very-low-birth-weight infants according to birth weight and gestational age in a public hospital. S Afr Med J 2005;95:504-9. 47. Tsou KI, Tsao PN. The morbidity and survival of very-low-birth-weight infants in Taiwan. Acta Paediatr Taiwan 2003;44:349-55. 48. Anthony S, Den-Ouden L, Brand R, Verloove-Vanhorick P, Gravenhorst JB. Changes in perinatal care and survival in very preterm and extremely preterm infants in The Netherlands between 1983 and 1995. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2004;112:170-7. 49. Darlow BA, Cust AE, Donoghue DA. Improved outcomes for very low birthweight infants: evidence from New Zealand national population based data. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 2003;88:F23-8. 50. Cifuentes J, Bronstein J, Phibbs CS, Phibbs RH, Schmitt SK, Carlo WA. Mortality in low birth weight infants according to level of neonatal care at hospital of birth. Pediatrics 2002;109:745-51. 51. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, et al. on behalf of the Neonatal Resuscitation Chapter Collaborators. Part 7: neonatal resuscitation: 2015 International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with Treatment Recommendations. Circulation 2015;132(suppl 1):S204-41. 52. Saugstad OD. New guidelines for newborn resuscitation. Acta Paediatr 2007;96:333-7. 53. Verlato G, Grobber D, Drabo D, Chiandetti L, Drigo P. Guidelines for resuscitation in the delivery room of extremely preterm infants J Child Neurol 2004:31-4. 54. Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, et al. Part 13: neonatal resuscitation: 2015 American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Circulation 2015;132(suppl 2):S543-60. 55. Aziz K, Chadwick M, Baker M, Andrews W. Ante-and intra-partum factors that predict increased need for neonatal resuscitation. Resuscitation 2008;79:444-52.

181

56. Zaichkin J, Weiner G, C M. Instructor manual for neonatal resuscitation. Pediatrics; 2011. 57. Kattwinkel J, Perlman JM, Aziz K, et al. Part 15: neonatal resuscitation: American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122(18 suppl 3):S909-19. 58. Wylie J, Perlman JM, Kattwinkel J, et al. Part 11: neonatal resuscitation: 2010 International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular care Science With Treatment Recommendation. Circulation 2010:S516-38. 59. Mariani G, Dik PB, Ezquer A, et al. Pre-ductal and post-ductal O2 saturation in healthy term neonates after birth. J Pediatr 2007;150:418-21. 60. Vain NE, Szyld EG, Prudent LM, Wiswell TE, Aguilar AM, Vivas NI. Oropharyngeal and nasopharyngeal suctioning of meconium-stained neonates before delivery of their shoulders: multicentre, randomised controlled trial. The Lancet 2004;364:597-602. 61. Dannevig I, Solevåg AL, Saugstad OD, Nakstad B. Lung Injury in Asphyxiated Newborn Pigs Resuscitated from Cardiac Arrest-The Impact of Supplementary Oxygen, Longer Ventilation Intervals and Chest Compressions at Different Compression-to-Ventilation Ratios. Open Respir Med J 2012;6:89. 62. Dannevig I, Solevåg AL, Sonerud T, Saugstad OD, Nakstad B. Brain inflammation induced by severe asphyxia in newborn pigs and the impact of alternative resuscitation strategies on the newborn central nervous system. Pediatr Res 2013;73:163. 63. Hemway RJ, Christman C, Perlman J. The 3: 1 is superior to a 15: 2 ratio in a newborn manikin model in terms of quality of chest compressions and number of ventilations. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 2012;Apr 1:fetalneonatal-2011. 64. Solevåg AL, Dannevig I, Wyckoff M, Saugstad OD, Nakstad B. Extended series of cardiac compressions during CPR in a swine model of perinatal asphyxia. Resuscitation 2010;81:1571-6. 65. Solevåg AL, Dannevig I, Wyckoff M, Saugstad OD, Nakstad B. Return of spontaneous circulation with a compression: ventilation ratio of 15: 2 versus 3: 1 in newborn pigs with cardiac arrest due to asphyxia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2011:fetalneonatal200386. 66. Solevåg AL, Madland JM, Gjærum E, Nakstad B. Minute ventilation at different compression to ventilation ratios, different ventilation rates, and continuous chest compressions with asynchronous ventilation in a newborn manikin. Scand J Trauma Resus 2012;20:73. 67. Harrington DJ, Redman CW, Moulden M, Greenwood CE. The long-term outcome in surviving infants with Apgar zero at 10 minutes: a systematic review of the literature and hospital-based cohort. Am J Obstet Gynecol 2007;196:463.e1-5. 68. Kasdorf E, Laptook A, Azzopardi D, Jacobs S, Perlman JM. Improving infant outcome with a 10 min Apgar of 0. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 2014:fetalneonatal-2014306687. 69. Laptook AR, Shankaran S, Ambalavanan N. Hypothermia subcommittee of the NICHD neonatal research network outcome of term infants using apgar scores at 10 minutes following hypoxic–ischemic encephalopathy. Pediatrics 2009;124:1619-26. 70. Patel H, Beeby PJ. Resuscitation beyond 10 minutes of term babies born without signs of life. J Paediatr Child Health 2004;40:136-8.

182

71. Sarkar S, Bhagat I, Dechert RE, Barks JD. Predicting death despite therapeutic hypothermia in infants with hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 2010;95:F423-8. 72. Reynolds R, Pilcher J, Ring A, Johnson R, McKinley P. The Golden Hour: care of the LBW infant during the first hour of life one unit's experience. Neonatal Netw 2009;28:21119. 73. Vento M, Cheung PY, Aguar M. The first golden minutes of the extremely-lowgestational-age neonate: a gentle approach. Neonatology 2009;95:286-98. 74. The Royal Women's Hospital. Intensive and special care nurseries,clinician's handbook. Melbourne: The Royal Women's Hospital; 2007. 75. Gungor S, Kurt E, Teksoz E, Goktolga U, Ceyhan T, Baser I. Oronasopharyngeal suction versus no suction in normal and term infants delivered by elective cesarean section: a prospective randomized controlled trial. Gynecol Invest 2006;61:9-14. 76. Waltman PA, Brewer JM, Rogers BP, May WL. Building evidence for practice: a pilot study of newborn bulb suctioning at birth. J Midwifery Womens Health 2004;49:32-8. 77. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline: Intrapartum Fetal Surveillance. State of Queensland2010. 78. Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council guidelines for resuscitation 2010. Resuscitation 2010;81:1389-99. 79. Chen M, Mcniff C, Madan J, Goodman E, Davis JM, Dammann O. Maternal obesity and neonatal Apgar scores. J Matern Fetal Neonatal Med 2010;23:89-95. 80. Doyle LW. Outcome at 5 years of age of children 23 to 27 weeks' gestation: refining the prognosis. Pediatrics 2001;108:134-41. 81. Marlow N, Wolke D, Bracewell MA, Samara M. Neurologic and developmental disability at six years of age after extremely preterm birth. N Engl J Med 2005;352:9-19. 82. De-Leeuw R, Cuttini M, Nadai M, et al. Treatment choices for extremely preterm infants: an international perspective. J Pediatr 2000;137:608-16. 83. Costeloe K, Hennessy E, A T Gibson, Marlow N, Wilkinson AR. EPICure Study Group. The EPICure study: outcomes to discharge from hospital for infants born at the threshold of viability. Pediatrics 2000;106:659-71. 84. Field DJ, Dorling JS, Manktelow BN, Draper ES. Survival of extremely premature babies in a geographically defined population: prospective cohort study of 1994-9 compared with 2000-5. BMJ 2008;336:1221-3. 85. Casalaz DM, Marlow N, Speidel BD. Outcome of resuscitation following unexpected apparent stillbirth. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 1998;78:F112-5. 86. Laptook AR, Shankaran S, Ambalavanan N, et al. Outcome of term infants using apgar scores at 10 minutes following hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics 2009;124:1619-26. 87. Chamnanvanakij S, Perlman JM. Outcome following cardiopulmonary resuscitation in the neonate requiring ventilatory assistance. Resuscitation 2000;45:173-80. 88. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan resusitasi neonatus. Jakarta: Perinasia; 2006. 89. Neoresus. Positive pressure ventilation device. (Accessed Aug 24, 2011, at http://www.neoresus.org.au/pages/LM1-7-Breathing.php.) 90. Armanian AM, Badiee Z. Resuscitation of preterm newborns with low concentration oxygen versus high concentration oxygen. J Res Pharm Pract 2012;1:25.

183

91. Kapadia VS, Chalak LF, Sparks JE, Allen JR, Savani RC, Wyckoff MH. Resuscitation of preterm neonates with limited versus high oxygen strategy. Pediatrics 2013;132:e1488e96. 92. Lundstrøm KE, Pryds O, Greisen G. Oxygen at birth and prolonged cerebral vasoconstriction in preterm infants. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 1995;73:F81-F6. 93. Rabi Y, Singhal N, Nettel-Aguirre A. Room-air versus oxygen administration for resuscitation of preterm infants: the ROAR study. Pediatrics 2011:peds. 2010-3130. 94. Rook D, Schierbeek H, Vento M, et al. Resuscitation of preterm infants with different inspired oxygen fractions. J Pediatr 2014;164:1322-26.e3. 95. Vento M, Moro M, Escrig R, et al. Preterm resuscitation with low oxygen causes less oxidative stress, inflammation, and chronic lung disease. Pediatrics 2009;124:e439-49. 96. Wang CL, Anderson C, Leone TA, Rich W, Govindaswami B, Finer NN. Resuscitation of preterm neonates by using room air or 100% oxygen. Pediatrics 2008;121:1083-9. 97. Neonatal Clinical Practice Guideline. Oxygen therapy in newborns. Winnipeg Regional Health Authority; 2015. 98. Finer N, Saugstad O, Vento M, et al. Use of oxygen for resuscitation of the extremely low birth weight infant. Pediatrics 2010;125:389-91. 99. Asikainen TM, White CW. Antioxidant defenses in the preterm lung: role for hypoxia-inducible factors in BPD? Toxicol Appl Pharmacol 2005;203:177-88. 100. Vento M, Asensi M, Sastre J, Lloret A, García-Sala F, Viña J. Oxidative stress in asphyxiated term infants resuscitated with 100% oxygen. J Pediatr 2003;142:240-6. 101. Bajaj N, Udani RH, Nanavati RN. Room air vs. 100 per cent oxygen for neonatal resuscitation: a controlled clinical trial. J Trop Pediatr 2005;51:206-11. 102. Vento M, Asensi M, Sastre J, Garcıa-Sala F, Pallardó FV, Vina J. Resuscitation with room air instead of 100% oxygen prevents oxidative stress in moderately asphyxiated term neonates. Pediatrics 2001;107:642-7. 103. Escrig R, Arruza L, Izquierdo I, et al. Achievement of targeted saturation values in extremely low gestational age neonates resuscitated with low or high oxygen concentrations: a prospective, randomized trial. Pediatrics 2008;121:875-81. 104. Saugstad OD, Ramji S, Soll RF, Vento M. Resuscitation of newborn infants with 21% or 100% oxygen: an updated systematic review and meta-analysis. Neonatology 2008;94:176-82. 105. Rabi Y, Rabi D, Yee W. Room air resuscitation of the depressed newborn: a systematic review and meta-analysis. Resuscitation 2007;72:353-63. 106. Davis PG, Tan TA, O'Donnell CPF, Schulze A. Resuscitation of newborn infants with 100% oxygen or air: a systematic review and meta-analysis. Lancet 2004;364:1329-33. 107. Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung disease. Acta Paediatrica 2002;91:23-5. 108. Bell EF. Preventing necrotizing enterocolitis: what works and how safe? Pediatrics 2005;115:173-4. 109. Stola A, Schulman J, Perlman J. Initiating delivery room stabilization/resuscitation in very low birth weight (VLBW) infants with an FiO2 less than 100% is feasible. J Perinatol 2009;29:548-52. 110. Lindner W, Voßbeck S, Hummler H, Pohlandt F. Delivery room management of extremely low birth weight infants: spontaneous breathing or intubation? Pediatrics 1999;103:961-7.

184

111. Finer NN, Carlo WA, Duara S, et al. Delivery room continuous positive airway pressure/positive end-expiratory pressure in extremely low birth weight infants: a feasibility trial. Pediatrics 2004;114:651-7. 112. Morley CJ, Davis PG, Doyle LW, Brion LP, Hascoet JM, Carlin JB. Nasal CPAP or intubation at birth for very preterm infants. N Engl J Med 2008;358:700-8. 113. Support Study Group of the Eunice Kennedy Shriver NICHD Neonatal Research Network. Early CPAP versus surfactant in extremely preterm infants. N Engl J Med 2010;2010:1970-9. 114. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, et al. European consensus guidelines on the management of respiratory distress syndrome-2016 update. Neonatology 2017;111:10725. 115. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, et al. European consensus guidelines on the management of neonatal respiratory distress syndrome in preterm infants-2013 update. Neonatology 2013;103:353-68. 116. Papile LA, Baley JE, Benitz W, et al. Respiratory support in preterm infants at birth. Pediatrics 2014;133:171-4. 117. Stevens TP, Blennow M, Myers EH, Soll R. Early surfactant administration with brief ventilation vs. selective surfactant and continued mechanical ventilation for preterm infants with or at risk for respiratory distress syndrome. Cochrane Libr 2007. 118. Göpel W, Kribs A, Ziegler A, et al. Avoidance of mechanical ventilation by surfactant treatment of spontaneously breathing preterm infants (AMV): an open-label, randomised, controlled trial. Lancet 2011;378:1627-34. 119. Dargaville PA, Aiyappan A, Paoli AGD, et al. Minimally-invasive surfactant therapy in preterm infants on continuous positive airway pressure. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 2013;98:F122-6. 120. Göpel W, Kribs A, Härtel C, et al. Less invasive surfactant administration is associated with improved pulmonary outcomes in spontaneously breathing preterm infants. Acta Paediatr 2015;104:241-6. 121. Kribs A, Roll C, Göpel W, et al. Nonintubated surfactant application vs conventional therapy in extremely preterm infants: a randomized clinical trial. JAMA Pediatr 2015;169:723-30. 122. Kanmaz HG, Erdeve O, Canpolat FE, Mutlu B, Dilmen U. Surfactant administration via thin catheter during spontaneous breathing: randomized controlled trial. Pediatrics 2013;131:e502-9. 123. More K, Sakhuja P, Shah PS. Minimally invasive surfactant administration in preterm infants: a meta-narrative review. JAMA Pediatr 2014;168:901-8. 124. Minocchieri S, Knoch S, Schoel WM, Ochs M, Nelle M. Nebulizing poractant alfa versus conventional instillation: Ultrastructural appearance and preservation of surface activity. Pediatr Pulmonol 2014;49:348-56. 125. Ardell S, Pfister RH, Soll R. Animal derived surfactant extract versus protein free synthetic surfactant for the prevention and treatment of respiratory distress syndrome. Cochrane Database Syst Rev 2015;8. 126. Curstedt T, Halliday HL, Speer CP. A unique story in neonatal research: the development of a porcine surfactant. Neonatology 2015;107:321-9.

185

127. Singh N, Halliday HL, Stevens TP, Soll R. Comparison of animal-derived surfactants for the prevention and treatment of respiratory distress syndrome in preterm infants. status and date: New, published in 2015. 128. Soll R. Early versus delayed selective surfactant treatment for neonatal respiratory distress syndrome. Cochrane Database Syst Rev 1999;4. 129. Dargaville PA, Aiyappan A, De-Paoli AG, et al. X Continuous positive airway pressure failure in preterm infants: incidence, predictors and consequences. Neonatology 2013;104:8-14. 130. Soll R, Özek E. Multiple versus single doses of exogenous surfactant for the prevention or treatment of neonatal respiratory distress syndrome. Cochrane Libr 2009. 131. Dani C, Corsini I, Poggi C. Risk factors for intubation–surfactant–extubation (INSURE) failure and multiple INSURE strategy in preterm infants. Early Hum Dev 2012;88:S3-4. 132. Finer NN, Rich W, Craft A, Henderson C. Comparison of methods of bag and mask ventilation for neonatal resuscitation. Resuscitation 2001;49:299-305. 133. Milner A. The importance of ventilation to effective resuscitation in the term and preterm infant. In: Proceedings of the Seminars in Neonatology. 2001. p. 219-24. 134. Capasso L, Capasso A, Raimondi F, Vendemmia M, Araimo G, Paludetto R. A randomized trial comparing oxygen delivery on intermittent positive pressure with nasal cannulae versus facial mask in neonatal primary resuscitation. Acta Paediatr 2005;94:197200. 135. Dodman N. Warm, pink and sweet. Perinatal outreach program of Southwestern Ontario 2003. 136. Salhab WA, Wyckoff MH, Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and neonatal brain injury in term infants with severe fetal acidemia. Pediatrics 2004;114:3616. 137. Husaini L, Rohsiswatmo R, Oswari H. X Efektivitas T-Piece resuscitator sebagai pengganti penggunaan continous positive airway pressure (CPAP) dini di kamar bersalin dalam menurunkan kegagalan CPAP pada bayi prematur dengan gangguan napas [PhD thesis]. 2011; . 138. Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung disease. Acta Paediatr 2002;91:23-5. 139. Bisquera JA, Cooper TR, Berseth CL. Impact of necrotizing enterocolitis on length of stay and hospital charges in very low birth weight infants. Pediatrics 2002;109:423-8. 140. Altuncu E, Özek E, Bilgen H, Topuzoglu A, Kavuncuoglu S. Percentiles of oxygen saturations in healthy term newborns in the first minutes of life. Eur J Pediatr 2008;167:6878. 141. American Academy of Pediatrics. The action plan. (Accessed Aug 08, 2011, at www.helpingbabiesbreathe.org/docs/ActionPlan.pdf.) 142. Ondoa-Onama C, Tumwine JK. Immediate outcome of babies with low Apgar score in Mulago Hospital, Uganda. East Afr Med J 2003;80:22-9. 143. Adamkin DH. Neonatal hypoglycemia. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine; Elsevier; 2017. p. 36-41. 144. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs: McGraw-Hill Education Medical; 2013.

186

145. WHO. Managing newborn-problems: a guide for doctors, nurses and midwives. . Geneva: World Health Organization; 2003. 146. Adamkin DH. Postnatal glucose homeostasis in late-preterm and term infants. Pediatrics 2011;127:575-9. 147. Rozance PJ, Hay WW. New approaches to management of neonatal hypoglycemia. Matern Health Neonatol Perinatol 2016;2:3. 148. Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR. Hypoglycemia and hyperglycemia. 6th ed: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. 149. Sweet CB, Grayson S, Polak M. Management strategies for neonatal hypoglycemia. J Pediatr Pharmacol Ther 2013;18:199-208. 150. Soll RF. Heat loss prevention in neonates. J Perinatol 2008;28:S57-9. 151. Knobel RB, Wimmer JE, Holbert D. Heat loss prevention for preterm infants in the delivery room. J Perinatol 2005;25:304-8. 152. WHO. Pregnancy, childbirth, postpartum and newborn care: a guide for essential practice. . Geneva: World Health Organization; 2003. 153. Flenady V, Woodgate PG. Radiant warmers versus incubators for regulating body temperature in newborn infants. Cochrane Libr 2003. 154. Suradi R, Rohsiswatmo R, Dewi R, Endyarni B, Rustina Y. Health Technology Assesment Indonesia. Perawatan bayi baru lahir (BBLR) dengan metode kangguru. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008. 155. Conde-Agudelo A, Belizan JM, Diaz-Rossello. Kangaroo mother care to reduce morbidity and mortality in low birthweight infants. Cochrane Database Syst Rev 2011. 156. Asia PE cling wrap. at http://www.asoa.ru/en/Productinfo/5347552.html.) 157. Newborn services clinical guideline at http://www.asia.ru/en/Productinfo/534752.html.) 158. McCall EM, Alderdice FA, Halliday HL, Jenkins JG, Vohra S. Interventionist to prevent hypothermia at birth in preterm and/or low birth weight infants. Cochrane Database Syst Rev 2003. 159. Kent AL, Williams J. Increasing ambient operating theatre temperature and wrapping in polyethylene improves admission temperature in premature infants. J Paediatr Child Health 2008;44:325-31. 160. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR). Consensus on science with treatment recommendations for pediatric and neonatal patients: pediatric basic and advanced life support. Pediatrics 2006;117:e955-7. 161. Te-Pas AB, Lopriore E, Dito I, Morley CJ, Walther FJ. Humidified and heated air during stabilization at birth improves temperature in preterm infants. Pediatrics 2010;125:e1427-32. 162. Kaushal M, Agarwal R, Singal A, et al. Cling wrap, an innovative intervention for temperature maintenance and reduction of insensible water loss in very low-birthweight babies nursed under radiant warmers: a randomized, controlled trial. Ann Trop Paediatr 2005;25:111-18. 163. WHO Collaborating Center for Training and Research in Newborn Care. NNF Teaching Aids: Respiratory Stress in a Newborn Baby. Department of Pediatrics, Division of Neonatology, WHO-CC for Training and Research in Newborn Care, 2005. (Accessed Sept 22, 2011, at http://www.newbornwhocc.org/pdf/teaching-aids/respiratorydistress.pdf.)

187

164. Mathai SS, Raju U, Kanitkar M. Management of respiratory distress in the newborn. Med J Armed Forces India 2007;63:269. 165. Respiratory assessment of the newborn (Accessed Sept 22, 2011, at http://puffnicu.tripod.com/rd.html.) 166. Fauroux B, Clément A. Requisite for stringent control of oxygen therapy in the neonatal period. Eur Respir J 2007. 167. Jobe AH, Kallapur SG. Long term consequences of oxygen therapy in the neonatal period. In: Proceedings of the Seminars in Fetal and Neonatal Medicine; 2010: Elsevier. p. 230-5. 168. Juniatiningsih A. Oxygen therapy in neonatal: how to implement with limited facilities. In: Proceedings of the 2nd Indonesia National Workshop & Seminar on ROP: how to prevent retinopathy of prematuriy with limited facilities in Indonesia 2010; Surabaya. 169. Saugstad OD, Aune D. Oxygenation of extremely low birth weight infants: a metaanalysis and systematic review of the oxygen saturation target studies. Neonatology 2014;105:55-63. 170. The Royal Children's Hospital Melbourne. Clinical Guideline (Hospital). at http://www.rch.org.au/rchcpg/indexx.cfm?doc_id=135531.) 171. Myers TR. AARC Clinical Practice Guideline: Selection of an oxygen delivery device for neonatal and pediatric patients Respir Care 2002:707-16. 172. STOP-ROP Multicenter Study Group. Supplemental therapeutic oxygen for prethreshold retinopathy of prematurity (STOP-ROP), a randomized, controlled trial. I: Primary outcomes. Pediatrics 2000;105:295-310. 173. Askie LM, Henderson-Smart DJ, Irwig L, Simpson JM. Oxygen-saturation targets and outcomes in extremely preterm infants. N Engl J Med 2003;349:959-7. 174. STOP-ROP effective FiO2 conversion tables for infants on nasal canula. (Accessed Aug 24, 2011, at http://pub.emmes.com/study/rop/FiO2table.pdf.) 175. Askie LM, Henderson‐Smart DJ, Ko H. Cochrane review: Restricted versus liberal oxygen exposure for preventing morbidity and mortality in preterm or low birth weight infants. Evid‐Based Child Health 2010;5:371-413. 176. Saugstad OD. Oxidative stress in the newborn–a 30-year perspective. Neonatology 2005;88:228-36. 177. Saugstad OD. Oxygen and oxidative stress in bronchopulmonary dysplasia J Perinat Med 2010;38:571-7. 178. Wardle SP, Drury J, Garr R, Weindling AM. Effect of blood transfusion on lipid peroxidation in preterm infants. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2002;86:F46-8. 179. Lavoie PM, Lavoie JC, Watson C, Rouleau T, Chang BA, Chessex P. Inflammatory response in preterm infants is induced early in life by oxygen and modulated by total parenteral nutrition. Pediatr Res 2010;68:248-51. 180. Chen ML, Guo L, Smith LE, Dammann CE, Dammann O. High or low oxygen saturation and severe retinopathy of prematurity: a meta-analysis. Pediatrics 2010;125:e1483-92. 181. Saugstad OD, Aune D. In search of the optimal oxygen saturation for extremely low birth weight infants: a systematic review and meta-analysis. Neonatology 2011;100:1-8. 182. Askie LM, Henderson‐Smart DJ. Gradual versus abrupt discontinuation of oxygen in preterm or low birth weight infants. Cochrane Libr 2001. 183. Beveridge CJ, Wilkinson AR. Sodium bicarbonate infusion during resuscitation of infants at birth. Cochrane Libr 2006.

188

184. Osborn DA, Evans N. Early volume expansion for prevention of morbidity and mortality in very preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2004;2. 185. Osborn D, Evans N, Kluckow M. Randomized trial of dobutamine versus dopamine in preterm infants with low systemic blood flow. J Pediatr 2002;140:183-91. 186. Valverde E, Pellicer A, Madero R, Elorza D, Quero J, Cabañas F. Dopamine versus epinephrine for cardiovascular support in low birth weight infants: analysis of systemic effects and neonatal clinical outcomes. Pediatrics 2006;117:e1213-22. 187. Vohr B, Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung disease. Acta Paediatr Suppl 2002:23-5. 188. Peterson BS, Vohr B, Staib LH, et al. Regional brain volume abnormalities and longterm cognitive outcome in preterm infants. JAMA 2000;284:1939-47. 189. Mercer JS, Vohr BR, Erickson-Owens DA, Padbury JF, Oh W. Seven-month developmental outcomes of very low birth weight infants enrolled in a randomized controlled trial of delayed versus immediate cord clamping. J Perinatol 2010;30:11-6. 190. Aladangady N, McHugh S, Aitchison TC, Wardrop CA, Holland BM. Infants' blood volume in a controlled trial of placental transfusion at preterm delivery. Pediatrics 2006;117:93-8. 191. McDonald DJ, Middleton P. Effect of timing of umbilical cord clamping of term infants on maternal and neonatal outcomes. Cochrane Database Syst Rev 2008. 192. Rabe H, Reynolds G, Diaz-Rossello J. A systematic review and meta-analysis of a brief delay in clamping the umbilical cord of preterm infants. Neonatology 2008;93:13844. 193. Rabe H, Reynold G, Diaz-Rossello J. Early versus delayed umbilical cord clamping in preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2004;4. 194. Airey RJ, Farrar D, Duley L. Alternative positions for the baby at birth before clamping the umbilical cord. Cochrane Database Syst Rev 2010. 195. Ohlsson A, Shah SS. Ibuprofen for the prevention of patent ductus arteriosus in preterm and/or low birth weight infants. Cochrane Libr 2011. 196. Moeslichan MZ, Sujono A, Kosim S, Gatot D, Indarso F. Pemberian profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir. Health Technology Assesment 2003-2006 selected recommendations. Jakarta: Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2006:1-19. 197. Puckett RM, Offringa M. Prophylactic vitamin K for vitamin K deficiency bleeding in neonates. Cochrane Libr 2000. 198. Wilson AK, Martel IMJ, Saskatoon SK. Maternal Transport Policy. J Obstet Gynecol Can 2005;27:956-58. 199. Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger KKM, Nardi A, Langer M. Perinatal mortality and morbidity. Comparison between maternal transport, neonatal transport and inpatient antenatal treatment. Arch Gynecol Obstet 2001;265:113-18. 200. Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P, Buytaerta P, Vlieta JV. Intrauterine versus postnatal transport of the preterm infant: a short-distance experience. Early Hum Dev 2001;63:1-7. 201. Woodward GA, Insoft RM, Pearson-shaver AL, et al. The state of pediatric interfacility transport: Consensus of the second national pediatric and neonatal inter-facility transport medicine leadership conference. Pediatr Emerg Care 2002;1:38-43.

189

202. Simpson JH, Ahmed I, McLaren J, Skeoch CH. Use of nasal continuous positive airway pressure during neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2003;10:374-5. 203. Das UG, Leuthner SR. Preparing the neonate for transport. Pediatr Clin North Am 2004;51:581-98. 204. Lim M, Ratnavel N. A prospective review of adverse events during interhospital transfers of neonates by a dedicated neonatal transfer service. Crit Care Med 2008;9. 205. Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni, Reyes. Effect of a centralised transfer service on characteristics of inter-hospital neonatal transfers. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2007;92:185-9. 206. McKay S, Cruickshanks J, Skeoch CH. Step by step guide: Transporting neonates safely. J Neonatal Nurs 2003;1:9. 207. Kulshrestha A, Singh J. Interhospital and intrahospital patient transport: recent concept. Indian J 2016;60:451-7. 208. Fenton AC, Leslie A, Skeoch CH. Optimising neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004;89:F215-9. 209. Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R. Neonatal transport of very low birth weight infants in Jerussalem, revisited. IMAJ 2006;8:477-82. 210. Kumar PP, Kumar CD, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport-the need of the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2. 211. Terrey A, Browning CK. Stabilising the newborn for transfer: Basic principles. Aust Fam Physician 2008;37:510. 212. Tingay DG, Stewart MJ, Morley CJ. Monitoring of end tidal carbon dioxide and transcutaneous carbon dioxide during neonatal transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2005;90:F523-6. 213. Lilley CD, Stewart M, Morley CJ. Respiratory function monitoring during neonatal emergency transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2005;90:F82-3. 214. Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli C, Rubaltelli FF. Early extubation and nasal continuous positive airway pressure after surfactant treatment for respiratory distress syndrome among preterm infants< 30 weeks’ gestation. Pediatrics 2004;113:e5603. 215. Fowlie PW, Booth P, Skeoch CH. Clinical review moving the preterm infant. BMJ 2004;309:904-6. 216. Stroud MH, Trautman MS, Meyer K, Moss MM, Schwartz HP, Bigham MT. et al. Pediatric and neonatal interfacility transport: results from a national consensus conference. Pediatrics 2013;132:359-66. 217. Joshi M, Singh S, Negi A, Vyas T, Chourishi V, Jain A. Neonatal carrier: an easy to make alternative device to costly transport chambers. J Indian Assoc Pediatr Surg 2010:1334. 218. Baxter C, Alberta E, Gorodzinsk FP. Temperature measurement in paediatrics. Paediatr Child Health 2000;5(5):273-6. 219. Fairchild K, Sokora D, Scott J, Zanelli S. Therapeutic hypothermia on neonatal transport: 4-year experience in a single NICU. J Perinatol 2010;30:324-9. 220. Strozik KS, Pieper CH, Roller J. Capillary refilling time in newborn babies: normal values. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1997;76:F193-6. 221. Ambubag dewasa/ anak/ bayi. (Accessed Sept 04, 2011, at http://alatkesehatanjogja.com/produk-70-ambu-bag-dewasaanakbayi.html.)

190

222. Toko Medis Alat Kedokteran. (Accessed Sept 09, 2011, at http://www.tokomedis.com/kategori/20/Kedokteran.html.) 223. CVU4 Medin-Sindi, N-CPAP for infant and neonate (Accessed Aug 24, 2011, at htp://indonetwork.co.id/cv_u4/1551683/medin-sindi-n-cpap-for-infant-andneonate.htm.) 224. Prima Jaya Teknik. Pulse Oximeter. at http://pratec.indonetwork.co.id/2047240/pulse-oximeter.htm.) 225. Nagar S. Long distance neonatal transport--the need of the hour-is it? Indian Pediatr 2009;46:267. 226. Alkes Online. Daftar Harga. (Accessed Aug 24, 2011, at http://alkesonline.com/daftar-harga/.) 227. Peta Fajar Pahala. Daftar harga alat medis, alat kedokteran, alat kesehatan, laboratorium. (Accessed Aug 24, 2011, at http://petafajarpahala.blogspot.com/2010/02/harga-produk.html.) 228. Departemen Kesehatan. Daftar informasi harga peralatan kesehatan dan laboratorium efektif 1 Januari 2005 s/d 31 Desember 2005. (Accessed Aug 24, 2011, at http://www.depkes.go.id/downloads/yanfar/yanfar01.pdf.) 229. CVU4. Katalog produk infant incubator. (Accessed Sept 09, 2011, at http://indonetwork.co.id/cv_u4/prod.) 230. CV Azza Medika. Perdagangan alat kesehatan. (Accessed Aug 23, 2011, at http://azzamedika.wordpress.com/.) 231. CV Duta Medica Sarana. Ventilator ICU, ICCU, NICU, PICU (bayi-anak dan dewasa) "Galileo-Hamilton". (Accessed Aug 24, 2011, at http://dumepower.indonetwork.co.id/2034930/ventilator-icu-iccu-nicu-bayi-anak-dandewasa-galileo.htm.) 232. Sutanto. Dijual endotracheal tube. (Accessed Aug 23, 2011, at http://www.bejubel.com/147541/jual-beli-kesehatan-perawatan-pribadi-endotrachealtube-murah-dan-diskon.html.) 233. CV Amerta Pratama. Katalog produk: handscoon steril maxter. (Accessed Aug 23, 2011, at http://cvamerpratma.indonetwork.co.id/2227773/hanscoon-steril-maxter.htm.) 234. CV Dua Saudara Medika. Quality medical supplies at the right price. (Accessed Aug 23, 2011, at http://ikhwanfaisal29.blogspot.com/.) 235. Bali Chemist. Nama merk obat-obatan dalam alphabetical. (Accessed Aug 23, 2011, at http://www.balichemist.com/farmakologi_html.) 236. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan menteri kesehatan republik Indonesia nomor: 1239/MENKES/SK/XI/2004 tentang harga jual obat generik. (Accessed Aug 23, 2011, at http://ropeg-kemenkes.or.id/documents/1sk_menkes1239.pdf.) 237. Puskesmas Palaran. Bahan habis pakai dan topikal. (Accessed Aug 23, 2011, at http://puskesmaspalaran.wordpress.com/.) 238. PT Aura Prima. Aquadestilata.sterile/aquadest/air murni. (Accessed Aug 23, 2011, at http://auraprima.indonetwork.co.id/509029/aquadestilata-sterileaquadest-airmurni.htm.) 239. Farmasiku. Pengganti cairan tubuh. at http://www.farmasiku.com/index.php?target=categories&category_id=294.) 240. Alat Kesehatan Kedokteran. (Accessed Aug 23, 2011, at http://alatkesehatan.net/?paged=7.)

191

241. Ambulans 118 24 jam (Accessed Aug 24, 2011, http://ambulans118.org/?page_id=178.) 242. Espromedical. (Accessed Aug 23, 2011, at http://www.esperomedical.com/.)

at

192

2. PNPK Asfiksia Neonatorum BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Kematian neonatus masih menjadi masalah global yang penting. Setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu pertama dengan 85% kematian terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan.1,2 Terkait masalah ini, World Health Organization (WHO) menetapkan penurunan angka kematian bayi baru lahir dan anak di bawah usia 5 tahun (balita), sebagai salah satu sasaran Sustainable Development Goals). Target untuk menurunkan angka kematian

hingga sebesar 12 kematian bayi per 1000 kelahiran

hidup dan kematian di bawah 5 tahun hingga setidaknya 25/1000 kelahiran hidup diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030. Namun, angka kematian bayi berdasarkan Survei Demografi Kesehatan

Indonesia

(SDKI)

2012

masih

cukup

tinggi

dibandingkankan target tersebut, yaitu 34 per 1000 kelahiran hidup.3 WHO melaporkan komplikasi intrapartum, termasuk asfiksia, sebagai penyebab tertinggi kedua kematian neonatus (23,9%) setelah prematuritas dan berkontribusi sebagai 11% penyebab kematian balita di seluruh dunia.4,5 Di Asia Tenggara, asfiksia merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga (23%) setelah infeksi neonatal (36%) dan prematuritas / bayi berat lahir rendah (BBLR) (27%).1 Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 di Indonesia melaporkan asfiksia sebagai 27% penyebab kematian bayi baru lahir.6 Selain itu, asfiksia juga berkaitan dengan morbiditas jangka panjang berupa palsi serebral, retardasi mental, dan gangguan 193

belajar pada kurang lebih 1 juta bayi yang bertahan hidup.5,6 Berbagai morbiditas ini berkaitan dengan gangguan tumbuh kembang dan kualitas hidup yang buruk di kemudian hari. Asfiksia pada neonatus terjadi akibat gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang tidak segera diatasi, sehingga menimbulkan penurunan PaO2 darah (hipoksemia), peningkatan PaCO2 darah (hiperkarbia), asidosis, dan berlanjut pada disfungsi multiorgan.1 Kondisi ini dapat dicegah dengan mengetahui faktor risiko ibu dan bayi dalam kehamilan.7 Apabila asfiksia perinatal tidak dapat dihindari, tata laksana dengan teknik resusitasi yang optimal sangat diperlukan. Dalam hal ini, semua petugas kesehatan yang berperan diharapkan dapat melakukan resusitasi neonatus secara terampil dengan menggunakan peralatan yang memadai sehingga menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas terkait asfiksia.1

1.2 Permasalahan Berbagai kendala dalam pencegahan dan penanganan asfiksia neonatorum sering ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kendala tersebut meliputi definisi asfiksia yang belum seragam sehingga menimbulkan kerancuan dalam penegakan diagnosis dan tata laksana, petugas kesehatan yang kurang terampil dalam melakukan resusitasi neonatus, serta peralatan resusitasi yang kurang memadai di sebagian besar sarana pelayanan kesehatan. Sebagai upaya mengatasi berbagai kendala tersebut, disusun suatu standar pedoman nasional penanganan dan pencegahan asfiksia sebagai salah satu kebijakan kesehatan nasional di Indonesia melalui buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Asfiksia Neonatorum.

194

1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum Menyusun suatu PNPK untuk membantu menurunkan angka kejadian dan kematian bayi di Indonesia akibat asfiksia neonatorum 1.3.2 Tujuan khusus 1. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan bukti ilmiah (scientific evidence) untuk membantu dokter, bidan, dan perawat dalam hal pencegahan dan tata laksana asfiksia neonatorum. 2. Memberikan

rekomendasi

berbasis

bukti

bagi

fasilitas

pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier serta penentu kebijakan untuk penyusunan protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK) dengan melakukan adaptasi sesuai PNPK. 1.4 Sasaran 1. Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses kelahiran bayi, meliputi dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier. 2. Penentu kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta kelompok profesi terkait.

195

BAB II METODOLOGI

2.1 Penelusuran kepustakaan Penelusuran

kepustakaan

dilakukan

melalui

kepustakaan

elektronik pada pusat data Pubmed, Cochrane Systematic Database Review, dan Pediatrics. Kata kunci yang digunakan adalah asphyxia, asphyxia neonatorum, neonatal asphyxia, birth asphyxia, atau

perinatal

asphyxia,

dengan

batasan

artikel

yang

dipublikasikan dalam 15 tahun terakhir.

2.2 Kajian telaah kritis pustaka Telaah kritis oleh pakar dalam bidang ilmu kesehatan anak diterapkan pada setiap artikel yang diperoleh, meliputi: a. apakah studi tersebut sahih? b. apakah hasilnya secara klinis penting? c. apakah dapat diterapkan dalam tata laksana pasien?

2.3 Peringkat bukti (level of evidence) Hierarchy of evidence/Peringkat bukti

ditentukan berdasarkan

klasifikasi yang dikeluarkan oleh Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) grading system http://www.sign.ac.uk/guidelines/ fulltext/50/annexoldb.html

yang

diadaptasi

untuk

keperluan

praktis. Berikut adalah peringkat bukti yang digunakan : Ia. Meta-analisis atau telaah sistematik dari uji klinis acak terkontrol Ib. Uji klinis acak terkontrol.

196

IIa. Uji klinis tanpa randomisasi. IIb. Studi kohort atau kasus-kontrol. IIIa. Studi observasional potong lintang. IIIb. Serial kasus atau laporan kasus. IV. Konsensus dan pendapat ahli.

2.4 Derajat rekomendasi Berdasarkan peringkat bukti, rekomendasi /simpulan dibuat sebagai berikut : Rekomendasi A

berdasarkan bukti peringkat Ia atau Ib.

Rekomendasi B

berdasarkan bukti peringkat IIa atau IIb.

Rekomendasi C

berdasarkan bukti peringkat IIIa, IIIb, atau IV.

197

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Batasan asfiksia neonatal 3.1 Definisi asfiksia Definisi asfiksia neonatorum dibuat berdasarkan gejala fisis, perubahan metabolik, serta gangguan fungsi organ yang terjadi akibat hipoksik-iskemik perinatal.8 Sebelumnya nilai Apgar sering kali digunakan untuk mendiagnosis asfiksia neonatorum, namun berbagai

bukti

menunjukkan

bahwa

nilai

Apgar

memiliki

sensitivitas dan spesifisitas yang rendah sebagai penanda tunggal asfiksia.9,10 Berikut ini definisi asfiksia dari beberapa sumber: a. WHO

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.11,12 b. National Neonatology Forum of India

Asfiksia merupakan keadaan yang ditandai dengan megapmegap dan pernapasan tidak efektif atau kurangnya usaha napas pada menit pertama setelah kelahiran.13 c. American College of Obstetric and Gynaecology (ACOG)

dan American Academy of Paediatrics (AAP) Asfiksia merupakan kondisi terganggunya pertukaran gas darah

yang

menyebabkan

hipoksemia

progresif

dan

hiperkapnia dengan asidosis metabolik signifikan.14,15 d. Standar pelayanan medis ilmu kesehatan anak, Ikatan Dokter

Anak Indonesia (IDAI 2004) Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bayi bernapas spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir

198

yang

ditandai

dengan

hipoksemia,

hiperkarbia,

dan

asidosis.16

3.2 Epidemiologi asfiksia Angka kejadian asfiksia pada masing-masing negara sangat beragam. WHO melaporkan insidens asfiksia bervariasi antara 2 27 per 1000 kelahiran, tergantung pada lokasi, periode, dan kriteria definisi asfiksia yang digunakan. Asfiksia dilaporkan terjadi pada 14 per 1000 kelahiran hidup di negara maju dan 4 - 9 per 1000 kelahiran hidup di negara berkembang. Keadaan ini diperkirakan menyebabkan

21%

kematian

bayi,

terutama

di

negara

berkembang.17

3.3 Etiologi dan faktor risiko asfiksia Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan, atau sesaat segera setelah lahir.18 Beberapa faktor risiko yang diperkirakan meningkatkan risiko asfiksia meliputi faktor ibu (antepartum atau intrapartum) dan faktor janin (antenatal atau pascanatal) (Tabel 1).19 Faktor risiko ini perlu dikenali untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap terjadinya asfiksia. Beberapa

penelitian

mengenai

faktor

risiko

asfiksia

neonatorum telah dilakukan dalam lingkup global maupun nasional. Suatu penelitian di Nepal Selatan melaporkan korelasi bermakna antara beberapa gejala klinis maternal dalam 7 hari sebelum persalinan dengan kejadian asfiksia neonatorum. Gejalagejala tersebut antara lain demam selama kehamilan (RR = 3,30; 95% IK = 2,15 – 5,07), perdarahan pervaginam (RR = 2,00; 95% IK = 1,23 – 3,27), pembengkakan tangan, wajah, atau kaki (RR = 1,78; 95% IK =1,33 – 2,37), kejang (RR = 4,74; 95% IK = 1,80–12,46),

199

partus lama (RR = 1,31; 95% IK = 1,00-1,73), dan ketuban pecah dini (RR = 1,83; 95% IK = 1,22-1,76). Risiko asfiksia neonatorum juga ditemukan secara signifikan pada kehamilan multipel (RR = 5,73; 95% IK = 3,38–9,72) dan kelahiran bayi dari wanita primipara (RR = 1,74; 95% IK = 1,33-2,28). Selain itu, risiko kematian akibat asfiksia neonatorum cenderung lebih tinggi daripada bayi prematur. Risiko ini meningkat 1,61 kali lipat pada usia kehamilan 34 - 37 minggu

dan

14,33

kali

lipat

pada

usia

kehamilan

<34

minggu.13page3 Penelitian di Kabupaten Purworejo melaporkan 8 faktor risiko terkait asfiksia, yaitu berat lahir rendah (OR = 12,23; 95% IK = 3,5442,29); ketuban pecah dini (OR = 2,52; 95% IK = 1,13-5,63); partus lama (OR = 3,67; 95% IK = 1,66-8,11); persalinan secara seksio sesarea (OR = 3,12; 95% IK = 1,04-9,35); usia ibu <20 tahun atau >35 tahun (OR = 3,61; 95% IK = 1,23-10,60); riwayat obstetri buruk (OR = 4,20; 95% IK = 1,05-16,76); kelainan letak janin (OR = 6,52; 95% IK = 1,07-39,79); dan status perawatan antenatal buruk (OR = 4,13; 95% IK = 1,65-10,35).19 Penelitian lain di Port Moresby juga menemukan kondisi maternal berupa usia ibu yang terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>40 tahun), anemia (Hb <8 g/dL), perdarahan antepartum, demam selama kehamilan, persalinan kurang bulan, dan persalinan lebih bulan memiliki hubungan kuat dengan asfiksia neonatorum. Korelasi yang signifikan juga ditemukan pada tanda-tanda gawat janin seperti denyut jantung janin abnormal dan / atau air ketuban bercampur mekonium.20

200

Tabel 1. Faktor risiko asfiksia neonatorum Faktor risiko Faktor ibu Antepartum

Intrapartum

Faktor janin Antenatal (intrauterin)

Pascanatal

• • • • • • • • •

Sosioekonomi rendah13 Primipara15,13 Kehamilan ganda21 Infeksi saat kehamilan21 Hipertensi dalam kehamilan20 Anemia13 Diabetes melitus22 Perdarahan antepartum15,21 Riwayat kematian bayi sebelumnya13

• • • • • • • • •

Penggunaan anestesi atau opiat18,21 Partus lama13,15 Persalinan sulit dan traumatik15 Mekonium dalam ketuban (meconium-stained amniotic fluid/MSAF)15,21 Ketuban pecah dini21 Induksi oksitosin13,15 Kompresi tali pusat18 Prolaps tali pusat13,21 Trauma lahir18

• • • • • • •

Malpresentasi (misal sungsang, distosia bahu)15,21 Prematuritas13,15,21 Bayi berat lahir rendah (BBLR)13,15 Pertumbuhan janin terhambat (PJT)13,15 Anomali kongenital15,18 Pneumonia intrauterin18 Aspirasi mekonium yang berat18

• •

Sumbatan jalan napas atas18 Sepsis kongenital18

3.4 Patofisiologi asfiksia Asfiksia neonatorum dimulai saat bayi kekurangan oksigen akibat gangguan aliran oksigen dari plasenta ke janin saat kehamilan, persalinan, ataupun segera setelah lahir karena kegagalan adaptasi di masa transisi.23,24 Saat keadaan hipoksia akut, darah cenderung mengalir ke organ vital seperti batang otak dan jantung, dibandingkan ke serebrum, pleksus koroid, substansia alba, kelenjar adrenal, kulit, jaringan muskuloskeletal, organ-organ

201

rongga toraks dan abdomen lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus gastrointestinal.25-28 Perubahan dan redistribusi aliran darah tersebut disebabkan oleh penurunan resistensi vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta peningkatan resistensi vaskular perifer.26 Keadaan ini ditunjang hasil pemeriksaan ultrasonografi Doppler yang menunjukkan kaitan erat antara peningkatan endotelin-1 (ET-1) saat hipoksia dengan penurunan kecepatan aliran darah dan peningkatan resistensi arteri ginjal dan mesenterika

superior.29-30

Hipoksia

yang

tidak

mengalami

perbaikan akan berlanjut ke kondisi hipoksik-iskemik pada organ vital. Proses hipoksik-iskemik otak dibagi menjadi fase primer (primary energy failure) dan sekunder (secondary energy failure). Pada fase primer, kadar oksigen rendah memicu proses glikolisis anaerob yang menghasilkan produk seperti asam laktat dan piruvat, menimbulkan penurunan pH darah (asidosis metabolik).31 Hal ini menyebabkan penurunan ATP sehingga terjadi akumulasi natrium-kalium intrasel dan pelepasan neurotrasmiter eksitatorik akibat gangguan sistem pompa Na-K-ATP-ase dan glial-ATP-ase.30 Akumulasi natrium intrasel berkembang menjadi edema sitotoksik yang memperburuk distribusi oksigen dan glukosa, sedangkan interaksi glutamat dengan reseptor mengakumulasi kalsium intrasel, mengaktivasi fosfolipase, nitrit oksida (NO), dan enzim degradatif hingga berakhir dengan kematian sel.32-35 Fase primer ini berakhir dengan kematian neuron primer atau resolusi fungsi otak (periode laten).

202

Primary energy failure Secondary energy failure

Gambar 1. Patofisiologi asfiksia neonatorum

203

Reperfusi yang terjadi setelah fase primer akan mengembalikan sebagian fungsi metabolisme, namun apabila cedera otak pada fase primer cukup berat, kerusakan neuron akan kembali tejadi setelah 6 – 48 jam (fase sekunder). Fase sekunder ditandai dengan penurunan ATP, aktivasi kaskade neurotoksik, dan pelepasan radikal bebas tanpa disertai asidosis akibat disfungsi mitokondria. Selain itu, cedera hipoksik-iskemik otak juga memicu produksi sitokin proinflamasi yang semakin memperburuk cedera jaringan. Keseluruhan proses ini memicu terjadinya apoptosis sel (secondary energy failure).32,34,36,37 Beberapa

studi

memperlihatkan

bahwa

sel

otak

akan

mengalami fase regenerasi setelah fase sekunder berakhir. Namun pada sebagian bayi yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), proses berupa gangguan neurogenesis, sinaptogenesis serta gangguan perkembangan akson diikuti peningkatan inflamasi dan apoptosis tetap berlangsung. Mekanisme yang belum diketahui dengan sempurna ini memberikan gambaran bahwa kerusakan sel otak masih dapat berlanjut hingga beberapa waktu ke depan dan memengaruhi luaran bayi EHI secara signifikan.33,36 Beratnya kerusakan otak pada masa perinatal juga tergantung pada lokasi dan tingkat maturitas otak bayi.38 Hipoksia pada bayi kurang bulan cenderung lebih berat dibandingkan dengan bayi cukup bulan karena redistribusi aliran darah bayi prematur kurang optimal, terutama aliran darah ke otak, sehingga meningkatkan risiko

gangguan

hipoksik-iskemik,

dan

perdarahan

periventrikular.39,40 Selain itu, imaturitas otak berkaitan dengan kurangnya

ketersediaan

antioksidan

yang

diperlukan

untuk

mendetoksifikasi akumulasi radikal bebas.38

204

Asfiksia menyebabkan gangguan sistemik ke berbagai organ tubuh; 62% gangguan terjadi pada sistem saraf pusat, 16% kelainan sistemik tanpa gangguan neurologik dan sekitar 20% kasus tidak memperlihatkan kelainan.32 Gangguan fungsi susunan saraf pusat akibat asfiksia hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain (multiple organ failure).8 Gangguan sistemik secara berurutan dari yang terbanyak, yaitu melibatkan sistem hepatik, respirasi, ginjal, kardiovaskular.32 Kelainan susunan saraf pusat tanpa disertai gangguan fungsi organ lain umumnya tidak disebabkan

oleh

asfiksia

perinatal.41 Berikut

ini

penjelasan

mengenai komplikasi asfiksia pada masing-masing organ.

3.4.1 Sistem susunan saraf pusat Gangguan akibat hipoksia otak pada masa perinatal yang paling sering ditemukan adalah EHI. Kerusakan otak akibat EHI merupakan proses yang dimulai sejak terjadi hipoksia dan dapat berlanjut selama hingga setelah periode resusitasi. Kerusakan ini diawali dengan kegagalan pembentukan energi akibat hipoksia dan iskemia, yang diperberat dengan terbentuknya radikal bebas pada tahap lanjut. Cedera otak akibat EHI ini menimbulkan area infark pada otak yang dikelilingi oleh area penumbra. Area penumbra dapat mengalami nekrosis atau apoptosis neuron yang berlanjut setelah hipoksia berakhir. Tata laksana suportif dalam periode 48 jam pertama pasca-asfiksia dapat mengurangi kerusakan neuron di area penumbra ini.42 Perdarahan peri / intraventrikular dapat terjadi setelah periode hipoksia.39,43 Area periventrikular merupakan bagian yang memiliki vaskularisasi terbanyak. Pada saat hipoksia berakhir, daerah yang memperoleh banyak aliran darah ini akan mengalami perubahan

205

tekanan arterial paling besar. Keadaan ini menimbulkan pengaruh yang signifikan pada pleksus koroid yang cenderung tipis dan rapuh dengan sedikit struktur penunjang. Peningkatan tekanan vena juga terjadi pada bagian yang sama dengan akibat stasis aliran darah, kongesti pembuluh darah, serta risiko ruptur dan perdarahan. Kondisi tersebut dikenal sebagai cedera reperfusi (reperfusion injury).39

3.4.2 Sistem respirasi Penelitian melaporkan sekitar 26% bayi asfiksia mengalami gangguan sistem pernapasan.44 Kelainan sistem pernapasan yang dapat ditemukan antara lain peningkatan persisten tekanan pembuluh darah paru (persistent pulmonary hypertension of the newborn / PPHN), perdarahan paru, edema paru akibat disfungsi jantung, sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome / RDS) sekunder akibat kegagalan produksi surfaktan, serta aspirasi mekonium.45 Bayi dinyatakan mengalami gangguan pernapasan akibat asfiksia apabila bayi memerlukan bantuan ventilasi atau penggunaan ventilator dengan kebutuhan FiO2

>40% minimal

selama 4 jam pertama setelah lahir.32 Mekanisme gagal napas pada bayi asfiksia dapat disebabkan oleh hipoksia, iskemia, aspirasi mekonium, disfungsi ventrikel kiri, defek sistem koagulasi, toksisitas oksigen, dan efek ventilasi mekanik.44,46 Selain itu, kombinasi asfiksia dan aspirasi mekonium dapat memperberat rasio resistensi pulmonar dan sistemik.

3.4.3 Sistem kardiovaskular Diperkirakan 29% bayi asfiksia mengalami gangguan sistem kardiovaskular, yang meliputi transient myocardial ischaemia (TMI), 206

transient mitral regurgitation (TMR), transient tricuspid regurgitation (TTR), persistent pulmonary hypertension of the newborn (PPHN).44,47 Bayi dianggap mengalami disfungsi sistem kardiovaskular terkait asfiksia apabila terdapat ketergantungan terhadap obat inotropik untuk mengatasi hipotensi dan mempertahankan tekanan darah normal selama lebih dari 24 jam atau ditemukan gambaran TMI pada pemeriksaan elektrokardiografi.32

3.4.4 Sistem urogenital Salah satu gangguan ginjal yang disebabkan oleh hipoksia berat adalah hypoxic-ischemic acute tubular necrosis.48 Bayi dapat dinyatakan mengalami gagal ginjal bila memenuhi 3 dari 4 kriteria sebagai berikut: pengeluaran urin <0,5 mL/kg/jam, kadar urea darah >40 mg/dL, kadar kreatinin serum >1 mg/dL, serta hematuria atau proteinuria signifikan dalam 3 hari pertama kehidupan.49 Pada penelitian sebelumnya dikemukakan bahwa 42% bayi asfiksia mengalami gangguan sistem ginjal.44 Data ini didukung oleh penelitian Gupta BD dkk. (2009) yang menemukan 47,1% bayi asfiksia mengalami gagal ginjal dengan 78% kasus di antaranya

merupakan

tipe

non-oliguria

dan

22%

lainnya

merupakan tipe oliguria.49

3.4.5 Sistem gastrointestinal Keterlibatan sistem gastrointestinal pada bayi asfiksia mencapai 29% kasus.44 Hipoksia berakibat pada pengalihan aliran darah dari usus yang meningkatkan risiko enterokolitis nekrotikan / EKN.50,51 Selain itu, hipoksia dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.42 Kriteria disfungsi sistem hepatik antara lain nilai aspartat aminotransferase >100 IU/l atau alanin transferase >100 IU/l pada 207

minggu pertama setelah kelahiran.32

3.4.6 Sistem audiovisual Retinopati pada neonatus tidak hanya terjadi akibat toksisitas oksigen, tetapi dapat pula ditemukan pada beberapa penderita yang mengalami hipoksemia menetap. Autoregulasi aliran darah serebral pada

hipoksia,

selain

menyebabkan

peningkatan

tekanan

intrakranial, juga meningkatkan tekanan aliran balik vena. Selain itu, hipoksia dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh sehingga meningkatkan risiko terjadi perdarahan.52 Penelitian melaporkan insidens perdarahan retina pada bayi cukup bulan dengan asfiksia neonatal dan / atau EHI lebih tinggi (29,3%) dibandingkankan bayi cukup bulan tanpa asfiksia dan / atau EHI (15,7%).53 Leukomalasia periventrikular merupakan tahap akhir cedera pada EHI, yang terjadi pada sekitar 32% bayi prematur pada usia gestasi 24-34 minggu. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan ketajaman visus, penyempitan lapangan pandang bagian inferior, gangguan visual kognitif, gangguan pergerakan bola mata, dan diplegia spastik.54 Suatu studi retrospektif mencatat 24% bayi memperlihatkan gambaran diskus optikus (optic disc) yang normal, 50% bayi mengalami hipoplasia saraf optik dengan beberapa derajat atrofi, dan 26% bayi dengan atrofi optik terisolasi (isolated optic atrophy).55 Insidens gangguan pendengaran pada bayi prematur dengan asfiksia mencapai 25%. Kelainan pendengaran ini disebabkan oleh kerusakan nukleus koklearis dan jaras pendengaran. Suatu studi melaporkan kelainan brainstem auditory evoked responses (BAER) pada

40,5%

bayi

pasca-asfiksia

yang

mengalami

gangguan

208

perkembangan otak dan 12,2% bayi tanpa gangguan perkembangan otak.44 3.5 Diagnosis asfiksia pada bayi baru lahir Fasilitas diagnostik pada sarana pelayanan kesehatan terbatas seringkali menimbulkan kesulitan dalam mendiagnosis asfiksia sehingga beberapa negara memiliki kriteria diagnosis asfiksia yang berbeda,

disesuaikan

dengan

kondisi

kelengkapan

fasilitas

kesehatan masing-masing. Berikut ini merupakan kriteria diagnosis asfiksia yang sering ditemukan. a. ACOG dan AAP

ACOG dan AAP menyusun suatu kriteria penegakan diagnosis asfiksia neonatorum, sebagai berikut :15,56-59 1. bukti asidosis metabolik atau campuran (pH <7.0) pada

pemeriksaan darah tali pusat; 2. nilai Apgar 0 - 3 pada menit ke-5; 3. manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia atau

koma (ensefalopati neonatus); dan 4. disfungsi multiorgan, seperti gangguan kardiovaskular,

gastrointestinal, hematologi, respirasi, atau renal. Diagnosis asfiksia neonatorum dapat ditegakkan apabila minimal 1 dari 4 kriteria ditemukan pada bayi, namun hal ini sulit dipenuhi pada kondisi berbasis komunitas dan fasilitas terbatas.60 b. WHO

WHO dalam ICD-10 menganggap bayi mengalami asfiksia berat apabila nilai Apgar 0 - 3 pada menit pertama yang ditandai dengan: 1. laju

jantung

(LJ)

menurun

atau

menetap

(<100

kali/menit) saat lahir,

209

2. tidak bernapas atau megap-megap, dan 3. warna kulit pucat, serta tidak ada tonus otot.

Kriteria ini disadari memiliki spesifisitas dan nilai prediktif kematian

serta

kerusakan

neurologis

yang

cenderung

berlebihan (8 kali over diagnosis) bila dibandingkankan dengan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, WHO juga memberikan penjelasan diagnostik untuk tingkat pelayanan kesehatan

komunitas

berdasarkan

kriteria

ACOG/AAP

berikut ini.58

Tabel 2. Kriteria diagnosis asfiksia neonatorum berdasarkan ACOG/AAP dan standar emas di tingkat pelayanan kesehatan Standar baku emas

No

Kriteria

1.

Bukti asidemia metabolik atau campuran (pH < 7,0) dari darah tali pusat

Analisis gas darah dengan pH < 7,0 dan defisit basa 12 mmol/L dalam 60 menit pertama

2.

Nilai Apgar 0 - 3 menit kelima

Penilaian Apgar menit kelima

3.

Manifestasi neurologis (ensefalopati neonatus)

Tingkat kesadaran, tonus, refleks isap, refleks primitif, refleks batang otak, kejang, laju pernapasan

4.

Disfungsi multiorgan

di tingkat pelayanan kesehatan

• • •

• • •

Sistem saraf: ensefalopati neonatus, kelainan gambaran ultrasonografi Sistem kardiovaskular: kelainan LJ dan tekanan darah (gangguan sirkulasi) Sistem pernapasan: apne atau takipnea, kebutuhan suplementasi oksigen, bantuan napas tekanan positif atau ventilator mekanik Sistem urogenital: hematuria, oliguria, anuria, peningkatan kreatinin serum Fungsi hati: Peningkatan SGOT/SGPT Sistem hematologi: trombositopenia, peningkatan jumlah retikulosit

Sumber: Lincetto O. Birth asphyxia- summary of the previous meeting and protocol overview; 2007. (dengan modifikasi)

210

c. National Institute of Child Health and Human Development (NICHD)

Kriteria asfiksia neonatorum berdasarkan NICHD adalah sebagai berikut.61 1. bukti pH <7.0 atau defisit basa >16 mmoL/L

pada

pemeriksaan darah tali pusat dalam satu jam setelah kelahiran, atau 2. bukti riwayat episode hipoksik perinatal (deselerasi / bradikardia berat pada janin, prolaps tali pusat, ruptur tali pusat, solusio plasenta, ruptur uteri, trauma / perdarahan fetomaternal, atau cardiorespiratory arrest) dan salah satu dari : •

nilai Apgar <5 pada menit ke-10, atau



bayi masih memerlukan bantuan ventilasi selama >10 menit

bila pH darah tali pusat 7,01 - 7,15 dan defisit basa 10 - 15,9 mmoL/L atau pada keadaan pemeriksaan gas darah tidak tersedia.

d. India

India dahulu hanya menggunakan nilai Apgar menit pertama, kini menggunakan 3 dari 4 kriteria diagnosis asfiksia mengacu ke ACOG / AAP, berupa : 42,62 1. pH analisis gas darah <7,2 dalam 1 jam pertama kehidupan, 2. nilai Apgar ≤6 pada menit ke-5, 3. kebutuhan bantuan ventilasi tekanan positif (VTP) lebih dari 10 menit, 4. tanda gawat janin.

211

Di Indonesia, sarana pelayanan kesehatan untuk neonatus bervariasi dari fasilitas terbatas di daerah terpencil dan fasilitas ideal di kota-kota besar. Penetapan

konsensus definisi asfiksia

harus dilakukan agar diagnosis dapat ditegakkan sesegera mungkin agar mencegah keterlambatan tata laksana di Indonesia. Kriteria yang dipakai untuk membantu penegakan diagnosis asfiksia neonatorum di Indonesia yang disusun dari berbagai kepustakaan terlampir pada Tabel 3. Selain itu, beberapa pemeriksaan laboratorium dasar juga dapat digunakan untuk menunjang diagnosis asfiksia neonatorum pada fasilitas terbatas. Suatu studi melaporkan bahwa hitung sel darah merah berinti (nucleated red blood cell /nRBC) dapat dijadikan penanda terjadinya asfiksia sebelum persalinan dan selama proses kelahiran.63-65 Proses persalinan tanpa komplikasi tidak akan mengubah nilai nRBC. Asfiksia perinatal perlu dipertimbangkan bila ditemukan hitung nRBC/100 hitung sel darah putih (white blood cell / WBC).63

Tabel 3. Rekomendasi kriteria penegakan diagnosis asfiksia neonatorum di Indonesia No

Fasilitas ideal *keempat kriteria harus terpenuhi

Fasilitas terbatas *minimal kedua kriteria harus terpenuhi dengan ketidaktersediaan pemeriksaan analisis gas darah

1.



Bukti riwayat episode hipoksik perinatal (misal episode gawat janin)



2.

Bukti asidosis metabolik atau campuran (pH <7.0) pada pemeriksaan analisis gas darah tali pusat atau Defisit basa 16 mmol/L dalam 60 menit pertama

Nilai Apgar <5 pada menit ke-10,

• •

Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, atau Bayi masih memerlukan bantuan ventilasi selama >10 menit

212

3.

Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia atau koma (ensefalopati neonatus);

4.

Disfungsi multiorgan, seperti gangguan kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, respirasi, atau renal.

Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia atau koma (ensefalopati neonatus) Disfungsi multiorgan, seperti gangguan kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, respirasi, atau renal

B. Tata laksana asfiksia dan komplikasinya Asfiksia merupakan suatu proses berkesinambungan yang dapat dicegah progresivitasnya, dimulai dari pengenalan faktor risiko asfiksia (pencegahan primer), tata laksana dini dengan resusitasi - pascaresusitasi di kamar bersalin dan ruang perawatan (pencegahan sekunder), serta pencegahan komplikasi lanjut dengan terapi hipotermia (pencegahan tersier).

3.6

Tata laksana di kamar bersalin

Tata laksana asfiksia di kamar bersalin dilakukan dengan resusitasi. Persiapan pada resusitasi terdiri atas pembentukan dan persiapan tim, persiapan ruang dan peralatan resusitasi, persiapan pasien, serta persiapan penolong.

3.6.1 Pembentukan dan persiapan tim resusitasi Tim resusitasi perlu mendapatkan informasi kehamilan secara menyeluruh mengenai faktor risiko ibu maupun janin.66-67 Hal ini diperoleh melalui anamnesis ibu hamil atau keluarga, petugas yang menolong proses kehamilan dan persalinan, atau catatan medis. Informasi yang diperoleh perlu diketahui oleh semua anggota tim resusitasi untuk mengantisipasi faktor risiko dan masalah yang mungkin terjadi.

213

Informasi yang perlu diketahui dalam proses persalinan, antara lain :66-67 1. Informasi

mengenai

ibu,

yaitu

informasi

riwayat

kehamilan (kondisi kesehatan dan pemakaian obatobatan),

riwayat

kesehatan

dan

pengobatan

yang

diberikan pada ibu sebelumnya, riwayat pemeriksaan kesehatan janin dalam kandungan dan hasil pemeriksaan ultrasonografi antenatal (bila ada), serta risiko infeksi ibu (seperti : Streptococcus grup B, infeksi saluran kemih, dan penyakit infeksi lainnya) 2. Informasi

mengenai

janin,

yaitu

informasi

usia

kehamilan, jumlah janin (tunggal atau kembar), risiko kebutuhan resusitasi (misal : hernia diafragmatika, dll), mekoneum pada cairan ketuban, hasil pemantauan denyut jantung janin, serta kemungkinan kelainan kongenital. Hal terpenting dalam persiapan resusitasi adalah diskusi dan kerja sama anggota tim resusitasi.21 Anggota tim resusitasi sebaiknya telah mendapatkan pelatihan resusitasi neonatus dasar serta menguasai langkah-langkah dalam resusitasi neonates. Hal ini disebabkan sekitar 25% bayi dengan

instabilitas

persalinan.21,68-70 Tim

berat

tidak

resusitasi

terdeteksi

idealnya

sebelum

memiliki

tiga

anggota setidaknya terdiri atas satu orang penolong terlatih pada setiap resusitasi bayi dan sekurang-kurangnya dua orang penolong terlatih pada resusitasi bayi dengan risiko tinggi.21,68,69,71 Setiap persalinan dengan risiko yang sangat tinggi harus dihadiri oleh minimal 1 konsultan neonatologi atau dokter spesialis anak.

214

Pembagian tugas tim resusitasi adalah sebagai berikut : •

Penolong pertama, yaitu pemimpin resusitasi, memposisikan diri di sisi atas kepala bayi (posisi A). Pemimpin diharapkan memiliki pengetahuan

dan

kemampuan

resusitasi

yang

paling

lengkap, dapat mengkoordinir tugas anggota tim, serta mempunyai tanggung jawab utama terkait jalan napas (airway) dan pernapasan (breathing). Penolong pertama bertugas menangkap dan meletakkan bayi di penghangat bayi, menyeka muka bayi, memasangkan topi, mengeringkan bayi, memakaikan plastik, serta memantau dan melakukan intervensi pada ventilasi (memperhatikan pengembangan dada bayi, melakukan VTP, memasang continuous positive airway pressure (CPAP), dan intubasi bila diperlukan). •

Penolong kedua, yaitu

asisten

sirkulasi

(circulation).

Asisten

sirkulasi

mengambil posisi di sisi kiri bayi (posisi B) dan bertanggung jawab

memantau

sirkulasi

bayi.

Penolong

bertugas

membantu mengeringkan bayi, mengganti kain bayi yang basah, mendengarkan LJ bayi sebelum pulse oxymetri mulai terbaca, mengatur peak inspiratory pressure / tekanan puncak inspirasi (PIP) dan fraksi oksigen (FiO2), melakukan kompresi dada, dan memasang kateter umbilikal. Selain itu, penolong kedua menentukan baik-buruknya sirkulasi bayi dengan menilai denyut arteri radialis, akral, dan capillary refill time bayi. •

Penolong ketiga, yaitu asisten obat dan peralatan (medication and equipment). Asisten peralatan dan obat berdiri di sisi kanan bayi (posisi

215

C), bertugas menyiapkan suhu ruangan 24 - 26oC, memasang pulse oxymetri, memasang probe suhu dan mengatur agar suhu bayi mencapai suhu 36,5 - 37oC, menyalakan tombol pencatat waktu, memasang monitor saturasi, menyiapkan peralatan dan obat-obatan, memasang infus perifer bila diperlukan serta menyiapkan inkubator transpor yang telah dihangatkan.

Sebagai catatan, posisi penolong tidak terlalu mengikat. Penolong kedua dan ketiga boleh bertukar posisi, namun tidak boleh bertugas secara tumpang tindih.

B

C

A

Gambar 2. Posisi tim resusitasi

Keterangan gambar: A. Pemimpin resusitasi (airway and breathing), B. Asisten sirkulasi (circulation), C. Asisten obat dan peralatan (medication and equipment) Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014.69

216

3.6.2 Persiapan ruang resusitasi Ruang resusitasi sebaiknya berada di dekat kamar bersalin atau kamar operasi sehingga tim resusitasi dapat memberikan bantuan dengan cepat dan efisien. Persiapan ruang resusitasi meliputi suhu ruangan yang cukup hangat untuk mencegah kehilangan panas tubuh bayi, pencahayaan yang cukup untuk menilai status bayi, serta cukup luas untuk memudahkan tim berkerja.70 Diharapkan suhu tubuh bayi akan selalu berkisar antara 36,5-37oC. Selain itu, penolong

harus

mempersiapkan

inkubator

transpor

untuk

memindahkan bayi ke ruang perawatan.66

3.6.3 Persiapan peralatan resusitasi Tindakan resusitasi memerlukan peralatan resusitasi yang lengkap untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Berikut ini merupakan peralatan resusitasi yang sebaiknya disiapkan.23,66,68,71-76 a. Peralatan untuk mengontrol suhu bayi, yaitu penghangat bayi (overhead heater / radiant warmer / infant warmer), kain atau handuk pengering, kain pembungkus bayi, topi, dan kantung plastik (digunakan pada bayi dengan usia gestasi kurang dari 32 minggu). Kebutuhan peralatan ini tidak mengikat terkait beragamnya suhu di wilayah Indonesia. Penolong resusitasi dapat menggunakan kantung plastik pada bayi >32 minggu pada kondisi tertentu apabila dirasakan perlu, seperti pada suhu kamar bersalin yang tidak dapat diatur sehingga suhu ruangan sangat dingin.

217

b.

Gambar 3. Peralatan kontrol suhu penghangat bayi

c.

Peralatan tata laksana jalan napas (airway), yaitu : pengisap lendir - suction dengan tekanan negatif (tidak boleh melebihi - 100 mmHg), kateter suction (ukuran 5, 6, 8, 10, 12, 14 French)

a

b

Gambar 4. Peralatan tata laksana jalan napas (airway) a. suction tekanan negatif, b. kateter suction berbagai ukuran, c. aspirator mekonium.

d. Peralatan tata laksana ventilasi (breathing), yaitu : self inflating bag / balon mengembang sendiri (BMS), flow inflating bag / balon tidak mengembang sendiri (BTMS), T-piece resuscitator (Neo-Puff®, Mixsafe®), sungkup wajah berbagai ukuran, sungkup laring / laryngeal mask airway (LMA), peralatan intubasi seperti laringoskop dengan blade / bilah lurus ukuran 00, 0 dan 1, stilet, serta pipa endotrakeal / 218

endotracheal tube (ETT) ukuran 2,5; 3,0; 3,5; dan 4. Secara praktis, bayi dengan berat lahir <1 kg (<28 minggu), 1-2 kg, (28 - 34 minggu) dan ≥2 kg (>34 minggu) dapat diintubasi dengan menggunakan ETT secara berturut-turut nomor 2,5; 3; dan 3,5.

71,77

Studi menunjukkan LMA dapat digunakan

bila pemberian VTP dengan BMS gagal dan penolong gagal melakukan pemasangan ETT.78 Penggunaan LMA dapat digunakan pada bayi dengan berat lahir

>2 kg atau usia

gestasi >34 minggu.77

a

b

c

Gambar 5. Peralatan tata laksana pernapasan (breathing) a. BMS (atas : tanpa katup PEEP; bawah : dengan kombinasi katup PEEP), b. BTMS (Jackson Rees), c. t-piece resuscitator (atas: Neo-Puff®; bawah: Mixsafe®).

Gambar 6. Sungkup dengan berbagai ukuran.

219

b

a

c

Gambar 7. Peralatan intubasi endotrakeal a. LMA ukuran 1 dan 1,5 (atas:unique®, bawah:supreme®) b. ETT berbagai ukuran, c. laringoskop Miller beserta blade berbagai ukuran.

e.

Peralatan tata laksana sirkulasi / circulation, yaitu : kateter umbilikal ukuran 3,5 dan 5- French atau pada fasilitas terbatas dapat dipergunakan pipa orogastrik / orogastric tube (OGT) ukuran 5 - French beserta set umbilikal steril, dan three way stopcocks

a

b

Gambar 8. Peralatan tata laksana sirkulasi/circulation a. set umbilikal (lihat penjelasan pada bab IV) b. kateter umbilikal (kiri) dan pipa orogastrik (kanan)

220

f.

Obat-obatan

resusitasi,

seperti

:

epinefrin

(1:10.000),

nalokson hidroklorida (1 mg/mL atau 0,4 mg/mL), dan cairan pengganti volume/volume expander (NaCl 0,9% dan ringer laktat). g.

Pulse oxymetri

Gambar 9. Pulse oxymetri

h. Monitor EKG (bila tersedia). i.

Lain-lain, seperti stetoskop, spuit, jarum, dll.

3.6.4 Persiapan pasien •

Memberi

informasi

dan

meminta

persetujuan

tertulis

orangtua (informed consent) mengenai tindakan resusitasi yang mungkin diperlukan setelah bayi lahir. •

Antisipasi faktor risiko ibu maupun janin (lihat Tabel 1.).

3.6.5 Persiapan penolong Penolong resusitasi harus mencuci tangan dan memakai alat pelindung diri (APD) yang terdiri atas : masker, gaun, sepatu, kacamata, dan sarung tangan steril.

221

3.6.6 Resusitasi Resusitasi

neonatus

berkesinambungan,

merupakan diawali

suatu

dengan

alur

tindakan

melakukan

yang

evaluasi,

mengambil keputusan, dan melakukan tindakan resusitasi.74 Sekitar 10% dari 120 juta kelahiran bayi memerlukan bantuan untuk memulai napas dan hanya 1% bayi membutuhkan resusitasi lebih lanjut.72-73 Resusitasi dilakukan apabila bayi tidak bernapas secara spontan dan adekuat saat lahir dengan menilai komponen klinis bayi. Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing komponen penilaian. •

Pernapasan, merupakan komponen terpenting dalam menilai kondisi bayi saat lahir. Pernapasan yang teratur merupakan tanda keberhasilan bayi melakukan adaptasi dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin. Bayi yang lahir dalam keadaan asfiksia dapat mengalami apne atau pernapasan megapmegap, namun dapat pula bernapas spontan disertai tanda gawat napas atau mengalami sianosis persisten. Tanda gawat napas meliputi napas cuping hidung, retraksi dinding dada, atau suara merintih. Tanda klinis ini menunjukkan bayi mengalami kesulitan untuk mengembangkan paru. Sianosis persisten (dengan FiO2 100%) juga dapat disebabkan oleh kelainan di luar paru. Keadaan yang berbeda tersebut membutuhkan tata laksana ventilasi yang berbeda pula.7



Tonus dan respons terhadap stimulasi. Bayi asfiksia memiliki tonus otot yang lemah dan gerakan otot terbatas, sehingga memerlukan berbagai stimulasi ringan. Stimulasi termal dengan mengeringkan bayi dan stimulasi mekanik dengan

menepuk

merangsang

telapak

pernapasan

kaki

bayi

bayi

serta

akan

membantu

meningkatkan

LJ.

Rangsangan berlebihan seperti memukul bokong dan pipi

222

tidak perlu dilakukan karena dapat mencederai bayi. Bila bayi tidak memperlihatkan respons perbaikan terhadap stimulasi ringan maka langkah selanjutnya dalam resusitasi harus dilakukan.7 •

Laju jantung (LJ), berkisar antara 100 - 160 kali permenit. Penilaian LJ dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu meraba denyut nadi perifer atau sentral, meraba denyut pembuluh darah umbilikus, mendengarkan LJ dengan stetoskop

atau

dengan

menggunakan

pulse

oxymetri.

Penggunaan pulse oxymetri dianggap paling akurat untuk menilai LJ. Namun, fungsi pulse oxymetri sangat dipengaruhi oleh cardiac output dan

perfusi jaringan.7 Bila LJ sangat

lemah dan perfusi jaringan sangat buruk, pulse oxymetri tidak dapat berfungsi dengan baik. Pada kasus ini, pemantauan LJ lebih baik dilakukan dengan monitor EKG.71 Bila LJ menetap <100 kali per menit, oksigenasi jaringan akan menurun sehingga mengakibatkan hipoksemia dan berakhir dengan asidosis. •

Oksigenasi jaringan, dinilai menggunakan pulse oxymetri. Penilaian dengan pulse oxymetri cenderung lebih akurat dibandingkan berdasarkan warna kulit.76 Penggunaan pulse oxymetri sangat direkomendasikan jika terdapat antisipasi resusitasi, VTP diperlukan lebih dari beberapa kali pompa, sianosis menetap dengan intervensi, dan bayi mendapat suplementasi oksigen. Pemantauan ini diperlukan agar oksigen yang diberikan tidak berlebihan dan membahayakan bayi. Sensor pulse oxymetri sebaiknya dipasang pada lokasi preduktal (pergelangan atau telapak tangan kanan) untuk mencegah

pengaruh

shunting

selama

periode

transisi

sirkulasi bayi. Pembacaan saturasi oksigen umumnya dapat

223

dilakukan mulai dari 90 detik setelah bayi lahir, namun perlu diingat bahwa nilai saturasi oksigen tidak dapat dipercaya pada curah jantung (cardiac output) dan perfusi kulit yang buruk.79 Saturasi normal saat lahir bervariasi tergantung pada usia kehamilan bayi. Makin muda usia gestasi makin lama bayi mencapai target saturasi normal.80,81 Berikut ini merupakan target saturasi oksigen bayi selama resusitasi.66

Tabel 4. Target saturasi sesuai usia bayi Waktu setelah lahir

Saturasi target (%) untuk bayi baru lahir selama resusitasi

1 menit

60-65

2 menit

65-70

3 menit

70-75

4 menit

75-80

5 menit

80-85

10 menit

85-95

Sumber: Textbook of neonatal resuscitation. Foundations of neonatal resuscitation; 2016.71 •

Nilai Apgar, merupakan penilaian obyektif kondisi bayi baru lahir,

namun

tidak

digunakan

untuk

menentukan

kebutuhan, langkah, dan waktu resusitasi pada bayi baru lahir.23 Nilai Apgar, yang umumnya ditentukan pada menit ke-1 dan ke-5, merupakan penilaian respons terhadap resusitasi. Neonatal Resuscitation Program (NRP), ACOG, dan AAP mengemukakan bila pada menit ke-5 nilai Apgar ditemukan

<7,

maka

penilaian

terhadap

bayi

harus

dilanjutkan dan diulang setiap 5 menit sampai menit ke-20.82 Penentuan nilai Apgar dapat dilihat pada Tabel 5.

224

Tabel 5. Evaluasi nilai Apgar 0

1

2

Warna

biru/ pucat

akrosianosis

pink pada seluruh tubuh

Denyut jantung

tidak ada

<100 kali/menit

>100 kali/menit

Refleks iritabilitas

tidak ada respons

meringis

menangis/aktif

Tonus otot

tidak ada (lumpuh)

Fleksi

gerakan aktif

Respirasi

tidak ada

menangis lemah, hipoventilasi

baik, menangis kuat

Sumber: American Academy of Pediatrics, Commitee on Fetus and Newborn, American College of Obstetricians and Gynecologist and Committe on Obstetric Practice, 200683

Langkah resusitasi neonatus meliputi beberapa tahap, yaitu : penilaian dan langkah awal resusitasi, bantuan ventilasi, tindakan kompresi dada (sambil melanjutkan ventilasi), pemberian obatobatan (sambil melanjutkan ventilasi dan kompresi

dada).7

Panduan resusitasi dapat dilihat pada Gambar 18.

a. Penilaian dan langkah awal Keputusan perlu atau tidaknya resusitasi ditetapkan berdasarkan penilaian awal, yaitu apakah bayi bernapas / menangis dan apakah bayi mempunyai tonus otot yang baik.66,69 Bila semua jawaban adalah “ya”, bayi dianggap bugar dan hanya memerlukan perawatan rutin. Bayi dikeringkan dan diposisikan sehingga dapat melakukan kontak kulit ke kulit dengan ibu agar bayi tetap hangat. Bila terdapat salah satu jawaban “tidak”, bayi harus distabilkan dengan langkah awal sebagai berikut :

225

Bayi lahir

Asfiksia

Dilakukan Resusitasi

Usia 10 menit

Bila nilai Apgar <5

Risiko EHI

Thompson score

Memenuhi EHI Grading : EHI Sedang /EHI Berat

Passive Cooling

Gambar 10. Algoritme penanganan bayi dengan EHI

226

Penggunaan plastik transparan tahan panas yang menutupi tubuh bayi sampai sebatas leher dapat digunakan untuk mencegah kehilangan panas tubuh pada bayi dengan berat lahir sangat rendah di bawah 1500 g. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Pengisapan hanya dilakukan jika jalan napas mengalami obstruksi. Bayi baru lahir bugar tidak membutuhkan pengisapan hidung, mulut atau faring setelah lahir. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Tindakan mengisap mekoneum dari mulut dan hidung bayi ketika kepala masih di perineum sebelum bahu lahir tidak direkomendasikan. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Intubasi dan pengisapan endotrakea pada bayi yang lahir dengan kondisi air ketuban bercampur mekonium sebaiknya dilakukan bila bayi tidak bugar dengan mempertimbangkan baik manfaat

maupun

risiko

tertundanya

ventilasi

karena

pengisapan. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

227

Setelah

melakukan

langkah

awal,

penolong

melakukan

evaluasi kembali dengan menilai usaha napas, LJ, dan tonus otot bayi. Tindakan khusus, seperti pengisapan mekonium, hanya dapat dilakukan selama 30 detik, dengan syarat LJ tidak kurang dari 100 kali/menit. Periode untuk melengkapi langkah awal dalam 60 detik pertama setelah lahir ini disebut ”menit emas”.23,73 Berikut hasil evaluasi: •

Bila pernapasan bayi adekuat dan LJ >100 kali per menit, bayi menjalani perawatan rutin.69



Bila usaha napas bayi belum adekuat dan LJ <100 kali per menit, langkah resusitasi dilanjutkan pada pemberian bantuan ventilasi (breathing).69



Bayi bernapas spontan namun memiliki saturasi oksigen di bawah target berdasarkan usia, suplementasi oksigen dapat diberikan dengan cara sebagai berikut.71

Gambar 11. Pemberian suplementasi oksigen aliran bebas

Suplementasi oksigen aliran bebas dapat diberikan dengan menggunakan: A. balon tidak mengembang sendiri, B. T-piece resuscitator, C. Ujung balon mengembang sendiri dengan reservoir terbuka. Pada penggunaan alat A dan B, masker tidak boleh menempel pada wajah.

228

Sumber: Texbook of neonatal resuscitation. Initial steps of newborn care, 2016.71 •

Bila bayi bernapas spontan namun disertai gawat napas, diperlukan CPAP dengan tekanan positif akhir ekspirasi (positive end expiratory pressure / PEEP) secara kontinu.69 Studi

menunjukkan

mempertahankan

volume

penggunaan residual

CPAP paru,

dapat

menghemat

penggunaan surfaktan serta mempertahankan keberadaan surfaktan di alveoli bayi.85 PEEP 2-3 cmH2O terlalu rendah untuk

mempertahankan

volume

paru

dan

cenderung

menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Begitu pula dengan PEEP yang terlalu tinggi (>8 cmH2O) dapat menyebabkan

pulmonary

air

leaks,

overdistensi

paru,

menghalangi aliran balik vena ke jantung, menurunkan resistensi pembuluh darah pulmonar, serta menyebabkan resistensi CO2.86 Oleh karena itu kesepakatan di Indonesia PEEP umumnya dimulai dari 7 cmH2O. CPAP dianggap gagal apabila bayi tetap memperlihatkan tanda gawat napas dengan PEEP sebesar 8 cmH2O dan FiO2 melebihi 40%. Penolong resusitasi perlu mempertimbangkan intubasi pada keadaan ini.87 Nilai Downe dapat membantu penolong resusitasi dalam menilai gawat napas dan kebutuhan bantuan ventilasi pada bayi baru lahir. Interpretasi nilai Downe dapat dilihat pada Tabel berikut.88

229

Tabel 6. Nilai Downe dan interpretasinya 0

1

2

Laju napas

<60 x/menit

60-80 x/menit

>80 x/menit

Retraksi

Tidak retraksi

Retraksi ringan

Retraksi berat

Sianosis

Tidak sianosis

Sianosis hilang dengan O2

Sianosis menetap walaupun diberi O2

Air entry

Udara masuk

Penurunan ringan udara masuk

Tidak masuk

Merintih

Tidak merintih

Dapat didengar dengan stetoskop

Dapat didengar tanpa alat bantu

ada

ada

udara

Interpretasi Nilai Nilai <4

Gawat pernapasan ringan (membutuhkan CPAP)

Nilai 4-5

Gawat pernapasan sedang (membutuhkan CPAP)

Nilai ≥6

Gawat pernapasan berat (pertimbangkan intubasi)

Nilai Downe dapat digunakan sebagai alat penilaian klinis gawat pernapasan pada bayi. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

230

b. Pemberian ventilasi (breathing) Pemberian VTP dilakukan bila bayi : 71 a. tidak bernapas (apne), atau b. megap-megap (gasping), atau c. LJ <100kali/menit. Berikut ini merupakan pilihan dan penjelasan alat-alat yang dapat digunakan untuk memberikan VTP. •

Self inflating bag / balon mengembang sendiri (BMS), merupakan alat resusitasi yang sering dipakai di fasilitas terbatas maupun fasilitas lengkap.89 BMS dapat digunakan tanpa sumber gas (udara ruangan memiliki FiO2 21%). Bila BMS disambungkan dengan sumber oksigen murni, FiO2 pada masker tergantung pada campuran aliran oksigen dan udara bebas yang masuk ke balon (bag).89 Contoh BMS adalah balon volume 250 ml.69

Tanpa sumber

Tanpa O2

O2

reservoir

Dengan O2 O2 100%

Room

reservoir

air

O2 21%

O2 reservoir O2 21%

O2 40%

O2 90%-100%

Gambar 12. Penggunaan BMS dengan atau tanpa reservoir Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014.69

Studi menunjukkan BMS yang disambungkan dengan sumber oksigen dapat memberikan oksigen sekitar 40% tanpa reservoir

231

dan 90-100% bila dilengkapi reservoir.89 BMS dapat memberikan PEEP bila dikombinasikan dengan katup PEEP, namun PEEP yang dihasilkan

kadang

tidak

konsisten.

Hal

ini

menyebabkan

pemberian PEEP melalui kombinasi BMS dengan katup PEEP sulit dipertahankan dalam waktu lama. 69,73,90



Flow inflating bag/ balon tidak mengembang sendiri (BTMS), memerlukan sumber gas untuk mengembangkan balon. Contoh BTMS yang sering digunakan adalah Jackson-Rees. Jackson-Rees dapat digunakan untuk memberikan PEEP yang terukur dan konstan, namun kurang direkomendasikan untuk memberikan VTP pada neonatus. Hal ini disebabkan oleh jarum manometer yang akan kembali ke angka nol saat balon kempis setelah penolong menekan balon untuk memberikan PIP. Akibat hal ini, fungsi PEEP hilang dan membutuhkan waktu untuk kembali ke tekanan yang telah ditentukan.69 Contoh

BTMS

lainnya

adalah

balon

anestesi.

Suatu

studi

menunjukkan bahwa penggunaan balon anestesi secara tepat tergantung pada kemampuan dan kebiasaan penolong dalam menggunakan alat tersebut. Ketepatan pemberian ventilasi akan lebih baik bila balon anestesi dikombinasikan dengan manometer (ketepatan tekanan mencapai 72% dibandingkan hanya 18% bila balon anestesi tidak dikombinasikan dengan manometer).91 •

T-piece resuscitator, digunakan untuk memberikan tekanan (PIP dan PEEP) yang diinginkan secara akurat dan terkontrol, walaupun membutuhkan waktu lebih lama untuk meningkatkan PIP dari 20 sampai 40 cmH2O.69,90,91 Penggunaan T-piece resuscitator dapat memberikan ventilasi dengan tekanan terukur dan rate yang cukup. Dengan demikian, penolong dapat memberikan ventilasi yang

232

konsisten, tidak seperti BMS dan BTMS. Sebagai contoh pada saat bayi apne ketika penolong harus memberikan VTP dengan kecepatan 40-60 kali/menit. Pemberian ventilasi menggunakan BMS dan terutama BTMS akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengembangkan balon kembali, sehingga penolong yang kurang terlatih sering kali memberikan ventilasi yang tidak konsisten akibat kesulitan memperoleh rate optimal saat pemberian VTP.90,91 Secara

umum,

PEEP

dan

PIP

dapat

diberikan

secara

bersamaan melalui BMS (yang dikombinasikan dengan katup PEEP),

BTMS,

atau

T-piece

resucitator.

Dalam

praktiknya,

penggunaan BTMS kurang direkomendasikan untuk memberikan VTP. Pemberian PEEP saja dapat menggunakan BTMS atau T-piece resucitator.69

233

Tabel 7. Kelebihan dan kekurangan BMS, BTMS (Jackson Rees), dan T-piece resuscitator BMS

BTMS

T-piece resuscitator

(Jackson Rees) Kelebihan







Kekurangan





Catatan

Cukup murah dan umumnya tersedia di fasilitas terbatas dapat memberikan VTP dan PEEP bila dikombinasikan dengan katup PEEP Dilengkapi dengan pressure relief valve untuk mencegah pemberian tekanan berlebihan



VTP dan PEEP yang diberikan tidak terukur Tidak dapat memberikan CPAP







Cukup murah dan umumnya tersedia di fasilitas terbatas Dapat memberikan PEEP, CPAP, dan VTP secara terukur, bila dilengkapi dengan manometer khusus

• •

Memberikan PEEP dan CPAP dengan PEEP yang terukur Dapat juga digunakan untuk pemberian ventilasi tekanan positif (VTP) secara terukur

Kurang dianjurkan untuk pemberian VTP Butuh sumber gas

• •

Mahal Butuh sumber gas

Khusus Mixsafe®: •



dilengkapi dengan mini kompresor sehingga dapat menghasilkan medical air yang umumnya sulit didapat di fasilitas terbatas praktis digunakan untuk transfer bayi karena hanya butuh membawa oksigen portable

234

Ventilasi dinilai efektif bila terlihat pengembangan dada dan abdomen bagian atas pada setiap pemberian ventilasi, diikuti peningkatan LJ >100 kali per menit dan perbaikan oksigenasi jaringan.66 Bila dada tidak mengembang saat pemberian ventilasi, harus diperhatikan apakah tekanan yang cukup telah diberikan. Hal lain yang harus dievaluasi adalah urutan SR IBTA, yang meliputi :23 •

Sungkup melekat rapat.



Reposisi jalan napas dengan memastikan kepala pada posisi semi-ekstensi.



Isap mulut dan hidung bila terdapat lendir.



Buka mulut bayi dan berikan ventilasi dengan mengangkat dagu bayi ke depan.



Tekanan dinaikkan secara bertahap serta pastikan gerakan dan suara napas di kedua paru simetris.



Alternatif jalan napas (intubasi endotrakeal atau LMA) dapat dipertimbangkan. Oksigenasi jaringan dinilai berdasarkan saturasi oksigen yang

tertera pada pulse oxymetri. Pemberian oksigen pada bayi ≥35 minggu dapat dimulai dari 21%, sedangkan untuk bayi <35 minggu dimulai dari 21-30%.71 Kebutuhan oksigen selanjutnya disesuaikan dengan target saturasi. Penggunaan oksigen dengan konsentrasi 100% dapat memperberat reperfusion injury dan mengurangi aliran darah serebral pada bayi baru lahir. Temuan ini didukung oleh metaanalisis yang membandingkan resusitasi neonatus dengan menggunakan udara ruangan dan oksigen 100%.92 Penelitian lain juga membuktikan bahwa resusitasi dengan menggunakan udara ruangan akan meningkatkan kesintasan bayi serta mempercepat bayi untuk bernapas atau menangis pertama kali.66 Setiap penolong resusitasi

harus

memperhatikan

kenaikan

saturasi

selama 235

pemberian oksigen. Pada bayi asfiksia, kenaikan saturasi oksigen harus

bertahap

(tidak

boleh

mendadak)

sehingga

penolong

sebaiknya mengoptimalkan ventilasi terlebih dahulu sebelum menaikkan konsentrasi oksigen menjadi 100%, kecuali pada keadaan tertentu. Pemberian oksigen hingga 100% dapat dipertimbangkan pada keadaan sebagai berikut :69 •

Saturasi oksigen <70% pada menit kelima atau <90% pada menit ke-10



LJ <100 kali per menit setelah pemberian VTP efektif selama 60 detik



Dilakukan kompresi dada

Suplementasi oksigen di fasilitas lengkap dapat dilakukan dengan campuran oksigen dan udara tekan menggunakan oxygen blender.

Gambar 13. Oxygen blender

Pada fasilitas terbatas, campuran oksigen dan udara tekan dapat diperoleh dengan menggunakan :69 •

Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan konektor Y.



Konsentrator oksigen dengan kompresor udara.



T-piece resuscitator (Mixsafe®) dengan mini kompresor.

236

a

b

c

Gambar 14. a. Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan konektor Y, b. Konsentrator oksigen, c. Mixsafe®

Selanjutnya, untuk membuat campuran oksigen dan udara tekan agar menghasilkan FiO2 yang sesuai dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Panduan campuran oksigen dan udara bertekanan

Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014.69(dengan modifikasi).

Dalam menyederhanakan tabel campuran oksigen dan udara tekan, digunakan prinsip rule of eight. Misalnya, penolong ingin memulai ventilasi dengan memberikan oksigen berkonsentrasi 21%, maka dapat digunakan 8 L per menit udara tekan tanpa oksigen murni. Begitu pula dengan oksigen 100% diperoleh dari 8 L per

237

menit oksigen murni tanpa udara tekan. Bila konsentrasi oksigen dinaikkan menjadi 31%, penolong dapat menggunakan kombinasi udara tekan 7 L per menit dengan oksigen murni 1 L per menit, demikian seterusnya seperti pada tabel yang diarsir.

Resusitasi awal (initial resuscitation) sebaiknya dilakukan dengan udara ruangan. Resusitasi awal dengan udara ruangan dapat menurunkan mortalitas dan disabilitas neurologis pada bayi baru lahir bila dibandingkankan dengan pemberian oksigen 100%. Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100% bila resusitasi awal dengan udara ruangan gagal Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Apabila bayi masih menunjukkan tanda gawat napas dengan pemberian CPAP yang mencapai tekanan positif akhir ekspirasi sebesar 8 cm H2O dan FiO2 melebihi 40%, maka pertimbangkan intubasi endotrakeal. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

LMA dapat digunakan dalam resusitasi bila pemberian VTP dengan

balon

dan

sungkup

serta

intubasi

endotrakeal

mengalami kegagalan. Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

238

Dalam melakukan VTP, penolong hendaknya melakukan penilaian awal (first assessment) dan penilaian kedua (second assessment) untuk mengevaluasi keefektifan VTP sebagai berikut (Gambar 15,16).71

Penilaian awal VTP

(dilakukan setelah 15 detik LJ naik

LJ tidak naik

Dada mengembang Dada mengembang Dada tidak mengembang

• •

Lanjutkan VTP Lakukan penilaian kedua (second assessment) 15

• •

Lanjutkan VTP Lakukan penilaian kedua (second assessment) 15



Koreksi ventilasi (SR IBTA) sampai dada mengembang Lanjutkan VTP ini Lakukan penilaian kedua (second

• •

Gambar 15. Penilaian awal (first assessment) VTP Sumber: Textbook of neonatal resuscitation. Positive-pressure ventilation; 2016.71

Penilaian kedua VTP (dilakukan setelah 30 detik VTP yang mengembangkan dada)

≥ 100 kali/menit



Lanjutkan VTP 40-60 kali/menit sampai ada usaha napas

60-99 kali/menit

• •

Re-evaluasi VTP Koreksi ventilasi bila diperlukan

<60 kali/menit

• • • •

Re-evaluasi VTP Koreksi ventilasi bila diperlukan Intubasi (bila belum dilakukan) Bila tidak ada perbaikan, berikan oksigen 100% dan mulai kompresi dada

Gambar 16. Penilaian kedua (second assessment) VTP Sumber: Textbook of neonatal resuscitation. Positive-pressure ventilation; 2016.71

239

c. Kompresi dada (circulation) Indikasi kompresi dada adalah LJ kurang dari 60 kali per menit (melalui auskultasi atau palpasi pada pangkal tali pusat) setelah pemberian 30 detik VTP yang adekuat.73,93 Kompresi dada bertujuan mengembalikan perfusi, khususnya perfusi ke otak, memperbaiki

insufisiensi

miokardium

terkait

asidemia,

vasokonstriksi perifer, dan hipoksia jaringan.93 Rasio kompresi dada dengan ventilasi adalah 3:1.79 Kompresi dada dapat dilakukan dengan teknik dua jari (jari telunjuk-jari tengah) dan teknik dua ibu jari. Teknik yang dianjurkan yaitu menggunakan teknik dua ibu jari (two thumb-encircling hands technique) dengan jari-jari tangan lain melingkari dada dan menyanggah tulang belakang.73 Kedua ibu jari diletakkan pada sepertiga bawah

sternum, di bawah garis imajiner yang menghubungkan kedua puting, dengan kedalaman sepertiga diameter anteroposterior dada.72,76,94

Gambar 17. Lokasi dan cara memberikan kompresi dada Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014.69

Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat memberikan tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih baik pada bayi baru lahir. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

240

Bila bayi bradikardia (LJ <60x/menit) setelah 90 detik resusitasi menggunakan oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen dapat ditingkatkan hingga 100% sampai LJ bayi normal Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Kompresi dada harus dilakukan pada sepertiga bawah sternum dengan kedalaman sepertiga dari diameter antero-posterior dada Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Setelah penolong memberikan kompresi dada dan VTP selama 60 detik, kondisi bayi harus dievaluasi kembali. Bayi dinyatakan mengalami perbaikan bila terjadi peningkatan LJ, peningkatan saturasi oksigen, dan bayi terlihat bernapas spontan.69,39 Kompresi dada dihentikan bila LJ >60 kali per menit. Sebaliknya, bila LJ bayi tetap <60 kali/menit, perlu dipertimbangkan pemberian obatobatan dan cairan pengganti volume.69,76

d. Pemberian obat dan cairan pengganti volume (drugs and volume expander) Tim resusitasi perlu mempertimbangkan pemberian obat-obatan bila LJ <60 kali per menit setelah pemberian VTP dengan oksigen 100% dan kompresi dada yang adekuat selama 60 detik.67,94 Pemberian obat-obatan dan cairan dapat diberikan melalui jalur vena umbilikalis, endotrakeal, atau intraoseus. Obat-obatan dan cairan yang digunakan dalam resusitasi, antara lain :

241



Epinefrin 1:10.000, dilakukan melalui jalur intravena atau intraoseus

dengan

dosis

0,1-0,3

mL/kgBB

(0,01-0,03

mg/kgBB). Pemberian melalui jalur endotrakea kurang efektif, namun dapat dilakukan bila jalur intravena / intraoseus tidak tersedia.71 Pemberian epinefrin melalui jalur trakea membutuhkan dosis lebih besar, yaitu 0,5-1 ml/kgBB (0,05-0,1 mg/kgBB).71 •

Cairan, diberikan bila terdapat kecurigaan kehilangan darah fetomaternal akut akibat perdarahan vasa previa, perdarahan pervaginam, laserasi plasenta, trauma, prolaps tali pusat, lilitan

tali

pusat,

perdarahan

tali

pusat,

atau

bayi

memperlihatkan tanda klinis syok dan tidak memberikan respons adekuat terhadap resusitasi.71 Cairan yang dapat digunakan antara lain darah, albumin, dan kristaloid isotonis, sebanyak 10 ml/kgBB dan diberikan secara bolus selama 5-10 menit. Pemberian cairan pengganti volume yang terlalu cepat dapat menyebabkan perdarahan intrakranial, terutama pada bayi prematur.23 Tata laksana hipotensi pada bayi baru lahir dengan menggunakan kristaloid isotonis (normal saline) mempunyai efektivitas yang sama dengan pemberian bermakna

albumin dalam

dan

tidak

meningkatkan

ditemukan dan

perbedaan

mempertahankan

tekanan arterial rerata (mean arterial pressure / MAP) selama 30 menit pertama pascaresusitasi cairan.95 •

Bikarbonat, bukan merupakan terapi rutin dalam resusitasi neonatus.76,79



Nalokson, diberikan dengan dosis 0,01-0,04 mg/kgBB secara intravena atau intramuskular dengan dosis 0,1 mg/kgBB. Jalur

pemberian

melalui

endotrakea

tidak

direkomendasikan.96-97 Pemberian nalokson tidak dianjurkan

242

sebagai terapi awal pada bayi baru lahir yang mengalami depresi napas di kamar bersalin.73 Sebelum nalokson diberikan, penolong harus mengoptimalkan bantuan ventilasi terlebih dahulu.73,97 Hal ini menunjukkan bahwa pemberian nalokson dapat dipertimbangkan bila bayi dari ibu dengan riwayat penggunaan opiat tetap mengalami apne walaupun telah diberikan ventilasi adekuat.

Pemberian epinefrin melalui pipa endotrakeal dapat dijadikan pilihan bila jalur intravena tidak tersedia walaupun jalur ini kurang efektif dibandingkankan jalur intravena. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemberian

epinefrin

dibandingkan melakukan

vena

intraoseus umbilikal

pemasangan

kateter

dapat pada

menjadi

klinisi

umbilikal,

alternatif

yang

jarang

namun

cukup

berpengalaman memasang akses intraoseus. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Arteri umbilikal tidak direkomendasikan untuk pemberian obatobat resusitasi. Peringkat bukti IV, derajat rekomendasi C

Epinefrin perlu diberikan dalam dosis yang lebih tinggi melalui jalur endotrakeal dibandingkan pemberian melalui intravena. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

243

Sodium bikarbonat tidak diberikan secara rutin pada resusitasi bayi baru lahir. Peringkat bukti IV, derajat rekomendasi C

Cairan pengganti volume diberikan pada bayi asfiksia yang menunjukkan respons lambat terhadap tindakan resusitasi intensif. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Normal saline sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan terapi awal hipotensi pada bayi baru lahir karena aman, murah, dan mudah didapatkan. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A Pemberian nalokson tidak direkomendasikan sebagai terapi awal resusitasi bayi baru lahir dengan depresi napas. Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Pada waktu melakukan resusitasi neonatus, penolong harus bekerja secara simultan dan hanya dapat berpindah ke langkah selanjutnya

bila

telah

berhasil

menyelesaikan

langkah

sebelumnya.72 Alur sistematik resusitasi neonatus dapat dilihat pada Gambar 18.

244

4.1.7 Penolakan (witholding) dan penghentian resusitasi Penolakan resusitasi dengan informed-consent orang tua dapat dilakukan pada bayi prematur dengan usia gestasi <23 minggu atau berat lahir <400 gram, bayi anensefali, atau sindrom trisomi 13. Penghentian resusitasi dapat dilakukan bila denyut jantung tidak terdengar setelah 10 menit resusitasi atau terdapat pertimbangan lain untuk menghentikan resusitasi.77,98

4.1.8 Pengendalian infeksi saat resusitasi Pengendalian infeksi saat resusitasi meliputi kebersihan tangan (hand hygiene), pemakaian alat pelindung diri (APD), dan sterilisasi alat resusitasi.69,99

245

Gambar 18. Alur resusitasi neonatus

246

3.7 Tata laksana pascaresusitasi di ruang perawatan Bayi harus tetap dipertahankan stabil walaupun resusitasi telah berhasil dilakukan dengan cara memindahkan bayi dari ruang resusitasi ke ruang perawatan, sehingga bayi dapat dipantau secara ketat dan dilakukan intervensi sesuai indikasi.21,100 Akronim STABLE (sugar and safe care, temperature, airway, blood pressure, laboratorium working, dan emotional support) dapat digunakan sebagai panduan selama perawatan pascaresusitasi atau periode sebelum bayi ditranspor, baik ke ruang perawatan intensif maupun rumah sakit rujukan.101

3.7.1 Sugar and safe care Kadar gula darah yang rendah pada bayi yang mengalami kondisi hipoksik-iskemik akan meningkatkan risiko cedera otak dan luaran neurodevelopmental yang buruk73,76 Penelitian membuktikan bahwa hewan yang mengalami hipoglikemia pada kondisi anoksia atau hipoksia-iskemik memperlihatkan area infark otak yang lebih luas dan /atau angka kesintasan yang lebih rendah dibandingkankan kontrol.76 Bayi asfiksia memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami hipoglikemia sehingga pemberian glukosa perlu dipertimbangkan sesegera

mungkin

setelah

resusitasi

guna

mencegah

hipoglikemia.73,102 Alur tata laksana hipoglikemia pada neonatus dapat dilihat pada Gambar 19.

3.7.2 Temperature Penelitian menunjukkan bahwa terapi hipotermia ringan (mild hypothermia) dapat menurunkan risiko kematian dan disabilitas bayi akibat asfiksia secara signifikan (lihat subbab mengenai terapi hipotermia).42 Terapi hipotermia secara pasif dapat dimulai sejak di

247

kamar bersalin atau ruang operasi pada bayi yang diperkirakan mengalami asfiksia, dengan cara mematikan penghangat bayi dan melepas topi bayi sesegera mungkin setelah target ventilasi efektif dan LJ tercapai. Hal ini dapat dikerjakan secepat-cepatnya pada usia

10

menit

dengan

memerhatikan

kecurigaan

asfiksia

berdasarkan faktor risiko asfiksia, nilai Apgar saat usia 5 menit dan kebutuhan ventilasi masih berlanjut sampai usia 10 menit. Pada pelaksanaan

terapi

hipotermia

pasif

dengan

suhu

ruangan

menggunakan pendingin ruangan harus berhati-hati terhadap kemungkinan overcooling yang akan memperberat efek samping terapi hipotermia. Probe rektal (6 cm dari pinggiran anus) atau esofagus sebaiknya telah dipasang dalam waktu 20 menit setelah kelahiran.103 Bayi ditranspor dengan menggunakan inkubator transpor yang dimatikan dengan tujuan mencapai target suhu tubuh rektal antara 33,5 - 34,5oC. Pada kecurigaan asfiksia perinatal, hipertermia harus dihindari selama resusitasi dan perawatan karena akan meningkatkan metabolisme otak dan dapat memicu terjadinya kejang.104

248

GD <47 mg/dL

GD <25 mg/dL atau dengan gejala





GD >25-<47 mg/dL



IV bolus dekstrosa 10% 2 mL/kgBB **IVFD dekstrosa 10%, minimal 60 mL/kgBB/hari (hari pertama) sampai mencapai GIR 6-8 mg/kgBB/menit Oral tetap diberikan bila tidak ada kontraindikasi

GD ulang (30 menit-1 jam)



GD <36 mg/dL

Nutrisi oral/enteral segera: ASI atau PASI, maksimal 100 mL/kgBB/hari (hari pertama) Bila ada kontraindikasi oral atau enteral → **

GD 36-<47 mg/dL

Oral: ASI atau PASI yang dilarutkan dengan dektrosa 5%

GD <47 mg/dL

GD ulang (1 jam) Dekstrosa ditingkatkan dengan cara: • Volume ditingkatkan sampai maksimal 100 mL/kgBB/hari (hari pertama) atau • Konsentrasi ditingkatkan: vena perifer maksimal 12,5%, umbilikal 25%

GD 36-<47 mg/dL**

GD >47 mg/dL

Ulang GD tiap 2-4 jam, 15 menit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2 kali berturut-turut normal

Gambar 19. Algoritme tata laksana hipoglikemia

3.7.3 Airway Perawatan pascaresusitasi ini meliputi penilaian ulang mengenai gangguan jalan napas, mengenali tanda gawat maupun gagal napas, deteksi dan tata laksana bila terjadi pneumotoraks, interpretasi analisis gas darah, pengaturan bantuan napas, menjaga fiksasi ETT, serta evaluasi foto toraks dasar.101 Intervensi dilakukan sesuai indikasi apabila ditemukan kelainan pada evaluasi.

3.7.4 Blood pressure Pencatatan dan evaluasi laju pernapasan, LJ, tekanan darah, CRT, suhu, dan saturasi oksigen perlu dilakukan sesegera mungkin pascaresusitasi. Selain itu, pemantauan urin juga merupakan salah satu parameter penting untuk menilai kecukupan sirkulasi

249

neonatus.101

3.7.5 Laboratorium working Penelitian menunjukkan bahwa keadaan hiperoksia, hipokarbia, dan hiperglikemia dapat menimbulkan efek kerusakan pada otak sehingga harus dipertahankan pada keadaan normal setidaknya pada 48-72 jam pertama kehidupan. Pemeriksaan gula darah secara periodik sebaiknya dilakukan pada usia bayi 2, 6, 12, 24, 48, dan 72 jam kehidupan, kadar hematokrit dalam 24 jam pada harihari pertama kehidupan, kadar elektrolit (natrium, kalium, dan kalsium) dalam 24 jam, serta pemeriksaan fungsi ginjal, hati, enzim jantung, dll bila diperlukan. 101

3.7.6 Emotional support Klinisi perlu menjelaskan kondisi terakhir bayi dan rencana perawatan selanjutnya serta memberikan dukungan emosional pada orangtua. 101

3.7.7 Lain-lain Kejang dalam 24 jam pertama kehidupan dapat merupakan manifestasi neurologis setelah episode asfiksia. Kejang pascahipoksik umumnya bersifat parsial kompleks atau mioklonik dan terjadi secara intermiten.105 Bayi yang lebih matur dapat mengalami kejang elektrik (electrical seizure) pada pemeriksaan EEG

(atau

pemeriksaan amplitude EEG (aEEG) yang dapat dilakukan bedside secara kontinu; lihat juga penjelasan sub-bab aEEG pada halaman 84)106 Sebagian besar kejang neonatus disebabkan kejadian simtomatik akut seperti EHI. Kejang juga dapat disebabkan oleh

250

gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, dan

hiponatremia),

infeksi,

stroke

perinatal,

perdarahan

intrakranial, epilepsi neonatus, dan penyebab lain yang tidak diketahui.107-109 Penting untuk dilakukan pemeriksaan fisis dan investigasi riwayat secara menyeluruh untuk mengetahui etiologi atau faktor risiko neonatus mengalami kejang.110,111 Berbagai karakteristik klinis kejang pada neonatus beserta penjelasannya dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Klasifikasi dan karakteristik kejang pada neonatus Klasifikasi

Karakteristik

Kejang epileptik Klonik fokal

• • • • •

Kontraksi ritmik dan repetitif otot tungkai, wajah, dan batang tubuh Bersifat unifokal ataupun multifokal Dapat terjadi secara sinkron ataupun asinkron pada kedua sisi tubuh Dapat terjadi secara simultan, namun asinkron pada kedua sisi tubuh Tidak dapat dikurangi dengan peregangan

Tonik fokal

• • • •

Kekakuan pada salah satu tungkai Batang tubuh asimetris Deviasi mata Tidak dapat dibangkitkan dengan stimulasi dan dikurangi dengan peregangan

Spasme



Kontraksi ritmik dan repetitif otot tungkai, wajah, dan batang tubuh Bersifat unifokal ataupun multifokal



Kejang non-epileptik Tonik umum

• • • •

Kekakuan simetris batang tungkai, batang tubuh, dan leher Posisi dapat fleksi, ekstensi, atau campuran keduanya Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi

251

Gerakan okular

• •

Gerakan oralbukal-lingual

• • •

Gerakan progresif

• • •

Gerakan kompleks bertujuan

tak

• •

Gerakan mata acak dan berputar atau nistagmus Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang Gerakan seperti mengisap, mengunyah, dan protusi lidah Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi Gerakan seperti mendayung, berenang, atau mengayuh sepeda Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi Gerakan tiba-tiba dengan peningkatan aktivitas acak tungkai Dapat dubangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang

Dapat kejang epileptik atau non-epileptik Mioklonik

• • • •

Kontraksi acak, tunggal, dan cepat pada tungkai, wajah, atau batang tubuh Tidak repetitif atau mungkin terjadi dengan kecepatan lambat Dapat bersifat umum, fokal, atau fragmenter Dapat dibangkitkan dengan rangsang

Sumber: Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes. Neurologic clinics. 2001;19(2):427-63.106

Kejang neonatus kadang sulit dibedakan dengan jitteriness. Berikut adalah panduan secara klinis bagaimana membedakan jitteriness dengan kejang.116

252

Tabel 10. Jitteriness vs kejang Manifestasi klinik

Jitteriness

Kejang

Tatapan atau gerakan bola mata yang abnormal

0

+

Gerakan stimulus

+

0

Gerakan dominan

Tremor

Klonik jerking

Gerakan berkurang dengan fleksi pasif

+

0

Perubahan fungsi otonom

0

+

bersifat

sensitif

terhadap

Sumber: Volpe J, Inder T, Darras B, dkk. Neurology of the newborn. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017.h.275-318.116 A. Prinsip tata laksana kejang pada neonatus Prinsip

utama

tata

laksana

kejang

pada

neonatus

adalah

menegakkan diagnosis secara cepat dan akurat (termasuk dengan menggunakan EEG/aEEG), mempertahankan ventilasi dan perfusi yang adekuat, memberikan tata laksana sesegera mungkin dengan mempertimbangkan manfaat dan efek samping anti-kejang, serta segera menghentikan anti-kejang setelah kejang teratasi.112 Diagnosis kejang pada neonatus pada umumnya ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis saja. Perlu diketahui bahwa selain gejala klinis, pemeriksaan EEG/aEEG sangat penting karena dapat mendeteksi neonatus dengan kejang elektrik.107,113 Penggunaan EEG/aEEG menunjukkan bahwa prevalensi kejang elektrik pada kelompok neonatus dengan berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) sangat tinggi. Penggunaan obat anti-kejang pada neonatus dengan kejang elektrik berhubungan dengan rendahnya risiko

epilepsi

pasca-natal.114

Pemberian

obat

anti-kejang

berdasarkan gejala klinis saja (sedangkan hasil EEG/aEEG tidak menunjukkan kejang) dapat mengakibatkan overtreatment.107,113 Penggunaan EEG/aEEG terbukti dapat mempersingkat waktu

253

diagnosis kejang pada bayi dengan ensefalopati.114 Jika tidak terdapat fasilitas pemeriksaan EEG/aEEG, maka pemberian obat anti-kejang dapat berdasarkan kriteria klinis seperti pada tabel berikut;106

Tabel 11. Kriteria klinis pemberian obat antikovulsan pada neonatus (modifikasi) Tipe kejang

Karakteristik klinik

Terapi anti-kejang

Fokal klonik

Singkat dan jarang

Opsional

Lama dan berulang

Diberikan

Singkat dan jarang

Opsional

Lama dan berulang

Diberikan

Singkat dan jarang

Opsional

Dapat diprovokasi

Tidak diberikan

Hilang dengan tahanan, dapat diprovokasi

Tidak diberikan

Fokal tonik

Mioklonik

Generalized tonic posturing atau motor automatism

Tidak hilang dengan tahanan, tidak dapat diprovokasi

Opsional

Sumber: Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes. Neurologic clinics. 2001;19:427-63.106

Ketika diagnosis kejang neonatus ditegakkan, sebaiknya dipikirkan terlebih dahulu penyebab tersering pada neonatus seperti

hipoglikemia

dan

imbalans

elektrolit

(hipokalsemia,

hipomagnesemia). Kondisi yang menyebabkan kejang harus segera dikoreksi. Ketika penyebab yang dipikirkan telah teratasi dan kejang masih berlangsung maka perlu diberikan obat anti-kejang akut (lini pertama).

254

Tujuan akhir tata laksana anti-kejang adalah menghindari timbulnya

kejang

berulang

baik

secara

klinis

maupun

elektrografis.107 Idealnya setelah diberikan terapi anti-kejang sebaiknya diamati responsnya dengan menggunakan EEG/aEEG. Hal ini penting karena beberapa neonatus dengan perbaikan gejala klinis,

masih

dapat

menunjukkan

gambaran

kejang

pada

EEG/aEEG. Oleh karena itu pemeriksaan EEG/aEEG kontinu merupakan modalitas yang baik untuk mengkonfirmasi respons dari terapi anti-kejang.108 Kejang neonatus sebagian besar penyebabnya merupakan kejadian akut seperti EHI, kelainan metabolik, perdarahan, sehingga jika penyebab sudah teratasi maka obat antikejnag dihentikan

sesegera

mungkin.

Jika

tidak

terdapat

fasilitas

pemeriksaan EEG/aEEG maka lama pemberian obat anti-kejang ditentukan oleh seberapa besar risiko kejang berulang jika obat dihentikan, dan risiko terjadinya epilepsi (10%-30%). Faktor risiko penentu adalah ; (1) Pemeriksaan neurologi, jika pada saat pulang terdapat pemeriksaan neurologi abnormal maka risiko berulangnya kejang sebesar 50%; (2) Penyebab kejang itu sendiri, etiologi asfiksia berisiko sebesar 30% sedangkan disgenesis korteks berisiko 100% terhadap berulangnya kejang; (3) Gambaran EEG, jika irama dasar memperlihatkan kelainan minimal atau ringan maka tidak terdapat risiko epilepsi, jika terdapat kelainan yang berat maka risiko meningkat menjadi 41%. Volpe merekomendasikan jika pada saat neonatus akan pulang pemeriksaan neurologi normal maka semua obat antikejnag dihentikan. Jika abnormal pertimbangkan etiologi dan dilakukan pemeriksaan EEG. Jika EEG abnormal fenobarbital dilanjutkan, tetapi jika EEG normal atau etiologi adalah gangguan metabolik yang bersifat sementara fenobarbital dapat dihentikan.116 Bayi

yang

dipulangkan

dengan

fenobarbital,

ulangi 255

pemeriksaan neurologi dan perkembangan saat usia 1 bulan, jika pemeriksaan neurologi normal fenobarbital dapat dihentikan, jika abnormal lakukan pemeriksaan EEG. Jika tidak terdapat kelainan yang bermakna pada EEG maka fenobarbital dapat dihentikan, jika EEG abnormal lakukan evaluasi ulang saat usia 3 bulan. Volpe menyatakan bahwa sedapat mungkin obat anti-kejang dihentikan sesegera mungkin dan pada keadaan tertentu dapat diberikan sampai usia 3-6 bulan.116 Menurut WHO, pemberian obat anti-kejang dapat dihentikan jika hasil pemeriksaan neurologis dan/atau EEG telah normal, serta bebas kejang dalam 72 jam.115 Pemberian obat anti-kejang seperti fenobarbital dan fenitoin, bila kadar terapeutik telah tercapai dan kejang klinis serta elektris sudah tidak ditemukan maka penurunan dosis dan penghentian terapi anti-kejang dapat dilakukan. Bayi yang mendapatkan anti-kejang lebih dari satu jenis sebaiknya menurunkan dosis obat satu persatu terlebih dahulu dengan fenobarbital sebagai obat terakhir yang dihentikan.116

B. Pemilihan obat anti-kejang Pemilihan

obat

anti-kejang

ditentukan

berdasarkan

kondisi

neonatus (usia gestasi, penyakit penyerta), ketersediaan obat, mekanisme kerja obat, dan efek samping obat anti-kejang. Sampai saat ini di Indonesia belum ada konsensus tata laksana anti-kejang neonatus dibedakan berdasarkan fasilitas kesehatan lengkap maupun terbatas. Pembahasan berikut ini dapat digunakan sebagai penuntun pemilihan obat anti-kejang untuk neonatus disesuaikan dengan berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia. Survei yang dilakukan oleh European Society for Paediatric Research pada 13 institusi di negara Eropa melaporkan bahwa

256

fenobarbital masih merupakan satu-satunya obat anti-kejang lini pertama yang digunakan. Obat anti-kejang lini kedua yang paling banyak digunakan adalah midazolam pada 11 institusi, disusul oleh fenitoin dan klonazepam. Sedangkan untuk lini ketiga, lidokain digunakan hampir pada seluruh institusi diikuti dengan pilihan lainnya seperti midazolam, diazepam, dan fenitoin. Pilihan obat anti-kejang lini kedua dan ketiga yang digunakan di negara Amerika sedikit berbeda dikarenakan telah banyak penelitian-penelitian mengenai obat anti-kejang lain yang digunakan sebagai alternatif terapi pilihan seperti levetiracetam, fosfenitoin, lorazepam, dan sebagainya.117 Fenobarbital merupakan obat anti-kejang paling banyak diteliti pada hewan coba dan kadarnya dalam darah cenderung stabil. Sejak dulu fenobarbital telah direkomendasikan sebagai obat antikejang lini pertama pada neonatus. Namun penelitian mengenai pengaruh penggunaan jangka panjang fenobarbital terhadap perkembangan neonatus sangat terbatas. Walaupun demikian, tidak ada obat anti-kejang lain yang terbukti lebih efektif dan aman untuk digunakan pada neonatus selain fenobarbital.116,118,119 Fenobarbital injeksi yang tersedia di Indonesia ada dua macam, yaitu intravena dan intramuskular. Sebelum pemberian obat pastikan sediaan obat sesuai dengan teknik yang diberikan. Sediaan intramuskular tidak boleh diberikan secara intravena, begitu pula sebaliknya. Fenobarbital diberikan secara intravena dengan dosis inisial 20 mg/kgBB, dengan kecepatan tidak melebihi 1 mg/kgBB/menit (menggunakan infusion pump). Dua dosis tambahan sebesar 10-20 mg/kgBB/dosis dapat diberikan apabila kejang belum berhenti (maksimal 50 mg/kgBB dalam 24 jam). Fenobarbital dilanjutkan sebagai terapi rumatan dengan dosis 4-6 mg/kgBB/hari

terbagi

dalam

2

dosis

bila

kejang

telah

257

teratasi.108,116,120,121 Lockman dkk.122 mengemukakan bahwa kadar terapeutik minimal fenobarbital dalam darah yaitu 16,9 µg/mL. Pada pemberian dosis inisial fenobarbital 15-20 mg/kgBB intravena akan memberikan kadar terapeutik dalam darah sekitar 16,3-25,1 µg/mL.123 Sebuah studi menunjukkan bahwa kadar fenobarbital dalam plasma akan mengalami penurunan setelah 24 jam pemberian dosis inisial, sehingga dosis rumatan harus segera diberikan (12 jam setelah dosis inisial). Pada studi tersebut, pemberian dosis rumatan sebanyak 2,6-5 mg/kgBB/hari dapat mencapai kadar terapeutik 15-40 µg/mL. Namun demikian, pemeriksaan kadar fenobarbital dalam darah tetap perlu dilakukan mengingat pada 1 minggu pertama kehidupan akan terjadi penumpukan kadar obat dalam darah. Hal ini kemudian diikuti dengan penurunan kadar fenobarbital secara bertahap sehingga diperlukan kembali penyesuaian terhadap dosis fenobarbital.124 Pada fasilitas terbatas di Indonesia seringkali tidak tersedia fenobarbital intravena, melainkan sediaan intramuskular (ampul, 100 mg/2 mL), maka fenobarbital intramuskular diberikan dengan dosis lebih tinggi yaitu 30 mg/kgBB (10-15% lebih tinggi dari dosis intravena).116,120,122

Bila kejang masih belum teratasi, dosis ini

dapat diulang satu kali dengan selang waktu minimal 15 menit.120 Obat anti-kejang lini kedua dapat diberikan bila kejang masih belum teratasi dan kadar fenobarbital dalam darah telah mencapai optimal pada penggunaan dosis maksimal. Pemilihan obat antikejang lini kedua dipengaruhi oleh tingkat keparahan kejang, efek samping dan interaksi obat, fungsi kardiovaskular dan pernapasan neonatus, serta disfungsi organ seperti jantung, ginjal, dan hati.107,118,121 Pilihan obat anti-kejang lini kedua di negara-negara Eropa dan Amerika adalah fenitoin, levetirasetam, dan lidokain yang dapat

digunakan

di

Indonesia

berdasarkan

258

ketersediaannya.107,118,121,125 Berdasarkan

telaah

sistematik

dari

2

penelitian

acak

terkontrol, penggunaan fenobarbital dan fenitoin terbukti memiliki efektifitas yang sama sebagai obat anti-kejang lini pertama, yaitu 43-45%.121,126 Pemberian fenitoin setelah penggunaan fenobarbital (kombinasi) dapat meningkatkan efektivitas dalam mengatasi kejang sebanyak 10-15%.118 Namun sediaan fenitoin cenderung tidak stabil dengan pencampuran dan memiliki efek samping lebih besar berupa hipotensi, aritmia, dan kerusakan pada sistim saraf. Metabolisme fenitoin terjadi di hati dengan waktu eliminasi yang bervariasi sesuai usia neonatus. Pada satu minggu pertama kehidupan

terjadi

penurunan

waktu

eliminasi

yang

dapat

menyebabkan fluktuasi kadar fenitoin dalam darah terutama pada bayi prematur dengan imaturitas fungsi hati. Penggunaan fenitoin sebagai obat anti-kejang lini pertama sebaiknya diberikan bila pengukuran kadar fenitoin dalam darah dapat dilakukan.116,118 Dosis inisial fenitoin adalah 20 mg/kgBB/dosis, diberikan secara intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 mg/kgBB/menit (untuk mencegah efek samping aritmia jantung). Dosis dapat ditambahkan hingga tercapai kadar terapeutik dalam darah yaitu 10-20 mg/L). Pemberian dosis inisial ulangan fenitoin tidak dianjurkan

bila

kadar

fenitoin

dalam

darah

tidak

dapat

diperiksa.116,127 Saat ini di negara maju penggunaan fenitoin mulai ditinggalkan dan dialihkan menggunakan fosfenitoin (derivat fenitoin). Fosfenitoin memiliki mekanisme kerja lebih cepat dengan efek samping minimal.118,128 Efektivitas levetirasetam dan keamanan penggunaan pada neonatus belum sepenuhnya dapat dipahami. Namun obat ini telah terbukti dapat

menurunkan angka kejadian kejang tanpa

mengakibatkan kerusakan sistim saraf seperti apoptosis neuronal, 259

melainkan memberikan efek neuroprotektif. Levetirasetam mulai dipakai oleh banyak institusi selain berkaitan dengan efek antikejang

yang

baik,

dikarenakan

terdapat

bentuk

sediaan

intravena.116,118,129-132 Namun demikian, hingga saat ini di Indonesia hanya tersedia levetirasetam sediaan oral berupa tablet salut sedangkan sirup belum tersedia. Pemberian pada neonatus relatif sulit mengingat sediaan tablet tidak dapat digerus. Studi mengenai penggunaan levetirasetam oral pada kejang refrakter neonatal yang belum

teratasi

menunjukkan

setelah bahwa

pemberian

pemberian

fenitoin

/

levetirasetam

fenobarbital oral

efektif

mengatasi kejang tanpa menimbulkan efek samping.118,131,132 Dosis inisial yang direkomendasikan

adalah 10-20 mg/kgBB per oral

atau intravena, dengan dosis rumatan 40-60 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis.118,133-135 Lidokain intravena banyak digunakan sebagai obat anti-kejang lini kedua di beberapa negara Eropa.136 Efektivitas lidokain setelah pemberian fenobarbital menunjukkan respons terapi sebesar 7092% dalam mengatasi kejang dan efek samping berupa depresi pernapasan hampir tidak pernah dilaporkan.109,137 Sebuah studi observasional retrospektif yang membandingkan lidokain dan midazolam

intravena

membuktikan

bahwa

sebagai

obat

penggunaan

anti-kejang lidokain

lini

pada

kedua

neonatus

menunjukkan respons terapi yang lebih baik secara signifikan. Namun efektivitasnya lebih rendah pada bayi prematur (55,3%) dibandingkan dengan bayi cukup bulan (76,1%).109 Dosis yang direkomendasikan adalah 2 mg/kgBB sebagai dosis inisial yang diberikan selama 10 menit. Pemberian dilanjutkan dengan dosis rumatan

yang

diturunkan

secara

bertahap

dengan

target

penghentian obat dalam waktu 36 jam untuk menghindari toksisitas lidokain. Dosis rumatan awal yang diberikan adalah infus

260

kontinu 7 mg/kgBB/jam selama 4 jam kemudian diturunkan setengah dosis tiap 12 jam selama 24 jam. Perlu diperhatikan pada kondisi bayi prematur dan bayi yang menjalani terapi cooling, dosis rumatan yang diberikan harus lebih rendah (6 mg/kgBB/jam) karena waktu klirens lidokain menurun pada kondisi hipotermia.116 Bila kejang belum teratasi, pemberian lidokain

dapat

ditambahkan

dengan

midazolam.

Pemberian

keduanya secara bersamaan sebagai terapi kombinasi akan memberikan efek sinergistik yang mampu mengatasi kejang lebih baik. Oleh karena itu, midazolam lebih efektif bila diberikan sebagai obat anti-kejang lini ketiga.109 Pemberian lidokain setelah fenitoin dan derivatnya (difantoin) memerlukan pemantauan terhadap tekanan darah, laju nadi, dan EKG mengingat efek samping obat berupa kardiodepresif (aritmia dan bradikardia) walaupun sangat jarang terjadi.114 Untuk mencegah efek samping aritmia, beberapa studi menyarankan rentang waktu maksimum pemberian infus lidokain adalah 30-48 jam.109,116,138,139 Kontraindikasi pemberian lidokain adalah neonatus dengan penyakit

jantung

bawaan

dan

penggunaan

fenitoin

sebelumnya.116,140 Sampai saat ini di Indonesia lidokain intravena hanya tersedia di fasilitas kesehatan tertentu (Xylocard

tersedia di

RS Jantung Harapan Kita), sediaan lainnya adalah untuk pemberian subkutan / intramuskular. Midazolam intravena

dipertimbangkan sebagai obat anti-

kejang lini ketiga seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Obat ini merupakan pilihan pada kasus kejang refrakter yang tidak berhasil dengan pemberian obat anti-kejang lini pertama dan kedua.141 Efek samping yang dikhawatirkan pada pemberian midazolam yaitu depresi pernapasan dengan risiko intubasi. Namun efek samping tersebut

lebih

kecil

jika

dibandingkan

dengan

golongan

261

benzodiazepin lainnya seperti diazepam dan lorazepam.116,123 Dosis inisial yang diberikan adalah 0,15 mg/kgBB intravena, dilanjutkan dengan infus kontinu 1 µg/kgBB/menit. Jika masih terdapat kejang, dosis awal dapat diulangi dan dosis infus dapat dinaikkan 0,5-1 µg/kgBB/menit setiap 2 menit hingga dosis maksimal 18 µg/kgBB/menit.116,126 Prinsip tata laksana kejang adalah menghentikan kejang. Pada kondisi fasilitas terbatas dengan ketersediaan obat anti-kejang yang tidak lengkap, dapat diberikan obat-obatan yang tersedia sebagai alternatif namun dengan pemantaun khusus. Diazepam sangat jarang digunakan pada neonatus karena memiliki efek samping yang sangat berat seperti depresi susunan saraf pusat dan pernapasan darah.101,142-144

(apne/hipoventilasi), Risiko

serta

pemberian

kolaps

diazepam

pembuluh

diikuti

dengan

fenobarbital intravena dapat memperberat efek depresi susunan saraf pusat (SSP) dan sistem pernapasan.101,144 Dosis terapeutik diazepam pada neonatus sangat bervariasi dan terkadang mencapai dosis toksik yang menimbulkan henti napas.125,145 Selain itu, klirens diazepam yang cepat pada otak (beberapa menit setelah dosis intravena) sehingga menyebabkan obat ini tidak dapat dipakai sebagai terapi rumatan.142,143 Hal lain yang perlu pula diperhatikan adalah sediaan diazepam umumnya mengandung sodium benzoat yang

dapat

meningkatkan

melepas risiko

ikatan

terjadinya

albumin-bilirubin kernikterus.146

sehingga

Namun

pada

fasilitas kesehatan terbatas di Indonesia yang tidak tersedia fenobarbital, fenitoin maupun midazolam, maka diazepam dapat digunakan sebagai obat anti-kejang lini pertama dengan perhatian khusus. Sebuah studi melaporkan bahwa pemberian drip kontinu diazepam efektif menghentikan kejang pada delapan bayi yang mengalami asfiksia perinatal berat. Pada laporan kasus tersebut

262

tidak ada bayi yang membutuhkan bantuan pernapasan walaupun terdapat stupor dan memerlukan pemasangan pipa orogastrik.147 Mengingat ketersediaan obat anti-kejang di fasilitas kesehatan di Indonesia dan kompetensi tenaga medis di tempat terpencil, maka rekomendasi penggunaan diazepam di Indonesia adalah sebagai berikut: bila terpaksa harus menggunakan diazepam maka pilihan utama adalah infus kontinu (drip) diazepam untuk mencegah efek yang tidak disukai di atas.116 Namun bila tidak terdapat tenaga ahli yang dapat memasang akses intravena perifer ataupun umbilikal, maka dapat diberikan diazepam per rektal (sediaan bentuk supositoria (5 mg/2,5 mL) dengan menggunakan spuit 1 mL yang disambungkan pada pipa orogastrik yang dipotong pendek (lihat Gambar 21.) dengan dosis 0,5 mg/kgBB.120,148 Risiko pemberian diazepam bolus ini seperti telah dibahas di atas yaitu apne, sehingga perlu dipersiapkan pula intubasi. Bila kejang masih belum teratasi (sambil mempersiapkan rujukan bayi ke fasilitas lebih lengkap bila memungkinkan), direkomendasikan langsung pemberian diazepam infus secara kontinu (diencerkan dengan cairan dekstrosa 5%) dengan dosis 0,3 mg/kgBB/jam. Dosis dapat dinaikkan bertahap hingga tercapai rata-rata dosis diazepam sebesar 0,7-2,75 mg/jam. Apabila kejang telah teratasi selama 1224 jam, dosis diazepam dapat diturunkan dalam 12-24 jam sebanyak 0,1-0,25 mg/jam. Campuran diazepam dan dekstrosa 5% dibuat

ulang

setiap

4

jam

dalam

spuit

ditutup

dengan

kertas/plastik berwarna gelap.147 Fasilitas dengan keterbatasan pilihan anti-kejang bila tidak didapatkan pula fenobarbital maupun diazepam, maka midazolam dapat

pula

dipertimbangkan

sebagai

obat

anti-kejang

lini

pertama.141 Efektivitasnya tidak sebaik penggunaan fenobarbital sebagai

anti-kejang

lini

pertama

namun

diharapkan

dapat 263

mengatasi kejang sementara waktu hingga bayi dapat dirujuk ke

fasilitas

lebih

lengkap.118,141

Perlu

diingat

kembali

bahwa

penggunaan obat anti-kejang selain fenobarbital seperti diazepam dan midazolam sebagai lini pertama direkomendasikan sebagai terapi alternatif apabila tidak tersedia fenobarbital, bukan sebagai pilihan utama.124 Gambar 20. Anti-kejang pada fasilitas terbatas

a. Fenobarbital (sediaan ampul, 100 mg/2 mL, IM), b. Fenitoin (sediaan ampul, 100 mg/2 mL, IM-IV), c. Diazepam (sediaan ampul, 10 mg/2 mL, IM-IV) d. Midazolam (sediaan ampul, 5mg/5mL, IM-IV), e. Diazepam (sediaan supposituria 5mg/2,5 mL) Sumber: Foto inventaris RSUD Lahat, Sumatra Selatan

a

Gambar 21. Cara pemberian diazepam per-rektal di fasilitas terbatas a. Sambungkan OGT no. 5 dengan spuit 1 mL. Potong OGT sehingga hanya tersisa 2 cm. b. Posisikan bayi, masukkan diazepam ke anus bayi, kemudian rapatkan kedua bokong bayi Sumber:

b

a. Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo; b. Kementrian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal esensial: Pedoman teknis pelayanan kesehatan

dasar; 2010 Jika penyebab kejang tidak diketahui dan tidak respons terhadap obat anti-kejang lini pertama dan kedua, maka harus

264

dipikirkan adanya kelainan metabolik bawaan seperti pyridoxine dependency. Percobaan terapi piridoksin dapat diberikan dengan dosis 100 mg secara intravena secara lambat (5 menit), kemudian dapat diulangi setiap 5-15 menit hingga mencapai dosis maksimum pemberian yaitu 500 mg (15-30 mg/kg/hari per oral yang terbagi dalam tiga dosis). Sediaan piridoksin yang tersedia di pasaran adalah 50 mg/ml (1 ml) dan 100 mg/ml (1 ml). Pemberian piridoksin secara

intravena

tidak

perlu

diencerkan,

tetapi

diperlukan

pemantauan EEG/aEEG dan fungsi kardiorespirasi (hipotonia dan apneu).116,134,149 Dosis dan keterangan obat lebih lengkap dapat dilihat dalam Tabel 10.

265

F

Fenobarbital

• •





Spektrum luas150 Rentang terapeutik lebar150 Awitan intravena 5 menit, mencapai maksimum dalam 30 menit151 Durasi 4-10 jam151 Waktu paruh 45-500 jam151

Fenitoin

Na+

• Bentuk fosfenitoin lebih disukai untuk loading cepat, efek samping dan reaksi lokal lebih ringan.152 • Hanya meningkatkan 1015% kontrol kejang setelah kegagalan fenobarbital mengontrol kejang.152,153 • Awitan intravena 30-60 menit152 • Durasi 24 jam153 • Waktu paruh 1015 jam152

• Menghalangi channel sehingga

• Awitan Intravena/drip: 13 menit

Diazepam

Levetiracetam

Rektal: 2-10 menit • Durasi 15-30 menit • Waktu paruh 5095 jam151

• Meningkatkan fungsi reseptor GABA.128

116,133,134

• Berikatan protein sinapsis

dengan vesikel SV2A

• Waktu paruh pada neonatus 18 jam.

116,133,134

• Konsentrasi puncak plasma dalam 5-15 menit setelah pemberian intravena.

116,133,134

• Absorbsi cepat dan hampir diserap sempurna dengan konsentrasi puncak plasma 1 jam setelah penggunaan oral.

• Menghalangi konduksi saraf dengan menurunkan

• Awitan: ≤ 20 menit • Waktu paruh: 3 jam (subkutan) dan 4-8 jam untuk (intravena jangka panjang)139

Lidokain

Tabel 12. Farmakodinamik, mekanisme kerja, keuntungan, kerugian, efek samping dan interaksi obat Anti-kejang

Farmakodinamik

Mekanisme kerja

Inhibisi neurotransmiter dengan

Midazolam

• Awitan intravena 15 menit, maksimum dalam 5-7 menit • Durasi 20-30 menit154 • Waktu paruh 4-12 jam dan 5,5-12 jam pada neonatus yang sangat sakit151

Menekan semua level SSP, termasuk sistem limbik dan

266

Keuntungan

memperpanjang waktu terbukanya channel GABANa+ 150

Fenobarbital

Fenitoin

Diazepam

Levetiracetam

• Risiko terjadi efek samping rendah • Terdapat sediaan intravena • Tidak ada reaksi antar obat116,133,134

134

• Menekan SSP, termasuk sistem limbik dan formasi retikularis dengan berikatan pada situs benzodiazepin pada kompleks GABA dan memodulasi GABA.151

• Obat mudah didapatkan107

mencegah rangsang neuron berulang150 • Perubahan konduksi Na+, K+, Ca2+, membran potensial, dan konsentrasi asam amino, norepinefrin, asetilkolin, serta gammaaminobutyric acid (GABA)150

• Efektivitas hampir sama dengan Fenobarbital118,121

sehingga mengurangi pelepasan vesikel.116,133,134 • Meningkatkan ekspresi gamma glutamate transporter (GLTs), excitatory amino acid transporter 1/ glutamate-aspartate transporter (EAAT1/GLAST), dan EAAT2/GLT1 yang mempunyai peran penting untuk neuroproteksi.116,133,

- Berat dan usia gestasi tidak terlalu mempengaruhi kadar obat dalam darah116 - Dapat diberikan dengan sediaan IM116

permebilitas sel membran terhadap Na+ sehingga mengurangi lama waktu depolarisasi, meningkatkan eksitabilitas dan mencegah aksi potensial. • Menghalangi channel Na+ pada sel jantung139 • Menyebabkan efluks dari kalium yang mengakibatkan aritmia.139

Lidokain

• Efektif pada status epileptikum141 • Efek samping sedasi dan depresi respirasi lebih rendah dibandingkan dengan Lorazepam dan Diazepam.116,123

formasi retikularis, dengan berikatan pada situs benzodiazepin pada kompleks reseptor GABA dan memodulasi GABA.151

Midazolam

• Pada bayi cukup bulan, Lidokain menunjukkan respon terapi kejang yang lebih baik sebagai lini kedua dan ketiga dibandingkan dengan Midazolam109,116

267

Kerugian dan efek samping

Fenobarbital

Fenitoin

Diazepam

Levetiracetam



Hipotensi101,151 Ruam kulit151 Hepatitis, kolestatis101,151 Gangguan kognitif150,151

1

• Depresi napas, apne101 • Tromboflebitis10

• Efekasi dan keamanan pada pada neonatus belum banyak diketahui, namun penggunaan dosis 40-50 mikrogram/kgBB tidak menimbulkan efek samping yang bermakna.116,133,134 • Belum ada sediaan intravena di Indonesia

• • •

• Menganggu ikatan albuminbilirubin127 • Peningkatan enzim hati151 • Butuh titrasi obat127 • Depresi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem pernapasan (apne)101,151 • Hipotensi101,151 • Hipo/hipertermia10 • Nyeri dan flebitis pada tempat penyuntikan101,151

1

• Pemberian secara intravena cepat menyebabkan hipotensi, aritmia, bradikardia, kolaps kardiovaskular, dan distres napas.101,151 • Muntah, iritasi lambung.101 • Trombositopenia, leukopenia, dan granulositosis.101 • Makrositosis dan anemia megaloblastik.101 • Nekrosis dan inflamasi jaringan bila terjadi ekstravasasi pada tempat penyuntikan101,151 • Hepatitis151 • Ruam kulit101,151 • Hipoinsulinemia, hiperglikemia, glikosuria101 • Akselerasi apoptosis neuron

Lidokain • • • • •

• •



Therapeutic window sempit109,116 Aritmia109,116 Bradikardia109,116 Hipotensi109,116 Menyebabkan kejang bila digunakan dalam dosis tinggi109,116 Kejang berulang109,116 Kontraindikasi pada penyakit jantung bawaan109,116 Tidak boleh diberikan setelah fenitoin/fosfenitoin karena dapat menyebabkan kardiodepresif109,116

Midazolam

• Henti jantung151 • Depresi napas, apne, desaturasi, laringobronkospasm e 121 • Nyeri dan reaksi lokal pada tempat penyuntikan, namun lebih ringan dibandingkan diazepam.151

268

Interaksi obat

Fenobarbital

• Pemberian diazepam yang disusul dengan fenobarbital intravena dapat memperberat efek depresi SSP dan sistem pernapasan, apne, dan hipoventilasi.101 • Pemberian fenobarbital tidak boleh dicampur dengan sebagian besar antibiotik, morfin, norepinefrin, dan natrium fenitoin.101

Fenitoin pada bayi prematur101,151 • Pemberian bersamaan dengan infus dopamin dapat menyebabkan hipotensi berat, bradikardia, dan henti jantung sehingga bila harus diberikan secara bersamaan, perlu perhatian khusus dan pemantauan tejanan darah.101 • Asam folat, piridoksin, rifampisin, dan kloralhidrat dapat menyebabkan penurunan serum fenitoin sehingga menurunkan efektivitasnya.101 • Menurunkan kadar dan

Diazepam

• Pemberian bersamaan makanan menurunkan konsentrasi puncak plasma sampai 20% dan menunda kerja obat sampai 1,5 jam; tetapi tidak mengurangi bioavailabilitas.

Levetiracetam

• Pemberian Lidokain setelah Fenitoin tidak disarankan karena akan memperbesar efek kardiodepresif (aritmia, bradikardia),139

Lidokain

• Midazolam akan meningkatkan kadar fenitoin116

Midazolam

116,133,134

• Pemberian diazepam yang disusul dengan fenobarbital intravena dapat memperberat efek depresi SSP dan sistem pernapasan, apne, dan hipoventilasi.101 • Meningkatkan kadar plasma digoksin.101

269

Fenobarbital

Fenitoin efektivitas teofilin, digoksin, dan furosemid.101 • Meningkatkan metabolisme kortikosteroid101 • Jangan memberikan dosis parasetamol terlalu tinggi bila diberikan bersamaan dengan fenitoin.101

Diazepam

Levetiracetam

Lidokain

Midazolam

*) - Berdasarkan awitan kerjanya, pemberian diazepam atau midazolam drip kontinu dapat dipertimbangkan

sebagai lini pertama di fasilitas terbatas yang tidak tersedia fenobarbital intravena / intramuskular.

- Pada fasilitas terbatas, diazepam atau midazolam drip diberikan sebagai anti-kejang lini kedua setelah pemberian fenobarbital intravena atau intramuskular pada lini pertama

- Di Indonesia saat ini hanya tersedia levetiracetam sediaan oral dan belum lazim digunakan lidokain intravena (Lignokain)

270

Tabel 13. Daftar sediaan, dosis, kompatibilitas, persiapan, administrasi, kecepatan pemberian obat, dan contoh soal pemberian anti-kejang pada neonatus Obat Sediaan Dosis

FENOBARBITAL Oral : 30 mg, 50 mg, 100 mg, 15 mg/5 mL (cairan) IV/IM : 200 mg/mL, 200 mg/2 mL, 100 mg/mL Inisial : 20 mg/kgBB IV dalam 10-15 menit. (jika masih kejang diberikan 10-20 mg/kgBB sampai maksimal 50 mg/kgBB dalam 24 jam)108,116,121 Rumatan (diberikan 24 jam setelah loading): 4-6 mg/kgBB/hari terbagi 2 dosis IV/PO155

Kompatibilitas Persiapan

Administrasi dan kecepatan pemberian obat

Contoh soal

IM : 10-15% lebih besar dari sediaan IV108,116,121 Dekstrosa 5%, dekstrosa 10%, NaCl 0,9%154,156 IM : Tidak perlu diencerkan (200mg/mL)154,156 IV : Pengenceran 200 mg dengan cairan pelarut hingga mendapatkan total cairan 10 mL (=20mg/mL)155 Oral : campuran oral pahit dan toleransi buruk. Dosis inisial per oral diberikan via OGT jika bayi memiliki kemampuan mengisap yang buruk155 IV : 1 mg/kgBB/menit atau lebih lambat (Jika keadaan darurat dapat memberikan 2 mg/kgBB/menit)154,156 dengan syringe pump Misal : Berat badan bayi 3 kg Sediaan ampul: 200 mg/mL Pengenceran (menjadi 20mg/mL) Dengan spuit 10 mL ambil obat sebanyak 1mL (200mg) Tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9 mL (sampai total cairan 10mL) Inisial IV : Dosis = 20 mg/kgBB (3 kg x 20 mg → 60 mg) Sediaan setelah pengenceran = 20 mg/mL → Ambil 3 mL untuk mendapatkan dosis 60 mg Berikan secara bolus IV lambat dalam waktu 10-20 menit Jika masih kejang, dapat diberikan bolus tambahan 1020 mg/kgBB (3kg x 10-20 mg → 30-60 mg atau 1,5-3 mL) Rumatan : Dosis = 4-6 mg/kgBB/hari (3 kg x 4-6 mg → 12-18 mg/hari atau 6-9 mg setiap 12 jam) Sediaan setelah pengenceran = 20mg/mL → Ambil 0,30,45 mL untuk mendapatkan dosis 6-9mg Pemberian bolus intravena lambat dalam 10-20 menit setiap 12 jam

271

IM : 10-15% lebih besar dari dosis IV atau 30 mg/kgBB (3kg x 30 mg → 90 mg) Tidak perlu diencerkan Ambil 0,45 mL untuk mendapatkan dosis sebesar 90mg Berikan secara IM

Obat Sediaan Dosis

Kompatibilitas

FENITOIN Oral : 30 mg, 100 mg IV : 100 mg/2 mL, 250 mg/5 mL Inisial : 20 mg/kgBB IV (kecepatan pemberian kurang dari 1 mg/kg/menit, cenderung tidak larut jika dicampur dengan larutan dekstrosa/ aquabides)116 Rumatan (diberikan 12 jam setelah loading) :155 - Usia koreksi <37 minggu • ≤14 hari = 2 mg/kg/dosis, setiap 12 jam IV • >14 hari = 5 mg/kg/dosis, setiap 12 jam IV - Usia koreksi ≥ 37 minggu • ≤14 hari = 4 mg/kg/dosis, setiap 12 jam IV • >14 hari = 5 mg/kg/dosis, setiap 8 jam IV Rumatan dapat diberikan per oral akan tetapi bioavailibilitasnya buruk pada neonatus116 NaCl 0,9% (konsentrasi Fenitoin harus kurang dari 6mg/mL) 154,156

Persiapan

IM : tidak direkomendasikan karena mengakibatkan nyeri dan nekrosis jaringan154,156 IV : Ambil 50 mg fenitoin diencerkan dengan cairan pelarut (NaCl 0,9%) sampai total cairan menjadi 10 mL (=5 mg/mL) 154,156

Administrasi dan kecepatan pemberian obat

Contoh soal

Sediaan obat yang telah diencerkan harus segera digunakan dalam waktu 1 jam154,156 Oral : dilakukan flush melalui OGT sebelum dan setelah memberikan obat, diberikan terpisah dengan enteral feeding IV : kurang dari 1 mg/kgBB/menit (dosis loading pada umumnya diberikan bisa mencapai 1 jam, dan dosis rumatan diberikan dalam 15 menit), dengan syringe pump. Diberikan flush dengan NaCl 0,9% sebelum dan setelah administrasi obat154,156 Misal : Berat badan bayi 3 kg usia koreksi 37 minggu (14 hari) Sediaan ampul : 100 mg/2 mL Pengenceran (menjadi 5 mg/mL)

272

-

Dengan spuit 10 mL ambil obat sebanyak 1mL (50mg) Tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9 mL (sampai total cairan 10 mL)

Inisial IV : Dosis = 20 mg/kgBB (3 kg x 20 mg → 60 mg) Sediaan setelah pengenceran=5 mg/mL → Ambil 12 mL untuk mendapatkan dosis 60 mg Berikan secara bolus IV lambat dalam waktu 20-60 menit Rumatan : Dosis = 4 mg/kgBB/dosis (3 kg x 4 mg → 12 mg diberikan setiap 12 jam IV/PO) Sediaan setelah pengenceran = 5 mg/mL → Ambil 2,4 mL untuk mendapatkan dosis 12 mg Pemberian bolus intravena lambat dalam 15 menit setiap 12 jam

Obat Sediaan Dosis

LEVETIRACETAM Oral : 250 mg, 500 mg IV : saat ini belum tersedia di Indonesia Inisial : 30-50 mg/kgBB intravena (total maksimal pemberian 80-100 mg/kgBB)116,133,134 atau 10-20 mg/KgBB per oral

Kompatibilitas Persiapan Administrasi dan kecepatan pemberian obat

Rumatan (diberikan 8 jam setelah dosis inisial) : 40-60 mg/kgBB per hari IV/PO terbagi dalam 2-3 dosis116,133,134 Oral : dapat diberikan kapanpun bersamaan dengan pemberian enteral feeding

Contoh soal

-

Obat Sediaan

LIDOKAIN IV (Lignocaine/ Xylocard®): ampul 500 mg/5 mL (100 mg/mL) Inisial : 2 mg/kgBB IV dalam 10 menit

Dosis

IV kontinu : 7 mg/kgBB/jam selama 4 jam Kemudian diturunkan setengah dosis menjadi 3,5 mg/kgBB

273

setiap 12 jam selama 24 jam berikutnya109,116,138,139 Kompatibilitas Persiapan Administrasi dan kecepatan pemberian obat

NaCl 0,9%, deskrosa 5% IV inisial : pengenceran 1 mg/mL154 IV kontinu : pengenceran 10 mg/mL Inisial : dalam 10 menit154 IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump dimulai dari 7 mg/kgBB/jam (selama 4 jam) dan diturunkan setengah dosis setiap 12 jam (3,5 mg/kgBB/jam dan 1,75 mg/kgBB/jam) selama 24 jam154

Contoh soal

Diharapkan pemberian lidokain jam109,116,138,139 Misal : Berat badan bayi 3 kg Sediaan : 100 mg/mL

tidak

lebih

dari

30

Pengenceran inisial IV (menjadi 1mg/mL) terdiri dari 2 langkah : Langkah 1 (pengenceran 10 mg/mL) Dengan spuit 10mL ambil obat sebanyak 1mL (100mg/mL) Tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9mL (sampai total cairan 10 mL). Telah didapatkan pengenceran 10 mg/mL. Langkah 2 (pengenceran 1 mg/mL) Dengan cara yang sama, ambil 1 mL cairan lidokain 10 mg/mL yang di dapatkan dari langkah 1, kemudian tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9 mL (sampai total cairan 10 mL). Maka didapatkan pengenceran 1 mg/mL. Ambil cairan yang telah diencerkan sebanyak 1 cc Dosis inisial : 3 kg x 2 mg/kgBB = 6 mg Ambil cairan lidokain yang telah diencerkan (1mg/mL) sebanyak 6 mL Berikan perlahan selama 10 menit dengan pemantauan fungsi kardiovaskular, gunakan syringe pump Pengenceran dan pemberian IV infus kontinu : Dosis IV kontinu : 7 mg/kgBB/jam = 7 mg/kgBB/jam x 3 kg = 21 mg/jam Persiapan dosis selama 4 jam → 84 mg Menghitung kebutuhan obat dalam sediaan 500 mg/5 mL →dibutuhkan 0,84 ml lidokain (84 mg) dan dilarutkan dengan 8,4 mL NaCl 0,9% untuk sediaan 4 jam pertama (total cairan 9,2 mL) Jalankan syringe pump dengan kecepatan 7mg/kg/jam atau setara dengan 2,3 mL/jam selama 4 jam Kemudian diturunkan setengah dosis menjadi 1,1 mL/jam (3,5 mg/kgBB/jam) selama 12 jam, dan 0,5 mL/jam (1,75 mg/kgBB/jam) selama 12 jam berikutnya Pemberian lidokain tidak melebihi 30 jam

274

Obat

MIDAZOLAM

Sediaan Dosis

IV : 5 mg/5 mL (1 mg/mL), 15 mg/3 mL (5 mg/mL) Inisial IV : 0,15 mg/ kgBB Infus kontinu 1 µg/kgBB per menit Jika masih terjadi kejang, dosis inisial dapat diulangi dan dosis infus dapat dinaikkan 0,5-1 µg/kgBB/menit setiap 2 menit hingga mencapai dosis maksimal 18 µg/kgBB/menit 114,116,18,126,139

Kompatibilitas Persiapan

Dekstrosa 5%, dekstrosa 10%, NaCl 0,9%154,156 Inisial IV : jika menggunakan sediaan 5mg/5mL (1mg/mL) tidak perlu diencerkan154,156 IV infus kontinu : Ambil 3mg/kg lalu tambahkan cairan pelarut sampai total cairan menjad 50mL154,156 Dari sediaan tersebut : 1mL/jam = 1 µg/kg/menit Atau dapat dibuat pengenceran "double strength" yaitu : Ambil 3mg/kg lalu tambahkan cairan pelarut sampai total cairan menjad 25mL, dari sediaan tersebut: 0,5 mL/jam = 1 µg/kg/menit

Administrasi dan kecepatan pemberian obat

Contoh soal

IV : diberikan lambat (minimal dalam 5 menit)116,154,156 IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump dimulai dari 0,5-1 µg/kgBB/menit111,116,118,126,139 Misal : Berat badan bayi 3kg Sediaan : 5 mg/5 mL (1 mg/mL) Inisial IV : Dosis = 0,15 mg/kg (3 kg x 0,15 mg → 0,45 mg) Tidak perlu diencerkan Ambil 0,45 mL untuk mendapatkan dosis 0,45 mg Berikan secara bolus intravena dalam waktu 5 menit Jika masih terdapat kejang, dosis loading dapat diulangi Pengenceran dan pemberian IV kontinu : Menggunakan spuit 50 mL, ambil 3 mg/kg (3 kg x 3 mg=9 mg → 9 mL) dicampurkan dengan NaCl 0,9% sampai total larutan menjadi 50 mL Dari sediaan tersebut didapatkan : 1mL/jam = 1 µg/kg/menit -

Jalankan syringe pump dengan kecepatan 1 µg/kg/menit atau setara dengan 1 mL/jam Jika masih kejang, kecepatan dapat dinaikan 0,5-1

275

µg/kg/menit setiap 2 menit hingga mencapai dosis maksimal 18 µg/kgBB/menit

Obat Sediaan Dosis

Kompatibilitas Persiapan

Administrasi dan kecepatan pemberian obat

Contoh soal

DIAZEPAM IV :10 mg/2 mL(5 mg/mL) Hanya untuk di fasilitas terbatas yang tidak ada fenobarbital IV/IM, fenitoin IV atau midazolam IV . Disarankan pemberian terutama dengan infus kontinu Dosis infus kontinu : 0,1-0,5 mg/kg/jam IV120,148,157 Relatif tidak larut dalam seluruh jenis cairan. Dapat digunakan dekstrosa 5% atau 10%120,148,157 IV infus kontinu : Pengenceran dengan dekstrosa 10% sampai didapatkan konsentrasi 0,2 mg/mL* *Sediaan dipersiapkan setiap 6 jam (untuk mencegah pengendapan) IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump** dengan kecepatan dimulai dari 0,1 mg/kg/jam (jika masih terdapat kejang, kecepatan dapat dinaikan 0,1mg/kg/jam, selama RR ≥ 30) **jika tidak terdapat syringe pump elektrik, pemberian IV kontinu dapat dilakukan dengan infusion bag. Akan tetapi harus mempertimbangkan risiko tinggi bahwa administrasi obat tidak terukur dengan tepat (kekurangan/kelebihan dosis). Pengawasan dilakukan dengan ketat untuk menghindari adanya perubahan kecepatan sekecil apapun. Misal : Berat badan bayi 3 kg Sediaan : 10 mg/2 mL (5 mg/mL) Pengenceran dan pemberian IV kontinu : Dosis IV kontinu= 0,1 mg/kg/jam (3 kg x 0,1mg→ 0,3 mg/jam) Persiapan dosis selama 6 jam → 1,8 mg Menghitung kebutuhan obat dalam sediaan 0,2 mg diazepam / mL dekstrosa →dibutuhkan 1,8 mg diazepam dan dilarutkan dengan 9 mL dekstrosa untuk sediaan 6 jam pertama) ➢ Membuat pengenceran 0,2 mg/mL : o Menggunakan spuit 10 mL, ambil 1,8 mg (0,36 mL) obat, lalu campurkan dengan dekstrosa 10% sejumlah 9 mL o Atau menggunakan spuit 10 mL, ambil 1 mL diazepam diencerkan dengan dekstrosa 10% sampai mencapai 10 mL (menjadi 5 mg / 10 mL = 0,5 mg / mL). Ambil 3,6 mL dari campuran tersebut kemudian dilarutkan dengan 9 mL dekstrosa

276

Kecepatan jalannya infus melalui syringe pump dibagi untuk 6 jam. Sehingga bila hasil akhir pencampuran 9,4 mL / 6 = kecepatan 1,6 mL/jam, atau 12,6 mL / 6 = kecepatan 2,1 mL/jam Pantau ketat status pernafasan bayi selama pemberian infus diazepam

-

-

Jika telah mencapai 6 jam, hentikan syringe pump, buang sisa obat dalam spuit dan siapkan sediaan baru untuk 6 jam berikutnya (idealnya dengan menggunakan spuit yang baru)

Obat

PIRIDOKSIN

Sediaan

Oral : 10 mg, 25 mg, 50 mg, 100 mg IV : 100 mg/2 mL Dosis inisial : 50-100 mg IV116,154,158

Dosis

Kompatibilitas Persiapan Administrasi dan kecepatan pemberian obat Contoh soal

Rumatan : 15-30 mg/kgBB/hari (50-100 mg/hari) IV/PO116,154,158 Dekstrosa 5%, NaCl 0,9%154,158 IV : Tidak perlu diencerkan154,158 IV : diberikan secara bolus lambat dalam waktu 5 menit154,158 Misal : Berat badan bayi 3kg Sediaan : 100 mg/2mL IV -

: Dosis inisial = 50-100 mg IV Tidak perlu diencerkan Ambil obat sebanyak 1-2 mL untuk mendapatkan dosis 150-300 mg Berikan secara bolus IV selama 5 menit Dosis rumatan= 50-100 mg/hari (→ 1-2mL per hari)

Obat

MAGNESIUM SULFAT

Sediaan

IV/IM : MgSO4 20% (5 g/25 mL; 0,8 mmol/mL), MgSO4 40% (10 g/25 mL; 1,6 mmol/mL)

Dosis

IV/IM : 0,2-0,4 mmol/kg diulang tiap 12 jam

Kompatibilitas

Dekstrosa 5%, dekstrosa 10%, NaCl 0,9%154

Persiapan

IM : diencerkan hingga 0,8 mmol/mL IV : diencerkan hingga 0,4 mmol/mL

277

Administrasi dan kecepatan pemberian obat Contoh soal

IV : diberikan perlahan selama 20 menit Misal : Berat badan bayi 3 kg (3 x 0,2 mmol = 0,6 mmol) Sediaan : MgSO4 40% (1,6 mmol/mL) Kebutuhan MgSO4 40% sebanyak 0,37 mmol ~ 0,4 ml IM : pengenceran menjadi 0,8 mmol/mL Pemberian MgSO4 40% 0,6 mmol = 0,38 mL (0.6 / 1,6 x 1 mL) diencerkan dengan dekstrose 5% sebanyak 0,8 mL (0,6 / 0,8 x 1 mL) Total cairan = 1.18 mL secara IM dibagi di beberapa tempat suntikan karena maksimal volume obat tiap tempat suntikan adalah 0.5 mL.

IV : pengenceran menjadi 0,4 mmol/mL Pemberian MgSO4 40% 0,6 mmol = 0, 38 mL (0.6 / 1,6 x 1 mL) diencerkan dengan dekstrose 5% sebanyak 1,5 mL (0,6 / 0,4 x 1 mL) Total cairan sebanyak 1.9 mL diberikan IV selama 20 menit Monitor tekanan darah dan tanda-tanda depresi SSP selama pemberian

Obat

KALSIUM GLUKONAS

Sediaan

IV : Ca Glukonas 10% (100 mg/mL)

Dosis

Hipokalsemia simptomatik (kejang) Koreksi cepat dengan IV bolus : 0,5 mL/kgBB IV (Ca glukonas 10%)155 Koreksi perlahan IV : 2 mL/kgBB (Ca glukonas 10%) IV selama 6 jam Rumatan IV : 4,5 mL/kgBB/hari (Ca glukonas 10%)

Kompatibilitas

Dekstrosa 5%, dekstrosa 10%, NaCl 0,9%154,155

Persiapan

IV : Pengenceran obat dengan cairan pelarut sebanyak 1:5

Administrasi dan kecepatan pemberian obat

Bolus IV : diberikan bolus intravena secara perlahan dalam 30-60 menit dengan pemantauan fungsi kardiovaskular (EEG). Hentikan bila terdapat bradikardia Koreksi perlahan IV : diberikan selama 6 jam Rumatan IV : dapat dicampurkan dengan cairan TPN harian

Contoh soal

Misal : Berat badan bayi 3 kg

278

Sediaan : Ca glukonas 10% (100 mg/mL) Pengenceran dan pemberian Loading IV : Bolus IV = 0,5 mL/kg ~ 3 kg x 0,5 mg → 1,5 mL Encerkan 1: 5. Ambil obat sebanyak 1,5 mL dan tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 6 mL (total cairan=7,5 mL) Berikan secara bolus IV perlahan selama 30-60 menit Pengenceran dan pemberian koreksi IV perlahan : Koreksi IV = 2 mL/kg ~ 3 kg x 2 mg → 6 mL Encerkan 1: 5. Ambil obat sebanyak 6 mL dan tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 24 mL (total cairan=30 mL) Berikan secara IV perlahan selama 6 jam Pemberian rumatan IV : Dosis= 4,5 mL/kg ~ 3 kg x 4,5 mg → 13,5 mL Ambil obat sebanyak 13,5 mL dan tambahkan dalam cairan parenteral harian dalam 24 jam Pemberian menggunakan syringe pump dan selama pemberian lakukan pemantauan fungsi kardiovaskular.

279

Bayi dengan klinis kejang atau risiko tinggi kejang: • • • • •

*Cari dan atasi penyebab lain kejang:

Segera konfirmasi dengan EEG/aEEG dan mulai pemantauan EEG/aEEG secara kontinu jika memungkinkan Lakukan pemeriksaan penyebab kejang yang dapat dikoreksi segera (Glukosa darah dan elektrolit*) Mulai pemberian antibiotik jika ada demam atau risiko tinggi infeksi SSP Segera lakukan pungsi lumbal setelah kejang telah terkontrol Pastikan ventilasi dan perfusi adekuat (ABC)

• Hipoglikemia (lihat hal.48) • Hipokalsemia: Kalsium glukonas 10% dengan dosis 0,5 ml/kgBB IV • Hipomagnesemia: Magnesium sulfat 40% dengan dosis 0,2 mmol/kgBB IV

EEG/aEEG untuk memantau respons klinis terhadap pemberian terapi anti-kejang (dipantau tiap 15-20 menit)

Jika terdapat satu tanda kejang pada EEG/aEEG dan tidak ada penyebab yang dapat dikoreksi segera, berikan:

L

FENOBARBITAL Dosis inisial: 20 mg/kgBB IV selama 10-15 menit, dan mulai rumatan 24 jam setelah dosis inisial: 4-6 mg/kgBB/hari terbagi 2 dosis IV/PO

I N I

Cek kadar FENOBARBITAL dalam darah dalam 12 jam setelah pemberian dosis inisial

S

Mulai pemantauan EEG/aEEG kontinu jika belum dilakukan

A

Jika masih kejang: Ulangi FENOBARBITAL selang minimal 15 menit dosis 10-20mg/kgBB IV (dosis maksimal 50mg/kgBB IV dalam 24 jam)

T U

** Pertimbangkan keuntungan dan kerugian dari ketiga pilihan obat anti-kejang: • • • • • • •

Efektivitas mengontrol kejang Toksisitas / efek samping segera dari obat Minimalisasi risiko sedasi/ gangguan respirasi Antisipasi kecepatan respons obat Interaksi obat Kebutuhan pemantauan kadar obat dalam darah Kemampuan untuk melanjutkan obat sebagai terapi rumatan • Pembatasan penggunaan berbagai macam jenis obat anti-kejang (memberikan obat inisial yang juga dapat digunakan sebagai rumatan)

Jika masih kejang: Pertimbangkan 2 pilihan obat**

L

I N

FENITOIN Dosis inisial 20 mg/kgBB IV

LIDOKAIN

dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit

Dosis inisial: 2 mg/kgBB IV dalam 10 menit, dilanjutkan dengan

(frekuensi dan ritme jantung harus dimonitor selama pemberian obat)

I

D

7 mg/kgBB/jam selama 4 jam, kemudian diturunkan setengah dosis setiap 12 jam selama 24 jam

Lakukan pemeriksaan kadar fenitoin total dan bebas pada darah dalam 1 jam, dan pengulangan pemeriksaan pada waktu yang berbeda untuk menilai potensi interaksi obat.

U A

Dilanjutkan dengan rumatan:

Berlanjut ke halaman berikutnya

280

Lanjutan dari halaman sebelumnya

L I N

I

T I

Jika masih kejang: ***Pertimbangkan pemberian PIRIDOKSIN 100 mg IV, kemudian dilanjutkan dengan: MIDAZOLAM Dosis inisial: 0,15 mg/kgBB IV diikuti dengan infus 1 µg/kgBB/menit IV dapat dinaikkan 0,5-1 µg/kgBB/menit tiap 2 menit hingga dosis maksimal 18 µg/kgBB/menit Mulai penyapihan setelah 24 jam bebas kejang pada pemantauan EEG/aEEG. Lanjutkan terapi rumatan yang telah digunakan sebelumnya

• • •

• •

G A

JIKA KEJANG BERHENTI:

Bila masih kejang, tata laksana selanjutnya tergantung kebijakan klinisi

Lakukan pemantauan EEG/aEEG selama minimal 24 jam bebas kejang Jika sedang dalam terapi rumatan Fenobarbital, lakukan pemeriksaan kadar obat dalam darah dalam 4-5 hari Lakukan pemeriksaan lanjutan untuk mempertegas etiologi kejang: Pertimbangkan pencitraan otak (MRI jika memungkinkan), pungsi lumbal sebagai pemeriksaan rutin dan/atau pemeriksaan neurotransmitter, pemeriksaan genetika atau gangguan metabolisme jika diindikasikan Lakukan penyapihan terhadap terapi anti-kejang rumatan sebelum pasien dipulangkan Pertimbangan penyapihan seluruh terapi anti-kejang sebelum pasien pulang, jika: kejadian kejang menurun atau hanya ada satu kali kejang, bebas kejang dalam 4872 jam, dan rendahnya risiko kejang berulang.

*** Pyridoxine dependency harus dipertimbangkan ketika kejang tidak respons terhadap pemberian obat anti-kejang lini kedua. Pemberian Piridoksin harus disertai pengawasan ketat terhadap adanya apne, kejang berulang, dan fungsi kardiovaskular

Gambar 22. Anjuran algoritme tata laksana kejang pada fasilitas lengkap

281

Bayi klinis kejang: • Lakukan pemeriksaan penyebab kejang yang dapat segera dikoreksi (gula darah/elektrolit) • Mulai pemberian antibiotik jika ada kecurigaan infeksi SSP • Pastikan ventilasi dan perfusi adekuat (ABC)

Definisi fasilitas terbatas: ü Tidak tersedia pilihan obat yang lengkap ü Kesulitan memasang akses intravena ü Fasilitas untuk melakukan intubasi tidak tersedia ü Tenaga medis tidak kompeten melakukan intubasi PEMBERIAN MIDAZOLAM & DIAZEPAM TERUTAMA BILA DILANJUTKAN DENGAN PEMBERIAN FENOBARBITAL DAPAT MENYEBABKAN DEPRESI SSP & KARDIORESPIRASI!!!

Jika tidak ada penyebab yang dapat dikoreksi secepatnya, harus segera memberikan obat antikejang akut

Tidak tersedia fenobarbital

Tersedia fenobarbital

ALTERNATIF 1

PILIHAN UTAMA

L I N I S A T U

ALTERNATIF 2

FENOBARBITAL

FENITOIN

Dosis inisial IV: 20 mg/kgBB selama 10-15 menit IM: 30 mg/kgBB

MIDAZOLAM

Dosis inisial: 20 mg/kgBB IV dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit

Dosis inisial: 0,15 mg/kgBB IV

Atau

Dilanjutkan rumatan 24 jam setelah dosis inisial, dosis 4-6 mg/kgBB/hari terbagi 2 dosis IV/PO

Pemberian dosis ulangan tidak dianjurkan apabila kadar fenitoin dalam darah tidak dapat diperiksa

Jika masih kejang, pemberian fenobarbital dapat diulang selang waktu minimal 15 menit

Kemudian dilanjutkan infus 1µg/kgBB/menit.

Bila IV: ditambahkan 10-20mg/kgBB hingga dosis maks 24 jam 50mg/kgBB Bila IM: dapat diulang hanya 1 kali, dengan dosis 30 mg/kgBB

ALTERNATIF 3

DIAZEPAM IV kontinu* dalam dekstrosa 5%, dosis 0,3 mg/kgBB/jam (dosis maksimal 2,75 mg/jam) DIAZEPAM rektal** dosis 0,5 mg/kgBB Monitor napas dan nadi selama pemberian

Masih kejang?

L I N I D U A

RUJUK bila kejang masih belum teratasi

FENITOIN Masih kejang?

MIDAZOLAM

BILA MASIH KEJANG, RUJUK SECEPATNYA à Bila tidak memungkinkan untuk dirujuk, optimalisasi dosis midzolam à Dosis dapat dinaikkan 0,5-1 µg/kgBB/menit tiap 2 menit hingga dosis maksimal 18 µg/kgBB/menit * - Diazepam merupakan pilihan terakhir bila tidak tersedia pilihan apapun. - Pilihan utama adalah infus diazepam kontinu. ** Diazepam rektal diberikan bila sediaan IV tidak tersedia atau sulit memperoleh akses IV

Gambar 23. Anjuran algoritme tata laksana kejang pada fasilitas terbatas

282

3.8 Terapi hipotermia pada bayi asfiksia 3.8.1 Definisi dan tujuan terapi hipotermia Terapi hipotermia merupakan suatu upaya untuk menurunkan suhu inti tubuh hingga 32 - 34oC pada bayi dengan EHI dengan tujuan

mencegah

kerusakan

neuron

otak

akibat

asfiksia

perinatal.159 Mekanisme neuroprotektif terapi hipotermia antara lain menurunkan metabolisme serebral, pelepasan glutamat, produksi oksida nitrit, produksi leukotrien, serta meningkatkan antioksidan endogen dan sintesis protein sehingga menurunkan kejadian edema serebral dan apoptosis neuron pada bayi dengan EHI.160 Pada dasarnya terapi hipotermia ini mencegah dan memperlambat kaskade kerusakan otak yang sedang berjalan, namun tidak akan mempengaruhi sel yang telah mengalami kerusakan ireversibel.34-35,161 Terapi hipotermi dapat dibedakan menjadi 3 fase, yaitu fase induksi, fase maintenance, dan fase rewarming (Gambar 24). Fase induksi / inisiasi merupakan fase awal terapi hipotermia. Pada fase ini suhu normal tubuh bayi diturunkan hingga mencapai 32 - 34oC dengan kecepatan 3oC / jam, sehingga diharapkan target suhu akan tercapai dalam waktu kurang lebih 60 - 90 menit. Target suhu ini dipertahankan selama 72 jam pada fase maintenance, dengan toleransi suhu berkisar antara 0,1 - 0,5oC. Fase ini berlanjut dengan fase rewarming yaitu tubuh bayi dihangatkan kembali hingga mencapai suhu normal (36,5 - 37,5oC), dengan peningkatan suhu tubuh tidak boleh terlalu cepat yaitu 0,5oC tiap 1-2 jam agar tidak terjadi efek samping.162 Fluktuasi suhu pada fase maintenance harus dihindari agar mencegah komplikasi. Suhu lebih tinggi dari suhu target akan meningkatkan metabolisme dan menginduksi kaskade sitotoksik

283

serta kejang, sedangkan suhu lebih rendah dari suhu target meningkatkan

risiko

efek

samping

misalnya

koagulopati,

bradikardia, atau hipotensi.162

Gambar 24. Tiga fase terapi hipotermia

Sumber: Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic hypothermia during transport and in hospital for perinatal asphyxial encephalopathy. Semin Fetal Neonatal Med. 2010;15:276-86.

3.8.2 Metode pendinginan (cooling) pada terapi hipotermia Terapi hipotermia harus dimulai selambat-lambatnya sebelum 6 jam setelah terjadinya cedera hipoksik-iskemik saat / pasca lahir (periode laten / window of opportunity) untuk mencegah kerusakan neuron.163 Efek neuroprotektif yang optimal akan tercapai bila terapi hipotermia dilakukan sedini mungkin pada periode laten ini. Berbagai

studi

menunjukkan

bahwa

keterlambatan

dalam

diagnosis dan inisiasi hipotermia berkaitan dengan penurunan efikasi terapi dengan luaran neuro-developmental yang buruk.164-166 Metode pendinginan (cooling) secara garis besar dibedakan menjadi pendinginan kepala selektif (selective head cooling/ SHC) dan pendinginan seluruh tubuh (whole body cooling/ WBC) atau).

284

Pada fasilitas ideal, SHC dilakukan dengan menggunakan Cool Cap®,

sedangkan

WBC

menggunakan

matras

pendingin

(Blanketrol®, pilihan di Indonesia). Sedangkan WBC di fasilitas terbatas dapat dilakukan dengan misalnya sarung tangan yang diisi dengan air dingin atau gel pack.61,167 Terapi SHC menggunakan penutup kepala (Cool Cap) yang dialirkan air dingin. Unit pendingin dan pompa berbasis kontrol termostat (thermostatically controlled cooling unit and pump) mensirkulasikan air ke penutup kepala (cap) secara merata, dimulai dengan suhu antara 8 - 12oC. Suhu air yang bersirkulasi di dalam cap disesuaikan secara manual untuk mempertahankan suhu rektal antara 34 - 35oC. Selama fase inisiasi dan fase maintenance, suhu cap dinaikkan secara perlahan antara 19-23oC untuk mempertahankan target suhu rektal. Fase rewarming dilakukan dengan melepas cap dan menggunakan overhead heating untuk meningkatkan suhu inti meningkat lebih dari 0,5oC / jam.168 Terapi ini memberikan efek yang lebih besar ke perifer otak daripada struktur otak sentral.61

Gambar 25. Selective head cooling dengan Cool Cap di fasilitas ideal

Sumber:https://encryptedtbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTSncTdRWb oaiBXEVnI5ij2YLCTxXknBs1rlMM1P_zF2phe635_

285

Terapi WBC memberikan efek pendingin yang lebih homogen ke seluruh struktur otak, termasuk bagian perifer dan sentral otak.61

Di fasilitas ideal, metode ini menggunakan matras

pendingin. Bayi dalam keadaan telanjang, di bawah radiant warmer yang telah dimatikan. Matras pendingin / Blanketrol® yang berisi cairan pendingin berbasis kontrol termostat digunakan sebagai alas tidur

bayi,

sedang

probe temperatur

rektal

terpasang

dan

tersambung dengan indikator suhu rektal pada mesin. Suhu cairan pendingin dimulai dari 10 - 20oC saat fase inisiasi dan disesuaikan secara manual untuk mempertahankan suhu rektal antara 33 34oC. Suhu cairan ini diperkirakan mencapai 25 - 30oC pada akhir fase maintenance.61

Gambar 26. Whole body cooling menggunakan Blanketrol® di fasilitas ideal

Sumber: Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo

Mekanisme metode SHC didasarkan pada fisiologi otak bayi yang memproduksi 70% dari total panas tubuh. Pada cedera hipoksik-iskemik bagian otak sentral lebih rentan terhadap kerusakan otak.

Studi menunjukkan bahwa ternyata SHC

286

cenderung mendinginkan otak perifer dibandingkankan sentral (thalamus, kapsula interna, ganglia basalis). Sedangkan, metode WBC mencapai efek hipotermi homogen pada seluruh struktur otak, sehingga memungkinkan derajat hipotermi lebih dalam dan mencapai

struktur

otak

internal.

Beberapa

penelitian

memperlihatkan kesan potensi yang lebih unggul pada WBC dibandingkan SHC, namun hal ini belum dapat disimpulkan terkait metode penelitian yang bersifat retrospektif.169 Kedua metode cooling ini secara umum menghasilkan penurunan aliran darah otak dan ambilan oksigen yang sama serta tidak ditemukan perbedaan yang signifikan terkait kadar penanda inflamasi, mortalitas, serta tumbuh kembang pada usia 12 bulan.169,170

Metode hipotermia terapeutik yang dilakukan dalam 6 jam setelah terjadinya cedera hipoksik-iskemik pascalahir selama 72

jam

meningkatkan

kesintasan

bayi

tanpa

disabilitas

perkembangan saraf (neurodevelopment) yang berat. Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Tidak terdapat perbedaan signifikan terkait kadar penanda inflamasi, mortalitas, serta tumbuh kembang pada usia 12 bulan pada SHC dan WBC Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

287

3.8.3 Indikasi dan kontraindikasi melakukan terapi hipotermia Terapi hipotermia dilakukan pada bayi dengan indikasi sebagai berikut: 1. Usia gestasi >35 minggu.171,172 2. Dimulai sebelum bayi berusia 6 jam.171,172 3. EHI derajat sedang atau berat* a. Tanda dan gejala sesuai dengan EHI derajat sedang atau

berat, dan / atau b. Tanda ensefalopati pada amplitudo EEG (aEEG) 4. Bukti asfiksia peripartum (minimal 1)*, yaitu :51,61,171-175 •

Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, ATAU



Bayi masih membutuhkan ventilasi mekanik (balon / Tpiece

resuscitator

dengan

sungkup

atau

intubasi

endotrakeal) atau resusitasi pada menit ke-10 •

pH darah tali pusat <7,0 atau pH arteri <7,0 atau defisit basa >16 dalam 60 menit pertama setelah lahir

Sampai saat ini bukti ilmiah menunjukkan efek proteksi terapi hipotermia pada EHI sedang dan berat yaitu pada defisit basa >16 pada analisis gas darah. Kriteria ini dipakai secara luas di negara maju, hanya sebagian perawatan neonatal yang menggunakan defisit

basa

>12.61,175

Namun,

sebuah

systematic

review

melaporkan bahwa 25% bayi dengan EHI ringan mengalami luaran neurodevelopmental yang buruk.176 Pada bayi tersebut hasil pemeriksaan neurologis dan monitor amplitude

EEG dapat

mengalami progresivitas menjadi EHI berat dalam beberapa jam kehidupan.

288

Kontraindikasi terapi hipotermia meliputi :51,171, 172 1. Jika hipotermia terapeutik tidak dapat dimulai pada usia

<6 jam 2. Berat lahir <1800 - 2000 gram (tergantung kemajuan dan

kesiapan masing-masing pusat kesehatan) 3. Kebutuhan FiO2 >80% 4. Kelainan kongenital mayor 5. Koagulopati berat secara klinis 6. Ancaman kematian tampaknya tidak dapat dihindari

Atresia ani (dapat dipertimbangkan pemasangan probe suhu di esofagus)

3.8.4 Keputusan melakukan terapi hipotermia Keputusan untuk memulai terapi hipotermia harus didiskusikan dengan konsultan neonatologi pada sarana pelayanan kesehatan level 3 dan orangtua bayi. Bila pada suatu fasilitas kesehatan tidak memungkinkan untuk dilakukan prosedur ini, bayi harus dirujuk ke rumah sakit dengan unit perawatan neonatus level 3 sesegera mungkin tanpa menunda passive cooling.51 Petunjuk terpenting bagi para klinisi untuk mencegah keterlambatan diagnosis asfiksia dan inisiasi terapi hipotermia tercantum pada indikasi terapi hipotermia (tanda *), yaitu bukti asfiksia (butir 4) dan ensefalopati sedang atau berat (butir 3) berdasarkan

pemeriksaan

neurologis

atau

amplitude

EEG

(bedside). Pemeriksaan tersebut harus dipantau terus sejak dicurigai asfiksia sampai usia 6 jam sebagai periode emas selambatlambatnya untuk memulai terapi hipotermia. Sebagai contoh bila saat usia 1 jam pemeriksaan neurologis atau amplitudo EEG menujukkan EHI ringan, maka bayi terus dipantau dan diulang

289

kembali pemeriksaan tersebut sampai usia 6 jam sebelum memutuskan untuk tidak melakukan terapi hipotermia. Pada keadaan bayi yang terlambat dilakukan terapi hipotermia saat usia 6 jam, perlu dipertimbangkan manfaat dan efikasinya. Sebuah uji klinis acak terkendali yang membandingkan hasil luaran neonatus cukup bulan usia 6-24 jam dengan EHI yang dilakukan terapi hipotermia dibandingkan dengan yang tidak dilakukan terapi hipotermia, terdapat 76% probabilitas adanya penurunan risiko mortalitas dan kecacatan pada yang dilakukan terapi hipotermia. Sedangkan pada follow up pada usia 18-22 bulan, terdapat 64% probabilitas penurunan risiko mortalitas dan kecacatan sebanyak 2%. Berdasarkan hasil studi tersebut dapat disimpulkan bahwa ada keuntungan yang didapatkan pada bayi dengan EHI

yang

mendapatkan terapi hipotermia walaupun telah berusia lebih dari 6 jam, namun masih memerlukan studi lebih lanjut untuk menilai keefektivitasannya.177

a. Pemeriksaan neurologis Berbagai sistem skoring standar mengenai status neurologis bayi, dapat diandalkan untuk menentukan derajat EHI bila penunjang diagnostik lain tidak tersedia.

Sarnat

staging

(Tabel

12.)

merupakan sistem skoring yang umum digunakan dalam praktik klinis.

290

Tabel 14. Sarnat staging EHI derajat sedang

EHI derajat berat

Kesadaran

Letargik

Koma/ tidak sadar

Aktivitas

Menurun

Menghilang

Postur

Fleksi distal

Deserebrasi (ekstensi menyeluruh)

Tonus

Hipotonik

Flaksid

Refleks primitif

Reflek hisap,gag& Moro melemah

Refleks hisap, gag& Moro menghilang

Pupil

Kontriksi

Deviasi, dilatasi, tanpa reaksi

Frekuensi jantung

Bradikardia

Bervariasi

Pernapasan

Periodik

Apneu

Keterangan: diagnosis dengan Sarnat staging ditegakkan jika terdapat minimal 3 tanda

Sistem skoring ini dilaporkan memiliki korelasi signifikan dengan cedera hipoksik-iskemik otak serta luaran neurologik yang buruk pada kasus EHI sedang atau berat.178,179 Sistem skoring lain adalah nilai Thompson (Tabel 13.). Suatu studi menunjukkan bahwa nilai Thompson lebih dari 6 berkaitan dengan abnormalitas aEEG dalam 6 jam pertama kehidupan (sensitivitas 100% spesifisitas 67%) serta merupakan penanda sensitif akan terjadinya EHI berat atau sedang dalam waktu 72 jam.180 Nilai Thompson >6 merupakan patokan untuk memulai terapi hipotermia pada bayi dengan EHI. Evaluasi derajat EHI dengan sistem skoring juga memiliki keterbatasan berupa kesulitan untuk menilai beberapa parameter klinis seperti ketelitian penilaian tonus dan refleks primitif segera setelah lahir dan pada bayi yang memperoleh sedasi.181 Dengan demikian, penentuan derajat EHI dengan pemeriksaan lain (aEEG dan

radiologi)

yang

lebih

akurat

sangat

dianjurkan

jika

291

memungkinkan. Sarnat staging maupun nilai Thompson sebaiknya dievaluasi ulang saat jam ke-6 setelah lahir pada bayi dengan EHI ringan yang belum diberikan terapi hipotermia karena derajat EHI dapat mengalami perburukan pada jam-jam pertama kehidupan. Pemeriksaan neurologis pada neonatus merupakan kemampuan klinis yang terbentuk melalui pajanan dan pengalaman, sehingga sebaiknya dilakukan oleh spesialis neurologi atau setidaknya orang yang terlatih dan terbiasa mengevaluasi status neurologi pada bayi. Tabel 15. Nilai Thompson Tanda

Nilai Thompson 0

1

2

3

Tonus

normal

Hiper

hipo

flaksid

Tingkat kesadaran

normal

hyperalert, memandangi

letargik

koma

Kejang

tidak ada

<3x/hari

>2x/hari

Postur

normal

menggengam, gerakan seperti mengayuh sepeda

fleksi kuat di distal

Refleks Moro

normal

Parsial

tidak ada

Grasp reflex

normal

Buruk

tidak ada

Sucking reflex

normal

Buruk

tidak ada menggigit

Respirasi

normal

hiperventilasi

apne sesaat

Ubun-ubun

normal

datar, tidak tegang

tegang

deserebrasi

apne atau dalam IPPV

Nilai total

*IPPV= intermittent positive pressure ventilation; nilai ringan, 11-14 = EHI sedang,

10 = EHI

15 = EHI berat.

Sumber: Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic encephalopathy score in predicting neurodevelopmental outcomes among infants with birth asphyxia at the Muhimbili National Hospital, Dar-es Salaam Tanzania; 2008.182

292

Evaluasi nilai Thompson dilakukan setiap hari, diplot dalam grafik seperti grafik 1.

Skor Thompson

Skor Thompson 15 10 5 0 1

2 3 Usia bayi (hari ke- )

4

Grafik 1. Pemantauan nilai Thompson harian

Nilai Thompson >6 atau Sarnat stage 2-3 (sedang-berat) pada usia 3-5 jam merupakan prediktor sensitif dari gambaran abnormal aEEG pada usia 6 jam atau ensefalopati sedang-berat dalam 72 jam setelah kelahiran. Penilaian Thompson dini bermanfaat untuk penentuan apakah bayi akan dilakukan terapi hipotermia. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

b. Pemeriksaan amplitude-integrated electroencephalography (aEEG) EEG konvensional telah lama digunakan untuk mengevaluasi fungsi

otak

neonatus

dan

sebagai prediktor

luaran

fungsi

perkembangan sistem saraf yang mengalami cedera otak.183,184 EEG juga dapat memberikan konfirmasi apakah gejala yang tampak adalah kejang. Tidak semua manifestasi kejang dapat terdeteksi dengan EEG, seperti kejang subtle. Namun penggunaan EEG sangat kompleks, selain itu perlu keahlian khusus dokter ahli saraf anak di perawatan intensif neonatus, sehingga EEG kurang dapat diaplikasikan

secara

bedside.

Amplitude-integrated

293

electroencephalography

(aEEG)

merupakan

alat

pemeriksaan

seperti EEG dengan metode yang disederhanakan, dapat merekam aktivitas fungsi otak secara kontinu, serta neonatologis dapat menganalisis

hasilnya

secara

bedside.187

Perekaman

dapat

berlangsung terus menerus selama dibutuhkan dan pemasangan elektroda lebih mudah daripada EEG konvensional.183,185 Berbagai studi menunjukkan bahwa aEEG dapat menentukan tingkat keparahan ensefalopati dalam beberapa jam pertama kehidupan.

Pemeriksaan

ini

memiliki

spesifisitas

88%

dan

sensitivitas 91% dalam mendiagnosis EHI dalam 6 jam setelah lahir, sehingga sangat membantu untuk menentukan kebutuhan terapi hipotermia. Pemantauan fungsi otak dilakukan secara kontinu dengan cara memasang elektroda parietal yang tersambung dengan monitor aEEG (Gambar 27.). Derajat ensefalopati ditentukan berdasarkan pola gelombang yang ditemukan (Gambar 28), meliputi continuous normal voltage (CNV), discontinous normal voltage (DNV), burst suppression (BV), low voltage (LV), dan flat trace (FT). Pola CNV dan DNV dianggap

normal, sedangkan pola BV, LV, dan FT

menunjukkan abnormalitas sedang/berat dan merupakan indikasi terapi hipotermia pada kasus EHI. aEEG juga dapat mendeteksi beberapa

aktivitas

kejang

walaupun

tidak

sebaik

EEG

konvensional.186 Interpretasi hasil aEEG sangat tergantung pada pengalaman

dan

kemampuan

pembaca,

sehingga

sebaiknya

dikonsultasikan pada spesialis terkait. Pemeriksaan aEEG juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis pada bayi dengan EHI. Suatu studi melaporkan bahwa aEEG memiliki positive predictive value hingga 80% dalam memprediksi kematian atau disabilitas pada bayi EHI yang tidak mendapat terapi hipotermi.187 Gabungan pemeriksaan klinis derajat ensefalopati dan kelainan aEEG semakin meningkatkan akurasi

294

prediksi.188 Penelitian lain mengemukakan bahwa gelombang aEEG abnormal persisten lebih dari 24 jam pada bayi EHI dengan normotermia dan 48 jam dengan hipotermia berkaitan dengan luaran yang buruk.189

A

B

Gambar 27. Amplitude integrated electroencephalography (aEEG)A dan electroencephalography (EEG)B Sumber: The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence for therapeutic hypothermia for near-term infants with moderate or severe hypoxic ischaemic encephalopathy. Dalam: The royal women’s hospital neonatal service: Clinician’s handbook. Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 105-8.

Metode kombinasi aEEG dan pemeriksaan neurologis sesaat setelah kelahiran meningkatkan kemampuan identifikasi bayi risiko tinggi dan menurunkan kesalahan identifikasi (falsely identified) bayi dibandingkankan dengan evaluasi dengan salah satu metode saja. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

295

Gambar 28. Klasifikasi trace berdasarkan pengenalan pola gelombang dan voltase untuk penilaian aEEG pada usia 3-6 jam.119 Sumber: Thoresen M, Westas LH, Liu X, Vries LS. Effect of hypothermia on amplitude integrated encephalogram in infants with asphyxia. Pediatrics. 2010; 126: 131-139

c. Pemeriksaan lainnya •

Pemeriksaan laktat serum Pemeriksaan lain yang dapat digunakan sebagai bukti asfiksia peripartum adalah kadar laktat serum. Produksi laktat serum meningkat akibat metabolism anaerob pada kondisi hipoksia dan perfusi jaringan yang buruk. Kadar laktat serum yang tinggi merupakan prediktor tingkat keparahan asfiksia janin, serta berkaitan dengan mortalitas dan

luaran

neurodevelopmental

pada

bayi

dengan

hipoksemia.31,190,191 Suatu studi memperlihatkan bahwa kadar serum laktat > 7,5 mmol/L dalam 1 jam pertama

296

kehidupan dapat memprediksi EHI sedang-atau-berat lebih akurat dibandingkan pH dan defisit basa (sensitivitas 94%, spesifisitas 67%).192 Pada fasilitas lengkap dapat dilakukan pemeriksaan AGD dilengkapi pemeriksaan laktat bedside untuk

mempercepat

diagnosis

dan

keputusan

terapi

hipotermia. •

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) kepala USG kepala seringkali dipilih sebagai pemeriksaan pencitraan awal dalam menilai kelainan otak pada neonatus karena bersifat non-invasif dan dapat dilakukan bedside. Kelainan USG

berupa

gambaran

infark,

edema

serebral

dan

perdarahan intrakranial dapat ditemukan pada kasus EHI. Pemeriksaan

ini

sangat

tergantung

pada

kemampuan

operator serta memiliki sensitivitas yang rendah dalam menilai cedera hipoksik-iskemik otak pada bayi cukup bulan, sehingga penggunaannya dalam mendeteksi EHI sangat terbatas. Abnormalitas USG kepala dapat dikombinasikan dengan

pemeriksaan

neurologi

untuk

meningkatkan

kemampuan prediksi luaran neurodevelopmental pada bayi dengan EHI.187,193 •

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) MRI merupakan pemeriksaan radiologi dengan sensitivitas dan spesifisitas optimal dalam menentukan tingkat dan luas kerusakan struktur otak pada EHI. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan otak lain, memprediksi prognosis, dan memperkirakan penyebab serta saat terjadinya cedera hipoksik-iskemik.181,194,195 Gambaran MRI sangat bervariasi, tergantung pada maturitas otak, tingkat keparahan dan durasi asfiksia, serta

297

saat pemeriksaan dilakukan. Akibat kondisi hipoksik-iskemik ringan hingga sedang, kelainan terutama ditemukan pada korteks parasagittal dan substansia alba subkortikal yang terletak diatas zona vaskular (zona watershed). Cedera yang lebih berat terutama mempengaruhi substansia nigraputamen posterior dan thalamus ventrolateral (basal gangliathalamus pattern / BGT), hipokampus, dan batang otak bagian dorsal, dengan kelainan difus substansia nigra dan berlanjut secara kronis menjadi ensefalopati multikistik. Kelainan berat lain yang dapat ditemukan adalah hilangnya intensitas signal kapsula internal posterior (PLIC).192,194,195 Pola kerusakan otak ini juga memberikan prediksi yang signifikan terkait luaran EHI. Kelainan korteks parasagittal umumnya

menimbulkan

gangguan

neurodevelopmental

ringan-sedang (motorik dan kogntif) dan cenderung lebih baik dibandingkan kelainan inti substansia nigra. Kelainan intensitas pada PLIC merupakan penanda akurat luaran neurodevelopmental yang buruk, sedangkan cedera BGT meningkatkan risiko kematian, ensefalopati berat, luaran neurologi buruk, defisit motorik berat, dan beban terkait kejang.194 Saat ini pemeriksaan MRI merupakan komponen penting yang harus dipertimbangkan, mengingat hanya sedikit kelainan yang dapat ditemukan pada hari-hari pertama kehidupan walaupun terjadi cedera otak signifikan. Kelainan akibat cedera perinatal secara umum dapat terlihat apabila modalitas MRI konvensional (T1 dan T2-weighted) dilakukan antara 1-2 minggu setelah lahir. Pada modalitas MRI lain, yaitu diffusion-weighted imaging (DWI), kelainan dapat ditemukan lebih dini dalam 6 jam setelah lahir, dengan

298

kelainan lebih jelas antara 2-4 hari dan berakhir dalam 7-14 hari.195 •

Pemeriksaan near infrared spectroscopy (NIRS) serebral NIRS serebral merupakan alat non-invasif yang dapat memantau secara kontinu terhadap saturasi hemoglobin, volume darah, dan metabolisme / penghantaran oksigen serebral.116

Cara

kerja

alat

ini

berdasarkan

selisih

penyerapan spektrum sinar infrared oleh hemoglobin yang teroksidasi (HbO2) dan yang tidak teroksigenasi (Hb) pada jaringan otak berdasarkan hukum Beer-Lambert.116, 196-198 Sebuah

studi

memperlihatkan

adanya

kecenderungan

perubahan saturasi serebral (rSO2) dan fraksi ekstraksi jaringan serebral (FTOE) yang diukur dengan menggunakan NIRS pada neonatus dengan asfiksia berat. Dalam usia 24 jam pertama, mulai terlihat

kecenderungan

peningkatan

rSO2

dan

penurunan

FTOE.199,200 Fenomena ini disebabkan oleh kematian sel jaringan otak yang disebabkan oleh iskemia jaringan diikuti dengan penurunan ambilan oksigen di otak (secondary energy failure).201,202 Nilai rSO2 yang tinggi dalam usia 24 jam pertama merupakan prediktor yang sensitif untuk luaran yang buruk. Penggunaan NIRS bersamaan dengan aEEG memiliki fungsi prediktor luaran jangka pendek lebih baik dibandingkan dengan hanya satu modalitas pemeriksaan. pemeriksaan

Pada NIRS

bayi

yang

bersamaan

dilakukan dengan

terapi

aEEG

hipotermia,

memiliki

nilai

prediktor luaran yang baik terutama pada usia 18 dan 60 jam setelah terapi hipotermia.200-204

299

Nilai laktat tertinggi dalam satu jam pertama kehidupan dan pemeriksaan serial laktat merupakan prediktor penting EHI sedang-berat. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemeriksaan prognostik yang dilakukan secara kombinasi lebih baik daripada pemeriksaan tunggal. Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Sebagai penuntun untuk mempermudah penegakan diagnosis, dibuatlah algoritme praktis sebagai berikut (Gambar 29 dan 30).

300

Gambar 29. Algoritme diagnosis asfiksia dan terapi hipotermia

301

Bayi asfiksia (terkonfirmasi) lahir di luar RS

Tiba di RS rujukan dengan pemberitahuan sebelumnya?

tidak

ya

Bayi telah ditransfer dalam suhu dingin/normal?

tidak

Nilai usia bayi (dari lahir sampai tiba di RS rujukan)

ya <6 jam • Catat kapan terapi hipotermi dimulai • Lanjutkan terapi hipotermia sampai 72 jam

Mulai terapi hipotermia

>6 jam

Tidak memenuhi kriteria terapi hipotermia

Gambar 30. Algoritme alur terapi hipotermia pada bayi rujukan

3.8.4 Peralatan yang diperlukan dalam terapi hipotermia Peralatan yang perlu dipersiapkan untuk melakukan terapi hipotermia pada fasilitas ideal adalah sebagai berikut:171,172 •

Radiant warmer



Pengatur suhu



Probe suhu rektal ukuran 9Fr (termistor rektal)*



Kabel penghubung probe ke pengukur / pengatur suhu*



Blanketrol® *



Lubrikan



Plester



Monitor kardiorespirasi

302

Pada fasilitas terbatas, sebagian peralatan tersebut tidak tersedia sehingga perlu disesuaikan sebagai berikut: •

Radiant warmer



Termometer rektal (yang dapat mengukur suhu hingga 32oC)



Gel pack adalah sumber dingin yang direkomendasikan dibandingkan ice pack karena cair lebih lama. Bila gel pack tidak tersedia, maka pilihan terakhir dapat digunakan sarung tangan berisi air dingin



Lubrikan



Plester



Monitor kardiorespirasi Secara umum terdapat dua sistem pengatur suhu yang dapat

digunakan, yaitu sistem manual dan sistem servo. Pada sistem manual suhu diatur oleh tenaga kesehatan berdasarkan hasil pembacaan di monitor, sedangkan sistem servo secara otomatis akan mengatur suhu alat pendingin dan menyesuaikan bila suhu tubuh bayi terlalu rendah atau terlalu tinggi dibandingkan kisaran suhu target (32 - 340C). Pengaturan suhu secara manual menyebabkan fluktuasi suhu yang lebih besar sehingga sistem servo lebih cenderung dipilih.162 Selama proses pendinginan, probe suhu dapat diletakkan di rektal atau esofagus. Pengukuran suhu aksila tidak dianjurkan karena berkaitan dengan variasi suhu yang besar serta tidak mewakili suhu inti.205,206 Pada pusat pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas, probe suhu rektal dapat diganti dengan termometer yang mampu mengukur suhu hingga 32oC, sedangkan blanketrol® digantikan dengan sarung tangan yang diisi air dingin atau gel pack.

303

3.8.5 Prosedur terapi hipotermia – fasilitas lengkap Berikut

ini

merupakan

prosedur

terapi

hipotermia

dengan

menggunakan matras penghangat (Blanketrol®).171,172 a. Memulai cooling 1.

Matikan radiant warmer dan pajankan bayi ke suhu ruangan (passive cooling). Passive cooling dapat dilakukan sejak di ruang persalinan. Setelah itu bayi dapat dipindahkan ke unit perawatan intensif dan diletakkan di bawah radiant warmer bed yang dimatikan.

2.

Bayi dalam keadaan telanjang, tanpa popok, topi, ataupun selimut.

3.

Perawatan bayi dalam ventilator, jaga suhu humidifier di suhu normal 36,5 - 37,5oC.

4.

Lakukan pemantauan tekanan darah kontinu dengan memasang arterial line (umbilikal lebih disukai) untuk 72 jam cooling dan 12 jam rewarming. Akses ini juga dapat digunakan untuk analisis gas darah (AGD) karena lebih baik daripada AGD kapiler (yang mungkin terpengaruh oleh penurunan perfusi perifer akibat cooling).

5.

Lakukan pemeriksaan laboratorium : AGD, laktat, darah perifer lengkap (DPL), PT, APTT, glukosa, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, elektrolit (Na, K, Cl, Ca ion). •

Pemeriksaan ini diulang selama 3 hari pertama (hari 0, hari 1, hari 2).



Pada hari 3 pemeriksaan yang perlu dilakukan lagi adalah: DPL, AGD, glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin, PT, APTT (sesuai klinis).

304

Uraian pemeriksaan penunjang dapat dilihat pada tabel di bawah ini, dan dilakukan sesuai klinis dan indikasi:171,172

Tabel 16. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan dalam terapi hipotermia Hari 0

Hari 1

Hari 2

Hari 3

Hari 4 - 7

(masuk perawatan) AGD Laktat DPL PT, APTT GDS SGOT,SGPT Ur, Cr Elektrolit EKG Echo EEG USG kepala MRI kepala

Sumber:Lambrechts H, Bali S, Rankin S. Therapeutic hypotermia for infants ≥35 weeks with moderate / severe hypoxic ischaemic encephalopathy (EHI) clinical guideline; 2010 dan The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence for therapeutic hypothermia for near-term infants with moderate or severe hypoxic ischaemic encephalopathy. Dalam : The Royal Women’s Hospital neonatal service: Clinician’s handbook; 2008171,172

6.

Masukkan probe rektal ke anus sedalam minimal 5 cm (fiksasi menggunakan plester, sekitar 10 cm ke paha atas bagian dalam)-kedalaman ini penting untuk pengukuran suhu inti secara

akurat.

Probe

tidak

perlu

dikeluarkan

untuk

dibersihkan berkala.

305

7.

Hubungkan probe rektal ke mesin pengukur suhu. Jika suhu rektal lebih dari 35,5oC, nyalakan blanketrol® dengan target suhu 33-34oC (active cooling)

8.

Jika bayi tampak tidak nyaman, pertimbangkan morfin dan / atau

midazolam

(bila

menggunakan

ventilator)

atau

parasetamol (dapat diberikan per rektal, walaupun terpasang probe rektal). 9.

Awasi dan tata laksana efek samping cooling yang terjadi: •

Bradikardia sinus (laju nadi <80 kali/menit)



Pemanjangan interval QT



Aritmia

yang

memerlukan

intervensi

medis

atau

penghentian cooling

10.



Hipotensi (MAP <40) yang memerlukan inotropik



Anemia (Hb <10 g/dL, Ht <30%)



Leukopenia (<5000/uL)



Trombositopenia (<150.000/uL)



Koagulopati



Hipoglikemia



Hipokalemia



Peningkatan laktat (>2 mmol/L)



Penurunan fungsi ginjal



Sepsis

Pemeriksaan EKG dan USG kepala dapat dilakukan pada hari-1 (usia

24 jam), jika terdapat indikasi. aEEG dapat

dipasang untuk melihat baseline gelombang otak dan memantau timbulnya kejang. 11.

Suhu bayi dipertahankan antara 33 - 34oC selama 72 jam, yang dilanjutkan dengan prosedur rewarming.

306

b. Memulai rewarming 1.

Rewarming dimulai setelah cooling dilakukan selama 72 jam.

2.

Tempelkan skin probe dari radiant warmer ke kulit bayi dan nyalakan radiant warmer dengan target suhu 34,5oC.

3.

Naikkan set suhu 0,5oC setiap 2 jam sampai tercapai suhu kulit 36,50C dan suhu rektal 37oC.

4.

Rewarming memerlukan waktu 6-12 jam.

5.

Rewarming harus dilakukan dengan perlahan. Rewarming yang terlalu cepat dapat mengakibatkan penurunan tajam tekanan darah atau gangguan elektrolit. Jika kondisi bayi tampak tidak "baik", penurunan suhu dapat diperlambat.

6.

7.

Awasi dampak rewarming yang dapat terjadi, yaitu: •

Hipotensi



Gangguan elektrolit



Hipoglikemia (karena peningkatan metabolisme)



Kejang



Peningkatkan konsumsi oksigen dan produksi CO2

Pemantauan suhu rektal dilanjutkan sampai 12 jam setelah rewarming dimulai. Buang probe suhu rektal setelah selesai digunakan. Kabel dan mesin pengukur suhu disimpan kembali.

Prinsip perawatan bayi dengan terapi hipotermia tidak jauh berbeda dengan perawatan bayi secara umum, antara lain menjaga saturasi kadar oksigen dan karbondioksida dalam rentang normal, memberi bantuan ventilasi jika diperlukan, mamantau fungsi kardiovaskular secara rutin, serta menggunakan inotropik sesuai indikasi. Kecukupan cairan juga harus diperhatikan melalui

307

pemberian cairan mulai dari 40-60 ml/kg/hari dan disesuaikan dengan diuresis serta insensible water loss, serta pemantauan natrium serum. Seluruh rangkaian terapi hipotermia harus diawasi dengan ketat dan didokumentasikan dalam catatan medis harian pasien oleh dokter dan/atau perawat, dengan menambahkan catatan suhu rektal per jam. Catatan episode kejang sebaiknya dibuat terpisah. Dokter harus menuliskan tanggal dan jam dimulainya cooling, rewarming, dan saat rewarming selesai.

3.8.6 Prosedur terapi hipotermia - fasilitas terbatas Beberapa metode cooling lain yang pernah terbatas yaitu dengan penggunaan phase changing material (PCM) (gambar 31) dan botol berisi air dingin (gambar 32).84,85

Gambar 31. Phase changing material (PCM) terbuat dari salt hydride, asam lemak, ester atau paraffin dapat menyerap suhu lingkungan yang berdekatan. Matras dengan material PCM telah digunakan di beberapa uji klinis di India untuk active cooling di fasilitas terbatas

308

Gambar 32. Penggunaan botol berisi air dingin Botol diisi air dingin bersuhu 25oC dan diletakkan di samping bayi

Panduan agar terapi hipotermia tetap dapat dilakukan di sarana pelayanan kesehatan terbatas dengan prinsip yang sama seperti pada sarana kesehatan lengkap. Langkah-langkah yang dilakukan meliputi:207,208 1. Prosedur metode cooling yang disarankan adalah passive

cooling dengan menjaga bayi agar berada dalam suhu 3536°C. Memulai passive cooling dengan cara mematikan radiant warmer dan memaparkan bayi ke suhu ruangan. Bayi sedapat mungkin dalam keadaan telanjang. Hati-hati pada pemaparan di ruangan dengan air conditioner akan terjadi overcooling. 2. Lakukan active cooling dengan menggunakan cool pack

(gambar 33) atau sarung tangan berisi air dengan suhu ~100C (jika tidak memiliki cool pack) (gambar 34), yang telah didinginkan di lemari pendingin (BUKAN dalam freezer). Sebanyak 4-6 buah cool pack atau sarung tangan berisi air dingin tersebut dapat diletakkan di dada, leher, dan di bawah bahu bayi (tabel 17).

309

Gambar 33. Whole body cooling dengan cool pack Sumber: https://www2.health.vic.gov.au/hospitals-and-health-services/patientcare/perinatal-reproductive/neonatal-ehandbook/procedures/initiationhypothermia-scn

Gambar 34. Whole body cooling di fasilitas terbatas dengan sarung tangan berisi air dingin Terapi hipotermia menggunakan sarung tangan yang diisi dengan air dingin. a. Posisi sarung tangan, b. Sarung tangan berisi air dingin harus dilapisi kain/linen sebelum diletakkan di atas badan bayi agar tidak mengembun.

a

b

Sumber: Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo

Tabel 17. Panduan active cooling dengan menggunakan cool packs Indikator Suhu (0C)

Area tubuh

>37,0

Jumlah cool packs yang dibutuhkan 4

36,1-37,0 35,1-36,0 34,1-35,0 33,0-34,0

3 2 1 0

Bahu, leher, badan Bahu, badan Badan Tidak ada

Kepala, bahu, leher, badan

Sumber: King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic ischemic encephalopathy clinical guidelines. 2014 [accessed on October 8th 2016]. Available at: http://www.kemh.health.wa.gov209

310

3. Pantau suhu rektal menggunakan termometer yang mampu

mengukur suhu hingga 32oC (Gambar 35) dan pertahankan target suhu antara 33 - 34oC selama 72 jam. Jika suhu rektal lebih rendah dari 33,5oC, jauhkan gel pack dari tubuh bayi, nyalakan radiant warmer and atur tingkat kehangatan secara manual untuk mencapai target suhu. Setelah suhu rektal mencapai 34oC, matikan radiant warmer dan letakkan kembali gel pack pada tubuh bayi sesuai kebutuhan. Gambar 35. Termometer Termometer khusus untuk mengukur suhu rektal yang dapat mengukur suhu hingga 32oC. Sumber: Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo 4. Rewarming dilakukan dengan menempatkan bayi di bawah

radiant warmer atau di dalam inkubator dengan servocontrolled. Target suhu rektal dinaikkan 0,5oC setiap 2 jam sampai tercapai suhu kulit 36,50C dan suhu rektal 37oC. Waktu yang diperlukan untuk rewarming adalah 6 - 12 jam. 5. Awasi dampak rewarming yang mungkin terjadi (hipotensi,

hipoglikemia, kejang, gangguan elektrolit, dan peningkatan kebutuhan oksigen). Rewarming tidak boleh dilakukan terlalu cepat untuk mencegah efek yang merugikan. Bila terdapat komplikasi saat rewarming maka proses menaikkan suhu harus diperlambat menjadi naik 0,5oC setiap 4-8 jam. Pemantauan suhu rektal disarankan tetap dilakukan hingga 12 jam setelah rewarming.

311

Terapi

hipotermia

menggunakan

gel/cool

pack

terbukti

menurunkan risiko kematian dan gangguan perkembangan bayi dengan EHI pada usia 6 bulan kehidupan. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

3.8.7 Penghentian terapi hipotermia Penghentian terapi hipotermia dilakukan jika terdapat : PPHN perburukan

atau

berat,

koagulopati

berat,

aritmia

yang

memerlukan terapi (bukan sinus bradikardia), keluarga dan tim medis memutuskan penghentian life support. Penghentian terapi hipotermia ini harus didiskusikan terlebih dahulu dengan tim/ konsultan neonatologi setempat.

3.8.8 Follow up Diperkirakan lebih dari 80% bayi yang bertahan hidup dengan EHI berat mengalami komplikasi disabilitas berat,

dengan 10-20%

komplikasi disabilitas sedang, dan 10% normal. Sedangkan bayi EHI sedang memiliki kemungkinan 30-50%

untuk menderita

komplikasi jangka panjang yang berat dan 10 - 20% sisanya akan mengalami komplikasi neurologis minor. Oleh karena itu, bayi asfiksia dengan EHI sedang-berat sebaiknya menjalani pemantauan dan intervensi jangka panjang. Penilaian psikometrik dapat dilakukan sejak bayi berusia 18 bulan.42 Konsultasi dengan spesialis neurologi anak sangat dianjurkan untuk pemantauan neurodevelopmental jangka panjang.

312

BAB IV PERINGKAT BUKTI DAN DERAJAT REKOMENDASI

Penggunaan plastik transparan tahan panas yang menutupi bayi sampai leher dapat digunakan untuk mencegah kehilangan panas tubuh pada bayi dengan berat lahir sangat rendah di bawah 1500g. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Pengisapan hanya dilakukan jika jalan napas mengalami obstruksi. Bayi baru lahir bugar tidak membutuhkan pengisapan hidung, mulut atau faring setelah lahir. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Tindakan mengisap mekonium dari mulut dan hidung bayi ketika kepala

masih

di

perineum

sebelum

bahu

lahir

tidak

direkomendasikan. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Intubasi dan pengisapan endotrakea pada bayi yang lahir dengan kondisi air ketuban bercampur mekonium sebaiknya dilakukan bila bayi tidak bugar dengan mempertimbangkan baik manfaat maupun risiko tertundanya ventilasi karena pengisapan. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

313

Nilai Downe dapat digunakan sebagai alat penilaian klinis gawat pernapasan pada bayi. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Resusitasi awal (initial resuscitation) sebaiknya dilakukan dengan udara ruangan. Resusitasi awal dengan udara ruangan dapat menurunkan mortalitas dan disabilitas neurologis pada bayi baru lahir bila dibandingkankan dengan pemberian oksigen 100%. Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100% bila resusitasi awal dengan udara ruangan gagal Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Apabila pemberian CPAP telah mencapai tekanan positif akhir ekspirasi sebesar 8 cmH2O dan FiO2 telah di atas 40% namun bayi masih mengalami gawat napas, maka pertimbangkan intubasi. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

LMA dapat digunakan dalam resusitasi bila pemberian VTP dengan balon dan sungkup dan intubasi dengan ETT mengalami kegagalan. Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Bila bayi bradikardia (LJ<60x/menit) setelah 90 detik resusitasi menggunakan oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen

314

dapat ditingkatkan hingga 100% sampai denyut jantung bayi normal Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Kompresi dada harus dilakukan pada sepertiga bawah sternum dengan kedalaman sepertiga dari diameter antero-posterior dada Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat memberikan tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih baik pada bayi baru lahir. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemberian epinefrin melalui pipa endotrakeal dapat dijadikan pilihan bila jalur intravena tidak tersedia walaupun jalur ini kurang efektif dibandingkankan jalur intravena. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemberian

epinefrin

dibandingkankan melakukan

intraoseus

vena

pemasangan

umbilikal kateter

dapat pada

menjadi klinisi

umbilikal,

alternatif

yang tetapi

jarang cukup

berpengalaman mengakses jalur intraoseus. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

315

Arteri umbilikal tidak direkomendasikan untuk pemberian obatobat resusitasi. Peringkat bukti IV, derajat rekomendasi C Pemberian epinefrin melalui jalur endotrakeal perlu diberikan dalam dosis yang lebih tinggi dibandingkankan pemberian melalui intravena. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Sodium bikarbonat tidak rutin diberikan pada resusitasi bayi baru lahir Peringkat bukti IV, derajat rekomendasi C

Cairan pengganti volume diberikan pada bayi asfiksia yang menunjukkan

respons

lambat

terhadap

tindakan

resusitasi

intensif. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Normal saline sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan terapi awal hipotensi pada bayi baru lahir karena aman, murah, dan mudah didapatkan. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Pemberian nalokson tidak direkomendasikan sebagai bagian awal resusitasi bayi baru lahir dengan depresi napas. Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

316

Metode hipotermia terapeutik yang dilakukan dalam 6 jam setelah terjadinya cedera hipoksik-iskemik

pascalahir selama 72 jam

meningkatkan kesintasan bayi tanpa disabilitas perkembangan saraf (neurodevelopment) yang berat. Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Tidak terdapat perbedaan signifikan terkait kadar penanda inflamasi, mortalitas, serta tumbuh kembang pada usia 12 bulan pada SHC dan WBC Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi

Nilai Thompson >6 atau Sarnat stage 2-3 (sedang-berat) pada usia 3-5 jam merupakan prediktor sensitif dari gambaran abnormal aEEG pada usia 6 jam atau ensefalopati sedang-berat dalam 72 jam setelah kelahiran. Penilaian Thompson dini bermanfaat untuk penentuan apakah bayi akan dilakukan terapi hipotermia Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Metode kombinasi aEEG dan pemeriksaan neurologis sesaat setelah kelahiran meningkatkan kemampuan identifikasi bayi risiko tinggi dan menurunkan kesalahan identifikasi (falsely identified) bayi dibandingkankan dengan evaluasi dengan salah satu metode saja. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

317

Fenobarbital merupakan obat pilihan utama anti-kejang lini satu. Bila kejang belum teratasi dapat diberikan dosis tambahan hingga dosis maksimal terpenuhi. Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

MIdazolam adalah pilihan alternatif anti-kejang pada kasus kejang neoantal yang tidak dapat teratasi dengan pemberian fenobarbital dan fenitoin. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Nilai laktat tertinggi dalam satu jam pertama kehidupan dan pemeriksaan serial laktat merupakan prediktor penting EHI sedangberat. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemeriksaan prognostik yang dilakukan secara kombinasi lebih baik daripada pemeriksaan tunggal. Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Terapi

hipotermia

menggunakan

gel

/

cool

pack

terbukti

menurunkan risiko kematian dan gangguan perkembangan bayi dengan EHI pada usia 6 bulan kehidupan. Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

318

BAB V SIMPULAN



Asfiksia

neonatorum

merupakan

salah

satu

penyebab

kematian utama pada bayi baru lahir •

Setiap bayi yang lahir harus dilakukan penilaian awal apakah perlu mendapat resusitasi atau tidak .



Langkah resusitasi terdiri atas langkah awal, ventilasi tekanan positif, kompresi dada, pemberian obat obatan dan pemasangan pipa endotrakeal yang harus dilakukan sesuai dengan indikasi dan prosedur yang benar.



Sebaiknya dilakukan pencegahan kelahiran bayi prematur dan asfiksia.



Terapi hipotermia merupakan pilihan terapi untuk mencegah terjadinya sekuele atau gangguan perkembangan neurologik akibat asfiksia.

319

DAFTAR RUJUKAN 1.

Lawn JE, Cousens S, Zupan J. 4 million neonatal deaths: When? Where? Why?. The Lancet. 2005;365:891-900.

2.

World Health Organization. Maternal and perinatal health profile. Diunduh dari http://www.who.int/maternal_child_adolescent/epidemio logy/profiles/ maternal/idn.pdf. pada tanggal 20 Juni 2014.

3.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013.

4.

World Health Organization. Cause of child mortality. 2000-2012. Diunduh dari .http://www.who.int/gho/child_health/mortality/mortality_causes_region_text /en/ pada tanggal 18 September 2014.

5.

World Health Organization. World health statistic 2013. Diunduh dari http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/EN_WHS2013_f ull.pdf. pada tanggal 20 Juni 2014.

6.

Situs Departemen Kesehatan RI. Diunduh dari www.depkes.go.id. pada tanggal 15 Mei 2009.

7.

Rudiger M, Aguar M. Newborn Assesment in the delivery room. NeoReview. 2012;13:e336-42.

8.

Shah P, Riphagen S, Beyene J, Perlman M. Multiorgan dysfunction in infants with post-asphyxial hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2004;89:F152-5.

9.

van Handel M, Swaab H, de Vries LS, Jongmans MJ. Long-term cognitive and behavioral consequences of neonatal encephalopathy following perinatal asphyxia: a review. Eur J Pediatr. 2007;166:645-54.

10.

Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle DJ. Perinatal asphyxia. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal FG, Tuttle DJ. Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-6. United states: McGraw-Hill education; 2013.

11.

World Health Organization. Basic newborn resuscitation: A practical guiderevision. Geneva: World Health Organization; 2012. Diunduh dari http://www.who,int/reproductive-health/publications/newborn_resus_ citation/index.html.

12.

World Health Organization. Guidelines on basic newborn resuscitation. Diunduh dari: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75157/1/9789241 503693_eng.pdf. pada tanggal 19 september 2014.

13.

Lee ACC, Mullany LC, Tielsch JM, dkk. Risk factors for neonatal mortality due to birth asphyxia in Southern Nepal: A prospective, community-based cohort study. Pediatrics. 2008;121:e1381-90.

320

14.

American College of Obstetricians and Gynecologist. Umbilical cord blood gas and acid-based analysis. ACOG committe opinion No. 348. Obstet Gynecol. 2006;108:1319-22.

15.

American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and Gynaecologists. Care of the neonate. Dalam: Gilstrap LC, Oh W, penyunting. Guidelines for perinatal care. Elk Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics; 2002: h.196-7.

16.

IDAI. Asfiksia neonatorum. Dalam: Standar pelayanan medis kesehatan anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004. h.272-6.

17.

Saloojee H. Anticonvulsants for preventing mortality and morbidity in full term newborns with perinatal asphyxia: RHL commentary (revisi tanggal 10 Oktober 2007). The WHO reproductive health library; Geneva: World Health Organization.

18.

American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-6. Jakarta: Perinasia; 2011.

19.

Alonso-Spilsbury M, Mota-Rojas D, Vilanuvea-Garcia D, dkk. Perinatal asphyxia patophysiology in pig and human: a review. Anim Reprod Sci. 2005;90:1-30.

20.

McGuire W. Perinatal asphyxia. BMJ Clin Evid. 2007;2007:0320.

21.

Fahrudin F. Analisis beberapa faktor risiko kejadian asfiksia neonatorum di Kabupaten Purworejo. Diunduh dari: http://eprints.undip.ac.id/14393 /1/2003MIKM2003.pdf. pada tanggal 26 september 2014.

22.

Oswyn G, Vince JD, Friesen H. Perinatal asphyxia at Port Moresby general Hospital: a study of incidence, risk factors and outcome. PNG Med J. 2000;43:110-20.

23.

Leone TA, Finer NN. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Gleason CA dan Devaskar SU, penyunting. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-9. United Stated of America: Elsevier Inc; 2012. h.331.

24.

Nold JL, Georgieff MK. Infants of diabetic mothers. Pediatr Clin N Am. 2004;51:619-37.

25.

Richardson BS. Fetal adaptive responses to asphyxia. Clin Perinatol. 1989;16:595-611.

26.

Williams CE, Mallard C, Tan Gluckman PD. Pathophysiology of perinatal asphyxia. Clin Perinatol. 1993;20:305-23.

27.

Jensen A, Hohmann M, Kunzel W. Dynamic changes in organ blood flow and oxygen consumption during acute asphyxia in fetal sheep. J Dev Physiol. 1987;9:337-46.

28.

Nishimaki S, Iwasaki S, Minamisawa S, Seki K, Yokota S. Blood flow velocities in the anterior cerebral artery and basilar artery in asphyxiated infants. J Ultrasound Med. 2008;27:955-60.

321

29.

Weir FJ, Ohlsson A, Fong K, Amankwah K, Coceani F. Does endothelin-1 reduce superior mesentric blood flow velocity in preterm neonates? Arch Dis Child Fetal Neonatal. 1999;80:F123-7.

30.

Cipolla MJ. Control of cerebral blood flow. Dalam: Cipolla MY, penyunting. The cerebral circulation. San Rafael (CA): Morgan & Claypool Life Sciences; 2009.

31.

Varkilova L, Slancheva B, Emilova Z, dkk. Blood lactate measurement as a diagnostic and prognostic tool after birth asphyxia in newborn infants with gestational age >34 gestational weeks. Akush Ginekol. 2013;52:36-43.

32.

Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy: Clinical aspects. Dalam: Fletcher J, penyunting. Neurology of the newborn. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.h.325-586.

33.

Davidson JO, Wassink G, Heuij LG, Bennet L, Gunn AJ. Therapeutic hypothermia for neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy – where to from here. Front Neurol. 2015;6:198.

34.

Antonucci R, Porcella A, Piloni MD. Perinatal asphyxia in the term newborn. JPNIM. 2014;3:e030269.

35.

Gleason CA, Juul SE. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-9. Philadelphia: Saunders/Elsevier. 2012

36.

Romero CC, Vega CC. Neuroprotection in perinatal hypoxic ischemic encephalopathy – pharmacology combination therapy. Dalam: Svraka E, penyunting. Cerebral palsy challenges for the future. Edisi pertama. Amerika serikat:Intech; 2014. h.123-192.

37.

Dixon BJ, Reis C, Ho WM, Tang J, Zhang JH. Neuroprotective strategies after neonatal hypoxic ischemic encephalopathy. Int J Mol Sci. 2015;16:2236822401.

38.

Vannucci SJ, Hagberg H. Review: Hypoxia-ischemia in the immature brain. J Exp Biol. 2004;207:3149-54.

39.

Behrman RE, Butler AS. Mortality and acute complications in preterm infants. Dalam: Behrman RE, Butler AS, penyunting. Preterm birth: causes, consequences, and prevention. Washington: National Academies Pres (US); 2007.

40.

Yu VWH. Neonatal complication in preterms infanys. Dalam: Yu VWH, Wood EC, penyunting. Prematurity. Edinburg: Churcill Livingstone;1987. h.148-69.

41.

Nelson KB, Leviton A . How much of neonatal encephalopathy is due to birth asphyxia?. Am J Dis Child. 1991;145:1325-31.

42.

Agarwal R, Jain A, Deodari AK, dan Paul VD. Post-resuscitation management of asphyxia. Ind J Pediatr. 2008;75.

43.

Fink S. Intraventricular hemorrhage in the term infant. Neonatal network. 2000;19:13-8.

44.

McIntyre. Neonatal aspects of perinatal asphyxia. Dalam: Arulkumaran S, Jenkins HML, penyunting. Perinatal asphyxia. London: Sangam; 2000.

322

45.

Adcock LM, Papile LA. Perinatal asphyxia. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins; 2008.

46.

Lapointe A, Barrington KJ. Pulmonary hypertension and the asphyxiated newborn. J Pediatr. 2011;158:e19-24.

47.

Ranjit MS. Cardiac abnormalities in birth asphyxia. Ind J Pediatr. 2000;67:52932.

48.

Andreoli SP. Clinical evaluation and management. Dalam: Avner ED, Harmon P, dan Niaudet P, penyunting. Pediatric neprology. Philadelphia: Lippincott Williams & wilkins; 2004.

49.

Gupta BD, Sharma P, Bagla J, Parakh M, Soni JP. Renal failure in asphyxiated neonates. Ind Pediatr. 2005;42:928-34.

50.

Fox TP, Godavitarne. What really causes necrotizing enterocolitis? ISRN gastroenterology. 2012;2012:1-9.

51.

Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program. Queensland maternity and neonatal clinical guideline: Hypoxic-ischaemic enchephalopathy. Queensland: State of Queensland (Queensland Health); 2016.

52.

Choi YJ, Jung MS, Kim SY. Retinal hemorrhage associated with perinatal distress in newborn. Korean J Ophtalmology. 2011;25:311-8.

53.

Chen LN, He XP, Huang LP. A survey of high risk factors affecting retinopathy in China. Int. J. Opthalmol. 2012;5:177-80.

54.

Brodsky MC. Semiology of periventricular leucomalacia and its optic disc morphology. British J Opthal. 2003;87:1309-10.

55.

Brodsky MC. Optic atrophy in children. Dalam: Brodsky MC, penyunting. Pediatric neuro-ophtalmology. Edisi ke-2. Heidelberg: Springer Science+Business Media; 2010.

56.

Morales P, Bustamante D, Espina-Marchant P, dkk. Pathophysiology of perinatal asphyxia: can we predict and improve individual outcomes? EPMA Journal. 2011;2:211-30.

57.

Leuthner SR, Das UG. Low Apgar scores and the definition of asphyxia. Pediatr Clin N Am. 2004;51:737-45.

58.

Lincetto O. Birth asphyxia-summary of the previous meeting and protocol overview. Diunduh dari: http://www.curoservice.com/health_ professionals/news/pdf/10-09-2007_birth_asphyxia02.pdf. pada tanggal 15 Desember 2014.

59.

Chalak LF. Perinatal asphyxia in the delivery room: Initial management and current cooling guidelines. Neoreview. 2016;17:e463-70.

60.

Lee ACC, Mullany LK, Tielsch JM, dkk. Risk factors for neonatal mortality due to birth asphyxia in Southern Nepal: A prospective community-based cohort study. Pediatrics. 2008;121:e1381.

323

61.

Shankaran S, Laptook AR, Ehrenkranz RA, dkk. Whole body hypotermic for neonates with hypoxic ischemic encephalopathy. N Engl J Med. 2005;353:157484.

62.

Siva Saranappa SB, Chaithanya CN, Madhu GN, Srinivasa S, Manjunath MN. Clinical profile and outcome of perinatal asphyxia in tertiary care centre. Curr Pediatr Res. 2015;19:9

63.

Boskabadi H, Maamouri G, Sadeghian MH, dkk. Early diagnosis of perinatal asphyxia by nucleated red blood cell count: A case-control study. Arch Iran Med. 2010;13:275-80.

64.

Colaco SM, Ahmed M, Kshirsagar VY, Bajpai R. Study of nucleated red blood cell counts in asphyxiated newborns and the fetal outcome. Int J Clin Pediatr. 2014;3:79-85.

65.

McCarthy JM, Capullari T, Thompson Z, Zhu Y, Spellacy WN. Umbilical cord nucleated red blood cell counts: normal values and the effect of labor. J Perinatol. 2006;26:89-92.

66.

Australian Resuscitation Council. Neonatal Guidelines. www.resus.org.au. pada tanggal 15 Oktober 2013.

67.

Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program. Neonatal resuscitation. Queensland: State of Queensland; 2011. h.7-8.

68.

Karlowicz MG, Karotkin EH, Goldsmith JP. Resuscitation. Dalam: Karotkin EH, Goldsmith JP, penyunting. Assisted ventilation of the neonate. Edisi ke-5. Missouri: Saunders; 2011. h.76-7.

69.

UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus. Jakarta: UKK neonatologi IDAI; 2014.

70.

The Royal Women’s Hospital. Delivery room management. Dalam: The Royal Women’s Hospital neonatal service: Clinician’s handbook. Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 26.

71.

American Academy of Pediatrics. Textbook of neonatal resuscitation. Edisi ke-7. Amerika serikat: American Academy of Pediatrics and American Heart Association. 2016.

72.

Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, dkk. Part 11: Neonatal resuscitation. 2010 International consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science with treatment recommendations. Circulation. 2010;122:S516-38.

73.

Kattwinkell J, Perlman J, Azis K, dkk. Neonatal Rescucitation American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Pediatrics 2010;126:e1400

74.

Niermeyer S. Evidence-based guidelines for neonatal resuscitation: Neonatal resuscitation guidelines. Neoreviews. 2001;2:e38-45.

Diunduh

dari

324

75.

Knobel RB, Wimmer Jr JE, Holbert D. Heat loss prevention for preterm infants in the delivery room. J Perinatol. 2005;25:304-8.

76.

Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010 Section 7. Resuscitation of babies at birth. Resuscitation. 2010;81:1389– 99

77.

Raghuveer TS, Cox AJ. Neonatal resuscitation: an update. Am Fam Physician. 2011;83:911-8.

78.

Grein AJ, Welner GM. Laryngeal mask airway versus bag-mask ventilation or endotracheal intubation for neonatal resuscitation. Cochrane Neonatal Review. 2005.

79.

UK Resuscitation Council. Section 11 Newborn Life Support. 2010 Resuscitation Guidelines. Diunduh dari www.resus.org.uk/pages/nls. pdf. pada tanggal 15 Oktober 2013.

80.

Kamlin CO1, O'Donnell CP, Davis PG, Morley CJ. Oxygen saturation in healthy infants immediately after birth. J Pediatr. 2006.148:585-9.

81.

Dawson JA, Kamlin COF, Vento M, dkk. Defining the reference range for oxygen saturation for infants after birth. Pediatrics. 2010;125:e1340-7.

82.

American College of Obstetricians and Gynecologist; American Academy of Pediatrics. The APGAR score. ACOG committe opinion No. 333. Obstet Gynecol. 2006;107:1209-12.

83.

American Academy of Pediatrics, Commitee on Fetus and Newborn, American Colledge of Obstetricians and Gynecologist and Committe on Obstetric Practice. The Apgar score. Pediatrics. 2006;117;1444.

84.

Kattwinkel J. Neonatal resuscitation for ILCOR and NRP: evaluating the evidence and developing a consensus. J Perinatol. 2008;28:s28-9.

85.

Halamek LP, Morley C. Continuous positive airway pressure during neonatal resuscitation. Clin Perinatol. 2006;33:83–98.

86.

Spitzer AR, Clark RH. Positive pressure ventilation in the treatment of neonatal lung disease. Dalam: Goldsmith dan Karotkin (penyunting). Assisted ventilation of the neonate. Edisi ke-5. Missouri: Elseiver Saunder; 2011.

87.

Yagui AC, Vale LAPA, Haddad LB, dkk. Bubble CPAP versus CPAP with variable flow in newborn with respiratory distress: a randomized control trial. Journal de Pediatria. 2011;87:499-504.

88.

Buch P, Makwana AM, Chudasama RK. Usefulness of Downe score as clinical assessment tool and bubble CPAP as primary respiratory support in neonatal respiratory distress syndrome. J Pediatr Sci. 2013;5:176-83

89.

Trevisanuto D, Cengio VD, Doglioni N, dkk. Oxygen delivery using a neonatal self-inflating resuscitation bag: effect of oxygen flow. Pediatrics. 2013;131:e144-9.

325

90.

Benett S, Finer NN, Vaucher Y. A comparison of three neonatal resuscitation devices. Resuscitation. 2005. 67:113-8.

91.

Hussey SG, Ryan CA, Murphy BP. Comparison of three manual ventilation devices using an intubated manenequin. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2004; 89:F490-3.

92.

Davis PG, Tan A, O’Donnel CPH, Schulze A. Resuscitation of newborn infants with 100% oxygen or air: a systematic review and meta-analysis. Lancet. 2004; 364:1329-33.

93.

Boyle DW, Engle WA. Resuscitation. Dalam: Hertz DE, penyunting. Care of the newborn. Handbook for primary care. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.hal 6-22.

94.

Braga MS, Dominguez TE, Pollock AN, dkk. Estimation of optimal CPR compression depth in children by using computer tomography. Pediatrics. 2009;124:e69-74.

95.

Oca MJ, Nelson M, Donn SM. Randomized trial of normal saline versus 5% albumin for the treatment of neonatal hypotension. J Perinatol. 2003; 23:43776.

96.

McGuire W, Fowlie PW. Naloxone for narcotic exposed newborn infants: systemic review. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2003;88.

97.

The International Liaison Commitee on Resuscitation. The International Liaison Commitee on Resuscitation (ILCOR) consensus on science with treatment recommendations for pediatric and neonatal patients: Neonatal resuscitation. Pediatrics. 2006;117;e978-88.

98.

Bissinger RL. Neonatal resuscitation, 2012. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/ 977002-overview pada tanggal 18 Oktober 2014.

99.

World Health Organization. WHO guidelines on hand hygiene in health care, 2009. Diunduh dari http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241597906_eng.pdf?ua= 1 pada tanggal 24 September 2014

100. Davis RP, Mychaliska GB. Neonatal pulmonary physiology. Semin Pediatr Surg. 2013;22:179–184. 101. Karlsen KA. The STABLE program: Pre-transport/ Post-resuscitation stabilization care of sick infants, guidelines for neonatal healthcare providers. 2006. Diunduh dari http://www.stableprogram.org/docs/stable_learner_manual_preview.pdfpad a tanggal 24 september 2014 102. Canadian Paediatric Society. Screening guidelines for newborns at risk for low blood glucose. Paediatr Child Health. 2004;9:723-9. 103. Chakkarapani E, Thoresen M. Use of hypothermia in the asphyxiated infant. Perinatology. 2010;3:20-9.

326

104. Schuchmann S, Schimitz D, Rivera C, dkk. Experimental febrile seizures are precipitated by a hyperthermia-induced respiratory alkalosis. Nat Med. 2006;12:817-23. 105. Arciniegas DB. Hypoxic-ischemic brain injury. 2012. Diunduh dari http://www.internationalbrain.org/ articles/hypoxicischemic-brain- injury/ pada tanggal 19 Mei 2015. 106. Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes. Neurologic clinics. 2001;19:427-63. 107. Glass H. Neonatal seizures. Clin Perinatol. 2014;41:177-190. 108. Shellhaas RA, Chang T, Tsuchida T, dkk. The American Clinical Neurophysiology Society's Guideline on Continuous Electroencephalography Monitoring in Neonates. J Clin Neurophysiol 2011; 28:611. 109. Weeke L, Toet M, van Rooij L, dkk. Lidocaine response rate in aEEG-confirmed neonatal seizures: Retrospective study of 413 full-term and preterm infants. Epilepsia. 2015;57:233-242. 110. Divisi Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Guidelines for administration of IV drugs by infusion on the neonatal unit. Jakarta: RSUPN Cipto Mangunkusumo; 2005. 111. Hart AR, Pilling EL, Alix JJ. Neonatal seizures–part 2: aetiology of acute symptomatic seizures, treatments and the neonatal epilepsy syndromes. Arch Dis Child Educ Pract Ed. 2015;100:226–232. 112. Evans D. Levene M. Neonatal seizures. Arch Dis Child Fetal Neonatal 1998; 78:F70-5. 113. Srinivasakumar P, Zempel J, Trivedi S, dkk. Treating EEG Seizures in Hypoxic Ischemic Encephalopathy: A randomized controlled trial. Pediatrics 2015; 136:e1302. 114. Hellström-Westas L, Boylan G, Ågren J. Systematic review of neonatal seizure management strategies provides guidance on anti-epileptic treatment. 2014. 115. Agarwal R. Guidelines on neonatal seizures. World Health Organization. 2011 116. Volpe J, Inder T, Darras B, dkk. Neurology of the newborn. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017.h.275-318. 117. Vento M, de Vries L, Alberola A, dkk. Approach to seizures in the neonatal period: a European perspective. Acta Paediatrica. 2010;99(4):497-501. 118. Slaughter L, Patel A, Slaughter J. Pharmacological Treatment of Neonatal Seizures. Journal of Child Neurology. 2013;28:351-364. 119. Bourgeois BF, Dodson WE. Phenytoin elimination in newborns. Neurology 1983; 33:173.

327

120. Kementerian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal esensial: Pedoman teknis pelayanan kesehatan dasar. Edisi Revisi. Jakarta: Kementrian kesehatan, 2010. 121. Painter MJ, Scher MS, Stein AD, dkk. Phenobarbital compared with phenytoin for the treatment of neonatal seizures. N Engl J Med. 1999; 341:485–489. [PubMed: 10441604] 122. Lockman LA, Kriel R, Zaske D, dkk. Phenobarbital dosage for control of neonatal seizures. Neurology. 1979;29:1445- 1449. 123. Riviello JJ. Drug therapy for neonatal seizures: Part 2. Pharmacol Rev. 2004;5:e262-e268. 124. Gherpelli JL, Cruz AM, Tsanaclis LM, dkk. Phenobarbital in newborns with neonatal seizures. A study of plasma levels after intravenous administration. Brain Dev. 1993 Jul-Aug;15(4):258-62. 125. McMorris S, McWilliam PK. Status epilepticus in infants and young children treated with parenteral diazepam. Arch Dis Child. 1969;44:604 611. 126. Boylan G, Rennie J, Chorley G, dkk. Second-line anticonvulsant treatment of neonatal seizures. Neurology. 2004; 62:486–488. [PubMed: 14872039] 127. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature and cerebral blood flow during selective head versus whole-body cooling. Pediatrics. 2001; 108;1103. 128. Campo-Soria C, Chang Y, Weiss DS. Mechanism of action of benzodiazepines on GABA receptors. British Journal of Pharmachology. 2006;148(7). 129. Kilicdag H, Daglıoglu K, Erdogan S, dkk. The effect of levetiracetam on neuronal apoptosis in neonatal rat model of hypoxic ischemic brain injury. Early Hum Dev 2013; 89:355. 130. Komur M, Okuyaz C, Celik Y, dkk. Neuroprotective effect of levetiracetam on hypoxic ischemic brain injury in neonatal rats. Childs Nerv Syst 2014; 30:1001. 131. Khan O, Chang E, Cipriani C, dkk. Use of intravenous levetiracetam for management of acute seizures in neonates. Pediatr Neurol 2011; 44:265. 132. Loiacono G, Masci M, Zaccara G, Verrotti A. The treatment of neonatal seizures: focus on Levetiracetam 133. Sharpe CM, Capparelli EV, Mower A, dkk. A seven-day study of the pharmacokinetics of intravenous levetiracetam in neonates: marked changes in pharmacokinetics occur during the first week of life. Pediatr Res 2012; 72:43. 134. Merhar SL, Schibler KR, Sherwin CM, dkk. Pharmacokinetics 135. Mruk Allison L, L Karen, Garlitz, RL Noelle R. Levetiracetam in Neonatal Seizure: A Review. J Pediatr Pharmacol Ther 2015;20:76–89. 136. Vento M, de Vries LS, Alberola A, dkk. Approach to seizures in the neonatal period: a European perspective. Acta Paediatr. 2010;99:497-501.

328

137. Van Rooij LG, Hellstrom-Westas L, de Vries LS. Treatment of neonatal seizures. Semin Fetal Neonatal Med. 2013;18:209-215 138. Malingré MM, Van Rooij LG, Rademaker CM, dkk. Development of an optimal lidocaine infusion strategy for neonatal seizures. Eur J Pediatr 2006; 165:598. 139. Lundqvist M, Ågren J, Hellström-Westas L, Flink R, Wickström R. Efficacy and safety of lidocaine for treatment of neonatal seizures. Acta Paediatrica. 2013;102(9):863-867. 140. van Rooij LG, Toet MC, Rademaker KM, dkk. Cardiac arrhythmias in neonates receiving lidocaine as anticonvulsive treatment. Eur J Pediatr 2004; 163:637. 141. Castro Conde JR, Hernández Borges AA, Doménech Martínez E, dkk. Midazolam in neonatal seizures with no response to phenobarbital. Neurology 2005; 64:876. 142. Langslet A, Meberg A, Bredesen JE, dkk. Plasma concentrations of diazepam and N-desmethyldiazepam in newborn infants after intravenous, intramuscular, rectal and oral administration. Acta Paediatr Scand. 1978;67:699-704. 143. Ramsey RE, Hammond EJ, Perchalski RJ, dkk. Brain uptake of phenytoin, phenobarbital, and diazepam. Arch Neurol. 1979;36:535. 144. Prensky AL, Raff MC, Moore MJ, dkk. Intravenous diazepam in the treatment of prolonged seizure activity. N Engl J Med. 1967;276:779-784. 145. Smith BT, Masotti RE. Intravenous diazepam in the treatment of prolonged seizure activity in neonates and infants. Dev Med Child Neurol. 1971;13:630-634. 146. Schiff D, Chan G, Stern L. Fixed drug combinations and the displacement of bilirubin from albumin. Pediatrics.1971;48:139-141. 147. Gamstorp I, Sedin G. Neonatal convulsions treated with continuous, intravenous infusion of diazepam. Ups J Med Sci. 1982;87:143-149. 148. Committee on Drugs. Drugs for pediatric emergencies. Pediatrics. 1998; 101(1):1-11. 149. Wolf Ni, Bast T, Surtees R. Epilepsy in inborn errors of metabolism. Epileptic Disord 2005; 7: 67-81. 150. Lehr VT, Chugani HT, Aranda JV. Anticonvulsants. Dalam: Yaffe SJ, Aranda JV, penyunting. Neonatal and pediatric pharmacology: Therapeutic principles in practice. Edisi ketiga. Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. 151. Taketomo CK, Hodding JH, Kraus DM. Pediatric and neonatal dosage handbook: A comprehensive resource for all clinicians treating pediatric and neonatal patients. Edisi ke-18. 152. Hospira UK Ltd. Phenytoin injection. 2014. Diunduh dari https://www.medicines.org.uk/emc/medicine /650 pada tanggal 15 April 2015.

329

153. Murphy SA. Emergency management https://www.umassmed.edu/.

of

seizures.

Diunduh

dari

154. Young T, Mangum B. Neofax 2010. Thomson Reuters;2010:23 155. The Royal Women’s Hospital. Paediatric Pharmacopoeia 13th Ed. Royal Women’s Hospital Melbourne. 156. Taketomo CK, Hodding JH, Kraus DM. Pediatric and neonatal dosage handbook. Hudson (OH): Lexi Comp; 2010. 157. Sophie P. Essential drugs - practical guidelines. 17th ed. Médecins Sans Frontières; 2017. 158. The Royal Women’s Hospital. Neonatal Pharmacopoeia. Pharmacy Departement 1998;1. 159. World Health Organization. Cooling for newborns with hypoxic ischaemic ensephalopathy. 2010. http://apps.who.int/rhl/newborn/cd003311_ballotde_com/en/ pada tanggal 14 Agustus 2014 160. Salhab WA, Wyckoff AR. Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and neonatal brain injury in term infants with severe fetal acidemia. Pediatrics,2004;114:361-6) 161. Silveira RC, Procianoy RS. Hypothermia therapy for newborns with hypoxic ischemic encephalopathy. J Pediatr (Rio J). 2015; 9: 578-583 162. Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic hypothermia during transport and in hospital for perinatal asphyxial encephalopathy. Semin Fetal Neonatal Med. 2010;15:276-86. 163. Shankaran S. Therapeutic hypotermia for neonatal enchephalopathy. Curr Treat Options Neurol. 2012; 14. 164. Sarafidis K, Soubasi V, Mitsakis K, Agakidou VD. Therapeutic hypothermia in asphyxiated neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy: A single-center experience from its first application in Greece. Hippokratia. 2014; 18:226-30. 165. Azzopardi D, Strohm B, Linsell L, dkk. UK TOBY Cooling Register. Implementation and conduct of therapeutic hypothermia for perinatal asphyxial encephalopathy in the UK--analysis of national data. PLoS One. 2012; 7: e38504. 166. Khurshid F, Lee KS, McNamara PJ, Whyte H, Mak W. Lessons learned during implementation of therapeutic hypothermia for neonatal hypoxic ischemic encephalopathy in a regional transport program in Ontario. Paediatr Child Health. 2011; 16: 153-156. 167. Gluckman PD, Wyatt JS, Azzopardi D, dkk. Selective head cooling with mild systemic hypothermia after neonatal encephalopathy: multicentre randomized trial. Lancet. 2005; 365:663-70.

330

168. Hoque N, Chakkarapani E, Liu X, Thoresen M. A comparison of cooling methods used in therapeutic hypothermia for perinatal asphyxia. Pediatrics. 2010;126:e124-30. 169. Celik Y, Atici A, Makharoblidze K, Eskandari G, Sungur MA, Akbayir S. The effects of selective head cooling versus whole-body cooling on some neural and inflammatory biomarkers: a randomized controlled pilot study. Italian Journal of Pediatrics. 2015; 41:79 170. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature and cerebral blood flow during selective head versus whole-body cooling. Pediatrics. 2001; 108;1103. 171. Lambrechts H, Bali S, Rankin S. Therapeutic hypotermia for infants ≥35 weeks with moderate/ severe hypoxic ischaemic encephalopathy (HIE) clinical guideline,2010. Diunduh dari http://www.northerntrust.hscni.net pada tanggal 14 Agustus 2014. 172. The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence for therapeutic hypothermia for near-term infants with moderate or severe hypoxic ischaemic encephalopathy. Dalam: The royal women’s hospital neonatal service: Clinician’s handbook. Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 105-8. 173. Jacobs SE, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG. Cooling for newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy. Cochrane Database of Systematic Reviews 2007, Issue 4, Art. No: CD003311. 174. Schulzke SM, Rao S, dan Patole SK. A systematic review of cooling for neuroprotection in neonates with hypoxic ischemic encephalopathy-are we there yet? BMC Pediatrics. 2007; 7: 1-10. 175. Jacobs SE, Berg M, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG. Cooling for newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy. Cochrane Database of Systematic Reviews 2013, Issue 1. Art. No.: CD003311. 176. Conway J, Walsh B, Boylan G, Murray D. Mild hypoxic ischaemic encephalopathy and long term neurodevelopmental outcome - A systematic review. Early Human Development. 2018;120:80-87. 177. Laptook A, Shankaran S, Tyson J, dkk. Effect of Therapeutic Hypothermia Initiated After 6 Hours of Age on Death or Disability Among Newborns With Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. JAMA. 2017;318(16):1550. 178. Lally PJ, Price DL, Pauliah SS, dkk. Neonatal encephalopathic cerebral injury in South India assessed by perinatal magnetic resonance biomarkers and early childhood neurodevelopmental outcome. PLoS ONE 2014;9:e87874. 179. van de Riet JE, Vandenbussche FP, Le Cessie S, Keirse MJ. Newborn assessment and long-term adverse outcome: a systematic review. Am J Obstet Gynecol 1999;180:1024-9). 180. Horn AR, Swingler G, Myer L, Linley LL, Raban MS, Joolay Y. Early clinical signs in neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy predict an abnormal

331

amplitude-integrated electroencephalogram at age 6 hours. Pediatrics 2013;13:52. 181. Merchant N, Azzopardi D. Early predictors of outcome in infants treated with hypothermia for hypoxic-ischemic encephalopathy. HIE supplement 2015;57:816 182. Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic encephalopathy score in predicting neurodevelopmental outcomes among infants with birth asphyxia at the Muhimbili National Hospital, Dar-es Salaam Tanzania. J Tropical Pediatr. 2008; 55: 8-14. 183. El-Dib M, Chang T, Tsuchida TN, Clancy RR. Amplitude-integrated electroencephalography in neonates. PediatricNeurology. 2009;41:315-326. 184. Clancy RR, Dicker L, Cho S, dkk. Agreement between long-term neonatal background classification by conventional and amplitude-integrated EEG. J Clin Neurophysiol. 2011;28:1-9. 185. Foreman SW, Thorngate L, Burr RL, Thomas KA. Electrode challanges in amplitude-integrated EEG: research application of a novel noninvasive measure of brain function in preterm infants. Biol Res Nurs. 2011. 186. Thoresen M, Westas LH, Liu X, Vries LS. Effect of hypothermia on amplitude integrated encephalogram in infants with asphyxia. Pediatrics. 2010; 126: 131139 187. van Laerhoven H, de Haan TR, Offringa M, Post B, van der Lee JH. Prognostic tests in term neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy: a systematic review. Pediatrics 2013;131:88-98 188. Shalak LF, Laptook AR, Velaphi SC, Perlman JM. Amplitude-integrated electroencephalography coupled with an early neurological examination enhances prediction of term infants at risk for persistent encephalopathy. Pediatrics 2003;111:351-7 189. Thoresen M, Hellstrom-Westas L, Liu X, de Vries LS. Effect of hypothermia on amplitude-integrated electroencephalogram in infants with asphyxia. Pediatrics 2010;126:e131-9 190. Deshpande SA, Ward Platt MP. Association between blood lactate and acidbase status and mortality in ventilated babies. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1997;76:F15-20. 191. Cheung PY, Robertson CMT, Finer NN. Plasma lactate as a predictor of early childhood neurodevelopmental outcome of neonates with severe hypoxemia requiring extra corporeal membrane oxygenation. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1996;74:F47-50. 192. Shah S, Tracy M, Smyth K. Postnatal lactate as an early predictor of short-term outcome after intrapartum asphyxia. J Perinatol 2004;24:16-20 193. Jongeling BR, Badawi N, Kurinczuk JJ, dkk. Cranial ultrasound as a predictor of outcome in term newborn encephalopathy. Pediatr Neurol 2002;26:37-42.

332

194. Varghese B, Xavier R, Manoj VC, Aneesh MK, Priya PS, Kumar A, Sreenivasan VK. Magnetic resonance imaging spectrum of perinatal hypoxic-ischemic brain injury. Indian J Radiol Imaging 2016;26:316-27 195. Rutherford M, Malamateniou C, McGuinness A, Allsop J,Biarge MM, Counsell S. Magnetic resonance imaging in hypoxic-ischemic encephalopathy. J Early Human Development 2010;86:351-60 196. Jobsis FF. Noninvasive, infrared monitoring of cerebral and myocardial oxygen sufficiency and circulatory parameters, Science 1977;198: 1264-1267. 197. Greisen G, Leung T, Wolf M. Has the time come to use near-infrared spectroscopy as a routine clinical tool in preterm infants undergoing intensive care? Phil Trans R Soc A 2011;369:4440-51. 198. Panerai RB. Transcranial Doppler for evaluation of cerebral autoregulation. Clin Auton Res 2009; 19: 197–211. 199. Toet M. Cerebral Oxygenation and Electrical Activity After Birth Asphyxia: Their Relation to Outcome. Pediatrics. 2006;117:333-339. 200. Goeral K, Urlesberger B, Giordano V, dkk. Prediction of Outcome in Neonates with Hypoxic-Ischemic Encephalopathy II: Role of Amplitude-Integrated Electroencephalography and Cerebral Oxygen Saturation Measured by NearInfrared Spectroscopy. Neonatology. 2017;112:193-202. 201. Perlman JM, McMenamin JB, Volpe JJ. Fluctuating cerebral blood-flow velocity in respiratory distress syndrome. Relation to the development of intraventricular hemorrhage. N Engl J Med 1983;309:204–209. 202. Perlman JM, Goodman S, Kreusser KL, Volpe JJ. Reduction in intraventricular hemorrhage by elimination of fluctuating cerebral blood-flow velocity in preterm infants with respiratory distress syndrome. N Engl J Med 1985;312:1353–1357. 203. Da Costa CS, Greisen G, Austin T. Is near-infrared spectroscopy clinically useful in the preterm infant? Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2015;100:F558-F561. 204. Liao SM, Culver JP. Near infrared optical technologies to illuminate the status of the neonatal brain. Curr Pediatr Rev. 2014;10:73-86. 205. Ergenekon E. Therapeutic hypothermia in neonatal intensive care unit: challenges and practical points. J Clin Neonatol. 2016; 5:8-17 206. Mitchell AP, Johnston ED. Provision of therapeutic hypothermia during neonatal transport. Infant. 2013;7:79-82 207. Bharadwaj SK Bhat BV. Therapeutic hypothermia using gel packs for term neonates with hypoxic ischaemia encephalopathy in resource-limited settings: a randomized controlled trial. J Trop Pediatr. 2012; 58: 382-8. 208. Robertson NJ, Hagmann CF, Acolet D, dkk. Pilot randomized controlled trial of therapeutic hypotermia with serial cranial ultrasound and 18-22 month followup for neonatal encephalopathy in a low resource hospital setting in Uganda: study protocol. Trials. 2011; 12:138.

333

209. King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic ischemic encephalopathy clinical guidelines. 2014. Diunduh dari http://www.kemh.health.wa.gov pada tanggal 8 Oktober 2016.

334

LAMPIRAN 1 Berikut ini merupakan daftar persiapan dan peralatan minimal yang harus disediakan sebelum resusitasi. Jumlah

Keterangan

1

Suhu ruangan diupayakan 24-26oC

1

Penghangat bayi dihidupkan terlebih dahulu sebelum bayi lahir untuk menghangatkan barang-barang yang akan dipakai bayi

Plastik

minimal 2

Plastik yang dapat digunakan adalah plastik lebar atau plastik klip. Bila menggunakan plastik klip, sebaiknya telah terlebih dahulu dilubangi pada bagian bawah

Topi bayi

1

Topi harus dibuat dari kain atau wol yang hangat

Linen/kain bedong

minimal 5

1 kain dilipat dan digunakan untuk mengganjal bahu bayi, 1 kain digunakan sebagai alas, 2 kain digunakan untuk mengeringkan badan bayi, 1 kain untuk membungkus bayi

Inkubator transpor

1

Baju kanguru

1

Tata laksana suhu Ruang resusitasi

Penghangat bayi (infant warmer)

Termometer/ probe-nya

monitor

suhu

beserta

1

Inkubator telah dikondisikan dalam keadaan hangat. Bila inkubator tidak tersedia di fasilitas terbatas, inkubator ini dapat digantikan dengan baju kangguru Untuk mengukur suhu bayi

Tata laksana airway dan breathing (ventilasi) Suction

1

Bertekanan negatif, tidak melebihi -100 mmHg

Kateter suction

@1

Umumnya berukuran 5, 6, 8, 10, 12, 14French

Bulb suction

1

Aspirator mekonium

1

Tabung oksigen dan flowmeter

1

Tabung udara bertekanan indikator tekanan

dengan

Akan lebih baik bila tersedia tabung cadangan

1

335

T-piece resuscitator

1

Jackson rees

1

Balon mengembang sendiri (BMS)

1

Katup PEEP

1

Sungkup

@1

Berbagai ukuran

OGT 8 French dan spuit 20 mL

@1

Untuk dekompresi orogastrik

Pulse oxymetri

1

Monitor EKG

1

Laringoskop + baterai

1

Siapkan baterai cadangan

Bilah lurus laringoskop

@1

Ukuran 0 untuk bayi <1000 gram, 00 untuk >1000 gram, 1 untuk >3000 gram. Periksa kelayakpakaian lampu masingmasing bilah

ETT

@1

Umumnya nomor 2,5; 3; 3,5; dan 4

Periksa kelayakgunaan alat sebelumnya

Penyediaan ETT dibuat berdasarkan perkiraan berat lahir bayi, minimal sediakan ETT berukuran sesuai perkiraan berat lahir bayi serta 0,5 nomor di atas dan 0,5 di bawahnya. Umumnya, berat badan <1000 gram, 1000-2000 gram, dan >2000 gram menggunakan ETT nomor 2,5; 3; dan 3,5 secara berturut-turut Stilet

1

Plester

secukupnya

Benang kasur

secukupnya

Gunting

1

Magil

1

Digunakan bila bayi akan dilakukan intubasi melalui hidung

LMA

@1

Berbagai ukuran

Obat-obatan premedikasi

Plester dapat menggunakan hipafix yang telah dipotong-potong

Sulfas atropin, morfin

Tata laksana sirkulasi Kateter intravena

minimal 3

Ukuran G24, G26

336

Set infus

1

Spalk, dressing transparan atau micropore

@1

OGT

@1

Three way

1

Syringe pump

1

NaCl 0,9%

secukupnya

Cukup untuk melakukan bolus sebanyak 2 kali 10 mL/kgBB

D10%

secukupnya

Cukup untuk melakukan bolus sebanyak 2 mL/kgBB

Set umbilikal steril

1 set

Berisi 1 duk bolong, 1 duk untuk alas alat, 2 klem duk, 1 pinset lurus, 1 pinset sirurgis, 1 piset bengkok, 1 klem bengkok, 1 benang silk ukuran 3.0 cutting, 1 needle holder, 1 gunting, 1 mangkok berisi Betadine

Obat-obatan resusitasi

@1

Epinefrin 1:10.000, kalsium glukonas 10%, nalokson hidroklorida, natrium bikarbonat, dopamin, morfin, modazolam, fenobarbital, surfaktan

Stetoskop

1

Ukuran neonatus/pediatrik

Spuit

@2

Spuit 1 mL, 3 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL

Jarum spuit disposable

2

Glukometer

1

Gluko-stick

minimal 1

Siapkan ukuran 3,5 dan 5-French. OGT yang akan dipakai harus telah diisi dengan NaCl 0,9% dan disambungkan dengan three way

Lain-lain APD (topi, kacamata, gaun, sarung tangan)

337

LAMPIRAN 2. CONTOH KASUS

1.

Seorang bayi perempuan, 39 minggu, taksiran berat 3200 gram, lahir secara SC cito atas indikasi gawat janin dari seorang ibu dengan persalinan tak maju. Saat lahir, bayi apne dan hipotoni. Fasilitas ideal

60 detik pertama





• •

Fasilitas terbatas

Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi meghidu/semi-ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah dihangatkan sebelumnya. Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. (Penolong dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena suhu ruang resusitasi sangat dingin). Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan). Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi megap-megap, LJ 100 kali/menit, hipotoni. (Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

Penolong memberikan VTP dengan konsentrasi oksigen 21% menggunakan t-piece resuscitator dilengkapi dengan blender oksigen eksternal atau menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara tekan, tanpa oksigen murni).

Penolong memberikan VTP dengan konsentrasi oksigen 21% menggunakan BMS tanpa sumber oksigen (hanya menggunakan udara ruangan).

338

Berikan PIP dan PEEP, umumnya dimulai dari 30/5. PIP dapat ditingkatkan sampai dada mengembang, kemudian dapat juga diturunkan bila dada terlalu mengembang

Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan saturasi oksigen secara akurat. (dapat mempertimbangkan penggunaan monitor EKG bila tersedia)

Evaluasi *setelah pemberian VTP efektif selama 30 detik

Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi menangis namun merintih, LJ 110 kali/menit, tonus otot baik. Bayi mulai terlihat merah dan bergerak aktif.

VTP dihentikan dan berikan CPAP dini menggunakan t-piece resuscitator dengan PEEP 7 cmH2O dan konsentrasi oksigen tetap 21%.

Evaluasi saat usia 5 menit

Perawatan pasca resusitasi

VTP dihentikan dan berikan CPAP dini menggunakan Jackson Rees dengan PEEP 7 cmH2O

Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi menangis, tidak merintih, tidak ada retraksi, LJ 120 kali/menit, dan tonus otot baik. Bayi terlihat merah, gerakan aktif, dan saturasi 90%.

Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah, GDS 72 g/dL Temperature Airway Blood pressure Laboratory

: dilakukan pengukuran suhu ulang; 36,8oC : CPAP, PEEP 7 mmHg : LJ 120 kali permenit, CRT <3 detik : septic workup

339

Emotional support : edukasi keluarga

Apakah bayi perlu dilakukan terapi hipotermia?

Tidak, karena berdasarkan informasi kasus ini: Walaupun terdapat riwayat gawat janin namun setelah lahir: • • • • •

2.

Recall nilai Apgar 3/8/9 (skor Apgar >5 pada menit ke-10) bayi tidak memerlukan bantuan ventilasi > 10 menit bayi menangis, terlihat aktif, dan tonus otot baik perlu dilakukan AGD tali pusat / AGD arteri bayi untuk bukti terjadinya asfiksia saat di ruang perawatan pemeriksaan neurologis harus terus dipantau sampai usia 6 jam

Seorang bayi perempuan, 30 minggu, taksiran berat 1400 gram, lahir secara SC cito atas indikasi ibu mempunyai komplikasi eklampsia, tekanan darah tidak terkontrol dengan obat, ibu kejang, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne dan hipotoni. Fasilitas ideal

60 pertama

detik





• •

Fasilitas terbatas

Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah dihangatkan sebelumnya. Pasang plastik polietilen sampai menutupi leher, keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. Pastikan plastik tidak terbuka (tidak ada aliran udara bebas). Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan). Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 60 kali/menit, hipotoni.

(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

Penolong memberikan VTP dengan konsentrasi oksigen 30% menggunakan t-piece resuscitator dilengkapi dengan blender oksigen eksternal atau menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara tekan, tanpa oksigen murni).

Penolong memberikan VTP dengan konsentrasi oksigen 30% (dengan menggunakan gabungan oksigen dan udara tekan sesuai tabel) menggunakan BMS tanpa sumber oksigen (hanya menggunakan udara

340

ruangan) yang dikombinasikan dengan katup PEEP.

Berikan PIP dan PEEP, umumnya dimulai dari 25/5. PIP dapat ditingkatkan sampai dada mengembang, kemudian dapat juga diturunkan bila dada terlalu mengembang

*untuk bayi prematur <1500 gram, sangat dianjurkan menggunakan katup PEEP 5 agar paru bayi tidak kolaps pada saat ekspirasi.

Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan saturasi oksigen secara akurat. (dapat mempertimbangkan penggunaan monitor EKG bila tersedia)

Evaluasi *setelah pemberian VTP efektif selama 30 detik

Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi mulai bernapas, LJ 100 kali/menit, dan tonus otot kurang, FiO2 40%, saturasi 88%.

VTP dihentikan dan berikan CPAP dini menggunakan t-piece resuscitator dengan PEEP 7 cmH2O dan konsentrasi oksigen tetap 30%.

VTP dihentikan dan berikan CPAP dini menggunakan Jackson Rees dengan PEEP 7 cmH2O konsentrasi oksigen tetap 30%.

*sangat dianjurkan menggunakan campuran oksigen dan udara bertekanan (konsentrasi oksigen tetap 21%) sehingga dapat mengurangi risiko Retinopathy of prematurity (ROP)

341

Evaluasi saat usia 5 menit Perawatan pasca resusitasi

Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi gasping, LJ 110 kali/menit, dan tonus otot kurang, FiO2 60%, saturasi 88%. Bayi dipersiapkan untuk diintubasi.

Sugar & safe care

: dilakukan pemeriksaan gula darah, GDS 90 g/dL

Temperature

: dilakukan pengukuran suhu ulang; 36,6oC dengan plastik polietilen

Airway

: VTP 25/5 FiO2 40%

Blood pressure Laboratory Emotional support

Apakah bayi perlu dilakukan terapi hipotermia?

3.

: LJ 110 kali permenit, CRT <3 detik : septic workup : edukasi keluarga

Tidak, karena berdasarkan informasi kasus ini: • • •

recall nilai Apgar 3/8/9 (skor Apgar >5 pada menit ke-10) bayi memerlukan bantuan ventilasi > 10 menit terdapat riwayat episode hipoksik perinatal, perlu dilakukan AGD tali pusat / AGD arteri bayi untuk bukti terjadinya asfiksia • usia gestasi < 35 minggu • berat lahir <1800-2000 g Bayi memiliki kecurigaan asfiksia namun terdapat kontraindikasi terapi hipotermia, sehingga tidak dilakukan terapi hipotermia

Seorang bayi perempuan, 36 minggu, taksiran berat 2200 gram lahir secara SC cito atas indikasi gawat janin. Ibu mempunyai komplikasi eklampsia, tekanan darah tidak dapat diturunkan dengan obat, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne, hipotoni, dan terlihat sangat pucat Fasilitas ideal

60 detik pertama





Fasilitas terbatas

Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah dihangatkan sebelumnya. Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. (Penolong dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena suhu ruang resusitasi sangat dingin).

342

• •

Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan). Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 70 kali/menit, hipotoni. (Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

Penolong memberikan VTP dengan konsentrasi oksigen 21% menggunakan t-piece resuscitator dilengkapi dengan blender oksigen eksternal atau menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP dan PEEP, umumnya dimulai dari 30/5. PIP dapat ditingkatkan sampai dada mengembang, kemudian dapat juga diturunkan bila dada terlalu mengembang

Penolong memberikan VTP dengan konsentrasi oksigen 21% menggunakan BMS tanpa sumber oksigen (hanya menggunakan udara ruangan).

Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan saturasi oksigen secara akurat. (dapat mempertimbangkan penggunaan monitor EKG bila tersedia)

Dada tidak mengembang, LJ tidak meningkat → periksa SR IBTA

(Periksa, lakukan koreksi, dan reevaluasi masingmasing langkah)

• •

Sungkup → telah melekat rapat Reposisi jalan napas → posisi kepala-leher telah dalam posisi menghidu/semi-ekstensi * Evaluasi : dada tidak mengembang

• •

Isap mulut dan hidung → tidak ada lendir (tidak dilakukan) Buka mulut → mulut telah terbuka * Evaluasi : dada tidak mengembang

343



Tekanan dinaikkan → PIP dinaikkan secara bertahap * Evaluasi: dada mengembang, pemberian VTP dirasa telah adekuat, namun bayi tetap apne, LJ 50 kali/menit, hipotoni.



Evaluasi *setelah pemberian VTP efektif selama 30 detik

Penolong melakukan intubasi. Bila intubasi sulit dilakukan, penolong dapat menggunakan LMA. VTP dilanjutkan bag to tube.



Penolong dapat melakukan intubasi atau memasang LMA (bila tersedia), kemudian melanjutkan VTP bag to tube.

Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →belum bernapas, LJ 100 kali/menit, hipotoni, saturasi 88%, FiO2 60%, dan bayi mulai kemerahan.

Bayi dilakukan intubasi saat usia 2 menit dan belum bernapas spontan sampai usia 10 menit.

Apakah bayi dicurigai asfiksia dan memerlukan terapi hipotermia? (setting: bersalin)

kamar

Ya, berdasarkan informasi kasus ini: • • •

• •

recall nilai Apgar 2/4/5 bayi memerlukan bantuan ventilasi (terintubasi dan di-VTP manual) > 10 menit riwayat episode hipoksik perinatal ada (deselerasi DJJ), perlu dilakukan AGD tali pusat / AGD arteri bayi untuk bukti terjadinya asfiksia usia gestasi > 35 minggu berat lahir >1800-2000 g

Bayi tersangka asfiksia neonatorum dan memenuhi kriteria usia gestasi serta berat lahir minimal untuk dilakukan terapi hipotermia.

Perawatan pascaresusitasi

Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah, GDS 62 g/dL Temperature

: dilakukan pengukuran suhu; 36,6oC mulai passive cooling dengan mematikan lampu penghangat, membuka topi bayi, melepas plastik (bila sempat dikenakan), pasang temperatur rektal

344

Airway Blood pressure Laboratory

: VTP manual, FiO2 80% : LJ 130 kali permenit, CRT <3 detik :septic workup

Emotional support :edukasi keluarga

Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor dalam keadaan dingin

Setting: perawatan

ruang



Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 7

• • •

pH tali pusat 6,9; defisit basa 16 dalam 60 menit pertama lahir. usia <6 jam konsultasikan rencana active cooling dengan konsultan neonatologi pada pelayanan kesehatan level 3 dan orang tua bayi. mulai active cooling bila prosedur memungkinkan di rumah sakit atau rujuk sesegera mungkin dalam keadaan dingin



4.

Seorang bayi perempuan, 36 minggu, taksiran berat 2200 gram lahir secara SC cito atas indikasi gawat janin. Ibu mengalami perdarahan antepartum berat karena plasenta previa totalis, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne, hipotoni, dan terlihat sangat pucat Fasilitas ideal

60 detik pertama





• •

Fasilitas terbatas

Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah dihangatkan sebelumnya. Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. (Penolong dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena suhu ruang resusitasi sangat dingin). Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan). Posisikan bayi kembali

345

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi megap-megap, LJ 70 kali/menit, hipotoni.

(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

Penolong memberikan VTP dengan konsentrasi oksigen 21% menggunakan t-piece resuscitator dilengkapi dengan blender oksigen eksternal atau menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP dan PEEP, umumnya dimulai dari 30/5. PIP dapat ditingkatkan sampai dada mengembang, kemudian dapat juga diturunkan bila dada terlalu mengembang

Penolong memberikan VTP dengan konsentrasi oksigen 21% menggunakan BMS tanpa sumber oksigen (hanya menggunakan udara ruangan).

Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan saturasi oksigen secara akurat. (dapat mempertimbangkan penggunaan monitor EKG bila tersedia)

Dada tidak mengembang, LJ tidak meningkat → periksa SR IBTA

(Periksa, lakukan koreksi, dan reevaluasi masingmasing langkah)



Sungkup → telah melekat rapat Reposisi jalan napas → posisi kepala-leher telah dalam posisi menghidu/semi-ekstensi

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• •

Isap mulut dan hidung → tidak ada lendir (tidak dilakukan) Buka mulut → mulut telah terbuka

346

* Evaluasi : dada tidak mengembang



Tekanan dinaikkan → PIP dinaikkan menjadi secara bertahap * Evaluasi: dada mengembang, pemberian VTP telah adekuat, namun bayi tetap apne, LJ 50 kali/menit, hipotoni.



Evaluasi *setelah pemberian VTP efektif selama 30 detik

Penolong melakukan intubasi. Bila intubasi sulit dilakukan, penolong dapat menggunakan LMA. VTP dilanjutkan bag to tube.



Penolong dapat melakukan intubasi atau memasang LMA (bila tersedia), kemudian melanjutkan VTP bag to tube.

Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, LJ 54 kali/menit, hipotoni, saturasi 55%

Penolong memberikan VTP bag to tubedengan konsentrasi oksigen 100% dan kompresi dada dengan rasio perbandingan 3:1 secara adekuat

Evaluasi *setelah pemberian VTP dan kompresi dada terkoordinasi selama 60 detik

Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →laju napas 40-50 kali/menit, LJ 90-100 kali/menit, nadi lemah, hipotoni, saturasi 75%, pucat.

Penolong yang lain memasang akses vena umbilikal karena akses perifer umumnya lebih sulit dilakukan. Jalur umbilikal berhasil diakses. penolong memberikan cairan penambah volume NaCl 0,9% (10 mL/kgBB) secara bolus selama 30 menit.

Evaluasi

Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, LJ 120-130 kali/menit, isi dan kualitas nadi kurang, saturasi 87%, bayi mulai kemerahan →dilakukan bolus NaCl 0,9% ke-2 →LJ 110-120 kali/menit, isi dan kualitas cukup, saturasi 90%, bayi kemerahan.

347

Apakah bayi dicurigai asfiksia dan memerlukan terapi hipotermia?

Ya, berdasarkan informasi kasus ini: • •

(setting: kamar bersalin)

• • • •

recall nilai Apgar 1/3/8 bayi memerlukan bantuan ventilasi (terintubasi dan di-VTP manual) > 10 menit riwayat episode hipoksik perinatal ada (deselerasi DJJ, perdarahan fetal-maternal karena plasenta previa totalis) perlu dilakukan AGD tali pusat / AGD arteri bayi untuk bukti terjadinya asfiksia usia gestasi > 35 minggu berat lahir >1800-2000 g

Bayi tersangka asfiksia neonatorum dan memenuhi kriteria usia gestasi serta berat lahir minimal untuk dilakukan terapi hipotermia.

Perawatan pascaresusitasi

Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah, GDS 40 g/dL → dilakukan tata laksana sesuai algoritme hipoglikemia Temperature

Airway

: dilakukan pengukuran suhu; 37,0oC mulai passivecooling dengan mematikan lampu penghangat, membuka topi bayi, melepas plastik (bila sempat dikenakan), pasang temperatur rektal : VTP manual, FiO2 100%

Blood pressure

: LJ 120 kali permenit, CRT <3 detik

Laboratory

: septic workup

Emotional support:edukasi keluarga Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor dalam keadaan dingin

Setting: ruang perawatan

Bayi kejang 3 kali → dilakukan tata laksana sesuai algoritme kejang •

Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 14

348

• • • •

pH tali pusat 6,75; defisit basa 18 dalam 60 menit pertama lahir usia <6 jam konsultasikan rencana active cooling dengan konsultan neonatologi pada pelayanan kesehatan level 3 dan orang tua bayi. mulai active cooling bila prosedur memungkinkan di rumah sakit atau rujuk sesegera mungkin dalam keadaan dingin

5. Seorang bayi lelaki, 29 minggu, taksiran berat 1200 gram lahir secara SC cito atas indikasi gawat janin (bradikardia menetap). Ibu merasakan gerakan janin sangat jarang, ketuban hijau kental merembes, dan demam tinggi. Saat lahir bayi apne, hipotoni, kulit pucat dengan sianosis perifer dan kehijauan.

Fasilitas ideal 60 detik pertama





• •

Fasilitas terbatas

Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah dihangatkan sebelumnya. Pasang plastik polietilen sampai menutupi leher, keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. Pastikan plastik tidak terbuka (tidak ada aliran udara bebas). Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan). Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 40 kali/menit, hipotoni.

349

(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

Penolong memberikan VTP dengan konsentrasi oksigen 30% menggunakan t-piece resuscitator dilengkapi dengan blender oksigen eksternal atau menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP dan PEEP, umumnya dimulai dari 25/5. PIP dapat ditingkatkan sampai dada mengembang, kemudian dapat juga diturunkan bila dada terlalu mengembang

Penolong memberikan VTP dengan konsentrasi oksigen 30% menggunakan BMS dengan campuran oksigen dan udara tekan.

Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan saturasi oksigen secara akurat. (dapat mempertimbangkan penggunaan monitor EKG bila tersedia)

Dada tidak mengembang, LJ tidak meningkat → periksa SR IBTA

(Periksa, lakukan koreksi, dan reevaluasi masingmasing langkah)

• •

Sungkup → telah melekat rapat Reposisi jalan napas → posisi kepala-leher telah dalam posisi menghidu/semi-ekstensi * Evaluasi : dada tidak mengembang

• •

Isap mulut dan hidung → tidak ada lendir (tidak dilakukan) Buka mulut → mulut telah terbuka * Evaluasi : dada tidak mengembang



Tekanan dinaikkan → PIP dinaikkan menjadi secara bertahap * Evaluasi: dada mengembang, pemberian VTP telah adekuat, namun bayi tetap apne, LJ 80 kali/menit, hipotoni.

350



Evaluasi *setelah pemberian VTP efektif selama 30 detik

Penolong melakukan intubasi. Bila intubasi sulit dilakukan, penolong dapat menggunakan LMA. VTP dilanjutkan bag to tube.



Penolong dapat melakukan intubasi atau memasang LMA (bila tersedia), kemudian melanjutkan VTP bag to tube.

Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →tidak ada usaha napas, LJ 55 kali/menit, hipotoni, saturasi 60%

Penolong memberikan VTP bag to tubedengan konsentrasi oksigen 100% dan kompresi dada dengan rasio perbandingan 3:1 secara adekuat

Evaluasi *setelah pemberian VTP dan kompresi dada terkoordinasi selama 60 detik

Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, tidak ada usaha napas, LJ 80-90 kali/menit, nadi lemah, hipotoni, saturasi 65%, pucat

Penolong tetap memberikan VTP secara adekuat, sedangkan kompresi dada dihentikan

Penolong yang lain memasang akses vena umbilikal karena akses perifer sulit dilakukan. Jalur umbilikal berhasil diakses, penolong memberikan penambah volume NaCl 0,9% (10 mL/kgBB) secara bolus

cairan

Evaluasi

Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, tidak ada usaha napas, LJ 90-100 kali/menit, isi dan tegangan nadi kurang, saturasi 85%, bayi masih pucat →dilakukan bolus NaCl 0,9% ke-2 →LJ 100 kali/menit, isi dan tegangan cukup, saturasi 90%, badan mulai kemerahan, kaki tangan kebiruan

Apakah bayi dicurigai asfiksia dan memerlukan terapi hipotermia?

berdasarkan informasi kasus ini:

(setting: kamar bersalin)

• •

recall nilai Apgar 1/3/4 bayi memerlukan bantuan ventilasi (terintubasi dan di-VTP manual) > 10 menit • riwayat episode hipoksik perinatal ada (bradikardia menetap) • usia gestasi < 35 minggu • berat lahir < 1800-2000 g Bayi tersangka asfiksia neonatorum namun tidak memenuhi kriteria usia gestasi serta berat lahir minimal untuk dilakukan terapi hipotermia.

351

Perawatan pascaresusitasi

Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah, GDS 42 g/dL → dilakukan tata laksana sesuai algoritme hipoglikemia Temperature

: dilakukan pengukuran suhu; 36,5oC (dengan plastik polietilen) tunda passive cooling namun cegah hipertermia

Airway Blood pressure Laboratory

: VTP manual, FiO2 100% : LJ 100 kali permenit, CRT <3 detik :septic workup

Emotional support :edukasi keluarga

Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor

Setting: ruang perawatan

Bayi kejang 2 kali → dilakukan tata laksana sesuai algoritme kejang •

Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 17



pH tali pusat 6,7; defisit basa 18 dalam 60 menit pertama lahir (bila mampu laksana) usia <6 jam bayi asfiksia namun kontraindikasi terapi hipotermia konsultasikan pasien dengan konsultan neonatologi pada pelayanan kesehatan level 3 dan orang tua bayi mengenai kondisi bayi dan kontraindikasi terapi hipotermia.

• • •

352

LAMPIRAN 3. LAPORAN KASUS BAYI YANG TELAH MENJALANI TERAPI HIPOTERMIA

1. Kasus 1 (fasilitas ideal dengan blanketrol®) Seorang bayi lelaki lahir secara spontan dari persalinan fase aktif memanjang (>1 jam) pada usia gestasi 38 minggu, taksiran berat 3100 gram. Faktor risiko ibu, yaitu ketuban pecah dini >9 jam, keputihan, dan tersangka infeksi saluran kemih. Saat lahir, bayi tidak menangis, LJ 80 kali/menit, tidak ada tonus otot, tidak ada refleks, sianotik, dan pucat. Nilai Apgar 1/3/6/8. Bayi diberikan VTP menggunakan t-piece resuscitator. Usia 30 menit, bayi kejang selama 15 detik. Bayi didiagnosis neonatus cukup bulan (NCB), sesuai masa kehamilan (SMK), EHI sedang, tersangka sepsis neonatus awitan dini (SNAD). Setelah dilakukan perhitungan nilai Thompson, didapatkan nilai 11 pada usia 1 jam sehingga bayi diputuskan menjalani terapi hipotermia dengan Blanketrol . Berikut ini merupakan follow up selama terapi.

Pemantauan

Suhu LJ Aritmia MAP (mmHg) Inotropik Hb; Hct (g/dl; %) Leukosit (/µL) Trombosit (/µL) Faktor pembekuan Glukosa serum Kalium (mmol/L) BUN/Cr Sepsis

Sebelum terapi hipotermi 35,4 144 -

Fase terapi hipotermi (jam) <24 24-48

48-72

33,8 100-110 43-81

34 100-106 39-43

33,6 115-144 49-83

33,1 102-137 48-65

33,4 98-118 47-56

13,3; 40

12,2; 35,7

Dopamin

Dopamin 15,1; 44,3

Dopamin

Dopamin 12; 36

16.000

5.200

127.000

128.000

PT:25,2 aPTT:77,3 236

116

58

137

167

PT:11,8 aPTT:51,3 85

3,40

4,31

2,86

3,97

4,07

3,27

20/0,80 Tersangka

Tersangka Tersangka

Tersangka

Tersangka

353

Tidak ditemukan efek samping saat rewarming. Pemeriksaan USG kepala, menunjukkan perdarahan intraventrikular grade I, namun tidak dilakukan MRI. Bayi dipulangkan dari ruang perawatan dengan klinis baik. Pemantauan perkembangan hanya dilakukan sampai usia 6 bulan karena loss to follow up.

Bayi mengalami keterlambatan

motorik kasar (belum dapat tengkurap) saat pemeriksaan terakhir di usia 6 bulan.

2. Kasus 2 (fasilitas tanpa matras pendingin) Seorang bayi lelaki lahir secara SC atas indikasi ibu preeklampsia berat. Bayi lahir pada usia gestasi 39 minggu, taksiran berat 2760 gram. Saat lahir, bayi tidak menangis, tidak ada tonus otot, LJ 100 kali/menit, sianosis perifer, dan ketuban sedikit bercampur mekonium. Nilai Apgar 3/4. Bayi diintubasi dan dilakukan pengisapan endotrakeal diikuti dengan pemberian VTP dengan T-piece resuscitator dan dilanjutkan dengan penggunaan ventilator mekanik. Bayi didiagnosis neonatus cukup bulan (NCB), sesuai masa kehamilan (SMK), EHI sedang, tersangka sepsis neonatus awitan dini (SNAD). Setelah dilakukan perhitungan nilai Thompson, didapatkan nilai 7 pada usia 1 jam sehingga bayi diputuskan menjalani terapi hipotermia dengan sarung tangan berisi air dingin.

Berikut ini merupakan follow up

selama terapi.

354

Pemantauan

Suhu LJ Aritmia MAP (mmHg) Inotropik Hb; Hct (g/dl; %) Leukosit (/µL) Trombosit (/µL) Faktor pembekuan Glukosa serum Kalium (mmol/L) BUN/Cr Sepsis

Sebelum terapi hipotermi 36 100

Fase terapi hipotermi (jam) <24 24-48

48-72

34 100

34 80

46 17; 51,9

54-63 -

34 80 52-72 21,4; 63.2

10.800 152.000

10.400 130.000

7.700 137.000

111

PT: 23,10 (K:22) aPTT: 41,30 (K:43,5) 67

71

Tidak

54-72 163; 48,6

Sepsis ec Pseudomonas

Tidak terdapat efek samping saat rewarming. Gambaran EKG (24-48 jam) sinus bradikardia dan USG kepala dalam batas normal. Bayi dipulangkan

dari

ruang

perawatan

dengan

klinis

baik.

Pada

pemantauan perkembangan saat usia 18 bulan diperlukan terapi okupasi dan terapi wicara. Masalah perkembangan dapat teratasi dan saat usia 7 tahun anak dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan bai

355

3. PNPK Hiperbilirubinemia BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Kematian neonatus masih menjadi masalah global penting. Setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal dalam empat minggu pertama dengan 75% kematian terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan.1 Terkait masalah ini, World Health Organization (WHO) menetapkan penurunan angka kematian anak di bawah usia lima tahun (balita), termasuk neonatus, sebagai salah satu sasaran Millenium Development Goals (MDGs) yang dilanjutkan dengan Sustainable Developmental Goals (SDGs) dengan fokus pada penyelesainan penyebab utama kematiannya. Harapan penurunan kematian balita 67% pada tahun 2015 tidak tercapai,2 kematian bayi pada tahun 2015 masih cukup tinggi yaitu sekitar 26,2 per 1000 kelahiran hidup.3 Target SDGs ditahun 2030 adalah menurunnya angka kematian balita sebesar 25 per 1000 kelahiran hidup dan neonatus 12 per 1000 kelahiran hidup.4 Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 tentang penyebab kematian neonatal, kelainan hematologi / hiperbilirubinemia merupakan penyebab nomor 5 morbiditas neonatal dengan prevalens sebesar 5,6% setelah gangguan napas, prematuritas,

sepsis,

dan

hipotermia.5

Data

multisenter

di

Indonesia tentang hiperbilirubinemia belum ada. Data terbaru prevalens hiperbilirubinemia berat (>20mg/dL) adalah 7%, dengan hiperbilirubinemia ensefalopati akut sebesar 2.6 Data multisenter tersebut tidak representatif mewakli data seluruh Indonesia karena hanya berasal dari delapan rumah sakit di kota besar (Jakarta, 6

356

rumah sakit; Kupang, satu rumah sakit, dan Manado, satu rumah sakit). Hiperbilirubinemia ensefalopati

atau

berat

kernikterus

dengan merupakan

hiperbilirubinemia morbiditas

pada

neonatus yang dapat dicegah. Keadaan ini sudah tidak ditemukan lagi di negara maju,4, 7 karena adanya panduan hiperbilirubinemia yang berlaku secara nasional.

1.2

Permasalahan

Pencegahan

dan

penanganan

hiperbilirubinemia

di

negara

berkembang termasuk Indonesia memiliki berbagai kendala, yaitu bervariasinya

panduan

tatalaksana

hiperbilirubinemia

di

Indonesia. Ada panduan menurut Kementerian Kesehatan8, WHO9, dan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ikatan dokter anak Indonesia (IDAI) memiliki dua panduan hiperbilirubinemia, yaitu dalam buku Ajar Neonatologi,10 dan dalam Pedoman pelayanan medis jilid II.11 Bervariasinya panduan yang ada menimbulkan tidak konsistennya pelaksanaan panduan tersebut.12 Salah satunya adalah persepsi pribadi

dalam

melakukan

tatalaksana

hiperbilirubinemia

tersebut.13 Sebagai upaya mengatasi berbagai kendala tersebut, disusun suatu standar pedoman nasional penanganan dan pencegahan hiperbilirubinemia sebagai salah satu kebijakan kesehatan nasional di Indonesia melalui buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) hiperbilirubinemia.

357

1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum Menyusun suatu PNPK untuk membantu menurunkan angka kejadian

dan

komplikasi

bayi

di

Indonesia

akibat

hiperbilirubinemia 1.3.2 Tujuan khusus 1. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan bukti ilmiah (scientific evidence) untuk membantu dokter, bidan, dan perawat dalam hal pencegahan dan tata laksana hiperbilirubinemia pada neonatus. 4. Memberikan rekomendasi berbasis bukti bagi fasilitas pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier serta penentu kebijakan untuk penyusunan protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK) dengan melakukan adaptasi sesuai PNPK.

1.4 Sasaran 1. Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam perawatan neonatus, meliputi dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier. 2. Penentu kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta kelompok profesi terkait.

358

BAB II METODOLOGI

2.1 Penelusuran kepustakaan Penelusuran kepustakaan dilakukan melalui beberapa top level panduan hiperbilirubinemia berdasarkan Appraisal of Guidelines for Research & Evaluation II (AGREE II) terutama panduan nasional dari American Academy of Pediatric (AAP)14, National Institute for Health and Care Excellence (NICE)15, dan Dutch Guideline untuk hiperbilirubinemia.7 Panduan nasional ini juga dibuat berdasarkan panduan-panduan

nasional

Indonesia

yang

sudah

ada

sebelumnya.8-11

2.2

Kajian telaah kritis pustaka

Telaah kritis oleh pakar dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak diterapkan pada setiap artikel yang diperoleh, meliputi: a. apakah studi tersebut sahih? b. apakah hasilnya secara klinis penting? c. apakah dapat diterapkan dalam tata laksana pasien?

2.3

Peringkat bukti (level of evidence)

Hierarchy of evidence/Peringkat bukti

ditentukan berdasarkan

klasifikasi yang dikeluarkan oleh Scottish Intercollegiate Guidelines Network

(SIGN)

grading

system

http://www.sign.ac.uk/guidelines/fulltext/50/annexoldb.html yang diadaptasi untuk keperluan praktis. Berikut adalah peringkat bukti yang digunakan: Ia.

Meta-analisis atau telaah sistematik dari uji klinis acak

359

terkontrol Ib. Uji klinis acak terkontrol IIa. Uji klinis tanpa randomisasi IIb. Studi kohort atau kasus-kontrol IIIa. Studi observasional potong lintang IIIb. Serial kasus atau laporan kasus IV. Konsensus dan pendapat ahli

2.4

Derajat rekomendasi Berdasarkan peringkat bukti , rekomendasi/simpulan dibuat

sebagai berikut: Rekomendasi A

berdasarkan bukti level Ia atau Ib

Rekomendasi B

berdasarkan bukti level IIa atau IIb

Rekomendasi C

berdasarkan bukti level IIIa, IIIb, atau IV

360

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Definisi hiperbilirubinemia Istilah hiperbilirubinemia sering disalahartikan sebagai ikterus berat

yang

membutuhkan

terapi

segera.

Sesungguhnya,

hiperbilirubinemia dan ikterus/jaundice merupakan terminologi yang merujuk pada keadaan yang sama.11

3.1.1 Ikterus neonatorum Ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.16

3.1.2 Hiperbilirubinemia Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana kadar bilirubin meningkat dengan nilai normal yang tergantung kepada usia gestasi atau berat lahir serta usia paska natal dalam jam dan secara klinis membutuhkan fototerapi atau tranfusi tukar. Hiperbilirubinemia tidak dapat ditentukan dengan nilai ambang absolut. Terdapat suatu normogram yang digunakan dalam penentuan

kadar

bilirubin

yang

memerlukan

terapi.

Hiperbilirubinemia adalah keadaan transien yang sering ditemukan baik pada bayi cukup bulan (50-70%) maupun bayi prematur (8090%). Sebagian besar hiperbilirubinemia adalah fisiologis dan tidak

361

membutuhkan terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia berat.11

3.1.3 Ensefalopati bilirubin akut Berdasarkan AAP, definisi ensefalopati bilirubin akut digunakan untuk menjabarkan manifestasi akut dari toksisitas bilirubin yang ditemui dalam 1 minggu pertama setelah lahir.14 Pada fase awal dari ensefalopati bilirubin akut, bayi dengan ikterus yang berat akan memiliki refleks isap yang jelek, gerak tangis menjadi lemah, dan hipotonia.17,

18

Fase

intermediet

ditandai

dengan

gangguan

kesadaran, iritabel, dan hipertonia. Bayi ini dapat mengalami demam dan high-pitched cry, bergantian dengan letargi dan hipotonia.

Manifestasi

hipertonia

adalah

retrocollis

(leher

melengkung ke belakang) dan opistotonus (badan melengkung ke belakang).19 Pada fase lanjut, kerusakan pada sistem saraf pusat kemungkinan bersifat ireversibel, ditandai dengan retrocollisopistotonus yang jelas, high pitched cry, tidak mampu menyusu, apne, demam, gangguan kesadaran hingga koma, kadang-kadang mengalami kejang, dan berujung kepada kematian.17,

18,

20

Pembagian kondisi akut akibat hiperbilirubinemia diklasifikasikan dalam skor BIND-M (Bilirubin Induced Neurological DysfunctionModified).

21

(lihat Lampiran 2)

3.1.4 Kernicterus Spectrum Disorder (KSD) Berdasarkan

AAP,

istilah

kernikterus

digunakan

untuk

menjelaskan tentang gejala sisa yang kronik dan permanen dari

362

toksisitas bilirubin.14 Pada kondisi kronik ensefalopati bilirubin, bayi yang selamat dapat mengalami kondisi yang parah dari athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran, displasia dentalenamel, upward gaze paralysis, dan pada situasi yang lebih jarang, disabilitas intelektual atau lainnya. Sebagian besar bayi yang mengalami kernikterus menunjukkan beberapa atau seluruh tanda yang disebutkan di atas pada fase akut bilirubin ensefalopati.18, 20, 22

Namun begitu, kadang ada bayi yang mengalami peningkatan

kadar bilirubin yang sangat tinggi dan kemudian tanda kernikterus hanya muncul sebagian (jika ada), mendahului tanda klinis ensefalopati bilirubin akut.23 (lihat Lampiran 6)

3.2

Epidemiologi hiperbilirubinemia

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2007, mengenai penyebab kematian neonatal didapatkan bahwa ikterus menjadi penyebab nomor

5

morbiditas

neonatal

setelah

gangguan

napas,

prematuritas, sepsis dan hipotermia dengan prevalens 5,6%.8 Penelitian terbaru di 8 rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa prevalens hiperbilirubinemia berat adalah 7% dengan ensefalopati hiperbilirubinemia akut sebesar 2%.6 3.3

Faktor risiko hiperbilirubinemia

Panduan dari AAP dan Belanda menyebutkan adanya risiko tambahan

yang

terjadi

setelah

bayi

tersebut

lahir

yang

menyebabkan bayi tersebut lebih mudah mengalami toksisitas bilirubin (Tabel 1). Hal tersebut membuat bayi tersebut memiliki ambang batas dimulainya fototerapi maupun transfusi tukar lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang lain (risiko tinggi vs risiko standar). Faktor risiko tersebut diantaranya.

7, 14

363

1. Inkompatibilitas ABO dan Rhesus 2. Hemolisis (G6PD defisiensi, sferositosis herediter, dan lainlain) 3. Asfiksia (Nilai Apgar 1 menit < 5) 4. Asidosis (pH tali pusat < 7,0) 5. Bayi tampak sakit dan kecurigaan infeksi 6. Hipoalbuminemia (kadar serum albumin < 3 mg/dL) Tabel 1. Faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia14 Faktor risiko mayor



Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada zona risiko tinggi



Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan



Inkompabilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang positif atau penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD)



Umur kehamilan 35-36 minggu



Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi



Sefalhematoma atau memar yang bermakna



ASI eksklusif dengan cara perawatan yang tidak baik dan kehilangan berat badan yang berlebihan

Faktor risiko minor



Ras Asia Timur



Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada zona risiko sedang



Usia kehamilan 37-38 minggu



Sebelum pulang, bayi tampak kuning



Riwayat anak sebelumnya kuning



Bayi makrosomia dari ibu DM



Umur ibu ≥ 25 tahun



Jenis kelamin bayi laki-laki

364

yang • mengurangi risiko Faktor

3.4

Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko rendah



Umur kehamilan ≥ 41 minggu



Bayi mendapat susu formula penuh



Kulit hitam



Bayi dipulangkan setelah 72 jam kelahiran

Patofisiologi hiperbilirubinemia

3.4.1 Pembentukan bilirubin Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin dan karbon

monoksida

(CO)

yang

diekskresikan

kedalam

paru.

Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.24

365

Gambar 1. Metabolisme bilirubin24

Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh mengekskresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.24 Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme hemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya (25%) disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin karena eritropoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein

366

heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme bebas.24, 25 Bayi

baru

mg/kgBB/hari,

lahir

akan

sedangkan

memproduksi orang

dewasa

bilirubin

8-10

sekitar

3-4

mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosi bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat, dan juga reabsorbsi

bilirubin

dari

usus

yang

meningkat

(sirkulasi

enterohepatik).26

3.4.2 Transportasi Bilirubin Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat-obatan yang bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-obat tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat-obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan afinitas albumin antara lain adalah digoksin, gentamisin, dan furosemid.24

367

Pada bayi kurang bulan, ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya merupakan komplikasi dari hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemia, asidosis, hipotermia, hemolisis, dan septikemia. Hal tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan jumlah bilirubin bebas dan berisiko pula untuk keadaan neurotoksisitas oleh bilirubin.24 Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda berdasarkan terkonjugasi tidaknya bilirubin tersebut dan ada tidaknya ikatan dengan albumin, yaitu10: 1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin. Sebagian

besar

bilirubin

tak

terkonjugasi

dalam

serum

ditemukan dalam bentuk ini. 2. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak terikat dengan albumin (bilirubin bebas). Bilirubin dalam bentuk ini sangat berbahaya dan dapat menyebabkan neurotoksisitas. Semakin tinggi kadar bilirubin

bebas,

maka

semakin

berisiko

mengalami

neurotoksisitas bilirubin. 3. Bilirubin terkonjugasi yang tidak terikat dengan albumin. Bilirubin

dalam

bentuk

ini

adalah

bilirubin

yang

siap

diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier. 4. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin (α-bilirubin).

3.4.3 Intake bilirubin ke hati Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel membran yang berkaitan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke

368

sirkulasi,

dari

sintesis

de

novo,

resirkulasi

enterohepatik,

perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati, dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal.26 Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini terjadi karena adanya defisiensi ligandin, tetapi hal itu tidak begitu penting dibandingkan dengan defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dari darah ke empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan. Walaupun demikian, defisiensi ambilan ini dapat menyebabkan hiperbilirubinemia

terkonjugasi

ringan

pada

minggu

kedua

kehidupan saat konjugasi bilirubin hepatik mencapai kecepatan normal yang sama dengan orang dewasa.26

3.4.4 Konjugasi bilirubin Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridin difosfat glukuronosil transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin

diglukoronida.

Substrat

yang

digunakan

untuk

transglukoronidase kanalikuler adalah bilirubin monoglukoronida. Enzim ini akan memindahkan satu molekul asam glukoronida dari satu molekul bilirubin monoglukoronida ke yang lain dan menghasilkan

pembentukan

satu

molekul

bilirubin

diglukoronida.26

369

Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikuli empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan hemolisis kronik yang berat dimana pigmen yang tertahan adalah bilirubin monoglukoronida.26 Penelitian in vivo tentang enzim UDPG-T pada bayi baru lahir didapatkan defisiensi aktivitas enzim, tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktivitas enzim ini meningkat melebihi bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin serum akan menurun. Kapasitas total konjugasi akan sama dengan orang dewasa pada hari ke-4 kehidupan. Pada periode bayi baru lahir, konjugasi monoglukoronida merupakan konjugat pigmen empedu yang lebih dominan.26

3.4.5 Ekskresi bilirubin Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan kedalam kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses. Proses ekskresi sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.24, 26 Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dengan orang dewasa. Pada mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat menghidrolisa

370

monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu, lumen usus halus pada bayi baru lahir steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat diubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi).24 Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilriubin tak terkonjugasi yang relatif tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan didalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk mengurangi bilurubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool bilirubin usus dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan hidrolisis bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas βglukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi. Pemberian substansi oral yang tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat mengikat bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin dalam tinja dan mengurangi kadar bilirubin serum. Hal ini menggambarkan peran kontribusi sirkulasi enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada bayi baru lahir.24, 26

3.5 Diagnosis hiperbilirubinemia 3.5.1

Anamnesis11

Dalam anamnesis, diagnosis hiperbilirubinemia dapat digunakan untuk mencari faktor risiko penyebab hiperbilirubinemia sehingga dapat diklasifikasikan apakah bayi yang lahir ini termasuk dalam kategori risiko tinggi atau risiko rendah. Anamnesis tersebut mencakup:

371

1. Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) 2. Riwayat

keluarga

kemungkinan

dengan

penyakit

galaktosemia,

hati,

defisiensi

menandakan

alfa-1-antiripsin,

tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik 3. Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice 4. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau toksoplasma 5. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria) 6. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati memetabolisme

bilirubin

atau

akibat

perdarahan

intrakranial. 7. Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk berkepanjangan 8. Pemberian

ASI.

Harus

dibedakan

antara

breasfeeding

jaundice dan breastmilk jaundice. •

Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak

372

coklat, glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam. Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan hiperbilirubinemia fisiologis. Breastfeeding jaundice

seringkali

terjadi

pada

bayi-bayi

yang

mendapatkan ASI eksklusif namun tidak diiringi dengan manajemen laktasi yang baik. Bayi akan mengalami beberapa tanda sebagai akibat kekurangan cairan, seperti demam, penurunan berat badan >10%, dan berkurangnya produksi kencing. Frekuensi buang air besar dapat juga berkurang pada kasus ini. •

Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI). Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi tampak sehat dengan menunjukkan kemampuan minum yang baik, aktif, lincah, produksi ASI cukup. Yang diiringi dengan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice

dapat

berikutnya.

berulang

Mekanisme

(70%)

pada

kehamilan

sesungguhnya

menyebabkan breast-milk jaundice

yang

belum diketahui,

373

tetapi

diduga

timbul

akibat

terhambatnya

uridine

diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.

3.5.2 Pemeriksaan fisik Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit setelah dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan menggunakan cahaya matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal.11 Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang andal untuk memprediksi kadar bilirubin serum, terutama pada bayi dengan kulit yang gelap.14 Pemeriksaan visual hanya dapat digunakan untuk melihat bahwa bayi tersebut menderita ikterus atau menyingkirkan bahwa bayi tersebut sudah tidak menderita ikterus. Pemeriksaan visual dianjurkan untuk dilakukan oleh semua orangtua yang memiliki bayi baru lahir dan melihat progresivitasnya.15

Petugas

kesehatan

seyogianya

tidak

menggunakan perkiraan visual sebagai sarana dalam diagnosis hiperbilirubinemia sebelum dilakukan pemeriksaan TSB.

Pada pemeriksaan fisik, hal-hal yang dapat dicari antara lain11: •

Tanda-tanda prematuritas



Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia



Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan

374



Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom, subgaleal hematom



Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular



Ptekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis



Hepatosplenomegali,

berkaitan

dengan

anemia

hemolitik,

infeksi kongenital, penyakit hati •

Omfalitis



Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital



Tanda hipotiroid



Perubahan warna tinja (lihat Lampiran 7)

3.5.3 Tatalaksana hiperbilirubinemia14 3.5.3.1 Pencegahan hiperbilirubinemia 3.5.3.1.1 Pencegahan primer Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka mendapat ASI yang cukup dengan beberapa pertanyaan: 1. Apakah bayi minum 8-12x per hari? 2. Apakah BAB > 3x per hari? 3. Apakah BAK > 6x per hari? 4. Apakah BB bayi tidak turun >10% dalam 5 hari pertama kehidupan? 5. Apakah bayi demam? 3.5.3.1.2 Pencegahan sekunder Dilakukan penilaian secara berkesinambungan untuk risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal. Tata

375

cara melakukan penilaian ini dimulai dengan pemeriksaan secara visual untuk progresivitas hiperbilirubinemia secara sefalokaudal yang diikuti dengan pemeriksaan TcB /TSB. Pemeriksaan golongan darah Melakukan komunikasi dengan dokter obstetrik dan ginekologi, bidan, atau perawat untuk melakukan pemeriksaan ABO dan Rh(D) pada setiap wanita hamil. Apabila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi direk (tes Coombs), golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi. Apabila golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan pengawasan, penilaian terhadap risiko sebelum keluar rumah sakit dan tindak lanjut yang memadai.

Penilaian klinis Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya progresivitas ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi. Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui oleh seluruh staf perawatan, jika sarana untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak tersedia di layanan kesehatan, harus dilakukan rujukan untuk pemeriksaan kadar bilirubin (contoh alat TcB di Gambar 2).

Evaluasi laboratorium TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama kehidupan. Kemudian hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi tukar. Aplikasi bilinorm dapat

376

diunduh di Apps store atau Playstore. Pemeriksaan TcB dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika terdapat alat TcB, maka pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam untuk melihat progresivitas ikterus berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi setiap harinya. Jika kadar TcB yang terukur ± 2-3 mg/dL atau 70% dari ambang batas fototerapi, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSB.27 Pemeriksaan perkiraan secara visual tidak dapat digunakan untuk menentukan derajat ikterus, terutama pada bayi dengan kulit gelap.

Gambar 2. TcB meter (JM 105 Dräger)

377

Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam (Gambar 3).

Gambar 3. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar bilirubin serum sesuai dengan usia (dalam jam)28

Penyebab ikterus Melakukan

pemeriksaan

laboratorium

untuk

mencari

kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima fototerapi atau TSB meningkat cepat dan tidak dapat dijelaskan berdasarkan anamnesis

dan

pemeriksaan

fisik.

Bayi

yang

mengalami

peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi sakit dan ikterus pada umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan

378

bilirubin

total

dan

direk

atau

bilirubin

konjugasi

untuk

mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari peningkatan bilirubin direk dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan FT4, TSH, dan screening inborn error metabolism (paper test). Apabila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi meningkat, dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestasis. Pemeriksaan

terhadap

kadar

glucose-6-phospatase

dehydrogenase (G6PD) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi dengan riwayat keluarga atau etnis/asal geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon terhadap fototerapi yang buruk.

379

Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu14 Indikasi

Penilaian

Ikterus pada 24 jam pertama

Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB

Ikterus tampak berlebihan untuk usia bayi

Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB

Bayi menerima fototerapi atau kadar TSB Lakukan pemeriksaan golongan darah dan meningkat persentil)

secara dan

cepat

tidak

bisa

(melewati tes Coombs dijelaskan Lakukan pemeriksaan Complete blood

penyebabnya dari anamnesa ataupun count dan pemeriksaan darah tepi pemeriksaan fisik

Jika

tersedia

fasilitas,

lakukan

pemeriksaan hitung retikulosit, dan G6PD. Kadar

TSB

mencapai

batas

untuk Jika

tersedia

fasilitas,

Lakukan

dilakukannya transfusi tukar atau tidak pemeriksaan hitung retikulosit, G6PD, dan berespon terhadap fototerapi

albumin. Lakukan pemeriksaan urinalisis dan kultur urine. Evaluasi sepsis jika ada indikasi berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik

Ikterus tampak saat atau setelah usia 3 Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin total minggu, atau bayi sakit

dan direk (atau terkonjugasi) Jika kadar bilirubin direk meningkat, lakukan evaluasi penyebab kolestasis Lakukan pemeriksaan skrining tiroid dan galaktosemia, dan evaluasi untuk tanda dan gejala hipotiroid

Pemeriksaan klinis sebelum pulang dari rumah sakit Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko

berkembangnya

hiperbilirubinemia

berat,

dan

semua

perawatan harus menerapkan protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang sebelum umur 72 jam. Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus diperiksa TcB atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk yang

380

belum masuk dalam kriteria fototerapi, disarankan untuk kontrol menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam. Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu : •

Pengukuran kadar TcB atau TSB sebelum keluar rumah sakit, secara individual atau kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap risiko.



Penilaian faktor risiko klinis.

Kebijakan dan prosedur rumah sakit Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua, serta memperagakan bagaimana cara melakukan pemeriksaan ikterus dan evaluasi perkembangannya. Cara memeriksa ikterus adalah: •

Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian yang diperiksa ke arah samping kanan dan kiri dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi, dada, perut, kaki, dan telapak kaki.



Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari pada pencahayaan yang cukup dan natural menggunakan sinar matahari.



Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.



Jika orangtua mendapati kuning pada bagian telapak kaki dikategorikan sebagai ikterus yang berat dan harus segera menemui petugas kesehatan (Lampiran 8).15

Tindak lanjut Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan profesional yang berkualitas beberapa hari setelah keluar rumah sakit untuk

381

menilai keadaan bayi dan ada / tidak kuning. Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lamanya perawatan,

ada

atau

tidaknya

faktor

risiko

untuk

hiperbilirubinemia dan risiko masalah neonatal lainnya. Penilaian yang harus dilakukan pada saat tindak lanjut berikutnya adalah: •

Perkembangan ikterus



Kecukupan ASI



Ada tidaknya dehidrasi



Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain

Jadwal kunjungan ulang Untuk bayi yang pulang dari rumah sakit, kunjungan tindak lanjut dilakukan dalam kurun waktu paling tidak 2-3 hari setelah bayi dipulangkan. Hal ini berguna untuk melihat progresivitas ikterus dan kadar puncak bilirubin serum yang sering terlihat pada usia 46 hari setelah kelahiran.

Tabel 3. Jadwal kunjungan ulang Bayi keluar RS Sebelum umur 24 jam Antara umur 24 dan 47.9 jam Antara umur 48 dan 72 jam

3.5.3.2

Waktu kunjungan ulang pasca keluar rumah sakit 72 jam 72 - 96 jam 96 - 120 jam

Fototerapi

Tidak ada metode standar dalam memberikan fototerapi. Unit fototerapi memiliki variasi yang sangat banyak, termasuk juga jenis lampu yang digunakan. Efektivitas fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin bergantung pada beberapa hal yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah: jarak sumber cahaya dengan bayi,

382

intensitas lampu fototerapi, jenis lampu fototerapi yang digunakan, luas permukaan paparan, serta kondisi klinis pasien sendiri.29

a.

Konsep fototerapi

Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara mengkonversi molekul bilirubin menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi yang kurang lipofilik dan tidak membutuhkan konjugasi hati untuk bisa di eksresikan. Fotoisomer sebagian besar di ekskresikan dalam empedu dan produk oksidasi sebagian besar dieksresikan dalam urin.30 Fototerapi akan mengekspos kulit bayi melalui cahaya dengan panjang gelombang tertentu, dimana mampu menurunkan total bilirubin dengan beberapa mekanisme berikut ini:31 -

Pembentukan

isomer

menjadi

lumirubin,

fototerapi

merubah bilirubin menjadi lumirubin melalui struktur isomerase yang bersifat irreversible. Lumirubin bersifat lebih larut daripada bilirubin lalu di ekskresikan menuju empedu dan urin. -

Fotoisomer kurang toksik daripada isomer bilirubin, fototerapi merubah isomer bilirubin 4Z, 15Z menjadi isomer 4Z, 15E dimana lebih polar dan kurang toksik dibandingkan 4Z, 15Z. Seperti lumirubin, isomer 4Z, 15E dieksresikan kedalam empedu tanpa dikonjugasi. Tidak seperti struktur isomerase menjadi lumirubin, fotoisomer bersifat reversibel, tapi kliren isomer 4Z, 15E sangat pelan, dan fotoisomer menjadi reversibel. Beberapa isomer 4Z,15E dalam empedu dikonversi kembali menjadi 4Z,15Z, hasilnya pada alur ini sedikit berefek terhadap bilirubin total.

383

-

Foto-oksidasi molekul polar. Reaksi Foto-oksidasi menjadi bilirubin tidak berwarna, komponen polar diekskresikan terutama dalam urin.

Gambar 7. Konsep fototerapi

b. Tabel

Pengukuran kadar fototerapi 5

menunjukkan

cara

memodifikasi

dalam

upaya

meningkatkan intensitas fototerapi. Secara klinis praktis, istilah untuk kekuatan radiasi kita sebut dengan intensitas yang merupakan

spektrum

radiasi

yang

dapat

diukur

dengan

menggunakan alat yang disebut intensity meter. Intensity meter ini menggunakan panjang gelombang tertentu sesuai dengan lampu fototerapi yang digunakan. Perlu diperhatikan bahwa lebar gelombang

dari

spektrum

emisi

lampu

fototerapi

akan

memengaruhi pengukuran intensitas.

384

Hingga saat ini, tidak ada metode standart dalam mengukur dosis fototerapi, sehingga akan sangat sulit untuk membandingkan penelitian tentang efikasi dari fototerapi dan data pabrik untuk intensitas yang dihasilkan jika menggunakan alat yang berbeda. Pengukuran

intensitas

dengan

alat

yang

berbeda

dapat

mengakibatkan perbedaan yang signifikan.32 Pengukuran di bawah lampu dengan spektrum emisi yang terfokus akan memberikan perbedaan

yang

signifikan

antara

satu

radiometer

dengan

radiometer lainnya, karena respons spektrum dari intensity meter dari pabrikan satu dengan lainnya berbeda. Lampu dengan spektrum luas (fluoresen dan haloganjjk) memiliki variasi yang lebih sedikit pada bacaan intensity meter. Pabrik pembuat sistem fototerapi umumnya merekomendasikan intensity meter yang spesifik untuk digunakan dalam mengukur kadar fototerapi ketika sistem mereka digunakan (salah satu contoh lampu fototerapi yang 1 paket dengan alat intensity meter dapat dilihat pada Gambar 8).

385

Gambar 8. Paket lampu fototerapi dengan intensity meter yang berasal dari pabrik yang sama (Bililux Dräger)

Penting juga untuk diketahui bahwa pengukuran radiasi akan

sangat

bervariasi

tergantung

pada

tempat

dimana

pengukuran tersebut dilakukan. Pengukuran radiasi di bawah pusat sumber lampu dapat menunjukkan hasil dua kali lipat lebih tinggi

dibandingkan

pengukuran

dari

perifer,

dan

gradasi

penurunan di perifer juga bervariasi antara unit fototerapi yang berbeda-beda. Idealnya radiasi harus diukur pada beberapa lokasi berbeda dibawah area yang disinari oleh unit fototerapi dan pengukuran

tersebut

dirata-rata.

Internatinal

Electrotechnical

Committee mendifinisikan “luas permukaan area efektif” sebagai luas permukaan yang ditujukan untuk terapi yang disinari oleh lampu fototerapi. Luas permukaan yang digunakan sebagai standar adalah seluas 60x30cm. Berikut adalah silhoulette model yang digunakan oleh ahli bilirubin

dari

Belanda

dengan

mengukur

5

titik

yang

merepresentasikan bagian pusat dan perifer jika fototerapi dengan tipe overhead digunakan. Namun jika fototerapi dengan tipe fiber

386

optic (fototerapi tipe underneath) digunakan, titik yang diukur berjumlah 3 (Gambar 9).27

Gambar 9. Silhouette model untuk titik pengukuran intensitas fototerapi. Keterangan : a) fototerapi tipe overhead; b) fototerapi tipe underneath27

Pengukuran dosis fototerapi secara rutin Meskipun tidak perlu untuk mengukur spektrum radiasi sebelum tiap kali menggunakan fototerapi, namun penting untuk dilakukan pemeriksaan secara periodik terhadap unit fototerapi (1x/bulan) untuk memastikan bahwa radiasi yang diberikan sudah memenuhi kadar terapeutik. Penelitian pada 17 rumah sakit di Jawa menunjukkan bahwa 6 dari 17 rumah sakit memiliki intensitas lampu fototerapi dibawah nilai terapeutik (10-12μW/cm2 per nm) dan 9 dari 17 rumah sakit tidak memiliki kapasitas untuk melakukan intensif fototerapi (>30μW/cm2 per nm). Hal ini tentu sangat berbahaya jika rumah sakit tidak memiliki alat intensity

387

meter untuk mengetahui kekuatan lampu fototerapi yang dimiliki (Gambar10).33

90 80 Irradiance (µW/cm2/nm)

70 60 50 40 30 20 10 0 0

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 Hospital

11

12

13

14

15

16

17

18

Gambar 10. Kekuatan radiasi alat fototerapi pada 17 rumah sakit di Indonesia

Hubungan antara intensitas fototerapi dan respons penurunan kadar bilirubin Ada hubungan langsung antara intensitas fototerapi pada level tertentu dengan penurunan kadar bilirubin (Gambar 11).34 Namun ada titik jenuh dimana peningkatan intensitas tidak meningkatkan kecepatan penurunan kadar bilirubin. Hingga saat ini titik aman intensitas suatu lampu fototerapi masih belum diketahui. Masih menjadi perdebatan apakah intensitas yang lebih tinggi (>50 μW/cm2 per nm) diperlukan dalam proses fototerapi. Penelitian pada hewan coba mendapatkan hasil bahwa penggunaan fototerapi intensitas

yang

tinggi

(>30

μW/cm2

per

nm)

ditengarai

menyebabkan mutasi di tingkat DNA.35

388

Bayi

cukup

bulan

dengan

hiperbilirubinemia

karena

penyebab non-hemolisis dipaparkan pada special blue lamp (Phillips TL 52/20W) dengan intensitas yang berbeda. Spektrum radiasi diukur sebagai rerata hasil dari pemeriksaan di kepala, badan, dan lutut.34

Gambar 11. Hubungan antara rerata spektrum radiasi dengan penurunan konsentrasi bilirubin serum34

Hubungan jarak bayi terhadap sumber cahaya dengan peningkatan intensitas radiasi Gambar 12 menunjukkan bahwa ketika jarak antara sumber cahaya dengan bayi berkurang, terdapat peningkatan yang sesuai pada spektrum radiasi.33 Gambar 12 juga menunjukkan perbedaan yang dramatis pada radiasi yang dihasilkan dalam pita 425-475 nm oleh berbagai tipe tabung fluoresen.

389

90

y = -0.9124x + 55.571 R² = 0.2039 𝜌 < 0.05

80

Irradiance µW/cm2/nm

70 60 50 40 30 20 10 0 0

10

20

30

40

50

60

70

Distance (cm)

Gambar 12. Jarak antara sumber cahaya dengan bayi berkorelasi terbalik33

Berdasarkan

Gambar

12,

klinisi

dapat

meningkatkan

intensitas lampu fototerapi dengan cara mendekatkan jarak sumber cahaya dengan bayi. Beberapa lampu fototerapi konvensional (menggunakan tabung fluoresen dan halogen) harus waspada terhadap efek samping hipertermia jika ingin mendekatkan jarak sumber cahaya. Sangat disarankan meletakkan sumber cahaya sesuai

dengan

panduan

yang

diberikan

oleh

pabrik.

AAP

merekomendasikan jarak yang standar antara sumber cahaya dengan bayi sejauh 40 cm. Penelitian Mahendra dkk mendapatkan bahwa praktik di lapangan jarak fototerapi dengan tabung fluoresen masih cukup aman pada kisaran 20 cm. Namun, jika menggunakan light-emitting diodes (LED), dapat menggunakan jarak yang lebih dekat lagi. Penelitian mendapatkan bahwa pada jarak 17 cm masih aman.33 Fototerapi intensif

390

Fototerapi intensif diartikan sebagai penggunaan radiasi tingkat tinggi pada pita 430-490 nm (umumnya 30 μW/cm2 per nm atau lebih) yang dipancarkan sebanyak mungkin pada permukaan tubuh bayi.

Menggunakan fototerapi secara efektif •

Sumber cahaya Spektrum cahaya yang dipancarkan oleh unit fototerapi tergantung

dari

tipe

sumber

cahaya

dan

filter

yang

digunakan. Unit fototerapi yang biasanya digunakan lampu daylight, cool white, blue, atau special blue fluorescent tube. Unit yang lain menggunakan lampu tungsten-halogen pada konfigurasi yang berbeda, antara free-standing atau sebagai bagian

dari

alat

pemanas

bercahaya.

Baru-baru

ini

diperkenalkan sistem yang menggunakan galium nitride LED dengan intensitas tinggi.36 Sistem fiber optic memancarkan cahaya dari lampu berintensitas tinggi ke selimut yang memiliki fiber optic. Sebagian besar dari alat ini memancarkan luaran yang cukup pada daerah biru-hijau dari spektrum kasat mata untuk bisa efektif sebagai penggunaan fototerapi standar. Namun begitu, ketika kadar bilirubin mencapai rentangan dimana fototerapi intensif direkomendasikan, efisiensi yang maksimal harus ditemukan. Sumber cahaya yang paling efektif saat ini dan tersedia secara komersial untuk fototerapi adalah yang menggunakan special blue fluorescent tube37 atau lampu LED yang didesain secara khusus (Natus Inc, San Carlos, CA).36 Special blue fluorescent tube diberi label F20T12/BB (General Electric, Westinghouse, Sylvania) atau

391

TL52/20W (phillips, Eindhoven, The Netherlands). Penting untuk diketahui bahwa special blue tube memberikan radiasi yang lebih hebat dibanding tabung biru biasa (yang diberi label F20T12/B) (Gambar 11). Special blue tube merupakan yang paling efektif karena mampu menyediakan cahaya yang sebagian besar dalam spektrum warna biru-hijau. Pada panjang gelombang ini, cahaya dengan mudah menembus kulit dan diabsorbsi secara maksimal oleh bilirubin.37 Terdapat suatu kesalah-pahaman bahwa tabung fluoresen untuk fototerapi menggunakan sinar ultraviolet. Padahal, tabung fluoresen hanya memancarkan sedikit sinar ultraviolet dengan panjang gelombang yang lebih panjang dibandingkan dengan sinar ultraviolet yang menyebabkan eritema. Sebagai tambahan, hampir semua sinar ultraviolet diabsorbsi oleh dinding kaca pada tabung fluoresen. •

Jarak dari cahaya Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12, jarak antara sumber

cahaya

siginifikan

dengan

terhadap

bayi

memiliki

peningkatan

dampak

intensitas.

yang Untuk

mengambil keuntungan dari efek ini, tabung fluoresen harus diletakkan sedekat mungkin dengan bayi. Untuk melakukan hal ini, bayi harus diletakkan di keranjang bayi, bukan di inkubator, karena atap dari inkubator mencegah cahaya untuk dibawa mendekat ke bayi. Pada keranjang bayi, sangat mungkin untuk membawa tabung fluoresen dalam jarak 20 cm dari bayi. Bayi cukup bulan yang tidak tertutupi pakaian tidak menjadi terlalu panas di bawah lampu tersebut. Perlu diperhatikan bahwa lampu fototerapi halogen tidak bisa diposisikan lebih dekat pada bayi dibandingkan yang

392

direkomendasikan produsen tanpa menimbulkan risiko terbakar. Ketika lampu halogen digunakan, rekomendasi dari produsen harus diikuti. Reflektor, sumber cahaya, dan filter cahaya yang transparan (jika ada) harus selalu dijaga bersih. •

Luas permukaan Sejumlah sistem telah dikembangkan untuk menyediakan fototerapi diatas dan dibawah bayi.38,

39

Salah satu sistem

yang tersedia secara komersial adalah Billisphere. Unit ini menyediakan special blue fluorescent tube diatas dan dibawah bayi. Alternatif lain adalah meletakkan bantalan serat optik dibawah bayi dengan lampu fototerapi diatasnya. Satu kerugian dari bantalan fiber optik adalah bahwa alat ini hanya melingkupi luas permukaan yang relatif kecil sehingga 2-3 bantalan mungkin diperlukan.40 Ketika kadar bilirubin sangat tinggi dan harus diturunkan secepatnya, sangat penting untuk memaparkan sebanyak mungkin permukaan tubuh bayi ke fototerapi. Pada situasi ini, tambahan paparan luas permukaan dapat dicapai dengan melapisi sisi keranjang menggunakan aluminium foil atau korden putih.41, 42 Pada sebagian besar kondisi, tidak diperlukan untuk menyingkirkan popok bayi, namun ketika kadar bilirubin mencapai rentang kadar transfusi tukar, popok bayi harus disingkirkan hingga ada bukti yang jelas tentang penurunan kadar bilirubin yang signifikan. Pada saat ini, sudah tersedia alat fototerapi yang dapat memberikan fototerapi pada bagian depan dan belakang perubahan

tubuh

bayi

posisi.

secara

Lampu

bersamaan

fototerapi

tanpa

dibuat

perlu

sirkuler

mengelilingi tubuh bayi. Namun alat fototerapi ini terbatas

393

pada bayi besar. Untuk bayi yang kecil, berisiko terjadi hipotermia. Untuk bayi yang kecil dan masih perlu berada dalam inkubator, dapat diberikan fototerapi overhead yang dikombinasi dengan underneath/fiber optic (Gambar 13). Penelitian dengan menggunakan kain satin putih pada 42 bayi di RSCM dengan menggunakan fototerapi tunggal didapatkan penurunan kadar bilirubin pada 6 jam dan 12 jam setelah fototerapi tanpa efek samping yang bermakna untuk kejadian hipertermia dibandingkan dengan fototerapi tunggal tanpa pemakaian satin putih.43 Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan kain penutup memiliki efek yang berbeda-beda tergantung pada warna dan lampu fototerapi

yang

digunakan

terhadap

intensitas

yang

dihasilkan. Penggunaan kain penutup yang berwarna gelap dapat menurunkan intensitas hingga 6 μW/cm2 per nm. Pada penggunaan kain penutup yang berwarna terang, pada kondisi dimana lampu fototerapi diberikan dengan intensitas < 25 μW/cm2 per nm, maka peningkatan intensitas ± 2 μW/cm2 per nm. Berbeda halnya jika menggunakan lampu fototerapi

dengan

intensitas

>

25

μW/cm2

per

nm,

penggunaan kain berwarna putih memberikan peningkatan intensitas yang bervariasi hingga mencapai 20 μW/cm2 per nm yang sebetulnya mungkin tidak diperlukan dan dapat membahayakan bayi.33

394

Gambar 13 a. Jenis alat fototerapi bilisphere (sirkuler)

Gambar 13 b. Biliblanket (fototerapi underneath/fiber optic)

Penurunan kadar bilirubin Pada tingkatan dimana kadar bilirubin menurun tergantung pada faktor yang tertulis pada Tabel 5, dan respon yang berbeda dapat diduga tergantung dari keadaan klinis. Ketika kadar bilirubin sangatlah tinggi (lebih dari 30 mg/dL [513μmol/L]), dan fototerapi

395

intensif dilakukan, penurunan sebanyak 10 mg/dL (171μmol/L) dapat terjadi dalam beberapa jam44, dan penurunan setidaknya 0,51 mg/dL tiap jam dapat diharapkan terjadi pada 4-8 jam pertama.45 Rata-rata, bayi dengan usia gestasi lebih dari 35 minggu yang masuk

kembali

untuk

fototerapi,

fototerapi

intensif

dapat

menghasilkan penurunan hingga 30-40% dari kadar bilirubin awal dalam 24 jam setelah inisiasi fototerapi.46 Penurunan yang paling signifikan terjadi pada 4-6 jam pertama. Dengan sistem fototerapi standar, penurunan 6-20% dari kadar bilirubin awal dapat diharapkan untuk terjadi pada 24 jam pertama.47, 48

Fototerapi intermiten dan terus menerus Beberapa studi klinis yang membandingkan antara fototerapi intermiten dengan fototerapi terus menerus menunjukkan hasil yang

bertentangan.49-51

Karena

semua

paparan

cahaya

meningkatan ekskresi bilirubin (dibandingkan tanpa paparan cahaya), tidak ada penjelasan ilmiah yang masuk akal untuk menggunakan fototerapi secara intermiten. Namun pada sebagian besar kondisi, fototerapi tidak perlu terus menerus. Fototerapi dapat diinterupsi ketika diberi ASI atau kunjungan orangtua yang singkat. Penilaian individu harus dilatih. Jika kadar bilirubin bayi mencapai zona transfusi tukar (Gambar 5), fototerapi harus dilakukan terus menerus hingga terjadi penurunan kadar serum bilirubin yang memuaskan atau transfusi tukar dimulai.

Hidrasi Tidak ada bukti bahwa pemberian cairan yang berlebihan dapat memengaruhi konsentrasi bilirubin serum. Beberapa bayi yang

396

dirawat karena kadar bilirubin yang tinggi juga mengalami dehidrasi ringan dan mungkin membutuhkan pemberian cairan tambahan untuk mengoreksi status dehidrasinya. Karena bayi-bayi ini hampir semuanya diberi ASI, sehingga cairan terbaik untuk digunakan pada kondisi ini adalah milk-based formula, karena akan menghambat sirkulasi enterohepatik dari bilirubin dan dapat membantu

menurunkan

kadar

bilirubin

serum.

Hasil

foto-

degradasi bilirubin akan menghasilkan bilirubin yang larut dalam air yang mudah diekskresikan melalui urin dan empedu.52 Oleh karena itu, hidrasi yang cukup dapat membantu meningkatkan efikasi fototerapi. Kecuali ada bukti dehidrasi, pemberian rutin cairan intravena atau suplementasi lainnya (seperti air dekstrosa) pada bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang menerima fototerapi tidak diperlukan.

Penghentian fototerapi Tidak ada standar untuk menghentikan pemberian fototerapi. Kadar TSB untuk menghentikan fototerapi tergantung pada usia dimana fototerapi dimulai dan penyebab hiperbilirubinemia.46 Untuk bayi yang dirawat kembali setelah rawat inap kelahiran mereka (biasanya pada kadar TSB 18 mg/dL [308 μmol/L] atau lebih), fototerapi dapat dihentikan ketika kadar bilirubin serum turun dibawah 13-14 mg/dL (239 μmol/L). Pemulangan dari rumah sakit tidak perlu ditunda untuk mengobservasi bayi yang kembali rebound.46,

53, 54

Jika fototerapi digunakan untuk bayi dengan

penyakit hemolitik atau dimulai lebih awal dan dihentikan sebelum bayi berusia 3-4 hari, pengukuran bilirurin lanjutan dalam waktu 24 jam setelah kepulangan direkomendasikan.46 Untuk bayi yang masuk

kembali

dengan

hiperbilirubinemia

dan

kemudian

dipulangkan, kejadian rebound sangat jarang, namun pengukuran

397

TSB ulangan atau tindak lanjut dalam 24 jam setelah kepulangan merupakan pilihan klinis.46

Paparan sinar matahari Paparan sinar matahari mampu memberikan radiasi 425-475 nm, dimana telah diketahui mampu menurunkan bilirubin total, tapi paparan sinar matahari secara langsung tidak direkomendasikan untuk mencegah hiperbilirubinemia yang berat. Di negara dengan fasilitas terbatas, pilihan untuk menggunakan perangkat fototerapi dengan gelombang pendek (transmisi sinar biru atau hijau) sebagai sumber cahaya adalah dengan penggunaan sinar matahari yang difiltrasi (filtered sunlight) yang secara selektif memungkinkan tranmisi cahaya biru dan mengurangi paparan radiasi sinar UV. Sebuah penelitian observasional di Nigeria menunjukkan bahwa filtered sunlight dengan menggunakan window tinting films (dimana mampu mengalihkan sejumlah UV yang berbahaya dan infrared) sehingga metode ini aman dan efektif mengurangi bilirubin total (Gambar 14). Penelitian berikutnya masih di lokasi yang sama, menunjukkan bahwa fototerapi filtered sunlight tidak lebih inferior dibandingkan

dengan

fototerapi

konvensional

sebagai

terapi

hiperbilirubinemia pada bayi aterm dan late preterm. Penelitian ini melibatkan 447 bayi dengan hiperbilirubinemia yang secara acak dikelompokkan kedalam filtered sunlight minimal 5 jam pada siang hari, dan fototerapi konvensional sepanjang malam. Hasilnya adalah tidak ada beda yang signifikan dalam menurunkan bilirubin total.55 Efek samping dari penggunaan filtered sunlight adalah hipertermia, hipotermia, dehidrasi, dan risiko terbakar sinar matahari.31

398

Gambar 14. Filtered sunlight 55

m.

Terapi lain untuk fototerapi •

Ursodeoxycholic acid (UDCA) UDCA dapat meningkatkan aliran empedu dan mengurangi kadar TSB. UDCA dipakai sebagai terapi kolestasis. Masih terbatasnya data tentang keamanan dan efikasi UDCA sebagai terapi dibandingkan fototerapi, sehingga UDCA tidak direkomendasikan dipakai rutin.31



Fenobarbital Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial dan secara umum tidak direkomendasikan. Mengingat efek samping pemberian fenobarbital yaitu sedasi pada bayi baru lahir. Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat perubahan fototerapi fenobarbital

bermakna, nampak

hal

jauh

profilaksis

ini

membuat

penggunaan

lebih

mudah.

Penggunaan

mengurangi

pemakaian

untuk

fototerapi atau tranfusi tukar pada bayi dengan defisiensi G6PD ternyata tidak memberikan hasil baik.10, 56

399

Tabel 5. Faktor yang mempengaruhi dosis dan efikasi fototerapi 14 Faktor

Mekanisme/ relevansi klinis

Spektrum lampu Spektrum biru-hijau yang dipancarkan merupakan yang paling efektif. Pada panjang gelombang tersebut, sinar menembus kulit dengan baik dan diabsorbsi secara maksimal oleh bilirubin

Implementasi dan Aplikasi klinis alasan Special blue fluorescent tube atau sumber cahaya lain yang memiliki luaran terbanyak dalam spektrum biru-hijau dan yang paling efektif dalam menurunkan TSB

Special blue fluorescent tube atau sumber lampu LED dengan luaran spektrum biru-hijau untuk PT intensif

Spektrum radiasi ↑ radiasi → ↑ laju Radiasi diukur Jika special blue (radiasi pada penurunan TSB dengan radiometer fluorescent tube 2 panjang digunakan, bawa (μW/cm per nm). gelombang sedekat Standar unit PT tabung tertentu) yang kepada memancarkan 8-10 mungkin dipancarkan ke untuk μW/cm2 per nm (fig bayi permukaan tubuh meningkatkan 6). PT intensif bayi membutuhkan >30 radiasi (gambar 6). μW/cm2 per nm Catatan: Tidak dapat dilakukan dengan lampu halogen karena bahaya terbakar. Special blue tube 1015 cm diatas bayi akan menghasilkan radiasi setidaknya sebesar 35 μW/cm2 per nm Kekuatan spektrum ↑ permukaan tubuh (rerata spektrum yang terpapar → ↑ radiasi yang laju penurunan TSB melewati permukaan tubuh)

Untuk PT intensif, paparkan permukaan tubuh bayi semaksimal mungkin pada PT

Letakkan lampu diatas dan bantalan serat optik atau special blue fluorescent tube dibawah bayi. Untuk paparan maksimum, lapisi sisi samping keranjang bayi, kasur hangat, atau inkubator

400

dengan foil Penyebab ikterus

PT menjadi kurang efektif ketika ikterus disebabkan oleh hemolisis atau jika kolestasis terjadi. (↑ bilirubin direk)

Kadar TSB pada Semakin tinggi TSB, saat permulaan PT semakin cepat penurunan TSB dengan PT

aluminium

Ketika hemolisis terjadi, mulai PT pada kadar TSB yang rendah. Gunakan PT intensif. Kegagalan dari PT menunjukkan bahwa hemolisis merupakan penyebab ikterus. Jika ↑ bilirubin direk, awasi terjadinya bronze baby syndrome atau lepuhan Gunakan PT intensif untuk kadar TSB yang lebih tinggi. Antisipasi penurunan kadar TSB secara cepat ketika TSB > 20 mg/dL (342 μmol/L)

401

Tabel 6. Komplikasi Fototerapi 16 Efek samping Perubahan

Perubahan spesifik suhu

dan Peningkatan

metabolik lainnya

Implikasi klinis suhu Dipengaruhi

lingkungan dan tubuh

kematangan asupan kalori

konsumsi (energi

Peningkatan

oleh

untuk

merespon

oksigen

perubahan suhu), adekuat

Peningkatan laju respirasi

atau tidaknya penyesuaian

Peningkatan aliran darah terhadap suhu pada unit fototerapi, jarak dari unit ke kulit ke bayi, dan inkubator (berkaitan dengan aliran udara

dan

udara

kehilangan

pada

warmer),

radiant

penggunaan

servocontrol. Perubahan kardiovaskular

Perubahan curah

sementara Terbukanya kembali duktus jantung

dan arteriosus,

penurunan curah ventrikel karena kiri

kemungkinan fotorelaksasi,

biasanya tidak signifikan terhadap

hemodinamik.

Perubahan

hemodinamik

terlihat

pada

12

jam

pertama fototerapi, setelah itu kembali ke awal atau meningkat Status cairan

Peningkatan aliran darah Meningkatkan perifer

kehilangan

cairan Dapat keperluan

mengubah pemakaian

medikasi intramuskular Peningkatan water loss

insensible Disebabkan

oleh

kehilangan cairan melalui evaporasi, metabolik, dan respirasi

402

Dipengaruhi

oleh

lingkungan (aliran udara, kelembaban,

suhu),

karakteristik unit fototerapi, perubahan suhu, perubahan suhu kulit dan suhu inti bayi, denyut

jantung,

laju

respirasi, laju metabolik, asupan

kalorai,

tempat

tidur

(meningkat

dengan radiant

bentuk

penggunaan warmer

dan

inkubator) Fungsi saluran cerna

Peningkatan jumlah dan Berkaitan frekuensi buang air besar

dengan

peningkatan aliran empedu yang dapat menstimulasi aktivitas saluran cerna

Feses cair, berwarna hijau Meningkatkan kecoklatan Penurunan

kehilangan

cairan melalui feses waktu

transit Meningkatkan

usus

kehilangan

cairan melalui feses dan risiko dehidrasi

Penurunan absorpsi, retensi Perubahan nitrogen, air, dan elektrolit Perubahan

pada cairan dan elektrolit

aktivitas Intoleransi

laktosa, riboflavin

mendadak sementara

laktosa dengan penurunan laktase pada silia epitel dan peningkatan frekuensi BAB dan konsistensi air pada feses

Perubahan aktivitas

Letargis, gelisah

Dapat

memengaruhi

hubungan orangtua-bayi Perubahan berat badan

Penurunan nafsu makan

Menyebabkan perubahan asupan cairan dan kalori

403

Penurunan pada awalnya Disebabkan namun

terkejar

oleh

dalam pemberian

waktu 2-4 minggu

asupan

makanan yang buruk dan peningkatan

kehilangan

melalui saluran cerna Efek okuler

Tidak ada penelitian pada Menurunnya input sensoris manuisa,

namun

perlu dan stimulasi sensoris.

perhatian

antara

efek Penutup

cahaya

dibandingkan meningkatkan risiko infeksi,

dengan efek penutup mata

mata

aberasi

kornea,

peningkatan

tekanan

intrakranial

(jika

terlalu

kencang) Perubahan kulit

Tanning

Disebabkan oleh induksi sintesis

melanin

atau

disperse

oleh

sinar

ultraviolet Rashes

Disebabkan oleh cedera pada sel mast kulit dengan pelepasan histamin, eritema dari sinar ultraviolet

Burns

Disebabkan

oleh

pemaparan

yang

berlebihan

dari

emisi

gelombang pendek sinar fluorescent Bronze baby syndrome

Disebabkan oleh interaksi fototerapi

dan

ikterus

kolestasis,

menghasilkan

pigmen cokelat (bilifuscin) yang mewarnai kulit, dapat pulih dalam hitungan bulan Perubahan endokrin

Perubahan

kadar Belum

gonadotropin

serum pasti

diketahui

secara

(peningkatan LH dan FSH)

404

Perubahan hematologi

Peningkatan

turnover Merupakan masalah bagi

trombosit

bayi

dengan

trombosit

yang rendah dan yang dalam keadaan sepsis Cedera pada sel darah Menyebabkan merah

dalam

sirkulasi meningkatkan

hemolisis, kebutuhan

degnan penurunan kalium energi dan peningkatan aktivitas ATP Perhatian

terhadap Isolasi

perilaku psikologis

Efek

diatasi

oleh

perawatan yang baik Perubahan status organisasi Dapat dan manajemen perilaku

interaksi

diatasi

dengan

orangtua-bayi.

Dapat memengaruhi ritme kardiak

405

3.5.3.3 Transfusi tukar Frekuensi tindakan transfusi tukar menurun pada tahun 1990an, sehingga menyebabkan penurunan pengalaman yang signifikan diantara para personel yang melakukan prosedur tersebut.57-59 Namun begitu, muncul kembalinya kernikterus sebagai masalah kesehatan masyarakat membuat transfusi tukar sebagai modalitas terapi yang berpotensi mencegah komplikasi pada perkembangan saraf.17, 60

a. Definisi Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan darah donor dengan cara mengeluarkan dan mengganti sejumlah darah secara berulang kali dalam periode waktu yang singkat.

b. Indikasi •

Adanya peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi yang signifikan pada bayi baru lahir karena sebab apapun, ketika fototerapi

intensif

kernikterus.

gagal,

Transfusi

direkomendasikan

jika

atau

ada

tukar terdapat

risiko

terjadinya

sesegera tanda

mungkin

awal

gejala

ensefalopati bilirubin akut.14 Gambar 5 menunjukkan batas kadar TSB pada bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu yang direkomendasikan untuk dilakukan transfusi tukar. •

Penyakit hemolisis alloimun pada bayi baru lahir (HDN) untuk koreksi anemia berat dan hiperbilirubinemia



Anemia

berat

hipervolemia •

dengan

gagal

jantung

57

kongestif

atau

57, 61

Polisitemia Vera (PCV)

406

Walaupun transfusi tukar secara parsial dengan kristaloid atau koloid mengurangi PCV dan hiperviskositas pada bayi dengan

polisitemia,

namun

ternyata

tidak

ada

bukti

mengenai keuntungan jangka panjang dari prosedur tersebut 62



Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) 58



Leukemia kongenital



Toksin metabolik -

Hiperammonemia

-

Asidemia organik

-

Keracunan timbal

63

64 65 66



Overdosis atau intoksikasi obat-obatan



Eliminasi antibodi atau protein abnormal



Sepsis neonatorum atau malaria

67, 68 69, 70

71, 72

c. Kontraindikasi •

Ketika alternatif seperti transfusi sederhana atau fototerapi sama efektifnya dengan transfusi tukar namun dengan risiko yang lebih rendah



73

Ketika pasien tidak stabil dan risiko dari prosedur transfusi tukar melebihi keuntungan Pada pasien dengan anemia berat, dengan gagal jantung atau hipervolemia, transfusi tukar secara parsial lebih berguna untuk menstabilkan kondisi pasien sebelum transfusi tukar secara lengkap atau secara double volume dilakukan



Ketika kontraindikasi untuk memasang jalur pemberian transfusi tukar melebihi indikasi untuk dilakukan transfusi tukar. Akses alternatif harus dicari jika transfusi tukar memang dibutuhkan74

407

d. Perlengkapan •

Neonatal Intesinve Care Unit (NICU) -

Sumber panas yang bisa dikontrol secara automatis dan manual

-

Monitor untuk evaluasi suhu

-

Monitor untuk evaluasi kardiorespirasi

-

Pulse oximetry untuk monitor saturasi oksigen



Peralatan dan obat-obatan untuk resusitasi



Pengikat bayi



Tabung orogastrik



Peralatan suction



Alat untuk akses vaskular sentral dan perifer



Penghangat darah dan koil yang sesuai (lihat bagian pencegahan)



Alat steril untuk transfusi tukar Alat sekali pakai yang sudah dirakit dari pabrik Alat yang belum dirakit: 4. Spuit 10 atau 20 ml (gunakan spuit yang lebih kecil jika jumlah darah yang digunakan lebih sedkit) 5. Three-way (2 buah) dengan pengunci sambungan 6. Tempat pembuangan (botol infus kosongan) 7. Sambungan tabung infus



Produk darah yang sesuai



Tabung dan spuit untuk pemeriksaan darah sebelum dan setelah transfusi tukar

e. Pencegahan •

Stabilkan bayi sebelum melakukan transfusi tukar

408



Jangan memulai transfusi tukar hingga tersedia personel untuk melakukan pemantauan dan sebagai bala bantuan ketika terjadi kegawatdaruratan



Gunakan produk darah yang sesuai dengan indikasi klinis. Gunakan darah yang paling baru, disarankan <5-7 hari



Lakukan pemeriksaan kadar kalium pada darah donor jika pasien mengalami hiperkalemia atau gangguan ginjal



Lakukan pemantauan dengan seksama ketika dan setelah transfusi tukar dilakukan



Jangan terbaru-buru dalam melakukan tindakan. Dapat mengakibatkan pengulangan transfusi tukar jika efikasinya menurun akibat terburu-buru. Hentikan atau pelankan prosedur jika pasien menjadi tidak stabil.



Gunakan alat penghangat darah yang dapat diatur suhunya dan lolos uji kontrol kualitas suhu dan alarm. Pastikan untuk memahami cara pengoperasian dan prosedur keamanan untuk penghangat darah yang spesifik. Jangan panaskan darah lebih dari 38oC



Jangan melakukan suction yang berlebihan jika terjadi kesulitan untuk mengambil darah. Posisikan ulang saluran atau ganti spuit, katup, dan peralatan-peralatan yang tersambung



Ketika

prosedur

terputus,

biarkan

darah

dengan

antikoagulasi tetap didalam saluran atau bersihkan saluran dengan saline yang mengandung heparin •

Bersihkan saluran dengan saline yang mengandung heparin jika hendak memasukkan kalsium

409

f.

Persiapan untuk transfusi tukar 1. Produk darah dan volumenya •

Komunikasikan dengan bank darah atau ahli kedokteran transfusi untuk menentukan produk darah yang paling sesuai untuk transfusi

-

Plasma-reduced whole blood atau PRC yang digabungkan kembali dengan plasma darah, dengan PCV diatur menjadi 0.5-0.6, sesuai untuk transfusi tukar dengan tujuan koreksi anemia dan hiperbilirubinemia

-

57, 75-77

Darah dapat diberi antikoagulan dengan menggunakan CPD (citrate phosphate dextrose) atau heparin. Penambahan larutan antikoagulan umumnya dihindari.75-78 Jika hanya tersedia RBC yang disimpan dalam larutan antikoagulan, maka larutan tersebut dapat disingkirkan dengan cara washing atau centrifuge, dan saat sel darah merah akan digabungkan dengan plasma, cairan supernatan dari hasil washing atau centrifuge dibuang

-

Darah seharusnya sebaru mungkin (<7 hari)

-

Darah yang telah diradiasi direkomendasikan untuk seluruh transfusi tukar untuk mencegah terjadinya graft vs host. Waktu pemberian radiasi pada darah harus dilakukan sedekat mungkin dengan waktu pemberian transfusi tukar (<24 jam) karena jika disimpan terlalu lama akan terjadi peningkatan konsentrasi kalium yang signifikan

-

Pemeriksaan standar dari bank darah sangatlah penting, termasuk pemeriksaan HIV, hepatitis B, dan CMV

-

Darah donor harus diperiksa untuk defisiensi G6PD dan HbS pada populasi yang endemis terhadap kondisi ini



79

Pada kondisi adanya alloimun (Rh, ABO), pemeriksaan kompatibilitas perlu dilakukan

57

410

-

Jika kelahiran bayi dengan HDN berat diantisipasi, darah O Rh- yang sudah dilakukan cross-matched dengan ibu dapat dipersiapkan sebelum bayi lahir

-

Darah donor yang dipersiapkan setelah bayi lahir tidak boleh memiliki

antigen

yang

dapat

mengakibatkan

penyakit

hemolitik, dan harus dilakukan cross-matched dengan bayi tersebut -

Pada HDN karena inkompatibilitas ABO, golongan darah yang diberikan harus O dengan Rh negatif atau Rh kompatibel dengan ibu dan bayi. Darah harus dibersihkan dari plasma atau memiliki titer antibodi anti-A atau anti-B yang rendah. Golongan darah O dengan plasma AB dapat lebih efektif, namun hal tersebut mengakibatkan adanya 2 paparan donor yang berbeda pada 1 kali transfusi tukar

-

80

Pada HDN karena Rh, darah yang diberikan harus Rh negatif, dan dapat berupa golongan darah O atau golongan darah yang sama dengan bayi



Pada bayi dengan polisitemia, cairan dilusi yang optimal untuk transfusi tukar parsial adalah saline isotonis daripada plasma atau albumin

81

2. Volume darah donor yang diperlukan •

Gunakan tidak lebih dari 1 unit darah untuk setiap prosedur transfusi tukar jika memungkinkan untuk mengurangi paparan donor



Jumlah yang diperlukan untuk prosedur transfusi tukar total = volume yang dibutuhkan untuk transfusi tukar + dead space tabung + penghangat darah (± 25-30 mL)



Volume

ganda

transfusi

tukar

untuk

menyingkirkan

bilirubin, antibodi, dan lainnya:

411

2x volume darah bayi = 2 x 80-120mL/kg •

Volume tunggal transfusi tukar: ± 85% dari volume darah bayi (Gambar 15)



Transfusi tukar parsial untuk perbaikan anemia berat: 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝐿) =



𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑥 (𝐻𝑏 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 − 𝐻𝑏 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖) 𝐻𝑏 𝑃𝑅𝐵𝐶 − 𝐻𝑏 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖

Volume tunggal atau transfusi tukar parsial untuk koreksi polisitemia: 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝐿) =

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑥 𝐻𝐶𝑇 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝐻𝐶𝑇 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖

Gambar 15. Efektivitas transfusi tukar terhadap fraksi volume darah yang ditukar

3. Persiapan bayi •

Letakkan bayi pada warmer dengan lingkungan yang dapat diatur dan dikontrol. Transfusi tukar untuk bayi preterm yang

412

kecil bisa dilakukan di inkubator, asalkan area steril dapat dipertahankan dan jalur pemberian mudah diakses •

Ikat bayi dengan sesuai. Sedasi dan penghilang nyeri biasanya tidak dibutuhkan. Bayi yang sadar bisa diberikan dot ketika prosedur berlangsung



Pasang monitor pada bayi dan tentukan nilai dasarnya (suhu, frekuensi napas, frekuensi nadi, dan oksigenasi)



Kosongkan perut bayi

-

Jangan beri bayi makan 4 jam sebelum prosedur jika memungkinkan

-

Pasang OGT dan kosongkan isi lambung; biarkan dalam keadaan terbuka



Mulai pemberian glukosa dan obat-obatan secara intravena:

-

Jika transfusi tukar mengganggu tingkat infus sebelumnya

-

Jika kekurangan pemberian glukosa oral atau parenteral berkepanjangan menyebabkan terjadinya hipoglikemia

-

Jalur

intravena

tambahan

mungkin

diperlukan

untuk

pemberian obat-obatan gawat darurat •

Stabilisasi bayi sebelum memulai prosedur transfusi tukar: beri transfusi PRC pada kondisi hipovolemia berat dan anemia, atau modifikasi ventilator atau oksigen ketika terjadi dekompensasi pernafasan.

4. Pembuatan akses untuk transfusi tukar Teknik push pull: Akses sentral melalui kateter vena umbilikalis

413

5. Pemeriksaan laboratorium darah bayi sebelum dilakukan transfusi tukar berdasarkan kondisi klinis Studi diagnostik sebelum transfusi. Perlu diingat bahwa tes serologis pada bayi, seperti untuk evaluasi hemolisis, titer antibodi antivirus, skrining metabolik, atau tes genetik harus dilakukan sebelum transfusi tukar dilakukan •

Hb, Hct, PCT



Elektrolit, kalsium, BGA



Glukosa



Bilirubin



Profil koagulasi

6. Persiapan darah •

Lakukan identifikasi terhadap produk darah



Pasang set infus pada tabung penghangat darah dan kantong darah



Alirkan darah melalui penghangat darah

g. Komplikasi •

Risiko kematian atau sequele yang parah diduga < 1% pada bayi sehat, namun pada bayi sakit sebesar 12%. Ada keraguan terhadap efek samping dari transfusi tukar pada bayi yang sudah dalam kondisi kritis



82-84

Kebanyakan efek samping adalah efek samping hematologi dan biokimia, yang mana tidak menunjukkan adanya gejala. Efek samping yang paling sering ditemukan pada saat atau sesaat setelah transfusi tukar, biasanya pada bayi preterm atau bayi sakit, adalah:

-

Apne dan/atau bradikardi

-

Hipokalsemia

414

-

Trombositopenia (<50.000 pada 10% bayi sehat, atau 67% pada bayi < 32 minggu usia kehamilan)

-

Asidosis metabolik

-

Spasme vaskular



Komplikasi yang dilaporkan pada transfusi tukar adalah yang berhubungan dengan transfusi darah dan akses vaskular. Komplikasi yang berpotensi terjadi antara lain:

-

Metabolik:

hipokalsemia,

hipo

atau

hiperglikemia,

hiperkalemia -

Kardiorespirasi: apne, bradikardi, hipotensi, hipertensi

-

Hematologi: trombositopenia, dilusi koagulopati, neutropenia, DIC

-

Terkait kateter vaskular: spasme vaskular, thrombosis, embolisasi

-

Gastrointestinal: feeding intolerance, iskemia, NEC

-

Infeksi: omfalitis, septikemia

415

Gambar 16. Katup 4-arah. A. Male adapter; B. Female adapter; C. Penggabungan pada tabung darah; D. Posisi off (180o dari adapter menuju container pembussangan), untuk pemberian injeksi melalui karet penahan. Katup digunakan searah jarum jam ketika sudah dirakit dengan benar

Gambar 17. Transfusi tukar menggunakan katup 4-arah

416

Gambar 18. Tranfusi tukar dengan menggunakan arteri radialis dan vena umbilikal

417

BAB IV REKOMENDASI

4.1. Pencegahan hyperbilirubinemia 4.1.2 Pencegahan primer Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka mendapat ASI yang cukup dengan beberapa pertanyaan: a. Apakah bayi minum 8-12x per hari? b. Apakah BAB > 3x per hari? c. Apakah BAK > 6x per hari? d. Apakah BB bayi tidak turun >10% dalam 5 hari pertama kehidupan? e. Apakah bayi demam? Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

4.1.2 Pencegahan sekunder Dilakukan penilaian secara berkesinambnknungan untuk risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal. Tata cara melakukan penilaian ini dimulai dengan pemeriksaan secara visual untuk progresivitas hiperbilirubinemia secara sefalokaudal yang diikuti dengan pemeriksaan TcB /TSB. Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

418

a. Pemeriksaan golongan darah Melakukan komunikasi dengan dokter obstetrik dan ginekologi, bidan, atau perawat untuk melakukan pemeriksaan ABO dan Rh(D) pada setiap wanita hamil. Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi direk (tes Coombs), golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi. Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

Bila golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan pengawasan, penilaian terhadap risiko sebelum keluar rumah sakit dan tindak lanjut yang memadai. Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

4.2 Penilaian klinis Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya progresivitas ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi. Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

419

Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui oleh seluruh staf perawatan, jika sarana untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak tersedia di layanan kesehatan, harus dilakukan rujukan untuk pemeriksaan kadar bilirubin (contoh alat TcB di Gambar 2). Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.3 Evaluasi laboratorium 4.3.1 Kadar bilirubin TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama kehidupan. Kemudian hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi tukar. Aplikasi bilinorm dapat diunduh di Apps store atau Playstore. Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Pemeriksaan TcB dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika terdapat alat TcB, maka pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam untuk melihat progresivitas ikterus berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi setiap harinya. Jika kadar TcB yang terukur ± 2-3 mg/dL atau 70% dari ambang batas fototerapi, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSB.27 Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

Pemeriksaan perkiraan secara visual tidak dapat digunakan untuk menentukan derajat ikterus, terutama pada bayi dengan kulit gelap. Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

420

Gambar 2. TcB meter (JM 105 Dräger)

Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam (Gambar 3). Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Gambar 3. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan

421

usia kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar bilirubin serum sesuai dengan usia (dalam jam)28

4.3.2 Penyebab ikterus Melakukan

pemeriksaan

laboratorium

untuk

mencari

kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima fototerapi atau TSB meningkat cepat dan tidak dapat dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus

dilakukan

laboratorium

analisis

tambahan

dan

untuk

kultur

urin.

mengevaluasi

Pemeriksaan sepsis

harus

dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Bayi sakit dan ikterus pada umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari peningkatan

bilirubin

direk

dapat

diidentifikasi

dengan

pemeriksaan FT4, TSH, dan screening inborn error metabolism (paper test). Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

422

Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi meningkat, dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestasis. Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phospatase dehydrogenase (G6PD) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi dengan riwayat keluarga atau etnis/asal geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon terhadap fototerapi yang buruk. Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu14 Indikasi

Penilaian

Ikterus pada 24 jam pertama

Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB

Ikterus tampak berlebihan untuk usia bayi

Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB

Bayi menerima fototerapi atau kadar TSB Lakukan pemeriksaan golongan darah dan meningkat persentil)

secara dan

cepat

tidak

bisa

(melewati tes Coombs dijelaskan Lakukan pemeriksaan Complete blood

penyebabnya dari anamnesa ataupun count dan pemeriksaan darah tepi pemeriksaan fisik

Jika

tersedia

fasilitas,

lakukan

pemeriksaan hitung retikulosit, dan G6PD. Kadar

TSB

mencapai

batas

untuk Jika

tersedia

fasilitas,

Lakukan

dilakukannya transfusi tukar atau tidak pemeriksaan hitung retikulosit, G6PD, dan berespon terhadap fototerapi

albumin. Lakukan pemeriksaan urinalisis dan kultur urine. Evaluasi sepsis jika ada indikasi berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik

Ikterus tampak saat atau setelah usia 3 Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin total minggu, atau bayi sakit

dan direk (atau terkonjugasi) Jika kadar bilirubin direk meningkat, lakukan evaluasi penyebab kolestasis

423

Lakukan pemeriksaan skrining tiroid dan galaktosemia, dan evaluasi untuk tanda dan gejala hipotiroid

4.4 Pemeriksaan klinis sebelum pulang dari rumah sakit Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko

berkembangnya

hiperbilirubinemia

berat,

dan

semua

perawatan harus menerapkan protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang sebelum umur 72 jam. Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus diperiksa TcB atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk yang belum masuk dalam kriteria fototerapi, disarankan untuk kontrol menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam. Peringkat bukti IIIA, Derajat rekomendasi C Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu : •

Pengukuran kadar TcB atau TSB sebelum keluar rumah sakit, secara individual atau kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap risiko.



Penilaian faktor risiko klinis. Peringkat bukti IIIA, Derajat rekomendasi C

4.5 Kebijakan dan prosedur rumah sakit Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua, serta memperagakan bagaimana cara melakukan pemeriksaan ikterus dan evaluasi perkembangannya. Cara memeriksa ikterus adalah:

424



Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian yang diperiksa ke arah samping kanan dan kiri dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi, dada, perut, kaki, dan telapak kaki.



Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari pada pencahayaan yang cukup dan natural menggunakan sinar matahari.



Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.



Jika orangtua mendapati kuning pada bagian telapak kaki dikategorikan sebagai ikterus yang berat dan harus segera menemui petugas kesehatan (Lampiran 8).15 Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.6 Tindak lanjut Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan profesional yang berkualitas beberapa hari setelah keluar rumah sakit untuk menilai keadaan bayi dan ada / tidak kuning. Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lamanya perawatan,

ada

atau

tidaknya

faktor

risiko

untuk

hiperbilirubinemia dan risiko masalah neonatal lainnya. Penilaian yang harus dilakukan pada saat tindak lanjut berikutnya adalah: •

Perkembangan ikterus



Kecukupan ASI



Ada tidaknya dehidrasi



Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

4.7 Jadwal kunjungan ulang

425

Untuk bayi yang pulang dari rumah sakit, kunjungan tindak lanjut dilakukan dalam kurun waktu paling tidak 2-3 hari setelah bayi dipulangkan. Hal ini berguna untuk melihat progresivitas ikterus dan kadar puncak bilirubin serum yang sering terlihat pada usia 46 hari setelah kelahiran. Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Tabel 3. Jadwal kunjungan ulang Bayi keluar RS Sebelum umur 24 jam Antara umur 24 dan 47.9 jam Antara umur 48 dan 72 jam

Waktu kunjungan ulang pasca keluar rumah sakit 72 jam 72 - 96 jam 96 - 120 jam

4.8 Terapi 4.8.1 Fototerapi Rekomendasi terapi terdapat pada Tabel 4, Gambar 4, dan Gambar 5. Jika kadar bilirubin total serum tidak menurun atau terus meningkat, maka lakukan evaluasi apakah intensitas lampu fototerapi sudah cukup (30μW/cm2/nm). Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Intensitas dapat ditingkatkan dengan cara: 1. Menggunakan fototerapi ganda. 2. Mendekatkan jarak bayi dengan lampu fototerapi Dua hal diatas ini berisiko untuk terjadi hipertermia dan dehidrasi pada bayi. Faktor risiko ini bertambah apabila menggunakan lampu

426

tipe fluoresensi dan halogen. Namun risiko berkurang jika menggunakan lampu LED. Praktek lama menggunakan korden memberikan

perubahan

intensitas

yang

tidak

menentu.

Penggunaan korden disarankan dengan menggunakan warna yang terang

atau

menggunakan

material

reflektor.

Dianjurkan

melakukan pemeriksaan intensitas lampu fototerapi sebelum dan sesudah modifikasi upaya peningkatan intensitas untuk melihat apakah intensitas yang ada sudah memenuhi kriteria intensif fototerapi. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan intensity meter (contoh intensity meter pada Gambar 6). Jika terjadi hemolisis ketika

diberikan

fototerapi

dan

transfusi

tukar,

lakukan

pemeriksaan retikulosit, Coomb test, ABO, dan Rh(D) ibu dan bayi.

Gambar 6. Bilirubin blanket meter II (intensity meter) (OHMEDA Medical).

Untuk menentukan bayi memerlukan fototerapi atau transfusi tukar, maka kadar bilirubin yang diplot di normogram adalah total serum bilirubin. Penghentian fototerapi dilakukan pada kondisi

427

dimana kadar bilirubin direk 50% atau lebih dari bilirubin total, segera rujuk ke NICU level 3. Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C Semua fasilitas perawatan dan pelayanan bayi harus memiliki peralatan

untuk

fototerapi

intensif

yang

dilengkapi

dengan

intensitimeter untuk mengukur secara periodik lampu fototerapi yang dimiliki minimal 1 bulan sekali. Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

4.8.2 Tranfusi tukar Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi dilakukan transfusi tukar atau jika kadar bilirubin total sebesar 25 mg/dL atau lebih tinggi pada setiap waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan bayi harus segera masuk dan mendapatkan perawatan fototerapi intensif. Bayi-bayi ini tidak harus dirujuk melalui bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi (penjelasan lebih lengkap lihat di bagian transfusi tukar). Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Transfusi tukar harus dilakukan hanya oleh personel yang terlatih di ruangan NICU dengan observasi ketat dan mampu melakukan resusitasi. Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

428

4.8.3 Pemberian immunoglobulin intravena Pada

penyakit

isoimun

hemolitik,

pemberian

imunoglobulin

intravena (0,5-1g/kgBB) direkomendasikan jika kadar bilirubin total serum meningkat walaupun telah mendapat fototerapi intensif atau kadar TSB berkisar 2-3 mg/dL dari kadar transfusi tukar. Jika diperlukan dosis ini dapat diulang dalam 12 jam. Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

4.8.4 Kadar serum albumin dan rasio bilirubin/albumin Disarankan untuk melakukan pemeriksaan kadar serum albumin. Kadar albumin yang kurang dari 3 mg/dL meningkatkan risiko terjadinya ensefalopati bilirubin akut sehingga ambang batas fototerapi untuk bayi tersebut harus diturunkan (kelompok risiko tinggi). Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Jika dipertimbangkan transfusi tukar, kadar albumin serum harus diukur dan digunakan rasio bilirubin/albumin yang berkaitan dengan kadar bilirubin total serum dan faktor-faktor lainnya yang menentukan dilakukannya transfusi tukar. Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.8.5 Ensefalopati bilirubin akut

429

Direkomendasikan untuk segera melakukan transfusi tukar pada setiap bayi hiperbilirubinemia dengan tanda hemolisis disertai manifestasi

ensefalopati

bilirubin

akut

(hipertonia,

arching,

retrocollis, opistotonus, demam, menangis, menangis melengking) meskipun kadar bilirubin total serum masih di bawah batas transfusi tukar. Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.8.6 Manajemen rawat jalan bayi dengan breastfeeding jaundice Pada bayi yang menyusu yang memerlukan fototerapi, AAP merekomendasikan bahwa, jika memungkinkan, menyusui harus diteruskan. Hal ini dapat mengurangi kadar bilirubin dan atau meningkatkan efektifitas fototerapi. Pada bayi ASI eksklusif yang mendapat fototerapi, suplementasi dengan pemberian ASI perah atau formula adalah pilihan yang tepat terutama jika asupan bayi dirasa tidak adekuat, berat badan turun berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi. Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Tabel 4. Contoh langkah klinis untuk manajemen bayi baru lahir yang masuk kembali ke rumah sakit untuk mendapatkan fototerapi atau transfusi tukar14 Terapi Berikan fototerapi intensif dan/atau transfusi tukar sebagaimana diindikasikan pada gambar 4 dan 5 Pemeriksaan laboratorium Kadar TSB dan bilirubin direk Golongan darah (ABO, Rh) Tes antibodi direk (Coombs’)

430

Serum albumin Pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah untuk mengetahui morfologi sel darah merah Hitung jenis retikulosit G6PD (jika tersedia) jika menunjukkan adanya hubungan dengan asal etnis atau asal geografis tertentu atau jika respon terhadap fototerapi buruk Pemeriksaan urinalisis, termasuk uji reduksi urin untuk mendeteksi kolestasis Jika berdasarkan anamnesis dan atau tampilan klinis menunjukkan tanda sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah dan urin serta pemeriksaan CSF untuk melihat protein, glukosa, jumlah sel, dan hasil kultur. Fototerapi Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam. Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 2-3 jam Bila bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 3-4 jam, bila < 20 mg/dL diulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun, maka perlu dilakukan pemeriksaan ulang dalam 8-12 jam. Bila kadar bilirubin total tidak turun atau malah mendekati kadar transfusi tukar atau perbandingan bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat mendekati angka untuk transfusi tukar maka lakukan transfusi tukar (gambar 5). Bila kadar bilirubin total < 13-14 mg/dL, hentikan fototerapi Tergantung pada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin ulangan boleh dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat kemungkinan terjadinya rebound Transfusi tukar Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL atau ≥ 20 mg/dL pada bayi sakit atau bayi < 38 minggu, lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien yang akan direncanakan untuk mendapat tansfusi tukar. Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin total meningkat walau telah dilakukan fototerapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL kadar transfusi tukar (gambar 5), berikan imunoglobulin intravena 0.5-1 g/kg selama lebih dari 2 jam dan boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 12% atau secara klinis atau bukti secara biokimia menujukkan tanda dehidrasi, dianjurkan pemberian susu formula atau ASI tambahan. Bila pemberian peroral sulit dapat diberikan intravena.

431

Gambar 4. Panduan untuk fototerapi pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35 minggu.14 Keterangan : •

Gunakan TSB. Jangan mengurangi TSB dengan bilirubin direk.



Faktor risiko: isoimmune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar albumin <3g/dl



Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolehkan untuk melakukan fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah untuk bayi-bayi yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total serum yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu.



Diperbolehkan melakukan fototerapi dengan dosis standard (8-10 μW/cm2 per nm) baik di rumah sakit atau di rumah pada kadar bilirubin total 2-3 mg/dL di bawah garis yang ditunjukkan, namun pada bayi-bayi yang memiliki faktor risiko fototerapi sebaiknya tidak dilakukan di rumah.

Panduan ini berdasarkan bukti yang terbatas dan kadar yang ditunjukkan

adalah

perkiraan.

Panduan

ini

mengacu

pada

penggunaan fototerapi intensif yang mana harus digunakan ketika

432

kadar TSB melewati garis yang diindikasikan untuk tiap kategori. Bayi dikategorikan sebagai risiko tinggi karena adanya efek potensial negatif dari kondisi yang tercatat pada ikatan albumin bilirubin, sawar darah otak, dan kerentanan sel otak terhadap bilirubin. Fototerapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar blue-green spectrum (panjang gelombang kira-kira 430-490 nm) dengan kekuatan minimal 30 μW/cm2 per nm (diukur pada kulit bayi secara langsung dibawah titik tengah dari unit fototerapi) dan dipancarkan sebanyak mungkin pada permukaan tubuh bayi. Perlu dicatat bahwa radiasi yang diukur di bawah titik tengah dari sumber cahaya lebih tinggi daripada yang diukur di perifer. Pengukuran harus dilakukan dengan radiometer spesifik sesuai dengan pabrikan sistem fototerapi. Jika kadar TSB mendekati atau melewati batas transfusi tukar (Gambar 4), maka sisi dari keranjang bayi, inkubator, atau infant warmer dapat dilapisi dengan aluminium foil atau material reflektor

42.

Hal ini akan meningkatkan luas permukaan paparan

sehingga meningkatkan efikasi fototerapi. Bila kadar TSB tidak menurun

atau

tetap

meningkat

pada

bayi

yang

sedang

mendapatkan fototerapi intensif, maka diduga kuat adanya hemolisis. Bayi yang mendapatkan fototerapi dan mengalami peningkatan kadar bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi (kolestasis) bisa berkembang menjadi bronze-baby syndrome. Pada panduan ini dilampirkan aplikasi yang dapat membantu klinisi untuk memutuskan bayi perlu mendapatkan fototerapi atau pertimbangan transfusi tukar (aplikasi bilinorm). Pada aplikasi bilinorm untuk kategori bayi ≥35 minggu menggunakan kurva AAP yang

dimodifikasi

untuk

penyederhanaan.

Penyederhanaan

433

dilakukan pada kelompok bayi yang risiko rendah (infants at lower risk). Pada aplikasi bilinorm, kelompok ini ditiadakan. Kelompok bayi risiko sedang (infants at medium risk) pada grafik AAP dijadikan kelompok standart risk (>38 minggu). Sedangkan kelompok risiko tinggi (≥35 minggu dan > 38 minggu dengan faktor risiko) (infants at high risk) tetap sebagai kelompok risiko tinggi (high risk).

Gambar 5. Panduan untuk transfusi tukar pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35 minggu.14 Keterangan : •

Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa patokan pasti karena terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhadap fototerapi.



Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan gejala ensefalopati akut (hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar bilirubin total ≥ 5 mg/dL diatas garis patokan.



Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu tidak stabil, sepsis, asidosis.



Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total / albumin.



Gunakan TSB. Jangan mengurangkan dengan bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi



Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu (risiko sedang) transfusi tukar yang hendak dilakukan bersifat individual berdasarkan usia kehamilan saat ini.

434

Perlu

diingat

bahwa

kadar

yang

disarankan

merepresentasikan konsensus dari sebagian besar komite namun berdasarkan bukti yang terbatas, dan kadar yang ditunjukkan adalah perkiraan. (lihat Referensi 3 untuk risiko dan komplikasi dari transfusi tukar). Pada saat dirawat inap lahir, transfusi tukar direkomendasikan jika kadar TSB meningkat hingga tingkatan ini meskipun dilakukan fototerapi intensif. Untuk bayi yang masuk kembali, jika kadar TSB di atas tingkatan transfusi tukar, pemeriksaan ulangan TSB tiap 2-3 jam dan pertimbangkan transfusi

tukar

jika

kadar

TSB

tetap

diatas

kadar

yang

diindikasikan setelah fototerapi intensif selama 6 jam.

435

BAB V SIMPULAN ▪

Kelainan hematologi / hiperbilirubinemia merupakan penyebab nomor 5 morbiditas neonatal dengan prevalens sebesar 5,6% setelah gangguan napas, prematuritas, sepsis, dan hipotermia (riset kesehatan dasar, Riskesdas 2007 tentang penyebab kematian neonatal). Data dari delapan rumah sakit di kota besar di Indonesia (Jakarta, 6 rumah sakit; Kupang, satu rumah sakit, dan Manado, satu rumah sakit), prevalens hiperbilirubinemia berat

(>20mg/dL)

adalah

7%,

dengan

hiperbilirubinemia

ensefalopati akut sebesar 2. ▪

Hiperbilirubinemia berat dengan hiperbilirubinemia ensefalopati atau kernikterus merupakan morbiditas pada neonatus yang dapat dicegah. Pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia di Indonesia memiliki kendala karena bervariasi panduan tatalaksananya. Ada panduan menurut Kementerian Kesehatan, WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (dalam buku Ajar Neonatologi dan dalam Pedoman pelayanan medis jilid II).



Tatalaksana hiperbilirubinemia dimulai dari upaya pencegahan, penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan

pemeriksaan

laboratorium;

dilanjutkan

dengan

fototerapi dan tranfusi tukar. ▪

Fototerapi

menurunkan

kadar

bilirubin

dengan

cara

mengkonversi molekul bilirubin menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi yang kurang lipofilik dan tidak membutuhkan konjugasi hati untuk bisa di eksresikan. Efektivitas fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin bergantung pada beberapa hal yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah: jarak sumber cahaya dengan bayi, intensitas lampu fototerapi, jenis lampu

436

fototerapi yang digunakan, luas permukaan paparan, serta kondisi klinis pasien sendiri. ▪

Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan darah

donor

dengan

cara

mengeluarkan

dan

mengganti

sejumlah darah secara berulang kali dalam periode waktu yang singkat.

437

Lampiran Lampiran 1. Teknik pelaksanaan dan evaluasi transfusi tukar A. Teknik pelaksanaan 1. Transfusi tukar dengan teknik push pull •

Baca panduan yang diberikan oleh pabrikan



Lakukan scrub seperti hendak melakukan prosedur besar. Gunakan masker, penutup kepala pakaian steril, dan sarung tangan



Buka tempat peralatan dengan menggunakan teknik aseptik



Identifikasi posisi katup sesuai arah jarum jam (Gambar 16 dan 17). Arah pegangan mengarah menunjukkan port mana yang terbuka. Katup yang tersedia memiliki fungsi sebagai berikut (searah jarum jam): a) menarik dari pasien; b) membuang ke kantong buangan; c) mengambil darah baru; d) memasukkan ke dalam pasien. Selalu putar pegangan searah jarum jam untuk mengikuti alur yang sesuai, dan selalu jaga sambungan dalam keadaan rapat

-

Male adaptor pada jalur infus umbilikalis atau perifer

-

Female adaptor pada tabung ekstensi dimana kantong buangan akan dipasang

-

Hubungkan pada tabung darah untuk dipasangkan pada penghangat darah

-

Posisi

netral

dimana

bahan

tambahan

lainnya

dapat

diberikan melalui karet penahan (180o dari kantong buangan) •

Ikuti

langkah

yang

disediakan

oleh

pabrikan

untuk

memasang semua koneksi ke kantong darah dan kantong buangan

438



Ketika katup membuka pada kantong darah, kosongkan udara yang ada di spuit dengan cara memutar 270o searah jarum jam dan keluarkan ke kantong buangan



Tutup katup dan putar ke bagian yang steril



Gunakan jalur infus vena umbilikalis yang sudah ada atau masukkan kateter ke vena umbilikalis menggunakan teknik aseptik

-

Pertimbangkan

untuk

melakukan

pengukuran

CVP

menggunakan transduser pada bayi yang tidak stabil -

Letakkan kateter pada IVC dan pastikan posisi dengan menggunakan bantuan radiograf

-

Jika kateter tidak dapat diposisikan di IVC, kateter tersebut masih dapat digunakan secara berhati-hati pada saat ada kegawatan

-

Minta salah satu asisten untuk mendokumentasikan tanda vital dan data-data lainnya

-

Periksa kadar glukosa perifer setiap 30-60 menit. Lakukan monitoring terhadap status kardiorespirasi, periksa saturasi dengan menggunakan pulse oximetry secara terus menerus. Pemeriksaan BGA dilakukan sebanyak yang diindikasikan berdasarkan kondisi klinis dan stabilitas pasien sebelum tindakan transfusi tukar

-

Lakukan aspirasi darah untuk dilakukan pemeriksaan diagnostik

-

Rata-rata pertukaran darah pada transfusi tukar adalah sekitar 5mL/kg dalam 1 siklus (2-4 menit)

-

Pada bayi dengan hipovolemia atau memiliki CVP yang rendah, lakukan transfusi tukar dengan didahului pemberian transfusi (5mL/kg) melalui kateter. Pada bayi dengan hipervolemia atau memiliki CVP yang tinggi, lakukan

439

transfusi tukar dengan didahului pengeluaran sebagian volume darah -

Lakukan pemeriksaan ulangan CVP jika ada indikasi. Harapkan untuk terjadi peningkatan tekanan onkotik plasma jika CVP rendah pada permulaan

-

Pastikan

bahwa

tingkatan

dalam

mengeluarkan

dan

memasukkan darah kedalam bayi dilakukan secara perlahan, membutuhkan setidaknya 1 menit untuk setiap proses untuk mecegah fluktuasi tekanan darah. Fluktuasi yang cepat pada tekanan arteri dalam teknik ini dapat diikuti dengan perubahan tekanan intracranial. Pengeluaran darah yang cepat dari vena umbilikalis menyebabkan terjadinya tekanan negatif yang akan ditransmisikan ke vena mesenterika yang pada akhirnya berkontribusi terhadap tingginya kejadian komplikasi iskemia usus -

Goyangkan kantong darah secara gentle setiap 10 hingga 15 menit untuk mecegah sedimentasi sel darah merah

-

Pertimbangkan untuk memberikan suplementasi kalsium pada kondisi: Hipokalsemia yang terdokumentasi Muncul gejala atau tanda hipokalsemia seperti: perubahan interval QTc; agitasi dan takikardi (gejala ini tidak terbukti berhubungan dengan kadar kalsium). Pemberian kalsium saat transfusi tukar pada bayi normokalsemia

jarang

dibutuhkan

atau

tidak

menguntungkan. Ketika kalsium diberikan, efek pemberian hanya berlangsung selama beberapa menit. Kalsium akan membalikkan efek antikoagulan pada darah donor dan dapat menyebabkan

clotting

pada

jalur

pemberian,

sehingga

pemberian melalui vena perifer lebih disarankan. Jika

440

kalsium diberikan melalu kateter vena umbilikalis, bersihkan saluran dari darah donor dengan NaCl 0.9%. Kalsium yang diberikan adalah Ca gluconas 10% sebanyak 1mL/KgBB. Masukkan secara perlahan, dengan observasi yang ketat terhadap denyut nadi dan irama jantung. Bersihkan saluran dengan NaCl 0.9% setelah kalsium diberikan. -

Hitung jumlah siklus yang sudah dilewati, hingga volume transfusi tukar yang diharapkan tercapai

-

Pastikan jumlah volume darah donor yang tersisa masih cukup untuk dimasukkan lagi setelah pengeluaran darah yang terakhir jika positive intravascular balance diharapkan untuk tercapai

-

Bersihkan saluran umbilikalis dari darah ibu dan ambil sebagian darah bayi untuk pemeriksaan laboratorium, termasuk re-cross-matching

-

Berikan cairan intravena yang dicampur dengan 0.5 - 1 U heparin/mL melalui kateter vena umbilikalis jika akan dilakukan transfusi tukar lanjutan

-

Durasi prosedur transfusi tukar volume ganda adalah 90-120 menit

-

Tulis prosedur lengkap pada rekam medis pasien

B. Evaluasi setelah transfusi tukar •

Lanjutkan monitoring tanda vital secara ketat selama 4-6 jam



Sesuaikan

dosis

obat

yang

dibutuhkan

untuk

mengompensasi perubahan volume setelah transfusi tukar8587



Jaga bayi agar tetap puasa selama setidaknya 4 jam. Mulai pemberian ASI secara hati-hati jika kondisi klinis stabil.

441

Periksa ketebalan abdomen dan suara usus setiap 3-4 jam selama

24

jam

jika

transfusi

tukar

telah

dilakukan

menggunakan saluran vena umbilikalis. Observasi tanda tanda feeding intolerance •

Monitoring kadar glukosa serum setiap 2-4 jam selama 24 jam



Lakukan pemeriksaan BGA sebanyak yang diindikasikan



Ukur kadar kalsium terionisasi dan PCT pada bayi sakit sesaat

setelah

transfusi

tukar

dilakukan

dan

saat

diindikasikan •

Ulangi pemeriksaan Hb, HCT, dan bilirubin 4 jam setelah transfusi tukar, dan ketika ada indikasi secara klinis. Transfusi tukar volume ganda mengganti 85% dari volume darah bayi, namun hanya mengeliminasi sekitar 50% dari bilirubin intravaskular. Keseimbangan antara bilirubin intra dan ekstravaskular, dan penghancuran RBC oleh antibodi maternal masih berlanjut, sehingga mengakibatkan rebound kadar bilirubin setelah transfusi tukar berlangsung, dan mungkin

diperlukan

untuk

dilakukan

transfusi

tukar

ulangan pada HDN yang berat.

442

Lampiran 2. Bilirubin Induced Neurological DysfunctionModified (BIND-M) Scoring System Skor

Tingkat keparahan

0

None

1

Mild

2

Moderate

3

Severe

Normal

0

None

Hipotonia ringan yang menetap

1

Mild

2

Moderate

3

Severe

0

None

Tanda klinis Tingkat kesadaran Normal Tampak mengantuk

Tanggal/Wakt u

Malas menyusu Lemas Reflek hisap melemah dan/ atau gelisah Semi-koma Apnea Kejang Koma Tonus Otot

Hipotonia sedang Hipertonia sedang Peningkatan kekakuan leher dan punggung dengan stimulasi tanpa adanya spasme lengan dan kaki dan tanpa disertai trismus Retrocollis yang menetap Opisthotonus Tangan dan kaki menyilang tanpa adanya spasme di tangan dan kaki dan tanpa disertai trismus Pola tangis Normal

443

High pitched cry

1

Mild

Tangisan melengking

2

Moderate

3

Severe

0

None, Mild

3

Severe

Tangisan yang tidak bisa ditenangkan oleh pengasuh atau Tangisan lemah atau tidak ada tangisan pada bayi dengan riwayat high pitched cry atau tangisan melengking Pergerakan Bola Mata Normal Sunset Phenomenon Upward Gaze Paralysis Total Skor Tanda Tangan Dokter yang memeriksa:

Saya percaya bahwa bayi ini memiliki tanda/gejala bilirubin ensefalopati akut selain berdasarkan skor BIND-M.

444

Lampiran 3. Normogram ambang batas untuk bayi prematur Bayi prematur memiliki ambang batas yang berbeda dengan bayi cukup bulan. Masih sedikit panduan dimulainya fototerapi dan transfusi tukar untuk bayi prematur. Diantara pandian yang ada adalah AAP, NICE, Norway, Martin dan Fanaroff. Panduan masih berbeda dalam hal patokan yang dipakai. Ada yang menggunakan berat lahir namun ada yang menggunakan patokan usia gestasi. Untuk Indonesia, mengingat kesulitan dalam menentukan usia gestasi yang tepat maka panduan bayi kurang bulan (<35 mgg) menggunakan patokan berat lahir. Berdasarkan panduan di atas berikut adalah rekomendasi yang dipakai di Indonesia untuk bayi prematur. A. Normogram fototerapi dan transfusi tukar berat lahir < 1000 gram Berikut adalah normogram ambang batas fototerapi dan tranfusi tukar Indonesia (Gambar 19) yang sudah dianalisis berdasarkan berbagai

panduan

normogram

internasional

yang

sudah

terpublikasi. Normogram ini terdapat di dalam aplikasi Bilinorm yang dapat diakses melalui apps store atau play store pada Bilirubin level mg/dL smartphone. 12 10 FT standard risk

8

FT high risk

6

ET standard

4

ET high risk

2

0 0

12

24

36

48

60

72

84

96 108 120

Jam Gambar 19. Diagram Indonesian bilirubin normogram < 1000 gram (modifikasi)

445

B. Normogram fototerapi dan transfusi tukar berat lahir 10001249 gram Berdasarkan acuan pada normogram AAP, Dutch, NICE dan Norway tersebut, maka berikut adalah normogram bilirubin untuk berat lahir 1000-1249 gram sebagaimana berikut ini yang dapat dilihat pada aplikasi smartphone bilinorm (gambar 20). Bilirubin level mg/dL

12 10

FT high Risk

8

FT standard Risk

6

ET High Risk ET Standard Risk

4 2 0 Jam

Gambar 20. Diagram Indonesian bilirubin normogram bayi dengan berat 10001249 gram

C.

Normogram fototerapi dan transfusi tukar untuk berat

lahir 1250-1499 gram Berdasarkan acuan pada normogram AAP, Dutch, NICE dan Norway tersebut, maka berikut adalah normogram bilirubin untuk berat lahir 1250-1499 gram sebagaimana berikut ini yang dapat dilihat pada aplikasi smartphone bilinorm (gambar 21).

446

Bilirubin level mg/dL 16 14 12 FT high Risk

10

FT standard Risk

8

ET High Risk

6

ET Standard Risk

4 2 0 0

12 24 36 48 60 72 84 96 108 120

Jam

Gambar 21. Diagram Indonesian Bilirubin Normogram untuk bayi usia 1250-1499 gram

D. Normogram fototerapi dan transfusi tukar untuk berat lahir 1500-1999 gram Berdasarkan acuan pada normogram AAP, Dutch, NICE dan Norway tersebut, maka berikut adalah normogram bilirubin untuk berat lahir 1000-1249 gram sebagaimana berikut ini yang dapat dilihat pada aplikasi smartphone bilinorm (gambar 22). Bilirubin level mg/dL 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0

FT high Risk FT standard Risk ET High Risk ET Standard Risk

Jam Gambar 22. Diagram Indonesian bilirubin normogram 1500-1999 gram (modifikasi)

447

E.

Normogram fototerapi dan transfusi tukar untuk usia gestasi > 35 minggu atau berat lahir > 2000 gram Normogram Indonesia untuk bayi > 35 minggu dan berat lahir > 2000 gram mengadopsi dari AAP dengan adaptasi berupa simplifikasi menjadi dua kategori dan menggunakan nilai 2-3 mg/dl lebih rendah dari AAP atas alasan tingginya prevalensi faktor resiko hiperbilirubinemia berat dan adanya peralatan fototerapi yang tidak adekuat (gambar 23). Bilirubin level (mg/dl) 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0

FT high Risk FT standard Risk ET High Risk ET Standard Risk

0

12 24 36 48 60 72 84 96 108 120

Jam

Gambar 23. Diagram Indonesian bilirubin normogram > 2000 gram

448

Lampiran 4. Contoh kasus penggunaan Skor BIND-M Seorang bayi perempuan lahir pada usia kehamilan 36 minggu secara sectio caesaria dari ibu berusia 31 tahun. Ini merupakan kehamilan ketiga, anak pertama lahir hidup saat ini berusia 5 tahun. Anak kedua lahir hidup dan saat ini berusia 3 tahun. Anak kedua mendapatkan fototerapi 3x24 jam dengan riwayat hiperbilirubin dengan kadar TSB mencapai 24 mg/dl, namun

tidak

diketahui

secara

pasti

penyebab

dari

hiperbilirubinemia. Berat badan lahir bayi ini 3050 gram, Panjang Badan 50 cm, Lingkar kepala 33 cm, dan skor Apgar pada menit kesatu 8 dan menit kelima 9. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bayi tampak ikterik pada usia 24 jam dengan kadar TSB 15 mg/dl, kemudian bayi tersebut dilakukan tindakan fototerapi. Pada 24 jam setelah fototerapi dilakukan evaluasi ulang bilirubin, dan hasil menunjukan kadar TSB 20 mg/dl. Pasien direncanakan untuk dilakukan tranfusi tukar namun darah belum tersedia. Pemeriksaan didapatkan bahwa ibu golongan darah A rhesus negatif dan bayi golongan darah A rhesus positif. Dilakukan pemeriksaan direct antibody test (DAT) hasilnya positif. Bayi dilaporkan tampak lemah, bola mata tampak deviasi ke atas yang permanen, mengalami kondisi desaturasi berulang dengan periodic breathing, opisotonus, high pitch cry, dan apne berulang. Kategorisasi penilaian BIND-M : 1. Skor 1-4 : diprediksi indikasi untuk ABE ringan, secara umum akan reversibel dengan terapi yang tepat dan agresif 2. Skor 5-6 : diprediksi indikasi untuk ABE sedang, mungkin reversibel dengan penurunan segera bilirubin

449

3. Skor > 7 : diprediksi indikasi untuk ABE berat dan kemingkinan untuk kerusakan otak yang ireversibel pada kebanyakan bayi.

450

Cara pengisian Skor BIND-M

TANDA KLINIS STATUS MENTAL

SKOR

KEPARAHAN

□ Normal □ Mengantuk namun mudah dirangsang □ Makan/minum menurun √ Lemah Lesu □ Hisapan lemah dan atau □ Gelisah namun ada sedikit hisapan kuat □ Semi koma □ Henti napas □ Kejang □ Koma

0 1

Tidak ada Ringan

2

Sedang

3

Berat

0 1

Tidak ada Ringan

2

Sedang

3

Berat

0 1 2

Tidak ada Ringan Sedang

3

Berat

□ Normal □ Fenomena Sun-setting √ Kelumpuhan atau upward gaze

0 3

Tidak ada Berat

Total Skor ABE Tanda tangan dokter

11

WAKTU

TONUS OTOT □ Normal □ Hipotonia persisten ringan □ Hipotonia sedang □ Hipertonia sedang □ Melipat leher dan ekstremitas saat ada stimulasi tanpa adanya kaku pada lengan dan kaki serta tidak didapatkan trismus □ Ekstensi persisten pada leher (retrocolis) √ Opistothonus □ Lengan dan kaki menyilang tanpa didapatkan kaku pada lengan dan kaki serta tanpa didapatkan trismus

POLA MENANGIS □ Normal □ Nada tinggi □ Melengking □ Menangis dan tidak dapat ditenangkan √ Menangis Lemah/Tidak Menangis Pada Anak Dengan Riwayat Menangis Dengan Nada Tinggi/Melengking

PERGERAKAN BOLA MATA

451

Lampiran 5. Contoh kasus penggunaan normogram AAP Kasus 1

Seorang bayi perempuan lahir secara spontan dari ibu usia 33 tahun pada usia gestasi 40 minggu dengan faktor rIsiko minor. Berat badan bayi 3350 g, Panjang badan bayi 48 cm dan lingkar kepala 34 cm. Skor Apgar bayi pada lima menit pertama setelah lahir adalah 9, dan pada menit kesepuluh adalah 10. Ini merupakan kehamilan pertama pada ibu. Ibu dan bayi memiliki rhesus positif. Bayi tampak kuning pada 70 jam setelah dilahirkan dengan kadar serum bilirubin total (TSB) 12,9 mg/dl. Ibu menyusui secara ekslusif dan tidak ada riwayat penggunaan obat maupun paparan senyawa naftalen. Pada usia 120 jam, kadar TSB meningkat menjadi 15,1 mg, tetapi bayi tetap aktif dan tanda-tanda vital normal. Pada hari ke-7, kadar TSB meningkat menjadi 17,1 mg/dl (direk (D)/Indirek (I) bilirubin = 0,1/17 mg/dl), kadar G6PD dan OAE (Oto Acoustic Emission) normal. Berdasarkan pedoman AAP, kadar TSB tetap berada dibawah ambang batas untuk fototerapi, sehungga bayi dipulangkan tanpa terapi spesifik. Kadar TSB bayi setelah pulang 16,6 mg/dl dan secara klinis bayi normal.

Kasus 2

Seorang bayi laki-laki usia gestasi 38 minggu lahir secara sectio caesaria atas indikasi diproporsi kepala panggul. Berat badan lahir bayi 3220 gram, Panjang badan 8 cm, dan lingkar kepala 34 cm. Bayi diklasifikan pada kelompok faktor risiko minor.

Skor

Apgar bayi 8 pada lima menit setelah lahir, kemudian meningkat 9

452

pada menit kesepuluh. Ibu dan bayi memiliki golongan darah dan rhesus yang sama, yaitu golongan darah O dengan rhesus positif. Ini merupakan kehamilan pertama ibu, dan usia ibu 30 tahun. Bayi tampak kuning pada usia 70 jam, namun bayi dipulangkan pada usia 73 jam dengan kadar bilirubin 15,2 mg/dl (D/I = 0,1/15,1 mg/dl). Bayi minum ASI serta diberikan susu formula hipoalergenik sesuai kebutuhan. Pada hari ketujuh bayi datang kembali untuk dilakukan evaluasi, dan kadar TSB 15,3 mg/dl (D/I = 0,1/15,2 mg/dl) dengan kadar G6PD normal. Tidak ada intervensi yang dibutuhkan pada pasien ini, hanya edukasi untuk meyakinkan orangtua mengenai kondisi bayi. Pada kunjungan berikutnya saat usia 9 hari, kadar TSB 12,9 mg/dl (D/I = 0,1/12,8 mg/dl dan pemeriksaan OAE menunjukan hasil normal.

Kasus 3

Seorang bayi perempuan lahir pada usia 39 minggu dari ibu yang berusia 32 tahun secara ekstraksi vakum. Berat badan lahir bayi 3390 gram, panjang badan 49 cm, dan lingkar kepal 34 cm. Skor Apgar bayi pada menit kelima stelah dilahirkan adalah, 8, kemdian meningkat 9 pada menit kesepuluh. Bayi tersebut memiliki faktor risiko minor dan merupakan anak ketiga ibu tanpa riwayat abortus. Bayi dan ibu memiliki golongan darah yang sama yaitu golongan darah O dan rhesus positif. Kadar TSB pada usia 43 jam 10,6 mg/dl (D/I = 0,1/10,5 mg/dl). Bayi dipulangkan pada usia dua hari dan diberikan ASI secara eksklusif. Pengukuran TSB pada usia 91 jam menunjukan nilai 17,1 mg/dl (D/I 0,1/17 mg/dl). Kriteria untuk dilakukan fototerapi usia 91 jam yaitu pada kadar

453

TSB ≥ 16,5 mg/dl. Bayi dikategorikan risiko rendah karena bayi tanpa gejala, usia gestasi > 38 minggu dengan kadar TSB diatas ambang batas inetrvensi, kemudian bayi dilakukan fototerapi. Kadar G6PD bayi normal, Tes Coomb’s negatif, dan pemeriksaan OAE normal pada kedua telinga. Kadar TSB diukur ulang dua hari kemudian dan hasilnya menunjukan kemudian bayi dipulangkan. menjadi 12,5 mg/dl (D/I = 0,1/12/5 mg/dl)

454

Lampiran 6. Penanganan kasus Pada kasus hiperbilirubinemia neonatal, langkah-langkah yang harus dilakukan menurut rekomendasi AAP adalah: •

Identifikasi faktor risiko pada setiap bayi baru lahir, Klasifikasi faktor risiko berdasarkan kriteria AAP.



Ikterik dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan fisik dengan cara

melakukan

penekanan

pada

kulit

yang

akan

menunjukan warna pada kulit dan jaringan subkutan. Pemeriksaan

harus

dilakukan

pada

ruangan

dengan

pencahayaan yang baik, terutama pada bagian ruangan yang terpapar sinar matahri dekat jendela. •

Melakukan pengukuran kadar bilirubin dan memplotkan hasilnya pada normogram persentil bilirubin berdasarkan usia lahir dalam jam.

PADA KASUS 1: •

Bayi tampak ikterik pada area wajah hingga dada pada usia 70 jam dengan kadar TSB menunjukan 12,9 mg/dl, kemudian

hasil

tersebut

diplotkan

pada

normogram

fototerapi. Berdasarkan normogran, kadar TSB bayi berada pada low intermediate risk zone. •

Berdasarkan anamnesis bayi ini dimasukan dalam kelompok standard risk, karena usia gestasi bayi ini ≥ 38 minggu, tidak inkompatibilitas ABO dan bayi tampak sehat.



Berdasarkan pada normogram, bayi ini diklasifikasikan pada standard

risk,

tidak

ada

intervensi

yang

diperlukan

berdasarkan pedoman AAP, sehingga bayi dipulangkan. •

Bayi dijadwalkan kontrol 2x24 jam paska pemunlangan

455

Gambar 24. Kurva derajat serum bilirubin dengan level high intermediate risk zone

Gambar 25. Kurva total bilirubin serum pada bayi dengan faktor risiko tinggi

456

PADA KASUS 2: •

Kadar TSB pada usia 73 jam 15 mg/dl, bayi ini dikelompokan pada risiko zona high-intermediate, tetapi masih berada dibawah

ambang

batas

fototerapi,

kemudian

bayi

dipulangkan. •

Berdasarkan anamnesis, bayi dimasukan dalam kelompok standard risk, karena usia gestasi bayi ini ≥ 38 minggu, tidak inkompatibilitas ABO dan bayi tampak sehat.



Bayi dievaluasi kembali pada hari ketujuh dan kadar TSB menunjukan 15,3 mg/dl (D/I = 0,1/15,1 mg/dl), dengan kadar G6PD normal. Tidak ada intervensi yang dibutuhkan bayi ini.



Pada hari ke-9 bayi dievaluasi ulang dan kadar bilirubin menunjukan 12,9 mg/dl (D/I = 0,1/12,8 mg/dl) dan OAE menunjukan nilai normal

457

Gambar 27. Kurva serum bilirubin dengan High Intermediate Risk Zone

Gambar 28. Kurva serum bilirubin total pada Infants Higher at Risk

458

PADA KASUS 3: •

Kadar TSB pada usia 43 jam yaitu 10,6 mg/dl, bayi ini dikelompokan pada risiko zona high-intermediate, tetapi masih berada dibawah ambang batas fototerapi, kemudian bayi dipulangkan.



Pada usia 91 jam, bayi ini dilakukan evaluasi ulang dan kadar TSB menunjukan hasil 17,1 mg/dl, kemudian bayi ini dirawat berdasarkan kriteria pada pedoman AAP yaitu bayi sehat usia gestasi ≥ 38 minggu dengan kadar TSB ≥ 16,5 mg/dl. Berdasarkan normogram, meskipun nilai TSB dibawah ambang batas fototerapi untuk low risk masih dapat dibenarkan untuk dimulai fototerapi pada kadar 2-3 mg/dl dibawah ambang batas.

459

Gambar 29. Kurva serum bilirubin pada High Intermediate Risk Zone

Gambar 30. Kurva serum bilirubin total pada Higher at Risk

460

Lampiran 7. Diagnosis Kernicterus Spectrum Disorder (KSD)

Berapa nilai bilirubin tertinggi bayi? < 15 mg/dL 15-29 mg/dL, atau bilirubin tidak pernah diukur tetapi anak dirasa sangat kuning oleh keluarga 30-45 mg/dL > 45 mg/dL Apakah ada faktor risiko pada bayi? Tidak ada Dicurigai adanya infeksi, perbedaan rhesus golongan darah, “sakit”, prematur (<35 minggu) Infeksi virus atau bakteri yang terbukti, NEC (Necrotizing Enterocolitis), atau asidosis (pH darah < 7,2) Bagaimana hasil pemeriksaan bayi baru lahir? Normal Ensefalopati bilirubin akut ringan (letargi, mengantuk, tonus otot rendah/tinggi, ± tangisan bersuara tinggi) Ensefalopati bilirubin akut berat (ophistotonus, mata setting sun, wajah terlihat takut, demam tanpa penyebab jelas) Bagaimana hasil dari pemeriksaan bayi terakhir? Normal Distonia ringan (mata setting sun ± tonus otot sedikit meningkat atau menurun ± pergerakan tubuh abnormal berlebihan) Distonia sedang-berat (mata setting sun ± pergerakan tubuh abnormal berlebihan) Ketika gigi bayi tumbuh, bagaimana enamel gigi? Normal Displasia enamel (Adanya pengelupasan pada enamel gigi) Bagaimana hasil ANSD (Auditory Neuropathy Spectrum Disorder)? Normal, tidak ditemukan adanya ANSD Ringan (Auditory Brainstem Response abnormal, tetapi ada) Sedang-berat (Auditory Brainstem Response tidak ada) Bagaimana hasil MRI (Magnetic Resonance Imaging)? Normal Kemungkinan hasil MRI abnormal (globus pallidus ± hiperintensitas nucleus subthalamikus kedua sisi tanpa kelainan lain) Hasil MRI abnormal (hiperintensitas globus pallidus di kedua sisi ± hiperintensitas nukleus subthalamikus tanpa kelainan signifikan struktur lain) Total Skor Interpretasi Definite Kernicterus Probable Kernicterus Possible Kernicterus Bukan Kernicterus

Skor 0 1 2 3 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 0 1 2 0 1 2

Skor 10-14 6-9 3-5 0-2

461

Lampiran 8. Perubahan warna tinja

Warna tinja abnormal

Hasil cetak pada gambar ini dapat menyebabkan perbedaan warna

Warna tinja normal

462

Lampiran 9. Checklist komunikasi, informasi dan edukasi keluarga pasien hiperbilirubinemia Informasi umum: Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hiperbilirubinemia Cara mendeteksi bayi kuning Apa yang harus dilakukan apabila curiga kuning pada bayi Pentingnya mengenali tanda-tanda kuning pada bayi pada 24 jam pertama dan mencari pelayanan medis Pentingnya mengecek popok bayi untuk mengetahui ada atau tidaknya kencing yang berwarna gelap atau tinja yang berwarna pucat Kuning pada bayi sering terjadi dan meyakinkan bahwa hal tersebut biasanya hanya sementara dan tidak berbahaya Meyakinkan pemberian ASI dapat diteruskan Informasi terkait terapi: Antisipasi lamanya terapi Yakinkan untuk melanjutkan ASI, mengganti popok dan sering sering mendekap bayi Informed consent tindakan fototerapi: Mengapa fototerapi dipertimbangkan? Mengapa fototerapi dibutuhkan untuk terapi hiperbilirubinemia? Kemungkinan efek samping fototerapi Pentingnya untuk melindungi mata dan perawatan mata rutin Meyakinkan ibu untuk lebih sering menyusui bayinya Kemungkinan hal-hal yang terjadi apabila fototerapi gagal Kuning berulang dapat terjadi kembali Potensi atau kemungkinan efek samping jangka panjang fototerapi Informasi untuk transfusi tukar: Menjelaskan bahwa bila bayi yang mendapatkan transfusi tukar maka bayi harus dirawat di ruang perawatan intensif Alasan mengapa transfusi tukar dipertimbangkan Informasi untuk pemberian IVIg Alasan mengapa IVIg dipertimbangkan Alasan mengapa IVIg dibutuhkan untuk terapi hiperbilirubinemia Kemungkinan efek samping IVIg

463

PENJELASAN

PEMBERI EDUKASI

CARA PENYAMPAIAN

JAM

KETERANGAN

Informasi : Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hyperbilirubinemia. Cara mendeteksi bayi kuning Apa yang harus dilakukan apabila curiga kuning pada bayi Pentingnya mengenali tandatanda kuning pada bayi pada 24 jam pertama dan mencari pelayanan medis Pentingnya mengecek popok bayi untuk mengetahui ada atau tidaknya kencing yang berwarna gelap atau tinja yang berwarna pucat Kuning pada bayi sering terjadi dan meyakinkan bahwa hal tersebut biasanya hanya sementara dan tidak berbahaya Meyakinkan pemberian ASI dapat diteruskan Informasi terapi : Antisipasi lamanya terapi Yakinkan untuk melanjutkan ASI, mengganti popok dan sering sering mendekap bayi Informed consent fototerapi : Mengapa fototerapi dipertimbangkan? Mengapa fototerapi dibutuhkan untuk terapi hiperbilirubinemia? Kemungkinan efek samping fototerapi Pentingnya untuk melindungi mata dan perawatan mata rutin Meyakinkan ibu untuk lebih sering menyusui bayinya Kemungkinan hal-hal yang terjadi apabila fototerapi gagal Kuning berulang dapat terjadi kembali Potensi atau kemungkinan efek samping jangka panjang terapi

464

TTD

Informai untuk transfusi tukar : Menjelaskan bahwa bila bayi yang mendapatkan transfusi tukar maka bayi harus dirawat di ruang perawatan intensif Alasan mengapa transfusi tukar dipertimbangkan Informasi untuk pemberian IVIg Alasan mengapa IVIg dipertimbangkan Alasan mengapa IVIg dibutuhkan untuk terapi hyperbilirubinemia Kemungkinan efek samping IVIg

465

Lampiran 10.

Segera temukan dan tangani tanda bahaya

Bayi baru lahir

Alur tatalaksana bayi kuning pada fasilitas kesehatan primer yang tidak memiliki fasilitas fototerapi

Melakukan pemeriksaan bayi ikterus dengan benar dan menentukan klasifikasinya

Tidak ikterus

Ikterus

Bayi tidak terlihat kuning

Ikterus berat

Timbul kuning pada umur ≥ 24 jam sampai ≤ 14 hari dan tidak sampai telapak tangan/telapak kaki

Timbul kuning pada hari pertama (< 24 jam) setelah lahir, ATAU • Kuning ditemukan pada umur lebih dari 14 hari,

Lakukan pemeriksaan Tcb dan atau TSB (bila tersedia) dan plot sesuai dengan normogram untuk menentukan perlu/tidak terapi fototerapi atau transfusi tukar

Tidak Perlu • •



Mulai menyusui segera setelah bayi lahir. Susui bayi sesering mungkin tanpa dibatasi. ASI membantu Bayi mengatasi kuning lebih cepat

Mengingatkan ibu untuk melakukan pemeriksaan bayi ulang di pusat kesehatan setelah dua hari pulang

ATAU

Lakukan pemeriksaan Tcb dan TSB (bila tersedia) dan plot sesuai dengan normogram

Perlu

Rujuk

Rujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas fototerapi

Persiapan rujukan yang perlu diperhatikan pada bayi ikterus: ✓ ✓

Menyertakan contoh darah ibu Serta stabilisasi jalan napas, glukosa, temperatur, .sirkulasi, dan inform concern.

Melakukan pemeriksaan

Jika kuning berkurang/menghilang, puji ibu.

466

Lampiran 11

Segera temukan dan tangani tanda bahaya

Bayi baru lahir

Alur tatalaksana bayi kuning pada fasilitas kesehatan primer yang memiliki fasilitas fototerapi

Tidak ikterus

Bayi tidak terlihat kuning

Melakukan pemeriksaan bayi ikterus dengan benar menggunakan dan menentukan klasifikasinya

Ikterus

Ikterus berat

Timbul kuning pada umur ≥ 24 jam sampai ≤ 14 hari dan tidak sampai telapak tangan/telapak kaki

Lakukan pemeriksaan Tcb dan atau TSB (bila tersedia) dan plot sesuai dengan normogram untuk menentukan perlu/tidak terapi fototerapi atau transfusi tukar

• •

Melakukan pemeriksaan

ATAU

Lakukan pemeriksaan Tcb dan TSB (bila tersedia) dan plot sesuai dengan normogram

Perlu transfusi tukar

Rujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas transfusi tukar

Persiapan rujukan yang perlu diperhatikan pada bayi ikterus:

✓ ✓

Jika kuning berkurang/menghilang, puji ibu.

• Kuning ditemukan pada umur lebih dari 14 hari,

Lakukan fototerapi

Mulai menyusui segera setelah bayi lahir. Susui bayi sesering mungkin tanpa dibatasi. ASI membantu Bayi mengatasi kuning lebih cepat

Mengingatkan ibu untuk melakukan pemeriksaan bayi ulang di pusat kesehatan setelah dua hari pulang

ATAU

Perlu fototerapi

Tidak perlu •

Timbul kuning pada hari pertama (< 24 jam) setelah lahir,

Menyertakan contoh darah ibu Serta stabilisasi jalan napas, glukosa, temperatur, .sirkulasi, dan inform concern.

467

DAFTAR RUJUKAN

1. Lawn JE, Cousens S, Zupan J, dkk. 4 million neonatal deaths: when? where? why? Lancet. 2005;365:891-900. 2. World Health Organization. Achievement of the health related Millennium Development Goals in the Western Pacific Region 2016: Transitioning to the Sustainable Development Goals Geneva: WHO Press; 2016 [Available from: http://iris.wpro.who.int/bitstream/handle/10665.1/13441/WPR-2016-DHS-011-en.pdf. 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2017. 431 p. 4. United Nations Children's Fund. Child survival and the SDGs, 2017 [Available from: https://data.unicef.org/topic/child-survival/child-survival-sdgs/. 5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2008. 6. Greco C, Arnolda G, Boo N-Y, Iskander IF, Okolo AA, Rohsiswatmo R, et al. Neonatal jaundice in low and middle income countries: lessons and future directions from the 2015 Don Ostrow Trieste Yellow Retreat Neonatology. 2016;110:172-80. 7. Dijk PH, de Vries TW, de Beer JJ, Dutch Pediatric A. Guideline prevention, diagnosis and treatment of hyperbilirubinemia in the neonate with a gestational age of 35 or more weeks. Nederlands tijdschrift voor geneeskunde. 2009;153:A93. 8. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial: Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012. 134 p. 9. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit: Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO Indonesia; 2009. 434 p. 10. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, editors. Buku Ajar Neonatologi. 1 ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. p. 147-69. 11. Dewanto NEF, Dewi R. Hiperbilirubinemia. In: Pudjiaji AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et al., editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2 ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. p. 114-22. 12. Sampurna MTA, Ratnasari KA, Etika R, Hulzebos CV, Dijk PH, Bos AF, et al. Adherence to hyperbilirubinemia guidelines by midwives, general practitioners, and pediatricians in Indonesia. PloS one. 2018;13(4):e0196076. 13. Martini, Sampurna MTA, Handayani KD, Angelika D, Utomo MT, Etika R, et al. Variation of Phototherapy Thresholds By Clinicians In Comparison with Hyperbilirubinemia Guideline In Indonesia. 2018. 14. American Academy of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics. 2004;114(1):297-316. 15. Neonatal Jaundice. National Institute for Health and Clinical Excellence: Guidance. London2010. 16. Blackburn ST. Bilirubin metabolism, maternal, fetal & neonatal physiology: A clinical perspective. 3 ed. Missouri: Saunders; 2007. 17. Johnson LH, Bhutani VK, Brown AK. System-based approach to management of neonatal jaundice and prevention of kernicterus. The Journal of pediatrics. 2002;140(4):396-403. 18. Volpe JJ. Neurology of the Newborn. 4 ed. Philadelphia, PA: W. B. Saunders; 2001.

468

19. Harris MC, Bernbaum JC, Polin JR, Zimmerman R, Polin RA. Developmental followup of breastfed term and near-term infants with marked hyperbilirubinemia. Pediatrics. 2001;107(5):1075-80. 20. Van Praagh R. Diagnosis of kernicterus in the neonatal period. Pediatrics. 1961;28:870-6. 21. Radmacher PG, Groves FD, Owa JA, Ofovwe GE, Amuabunos EA, Olusanya BO, et al. A modified Bilirubin-induced neurologic dysfunction (BIND-M) algorithm is useful in evaluating severity of jaundice in a resource-limited setting. BMC pediatrics. 2015;15:28. 22. Jones MH, Sands R, Hyman CB, Sturgeon P, Koch FP. Longitudinal study of the incidence of central nervous system damage following erythroblastosis fetalis. Pediatrics. 1954;14(4):346-50. 23. Le Pichon JB, Riordan SM, Watchko J, Shapiro SM. The Neurological Sequelae of Neonatal Hyperbilirubinemia: Definitions, Diagnosis and Treatment of the Kernicterus Spectrum Disorders (KSDs). Current pediatric reviews. 2017;13(3):199-209. 24. Mac Mahon JR, Stevenson DK, Oski FA. Bilirubin metabolism. In: Tacusch HW, Ballard RA, editors. Avery's disease of the newborn. 7 ed. Philadelphia: W. B. Saunders; 1998. p. 995-1002. 25. Maisles MJ. Jaundice. In: Avery GB, Fletcher MA, McDonald MG, editors. Neonatology, pathophysiology & management of the newborn. 5 ed. Baltimore: Lippincot William & Wilkins; 1999. p. 765-819. 26. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA, Martin RJ, editors. Neonatal-perinatal medicine: Disease of the fetus and infant. 7 ed. St. Louis: Mosby Inc; 2002. p. 1309-50. 27. van Imhoff DE. The Management of Hyperbilirubinemia in Preterm Infants. Groningen: University Medical Center Groningen; 2013. 28. Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. Predictive ability of a predischarge hour-specific serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy term and near-term newborns. Pediatrics. 1999;103(1):6-14. 29. Maisels MJ. Phototherapy--traditional and nontraditional. Journal of perinatology : official journal of the California Perinatal Association. 2001;21 Suppl 1:S93-7; discussion S104-7. 30. Maisels MJ, McDonagh AF. Phototherapy for neonatal jaundice. The New England journal of medicine. 2008;358(9):920-8. 31. Wong RJ, Bhutani VK. Treatment of unconjugated hyperbilirubinemia in term and late preterm infants. Uptodate. 2013:5063. 32. Fiberoptic phototherapy systems. Health devices. 1995;24(4):132-53. 33. Sampurna MTA, Saharso D, Hulzebos CV, Dijk PH, Bos AF, Sauer PJJ. Current Practice Phototherapy In Indonesia. 2018. 34. Tan KL. The pattern of bilirubin response to phototherapy for neonatal hyperbilirubinaemia. Pediatric research. 1982;16(8):670-4. 35. Aycicek A, Kocyigit A, Erel O, Senturk H. Phototherapy causes DNA damage in peripheral mononuclear leukocytes in term infants. Jornal de pediatria. 2008;84(2):141-6. 36. Seidman DS, Moise J, Ergaz Z, Laor A, Vreman HJ, Stevenson DK, et al. A new blue light-emitting phototherapy device: a prospective randomized controlled study. The Journal of pediatrics. 2000;136(6):771-4. 37. Ennever JF. Blue light, green light, white light, more light: treatment of neonatal jaundice. Clinics in perinatology. 1990;17(2):467-81. 38. Garg AK, Prasad RS, Hifzi IA. A controlled trial of high-intensity double-surface phototherapy on a fluid bed versus conventional phototherapy in neonatal jaundice. Pediatrics. 1995;95(6):914-6. 39. Tan KL. Phototherapy for neonatal jaundice. Clinics in perinatology. 1991;18(3):423-39.

469

40. Maisels MJ. Why use homeopathic doses of phototherapy? Pediatrics. 1996;98(2 Pt 1):283-7. 41. Eggert P, Stick C, Schroder H. On the distribution of irradiation intensity in phototherapy. Measurements of effective irradiance in an incubator. European journal of pediatrics. 1984;142(1):58-61. 42. Dachlan TI, Yuniati T, Sukadi A. Effect of phototherapy with alumunium foil reflectors on neonatal hyperbilirubinemia. Paediatrica Indonesiana. 2015;55(1):13-7. 43. Djokomuljanto S, Rohsiswatmo R, Hendarto A. Perbandingan Efektivitas antara Terapi Sinar Tunggal dengan dan Tanpa Kain Putih pada Bayi Berat Lahir Rendah dengan Hiperbilirubinemia. Sari Pediatri. 2016;18(3):233-9. 44. Institue of Medicine. Crossing the Quality Chasm: A New Health System for the 21st Century. Washington, DC: National Academy Press; 2001. 45. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and Gynecologists. Guidelines for Perinatal Care. 5 ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2002. 46. Bertini G, Dani C, Tronchin M, Rubaltelli FF. Is breastfeeding really favoring early neonatal jaundice? Pediatrics. 2001;107(3):E41. 47. Penn AA, Enzmann DR, Hahn JS, Stevenson DK. Kernicterus in a full term infant. Pediatrics. 1994;93(6 Pt 1):1003-6. 48. Maisels MJ, Gifford K. Normal serum bilirubin levels in the newborn and the effect of breast-feeding. Pediatrics. 1986;78(5):837-43. 49. Yamauchi Y, Yamanouchi I. Breast-feeding frequency during the first 24 hours after birth in full-term neonates. Pediatrics. 1990;86(2):171-5. 50. De Carvalho M, Klaus MH, Merkatz RB. Frequency of breast-feeding and serum bilirubin concentration. American journal of diseases of children. 1982;136(8):737-8. 51. Varimo P, Simila S, Wendt L, Kolvisto M. Frequency of breast-feeding and hyperbilirubinemia. Clinical pediatrics. 1986;25(2):112. 52. de Carvalho M, Hall M, Harvey D. Effects of water supplementation on physiological jaundice in breast-fed babies. Archives of disease in childhood. 1981;56(7):568-9. 53. Nicoll A, Ginsburg R, Tripp JH. Supplementary feeding and jaundice in newborns. Acta paediatrica Scandinavica. 1982;71(5):759-61. 54. Madlon-Kay DJ. Identifying ABO incompatibility in newborns: selective vs automatic testing. The Journal of family practice. 1992;35(3):278-80. 55. Slusher TM, Olusanya BO, Vreman HJ, Brearley AM, Vaucher YE, Lund TC, et al. A Randomized Trial of Phototherapy with Filtered Sunlight in African Neonates. The New England journal of medicine. 2015;373(12):1115-24. 56. Cuperus FJ, Hafkamp AM, Hulzebos CV, Verkade HJ. Pharmacological therapies for unconjugated hyperbilirubinemia. Current pharmaceutical design. 2009;15(25):292738. 57. Ramasethu J, Luban NLC. Alloimmune hemolytic disease of the newborn. In: Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Kaushansky K, Prchal JT, editors. Williams' Hematology. 7 ed. New York: McGraw-Hill; 2006. p. 715-66. 58. Funato M, Tamai H, Shimada S. Trends in neonatal exchange transfusions at Yodogawa Christian Hospital. Acta paediatrica Japonica : Overseas edition. 1997;39(3):305-8. 59. Seidman DS, Paz I, Armon Y, Ergaz Z, Stevenson DK, Gale R. Effect of publication of the "Practice Parameter for the management of hyperbilirubinemia" on treatment of neonatal jaundice. Acta paediatrica. 2001;90(3):292-5. 60. Ebbesen F. Recurrence of kernicterus in term and near-term infants in Denmark. Acta paediatrica. 2000;89(10):1213-7.

470

61. Naulaers G, Barten S, Vanhole C, Verhaeghe J, Devlieger H. Management of severe neonatal anemia due to fetomaternal transfusion. American journal of perinatology. 1999;16(4):193-6. 62. Dempsey EM, Barrington K. Short and long term outcomes following partial exchange transfusion in the polycythaemic newborn: a systematic review. Archives of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2006;91(1):F2-6. 63. Fernandez MC, Weiss B, Atwater S, Shannon K, Matthay KK. Congenital leukemia: successful treatment of a newborn with t(5;11)(q31;q23). Journal of pediatric hematology/oncology. 1999;21(2):152-7. 64. Chen CY, Chen YC, Fang JT, Huang CC. Continuous arteriovenous hemodiafiltration in the acute treatment of hyperammonaemia due to ornithine transcarbamylase deficiency. Renal failure. 2000;22(6):823-36. 65. Aikoh H, Sasaki M, Sugai K, Yoshida H, Sakuragawa N. Effective immunoglobulin therapy for brief tonic seizures in methylmalonic acidemia. Brain & development. 1997;19(7):502-5. 66. Mycyk MB, Leikin JB. Combined exchange transfusion and chelation therapy for neonatal lead poisoning. The Annals of pharmacotherapy. 2004;38(5):821-4. 67. Sancak R, Kucukoduk S, Tasdemir HA, Belet N. Exchange transfusion treatment in a newborn with phenobarbital intoxication. Pediatric emergency care. 1999;15(4):268-70. 68. Osborn HH, Henry G, Wax P, Hoffman R, Howland MA. Theophylline toxicity in a premature neonate--elimination kinetics of exchange transfusion. Journal of toxicology Clinical toxicology. 1993;31(4):639-44. 69. Pasternak JF, Hageman J, Adams MA, Philip AG, Gardner TH. Exchange transfusion in neonatal myasthenia. The Journal of pediatrics. 1981;99(4):644-6. 70. Dolfin T, Pomeranz A, Korzets Z, Houri C, Manor Y, Feigin M, et al. Acute renal failure in a neonate caused by the transplacental transfer of a nephrotoxic paraprotein: successful resolution by exchange transfusion. American journal of kidney diseases : the official journal of the National Kidney Foundation. 1999;34(6):1129-31. 71. Gunes T, Koklu E, Buyukkayhan D, Kurtoglu S, Karakukcu M, Patiroglu T. Exchange transfusion or intravenous immunoglobulin therapy as an adjunct to antibiotics for neonatal sepsis in developing countries: a pilot study. Annals of tropical paediatrics. 2006;26(1):3942. 72. Virdi VS, Goraya JS, Khadwal A, Seth A. Neonatal transfusion malaria requiring exchange transfusion. Annals of tropical paediatrics. 2003;23(3):205-7. 73. Maisels MJ, Watchko JF. Treatment of jaundice in low birthweight infants. Archives of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2003;88(6):F459-63. 74. Burch M, Dyamenahalli U, Sullivan ID. Severe unconjugated hyperbilirubinaemia with infradiaphragmatic total anomalous pulmonary venous connection. Archives of disease in childhood. 1993;68(5 Spec No):608-9. 75. Goldenberg NA, Manco-Johnson MJ. Pediatric hemostasis and use of plasma components. Best practice & research Clinical haematology. 2006;19(1):143-55. 76. Murray NA, Roberts IA. Neonatal transfusion practice. Archives of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2004;89(2):F101-7. 77. Petaja J, Johansson C, Andersson S, Heikinheimo M. Neonatal exchange transfusion with heparinised whole blood or citrated composite blood: a prospective study. European journal of pediatrics. 2000;159(7):552-3. 78. Win N, Amess P, Needs M, Hewitt PE. Use of red cells preserved in extended storage media for exchange transfusion in anti-k haemolytic disease of the newborn. Transfus Med. 2005;15(2):157-60. 79. Kumar P, Sarkar S, Narang A. Acute intravascular haemolysis following exchange transfusion with G-6-PD deficient blood. European journal of pediatrics. 1994;153(2):989.

471

80. Yigit S, Gursoy T, Kanra T, Aydin M, Erdem G, Tekinalp G, et al. Whole blood versus red cells and plasma for exchange transfusion in ABO haemolytic disease. Transfus Med. 2005;15(4):313-8. 81. de Waal KA, Baerts W, Offringa M. Systematic review of the optimal fluid for dilutional exchange transfusion in neonatal polycythaemia. Archives of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2006;91(1):F7-10. 82. Jackson JC. Adverse events associated with exchange transfusion in healthy and ill newborns. Pediatrics. 1997;99(5):E7. 83. Keenan WJ, Novak KK, Sutherland JM, Bryla DA, Fetterly KL. Morbidity and mortality associated with exchange transfusion. Pediatrics. 1985;75(2 Pt 2):417-21. 84. Patra K, Storfer-Isser A, Siner B, Moore J, Hack M. Adverse events associated with neonatal exchange transfusion in the 1990s. The Journal of pediatrics. 2004;144(5):62631. 85. Ozkan H, Cevik N. Effect of exchange transfusion on elimination of antibiotics in premature infants. The Turkish journal of pediatrics. 1994;36(1):7-10. 86. Englund JA, Fletcher CV, Johnson D, Chinnock B, Balfour HH, Jr. Effect of blood exchange on acyclovir clearance in an infant with neonatal herpes. The Journal of pediatrics. 1987;110(1):151-3. 87. Lackner TE. Drug replacement following exchange transfusion. The Journal of pediatrics. 1982;100(5):811-4.

472

BAB IV PANDUAN PRAKTIK KLINIS Standar

pelayanan

kedokteran

yang

disusun

berdasarkan

pendekatan Evidence Based Medicine (EBM) atau Health Technology Assessment (HTA) yang isinya menurut buku panduan ini mengikuti format yang ditentukan oleh PP IDAI. Adapun PPK yang telah disusun oleh UKK Neonatologi adalah sebagai berikut:

4.1 Kriteria rawat inap dan keluar dari rumah sakit PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KRITERIA RAWAT INAP DAN KELUAR DARI RUMAH SAKIT UNTUK NEONATUS UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Pelayanan kesehatan neonatus yang memerlukan perawatan inap di rumah sakit. Perawatan neonatus di rumah sakit memiliki Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP). Penilainan klinis neonatus, termasuk pemeriksaan fisik lengkap, serta identifikasi faktor risiko ibu dan bayi dilakukan dalam 6–72 jam pasca kelahiran: • Tentukan rencana serta prosedur manajemen yang tepat dan berkonsultasi dengan DPJP. Hindari

473

perlakuan tidak efisien dan berlebihan pada neonatus • Pemeriksaan klinis dan prosedur tindakan harus dapat diselesaikan dalam waktu ≤ 1 jam saat masuk perawatan. • DPJP memberikan penjelasan pada orangtua mengenai kondisi klinis neonatus dalam kurun waktu 24 jam dan dicatat dalam lembaran edukasi. PANDUAN MASUK RAWAT INAP

Pelayanan kesehatan neonatus di level 1, di puskesmas dan ruang rawat gabung di RS: • Tanda vital stabil, menunjukkan sistem organ vital (susunan saraf pusat, kardio dan respirasi) dalam keadaan normal. • Berat badan lahir ≥2500 gram dan usia kehamilan ≥37 minggu. • Tunjangan nutrisi dan medikasi enteral • Tidak memerlukan tunjangan kardiorespirasi, nutrisi dan medikasi parenteral. • Memiliki masalah medik di bidang neonatologi yang membutuhkan kompetensi DASAR bagi aset tenaga manusia (ATM). • Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien dengan perawat 1 banding 6-8 Pelayanan kesehatan neonatus di level 2A, di RS tipe D (RS dengan tenaga spesialis terbatas, minimal 2 spesialistis): • Level 1 ditambah: • Berat badan lahir ≥2000 gram dan usia kehamilan ≥36 minggu • Tunjangan nutrisi dan medikasi parenteral dengan akses pembuluh darah perifer • Tidak memerlukan tunjangan kardiorespirasi. • Memiliki masalah medik di bidang neonatologi yang membutuhkan

474



kompetensi SPESIALIS bagi aset tenaga manusia (ATM). Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien dengan perawat 1 banding 3-5

Pelayanan kesehatan neonatus di level 2B, di RS tipe C (RS dengan tenaga spesialis minimal 4 spesialistis): • Level 2A ditambah: • Berat badan lahir ≥1800 gram dan usia kehamilan ≥35 minggu. • Memerlukan tunjangan respirasi dengan ventilasi non-invasif • Memerlukan obat kardiotonik dengan akses pembuluh darah perifer. • Pada keadaan darurat, pasien memerlukan tunjangan ventilasi invasif dengan ventilator konvensional ≤5 hari untuk stabilisasi neonatus sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier. • Pasien yang memerlukan tindakan bedah minor pada neonatus. Pelayanan kesehatan neonatus di level 3A, di RS tipe B (RS dengan spesialis lengkap dan subspesialis terbatas): • Level 2B ditambah: • Berat badan lahir <1800 gram dan usia kehamilan <35 minggu. • Memerlukan tunjangan respirasi dengan ventilasi invasif • Memerlukan tunjangan nutrisi enteral dan parenteral melalui akses pembuluh darah sentral. • Memiliki masalah medik di bidang neonatologi yang membutuhkan kompetensi SUBSPESIALIS atau SPESIALIS PLUS bagi aset tenaga manusia (ATM). • Pasien membutuhkan tindakan bedah major terbatas.

475



Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien dengan perawat 1 banding 2.

Pelayanan kesehatan neonatus di level 3B, di RS tipe B (RS dengan spesialis dan subspesialis lengkap kecuali bedah jantung): • Level 3A ditambah: • Pasien membutuhkan tindakan bedah major lengkap, kecuali prosedur kardiotorasis. • Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien dengan perawat 1 banding 2. Pelayanan kesehatan neonatus di level 3C, di RS tipe A (RS dengan spesialis dan subspesialis lengkap serta bedah jantung dengan fasilitas terbatas): • Level 3B ditambah: • Pasien membutuhkan tindakan bedah major lengkap dan prosedur kardiotorasis yang tidak memerlukan ECMO. • Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien dengan perawat 1 banding 2. Pelayanan kesehatan neonatus di level 3D, di RS yang menjadi pusat rujukan nasional (RS dengan spesialis dan subspesialis lengkap serta bedah jantung dengan fasilitas lengkap): • Level 3B ditambah: • Pasien membutuhkan tindakan bedah major lengkap dan prosedur kardiotorasis memerlukan ECMO. • Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien dengan perawat 1 banding 2. KEPUTUSAN KELUAR RAWAT INAP

Kriteria pulang dari rumah sakit • Bayi menunjukkan tanda vital stabil di boks terbuka selama 24-48 jam, terdapat

476

DAFTAR RUJUKAN

penambahan berat badan dan memenuhi kebutuhan nutrisi oral perhari. • Berat badan telah mencapai 1800 gram atau lebih • Ibu dan ayah dan atau pengasuh bayi telah mendapat edukasi mengenai praktik mengasuhan neonatus di rumah • Semua obat yang diperlukan dapat diberikan per oral • Hasil laboratorium normal • Imunisasi Hepatitis B, OPV dan BCG telah dilakukan (jika tidak ada kontraindikasi) • Rujukan kepada konselor ASI setempat • Administrasi rumah sakit telah diselesaikan O’Reilly H. 2 Pilgrim S. 3 Stark, AR. 4 Malarkey M, Kuschel C, Rowley S. 5 Yusna D, Wisnumurti DA, Djauharie EA, Siswanto JE, Kadi FA, Irawan G 6

477

4.2 Komunikasi interpersonal dan konseling PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN KONSELING UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Komunikasi perlu memiliki tujuan yang jelas: 1. Membangun komunikasi yang baik adalah suatu keterampilan. 2. Kebutuhan komunikasi harus bersifat responsif terhadap kebutuhan pasien. 3. Komunikasi bersifat verbal dan non verbal Masalah komunikasi dokter dan pasien Banyak komponen yang menjadi penghalang komunikasi yang baik antara dokter dan pasien, diantaranya adalah halhal berikut: • Buruknya keterampilan komunikasi dokter • Informasi yang tidak boleh diungkapkan • Kebiasaan menghindar dokter • Tidak berkolaborasi • Penentangan dari pasien Interaksi antara dokter dan pasien/klien merupakan bagian penting dari sistem pelayanan kesehatan yang efektif. Penting sekali untuk memperhatikan hal-hal berikut: • Membangun persepsi klien terhadap kompetensi teknis dokter

478

Membangun hubungan interpersonal dokter-klien • Menyampaikan informasi pada klien • Memberikan pilihan pelayanan yang sesuai • Memastikan kesinambungan pelayanan • Pemahaman dan ingatan pasien akan lebih baik melalui komunikasi yang baik sehingga dapat meningkatkan kepuasan dan kepatuhan klien. Komunikasi yang baik memerlukan keterampilan bertanya dan mendengar. Keterampilan ini mengembangkan rasa percaya dan memungkinkan pasien menjawab pertanyaan secara benar dan memberikan seluruh informasi yang dimilikinya. Keterampilan ini juga membantu dokter untuk memahami masalah pasien. •

KETERAMPILAN ANAMNESIS

Keterampilan bertanya • Lakukan tanya jawab di tempat yang menjamin privasi. • Bantulah klien untuk merasa nyaman dengan membuat diri anda sendiri menjadi rileks. Hindari berbagai gerakan yang memperlihatkan rasa gugup. • Dekatkan tubuh anda sedikit ke depan untuk memperlihatkan ketertarikan anda terhadap apa yang dikatakan oleh pasien. • Pertahankan kontak mata. • Gunakan nada bicara yang memperlihatkan rasa tertarik, perhatian dan keramahan. • Ajukan berbagai pertanyaan yang mendorong klien untuk berbicara mengenai anaknya. • Mulailah dengan pertanyaan terbuka untuk memperoleh cerita dari sudut pandang klien. • Ikuti dengan pertanyaan tertutup untuk memperoleh informasi spesifik. • Tanyakan satu pertanyaan saja dalam satu saat, lalu tunggu klien menjawab.

479

• Tanyakan pertanyaan yang sama dengan beberapa cara yang berbeda jika anda menganggap klien tidak memahaminya. • Hindari pertanyaan yang bersifat mengarahkan. • Gunakan suara atau gerakan yang bersifat mendorong untuk membuat klien mau berbicara.

BERBAGI INFORMASI DENGAN PASIEN

Keterampilan mendengar • Diam pada saat yang tepat, perlihatkan rasa hormat anda dengan tidak menyela pasien sehingga berhenti berbicara. • Klarifikasi apapun yang anda tidak pahami. • Ulangi apa yang klien telah katakan dengan kata-kata anda sendiri. • Refleksikan apa yang baru saja dikatakan klien. • Rangkum apa yang telah anda dengar dari klien pada akhir anamnesis Setiap klien memerlukan informasi yang akurat, memadai dan sesuai yang diperlukan untuk membuat keputusan berdasarkan informasi mengenai kesehatannya dan berpartisipasi dalam menjaga kesehatannya. Untuk setiap prosedur medik, klien harus memperoleh berbagai informasi berikut ini sebelum menandatangani lembar persetujuan tindakan: • Mengapa prosedur tersebut perlu dilakukan • Apa saja yang akan terjadi dalam prosedur tersebut • Risiko dan keuntungan dari prosedur tersebut • Efek jangka panjang dari prosedur tersebut • Adanya pilihan untuk menolak prosedur tersebut

480

KONSELING

Keterampilan memberikan informasi • Gunakan bahasa sederhana yang dapat dipahami klien dengan mudah. Hindari bahasa teknis atau medik. • Gunakan gambar atau materi cetak lainnya jika memungkinkan untuk memperjelas apa yang sedang anda katakan • Berikan jeda dari waktu ke waktu dan tanyalah apakah klien paham dengan penjelasan anda • Ulangi instruksi yang perlu dipahami oleh pasien/klien • Minta klien untuk mengulang instruksi • Tanya klien apakah ia ingin menanyakan sesuatu Konseling merupakan suatu interaksi tatap muka antara petugas dengan klien dimana petugas membantu klien untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang didapat terkait dengan kondisi kesehatannya. Konseling khusus dibidang maternalperinatal salah satunya adalah dengan memberitahu kapan ibu harus kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan dan juga mengajari ibu untuk mengenali tanda bahaya yang menunjukkan kapan bayi harus segera dibawa ke rumah sakit serta menilai praktik pemberian ASI dan memberikan konseling untuk mengatasi masalah yang ditemukan.

KOMUNIKASI ANTARA DOKTER DAN PASIEN

Berikan juga konseling mengenai cara melanjutkan pengobatan di rumah, merawat bayi muda termasuk melakukan asuhan dasar di rumah. • Berikan pelayanan yang baik dan ramah. • Berikan pelayanan yang sesuai dan efektif untuk meningkatkan status kesehatan pasien.

481

• •

Tidak melakukan tindakan berbahaya, bahkan ketika pasien meminta anda untuk melakukannya. Rawat pasien tanpa ada diskriminasi.

Dalam melakukan komunikasi antara dokter dan pasien dapat diterapkan enam langkah yang sudah dikenal dengan kata kunci SATU TUJU. Penerapan tidak perlu dilakukan secara berurutan, harus disesuaikan dengan kebutuhan klien.

DAFTAR RUJUKAN

SA: Sapa dan salam kepada klien dengan hangat dan sopan T : Tanyakan pada klien informasi tentang dirinya dan anaknya U : Uraikan kepada klien apa yang terjadi dan upaya untuk menyelesaikan masalah TU : Bantu pasien untuk membuat keputusan dengan memberi informasi yang sesuai dan memadai J : Jelaskan dan informasikan prosedur/pemeriksaan/kondisi medis kepada klien U : Ingatkan klien untuk melakukan kunjungan ulang jika menemukan masalah Ha JF, Longnecker N.7 Kementrian Kesehatan RI. 8

482

4.3 Penilaian fisik PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PENILAIAN FISIK DAN PENILAIAN USIA KEHAMILAN UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN

PERSIAPKAN DIRI PEMERIKSA

TANDA VITAL

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Tebit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Suatu penilaian fisik lengkap untuk setiap neonatus harus dilakukan pada awal setiap jadwal tugas jaga (shift). Pastikan anda mendokumentasikan hasil penilaian dengan baik. Penilaian fisik harus mencakup: Tanda vital Ukuran pertumbuhan Penilaian sistem ASI: frekuensi, kelekatan, posisi Untuk neonatus yang baru masuk ke ruangan, data pasien masuk dan penilaian usia kehamilan juga harus didokumentasi Sebelum memeriksa bayi, cucilah tangan dengan sabun dan air bersih mengalir kemudian keringkan dengan lap bersih dan kering atau dianginkan. Jangan menyentuh bayi jika tangan anda masih basah dan dingin. • Gunakan sarung tangan jika tangan menyentuh bagian tubuh yang ada darah, menyentuh anus yang terkontaminasi mekonium, tali pusat, atau memasukkan tangan ke dalam mulut bayi. • Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir setelah pemeriksaan kemudian keringkan • Jaga suhu bayi tetap hangat selama pemeriksaan. Buka hanya bagian yang akan diperiksa atau diamati dalam waktu singkat untuk mencegah kehilangan panas. Neonatus yang stabil harus diukur dan dilakukan penilaian sistem sebelum waktu pemberian asupan.

483

Neonatus yang tidak stabil dan neonatus yang terpasang ventilator harus diukur tanda vitalnya dan dinilai sistemnya setiap 1-2 jam. Suhu • Pengukuran suhu rektum dilakukan hanya satu kali pada saat neonatus masuk ruangan untuk menyingkirkan kemungkinan imperforasi anus. Semua pengukuran suhu tubuh selanjutnya harus dilakukan melalui pengukuran suhu aksila. • Suhu neonatus normal adalah 36,5oC–37,5oC. • Neonatus yang ditempatkan di tempat tidur dengan penghangat (infant warmer/incubator) harus dipasangi termometer probe kulit dan diobservasi sampai mencapai suhu tubuh yang stabil • Jika neonatus mengalami hipotermia: - Pastikan tempat tidur penghangat atau inkubator telah dinyalakan dan bekerja dengan baik, suhu inkubator disesuaikan - Periksa suhu tubuh neonatus sampai diperoleh hasil pengukuran yang normal - Bila tidak tersedia penghangat, dapat dilakukan perawatan metode kanguru - Untuk bayi kecil dengan BB< 1500gram, gunakan plastik - Untuk mencegah hipotermia lebih lanjut, pastikan topi dipakai oleh bayi. - Untuk melakukan prosedur atau pemeriksaan. Cobalah menggunakan jendela pada inkubator jika memungkinkan, terutama jika suhu tubuh neonatus tidak stabil atau berat badan kurang dari 1,0 Kg. - Periksa sumber hilangnya panas seperti oksigen yang dingin, pengaturan panas yang rendah pada pelembab (humidifier) ventilator atau ruangan yang dingin • Jika neonatus mengalami hipertermia: - Pastikan tempat tidur penghangat bekerja dengan baik. - Periksa apakah neonatus sedang menangis atau bergerak dengan kuat atau dibungkus secara berlebihan - Identifikasi tanda-tanda infeksi

484

Denyut jantung Denyut jantung harus dinilai dengan melakukan auskultasi di dada kiri setinggi apeks kordis dan menghitungnya selama satu menit penuh • Untuk neonatus yang stabil, denyut jantung harus diukur dengan jadwal penanganan setiap shift • Untuk neonatus yang tidak stabil, denyut jantung harus diukur setiap jam atau pasang monitor jantung • Denyut jantung normal pada neonatus adalah 120160 kali per menit pada saat istirahat. Kontak kulit dengan kulit membantu menstabilisasi denyut jantung dan membuat neonatus lebih tenang • Jika neonatus mengalami takikardia (denyut jantung > 160 x/menit): - Pastikan bahwa neonatus tidak sedang menangis atau bergerak dengan kuat • Jika neonatus mengalami bradikardia (denyut jantung < 100 x/menit): - Nilai warna dan pola pernapasan neonates - Pastikan bayi dalam keadaan stabil Frekuensi napas • Frekuensi napas normal pada neonatus adalah 4060 per menit, dan tidak ada tarikan dinding dada kedalam yang kuat ketika bayi sedang tidak menangis. • Frekuensi napas harus diukur melalui observasi selama satu menit penuh. • Untuk neonatus stabil maka harus diukur dengan penanganan terjadwal setiap shift • Jika neonatus tidak stabil, maka napas harus dihitung setiap jam. Tekanan Darah • Pada saat masuk ruangan, pembacaan tekanan darah harus dilakukan pada keempat ekstremitas dengan menggunakan alat pengukur tekanan darah. • Untuk neonatus yang stabil, tekanan darah harus diukur pada setiap jadwal tugas jaga (shift) • Jika neonatus tidak stabil, tekanan darah harus diukur setiap 1-2 jam

485

• Tekanan darah dapat meningkat ketika bayi sedang menangis dan menurun ketika bayi sedang tidur • Tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia kehamilan dan usia pasca lahir • Bila tidak ada manset neonatus, dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan Capillary Refill Time (CRT), bila CRT > 3’’ berarti bayi sudah mengalami gangguan sirkulasi yang harus segera ditangani UKURAN Terdapat tiga komponen ukuran pertumbuhan pada PERTUMBUHAN neonatus. • Berat badan harus diukur setiap hari. • Panjang harus diukur pada saat masuk dan setiap minggu • Lingkar kepala harus diukur pada saat bayi masuk ruangan dan setiap minggu. Berat Badan • Berat badan harus diukur setiap hari, pada waktu yang tetap setiap harinya, bersama-sama dengan asuhan rutin dan pembersihan inkubator. • Berat badan harus diplot pada grafik berat badan pada saat bayi masuk ruangan dan setiap hari • Jika berat badan berbeda secara bermakna dari sehari sebelumnya maka berat badan harus diukur dua kali. Beritahu dokter jika selisih berat badan tersebut ternyata akurat • Jika neonatus tidak stabil untuk dipindahkan dan ditimbang, sesuai perintah dokter untuk tidak menimbang neonatus. Panjang Badan • Panjang bayi dari puncak kepala sampai tumit harus diukur pada saat bayi masuk dan setiap minggu. • Panjang harus diplot pada grafik panjang bayi setiap minggu. • Bayi harus berada dalam posisi terlentang ketika kita mengukur panjang. Hindari menganggu neonatus selama pengukuran. Lingkar Kepala • Lingkar kepala harus diukur pada saat bayi masuk ruangan dan setiap minggu • Ukurlah kepala bayi dengan menggunakan pita pengukur di sekeliling bagian paling menonjol dari tulang occipital dan tulang frontal

486

PENILAIAN SISTEM

• Lakukan pengukuran setidaknya setiap hari pada neonatus dengan masalah neurologis seperti perdarahan intraventrikuler, hidrosepalus atau asfiksia. Setiap temuan yang abnormal atau tidak biasa harus segera dilaporkan pada dokter. Penilaian neurologis • Suatu penilaian neurologis penuh harus dilakukan setiap hari. Untuk neonatus yang tidak stabil atau neonatus dengan masalah neurologis, penilaian ini harus dilakukan lebih sering seperti yang diperintahkan oleh dokter • Penilaian neurologis harus mencakup parameter pada Tabel parameter penilaian neurologis neonatus Tabel 2. Parameter penilaian neurologis neonatus Parameter

Komentar

Aktivitas

Diam, bangun, gelisah, tidur

Tingkat Kesadaran

Letargi, waspada atau tersedasi

Pergerakan

Spontan, terhadap nyeri atau tidak ada

Tonus

Hipertonik, hipotonik, normal atau lemah

Pupil

Ukuran: kanan, kiri Reaksi: lambat, cepat atau tidak ada

Membuka mata

Jika terdapat nyeri, jika terdapat suara, tidak ada, atau spontan

Menangis

Diintubasi, lemah, keras atau bernada tinggi

Fontanela

Cekung, menonjol atau datar

Sutura

Menonjol (bertumpuk) atau terpisah

Kejang

Jika ada, tuliskan gambaran lengkapnya

Penilaian pernapasan • Penilaian harus dilakukan setiap jadwal tugas jaga (shift) atau jika terdapat perubahan dalam kondisi klinis • Penilaian pernapasan harus mencakup parameter yang terdapat pada Tabel parameter penilaian pernapasan neonatus.

487

Tabel 3. Parameter penilaian pernapasan neonatus Parameter

Komentar

Warna kulit

Merah muda, sianotik, pucat, berkabut, kutis marmorata atau jaundice.

Pernapasan

Tidak terlihat usaha keras, merintih, hidung kembang kempis atau retraksi

Suara napas

Jauh, dangkal, course, stridor, wheezing, atau menghilang, sama atau tidak sama

Dinding dada

Pergerakan simetris atau tidak simetris

Apnea/ bradikardia

Denyut jantung terendah yang diamati, warna, pembacaan oksimeter, dan durasi episode

Sekresi ETT

Jumlah : sedikit, sedang, atau banyak Warna: putih, kuning, bening, hijau atau ada noda darah Konsistensi: kental, encer atau mukoid Cek Kedalaman ETT (cm)

Penilaian kardiovaskular • Penilaian kardiovaskuler harus dilakukan setiap jadwal tugas jaga (shift) atau jika terdapat perubahan kondisi klinis. • Penilaian kardiovaskuler harus mencakup parameter yang terdapat pada Tabel parameter penilaian kardiovaskuler. Tabel 4. Parameter penilaian kardiovaskular Parameter

Komentar

Prekordium

Diam atau aktif

Bunyi jantung

Samar atau dapat didengar dengan mudah

Ritme/Irama

Normal atau gambarkan jika ada aritmia

Murmur

Gambarkan jika ada.

Pengisian ulang kapiler

Berapa detik?

Denyut tepi, femoral dan brakial

Normal, lemah atau tidak ada

Penilaian Gastrointestinal • Penilaian gastrointestinal harus dilakukan setiap hari atau jika terdapat perubahan dalam kondisi klinis dan harus mencakup parameter yang terdapat pada Tabel parameter penilaian gastrointestinal.

488

Tabel 5. Parameter penilaian gastrointestinal Parameter

Komentar

Bising usus

Ada, tidak ada, hiperaktif atau hipoaktif

Lingkar abdomen

Catat ukuran dalam cm setiap hari

Emesis (atau residual)

Volume dan gambaran

Dinding perut

Merah atau tidak berwarna Teregang atau terlihat adanya lingkaran-lingkaran usus.

Palpasi

Lunak, tegang, atau kaku

Menyusui • Frekuensi: neonatus harus diberi ASI sesuai permintan dan selama tiga hari pertama, menyusui harus dilakukan setiap dua jam • Posisi: ibu harus berada dalam posisi yang nyaman. Kepala dan badan neonatus harus berada di satu garis lurus, menghadapi ibu, dan dekat dengan payudara. Sentuh bibir bayi dengan jari atau puting dan biarkan mulut bayi terbuka lebar • Kelekatan: bibir bawah neonatus harus menekuk ke arah bawah luar dan sebagian besar areola masuk ke mulut bayi. Areola lebih banyak terlihat di atas mulut neonatus dan dagunya harus menyentuh payudara.

PENILAIAN USIA KEHAMILAN

Sistem lain Penilaian lain harus diperoleh, sesuai dengan kebutuhan. Contoh: - Gambaran luka dan pembalutannya - Gambaran sistem genitourinari - Gambaran output kolostomi Semua bayi yang masuk ke Unit Pelayanan Neonatus harus mempunyai penilaian usia kehamilan yang lengkap. Jika mungkin, hal ini harus dilakukan satu jam setelah kelahiran dan tidak lebih dari 12 jam setelah kelahiran. Tujuan penilaian usia kehamilan adalah untuk: • Bandingkan bayi menurut nilai standar pertumbuhan neonatus berdasarkan usia kehamilan. Temuan dianggap akurat dengan kisaran ± 2 minggu. • Verifikasi perkiraan obstetri untuk usia kehamilan dan identifikasi bayi kurang bulan, lebih bulan, besar atau kecil untuk usia kehamilan.

489

• Amati dan rawat terhadap kemungkinan komplikasi. Prediksi kemampuan adaptasi bayi berdasarkan taksiran usia kehamilannya misalnya bayi dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu akan sulit menetek. TEKNIK Perkiraan obstetrik usia kehamilan didasarkan pada MENILAI USIA tanggal hari pertama haid dan haid terakhir: KEHAMILAN (H+7), (B-3), (T+1) Keterangan: H= hari pertama haid terakhir B= bulan haid terakhir T= tahun haid terakhir Teknik lain seperti pengukuran diameter biparietal janin melalui USG bisa memberikan informasi tentang usia kehamilan dan pertumbuhan janin serta perkembangannya sebelum lahir. Ada berbagai instrumen yang berbeda untuk menilai usia kehamilan bayi, semuanya mengevaluasi perkembangan fisik, neurologis dan neuromuskular. Skor Ballard, yang merupakan penyederhanaan skor Dubowitz memberi nilai 1-5 untuk masing-masing dari enam tanda fisik dan neurologis.

MELAKUKAN PENILAIAN

Skor Ballard Penilaian usia kehamilan tidak boleh dilakukan terburu-buru tapi harus sistematis dan dilakukan saat bayi stabil dan dalam keadaan tenang dan biasa. Maturitas fisik paling akurat dilakukan segera setelah lahir. Jika bayi mengalami proses yang sulit selama persalinan dan kelahiran atau terkena efek obat persalinan, maturitas neurologisnya mungkin tidak bisa dinilai secara akurat pada waktu ini dan dengan demikian harus diulang setelah 24 jam. Jika penilaian neurologis tidak dilakukan, perkiraan usia kehamilan bisa berdasarkan skor ganda penilaian fisik. Prosedur penilaian harus dilakukan dengan tepat dan petugas pemeriksa berikutnya harus mempunyai kesempatan untuk mengkaji prosedur dengan staf yang lebih berpengalaman Perkiraan usia kehamilan menurut skor maturitas Kaji riwayat persalinan dan catat informasi pada Bagan Perkiraan Usia Kehamilan menurut skor maturitas.

490

USIA KEHAMILAN

• • • • •



Nama Usia saat diperiksa Waktu pemeriksaan Usia kehamilan menurut tanggal dan USG Menilai maturitas fisik bayi dan beri tanda “X” pada kotak dalam formulir yang paling menjelaskan tentang bayi. Jika pemeriksaan kedua dilakukan, tuliskan “0” pada kotak yang benar. Menilai maturitas neuromuskular bayi dan tuliskan “X” pada kotak dalam formulir yang paling menjelaskan tentang bayi. Jika pemeriksaan kedua dilakukan, tuliskan “0” pada kotak yang benar.

Postur paling baik jika dinilai saat bayi terlentang dan tenang. Amati fleksi tangan dan kaki, bandingkan dengan angka yang ada pada lembar kerja dan tuliskan “X” pada angka yang paling sesuai. Square window dilakukan dengan melakukan fleksi pergelangan tangan bayi dan amati sudut antara ibu jari dan bagian lengan bawah. Lakukan fleksi sebanyak mungkin dengan hati-hati, bandingkan sudut ibu jari dengan angka yang ada pada lembar kerja dan pilih angka yang paling sesuai. Arm recoil dievaluasi saat bayi terlentang. Pegang kedua tangan bayi dan lakukan fleksi lengan bagian bawah sejauh mungkin selama 5 detik, lanjutkan dengan merentangkan kedua lengan lalu lepaskan. Amati reaksi bayi saat lengan dilepaskan. Bayi yang tangannya tetap terentang atau gerakannya acak mendapatkan skor 0; fleksi parsial 140-180 derajat mendapatkan skor 1; fleksi 110-140 derajat mendapatkan skor 2; fleksi 90-100 derajat mendapatkan skor 3; dan kembali ke fleksi penuh dengan cepat mendapatkan skor 4. Untuk menentukan sudut popliteal, letakkan bayi terlentang, kepala, punggung dan panggulnya menempel pada permukaan. Pegang paha bayi pada posisi fleksi dengan ibu jari dan telunjuk kiri anda. Dengan telunjuk tangan kanan, lurus kaki di belakang mata kaki dengan sedikit tekanan lembut. Bandingkan

491

sudut di belakang lutut atau sudut popliteal, dengan angka pada lembar kerja. Untuk mengevaluasi scarf sign letakkan bayi terlentang. Pegang tangan bayi dan tempelkan lengannya melewati leher ke bahu yang berlawanan sejauh mungkin. Untuk melakukan manuver ini, siku mungkin perlu diangkat melewati badan, tapi kedua bahu tetap harus menempel di permukaan meja periksa dan kepala harus tetap lurus. Amati posisi sikut pada dada bayi dan bandingkan dengan angka pada lembar kerja, lalu catat skor manuver ini. Heel-to-ear-maneuver (manuver tumit telinga) juga dilakukan pada posisi terlentang. Pegang kaki bayi dengan ibu jari dan telunjuk, tarik sedekat mungkin dengan kepala tanpa memaksa dan pertahankan panggul pada permukaan meja periksa. Amati jarak antara kaki dan kepala serta tingkat ekstensi lutut lalu bandingkan dengan angka pada lembar kerja. Setelah menyelesaikan penilaian fisik dan neuromuskular, jumlahkan nilai yang didapat pada setiap kotak yang diberi tanda dan tuliskan totalnya pada lembar kerja. Jika pemeriksaan hanya terdiri dari penilaian fisik, kalikan angka total dengan 2. Menggunakan Grafik Penilaian Maturitas, bandingkan nilai total yang didapatkan dari penilaian pada kolom Skor dengan perkiraan usia kehamilan pada Kolom minggu. Gunakan informasi ini untuk mendokumentasi perkiraan yang tepat untuk bayi sesuai klasifikasi berikut: • Kurang Bulan: 37 minggu • Cukup Bulan: 37-42 minggu • Lebih Bulan: > 42 minggu Pastikan untuk mencatat tanggal dan waktu pemeriksaan Pastikan untuk mencatat usia menurut tanggal dan USG

492

KLASIFIKASI Kaji dan catat pengukuran fisik berikut ini pada grafik NEONATUS yang ada di Gambar Klasifikasi Neonatus berdasarkan BERDASARKAN maturitas dan pertumbuhan intrauterin. MATURITAS • Nama DAN • Usia saat pemeriksaan PERTUMBUHAN • Berat dalam gram INTRAUTERIN • Panjang dalam sentimeter • Lingkar kepala dalam sentimeter

DAFTAR RUJUKAN

Menggunakan perkiraan usia kehamilan dalam Gambar Perkiraan Usia Kehamilan Menurut Skor Maturitas, dokumentasikan berat, panjang dan lingkar kepala bayi. • BMK (Besar masa kehamilan): di atas 90 persentil • SMK (Sesuai masa kehamilan): 10 – 90 persentil • KMK (Kecil masa kehamilan): di bawah 10 persentil Ballard JL,Khoury JC, Wedig K, Wang L, EilersWalsman BL, Lipp R. 9

493

Gambar 9. Klasifikasi neonatus berdasarkan maturitas dan pertumbuhan intrauterin

494

Gambar 10. Perkiraan usia kehamilan menurut maturitasnya

495

4.4 Dampak penyakit ibu pada neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIK

DAMPAK PENYAKIT IBU PADA NEONATUS UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Ibu Selama Kehamilan • Memperhatikan faktor risiko tinggi kehamilan (usia, jarak kehamilan) • Kecukupan asuhan prenatal termasuk imunisasi (4 kunjungan atau lebih) • Menghindari kelebihan berat badan selama kehamilan (terlalu kurus atau obesitas) • Kenaikan berat badan yang sesuai dan melakukan kegiatan fisik • Keseimbangan nutrisi (asupan mikronutrien; besi, zinc, asam folat, yodium, kalsium ) • Menghindari paparan buruk lingkungan (nikotin, NAPZA, obat-obatan, pestisida) • Kesehatan mental termasuk stres dan depresi Kurangnya Kepatuhan terhadap hal diatas bisa secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan: • Komplikasi Neonatus Kurang Bulan, berat lahir rendah, dan hal-hal yang berkaitan dengan kesakitan dan kematian bayi. • Kejadian komplikasi neonatus spesifik yang lebih berat, misalnya anomali

496

kongenital (kelainan tabung syaraf) dan terhambatnya pertumbuhan janin.

IDENTIFIKASI DINI KEHAMILAN

Peranan Asuhan Prenatal : • Mengidentifikasi secara dini komplikasi pada ibu dan memberikan bimbingan tentang perilaku sehat kepada ibu hamil • Mendidik ibu dan keluarganya tentang identifikasi secara dini tanda bahaya selama kehamilan. • Membantu ibu mempersiapkan kelahiran bayi dan memberikan pendidikan dasar mengenai asuhan neonatus/bayi baru lahir termasuk menyusui, IMD. • Penentuan secara akurat usia kehamilan • Mempromosikan dan diadopsinya perilaku sehat sejak awal dan menghindari perilaku/paparan yang tidak sehat. • Penapisan dini infeksi dan risiko lainnya. • Meningkatkan kemampuan diagnosis dini dan perawatan penyakit ibu yang bisa mempengaruhi kehamilan : - Anemia - Malnutrisi ibu - Kondisi medis ibu yang sudah terjadi sebelum hamil (hipertensi, diabetes, TB, malaria, infeksi menular seksual, infeksi saluran kemih) - Penyakit jantung ibu - Kelainan tiroid A. Nutrisi Ibu • Mengevaluasi status nutrisi ▪ Kondisi berat badan sebelum hamil ▪ Kenaikan berat badan yang optimal (10 – 15 kg) ▪ Anemia (Hb 10 gram%) ▪ Obesitas (uji tapis hipertensi & diabetes) ▪ Defisiensi yodium endemik ( gondok ) ▪ Evaluasi asupan terutama vitamin



Rekomendasi

497

▪ Asupan yang seimbang ▪ Suplementasi Kalsium dan Vit.D (defisiensi yang berat mungkin berhubungan dengan hipokalsemia pada neonatus) ▪ Asupan asam folat yang mencukupi (dimulai sebelum kehamilan) mengurangi risiko kelainan tabung syaraf ▪ Suplementasi besi yang mencukupi terutama pada kasus anemia ▪ Menghindari Vit.A dosis tinggi (efek teratogenik) B. Infeksi perinatal Infeksi Virus : • Cytomegalovirus ▪ Ditularkan melalui plasenta, ASI ▪ Berkaitan dengan PJT, hepatosplenomegali, mikrosefali, retinopati dan hydrops fetalis. ▪ Dicurigai pada neonatus dengan ikterus, BBLR, trombositopenia dengan petekie kulit, dan tuli • Rubella : ▪ Ditularkan melalui plasenta ▪ Dampaknya berbahaya bagi janin termasuk penyakit jantung kongenital, PJT, retinopati, kerusakan syaraf pendengaran, katarak, purpura dan hepatosplenomegali • Herpes simpleks ( HSV) ▪ Infeksi yang ditularkan saat intrapartum. ▪ Dampaknya bagi janin termasuk : PJT, Ensefalitis/meningitis, kejang, retinitis, retardasi mental. • Varicella Zoster ▪ Ditularkan melalui plasenta < 20 minggu yaitu Varicella kongenital : mikrosefali, retinitis, jaringan parut pada kulit,

498

▪ •



dan juga melalui kontak setelah lahir yaitu Varicella neonatorum.

HIV ▪ Ditularkan melalui plasenta, selama proses persalinan dan melalui ASI ▪ Sebagian besar HIV/AIDS pada neonatus tidak menunjukkan gejala pada periode neonatus awal meskipun beberapa diantaranya mengalami PJT Hepatitis B ▪ Ditularkan terutama sebagai infeksi yang masuk melalui ibu dan melalui ASI, jarang melalui plasenta. ▪ Berkaitan dengan hepatitis kronis pascanatal, sirosis dan karsinoma hepatoseluler

Infeksi Non-Virus : • Neisseria Gonorrhoea ▪ Infeksi yang terjadi pada masa intrapartum (ascending infection) ▪ Opthalmia neonatorum atau neonatal conjunctivitis (gejala awal) • Treponema pallidum (syphilis) ▪ Ditularkan melalui plasenta, di setiap saat selama kehamilan (dampak paling buruk jika infeksi dini). ▪ Berkaitan dengan kematian janin, lahir mati dan syphilis kongenital (lesi kulit dan selaput mukosa, hepatosplenomegali, anemia dan trombositopenia, lesi pada tulang) • Toxoplasma gondii ▪ Ditularkan melalui plasenta ▪ Infeksi pada trimester awal dapat mengakibatkan abortus, kematian janin dalam kandungan, kelahiran prematur.

499



Bayi dengan toxoplasmosis congenital menunjukkan gejala: ikterus, chorionitis, hepatosplenomegali, kejang, hidriosefalus, mikrosefalus dan retardasi mental, tuli dan anemia.

C. Penyakit tiroid • Hipotiroidisme ▪ Dicurigai terjadi pada ibu paska operasi tiroid, struma, atau Hashimoto Thyroiditis ▪ Dapat menyebabkan lahir mati, PJT, kelahiran prematur, sindroma hipotiroid kongenital, diabetes kehamilan, abruption / solusio plasenta dan preeklamsia. ▪ Indikasi untuk pemberian Tiroksin • Hipertiroidisme : ▪ Lebih umum daripada hipotiroidisme ▪ Harus dicurigai pada kasus dengan gondok ▪ Paling sering disebabkan oleh penyakit Grave’s ▪ Jika tidak diobati bisa berbahaya bagi ibu termasuk preeklampsia berat, gagal jantung dan gangguan irama jantung ▪ Dan pada janin dapat terjadi : abortus, prematur, PJT dan IUFD. IDENTIFIKASI A. Preeklampsia PENYAKIT YANG • Risiko preeklampsia meningkat pada : DIPERBERAT ▪ Sindrom antifosfolipid OLEH ▪ Riwayat preeklampsia sebelumnya KEHAMILAN ▪ Nuliparitas ▪ Usia ibu > 35 tahun ▪ Riwayat keluarga ▪ Penyakit ginjal kronis, hipertensi, dan diabetes sebelum kehamilan ▪ Kehamilan kembar

500

▪ ▪ •

Obesitas, penyakit penunjang Hydrops fetalis

jaringan

Manifestasi hipertensi berat pada kehamilan ▪ Sistolik ≥ 160 dan diastolik ≥ 110 ▪ Protein dalam urin ≥ 5 gram dalam urin 24 jam ▪ Jumlah urin sedikit ( < 500 cc / hari) ▪ Sakit kepala, penglihatan kabur dan kebas ▪ Nyeri epigastrik ▪ Gejala kardiopulmoner, edema ▪ Peningkatan enzym hati, jumlah trombosit menurun (<100.000) ▪ Pertumbuhan janin buruk

B. Diabetes • Diabetes sebelum kehamilan : ▪ Diabetes Melitus (DM) pregestasional merupakan ibu hamil sudah terdiagnosis diabetes sebelum kehamilan dan berlanjut selama kehamilan ▪ Angka kematian ibu dengan DM pregestasional pada kehamilan terutama diinduksi hipertensi, preeklampsia, partus macet dan distosia bahu10 ▪ Meningkatnya risiko keguguran dan anomali kongenital jika tidak terkontrol ▪ Penyakit semakin parah jika kasus berlanjut (komplikasi ginjal dan retina) •

Diabetes kehamilan : ▪ Diabetes melitus gestasional (DMG) merupakan diabetes atau intoleransi glukosa dengan onset atau pertama kali terdeteksi pada saat kehamilan10 ▪ Diabetes melitus yang tidak terkontrol selama kehamilan

501

MEMPERKIRAKAN PARTUS MACET





mengakibatkan peningkatan risiko keguguran pada trimester pertama, kelainan bawaan seperti kelainan jantung dan susunan saraf pusat, peningkatan kematian janin, persalinan prematur, preeklampsia, ketoasidosis, polihidramnion, makrosomia, trauma persalinan khususnya nervus brakhialis, terlambatnya pematangan paru, sindrom distres pernapasan, ikterus, hipoglikemia, hipokalsemia serta peningkatan kematian perinatal11, 12 ▪ Ibu yang mengalami diabetes selama kehamilan setelah diikuti selama 5 tahun berkembang menjadi DM tipe 2 hingga 60% kasus13 ▪ Terjadi pada 2 – 5 % kehamilan ▪ Skrining gula darah dan glukosa urin, dan bila dicurigai maka dapat dilanjutkan dengan tes toleransi glukosa pada 18 – 24 minggu ▪ Indikasi untuk tes glukosa urin pada trimester dua dan tiga ▪ Harus dicurigai pada kasus makrosomia dan polihidramnion ▪ Meningkatnya kejadian persalinan macet dan seksio sesaria serta trauma lahir ▪ Jika tidak terkontrol dengan diet, pertimbangkan insulin ▪ Hipoglikemia / hipokalsemia pada neonatus Mengidentifikasi pertumbuhan janin dan ukuran panggul untuk mengetahui kemungkinan disproporsi sefalopelvik (kepala panggul). Partus lama dapat memicu terjadinya perdarahan dan ruptur uteri Risiko partus lama dapat dideteksi salah satunya dengan pengukuran tinggi badan dimana tinggi badan kurang dari 150 cm dianggap sebagai median untuk memprediksi kehamilan risiko tinggi.

502

Di samping itu penyebab partus lama adalah malposisi atau malpresentasi • Identifikasi dini kehamilan kembar • Mendiagnosis kasus dengan plasenta previa • Mencegah ruptura uteri dengan manajemen aktif kala III dan suntikan oksitosin • Beberapa faktor risiko terjadinya perdarahan postpartum dapat diprediksi saat pemeriksaan antenatal yaitu preeklampsia, riwayat perdarahan pada kehamilan sebelumnya, kehamilan ganda, grandemultiparitas • Mengobati dan memantau kondisi yang berkaitan dengan solusio plasenta, misalnya : ▪ Berusia lanjut ▪ Hipertensi ▪ Pengguna obat terlarang Merupakan bagian rutin dalam kehamilan tapi harus dipantau terutama pada kasus yang berisiko tinggi, misalnya: ▪ Hipertensi dalam kehamilan ▪ Usia lanjut ▪ Diabetes dalam kehamilan ▪ Riwayat janin lahir mati atau persalinan kurang bulan ▪ Riwayat PJT ▪ Paparan terhadap tembakau atau perokok •

MEMPERKIRAKAN KASUS YANG BERISIKO PERDARAHAN ANTE DAN POSTPARTUM

MEMANTAU FUNGSI PLASENTA, PERTUMBUHAN DAN KESEHATAN JANIN

Mencurigai buruknya fungsi plasenta : ▪ Terhambatnya pertumbuhan janin ▪ Oligohidramnion ▪ Perubahan pola gerakan janin ▪ Hipertensi berat ▪ Kasus diabetes yang diperberat oleh kehamilan ▪ Masalah tiroid ▪ Terbukti ada infeksi perinatal Jika terjadi salah satu situasi yang disebutkan di atas, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan lanjut seperti USG, Doppler

503

MEMPERKIRAKAN TERJADINYA PERSALINAN KURANG BULAN DAN BERBAGAI RESIKO YANG MUNGKIN TERJADI

PENTINGNTA KERJASAMA TIM OBSTETRI DAN NEONATAL DEMI KESEHATAN IBU DAN NEONATUS

Jika diagnosis dapat ditegakkan, pertimbangkan untuk terminasi dini kehamilan • Sekitar 30–40% persalinan kurang bulan tidak diketahui penyebabnya. • Penentu paling kuat terjadinya persalinan kurang bulan adalah kejadian persalinan kurang bulan sebelumnya. • Pada 70% kasus persalinan kurang bulan berkaitan dengan ketuban pecah dini (KPD). • Kondisi ibu yang berkaitan dengan persalinan kurang bulan : ▪ Abnormalitas uterus / serviks : - Malformasi uterus - Fibroid - Inkompetensia serviks ▪ Abnormalitas plasenta : - Plasenta previa dan solusio plasenta ▪ Penyakit ibu selama kehamilan ; - Anemia berat, penyakit jantung & ginjal, hipertensi, diabetes - Trauma ▪ Infeksi ibu : - Infeksi saluran kemih - IMS termasuk HIV ▪ Terpapar terhadap zat : tembakau dan obat-obatan terlarang PERTIMBANGAN KHUSUS LAINNYA : • Inkompatilibitas Rhesus • Genetik dan penyakit keluarga • Sindroma Down dan usia lanjut • Penting bagi tenaga kesehatan asuhan neonatus untuk mengenali kondisi obstetri yang mungkin mempengaruhi kesakitan neonatus • Perlu bekerjasama harmonis antar bagian kebidanan dan neonatologi untuk mencapai tujuan bersama dalam

504

DAFTAR RUJUKAN

menolong persalinan bayi yang memerlukan asuhan khusus • Kerjasama seperti ini akan memastikan lingkungan persalinan yang sesuai dan ketersediaan tenaga profesional untuk memenuhi kebutuhan neonatus • Persiapan dan rencana rujukan bayi khusus tetapi tidak tersedia pada fasilitas pelayanan primer harus disiapkan jauh hari sebelumnya agar pemilihan fasilitas dan hasil penanganan rujukan berjalan efektif. • Peluang bayi untuk tetap hidup akan sangat baik jika asuhan yang diperlukan tersedia di fasilitas kesehatan tempat mereka dilahirkan. • Hasil terbaik bagi ibu dan neonatus tercapai jika tenaga kesehatan asuhan obstetri dan neonatus menunjukkan kerjasama dan saling menghargai dan berdasarkan pada prinsip pengelolaan yang sama. • Hal ini untuk menghindari akan ” terjadinya saling menyalahkan ” • Keberhasilan selalu merupakan hasil pencapaian bersama • Tenaga kesehatan asuhan neonatus akan mencapai hasil yang terbaik jika memiliki sistem pendukung yang diperlukan untuk membantu mereka melakukan diagnosis dan perawatan neonatus • Antisipasi komplikasi neonatus berdasarkan informasi yang diterima kesehatan ibu akan membantu pemberi asuhan neonatus untuk mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. McCance D, McNamara M. 10 Gonzales NG, Davila EG, Castro A , Padron E. 11 Qadir SY, Yasmin T, Fatima I12 Noctor E, Dunne FP. 13 Duckitt K, Harrington D. 14

505

4.5 Kelainan bawaan yang sering ditemui pada neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KELAINAN BAWAAN YANG SERING DITEMUI PADA NEONATUS (ICD 10: Q00-Q99)

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen Tanggal Terbit/Revisi

No. Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

Kelainan bawaan: kesalahan pembentukan pada struktur, posisi atau fungsi suatu organ/sistem. Celah bibir dan celah langit-langit: terdapatnya celah pada bibir atas dan dapat disertai juga celah pada langit-langit sehingga terdapat hubungan langsung antara rongga hidung dan rongga mulut akibat adanya kegagalan organogenesis pada perkembangan embriologi. Atresia koana: kelainan kongenital berupa tertutupnya satu atau dua lubang hidung posterior oleh septum tulang (90%) dan membran jaringan lunak (10%). Fistula trakeoesofagus (TEF): adanya hubungan antara trakea dan esofaugs dan seringkali terkait dengan kelainan lain yang membentuk sindrom VATER (Vertebral defect, Anal atresia, Tracheoesophageal fistula with Esophageal atresia, Radial/Renal anomaly)

506

Hernia diafragmatika: herniasi isi perut ke dalam rongga toraks melalui defek pada diafragma. Omfalokel: suatu defek yang menyebabkan usus atau visera lain menonjol keluar melalui umbilicus (masih terbungkus selaput) Gatroskisis: herniasi usus besar dan usus kecil melalui defek dinding abdomen. Anus imperforata: kelainan kongenital tidak adanya anus; sering disebut juga atresia ani. Hipospadia: kelainan urologis yang paling sering ditemui, dapat bersifat glandular, koronal, anterior, mid/post penis atau perineal. Meningomielokel: dilatasi kistik dari meningen yang terkait dengan spina bifida, dengan atau tanpa defek kulit di atasnya atau abnormalitas akar saraf. Spina bifida okulta: celah pada tulang belakang akibat gagal terbentuk secara utuh, tetapi korda spinalis dan meningens tidak menonjol. Dislokasi panggul bawaan: adanya dislokasi pada tulang panggung akibat pertumbuhan abnormal. Trisomi 13 (Sindrom Patau): kelainan kongenital yang ditandai dengan kelebihan kromosom 13. Trisomi 18 (Sindrom Edward): kelainan kongenital yang ditandai dengan kelebihan kromosom 18. Trisomi 21 (Syndrom Down) : kelainan kongenital yang ditandai dengan kelebihan kromosom 21 yang sering ditandai adanya kelainan jantung dan saluran cerna. Sindrom hipotiroid kongenital TORCH ANAMNESIS

Penyebab: Identifikasi faktor risiko kelainan genetik hingga gangguan teratogenik terhadap fetus yang tengah berkembang.

507

PEMERIKSAAN FISIS

Celah bibir dan celah langit-langit: Kesulitan pemberian asupan serta infeksi paru dan telinga berulang. Atresia koana: Tidak dapat lewatnya kateter ke nasofaring melalui kedua sisi hidung sehingga dapat terjadi gawat napas akibat penyumbatan saluran napas bagian atas. Fistula trakeoesofagus: • Bayi yang terkena akan mengeluarkan banyak lendir (hipersalivasi) dan batuk serta tersedak pada saat diberi minum. • Curigai TEF pada kasus dengan polihidramnion • Diagnosis dini sebelum terjadinya pneumonia aspirasi menjadi penting, karena pneumonia aspirasi akan memperburuk prognosis. • Diagnosis dipastikan secara cepat dengan gagalnya selang nasogastrik melewati esofagus proksimal Hernia diafragmatika: • Sering ditemui bersamaan dengan hidramnion. • Pada saat lahir dapat terjadi sianosis, gawat napas dan terlihat abdomen skafoid. • Suara napas pada sisi yang terkena dapat menurun atau tidak terdengar • Dapat terjadi masalah pemberian asupan dan gawat napas ringan Omfalokel: Tampak herniasi usus dan pada sejumlah kasus, hati, di dalam tali pusat. Gastroskisis: Tampak herniasi usus besar dan usus kecil melalui defek dinding abdomen.

508

Anus imperforata: Pada fistula rendah dapat menyebabkan keluarnya mekonium melalui vagina atau skrotum, sedangkan fistula rektovesikal tinggi ditandai dengan terdapatnya mekonium dalam urine Hipospadia: Penis melengkung (korda), defisiensi prepusium ventral, lubang meatus abnormal, dapat juga disertai testis yang tidak turun (undescended testis) dan hernia. Meningomielokel: • Berbagai derajat defisit motorik dan sensoris terdapat di bawah ketinggian lesi. • Kelainan lain anus yang tetap terbuka (patulous), paralisis kedua ekstremitas bawah dan kelainan bentuk kaki. • Hidrosefalus Spina bifida okulta: Tidak terlihat kulit yang terbuka, tetapi rambut yang tidak pada tempatnya, lipoma atau lesung dapat berada di atas defek medula spinalis. Dislokasi panggul bawaan: • Tes Barlow untuk mendorong tulang paha keluar dari mangkuk acetabulum • Tes Ortolani untuk mengembalikan sendi yang sudah mengalami dislokasi Trisomi 13 (Sindrom Patau): ▪ Backward sloping forehead ▪ Defek kulit kepala ▪ Bentuk dan letak telinga abnormal (low set ears) ▪ Rahang bawah kecil (micrognatia) ▪ Celah bibir dan/atau langit-langit ▪ Rocker bottom feet ▪ Polidaktili Trisomi 18 (Sindrom Edward): ▪ Oksiput prominen

509

▪ Bentuk dan letak telinga abnormal (low set ears) ▪ Kelainan jantung bawaan ▪ Tangan menggenggam (clenched hand) ▪ Rocker bottom feet Trisomi 21 (Sindrom Down) • Mongoloid face • Epicantus melebar • Low set ear • Simian crease • Makroglossi • Hipotoni PEMERIKSAAN PENUNJANG

Fistula trakeoesofagus: Foto rontgen akan memastikan posisi orogastric tube yang melingkar di esofagus proksimal, dan terlihat udara dalam lambung. (ICD 9 CM: 87.6) Hernia diafragmatika: • Diagnosis pranatal dengan USG (ICD 9 CM: 88.76) • Rontgen dada akan memperlihatkan gambaran usus dalam rongga dada (ICD 9 CM: 87.44) Anus imperforata: • Rontgen dalam posisi knee chest (ICD 9 CM: 87.44) • USG dapat mendeteksi ketinggian rektum distal (ICD 9 CM: 88.76) Meningomielokel: • Rontgen (ICD 9 CM: 87.2) • CT Scan (ICD 9 CM: 87.03) • USG (ICD 9 CM: 88.71) Dislokasi panggul bawaan: Rontgen (ICD 9 CM: 87.2)

510

Trisomi 13 (Sindrom Patau): Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79) Trisomi 18 (Sindrom Edward): Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79) Trisomi 21 (Sindrom Down): Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79) Ekokardiografi (ICD 9 CM: 88.72) Rontgen (ICD 9 CM: 87.44)

KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA

DIAGNOSIS BANDING TERAPI

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang • Cleft palate and cleft lip (ICD 10: Q35Q37) • Choanal atresia (ICD 10: Q30.0) • Atresia of oesophagus without fistula (ICD 10: Q39.0) • Atresia of oesophagus with tracheooesophageal fistula (ICD 10: Q39.1) • Congenital diaphragmatic hernia (ICD 10: Q79.0) • Exomphalos (ICD 10: Q79.2) • Gastroschisis (ICD 10: Q79.3) • Congenital absence, atresia and stenosis of anus without fistula (ICD 10: Q42.3) • Hypospadias (ICD 10: Q54) • Spina bifida (ICD 10: Q05) • Congenital deformities of hip (ICD 10: Q65) Other congenital anomalies (Q00-Q99) Celah bibir dan celah langit-langit: • Penutupan celah dengan pembedahan sebelum fonasi • Celah bibir pada usia 1-3 bulan • Celah langit-langit pada usia 6-12 bulan • Dot panjang • Hindari aspirasi Atresia koana:

511

• •

Jika bilateral, segera diperlukan jalan napas melalui oral Koreksi melalui pembedahan sesegera mungkin

Fistula trakeoesofagus: • Rujuk ke tempat yang mempunyai fasilitas bedah anak • Posisikan pada posisi tegak 30o • Isap faring posterior dan saluran napas atas • Berikan oksigen Hernia diafragmatika: • Ventilasi dengan menggunakan balon dan sungkup (kantung dan masker) merupakan kontraindikasi karena akan menyebabkan lebih banyak udara masuk sehingga akan menkompresi paru • Pembedahan Omfalokel: Harus dilakukan pembedahan sesegera mungkin untuk menghindari terjadinya peritonitis Gastroskisis: Pembedahan Anus imperforata: Kolostomi sementara pada neonatus dengan anus imperforata letak tinggi dengan atau tanpa fistula Hipospadia: Pembedahan usia 2 tahun Meningomielokel: Pembedahan Spina bifida okulta: Pembedahan

512

Dislokasi panggul bawaan: Penempatan sebuah brace yang dipasang di atas popok. EDUKASI

PROGNOSIS DAFTAR RUJUKAN

Hindari faktor risiko terjadinya kelainan bawaan Kenali tanda dan gejala awal adanya kelainan bawaan pada bayi Ad vitam : Dubia Malam Ad sanationam : Dubia Malam Ad fungsionam : Malam Children's Hospital of Orange Country.15 Mielniczuk M, Kusza K, Brzeziński P, Jakubczyk M, Mielniczuk K, CzerwionkaSzaflarska M.16

513

4.6 Trauma lahir PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TRAUMA LAHIR (ICD 10: P10-P15)

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

Trauma lahir: cedera yang didapatkan saat persalinan dan kelahiran. Kaput suksadenum: Edema yang tidak berbatas tegas di bagian kulit kepala yang paling dahulu keluar dalam persalinan vertex. Sefalhematoma: Mengumpulnya darah pada subperiosteal yang melapisi tulang kranial karena robeknya pembuluh darah melewati periosteum tulang kepala yang diakibatkan oleh persalinan lama atau sulit dan trauma mekanis yang disebabkan oleh forsep atau vakum. Perdarahan intrakranial: Perdarahan yang dapat terjadi pada ruang epidural, subdural atau subarachnoid, parenkim serebrum atau serebelum, atau ventrikel. Fraktur klavikula: fraktur yang disebabkan manipulasi yang berlebihan pada lengan dan bahu selama persalinan dengan presentasi kepala atau sungsang. Brakial palsi: kelumpuhan yang melibatkan otot bagian atas ekstremitas setelah

514

terjadinya trauma mekanis pada akar spinal dari pleksus brakialis. Paralisis saraf frenikus: paralisis yang menyebabkan paralisis diafragma, jarang merupakan lesi tersendiri (isolated), umumnya unilateral. Cedera intraabdomen: dapat mengakibatkan ruptur atau perdarahan subkapsular di hati, limpa atau kelenjar adrenal. ANAMNESIS

PEMERIKSAAN FISIS

Faktor predisposisi: • Makrosomia • Kelahiran kurang bulan • Disproporsi kepala panggul • Distosia • Persalinan lama • Presentasi abnormal • Persalinan dengan tindakan (misalnya vakum dan forsep) • Persalinan kembar Kaput suksadenum Pembengkakan lunak yang melebar melewati garis sutura (eksternal dari periosteum). Sefalhematoma • Perdarahan terbatas pada garis sutura • Kulit kepala diatasnya tidak mengalami diskolorasi • Pembengkakan mungkin timbul beberapa jam atau hari setelah lahir • Hilang setelah 2 minggu sampai 3 bulan Perdarahan intrakranial • Presentasi tanpa gejala bisa terjadi hingga 50% kasus • Tanda kehilangan darah antara lain syok, pucat, gawat napas, DIC dan ikterus • Tanda disfungsi neurologis • Fontanela anterior menonjol • Hipotonia lemah, kejang • Suhu tidak stabil

515



Apnea

Fraktur klavikula • Menurunnya gerakan lengan ipsilateral • Nyeri saat pergerakan pasif • Nyeri, krepitasi pada klavikula • Tidak adanya refleks Moro pada bagian yang terkena • Kalus bisa dipalpasi pada usia 7-10 hari Brakial palsi • Bayi yang terkena biasanya besar dan mengalami asfiksia. • Lengan yang terkena biasanya mengalami aduksi, rotasi internal, memanjang di bagian siku, pronasi lengan, dan fleksi di bagian pergelangan tangan. Paralisis saraf frenikus • Gawat napas • Tidak ada pengembangan abdomen dengan inspirasi pada sisi yang terkena Cedera intraabdomen • Riwayat persalinan yang sulit • Manifestasi mendadak termasuk syok dan distensi abdomen • Gejala yang mengindikasikan awitan lanjut termasuk ikterus, pucat, asupan minum yang buruk, takipnea dan takikardia PEMERIKSAAN PENUNJANG

Perdarahan intrakranial USG kepala (ICD 9 CM: 88.71) CT scan (ICD 9 CM: 87.03) PT/PTT dan jumlah trombosit (ICD 9 CM: 90.05) Fraktur klavikula Rontgen klavikula (ICD 9 CM: 87.43)

516

Paralisis saraf frenikus Pemeriksaan radiologis meningkatnya lengkungan diafragma (seperti kubah) (ICD 9 CM: 87.49) Cedera intraabdomen USG abdomen (ICD 9 CM: 88.76) KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA

DIAGNOSIS BANDING TERAPI

Berdasarkan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang) Intracranial laceration and haemorrhage due to birth injury (ICD 10: P10) Cephalhaematoma due to birth injury (ICD 10: P12.0) Fracture of clavicle due to birth injury (ICD 10: P13.4) Erb's paralysis due to birth injury (ICD 10: P14.0) Phrenic nerve paralysis due to birth injury (ICD 10: P14.2) Birth injury to liver (ICD 10: P15.0) Birth injury to spleen (ICD 10: P15.1) Other birth trauma (ICD 10: P10-P15) Kaput suksadenum Biasanya tidak diperlukan perawatan dan kondisi ini hilang sendiri dalam waktu beberapa hari. Sefalhematoma • Tidak perlu perawatan untuk sefalhematoma tanpa komplikasi • Insisi atau aspirasi merupakan kontraindikasi (risiko infeksi) • Transfusi darah dilakukan jika berkembang menjadi anemia berat • Hiperbilirubinemia yang signifikan mungkin memerlukan terapi sinar atau bahkan transfusi tukar tergantung pada kadar bilirubin

517

Perdarahan intrakranial • Hindari manipulasi yang tidak perlu • Berikan pengembang volume perlahanlahan (albumin, plasma dan darah) • Vitamin K1 harus diberikan jika sudah diidentifikasi adanya kegagalan koagulasi • Tatalaksana kejang dan hiperbilirubinemia (jika ada) Fraktur klavikula Lengan dan bahu yang terkena dimobilisasi selama 7-10 hari.

tidak

Brakial palsi • • •

Imobilisasi parsial ekstremitas yang terkena selama 1-2 minggu pada posisi yang berseberangan Masase lembut dan latihan pasif setelah 1-2 minggu dan teruskan hingga 3 bulan. Jika tidak ada peningkatan, rujuk ke dokter bedah untuk mencari kemungkinan dilakukannya intervensi.

Paralisis saraf frenikus Tidak ada yang spesifik untuk gawat napas

EDUKASI PROGNOSIS DAFTAR RUJUKAN

Cedera intraabdomen Mungkin perlu laparotomi pada kasus cedera hati atau limpa Hindari faktor risiko Ad vitam : Dubia Bonam Ad sanationam: Dubia Bonam Ad fungsionam: Malam Akangire G, Carter B. 17

518

4.7 Resusitasi neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

RESUSITASI NEONATUS

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia DEFINISI

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Resusitasi adalah serangkaian upaya yang sistematis dan terkoordinir untuk mengembalikan usaha napas dan sirkulasi bayi baru lahir sehingga terhindar dari kematian dan cacat menetap.

Resusitasi neonatus merupakan suatu prosedur yang diaplikasikan untuk neonatus yang gagal bernapas secara spontan dan adekuat. PEMBERITAHUA • Menginformasikan kepada tim resusitasi N neonatus bila ada ibu dengan kehamilan risiko tinggi. • Segera setelah pasien obstetrik masuk dan dievaluasi, informasikan unit neonatologi mengenai rencana tatalaksana anda dan batas waktu potensial untuk persalinan. • Setelah keputusan untuk melakukan persalinan berisiko tinggi darurat dibuat, informasikan unit neonatologi mengenai rencana tata laksana anda dan batas waktu potensial untuk persalinan. LANGKAH UNTUK • Penilaian merupakan salah satu bagian penting KEBERHASILAN dalam resusitasi neonatus yang perlu dipahami RESUSITASI oleh setiap penolong. Tahapan ini akan menentukan langkah serta tindakan resusitasi selanjutnya. Penilaian harus dilakukan segera setelah bayi lahir dan berlanjut sepanjang resusitasi

519









• SEBELUM PERSALINAN DIMULAI



• • •

Jangan menunggu nilai Apgar satu menit untuk memulai resusitasi. Semakin lambat anda memulai, akan semakin sulit melakukan resusitasi Semua petugas yang terlibat dalam persalinan harus: Memiliki kompetensi melakukan resusitasi neonatus Mampu bekerja efisien Dapat bekerja sebagai tim. Tim resusitasi bayi baru lahir terdiri dari tiga orang, namun apabila adanya keterbatasan tenaga penolong maka tim resusitasi dapat berjumlah minimal dua orang. Pembagian tugas setiap anggota tim harus jelas pada saat menolong kelahiran bayi baru lahir. Orang pertama yang disebut dengan leader / pemimpin tim yaitu orang yang dianggap paling terampil dan mampu memberikan instruksi pada anggota tim lainnya. Pemimpin tim berdiri tepat di sisi kepala bayi. Tanggung jawab utama pemimpin tim adalah terkait dengan airway dan breathing. Orang kedua (Asisten Circulation) bertanggung jawab terhadap sirkulasi bayi. Orang ketiga (Asisten Drug and Equipment) bertanggung jawab terhadap penyiapan alat – alat resusitasi, penyiapan obat – obatan dan cairan, mengukur suhu, pemasangan monitor suhu dan alat lainnya. Semua peralatan yang diperlukan harus tersedia dan berfungsi baik. Informasikan unit neonatologi mengenai adanya persalinan risiko tinggi yang sedang terjadi. Dokter anak/petugas kesehatan yang terampil dan terlatih dalam resusitasi, harus menghadiri semua persalinan risiko tinggi. Untuk persalinan normal, petugas yang ahli dalam resusitasi neonatus harus hadir Semua peralatan harus disiapkan dan dicek sebelum persalinan (lihat daftar Peralatan dan pasokan untuk Resusitasi Neonatus) Infant warmer dinyalakan dan handuk hangat tersedia

520

Cek alat pengisap lendir, oksigen, sungkup wajah dengan ukuran yang sesuai serta balon resusitasi/ T piece resucitator. • Siapkan pipa endotrakeal (ET) dengan berbagai ukuran • Siapkan obat-obatan, kateter umbilikal dan sebuah meja tindakan. BAYI Konsultasi antenatal, brifeing TIM, persiapan alat •

SEBELUM LAHIR SETELAH PERSALINAN

Segera setelah bayi lahir Lakukan penilaian sebagai berikut: - Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis? - Apakah tonus otot bayi baik? • Bila semua pertanyaan di atas dijawab dengan “ya”, lakukan perawatan rutin (lihat Gambar 11). Perawatan rutin ialah memberikan kehangatan, membuka/membersihkan jalan napas dan mengeringkan . • Bila salah satu atau lebih pertanyaan dijawab “tidak”, lakukan langkah awal resusitasi. Langkah awal resusitasi • Tempatkan bayi di bawah pemanas radian • Letakkan bayi terlentang pada posisi setengah tengadah untuk membuka jalan napas. Sebuah gulungan handuk (handuk kecil/kain bedong) diletakkan di bawah bahu untuk membantu mencegah fleksi leher dan penyumbatan jalan napas. • Bersihkan jalan napas atas dengan mengisap mulut terlebih dahulu kemudian hidung, dengan menggunakan bulb syringe, alat pengisap lendir, atau kateter pengisap. Perhatikan untuk menjaga dari kehilangan panas setiap saat. Catatan: pengisapan dan pengeringan tubuh dapat dilakukan bersamaan, bila air ketuban bersih dari mekonium. • Pengisapan yang kontinyu dibatasi 3-5 detik pada satu pengisapan. Mulut diisap terlebih dahulu untuk mencegah aspirasi. • Pengisapan lebih agresif hanya boleh dilakukan jika terdapat mekonium pada jalan napas (kondisi ini dapat mengarah ke bradikardia).

521

• • • •

Bila terdapat mekonium dan bayi tidak bugar, lakukan pengisapan, dengan menggunakan suction kateter no 10-12 Keringkan, stimulasi, dan reposisi kepala. Tindakan yang dilakukan sejak bayi lahir sampai reposisi kepala dilakukan secepatnya Menilai pernapasan Jika bayi mulai bernapas secara teratur dan memadai, periksa denyut jantung. Jika denyut jantung >100 kali/menit dan bayi tidak mengalami sianosis, hentikan resusitasi. Tetapi jika sianosis ditemui, berikan oksigen aliran bebas.

Ventilasi Tekanan Positif • Jika bayi tidak bernafas atau bayi megapmegap, atau HR < 100x/mnt dilakukan ventilasi tekanan positif (VTP) diawali dengan menggunakan balon resusitasi dan sungkup atau T-Piece resusitator , dengan frekuensi 4060 kali/menit. • VTP yang diberikan dengan mempergunakan tekanan puncak inspirasi (PIP) dan tekanan akhir ekspirasi (PEEP) • Alat yang bisa dipergunakan dalam pemberian PIP dan PEEP yaitu T Piece resuscitator atau balon mengembang sendiri yang dilengkapi dengan katup PEEP • VTP yang diberikan harus efektif, tanda VTP efektif adalah : Laju denyut jantung yang semakin cepat dan pengembangan dada adekuat. VTP yang tidak efektif harus sudah dideteksi kurang dari 15 detik. Jika VTP tidak efektif maka harus dilakukan langkah koreksi yang terdiri dari : - Sungkup melekat rapat - Reposisi jalan nafas - Isap mulut dan hidung bila terdapat lendir - Buka mulut bayi dan berikan ventilasi - Tingkatkan tekanan puncak inspirasi - Alternatif jalan nafas jika langkah gagal maka lakukan intubasi endotrakeal atau pemasangan sungkup laring

522

• Intubasi endotrakeal diperlukan jika bayi tidak berespon terhadap VTP dengan menggunakan balon dan sungkup. Kemudian lanjutkan VTP. Kompresi Dada • Jika denyut jantung masih <60 kali/menit setelah 30 detik VTP yang efektif, kompresi dada harus dimulai. • Bila melakukan kompresi dada, bayi lebih dahulu di intubasi dan oksigen dinaikan menjadi 100% • Kompresi dilakukan pada sternum di proksimal dari proc.xipoideus, jangan menekan/di atas xifoid. Kedua ibu jari petugas yang meresusitasi digunakan untuk menekan sternum sementara jari-jari lain mengelilingi dada; atau jari tengah dan telunjuk dari satu tangan dapat digunakan untuk kompresi sementara tangan lain menahan punggung bayi. Sternum dikompresi sedalam 1/3 tebal antero-posterior dada. • Kompresi dada diselingi ventilasi secara simultan terkoordinasi dengan rasio 3:1. Kecepatan kombinasi kegiatan tersebut harus 120/menit (yaitu 90 kompresi dan 30 ventilasi). Jadi dalam 60 detik, dilakukan 15 siklus yaitu 45 kompresi dan 15 ventilasi dengan rasio 3:1. Setelah 60 detik, evaluasi respon. Jika denyut jantung >60 denyut/menit, kompresi dada dapat dihentikan dan VTP dilanjutkan hingga denyut jantung mencapai 100 kali/menit dan bayi bernapas efektif. • Terkadang, walaupun paru sudah terventilasi dengan baik (melalui ventilasi tekanan positif) dan curah jantung membaik (melalui kompresi dada), sejumlah kecil bayi baru lahir (kurang dari 2 per 1000 kelahiran) masih memiliki frekuensi denyut jantung di bawah 60 x/menit. Otot jantung bayi dengan kondisi seperti ini telah mengalami hipoksia terlalu lama sehingga gagal berkontraksi secara efektif walau telah mendapat perfusi dengan darah beroksigen. • Untuk bayi dengan kondisi demikian, harus berlanjut kepada tahap selanjutnya dalam resusitasi, yaitu Drugs atau pemberian obat – obatan

523

PEMBERIAN OBAT

Epinefrin • Epinefrin harus diberikan jika denyut jantung tetap <60 kali/menit setelah 30 detik VTP efektif dan 30 detik lagi VTP efektif dan kompresi dada. Dosis epinefrin adalah 0,1-0,3 mL/kg berat badan larutan 1:10.000 secara intravena, melalui vena umbilikal. Bila diberikan melalui pipa endotrakeal, dosis adalah 0,3-1,0 mL/kg berat badan. Prosedur pada katerisasi umbilikal: Persiapan Bahan dan Alat • Set umbilikal emergensi (lihat pokok bahasan persiapan alat resusitasi) • Antiseptik: Alkohol 70%, Iodium povidon, kasa steril. • Tempat bahan dan alat-alat (trolley) dan kain penutup steril • Spuit 5ml dan10ml, Three way stopper • Cairan NaCl 0,9% 25 ml atau 100 ml Pelaksanaan • Cuci tangan dengan desinfektan dan menggunakan sarung tangan steril • Lihat kondisi pasien dan keperluan pasien dalam terapi • Isi lebih dahulu kateter ukuran 3.5F atau 5F yang telah disambung dengan semprit dan stopcock dengan garam fisiologis. • Pasang sebuah keran-3-arah (3-waystoppcock) steril dan semprit pada kateter 5 FG dan isi dengan saline normal, lalu tutup keran untuk mencegah masuknya udara (yang dapat mengakibatkan emboli udara) • Bersihkan umbilikus dan kulit sekelilingnya dengan larutan antiseptik, lalu ikat benang mengelilingi dasar umbilikus. Ikatan ini dapat dikencangkan bila terjadi perdarahan hebat saat memotong tali pusat • Potong umbilikus 1-2 cm dari dasar dengan pisau steril. Tentukan vena umbilikus (pembuluh yang menganga lebar) dan arteri umbilikus (dua pembuluh berdinding tebal). Pegang umbilikus (yang dekat dengan pembuluh vena) dengan forseps steril

524

• Tekan ringan bila ada perdarahan, bersihkan dan asepsis kembali • Pegang bagian dekat ujung kateter dengan forseps steril dan masukkan kateter ke dalam vena (kateter harus dapat menembus dengan mudah) sepanjang 4-6 cm. Alur vena akan menuju ke atas, ke arah jantung. Tarik darah sehingga mengalir dengan mudah ketika membuka stopcock ke arah semprit dan menghisap secara perlahan • Periksa kateter tidak menekuk dan darah mengalir balik dengan mudah; bila ada sumbatan tarik pelan-pelan umbilikus, tarik ke belakang sebagian kateter dan masukkan kembali • Kaji jangan sampai ada udara di selang infus dan tutup ujung set • Masukkan obat-obatan atau cairan fisiologis • Bila sudah didapatkan perbaikan denyut jantung, kateter segera dilepas • Asepsis kembali area pemasangan kateter umbilikal Obat Lain • Tatalaksana pada syok hipovolemik meliputi pemberian cairan kristaloid dan/atau produk darah (packed red cell/ PRC atau whole blood) guna meningkatkan volume intravaskular. Cairan kristaloid yang umum digunakan adalah larutan salin normal atau ringer laktat. Apabila tidak terdapat kehilangan darah akut, cairan kristaloid tersebut diberikan 10 mL/kg/kali secara intravena, intraoseus, atau melalui kateter vena umbilikal dalam waktu 1530 menit (pemberian dalam waktu singkat sesuai kondisi bayi). Hati-hati pemberian bolus pada bayi premature sebaiknya diberikan lebih dari 20 menit. Bolus cairan dapat diberikan dua kali atau lebih pada kasus syok berat. Jika terdapat kehilangan darah kronik, beberapa bayi dalam keadaan syok berat tidak dapat mentoleransi pemberian cairan penambah volume secara cepat. Pada kehilangan darah akut, cairan kristaloid dapat diberikan sambil menunggu transfusi produk darah. Cairan

525

diberikan sebanyak 10 mL/kg/kali secara intravena, intraoseus, atau melalui kateter vena umbilikal selama 30 menit-2 jam (dapat lebih cepat tergantung kondisi bayi). Respons bayi (laju denyut jantung, perfusi, dan tekanan darah) harus senantiasa dinilai pada akhir pemberian bolus sehingga dapat diputuskan pemberian bolus selanjutnya. • Nalokson hidroklorida diberikan kepada bayi dengan keadaan sebagai berikut. Depresi pernapasan memanjang pada bayi dari ibu yang mendapat anestesi narkotik dalam waktu 4 jam sebelum persalinan, sudah dilakukan langkah resusitasi, dan frekuensi denyut jantung dan warna bayi normal. Nalokson merupakan kontraindikasi bagi bayi yang ibunya pecandu narkotika. Nalokson tidak dianjurkan diberikan di Kamar Bersalin pada resusitasi awal. PERALATAN DAN Tim Penolong BAHAN-BAHAN Risiko sangat tinggi RESUSITASI 1 konsulen neonatologi, 1 perawat, 1 bidan NEONATUS Risiko sedang atau tinggi 1 dokter spesialis anak, 1 perawat, 1 bidan Kehamilan multiple : 2 tim Termoregulasi • Suhu ruangan 24-26⁰C • Topi bayi yang sudah dihangatkan • Kain bedong 3 lapis (kain pengering) yang sudah dihangatkan • Plastik (untuk bayi BB <1500 gram) 2 buah • Infant warmer dinyalakan dengan suhu 34⁰C • Inkubator transport dinyalakan dengan suhu 37⁰C Airway • Suction keteter 5F atau 6F, 8F, 10F, 12F atau 14F • Sungkup berbagai ukuran (35 mm, 42 mm, 50 mm, 60 mm) • Laringoskop (lampu menyala) dengan blade lurus ukuran: 00 : bayi sangat prematur (<1000 gram) 0 : bayi prematur

526

1 : bayi cukup bulan (> 4 kg) • Laryngeal Mask Airway (LMA) ukuran no. 1 • Pipa Endotrakeal nomor 2; 2,5; 3,0; 3,5; 4 • Stilet dan Magyll • Plester • Gunting steril • Benang Kasur Breathing • Self Inflating Bag (ambung® untuk neonatus) • PEEP valve + connector • Tabung Oksigen (sudah diisi penuh) • T-piece resuscitator (sudah diatur tekanan 2530/ 5) • Jackson Rees (*jika tidak ada T-piece resuscitator) Sirkulasi dan obat-obatan • Pulse oxymeter portable • Spuit (1, 5, 10, 50 mL) • Infus set yang sudah disambungkan dengan needless connector • Hecting set • Umbilical set • OGT no. 5 dan 8 • NaCl 0,9% (sudah disiapkan 1-2 x 10mL/kg dalam spuit 30cc) • D 10% (sudah disiapkan 2-4 x 2mL/kg dalam spuit 5cc) • Umbilikal emergency yang sudah diisi dan siap pakai • Adrenalin (ampul) • Dopamin dan dobutamin (ampul) • Handscoen steril 3 pasang Semua peralatan dalam keadaan steril dalam troli Premedikasi: - Midazolam yang sudah dimasukkan dalam spuit. - Morphin yang sudah dimasukkan dalam spuit. -

Sulfas atropin sudah dimasukkan dalam spuit

527

DAFTAR RUJUKAN

Ikatan Dokter Anak Indonesia.

18

* Intubasi ET dapat dilakukan pada beberapa tahap resusitasi ini Gambar 11. Algoritma resusitasi neonatus

528

4.8 Pedoman stabilisasi neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PEDOMAN STABILISASI NEONATUS UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN

Sebagian bayi baru lahir mempunyai keterbatasan adaptasi terhadap lingkungan ekstrauterin. Keterbatasan tersebut dapat diakibatkan faktor imaturitas, kelainan bawaan atau kondisi yang terjadi sebelum persalinan, misalnya gawat janin, ketuban pecah sebelum waktunya, ibu infeksi, ibu DM, ibu preeklamsia, dan sebagainya. Resusitasi yang dilakukan setelah bayi lahir adalah tindakan utama untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Target utama resusitasi adalah memberikan ventilasi dengan jalan membantu paru terbuka dan menjaganya senantisa terbuka. Tindakan stabilisasi paska resusitasi yang diperlukan pada bayi baru lahir dapat terjadi di: - Ruang persalinan - Ruang transisi - Ruang perawatan neonatus - Ruang rawat gabung Stabilisasi paska resusitasi dimulai saat resusitasi selesai dilakukan sampai beberapa jam setelah resusitasi. Diharapkan 2-4 jam stabilisasi bayi sudah tercapai. Tidak ada batasan yang tegas antara fase resusitasi dan stabilisasi. Langkah-langkah stabilisasi secara mendasar meliputi 6 fokus: - Stabilisasi gula (Sugar and Safe Care)

529

-

Stabilisasi suhu (Thermoregulation) Stabilisasi jalan nafas (Airway) Stabilisasi sirkulasi (Blood Pressure) Skrining infeksi (Laboratory) Etika dan dukungan emosi pada keluarga (Emotional Support)

Langkah tataksana stabilisasi berdasarkan kegawatannya terlebih dahulu. Gangguan pernafasan adalah gejala tersering, bisa memberikan komplikasi terutama pada otak bila tidak segera ditangani. Selanjutnya dievaluasi ada tidaknya hipotermia dan hipoglikemia, ketiga masalah tersebut sering saling berkaitan dan memberikan hubungan kausal (Trias Hipoglikemia-Hipotermia-Hipoksia). Kejang bisa merupakan manifestasi klinis dari penyebab yang bermacam-macam, deteksi dan risiko dini serta mengatasi kejang merupakan bagian penting dalam upaya stabilisasi neonatus. Stabiisasi sirkulasi merupakan prioritas berikutnya, menemukan komplikasi akbibat hipoksia yang terjasi terhadap organ jantung dan sirkulasi. Selain itu, penapisan risiko infeksi merupak hal yang penting, bila ada risiko infeksi dipertimbangkan untuk perlu tidaknya pemberian antibiotik empiris. HAL YANG HARUS DILAKUKAN BILA BAYI LAHIR DI FASILITAS TERBATAS

• Persiapan alat dan panggil bantuan sebelum bayi dilahirkan. Penting penolong persalinan mempunyai komunikasi kerja yang baik. • Persetujuan tindakan medik dilakukan oleh suami atau pihak keluarga. Di dalam persetujuan tindakan medik, sebaiknya mencakup penanganan medis 3 hal, yaitu tindakan resusitasi, stabilisasi, dan rujukan. • Tentukan tempat rujukan yang TEPAT. - Menentukan tempat rujukan yang tepat sangat penting dan hal ini sebaiknya dikomunikasikan sebelumnya dengan pihak keluarga pada setiap kehamilan atau persalinan risiko tinggi. Pemilihan tempat rujukan mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu: jarak dari dan ke tempat rujukan, masalah kegawatan bayi yang akan dirujuk apakah sesuai dengan tingkat layanan yang dibutuhkan. Disarankan untuk merujuk

530

bayi ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap peralatannya dan relatif terjangkau. •

Lakukan beberapa hal penting sebelum rujukan. - Pahami algoritma rujukan (Skema rujukan) - Lakukan stabilisasi medik yang diperlukan mengacu pada konsep stabilisasi neonatus. - Perhatikan keamanan pasien selama proses stabilisasi dan rujukan. - Komunikasi dengan pihak keluarga dan RS yang akan dituju - Merujuk bayi dengan PMK dapat dipakai sebagai alternatif bila tidak ada inkubator. Merujuk dengan cara ini terbukti aman karena suhu tubuh dapat terjaga baik. Penting diperhatikan adalah menjaga posisi kepala agak sedikit ekstensi untuk menjaga jalan napas terbuka. Suhu tubuh bayi selama dirujuk dimonitor tiap 30 menit dan bila suhu stabil dimonitor tiap 1 jam. Jangan lupa bayi menggunakan tutup kepala dan disarankan menggunakan baju kangguru.

Skema Alur persiapan rujukan bayi baru lahir :

dan

komunikasi

proses

Gambar 12. Alur persiapan dan komunikasi proses rujukan bayi baru lahir

531

BEBERAPA HAL • YANG HARUS • DILAKUKAN SEBELUM MERUJUK • BAYI:

• • • • • • • • • • • •



Daftar tilik persiapan transportasi Persetujuan orangtua, pemberian informasi tentang komplikasi neonatus dan perencanaan awal Persiapan bayi Gelang identitas (nama, nomor rekam medis, tanggal lahir< jenis kelamin) Non-rebreathing mask (NRM) Oro/Naso Gastric Tube (OGT/NGT) ukuran 6-8F Akses intravena perifer terfiksasi dan diberikan cairan rumatan (D10%) Kateter vena umbilikal yang telah terfiksasi (bila membutuhkan infus lebih dari 1, pada bayi dengan keadaan umum buruk) Semua jalur intravena diberi label Antibiotik intravena, jika memungkinkan telah dilakukan kultur darah sebelumnya. Pemantauan berkelanjutan Pemberian antinyeri intravena (morfin 0,05-0,1 mg/kg( atau oral (1-2 Expressed breast milk atau 0,25 ml sukrosa) Inisiasi perkembangan saraf (posisi, pecahayaan, dan reduksi bising) Dokumentasi pendukung (surat rujukan, catatan keperawatan, catatan observasi, rekam medis, catatan administrasi cairan, hasil patologi anatomi, riwayat obstetrik, pilihan ibu dalam pemberian asupan ASI/susu formula, kontak orangtua. Keperluan tambahan (X-ray, skrining bayi baru lahir, spesimen yang telah duambil, kontak RS)

Stabilisasi medik: 1. Menghangatkan, mengeringkan, serta menutup badan bayi dan ekstremitas yang bebas dari akses intravena serta memasang tutup kepala. Bila tidak ada inkubator transpor, segera gunakan metode kanguru. Pilihan pertama Perawatan Metode Kangguru (PMK) adalah dengan ibunya bila kondisi ibu memungkinkan karena ibu yang baru melahirkan mempunyai suhu tubuh yang lebih tinggi terutama di kedua belah payudara akibat tingginya aliran darah di payudara tersebut. Sentuhan bayi dengan ibu secara langsung akan

532

memperkuat ikatan psikologis dan diyakini dapat meningkatkan produksi ASI ibu. Bila kondisi ibu tidak memungkinkan, PMK dapat dilakukan oleh suaminya atau pihak keluarga lainnya. Perlu diingat pada bayi dengan Hypoxic Ischaemic Encephalopathy (HIE) metode kanguru tidak dianjurkan. 2.Memberi bantuan pernapasan bila bayi sesak/sianosis: membebaskan jalan napas dengan memposisikan kepala menghidu dan menghisap jalan napas. Selanjutnya, bila tetap sesak/sianosis dengan laju denyut jantung >100 kali per menit: pasang sungkup laring dan hubungkan dengan CPAP menggunakan BTMS atau t-piece rescucitator. Bila sarana untuk memberikan CPAP tidak tersedia, beri VTP dengan BMS dengan laju pemberian VTP tidak lebih dari 20 kali per menit. Bila bayi tidak mempunyai napas spontan (apnea atau megap-megap) dengan atau tidak disertai laju denyut jantung <100 kali per menit: segera berikan VTP dengan BMS atau BTMS melalui sungkup laring. 3. Pasang akses intravena perifer atau vena umbilikalis dengan cara yang sangat aseptis. Pada saat pemasangan jalur intravena, ambil sampel darah 0,2 mL untuk pemeriksaan gula darah, darah rutin, dan hitung jenis atau sampel darah 2 mL untuk pemeriksaan AGD, gula darah, golongan darah/rhesus, dan kultur darah (pada layanan dengan fasilatas laboratorium yang memungkinkan). Sebelum merujuk bayi, penting untuk memberikan cairan fisiologis NaCl 0,9% sebanyak 10 mL/kgBB selama • 30’ pada bayi cukup bulan; • 1 jam pada bayi kurang bulan >32 minggu; • 1–2 jam pada bayi kurang bulan kecil <32 minggu. 4. Setelah pemberian cairan fisiologis selesai (d), pasang infus dekstrosa 10% dengan total kebutuhan cairan 60–80 mL/kgBB/hari; 60 mL/kgBB/hari untuk bayi cukup bulan dan 80 mL/kgBB/hari untuk bayi kurang bulan.

533

5. Bila waktu yang diperlukan untuk sampai di tempat rujukan lebih dari 3 jam pada bayi dengan risiko infeksi, pertimbangkan memberikan suntikan antibiotik spektrum luas terlebih dahulu, yaitu dengan memberikan kombinasi ampisilin (100 mg/kgBB/hari 2 dosis) dan bila sudah ada diuresis dapat diberikan gentamisin (5 mg/kgBB/hari 1 dosis). Pertimbangkan pemberian fenobarbital dosis bolus 20 mg/kgBB untuk 1 kali pemberian, diberikan selama 30 menit pada bayi dengan kecurigaan kejang atau dengan risiko tinggi kejang. 6. Pasang pipa orogastrik dan melakukan dekompresi lambung secara aktif dan selanjutnya pipa orogastrik dibiarkan terbuka. Pada produksi lendir yang terus menerus sehingga mengganggu jalan napas, pengisapan dapat dilakukan secara kontinu melalui mesin isap dengan tekanan minus 8 mmHg. Sebelum pipa dimasukkan ke lambung, diukur panjang pipa orogastrik dan mengevaluasi apakah pipa sudah benar di lambung

Gambar 13. Mengukur panjang pipa

Gambar 14. Fiksasi pipa orogastrik

534

KONTROL INFEKSI SELAMA PROSES STABILISASI

EVALUASI BEBERAPA ASPEK KEAMAAN PASIEN SEBELUM DIRUJUK

Tidak semua ibu hamil dan melahirkan selalu diperiksa status hepatitis B dan HIV. Selain itu, pada ibu yang terinfeksi baik oleh Hepatitis B atau HIV tidak memberikan manifestasi klinis. Dengan demikian, dalam melakukan tindakan medis atau perawatan senantiasa mencegah terjadi kontak langsung antara cairan tubuh bayi dan tenaga medis/paramedis. Upaya kontrol infeksi tersebut juga memberi manfaat dalam mencegah penyebaran infeksi dari bayi yang satu ke bayi yang lain. Selain itu, memberikan perhatian khusus terhadap upaya pencegahan infeksi dalam setiap pekerjaan medis, seperti • sarung tangan harus selalu dipakai pada setiap kontak dengan cairan tubuh bayi seperti darah, kulit yang luka, membran mukosa, dan semua cairan tubuh kecuali keringat • hanya menggunakan 1 sarung tangan untuk 1 bayi • sarung tangan tidak dapat menggantikan cuci tangan dan pemakaian alcohol based hand rub sehingga setiap melepas sarung tangan harus diikuti dengan cuci tangan dan membasuh tangan dengan cairan antiseptik • setiap sebelum dan sesudah kontak dengan bayi selalu membersihkan tangan menggunakan cairan antiseptik • bayi yang perlu dilakukan isolasi khusus seperti bayi dengan diare, pneumonia, infeksi kulit terbuka, infeksi stafilokokus (pustulosis, abses), cacar air, dan TB kongenital. Bila tidak ada ruang khusus, sebaiknya bayi hanya dirawat oleh satu perawat • pembuatan infus, pencampuran infus, dan obat sebaiknya dilakukan dalam kondisi aseptis dan dilakukan di luar unit perawatan. • Bila bayi dipasang sungkup laring, jangan lupa meniupkan udara 4 mL melalui semprit untuk menggembungkan sungkup wajah laring. • Bila terpasang vena umbilikalis, amati ukuran kateter yang berada di permukaan umbilikus apakah masih sesuai dengan ukuran yang sudah ditentukan sebelumnya dan apakah kateter telah terfiksasi dengan baik. • Evaluasi kemungkinan infus bengkak

535

Bayi dengan sumbatan saluran cerna, INGAT pemasangan CPAP tidak boleh diberikan, demikian juga pada bayi dengan sumbatan saluran cerna yang belum dapat dipastikan, namun terdapat riwayat kehamilan dengan polihidramnion. Lebih dari 60% bayi dengan sindrom Down mengalami sumbatan saluran cerna bagian atas (stenosis/atresia duodenum), Bila pada bayi tersebut didapatkan CPAP Belly syndrome sebaiknya CPAP segera dilepas dan cari bantuan untuk intubasi • Pada fasilitas dengan ketersediaan blender oksigen dan pengukur saturasi oksigen (oksimeter), amati saturasi oksigen agar tidak memberikan secara berlebihan dengan menetapkan saturasi oksigen di atas 90–95% pada bayi kurang bulan dan cukup bulan. Kecuali pada bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) range saturasi oksigen ideal belum diketahui karena dipengaruhi usia gestasi, usia kronologis, penyakit dasar dan status transfusi. Dianjurkan selalu menggunakan batas alarm untuk menghindari terjadinya hipoksia maupun hiperoksia. • Jangan lupa memuasakan bayi selama proses stabilisasi atau selama merujuk. Pada stabilisasi di ruang perawatan, keputusan memberikan minum harus dengan evaluasi beberapa aspek Wiegersma JS, Droogh JM, Zijlstra JG, Fokkema J, Ligtenberg J. 19 Iwashyna TJ, Courey AJ. 20 Lim MTC, Ratnavel N. 21 Kendall AB, Scott PA, Karlsen KA. 22 McCall EM, Alderdice F, Halliday HL, Jenins JG, Vohra S. 23 Rohana J, Khairinia W, Boo NY, Shareena I. 24 Reimer-Brady JM.25 Leppala K. 26 Taylor RM, Price-Douglas W. 27 Cummings JJ, Polin RA. 28 •

DAFTAR RUJUKAN

536

4.9 Transportasi neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TRANSPORTASI NEONATUS

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN

JENIS TRANSPORTASI NEONATUS

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Transportasi neonatus merupakan bagian integral dari program asuhan Perinatal regional. Tujuannya adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas neonatus jika tatalaksana bayi sakit ternyata diluar kemampuan rumah sakit setempat. • Transportasi janin (intrauterin): membawa ibu sebelum melahirkan bayi berisiko tinggi ke rumah sakit yang mampu memberikan perawatan yang sesuai untuk neonatus • Transportasi satu kali jalan: membawa neonatus dari unit tingkat II ke tingkat III di fasilitas lain • Transportasi dua kali jalan (pergi pulang): membawa neonatus ke fasilitas pelayanan yang lebih tinggi dan membawanya kembali, dilakukan oleh tim khusus dari fasilitas unit tingkat III • Transportasi kembali: membawa bayi dari fasilitas tingkat III ke tingkat II setelah selesai melakukan tatalaksana kondisi akut yang menjadi penyebab neonatus dirujuk Idealnya saat neonatus dirujuk, lakukan asuhan bayi kangguru yaitu kontak kulit dengan kulit selama perjalanan

537

INDIKASI TRANSPORTASI NEONATUS

PENDEKATAN SISTEMATIK UNTUK TRANSPORTASI NEONATUS

Gawat napas karena penyebab apapun (misalnya aspirasi mekonium, pnemonia neonatorum, sindroma gawat napas) di fasilitas yang tidak memiliki kemampuan untuk memantau terapi oksigen dan gas darah arteri, dan tanpa kemampuan memberikan bantuan ventilasi • Kondisi bedah • Berat lahir rendah • Dicurigai penyakit jantung kongenital • Komplikasi persalinan yang signifikan • Hipoglikemia yang berulang • Ensefalopati hipoksik iskemik • Sepsis dan tanda-tanda infeksi sistemik • Perdarahan aktif • Kuning yang memerlukan transfuse tukar • Gagal jantung atau disritmia • Dicurigai kelainan metabolik • Abnormalitas elektrolit berat • Perlu pemeriksaan diagnostic lebih lanjut atau terapi lanjutan Program ACCEPT (Assesment, Control, Communication, Evaluation, Preparation, Transportation) •

Assesment ( penilaian awal) - Menilai indikasi pasien yang dapat dirujuk (kasus prognosis baik, didasari pada teori kegawatan neonates) - Kelayakan pasien yang dirujuk ( pasien harus stabil) Control - Kemampuan Tim ( harus terlatih, memiliki sertifikasi pelatihan resusitasi dan stable) - Kelengkapan alat Communication - Internal (diantara tim) : Checklist preparation

538

-

Eksternal (ke rumah sakit rujukan) : Komunikasi langsung, catatan rekam medis dan surat rujukan Keluarga (baksoku) : menerangkan kondisi pasien pada keluarga, informed consent

Evaluation - Klinis pasien harus Warm, Pink and sweet sebelum dan selama transportasi serta saat tiba ditempat rujukan Preparation - Persiapan rujukan yang dinilai melalui checklist proses transportasi (SDM, Kelengkapan medis, kendaraan, pasien

KOMUNIKASI

Transportation - Pasien siap diberangkatkan ketempat rujukan dengan kendaraan yang memenuhi syarat Idealnya harus terdapat pusat komunikasi yang beroperasi 24 jam di pusat rujukan bayi yang memiliki tim transport neonatal. Namun jika masih banyak keterbatasan sarana dan prasarana, permintaan transport neonatal dapat diminta oleh dokter yang hendak merujuk kepada tim NICU rumah sakit penerima rujukan, kemudian rumah sakit rujukan akan mengirimkan tim transport. Komunikasi pada transpor neonatal harus terjalin sebelum bayi ditranspor, selama transport, dan setelah bayi tiba di rumah sakit rujukan. Komunikasi dengan pusat rujukan dilakukan sebelum melakukan transportasi untuk memastikan tersedianya tempat tidur. Informasi berikut harus ada pada saat komunikasi melalui telepon:

539

Identitas dan tanggal lahir bayi Identitas ayah dan ibu bayi Riwayat pranatal Catatan persalinan dan kelahiran Catatan resusitasi neonatus Skor Apgar Usia kehamilan dan berat badan saat lahir • Tanda vital: suhu, frekuensi denyut jantung (FJ), frekuensi napas, Waktu pengisian ulang kapiler (CRT) dan tekanan darah (jika ada) • Persyaratan pendukung oksigen / ventilasi • Data laboratorium yang sudah ada: misalnya glukosa, kalsium, hematokrit, penentuan gas darah • Akses vaskular. Petugas transportasi harus sangat terampil dalam melakukan resusitasi dan menangani neonatus berisiko tinggi. Petugas bisa saja seorang dokter, perawat neonatus, dan perawat yang khusus dilatih untuk menangani neonatus selama transportasi rujukan. • • • • • • •

PERSIAPAN

Kendaraan dan perlengkapan Dalam melakukan transport neonatus, pilihan jenis transportasi tergantung kepentingan klinis, jarak tempuh transport yang akan dilakukan, kondisi cuaca daerah setempat, dan ketersediaan jenis transportasi di daerah tersebut. Ambulan harus dipersiapkan dengan: • Kain jika dilakukan posisi kangguru yaitu kontak kulit dengan kulit selama perjalanan • Inkubator untuk transportasi • Alat pemantau untuk hal berikut: - Monitor - Frekuensi denyut jantung - Frekuensi napas - Suhu - Tekanan darah arteri (jika ada)

540

- Konsentrasi oksigen yang diisap - Saturasi oksigen Sistem pemberian oksigen (tabung,regulator, dan selang), alat CPAP - EKG (bila tersedia) •

Perlengkapan infus Intravaskular: - Infusion pump - Kanula IV (ukuran 22 dan 24) - Alat suntik (ukuran 2,5, 3, 5, 10, 20 dan 50 cc) - Perangkat infus IV - Umbilikal kateter - Pita perekat/ plester - Kapas alkohol - Kasa



Perlengkapan pengisap lendir: - Bola pengisap/ bulb syringe - Gel lubrikasi - Pengisap mekanis - Kateter pengisap (ukuran 6, 8 dan 10) - Spuit 20cc



Obat-obatan untuk resusitasi: - Epinefrin - Sodium bikarbonat 8,4% dalam ampul - Dopamin, dobutamin - Fenobarbital - Midazolam, Morfin - Volume expander (normal salin dan Ringer laktat) - Dextrose 10% - Air steril (aquades)



Perlengkapan intubasi - Laringoskop (bilah lurus ukuran 0 dan 1) - Bola lampu dan baterai cadangan untuk laringoskop - Pipa endotrakeal (diameter internal ukuran 2,5, 3 dan 3.5 mm) - Balon dan sungkup (sungkup yang tepinya dari bahan lunak)

541



KEGIATAN TIM TRANSPORTASI DI RUMAH SAKIT YANG MERUJUK

Perlengkapan lain: - Stetoskop - Sarung tangan steril - Oral airways (ukuran 0 dan 00)

• Perlengkapan bantuan ventilasi (jika ada) Tim transportasi akan menilai kondisi neonatus dengan melakukan pemeriksaan fisik, hasil x-ray dan/atau hasil laboratorium dan mengukur tanda vital, kadar glukosa darah dan gas darah sesuai kondisi. Mungkin diperlukan akses ke laboratorium dan x-ray. Suhu tubuh neonatus harus dipertahankan selama prosedur berlangsung. Tim transportasi akan mengandalkan staf rumah sakit setempat untuk memberikan riwayat pranatal, catatan persalinan dan kelahiran, catatan resusitasi neonatus, skor Apgar, masa kehamilan serta berat lahir neonatus.

PENGKAJIAN KLINIS DI LAPANGAN

Jika tanda vital neonatus tidak stabil, tim transportasi akan tetap berada di rumah sakit yang merujuk hingga neonatus cukup stabil sehingga kondisinya aman untuk dibawa. Tidak aman membawa neonatus yang tidak stabil. Jadi, bergantung pada kondisinya, tim ini dapat tetap di rumah sakit yang merujuk untuk waktu yang lama • Mendapatkan riwayat pranatal dan persalinan lengkap termasuk salinan grafik ibu dan neonatus • Mengukur tanda vital untuk menegaskan riwayat • Mempertahankan suhu tubuh neonatus: - Menutupi kepala neonatus dengan topi - Menempatkan neonatus kurang bulan dalam inkubator untuk meminimalkan kehilangan panas - Untuk bayi sangat kurang bulan (< 1.250 gm), gunakan plastik

542



Lakukan pemeriksaan fisik dengan penekanan pada hal berikut: - Tanda gawat napas - Perfusi - Murmur - Tingkat aktivitas dan pengkajian neurologis (refleks, tonus)



Data laboratorium - Pemeriksaan darah lengkap - Analisis gas darah - Kultur darah - Elektrolit - Kadar glukosa darah - X-ray Jangan membuang waktu dengan menunggu hasil laboratorium, kecuali hasil tersebut penting untuk bayi.

PENGOBATAN

Sistem pernapasan • Pertahankan pH > 7,25, PaCO2 40-55 dan PaO2 60-80. • Asidosis respiratorik paling baik diatasi dengan melakukan intubasi dan ventilasi tekanan positif. • Asidosis metabolik paling baik diatasi dengan pemberian bolus cairan isotonik (10 cc/kg) dan/atau sodium bikarbonat 1-2 mEq/kg. • Apnea/hipoventilasi akan mengarah pada hipoksia, yang kemudian mengarah pada bradikardia. (Hipoksia merupakan penyebab utama bradikardia neonatorum!) Sistem kardiovaskuler • Syok dan hipovolemia diatasi dengan cairan isotonik bolus (10 cc/kg) hingga 3 kali jika perlu. Jika tidak efektif, pertimbangkan penggunaan inotropik (dopamin/dobutamin).

543

Mempertahankan cairan dan glukosa • <1.000 gram atau 28 minggu: gunakan D5W (atau D10W) 100 cc/kg/hari • >1.000 gram atau 28 minggu: gunakan D10W 80 cc/kg/hari

PEMANTAUAN SELAMA DI PERJALANAN

DOKUMEN

Penyakit menular • Pastikan melakukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis dan kultur darah sebelum memulai antibiotik. • Antibiotik harus dimulai sebelum transportasi dilakukan. • Patogen bakteri neonatus yang paling sering ditemukan adalah GBS, E. coli dan Listeria, sehingga antibiotik yang biasa digunakan adalah ampisillin dan gentamisin • Sering periksa tanda vital dan suhu • Pantau saturasi oksigen dengan oksimeter nadi (pulse oxymetry). • Andalkan keputusan klinis anda. Alat mekanik dapat saja memberikan rasa aman palsu. • Bising dalam ambulans membuat auskultasi sangat sulit • Hubungi NICU untuk bantuan dan/atau usulan setiap saat. • Dokumen yang akurat setiap transportasi/perjalanan rujukan dibuat untuk jaminan mutu dan dokumentasi. • Catatan medis harus menggambarkan kondisi pasien secara keseluruhan, alasan transpor, tujuan transpor, nama dokter yang merujuk dan kepada siapa dirujuk, status klinis sebelum transport, kondisi, dan perawatan atau terapi yang diberikan selama transpor. • Saat tiba di rumah sakit rujukan, harus ada serah terima pasien secara formal antara tim transpor dan tim medis dari rumah sakit. • Serah terima sebaiknya dibuat secara verbal dan tertulis, dan didalamnya termasuk catatan medis dan riwayat penyakit pasien, perubahan klinis

544

selama transpor, diberikan DAFTAR RUJUKAN

dan

terapi

yang

Wilson AK, Martel IMJ, Saskatoon SK. 29 Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger KKM, Nardi A, Langer M. 30 Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P, Buytaerta P, Vlieta JV. 31 Woodward GA, Insoft RM, Pearson-shaver AL.32 Das UG, Leuthner SR. 33 Lim M, Ratnavel N. 21 Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni, Reyes. 34 McKay S, Cruickshanks J, Skeoch CH. 35 Kulshrestha A, Singh J. 36 Fenton AC, Leslie A, Skeoch CH. 37 Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R.38 Kumar PP, Kumar CD, Venkatlakshmi A. 39 Terrey A, Browning CK. 40 Tingay DG, Stewart MJ, Morley CJ. 41 Lilley CD, Stewart M, Morley CJ. 42 Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli C, Rubaltelli FF. 43 Fowlie PW, Booth P, Skeoch CH. 44

545

4.10 Asfiksia perinatal dan HIE PANDUAN PRAKTIK KLINIS

ASFIKSIA PERINATAL DAN ENSEFALOPATI ISKEMIK HIPOKSIK (ICD 10: P21 dan P91.6) Lihat: PNPK ASFIKSI KEMENTERIAN KESEHATAN RI UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

ANAMNESIS

Hipoksia: Kekurangan oksigen parsial atau lengkap dalam jaringan Iskemia: Penurunan atau penghentian aliran darah ke jaringan Asfiksia perinatal: Keadaan pertukaran gas terganggu dalam plasenta atau paru yang mengarah ke hipoksemia progresif, hiperkarbia dan asidosis Ensefalopati iskemik hipoksik: Keadaan ensefalopati neonatal berupa keadaan klinis yang mendiskripsikan abnormalitas dari tingkat neurobehavioral yang terdiri dari penurunan tingkat kesadaran dan gejala lain dari gangguan batang otak dan atau disfungsi motorik Faktor risiko meliputi: - Kondisi antepartum (faktor maternal) - Toksemia (preeklampsia/eklampsia) - Diabetes - Hipertensi dalam kehamilan atau hipertensi kronis

546

Penyakit jantung Penyakit vaskuler kolagen Infeksi Isoimunisasi Ketergantungan terhadap obat Kondisi obstetrik Solusio placenta Plasenta previa Tali pusat menumbung/prolaps tali pusat - Ketuban pecah dini (KPD) - Tidak memadainya plasenta - Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) - Polihidramnion - Kehamilan kembar/gemeli - Kondisi intrapartum - Presentasi abnormal/malpresentasi - Partus presipitatus atau memanjang - Distosia atau persalinan sulit - Kehamilan lewat waktu/postmatur - Kondisi postpartum - Kelahiran kurang bulan - Respiratory Distress Syndrome (RDS) - Meconium Aspiration Syndrome (MAS) - Sepsis - Pneumonia - Penyakit hemolitik - Kelainan jantung atau paru • HIE Tingkat I (ringan) • Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan berlebihan dan jitteriness berselang seling • Kemampuan minum yang buruk • Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/atau spontan • Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut jantung dan pupil mengalami dilatasi • Tidak ada aktivitas kejang • Gejala hilang dalam 24 jam -

PEMERIKSAAN FISIS

• HIE Tingkat II (sedang) • Letargi

547

• • • •

Pemberian minum buruk, refleks gag tertekan Hipotonia Denyut jantung menurun dan konstriksi pupil yang menunjukkan stimulasi parasimpatik 50-70% bayi memperlihatkan kejang, biasanya dalam waktu 24 jam setelah kelahiran

• HIE Tingkat III (berat) • Abnormalitas neurologis yang terus berlanjut • Koma • Flasiditas • Tidak ada refleks • Pupil diam, sedikit reaktif • Apnea, bradikardia, hipotensi • Kejang tidak umum tetapi jika ada sulit ditangani • Disfungsi sistem multi-organ termasuk: • Nekrosis tubular akut • Oliguria • Hematuria • Poliuria • Kardiomiopati • Hipotensi • Hipertensi paru menetap pada saat lahir/ Persistent Pulmonary hypertension of the Newborn (PPHN) • Takipnea • Hipoksemia • Nekrosis hepatik • ↑ Ammonia • ↑ AST/ALT • Ikterus • Necrotizing enterocolitis (NEC) • Kembung • Feses berdarah • Kemampuan kelenjar adrenal yang tidak memadai

548

PEMERIKSAAN PENUNJANG

KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

TERAPI

• ↓ Glukosa • ↓ Natrium • ↓ TD • Sekresi ADH yang tidak memadai • Hitung darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5) • Glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5) • BUN dan kreatinin (ICD 9 CM: 90.5) • Elektrolit darah, kalsium, fosforis, dan magnesium (ICD 9 CM: 90.5) • Enzim hati (AST/ALT) (ICD 9 CM: 90.5) • Analisis gas darah (ICD 9 CM: 89.65) • Analisis urin dan jumlah urin (ICD 9 CM: 91.3) • Pungsi lumbal mungkin perlu dipertimbangkan (ICD 9 CM: 90.0) • USG kepala (ICD 9 CM: 88.71) • EEG, CT-Scan, dan MRI jika ada indikasi dan tersedia (ICD 9 CM: 89.14, 87.03, dan 88.91) Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang Asfiksia Perinatal dan Ensefalopati Iskemik Hipoksik (ICD 10: P21 dan P91.6) • Fetus and newborn affected by maternal anaesthesia and analgesia in pregnancy, labour and delivery (ICD 10: P04.0) • Bacterial sepsis of newborn (ICD 10: P36) • Meningitis (ICD 10: G00) • Encepalitis virus (ICD 10: G05) • Congenital malformations of the nervous system (ICD 10: Q00-Q07) • Myoneural disorder, unspecified (ICD 10: G70.9) • Birth trauma (ICD 10: P10-P15) Pencegahan merupakan tata laksana terbaik Tindakan pendukung primer mencakup • Mempertahankan oksigenasi dan keseimbangan asam-basa, mulai ventilasi mekanik jika perlu • Memantau dan mempertahankan suhu tubuh

549

• • • • -

-

-

-

Mengkoreksi dan mempertahankan elektrolit, cairan dan glukosa Mengoreksi hipovolemia Menghindari kelebihan cairan, hipertensi dan hiperviskositas Mengobati kejang Fenobarbital loading dose 20 mg/kgBB. naikkan 5-10 mg/kgBB atau langsung 10-20 mg/kgBB sampai kejang terkontrol atau dosis maksimal 40 mg/kgBB tercapai. Jika kejang berhenti, pertahankan pada dosis rumatan 3-5 mg/kg/hari dibagi 1-2 dosis, 24 jam setelah loading dose Jika kejang tidak dikontrol oleh dosis fenobarbital maksimal yang diperbolehkan, tambahkan fenitoin 20 mg/kgBB diberikan dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit. Dilanjutkan dengan pemberian dosis rumatan 24 jam kemudian dengan dosis 5-10 mg/kg/hari, diberikan setiap 8 jam dalam dosis terbagi rata. Jika kejang masih tidak teratasi dapat dilanjutkan dengan pemberian midazolam 0,15 mg/kgBB dilanjutkan dosis rumatan 1 mikrogram/kgBB/menit dan dinaikkan 0,5-1 mikrogram/kgBB/menit sampai dosis maksimal 18 mikrogram/kgbb/menit Alternatif lain jika anda berada di RS dengan fasilitas lengkap dapat menggunakan algoritma tahun 2013.

Terapi hipotermia • Dilaksanakan pada neonatus aterm (3637 minggu) sebelum usia 6 jam dan memenuhi kriteria HIE • Saat merujuk dipertahankan suhu 34°C–35°C (bila suhu di atas 35°C dipertimbangkan membuka pintu transport inkubator atau menurunkan suhu inkubator transport)

550

EDUKASI PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN

Tidak ada intervensi terapi lain, termasuk kortikosteroid, fenobarbital profilaksis, furosemida, manitol, dll., karena belum terbukti bermanfaat dalam ranah klinik. • Kenali tanda dan gejala awal • Segera atasi kejang dan kondisi akut Ad vitam : Dubia Malam Ad sanationam: Dubia Malam Ad fungsionam: Dubia Malam Indikator prognosis buruk mencakup: • Terdapat peningkatan mortalitas dan morbiditas dengan riwayat yang buruk • Asidosis metabolik tali pusat parah (pH < 7,0) • Skor Apgar < 3 untuk 20 menit • Waktu neonatus untuk mencapai respirasi spontan terlalu panjang • Pemeriksaan neurologis abnormal 5 hari • USG kranial dengan leukomalasia periventrikuler atau perdarahan serius berkait dengan kekurangan motorik dan kognitif pada saat tindak lanjut Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR. 45 Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG.46 Queensland Clinical Guidelines.

47

Martinello K, Hart AR, Yap S, Mitra S, Robertson NJ. 48 Chalak L, Kaiser J.

49

Slaughter LA, Patel AD, Slaughter JL.50

551

4.11 Kejang pada neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KEJANG PADA NEONATUS (ICD 10: P90)

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

ANAMNESIS

Kejang pada neonatus adalah gerakan paroksimal dari perubahan fungsi neurologis (perilaku, motorik dan fungsi autonomik) yang terjadi pada bayi berumur sampai dengan 28 hari Penyebab kejang pada neonatus: 1. Hypoxic Ischemic Encephalopathy (HIE): 25-50% 2. Perdarahan intrakranial dan trauma Susunan Saraf Pusat: 15-20% 3. Masalah metabolik: 5-30% a. Hipoglikemia (glukosa darah <40 mg/dL) b. Hipokalsemia (Ca<8 mg/dL atau Ca ion<1 mmol/L) c. Hipomagnesemia (Mg<1.2 mg/dL) d. Hiponatremia/Hipernatremia e. Defisiensi piridoksin 4. Infeksi Susunan Saraf Pusat (Meningitis, infeksi TORCH): 5-15% 5. Stroke: cedera iskemik fokal, stroke neonatus, thrombosis vena serebral

552

6. Inborn Errors of Metabolism: kelainan metabolisme asam amino, defek siklus urea, defisiensi Glucose Transporter-1 (GLUT-1) 7. Developmental Malformations: disgenesis serebral, sindrom neurokutaneus 8. Kejang disebabkan obat-obatan: Withdrawal of narcotic analgesic, intoksikasi anestesi lokal 9. Sindrom epilepsi neonates Riwayat ibu dan obstetrik: • Infeksi ibu, paparan obat, riwayat keguguran sebelumnya atau bayi dengan kejang (bawaan), kondisi medis (diabetes, hipertensi, dll.) dan riwayat kejang neonatus dalam keluarga. • Korioamnionitis, demam, perdarahan antepartum, persalinan yang sulit atau gawat janin dan nilai Apgar rendah. PEMERIKSAAN FISIS

Kejang Tonik Kejang Tonik Umum atau terfokus di satu area (fokal) • Kejang tonik umum • Terutama bermanifestasi pada bayi kurang bulan (< 2.500 gm). • Biasanya terlihat sebagai fleksi atau ekstensi tonus pada ekstremitas bagian atas, leher atau batang tubuh dan berkaitan dengan ekstensi tonus pada ekstremitas bagian bawah. • Pada 85% kasus kejang tonus tidak berkaitan dengan perubahan sistem otonom apapun seperti meningkatnya denyut jantung atau tekanan darah, atau kulit memerah.

553

Kejang Tonik Fokal • Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas atau batang tubuh atau kepala tonik atau deviasi mata. • Sebagian besar kejang tonik terjadi bersama dengan difusi penyakit sistem syaraf pusat dan perdarahan intraventrikular. Kejang Klonik • Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan dan berirama (1-3 /menit). Penyebabnya mungkin berasal dari satu titik atau multi-fokal. • Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan yang cepat dan diikuti oleh fase yang lambat. • Perubahan posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan menghambat gerakan tersebut. • Umumnya terjadi pada neonatus cukup bulan >2500 gram. • Tidak terjadi hilang kesadaran. • Berkaitan dengan trauma fokal, infark atau gangguan metabolik. Kejang Mioklonik • Kejang mioklonik terfokus di satu area, multi-fokal atau umum. • Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot fleksor pada ekstremitas. • Kejang mioklonik multi-fokal yang terlihat sebagai gerakan kejutan yang tidak sinkron pada beberapa bagian tubuh.

554



PEMERIKSAAN PENUNJANG

Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas berupa fleksi kepala dan batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi ekstremitas. Kejang ini berkaitan dengan difusi patologis SSP.

Kejang subtle (Tidak terus menerus) • Kejang subtle biasanya terjadi dengan jenis kejang lain dan mungkin bermanifestasi seperti: • Gerakan stereotip ekstremitas seperti gerakan mengayuh sepeda atau berenang. • Deviasi atau gerakan kejutan pada mata dan mengedip berulang kali. • Ngiler, mengisap atau mengunyah. • Apnea atau perubahan tiba-tiba pada pola pernapasan. • Fluktuasi yang berirama pada tanda vital. Pemeriksaan utama • Glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5) • Natrium, kalsium dan magnesium darah (ICD 9 CM: 90.5) • Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis leukosit dan trombosit (ICD 9 CM: 90.5) • Elektrolit (ICD 9 CM: 90.5) • Analisis Gas darah arteri (ICD 9 CM: 89.65) • Analisis CSS (ICD 9 CM: 90.0) • Analisis dan kultur CSS (ICD 9 CM: 90.0) Pemeriksaan lainnya • Mencari penyebab spesifik lainnya yang dicurigai (TORCH, kadar amonia, asam amino dalam urine, USG kepala dll). (ICD 9 CM: 90,5; 91.3; 88.71) • Pemeriksaan aEEG (bila fasilitas tersedia) (ICD 9 CM: 89.14)

555



KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

TERAPI EDUKASI

PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN

USG kranial untuk melihat adanya perdarahan dan luka parut. (ICD 9 CM: 88.71) • CT Scan untuk mendiagnosis malformasi dan perdarahan otak. (ICD 9 CM: 87.03) Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang Convulsions of newborn (ICD 10: P90) •

Other disturbances of cerebral status of newborn (ICD 10: P91) • Disorders of muscle tone of newborn (ICD 10: P94) • Transitory disorders of carbohydrate metabolism specific to fetus and newborn (ICD 10: P70) • Transitory neonatal disorders of calcium and magnesium metabolism (ICD 10: P71) • Other transitory neonatal electrolyte and metabolic disturbances (ICD 10: P74) Tatalaksana kejang sesuai algoritma 2018 (dibawah ini) Kenali tanda dan gejala awal kejang pada neonatus Segera lakukan tata laksana awal pada saat kejang Ad vitam : Dubia Bonam Ad sanationam : Dubia Malam Ad fungsionam : Dubia Bonam Kanhere S. 51 Sarosa G. 52 Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle DJ. 46 Hallberg B, Blennow M. 53 Hamrick S, Zimmermann A. 54 World Health Organization. 55 Shellhaas R. 56 Slaughter LA, Patel AD, Slaughter JL. 50

556

557

Gambar 15. Alogaritma tatalaksana kejang

558

4.12 Transient tachypnea of newborn (TTN) PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TRANSIENT TACHYPNEA OF NEWBORN (TTN) (ICD 10: P22.1) UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya: • Takipnea (frekuensi napas >60x/menit) • Aktivitas otot pernapasan • Napas cuping hidung • Merintih (grunting) • Sianosis • Apnea Tabel 6. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe

Evaluasi: Skor total ≤3 : gawat napas ringan Skor total 4-5: gawat napas sedang

559

DEFINISI

ANAMNESIS

PEMERIKSAAN FISIS

Skor total ≥6 : gawat napas berat Transient tachypnea of the newborn (TTN) merupakan kondisi gangguan pernapasan yang bersifat sementara akibat gangguan adaptasi paru namun jika tidak diatasi segera dapat menyebabkan gangguan pernapasan yang berat. Faktor risiko • Seksio sesarea elektif • Makrosomia • Partus lama • Laki-laki • Ibu mendapatkan sedasi berlebihan • Skor Apgar rendah (≤ 7 pada usia 1 menit) • Skor Downe > 4 • Ibu dengan diabetes mellitus • Kehamilan kurang bulan • Riwayat asma pada keluarga (terutama Ibu) • •

PEMERIKSAAN PENUNJANG

• -

Neonatus biasanya hampir cukup bulan atau cukup bulan dan mengalami kesulitan bernapas segera setelah lahir (>80 pernapasan/menit). Salah satu petanda penting dari TTN adalah perbaikan pada neonatus, yang biasanya terjadi pada 48-72 jam setelah lahir. Pemeriksaan laboratorium: Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5) Gas darah biasanya menunjukkan hipoksia ringan (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 89.65)

• -

KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

Pemeriksaan radiologis Rontgen toraks : gambaran bisa bervariasi tetapi sering didapati adanya garis perihilar (ellis damoiseau) dan kardiomegali ringan. (ICD 9 CM: 87.44) Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang Transient tachypnea of the newborn (TTN) (ICD 10: P22.1) • Respiratory distress syndrome ( ICD 10: P22.0) • Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01) • Air leak syndrome (ICD 10: P25.1) • Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4) • Pneumonia (ICD 10: P23.0)

560

TERAPI

PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN

Self limiting disease, sehingga pengobatan yang ditujukan biasanya hanya berupa pengobatan suportif, yaitu: • CPAP (PEEP : 7 cmH2O) • Suplementasi oksigen bila saturasi tidak mencapai target (90-95%) • Pemberian minum setelah hemodinamik stabil Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan meningkat. Priestley J. 57 Ballot D. 58 Saugstad OD. 59 Bancalari E. 60 Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS, Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18 WHO. 63 Duc G, Sinclair J. 64 Saugstad OD, Aune D. 65 Cummings JJ, Polin RA. 66 Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

561

4.13 Respiratory distress syndrome (RDS) PANDUAN PRAKTIK KLINIS RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS) (ICD 10: P22.0) UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya: • Takipnea (frekuensi napas >60x/menit) • Aktivitas otot pernapasan • Napas cuping hidung • Merintih (grunting) • Sianosis • Apnea Tabel 7. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe

Evaluasi: Skor total ≤3 : gawat napas ringan

562

DEFINISI

ANAMNESIS

PEMERIKSAAN FISIS

PEMERIKSAAN PENUNJANG

KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 : gawat napas berat Respiratory distress syndrome (RDS) merupakan sindroma pernapasan pada bayi kurang bulan akibat imaturitas stuktur dan fungsi paru-paru. Faktor risiko • Kelahiran kurang bulan • Bayi laki-laki • Seksio sesarea elektif • Asfiksia perinatal • Korioamnionitis • Neonatus dari ibu diabetes • Hydrops fetalis • Perdarahan antepartum • Kehamilan kembar • Biasa ditemui pada bayi kurang bulan terutama ≤ 32 minggu beberapa saat setelah lahir hingga usia 24 jam pertama. • Adanya tanda kegawatan pernapasan • Pemeriksaan laboratorium - Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5) - Kadar glukosa darah biasanya rendah (ICD 9 CM: 90.5) - Ditemukan hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis dari analisis gas darah (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 89.65) - Kultur darah dan urin untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi (fasilitas lengkap) ( ICD 9 CM: 90.52 dan 91.32) • Pemerikaan radiologi - Rontgen thoraks mengungkap kepadatan retikulogranular bilateral dan air bronchogram. (ICD 9 CM: 87.44) Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0) • Transient tachypnea of the newborn (TTN) : (ICD 10: P22.1) • Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)

563

• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1) • Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4) • Pneumonia (ICD 10: P23.0) TERAPI

PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN

Umum • CPAP dengan PEEP 7 cm H2O, PEEP dapat dinaikkan sampai 8 cm H2O bila pemberian suplementasi oksigen mencapai 40% untuk memenuhi target saturasi 90-95%. • Dukungan dasar yaitu pengaturan suhu dan cairan parenteral serta obat-obatan (antibiotik) secara parenteral. • Kafein diberikan segera setelah lahir. Bila kafein tidak tersedia, dapat diberikan alternatif teofilin atau aminofilin. • Terapi penggantian surfaktan Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan meningkat. Priestley J. 57 Ballot D. 58 Saugstad OD. 59 Bancalari E. 60 Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS, Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18 WHO. 63 Duc G, Sinclair J. 64 Saugstad OD, Aune D. 65 Cummings JJ, Polin RA. 66 Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

564

4.14 Meconium aspiration syndrome (MAS) PANDUAN PRAKTIK KLINIS

MECONIUM ASPIRATION SYNDROME (MAS) (ICD 10: P24.01) UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya: • Takipnea (frekuensi napas >60x/menit) • Aktivitas otot pernapasan • Napas cuping hidung • Merintih (grunting) • Sianosis • Apnea Tabel 8. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe

565

DEFINISI

ANAMNESIS

PEMERIKSAAN FISIS

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Evaluasi: Skor total ≤3 : gawat napas ringan Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 : gawat napas berat Meconium aspiration syndrome (MAS) gawat napas ini disebabkan oleh aspirasi mekonium saat intrauterin atau selama proses persalinan. Mekonium yang teraspirasi dapat menyebabkan sumbatan jalan napas dan reaksi inflamasi paru. Faktor risiko • Kehamilan lewat bulan/postmaturIbu dengan riwayat hipertensi • Gawat janin • Preeklampsia • Diabetes mellitus pada ibu • Tercampurnya mekonium dalam cairan ketuban • Adanya pewarnaan mekonium pada neonatus setelah lahir. • Adanya tanda kegawatan pernapasan yang berat dan kadang disertai PPHN • Pemeriksaan laboratorium - Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5) - CRP (ICD 9 CM: 90.5) - Analisis gas darah (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 89.65) • -

KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

Pemeriksaan radiologis Rontgen dada : infiltrat kasar dan bisa asimetris, ada bagian konsolidasi atau atelektasis, serta bagian hiperinflasi. (ICD 9 CM: 87.44) Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01) • • • •

Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0) Transient tachypnea of the newborn (TTN) : (ICD 10: P22.1) Air leak syndrome (ICD 10: P25.1) Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)

566

• TERAPI

PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN

Pneumonia (ICD 10: P23.0)

Tatalaksana di ruang bersalin (jika cairan ketuban ternodai mekonium) • Penghisapan lendir atau mekonium mulai dari mulut kemudian hidung dengan menggunakan penghisap lendir ukuran besar (10-12Fr) bila bayi lahir tidak menangis sebelum melakukan ventilasi tekanan positif • Tata laksana bayi baru lahir di unit neonatus Tata laksana umum - Koreksi kelainan metabolik, yaitu hipoksia, asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia dan hipotermia - Pemantauan kerusakan hipoksik/iskemik organ akhir (otak, ginjal, jantung, dan hati) - Cakupan antibiotik (ampisillin dan gentamisin) Tata laksana kardiorespiratori - Oksigenasi dan dukungan pernapasan sesuai kebutuhan bayi - Mempertahankan saturasi 90-95% - Mengoreksi hipotensi sistemik (hipovolemia, disfungsi miokard) - Mempertahankan kadar PaCO2 antara 25 - 40 mmHg. - Mencegah terjadinya PPHN -

Tata laksana Lavage dengan surfaktan pada MAS (fasilitas lengkap) Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan meningkat. Priestley J. 57 Ballot D. 58 Saugstad OD. 59 Bancalari E. 60 Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS, Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18 WHO. 63

567

Duc G, Sinclair J. 64 Saugstad OD, Aune D. 65 Cummings JJ, Polin RA. 66 Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS.

67

568

4.15 Pneumonia pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PNEUMONIA PADA NEONATUS (ICD 10 : P28.4)) UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya: • Takipnea (frekuensi napas >60x/menit) • Aktivitas otot pernapasan • Napas cuping hidung • Merintih (grunting) • Sianosis • Apnea Tabel 9. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe

569

DEFINISI ANAMNESIS

PEMERIKSAAN FISIS PEMERIKSAAN PENUNJANG

KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

Evaluasi: Skor total ≤3 : gawat napas ringan Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 : gawat napas berat Pneumonia adalah infeksi yang terjadi di jaringan paru yang disebabkan oleh virus, bakteri atau jamur. Faktor risiko • Ada tanda-tanda infeksi bada bayi • Bayi terpasang ventilator yang lama • Ibu dengan korioamnionitis •

Dapat timbul pada beberapa hari pertama kehidupan • Ada tanda-tanda kegawatan pernapasan • Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5) • Pemeriksaan analisis gas darah dan kultur darah, CRP (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 89.65; 90.52 dan 90.5) • Rontgen dada: temuan paling sering berupa infiltrat di lapang paru yang terkena. (ICD 9 CM: 87.44) • Kultur bakteri: sejumlah kasus pnemonia mungkin memperlihatkan kultur negatif (ICD 9 CM: 90.52) Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang Pneumonia pada neonatus (ICD 10: P23.0) • • • • •

TERAPI

• •

Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0) Transient tachypnea of the newborn (TTN) : (ICD 10: P22.1) Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01) Air leak syndrome (ICD 10: P25.1) Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4) Pada fasilitas terbatas, pemberian antibiotik secara empiris selama 7 hari. Jika kultur negatif untuk pneumonia, pengobatan terdiri dari ampisillin dan gentamisin parenteral selama 7 hari (fasilitas lengkap).

570



PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN

Jika biakan positif untuk pneumonia, pengobatan terdiri dari antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur selama 10-14 hari tergantung jenis bakteri (fasilitas lengkap). Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan meningkat. Priestley J. 57 Ballot D. 58 Saugstad OD. 59 Bancalari E. 60 Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS, Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18 WHO. 63 Duc G, Sinclair J. 64 Saugstad OD, Aune D. 65 Cummings JJ, Polin RA. 66 Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

571

4.16 Air leak syndrome PANDUAN PRAKTIK KLINIS

AIR LEAK SYNDROME (ICD 10 : P25.1) UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya: • Takipnea (frekuensi napas >60x/menit) • Aktivitas otot pernapasan • Napas cuping hidung • Merintih (grunting) • Sianosis • Apnea Tabel 10. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe

Evaluasi: Skor total ≤3 : gawat napas ringan

572

DEFINISI

ANAMNESIS

PEMERIKSAAN FISIS

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 : gawat napas berat Air leak syndrome atau sindrom kebocoran udara (pneumomediastinum, pneumothorax, pulmonary interstitial emphysema dan pneumopericardium). Akibat pengembangan alveolar yang berlebihan sehingga mengganggu integritas jalan napas dan menyebabkan penyebaran udara ke rongga di sekelilingnya. Faktor risiko • Penggunaan ventilator • Aspirasi mekonium • Terapi surfaktan • Riwayat resusitasi dengan VTP • Bayi yang sebelumnya stabil, tiba-tiba mengalami gawat pernapasan atau penurunan saturasi. • Pengembangan dada yang asimetris disertai dengan suara napas yang menurun • Transiluminasi positif pada bagian yang terkena • Foto rontgen : ada gambaran lusen pada paru yang terkena. Diagnosis pasti ditegakkan secara radiografis oleh foto rontgen A-P dan lateral dada. (ICD 9 CM: 87.44)

KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan pemeriksaan penunjang Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)

fisis,

TERAPI

Umum • Oksigenasi (mempertahankan saturasi 9095%) • Pencegahan: Pada saat resusitasi, hindari pemberian VTP yang berlebihan. Pemakaian dukungan ventilator secara hati-hati dalam memberikan tekanan dan PEEP yang tinggi.

• Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0) • Transient tachypnea of the newborn (TTN) (ICD 10: P22.1) • Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01) • Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4) • Pneumonia (ICD 10: P23.0)

573

PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN

Spesifik • Pungsi pleura untuk kondisi emergensi dan bila perlu dilakukan WSD Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan meningkat. Priestley J. 57 Ballot D. 58 Saugstad OD. 59 Bancalari E. 60 Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS, Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18 WHO. 63 Duc G, Sinclair J. 64 Saugstad OD, Aune D. 65 Cummings JJ, Polin RA. 66 Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

574

4.17 Apnea of prematurity PANDUAN PRAKTIK KLINIS

APNEA OF PREMATURITY (ICD 10 : P28.4) UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya: • Takipnea (frekuensi napas >60x/menit) • Aktivitas otot pernapasan • Napas cuping hidung • Merintih (grunting) • Sianosis • Apnea Tabel 11. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe

Evaluasi: Skor total ≤3 : gawat napas ringan

575

DEFINISI ANAMNESIS

PEMERIKSAAN FISIS PEMERIKSAAN PENUNJANG

KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 : gawat napas berat Apnea of prematurity adala berhentinya pernapasan yang disertai oleh bradikardia dan/atau sianosis selama lebih dari 20 detik. Faktor risiko - Hiponatremia - Hipotermia - Hipoglikemia - Anemia - Refluks gastro-esofageal (GER) - Patent Ductus Arteriosus (PDA) - Perdarahan intrakranial - Penyumbatan saluran napas - Infeksi susunan saraf pusat Berhentinya napas disertai oleh bradikardia dan/atau sianosis atau lebih dari 20 detik. • Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan darah lengkap dan glukosa serum (ICD 9 CM: 90.5) • Pemeriksaan elektrolit (ICD 9 CM: 90.5) dan analisis gas darah (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 86.65) • Pemeriksaan radiologis harus mencakup rontgen dada (ICD 9 CM: 87.44) • USG abdomen, USG kepala dan echocardiography (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 88.76; 88.71; 88.72) Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan pemeriksaan penunjang Apnea of prematurity (ICD 10 : P28.4) • • • • • •

TERAPI

fisis,

Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0) Transient tachypnea of the newborn (TTN) (ICD 10: P22.1) Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01) Air leak syndrome (ICD 10: P25.1) Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4) Pneumonia (ICD 10: P23.0)

Umum • Melakukan rangasangan taktil

576



• •

PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN

Gunakan nasal kanul low flow atau CPAP pada apnea berulang dan tidak memberikan respon dengan rangsangan taktil. Terapi farmakologis mungkin diperlukan pada apnea kelahiran kurang bulan. Kafein diberikan segera setelah lahir. Bila kafein tidak tersedia, dapat diberikan alternatif teofilin atau aminofilin. Memantau kadar teofilin

Spesifik • Cari penyebab dan atasi. Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan meningkat. Priestley J. 57 Ballot D. 58 Saugstad OD. 59 Bancalari E. 60 Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS, Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18 WHO. 63 Duc G, Sinclair J. 64 Saugstad OD, Aune D. 65 Cummings JJ, Polin RA. 66 Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

577

4.18 Terapi oksigen PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TERAPI OKSIGEN

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Percobaan pertama pembuktian bahwa oksigen itu tidak berwarna, berbau, dan berasa dilakukan oleh Joseph Priestley dipublikasi tahun 1774. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menangani bayi-bayi yang lahir prematur, maka pemberian oksigen dapat diberikan bersama dengan pemberian udara atau oksigen 100%, bergantung pada kondisi bayi saat resusitasi. Untuk bayi cukup bulan resusitasi diawali dengan FiO2 21% sedangkan bayi dengan usia gestasi kurang dari 35 minggu diberikan FiO2 30%. Pada tindakan resusitasi terutama pada kondisi bayi baru lahir bernapas spontan dengan sianosis sentral persisten, perlu diperhatikan pada pemberian oksigen. Tujuan pemberian oksigen adalah menargetkan semirip mungkin saturasi oksigen bayi baru lahir cukup bulan sehat, berapapun usia kehamilan bayinya. Bayi baru lahir memiliki saturasi oksigen yang rendah dan membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk mencapai kondisi normal (85-95%). Setelah itu saturasi dikatakan normal apabila saturasi mencapai lebih dari 88%, jika kurang dari itu bayi akan membutuhkan oksigen.

578

Gambar 16. Peralatan untuk pemberian oksigen OKSIGEN

Persediaan oksigen yang cukup harus tersedia setiap saat. Oksigen diberikan dengan kecepatan aliran yang tertentu. Inkubator memerlukan minimal 4-5 liters/menit; Botol air pada continuous positive airway pressure (CPAP) memerlukan 5-10 liter/menit. Masker oksigen pada wajah memerlukan 4 liter/menit dan sangat penting bahwa nasal kateter atau prong mengalirkan 0,5 – 2 liter/menit oksigen kepada neonatus. Kateter nasal merupakan cara paling efisien untuk mengirimkan oksigen tetapi oksigennya harus dilembabkan karena gas kering akan mengiritasi hidung dan dapat menyebabkan pendinginan. Humidifier atau pelembab merupakan bagian ideal dari sistem ini tetapi tidak mutlak diperlukan kecuali neonatus menerima oksigen melalui sebuah kateter CPAP nasal atau selang endotrakeal. Acuan pada suplementasi oksigen untuk resusitasi bayi baru lahir dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Mulai pemberian dengan udara (oksigen 21%) pada bayi cukup bulan atau FiO2 30% pada bayi usia gestasi kurang dari 35 minggu dan berikan oksigen sesuai kebutuhan. 2) Berikan oksigen 100% apabila:

579



Harus diingat bahwa beberapa bayi dapat mencapai saturasi di atas 90% walaupun tanpa suplementasi oksigen. Terdapat beberapa pilihan dalam pemberian oksigen, yaitu oksigen-udara dihubungkan dengan Y-connector dan Oxygen concentrator (menghasilkan oksigen 95%) atau oxygen cylinder (oksigen 100%) ditambah dengan kompresor silinder/udara. Untuk memperoleh konsentrasi fraksi oksigen yang diinginkan dapat dilihat pada tabel dibawah ini: % kons. O2

Udara Bertekanan (liter/menit) 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

80 % 84 % 86 % 88 % 90 % 91 % 92 %

61 % 68 % 74 % 77 % 80 % 82 % 84 % 86 %

41 % 53 % 61 % 66 % 70 % 74 % 76 % 78 % 80 %

37 % 47 % 55 % 61 % 65 % 68 % 71 % 74 % 76 %

34 % 44 % 51 % 56 % 61 % 64 % 67 % 70 % 72 %

32 % 41 % 47 % 52 % 57 % 61 % 64 % 66 % 68 %

31 % 38 % 45 % 50 % 54 % 57 % 61 % 63 % 65 %

30 % 37 % 43 % 47 % 51 % 54 % 58 % 61 % 63 %

29 % 35 % 41 % 45 % 49 % 53 % 56 % 58 % 61 %

28 % 34 % 39 % 44 % 47 % 51 % 54 % 56 % 58 %

93 %

87 %

82 %

77 %

74 %

70 %

67 %

65 %

63 %

61 %

Oksigen (liter/menit)

1 2 3 4 5 6 Oksigen (liter/menit.)

UDARA BERTEKANAN

Saturasi oksigen masih di bawah 70% saat 5 menit atau di bawah 90% saat usia 10 menit. • Denyut jantung tidak meningkat di atas 100 x/menit setelah 60 detik dilakukan ventilasi efektif. • Mulai memberikan kompresi dada. 3) Fraksi oksigen disesuaikan dengan target yang diinginkan. Untuk memiliki ketersediaan sumber udara bertekanan untuk dicampurkan dengan oksigen 100% sangatlah penting karena dapat memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 100% yang diperlukan oleh neonatus.

7 8 9 1 0

580

BMS merupakan alat resusitasi yang sering dipakai di fasilitas terbatas maupun fasilitas lengkap. BMS dapat digunakan tanpa sumber gas (pemberian FiO2 21% sama dengan udara ruangan). Bila BMS disambungkan dengan sumber oksigen murni, fraksi oksigen (FiO2) pada masker bergantung dengan campuran aliran oksigen dan udara bebas yang masuk ke balon (bag) Contoh BMS adalah balon volume 250 ml.

Gambar 17. Penggunaan BMS dengan atau tanpa reservoir

Studi menunjukkan BMS tanpa reservoir yang disambungkan dengan sumber oksigen dapat memberikan oksigen sekitar 40% dan memberikan oksigen 90- 100% bila dilengkapi dengan reservoir. ANALYZER OKSGIEN

• •

OXYHOOD





Sebuah analyzer oksigen menentukan konsentrasi oksigen yang diberikan pada bayi. Analyzer ini harus dirawat secara rutin dan dikalibrasi dengan benar. Setelah pengaturan kalibrasi harus dipasang sensor analyzer di oxyhood di dekat hidung bayi untuk menentukan konsentrasi yang paling tepat untuk diterima bayi Oxyhood harus terbuat dari plastik bening, cukup besar untuk menutupi kepala bayi dan masih memungkinkan bayi untuk bergerak. Plastik harus keras dan padat sehingga oksigen/udara tidak bocor atau bercampur dengan udara kamar. Harus dipasang termometer pada oxyhood. Suhu di dalam oxyhood harus diatur dan dipertahankan di dalam kisaran lingkungan bersuhu netral bayi untuk mencegah bayi menggigil atau kepanasan.

581



MEMANASKAN DAN MENGATUR KELEMBAPAN UDARA

DAFTAR RUJUKAN

Penelitian Jatana dan kawan-kawan tahun 2007 menemukan bahwa sebaiknya apabila menggunakan oxyhood yang paling kecil dengan flow di atas 4 L/menit, untuk oxyhood sedang dan besar dengan flow di atas 3 L/menit untuk mengurangi retensi CO2, dan memberikan maksimal flow 10 L/menit • Harus tersedia mekanisme untuk memanaskan air yang akan digunakan untuk mengatur kelembaban. • Air yang digunakan harus steril karena air ledeng mengandung organisme bakteri yang akan melipatgandakan diri dalam air hangat. • Kadar air harus dipertahankan pada kadar yang sesuai dan air diganti dengan air steril baru setiap 24 jam. • Penting pula untuk memiliki mekanisme untuk menghubungkan sumber oksigen/udara dengan unit pemanas/pelembab dan mempertahankan laju aliran kombinasi pada sekitar 4-5 liter/menit. • Jika oksigen diberikan pada neonatus dengan flow 0,5-1 L/menit dengan menggunakan kateter nasal atau nasal prong, tidak diperlukan humidifikasi, sebaliknya oksigen diberikan dengan flow lebih dari 4 L/menit melalui kateter nasal atau nasal prong akan memerlukan humidifikasi Prisetley. 57 Ballot D. 58 Saugstad. 59 Bancalari. 60 Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS, Kattwinkel J, Perlman JM, dkk.61 62 Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 68 WHO. 69 Duc G, Sinclair J. 64 Saugstad OD, Aune D. 65 Cumming JJ Polin RA. 66 Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67 Trevisanuto D, Cengio VD, Doglioni N, Cavallin F, Zanardo V, Parotto M, dkk. 70

582

4.19 CPAP PANDUAN PRAKTIK KLINIS

CONTINUOUS POSITIVE AIRWAY PRESSURE (CPAP)

UKK Neonatologi 2018

No. Dokumen

Panduan Praktik Klinis

Tanggal Terbit/Revisi

Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN

No. Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Sesak napas pada bayi baru lahir adalah suatu kumpulan gejala klinis berupa laju napas >60x/menit, retraksi interkostal, retraksi supraklavikula, retraksi epigastrium, napas cuping hidung, henti napas, sianosis, dan takikardia, yang timbul akibat gangguan pertukaran gas di dalam paru-paru bayi baru lahir. Insiden sesak napas pada bayi baru lahir berkisar 6,7% dari total kelahiran. Sesak napas pada bayi prematur menyumbang insiden tertinggi sekitar 30%, diikuti bayi post matur 20,9%, dan terendah terjadi pada bayi cukup bulan 4,2%. Berdasarkan etiologinya transient tachypnea of newborn (TTN) merupakan penyebab tersering sesak napas bayi baru lahir (42,7%), diikuti oleh sepsis neonatorum (17,0%), sindrom aspirasi mekonium (10,7%), sindrom gawat napas bayi baru lahir (9,3%), dan asfiksia neonatorum (3,3%). Sesak napas merupakan masalah tersering dialami bayi, baik prematur maupun cukup bulan, yang dirawat di neonatal intensive care unit (NICU) Kondisi sesak napas haruslah ditangani dengan seksama dan sedini mungkin untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, bahkan kematian pada bayi. Stabilisasi neonatus yang

583

terdiri dari mencegah hipotermia, membuka jalan napas, mempertahankan respirasi optimal dan menjaga sirkulasi adekuat, serta mencegah hipoglikemia, haruslah dilakukan pada semua kondisi sesak napas tanpa memandang etiologinya. Tata laksana respirasi pada sesak napas bayi baru lahir adalah pemberian tekanan jalan napas positif berkelanjutan / Continous Positive Airway Pressure (CPAP) PRINSIP CPAP

Tekanan jalan napas positif berkelanjutan(CPAP) akan tercipta manakala terdapat aliran udara hangat nan lembab mengalir melalui suatu sirkuit yang memiliki resistensi tertentu. Berbagai cara untuk dapat menciptakan CPAP di antaranya menggunakan mesin ventilator, sirkuit bubble CPAP, T piece resuscitator atau balon tidak mengembang sendiri. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. CPAP akan terhantarkan dengan baik ke jalan napas bayi melalui suatu perantara (interface). Berbagai interface yang dikenal antara lain sungkup, single nasal prong, short bi nasal prong dan pharingeal prong. Terdapat 2 tekanan saat bayi bernapas, yaitu tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi/ positif end- expiratory pressure (PEEP). Cara paling efektif menciptakan CPAP adalah dengan memberikan PEEP adekuat yang berkelanjutan sehingga tercipta kapasitas residual paru yang optimal. UKK Neonatologi Indonesia sepakat mulai memberikan PEEP 7 cmH2O, yang selanjutnya dilakukan penyesuaian. Jika bayi masih mengalami sesak napas, maka tekanan dapat ditingkatkan, jika sesak napas membaik, maka tekanan dikurangi 1 cmH2O. PEEP maksimal adalah 8 cmH2O sementara PEEP minimal adalah 5 cmH2O.

584

DEFINISI

EFEK CPAP

FISIOLOGIS

GANGGUAN YANG DAPAT DIATASI CPAP NASAL

KRITERIA MEMULAI CPAP NASAL

Continuous positive airway pressure (CPAP) merupakan suatu metode untuk mempertahankan tekanan positif pada saluran napas neonatus selama pernapasan spontan. • Mencegah kolapsnya alveoli dan atelektasis • Mendapatkan volume yang lebih baik dengan meningkatkan kapasitas residu fungsional • Memberikan kesesuaian perfusi ventilasi yang lebih baik dengan menurunkan pirau intrapulmonar • Mempertahankan surfaktan • Meningkatkan kompliance paru • Mempertahankan diameter jalan napas tetap sehingga menurunkan resistensi jalan napas • Menurunkan usaha napas Bayi yang mendapatkan manfaat dari CPAP nasal adalah: • Bayi kurang bulan dengan RDS • Bayi dengan TTN (transient tachypnea of the newborn) • Bayi dengan sindroma aspirasi mekonium • Bayi yang sering mengalami apnea obstruktif • Pasca ekstubasi dan lepas dari tunjangan ventilator • Bayi dengan penyakit jalan napas seperti trakeomalasia dan bronkiolitis • Bayi pasca operasi abdomen atau dada Semua bayi, cukup bulan atau kurang bulan, yang menunjukkan SALAH SATU gejala berikut ini harus dipertimbangkan untuk menggunakan CPAP • Frekuensi napas >60 x/mnt • “Merintih (grunting)” dalam derajat sedang sampai parah • Retraksi dinding dada • Napas cuping hidung • Desaturasi/ Saturasi oksigen <93% (preduktal) • Sering mengalami apnea obstruktif • Pasca ekstubasi dan lepas dari tunjangan ventilator mekanik apabila diperlukan

585

Bayi ekstrim prematur yang bernapas spontan < 28 minggu atau kurang dari 1000 gram (early CPAP) • Apnea sentral • Hernia diafragmatika • Atresia koana • Fistula trakheoesophageal • Gastroschisis • Pneumothorax tanpa chest drain • Trauma pada nasal, yang kemungkinan dapat memburuk dengan pemasangan nasal prong • Instabilitas kardiovaskuler berat Sistem CPAP yang umum digunakan adalah terdiri dari tiga komponen 1. Sebuah sirkuit yang mengalirkan gas terus menerus yang terdiri atas : a. Sumber gas oksigen (100%) dan udara bertekanan (21%) menghasilkan gas dengan konsentrasi oksigen (FiO2) tertentu. b. Sebuah flow meter mengontrol kecepatan aliran terus-menerus dari gas yang dihirup (biasanya dipertahankan pada kecepatan 5-10 L/menit). c. Sebuah humidifier menghangatkan dan melembabkan gas yang dihirup agar mengandung uap air 44 mg/L dan bersuhu 37 C. d. Sirkuit inspirasi yang didalamnya terdapat heated wire sehingga gas yang dihantarkan dari humidifier tidak kehilangan suhu dan kelembabannya e. Sirkuit ekspirasi yang dilengkapi dengan (water trap) 2. Sebuah alat untuk menghubungkan sirkuit ke saluran napas neonatus (interface). Untuk tujuan dalam prosedur ini, Short binasal prong merupakan metode yang lebih disukai 3. Sebuah alat untuk menghasilkan tekanan positif pada alat sirkuit. Tekanan positif dalam sirkuit dapat dicapai dengan memasukkan pipa ekspirasi bagian distal •

KONTRAINDIKASI PEMASANGAN CPAP

KOMPONEN CPAP

586

MATERI UNIT CPAP

dalam air sampai kedalaman yang diharapkan (Bubble CPAP). Sirkuit CPAP lengkap harus dirangkai sebelum dipergunakan. Jika bayi memerlukan CPAP. Unit CPAP memerlukan perlengkapan berikut: • Sumber aliran oksigen dan udara • Pencampur Oksigen dengan flow meter • Pipa dari flow meter ke alat pengatur kelembaban • Humidifier • Pipa sirkuit berkerut dengan sambungan ke alat pengatur kelembaban • Peralatan kateter nasal (terdiri dari nasal prongs, topi dan Velcro) • Prong yang ukurannya tepat harus sesuai dengan ukuran lubang hidung tanpa menekan septum. Jika prong terlalu kecil, akan ada peningkatan resistensi udara yang tidak perlu dan udara keluar dari sekitar prong dan sulit untuk mempertahankan tekanan yang sesuai. Prong yang terlalu kecil atau terlalu besar bisa merusak selaput lendir dan septum lecet. Pedoman umum ukuran prong yang tepat adalah -

Ukuran 2 untuk berat 1000-2000 g

-

Ukuran 3 untuk berat 2000-3000 g

-

Ukuran 4 untuk berat 3000-4000 g

-

Ukuran 5 untuk berat > 4000 g

• Pita pengukur • Plester hydroksikoloid trauma hidung

untuk

mencegah

• Tabung yang berisi air steril dengan kedalaman terntentu. CARA PEMASANGAN 1. Tempelkan selang oksigen dan udara ke CPAP pencampur dan flow meter lalu hubungkan ke alat pengatur kelembaban. Pasang flow meter antara 5-10 liter/mnt. 2. Tempelkan satu selang ringan, lemas dan berkerut ke alat pengatur kelembaban.

587

Hubungkan probe kelembaban dan suhu ke selang kerut yang masuk ke bayi. Pastikan probe suhu tetap di luar inkubator atau tidak di dekat sumber panas radian. 3. Jaga kebersihan ujung selang kerut yang lain dan ditutup. 4. Tentukan tekanan CPAP dengan mengatur kedalaman pipa sesuai dengan PEEP yang diinginkan. Cuci tangan yang benar sebelum menyentuh prong atau pipa CPAP bayi adalah suatu keharusan. Sarung tangan steril harus digunakan saat mengisap lendir jalan napas. Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup bayi dan tata laksana paru KARAKTERISTIK • Pipa yang fleksibel dan ringan sehingga SISTEM CPAP YANG pasien bisa mengubah posisi dengan BAIK mudah. • Mudah ditempel dan dilepas • Resistensinya rendah sehingga pasien bisa bernapas dengan spontan • Relatif tidak invasif • Sederhana dan mudah dipahami oleh semua pemakai • Aman dan efektif dari segi biaya PENGGUNAAN CPAP Mempersiapkan sistem • Hubungkan alat pencampur ke FiO2 yang sesuai. •

Nyalakan flow meter ke angka antara 5-10 liter/mnt.



Isi pipa untuk melembabkan dengan air steril sampai batas yang telah ditentukan, nyalakan alat pengatur kelembaban dan sesuaikan kelembabannya sehingga kekentalan sekresi bisa terjaga dan insensible water loss bisa dihindari. Atur suhu pada 37oC.



Pilih ukuran prong yang benar dan hubungkan dengan ujung selang kerut yang bebas.

588



Tutup ujung prong nasal untuk menguji fungsi sirkuit. Amati gelembung yang muncul di permukaan air.

Menghubungkan sistem ini dengan bayi • Posisikan bayi dan naikkan bagian kepala tempat tidur 30°. •

Hisap lendir dari mulut, hidung dan faring dengan lembut. Gunakan kateter ukuran besar yang bisa masuk ke hidung tanpa kesulitan yang berarti. Pastikan bahwa bayi tidak mengalami atresia koana.



Letakkan gulungan kecil di bawah leher/bahu bayi. Sedikit ekstensi leher untuk menjaga jalan napas tetap terbuka.



Lembabkan prong dengan air steril atau tetesan NaCl 0,9% sebelum memasukkannya ke dalam hidung bayi, dengan lengkungan ke bawah. Sesuaikan sudut prong dan kemudian putar selang kerut hingga dicapai posisi yang benar. Untuk memastikan posisi yang tepat, periksa a. Lubang hidung tertutup sama sekali oleh prong. b. Kulit hidung tidak tertarik yang terlihat dari pucatnya warna kulit di sekitar tepi lubang hidung. c. Selang kerut tidak menyentuh kulit bayi. d. Tidak ada tekanan lateral pada septum. e. Ada sedikit ruang antara ujung septum dan bridge di antara prong. f. Prong tidak bersandar pada filtrum.



Masukkan pipa orogastrik dan lakukan aspirasi isi perut. Anda bisa membiarkan pipa di tempatnya untuk menghindari distensi lambung.



Gunakan ukuran topi yang sesuai dan lipat ujungnya 2-3 cm. Pasang topi di kepala bayi sehingga ujungnya tepat di atas telinga. Atur selang kerut di sebelah kepala. Pasang

589

peniti di tiap sisi selang. Gunakan gelang karet di sekitar peniti dan di atas selang kerut untuk mencegahpergeseran atau berpindahnya peralatan ini. Setelah bayi distabilisasi menggunakan CPAP, anda bisa memasang “moustache” Velcro agar prong tidak bergeser dari posisinya. Bersihkan pipi dan bibir atas bayi dengan air dan biarkan kering.Potong plester hydroxycolloid dan pasang tepat di atas area yang sudah disiapkan. Potong Velcro dan pasang tepat di atas hydroxycolloid. Potong dua strip Velcro lunak (lebar 8 mm) dan pasang melingkar area prong yang menutupi pipi. Tekan kanula prong dengan lembut hingga Velcro strip yang lunak menempel ke antara bibir dan hidung MEMPERTAHANKAN Sistem CPAP melalui hidung bayi harus CPAP NASAL diperiksa setiap 2-4 jam • Respirasi: frekuensi napas, merintih (grunting), retraksi dan cuping hidung kembang kempis dan suara napas • Suhu: ukur dengan cermat. Alat pengatur kelembaban mempengaruhi suhu tubuh bayi. • Kardiovaskuler: perfusi sentral dan perifer, tekanan darah dan auskultasi • Neurologis: tonus, respon terhadap stimulasi dan kegiatan • Gastrointestinal: distensi abdomen, visible loops dan bising usus • Teknis: probe saturasi oksigen pre-duktal dan pemantau kardiopulmonal •

-

Pengisap lendir rongga hidung, mulut, faring dan perut setiap 2-4 jam dan sesuai kebutuhan. Meningkatnya upaya napas, meningkatnya kebutuhan oksigen dan insiden apnea/bradikardi mungkin merupakan indikasi untuk melakukan pengisapan lendir. Gunakan kateter ukuran paling besar yang bisa masuk ke hidung tanpa kesulitan yang berarti (ukuran 6 tidak cocok untuk pengisapan lendir hidung).

590

Catat jumlah, konsistensi dan warna sekresi. Untuk melunakkan sekresi kental dan kering, gunakan beberapa tetes salin steril (Nacl) 0,9%. Periksa fungsi seluruh sistem CPAP Apakah alat pencampur diatur pada persentasi yang sesuai? - Apakah flow meter diatur antara 5-10 liter/menit? - Apakah alat pengatur kelembaban berisi jumlah air yang benar? - Apakah suhu gas yang dihirup sudah tepat? - Apakah selang kerut tidak terisi air? - Apakah ujung pipa di botol outlet ada pada tanda 5 cm? - Apakah permukaan asam asetat ada pada tanda 0 cm? - Apakah botol outlet terlihat ada gelembungnya? - Jaga jangan sampai kanula CPAP menyentuh septum nasal SEKALIPUN - Ubah posisi bayi setiap 4-6 jam untuk drainase postur semua sekresi paru Setelah CPAP dipasang, bayi bisa bernapas dengan mudah dan terlihat penurunan frekuensi napas dan retraksi. FiO2 harus diturunan secara bertahap 2-5% dengan dipandu “pulse oxymeter” atau hasil gas darah. Kebutuhan FiO2 biasanya turun menjadi 25% atau udara ruangan. • -

MENGHENTIKAN PEMAKIAN CPAP

Jika bayi sudah nyaman bernapas dengan CPAP dan FiO2 21% maka harus dicoba untuk melepaskannya dari CPAP. Prong nasal harus dilepas dari corrugated tubing saat selang masih di tempatnya. Bayi harus dinilai selama percobaan ini apakah mengalami takipnea, retraksi, desaturasi oksigen, atau apnea. Jika tanda tersebut timbul, percobaan dianggap gagal. CPAP harus segera dipasang lagi pada bayi paling sedikit satu hari sebelum dicoba lagi di hari berikutnya.

591

Tidak dianjurkan menurunkan tekanan < 5 cmH2O selama penyapihan karena bahaya atelektasis paru. Bayi menggunakan CPAP 5 cm atau sama sekali lepas dari CPAP. Jika ada keraguan terganggunya pernapasan selama proses penyapihan, JANGAN disapih. Lebih baik diantisipasi sebelumnya dan mencegah kolaps paru daripada menatalaksana paru yang kolap KOMPLIKASI CPAP • Cedera pada hidung, seperti erosi pada septal nasi, dan nasal snubbing • Pneumothoraks • Impedasi aliran darah paru • Distensi abdomen • Nasal prong atau masker pada CPAP dapat menyebabkan bayi tidak nyaman yang menyebabkan agitasi dan kesulitan tidur pada bayi PEMBERIAN MINUM CPAP nasal bukan merupakan kontraindikasi DENGAN CPAP pemberian asupan enteral. Mungkin perlu melakukan aspirasi udara yang berlebihan dari dalam perut sebelum pemberian asupan. Jika stabil secara klinis, bayi dengan CPAP dapat menetek atau minum melalui sonde, atau diberikan secara drip terus menerus. INDIKASI Bayi dengan CPAP nasal dengan tekanan yang VENTILASI optimal akan memerlukan ventilasi mekanis MEKANIS jika terjadi hal berikut: • FiO2 > 40 %, PEEP 8 • PaCO2 > 60 mmHg • Asidosis metabolik menetap dengan defisit basa > -8 • Terlihat retraksi yang nyata saat dilakukan CPAP • Sering mengalami apnea dan bradikardi Sebelum memulai ventilasi mekanis, periksa: - Apakah sistem CPAP berfungsi lancar dan menempel di hidung bayi? - Bagaimana bayi secara klinis? Jika terlihat baik, ulangi gas darah untuk menyisihkan kemungkinan kesalahan pemeriksaan laboratorium.

592

PEMECAHAN MASALAH SECARA CEPAT SELAMA CPAP

Tidak ada gelembung di botol Hal ini karena ada kebocoran udara di suatu tempat di sirkuit. Lepaskan prong dari hidung dan lakukan oklusi. Jika sistem menimbulkan gelembung, berarti ukuran prong, tidak tepat (mungkin terlalu kecil), atau lengkungannya tidak tepat di dalam hidung, atau tidak pas ukurannya. Kadang-kadang dengan bayi hanya membuka mulut, sistem akan berhenti menimbulkan gelembung. Hal ini dapat dikoreksi dengan menempatkan ‘strip dagu.’ Jika botol tidak menimbulkan gelembung, hal ini berarti bahwa masalah ada di dalam sirkuit. Periksa setiap komponen dalam sirkuit secara sistematis. Prong tidak tetap di tempatnya. Periksa yang berikut ini: - Apakah anda menggunakan prong dengan ukuran yang tepat? - Apakah topinya pas di kepala bayi? - Apakah corrugated tubing ditempelkan dengan benar kedua sisi topi dan pada sudut yang tepat dengan prong? - Apakah Velcro moustache perlu diganti? Bayi -

tidak tenang Periksa sekresi jalan napas. Gunakan dot dan bungkus bayi. Aspirasi gas yang berlebihan dari perut (jika perlu).

Kerusakan septum nasal Kerusakan karena tekanan terus menerus dan/atau friksi dengan septum nasal. Pencegahan merupakan strategi kunci. - Gunakan prong yang ukurannya tepat. - Pasang prong dengan tepat dan topi yang ukurannya sesuai, peniti yang ditempatkan dengan tepat dan gelang karet pada corrugated tubing. - Gunakan Velcro moustache jika perlu.

593

Bridge of the prongs tidak boleh menyentuh septum nasal SATU KALI PUN. - Hindari memelintir prong karena akan menekan bagian lateral septum. Jangan gunakan gel, krem, atau salep untuk melembabkan hidung (hanya NaCl 0,9% atau aqua steril). Wu, S. 71 Kattwinkel J. 72 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 68 Spitzer AR, Clardk RH. 73 Gregory GA, Kitterman JA, Phibbs Rh, Tooley WH, Hamilton WK. 74 Sandri F, Ancora G, Lanzoni A, Tagliabue P, Colnaghi M, Ventura M , dkk. 75 Subramaniam P, Ho JJ, Davis PG. 76 -

DAFTAR RUJUKAN

594

4.20 Ventilasi invasif PANDUAN PRAKTIK KLINIS

VENTILASI INVASIF

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN

PRINSIP VENTILASI INVASIF

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Saat bayi lahir dan sebelumnya mengalami hipoksia perinatal, didapatkan gambaran bayi bernapas cepat dan bila berlangsung lama bayi bisa mengalami apne. Apne yang terjadi bisa apne primer atau apne sekunder Pada bayi setelah upaya langkah awal tetap tidak timbul nafas spontan, VTP harus segera diberikan, dan dilanjutkan alat bantu napas ventilasi invasif bila bayi tetap tidak ada nafas spontan. Prinsip Ventilasi invasif adalah membuka paru dengan memberikan bantuan nafas secara aktif melalui ETT dengan tujuan untuk meningkatkan hipoksemia (PaO2) dan eliminasi CO2 (PaCO2) yang berlebihan dengan target saturasi O2 berkisar antara 90-95% serta tercapainya PaO2 60-80 mmHg dan PaCO2 35-45/50 mmHg (pada bayi prematur)

EFEK FISIOLOGIS • Mencegah kolapsnya alveoli dan atelektasis • Mendapatkan volume yang lebih baik dengan meningkatkan kapasitas residu fungsional • Memberikan kesesuaian perfusi ventilasi yang lebih baik dengan menurunkan pirau intrapulmonar • Mempertahankan surfaktan

595

• Mempertahankan jalan napas dan meningkatkan diameternya INDIKASI Bila memenuhi salah satu dari gejala berikut dibawah ini: 1. Apne-bradikardia-desaturasi akibat prematuritas yang tidak membaik dengan CPAP 2. Gagal CPAP 3. Sianosis menetap meski bayi mendapat CPAP atau NIPPV 4. Hasil analisis gas darah pH < 7,25, pO2 < 40 mmHG, pCO2 > 60 mmHg, dan saturasi oksigen < 90% dengan atau disertai asidosis metabolik berat dengan defisit basa > -8. 5. Gangguan sirkulasi yang berat KONDISI KHUSUS - Bayi dengan kelumpuhan diafragma YANG - Bayi dalam kondisi khusus seperti: atresia MEMERLUKAN koana, hernia diafragmatika, hidrops fetalis DUKUNGAN - Bayi tanpa nafas spontan akibat pengaruh obat VENTILASI anestesi (birth depression, bayi pasca operasi) INVASIF KONTRAINDIKASI Bayi dengan kelainan kromosom letal (seperti trisomi 13, 18) UNIT VENTILASI Sirkuit pernafasan Ventilasi invasif harus INVASIF digunakan secara disposable, dirangkai dan siap digunakan SETIAP SAAT. Humidifier harus berfungsi Unit ventilasi invasif memerlukan perlengkapan berikut: • Sumber aliran Oksigen dan udara • Pencampur Oksigen dengan flow meter • Humidifier • Pipa sirkuit berkerut dengan sambungan ke alat pengatur kelembaban • ETT yang sudah terpasang saat bayi terintubasi sesuai dengan berat bayi FAKTOR YANG 1. Pulmonary mechanics MEMENGARUHI Fungsi mekanik paru akan menentukan VENTILASI interaksi ventilator dan bayi. Adanya pressure INVASIF gradient mengakibatkan pengembangan alveoli dan berubahnya volume tidal. Pressure gradient dibutuhkan untuk mendapatkan ventilasi adekuat dan sebagian besar akan ditentukan oleh resistensi dan komplain paru.

596

2. Komplain paru merupakan elastisitas paru dan dinding dada. Merupakan perubahan volume paru. Komplains paru = ∆ volume ∆ tekanan Bayi dengan paru normal = 3-5 mL/cmH2O /kg Bayi dengan RDS = 0.1 to 1 mL/cmH2O/kg 3. Resistensi Menggambarkan kemampuan konduksi gas dari bagian sistem respirasi (paru dan dinding dada) untuk menahan aliran udara. Resistensi paru = ∆ tekanan ∆ flow Bayi dengan paru normal = 25-50 cmH2O/L/detik. Resistensi paru ditentukan oleh: • Karakteristik airway : panjang, diameter, karakteristik cabang dan permukaan paru • Tipe aliran/flow (laminar atau turbulen) Normal resistensi paru antara 20-30 cmH2O/L/detik 4.Time constant Pengukuran waktu penting pada tekanan di alveolar (volume) untuk mencapai 63% perubahan pada tekanan jalan napas (atau volume). Time constant = komplain x resistensi

Contoh: Komplain paru 2 mL/cmH2O dan resistensi paru 40 cm H2O/L/detik Time constant = 0.002 L/cmH2O cmH2O/L/detik = 0,080 detik

x

597

40

Durasi inspirasi atau ekspirasi setara dengan 3-5 time constant yang dibutuhkan untuk inspirasi atau ekspirasi penuh. Lamanya inspirasi dan ekspirasi berkisar 0,35-0,5 detik. Time constant akan menjadi: Lebih pendek jika komplain paru menurun (misalnya bayi RDS) atau resistensi meningkat Lebih panjang jika komplain tinggi (bayi besar dengan paru normal) atau resistensi tinggi (bayi dengan penyakit paru kronik)

Gambar 18. Inspirasi pendek saat pertukaran gas77

Gambar 19. Akibat waktu ekspirasi terlalu pendek77

5.Hipoksemia a. Ventilation–perfusion (V/Q) mismatch - Merupakan penyebab terpenting hipoksemia pada bayi baru lahir - Pemberian oksigen dalam jumlah besar akibat hipoksemia hasil dari V/Q mismatch

598

b. Shunt – Merupakan penyebab hipoksemia pada bayi baru lahir - Shunt mungkin fisiologis, intrakardiak ( seperti PPHN, penyakit jantung kongenital sianotik), atau paru (contoh atelektasis) - Jika V/Q = 0 dan suplemental oksigen tidak dapat memperbaiki hipoksemia. c. Hipoventilasi - Akibat menurunnya VT atau frekuensi napas - Akibat rendahnya V/Q dan pemberian suplemental oksigen dapat mengatasi hipoksemia dengan mudah - Penyebab hipoventilasi : depresi drive pernapasan, lemahnya otot-otot pernapasan, penyakit paru restriktif, dan obstruksi jalan napas. d. Proses difusi yang terganggu - Terjadi pada bayi dengan problem keterbatasan difusi yang sering disebabkan problem primer paru atau proses pirau dari kanan ke kiri (misalnya pada bayi dengan PPHN) - Untuk meningkatkan hipoksemia dapat diperbaiki dengan cara meningkatkan beberapa hal yang dapat meningkatkan MAP dan konsentrasi oksigen.

Gambar 20. Oksigenasi selama dibantu ventilasi invasif77

599

6. Hiperkapnia Terjadi pada V/Q mismatch, hipoventilasi dan meningkatnya ruang fisiologis (physiologic dead space)

shunt, mati

Gambar 21. Eliminasi CO2 selama dibantu ventilasi invasif77

PARAMETER VENTILASI INVASIF

1. FiO2 (konsentrasi oksigen) • Bergantung pada konsentrasi oksigen di arteri dan saturasi pada oksimetri • O2 di arteri 60-80 mmHg • Saturasi O2 90-95% • Jika FiO2 > 40% oksigen menjadi toksik pada paru • Jika saturasi oksigen rendah dan membutuhkan FiO2 lebih tinggi, MAP dapat dinaikkan dengan : - Menaikkan PEEP - Menurunkan waktu ekspirasi - Menaikkan waktu inspirasi - Menaikkan PIP - Menaikkan flow udara 2. Waktu • Waktu inspirasi /Inspiration time (IT): waktu yang dibutuhkan untuk paru menghisap udara masuk paru-paru • Waktu ekspirasi/Expiration time (ET): waktu yang dibutuhkan paru untuk mengeluarkan gas CO2

600

• IT and ET bergantung pada kondisi paru • Normal IT 0,35 – 0,5, dengan I: E = 1:2 • Untuk meningkatkan IT : rekrut alveolus, meningkatkan MAP, meningkatkan menit ventilasi, dan meningkatkan oksigen 3. Rate (frekuensi) •

Laju pernapasan dalam 1 menit normal 4060 x/menit



Laju pernapasan = 60 detik/ (IT+ET)



Minute Volume (Ve) - Laju pernapasan x VT - Menentukan tingkat ekskresi CO2 paruparu -

Tidak memengaruhi oksigenasi

-

Meningkatkan rate → meningkatkan Ve → menurukan PaCO2

4.PIP, akan ditinggikan dengan: •

Meningkatkan PaO2 ambilan oksigen)



Menurunkan PaCO2 (meningkatkan ekskresi CO2, CO2 di arteri menurun)



Meningkatkan MAP (tekanan jalan napas)



Meningkatkan VT

(meningkatkan

5. PEEP •

Tekanan yang dipertahankan untuk mempertahankan paru terbuka selama ekspirasi biasanya PEEP 5-6 cmH2O



Jangan menggunakan PEEP di bawah 3 cmH2O → atelektasis



PEEP dapat terekrut

meningkatkan

paru

yang

601

MODUS VENTILASI INVASIF

• •

• MONITORING

KOMPLIKASI VENTILASI INVASIF



Rekrut alveolus tetap dijaga terbuka dengan tekanan yang diberikan



PEEP dapat meningkatkan MAP dan O2

AC (assist control ventilation) napas bayi diambil alih seluruhnya oleh ventilator SIMV (synchronized intermittent mandatory ventilation), ventilator hanya membantu tergantung frekuensi pernafasan ventilator yang diatur Pada modus tambahan volume guarantee maka harus di set volume tidal

Pengembangan dada Suara nafas (apakah ada, simetris) Saturasi oksigen, AGD (Pada RS dengan fasilitas lengkap) • Denyut jantung • Tekanan darah • Work of breathing (retraksi, mnapas cuping hidung, takipneu, dan lain-lain • Udem laring, trauma mukosa trakea, kontaminasi saluran napas bawah, kehilangan fungsi humidifikasi saluran napas atas • ventilator menginduksi injury pada paru (VILI), barotrauma, intoksikasi oksigen ventilatory associated pneumoniae, • Komplikasi kardiovaskular: menurunkan venous return, menurunkan cardiac output (CO), hipotensi • Komplikasi ginjal: menurunkan urin output, meningkatkan antidiuretik hormon (ADH), dan menurunkan atrial natriuretic peptide (NAP) • Komplikasi neuromuskular: kurang tidur, meningkatkan tekanan intrakranial, dan critical illness weakness. • Komplikasi asam-basa: asidosis respiratorik dan alkalosis respiratorik 1.Weaning secepatnya • • •

KEPUTUSAN WEANING DARI 2. Indikasi weaning: VENTILASI a.PIP atau working pressure 18 cm H2O (pada INVASIF bayi cukup bulan)

602

b.FiO2 < 40% c.Respiratory Rate (RR) ≤ 30 x/mnt 3. Weaning dilakukan pada setting ventilasi mekanik yang berpotensi menimbulkan trauma paru (PIP, VT, dan FiO2) 4. Tahapan weaning: - Setting AC mode dengan VG: turunkan VT secara bertahap. Tidak diturunkan PIP. - Setting AC mode tanpa VG: turunkan PIP - Ubah AC mode ke SIMV mode bila VT sudah minimal sekitar 3,5-4 ml/kg BB (pada AC-VG). - atau bila: a.PIP 18 cmH2O b.FiO2 < 40 % c. PaCO2 tercapai (sesuai kasus: RDS=45-55, PPHN= 25-45, atau BPD= 50-55) - Setting SIMV: turunkan bertahap rate dan ekstubasi ke N-IPPV atau N-CPAP bila rate dapat mencapai 20x/menit DAFTAR RUJUKAN

Hess DR dan MacIntyre NR.78 Donn SM dan Sinha SK. 79 Al Hazzani FN, Al Alaiyan S, Al Hussein K, Al Saedi S, Al Faleh H, Al Harbi F, dkk. 80 Carlo WA dan Ambalavanan N. 77

603

4.21 Bayi kurang bulan dan PJT PANDUAN PRAKTIK KLINIS

BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BAYI KURANG BULAN DAN PERTUMBUHAN JANIN TERHAMBAT) (ICD 10: P05.0; P07.0) UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia DEFINISI

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2.500 gram tanpa memandang usia gestasi. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) digunakan untuk berat lahir kurang dari 1.500 gram Bayi Berat Lahir Amat Sangat rendah (BBLASR) digunakan untuk berat lahir kurang dari 1.000 gram. Bayi berat lahir rendah mungkin disebabkan oleh: Kurang bulan (usia kehamilan kurang dari 37 minggu (<259 hari) Pertumbuhan janin terhambat (di bawah persentil ke-10) Keduanya Pertumbuhan janin terhambat (PJT) adalah bayi yang lahir dengan tampilan klinis malnutrisi, karena mengalami hambatan pertumbuhan intrauterin disertai Doppler arus darah yang tidak normal atau volume amnion yang berkurang. Untuk

604

menilai hal tersebut perlu menghitung rasio berat dibagi panjang badan, yang dikenal dengan indeks Ponderal. PENYEBAB

Penyebab Kelahiran Kurang Bulan Janin Gawat janin Kehamilan kembar Eritroblastosis Hydrops non imun Plasenta Plasenta previa Solusio plasenta Uterus Uterus bikornus Inkompetensia Serviks Maternal Preeklampsia Penyakit kronis (contohnya penyakit jantung sianotik) Infeksi (misalnya Listeria monositogen, infeksi saluran kemih) Penyalahgunaan obat Lain-Lain Ketuban pecah dini Polihidramnion Iatrogenik Penyebab PJT Faktor janin Berbagai faktor genetik Berbagai kelainan kromosom, misalnya trisomi 13, 18 dan 21 Kelainan bawaan misalnya anensefali, atresia gastrointestinal dan sindrom Potter Infeksi bawaan seperti rubellaatau citomegalovirus (CMV) Penyakit metabolisme saat lahir seperti galaktosemia dan fenilketonuria Faktor Maternal Preeklampsia dan eklampsia Penyakit renovaskuler kronis

605

Penyakit vaskuler hipertensi dalam kehamilan dan kronis Penyakit infeksi Malnutrisi Ibu perokok Hipoksemia maternal terkait dengan penyakit jantung kongenital tipe sianotik dan anemia bulan sabit ( sickle cell anemia ) Faktor maternal lain seperti status sosio ekonomi yang rendah, usia ibu yang muda, ibu yang pendek, anak pertama, mutiparitas usia tua, dan penyalahgunaan obat. Faktor Plasenta Insufisiensi plasenta akibat kelainan maternal seperti preeklampsia dan eklampsia atau akibat kehamilan lewat waktu. Kelainan insersi plasenta, seperti plasenta previa dan plasenta akretaperkreta Berbagai masalah anatomis seperti infark multipel, iskemik, trombosis vaskuler umbilikal dan hemangioma Kehamilan kembar mungkin terkait dengan masalah plasenta bermakna seperti anastomose vaskuler abnormal. Pola PJT PJT Simetris Lingkar kepala, panjang dan berat badan seluruhnya berkurang secara proporsional untuk usia kehamilan. PJT simetris disebabkan oleh infeksi kongenital atau kelainan genetik dan terjadi di awal kehamilan. PJT Asimetris Berat badan fetus lebih rendah secara tidak proporsional terhadap panjang dan lingkar kepala. Pertumbuhan otak biasanya terpisah. Pertumbuhan otak terjadi di masa

606

MASALAH

kehamilan lanjut dan disebabkan oleh insufisiensi uteroplasenta atau nutrisi ibu yang buruk. Masalah bayi kurang bulan 1. Ketidakstabilan suhu tubuh BKB memiliki kesulitan untuk mempertahankan suhu tubuh akibat: Peningkatan hilangnya panas Kurangnya lemak subkutan Rasio luas permukaan tubuh terhadap berat badan besar Produksi panas berkurang akibat lemak coklat yang tidak memadai dan ketidakmampuan untuk menggigil 2. Kesulitan Bernapas Defisiensi surfaktan paru yang mengarah ke Sindrom Gawat Napas (Respiratory distress syndrome / RDS) Risiko aspirasi akibat belum terkordinasinya refleks batuk, refleks menghisap, dan refleks menelan. Toraks yang lunak dan otot respirasi yang lemah Pernapasan periodik dan apnea 3. Kelainan gastrointestinal dan nutrisi Inkoordinasi refleks isap dan menelan terutama sebelum 34 minggu Motilitas usus yang menurun Pengosongan lambung lambat Kurangnya pencernaan dan absorbsi vitamin yang larut dalam lemak Defisiensi enzim laktase pada jonjot usus Menurunnya cadangan kalsium, fosfor, protein, zinc dan zat besi dalam tubuh Meningkatnya risiko Enterokolitis Nekrotikans (EKN) Berisiko mengalami kekurangan gizi, yang disebabkan oleh meningkatnya kecepatan pertumbuhan, metabolisme yang tinggi, fisiologi

607

tubuh yang belum sempurna, dan cadangan nutrisi yang tidak cukup. 4. Imaturitas hati Gangguan konyugasi dan ekskresi bilirubin Defisiensi Vitamin K 5. Imaturitas Ginjal Ketidakmampuan untuk mengekskresi beban cairan yang besar Akumulasi asam anorganik dengan asidosis metabolik Eliminasi obat dari ginjal dapat menghilang Ketidakseimbangan elektrolit, misalnya hiponatremia atau hipernatremia, hiperkalemia atau glikosuria ginjal 6. Imaturitas Imunologis Risiko infeksi tinggi akibat: Tidak banyak transfer IgG maternal melalui plasenta selama trimester ketiga kehamilan Fagositosis terganggu Penurunan faktor komplemen 7. Kelainan neurologis Refleks isap dan menelan yang imatur Penurunan motilitas usus Apnea dan bradikardia berulang Perdarahan intraventrikel dan leukomalasia periventrikel Pengaturan perfusi serebral yang buruk Ensefalopati Iskemik Hipoksik (Hypoxic ischemic encephalopathy/HIE) Retinopati prematur ( ROP) Kejang Hipotonia

608

8. Kelainan Kardiovaskular Duktus Arteriorus Paten (Patent ductus arteriosus/PDA), umum ditemui pada bayi kurang bulan Hipotensi atau hipertensi 9. Kelainan Hematologis Anemia (onset dini atau lanjut) Hiperbilirubinemia Koagulasi Intravaskuler Diseminata (Disseminated Intravascular Coagulation/DIC) Penyakit Perdarahan Pada Neonatus (Hemorrhagic Disease of the Newborn/HDN) 10. Kelainan Metabolisme Hipokalsemia Hipoglikemia atau hiperglikemia Masalah PJT 1. Kematian Fetus Kematian fetus 5-20 kali lebih tinggi pada bayi PJT daripada bayi Sesuai Masa Kehamilan (SMK) Biasanya terjadi antara usia kehamilan 38-42 minggu Penyebab: - Insufisiensi plasenta - Hipoksia kronis - Kelainan bawaan 2. Hipoksia Asfiksia perinatal Persistent Pulmonary Hypertension of the Newborn (PPHN) Aspirasi mekonium Kontraksi uterus mungkin menambah stress terhadap fetus yang mengalami hipoksia kronis. Hipoksia dan asidosis akut pada fetus dapat mengakibatkan kematian fetus atau asfiksia pada neonatus.

609

3. Hipotermia Hipotermia terjadi akibat berkurangnya insulasi lemak subkutan dan meningkatnya luas permukaan tubuh. Lebih jauh lagi, hipoglikemia dan hipoksia mengganggu produksi panas pada bayi. 4. Hipoglikemia Akibat menurunnya cadangan glikogen dan penurunan glukoneogenesis Hipotermia memiliki potensi untuk menimbulkan masalah hipoglikemia Hipoglikemia terjadi pada 3 hari pertama. 5. Polisitemia Diakibatkan peningkatan kadar eritropoetin yang bersifat sekunder terhadap hipoksia fetus Polisitemia mungkin juga berperan terhadap hipoglikemia dan mengarah pada cedera serebral. 6. Keterlambatan Perkembangan Terjadi terutama pada bayi kurang bulan, bayi PJT dan pada bayi dengan restriksi pertumbuhan kepala yang bermakna. Keterlambatan ini terjadi akibat infeksi bawaan, malformasi berat, hipoksia kronis, asfiksia pasca kelahiran atau hipoglikemia Keterlambatan ini terlihat dengan adanya pencapaian milestone yang terlambat pada usia 2 dan 5 tahun dengan performa yang buruk di sekolah. 7. Penurunan kekebalan tubuh (immune depression) Keadaan ini terjadi akibat malnutrisi baik pada saat sebelum lahir maupun

610

PEMERIKSAAN PENUNJANG

sesudah lahir dan infeksi virus bawaan (TORCH) Keadaan ini mempengaruhi hitung limfosit dan aktivitas serta kadar Ig (immunoglobulin). Keadaan ini mungkin ditemui bersamaan dengan neutropenia. Pemeriksaan Penujang Bayi Kurang Bulan Laboratorium - Pemeriksaan morfologi darah tepi, hitung jenis (ICD 9 CM: 90.5) - Pengukuran glukosa serial (ICD 9 CM: 90.5) - Na, K, Kalsium serial (ICD 9 CM: 90.5) - Pengukuran bilirubin serial (ICD 9 CM: 91.0) - Analisis Gas Darah (ICD 9 CM: 89.65) - CRP dan kultur biakan jika diperlukan (ICD 9 CM: 90.5 dan 90.52)

-

Radiologi Rontgen dada (ICD 9 CM: 87.44) USG kepala (ICD 9 CM: 88.71) Echo jika diperlukan (ICD 9 CM: 88.72)

Pemeriksaan Penunjang PJT - Darah tepi dengan hitung jenis (ICD 9 CM: 90.5) - Pengukuran glukosa serial (ICD 9 CM: 90.5) - Penapisan TORCH (ICD 9 CM: 90.5) - USG jika diperlukan (ICD 9 CM: 88.7) - Foto rontgen dada jika diperlukan (ICD 9 CM: 87.44) TERAPI

Tata laksana Bayi Kurang Bulan Di ruang bersalin Persalinan harus dilakukan di rumah sakit yang memiliki peralatan yang lengkap dan staf yang baik. Resusitasi dan stabilisasi memerlukan ketersediaan staf dan peralatan yang memadai secara cepat.

611

Oksigenisasi yang memadai dan pemeliharaan suhu sangat penting. Asuhan ibu. Bayi memakai topi Tata laksana bayi baru lahir Pengaturan suhu tubuh ditujukan untuk mencapai lingkungan suhu netral sesuai dengan protokol. Terapi oksigen dan bantuan ventilasi Terapi cairan dan elektrolit harus menggantikan IWL (insensible water loss) serta mempertahankan hidrasi yang baik serta konsentrasi glukosa dan elektrolit plasma normal. Nutrisi (lihat: Pemberian Asupan pada Bayi Berisiko): Bayi kurang bulan mungkin memerlukan pemberian asupan dengan sonde atau nutrisi parenteral. Hiperbilirubinemia: biasanya dapat ditangani secara efektif dengan pemantauan seksama kadar bilirubin dan pelaksanaan terapi sinar. Transfusi tukar mungkin diperlukan dalam berbagai kasus berat Antibiotik spektrum luas dapat diberikan jika ada kecurigaan kuat adanya infeksi. Pertimbangkan antibiotik anti staphylococcus untuk BBLSR yang telah nengalami sejumlah besar prosedur atau yang sudah dirawat dalam waktu lama di rumah sakit. Duktus Arteriorus Paten (Patent ductus arteriosus/PDA) o Tata laksana awal biasanya bersifat konservatif, oksigenasi yang memadai, pembatasan cairan, dan diuretik. o Pada kasus yang lebih berat, anti prostaglandin seperti indomethacine mungkin diperlukan.

612

o Pada kasus yang sangat berat ligasi melalui pembedahan mungkin diperlukan. Tata laksana PJT Di ruang bersalin Persiapan untuk resusitasi dalam upaya mencegah HIE Berikan lingkungan yang suhunya disesuaikan Penilaian awal untuk usia kehamilan Nilai tanda-tanda dismorfik dan kelainan bawaan Periksa glukosa Ruang bayi Menyediakan lingkungan dengan melakukan kontak kulit dengan kulit dan memeriksa suhu setiap 4 jam (lebih sering pada bayi kurang bulan) Bila mungkin, berikan ASI sedini mungkin (ASI yang diperah dapat diberikan melalui sonde) Memberikan asupan dini jika memungkinkan tetapi jika tidak mungkin maka berikan cairan intravena segera Memeriksa intoleransi terhadap pemberian asupan (risiko NEC) Memeriksa Hb dan mengobati polisitemia Memeriksa glukosa setiap 4 jam pada hari pertama kemudian setiap 8-12 jam jika stabil Tindak lanjut jangka panjang Nutrisi yang memadai dengan rujukan kepada konselor ASI Imunisasi tepat waktu Penilaian perkembangan dengan kunjungan rutin Rujukan dini untuk intervensi perkembangan dan program pendidikan khusus

613

DAFTAR RUJUKAN

Konseling maternal untuk kehamilan berikutnya Carlo WA. 81 Intrauterine growth restriction: screening, diagnosis, and management. 82 Sharma D, Shastri S, Sharma P. 83 Damanik SM. 84

614

4.22 Asuhan kontak kulit dengan kulit PANDUAN PRAKTIK KLINIS

ASUHAN KONTAK KULIT DENGAN KULIT

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

Asuhan kontak kulit dengan kulit: bentuk interaksi orangtua dengan bayi saat menggendong bayi dengan kontak kulit dengan kulit pada posisi vertikal, kepala bayi di antara payudara selama 20 menit atau lebih.

MANFAAT

• Menurunkan risiko infeksi pada neonatus dengan mengupayakan paparan bakteri dari ibu. Bakteri ibu akan berkolonisasi di usus dan kulit bayi serta menghalangi bakteri yang lebih berbahaya dari tenaga kesehatan maupun lingkungan • Menurunkan risiko apnea dan meningkatkan oksigenasi dengan cara membuat napas neonatus teratur • Menurunkan risiko bradikardia dengan cara menstimulasi denyut jantung yang teratur • Memulai pemberian ASI dini dan efektif • Meningkatkan jangka waktu laktasi

615

• Menurunkan pemakaian kalori karena stres pada neonatus berkurang • Meningkatkan waktu status perilaku yang optimum • Meningkatkan kelekatan emosional orang tua

dan

ikatan

• Meningkatkan berat badan lebih cepat • Mempersingkat waktu perawatan inap • Tidak memerlukan syarat usia kehamilan BAYI YANG secara spesifik. MEMERLUKAN • Pada umumnya, neonatus akan stabil ASUHAN KONTAK secara fisiologis pada suhu tubuh 36,5°C KULIT DENGAN – 37,5°C. • Apabila terjadi apnea atau bradikardi KULIT akan hilang dengan sendirinya atau hanya memerlukan stimulasi ringan. • Neonatus yang menerima terapi sinar dapat diikutsertakan dengan mengeluarkannya sementara dari terapi sinar dalam waktu singkat . • Dalam situasi khusus, neonatus yang memerlukan oksigen, CPAP, atau bahkan bantuan ventilasi dapat menerima asuhan ini dengan baik. TATA LAKSANA • Dokter dan perawat harus menentukan neonatus yang diindikasikan untuk AWAL mendapat asuhan kontak kulit dengan kulit, dan memberikan informasi adekuat kepada orang tua tentang cara asuhan ini. • Dokter dan perawat harus menciptakan lingkungan yang nyaman/tidak canggung bagi orangtua dan mendukung keputusan untuk menerapkan asuhan kontak kulit dengan kulit. • Suhu tubuh neonatus harus dijaga dalam dalam rentang 36°C atau lebih dan didokumentasikan di flow sheet. • Probe suhu kulit dapat dipasang dengan kabel untuk monitor, selang akses jalur intravena, dan selang oksigenasi harus dilekatkan dan bersifat aman untuk neonatus.

616

• •





DAFTAR RUJUKAN

Neonatus tidak perlu menggunakan pakaian, kecuali popok dan topi. Persiapan lain termasuk menganjurkan ibu untuk memakai baju dengan bukaan depan atau gaun penutup serta memberikan kesempatan bersifat privasi dan tenang. Ayah juga dapat memeluk neonatus dengan cara ini. Setelah neonatus dipindahkan dengan hati-hati kepada orang tua, tanda vital neonatus dan status oksigenasi harus dipantau dan penyesuaian dibuat berdasarkan keadaan neonatus. Neonatus harus dikembalikan ke inkubator jika terdapat tanda stres yang menetap termasuk takipnea, takikardia, ketidakstabilan suhu tubuh, atau desaturasi oksigen.

The Royal Children's Hospital Melbourne. Children's Hospital of Philadelphia. 86

85

617

4.23 Kangaroo Mother Care (KMC) PANDUAN PRAKTIK KLINIS

ASUHAN METODE KANGGURU KANGAROO MOTHER CARE (KMC) UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN

KOMPONEN KMC

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Asuhan metode kangguru atau Kangaroo Mother Care (KMC) dirancang sebagai asuhan untuk neonatus dengan berat badan lahir rendah atau kurang bulan. Di dalam Kangaroo Mother Care (KMC) ini, bayi berat badan lahir rendah atau kurang bulan yang stabil diletakkan telanjang di dada ibu, dengan hanya memakai popok, topi dan kaus kaki. Posisi bayi sejajar dengan dada ibu, antara kedua payudara ibu, di dalam baju ibu dan disangga oleh kain yang melingkari ibu dan bayi, tujuannya agar bayi memperoleh panas dari kulit ibu melalui proses konduksi. Untuk KMC dalam waktu lama, bayi tetap dalam posisi ini kecuali saat dimandikan, diganti popok atau jika ibu akan ke kamar mandi. Selama waktu ini, ayah dan anggota keluarga yang lain dapat membantu dengan cara menjaga bayi tetap hangat dan menggantikan ibu melakukan kontak kulit dengan kulit • Penempatan bayi pada posisi tegak di dada ibu, antara kedua payudara ibu, tanpa busana. Bayi dibiarkan telanjang hanya menggunakan popok, topi dan

618

• •



MEMULAI KMC









• •



kaus kaki sehingga terjadi kontak kulit bayi ibu (kangaroo position) ASI eksklusif atau susu formula sesuai kondisi klinis bayi (kangaroo nutrition) Bantuan secara fisik maupun emosi baik dari tenaga kesehatan maupun keluarga agar ibu dapat melakukan KMC untuk bayinya (kangaroo support) Membiasakan ibu melakukan KMC sehingga pada saat pulang ke rumah ibu tetap dapat melakukannya sendiri (kangaroo discharge) Ibu perlu mengenal KMC dan ditawarkan pilihan ini sebagai metode untuk merawat bayi dengan berat badan lahir rendah atau kurang bulan. Karena KMC memerlukan kehadiran ibu terus menerus, ibu harus mempunyai waktu dan kesempatan untuk mendiskusikan dampaknya bersama keluarganya, karena KMC akan mengharuskan ibu tinggal lebih lama di rumah sakit dan melanjutkan asuhan ini di rumah hingga neonatus cukup bulan (usia kehamilan sekitar 40 minggu) atau 2500 g. KMC bisa dilakukan kepada hampir semua bayi kecil. Bayi dengan sakit yang parah atau memerlukan perawatan khusus bisa menunggu hingga pulih sebelum memulai KMC secara penuh. Sesi KMC untuk jangka pendek bisa dilakukan saat pemulihan ketika bayi masih memerlukan perawatan medis (cairan IV, oksigen tambahan konsentrasi rendah). Untuk KMC terus menerus, kondisi neonatus harus stabil. Kemampuan minum (untuk mengisap dan menelan) bukan merupakan persyaratan esensial. KMC bisa mulai dilakukan meskipun minuman diberikan melalui sonde. Bayi dengan berat lahir 1800 gr atau lebih (usia kehamilan 30-34 minggu atau

619







POSISI KMC





lebih) KMC dapat dimulai segera setelah lahir. Bayi dengan berat lahir antara 1200 dan 1799 gr (usia kehamilan 28-32 minggu), masalah terkait prematuritas seperti sindrom gangguan pernapasan (RDS) dan komplikasi lain lebih sering terjadi, sehingga membutuhkan perawatan khusus. Bila bayi perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap, KMC merupakan alternatif terbaik untuk menjaga bayi tetap hangat dalam proses transport. Pada kelompok bayi ini mungkin akan butuh waktu satu minggu atau lebih sebelum KMC dapat dimulai. Bayi dengan berat kurang dari 1200 gr (usia kehamilan di bawah 30 minggu) sering mengalami masalah yang lebih berat, mortalitas sangat tinggi dan hanya sebagian kecil yang bertahan dari masalah terkait prematurias. Mungkin diperlukan beberapa minggu sebelum kondisi mereka memungkinkan untuk dilakukan inisiasi KMC. Kapan tepatnya untuk memulai KMC sangat bergantung pada kondisi ibu dan bayinya. KMC dapat dimulai sesegera mungkin setelah kondisi bayi stabil, ibu bersedia dan telah mengerti tentang KMC. Setiap ibu harus diberitahu tentang manfaat menyusui, didorong dan dibantu untuk memeras ASI dari hari pertama. Mulai KMC di ruang yang hangat dan terjaga privasinya. Minta ibu duduk dan mengatur posisi bayi di atas dadanya dengan posisi sejajar. Bayi menggunakan popok, topi dan kaus kaki Sangga bayi dengan kain panjang, kepala menghadap ke satu sisi dan dalam posisi sedikit ekstensi. Ekstensi ini akan membantu menjaga jalan udara tetap terbuka dan memungkin kontak mata antara ibu dengan bayinya. Tepi kain harus di bawah telinga bayi

620





Pinggul dan kaki bayi dilebarkan dan dalam keadaan tertekuk sehingga seperti posisi “kodok”, begitu juga lengan tangan juga harus fleksi. Pasang kain erat-erat agar bayi tidak lepas saat ibu berdiri. Pastikan bahwa kain melekat erat di bagian dada dan bukan di daerah perut. Jangan mengikat terlalu keras di bagian perut bayi tapi harus di sekitar epigastrium ibu. Dengan cara ini, bayi leluasa bernapas dengan perut. Napas ibu akan menstimulasi bayinya.

Gambar 22. Posisi bayi untuk KMC

Gambar 23. Posisi bayi dalam KMC

MEMASUKKAN • Pegang bayi dengan satu tangan DAN diletakkan di belakang leher sampi MENGELUARKAN punggung bayi, BAYI DARI • Topang bagian bawah rahang bayi dengan SANGGAAN ibu jari dan jari-jari lainnya • Letakkan tangan lainnya di bawah bokong bayi

621

MERAWAT BAYI • Sebagian besar perawatan tetap dapat DENGAN KMC dilakukan meskipun pada posisi KMC termasuk menyusui. Bayi hanya dilepaskan dari kontak kulit dengan kulit saat - Mengganti popok, melakukan tindakan higiene dan perawatan tali pusat - Penilaian klinis sesuai dengan jadwal yang ditentukan rumah sakit • Tidak perlu dan tidak direkomendasikan untuk dimandikan setiap hari. Jika memang kondisi harus dimandikan, mandikan bayi dengan air cukup hangat (37°C) dengan waktu yang tidak lama. Cepat dikeringkan, bungkus dan posisikan lagi sesegera mungkin • Ibu dapat bebas beraktivitas walaupun bayi dalam posisi KMC. Namun ibu harus tetap menjaga kebersihan diri dan mencuci tangan serta menjaga lingkungan yang tenang tetap menyusui bayi secara teratur LAMA DAN • Kontak kulit dengan kulit harus dimulai KESINAMBUNGAN secara bertahap dengan transisi perlahan KMC dari asuhan konvensional menjadi KMC berkesinambungan. • Sesi selama 60 menit atau kurang harus dihindari karena perubahan yang terlalu sering akan membuat bayi stress. • Waktu kontak kulit dengan kulit diperpanjang secara bertahap agar menjadi selama mungkin. Ibu bisa tidur dengan bayi yang diletakkan dengan posisi kangguru yang benar. MEMANTAU KONDISI BAYI

Suhu • Bayi yang cukup minum dan dalam kondisi kontak kulit dengan kulit, dapat dengan mudah mempertahankan suhu tubuh normalnya (antara 36,5° C - 37° C) saat berada dalam posisi KMC. Saat KMC dimulai, ukur suhu aksila setiap 6 jam hingga stabil selama 3 hari berturut-

622

turut. Setelahnya pengukuran dilakukan hanya dua kali sehari Pernapasan • Frekuensi pernapasan normal BBLR atau kurang bulan berkisar antara 30-60 kali per menit, dan napas akan bergiliran dengan interval tidak bernapas (apnea). Jika interval terlalu lama (20 detik atau lebih) dan bibir dan muka bayi menjadi biru, sianosis, dan nadinya rendah, bradikardia, ada risiko kerusakan otak. Penelitian menunjukkan bahwa kontak kulit dengan kulit dapat membuat pernapasan lebih teratur pada bayi kurang bulan dan bisa menurunkan insidensi apnea. • Ibu harus diajarkan untuk mengenal apnea, risiko, mengetahui kapan harus melakukan intervensi segera dan mencari pertolongan. Ibu bisa mengusap punggung atau kepala bayi untuk menstimulasi pernapasan, atau dengan cara menimang bayi. Jika bayi tetap tidak bernapas, ibu harus memanggil tenaga kesehatan segera dan tenaga kesehatan harus segera merespon panggilan minta bantuan dari ibu. Tanda Bahaya • Awitan penyakit serius pada bayi kecil biasanya samar dan terabaikan dengan mudah hingga penyakit menjadi lebih berat dan sulit diatasi. Penting bagi ibu untuk mengenali tanda-tanda tersebut dan memberikan perawatan yang diperlukan. - Sulit bernapas, retraksi, merintih - Bernapas sangat lambat atau sangat perlahan - Apnea yang sering dan lama - Bayi teraba dingin, suhu tubuhnya di bawah normal meskipun dijaga kehangatannya

623

-

Sulit minum: bayi tidak bangun untuk minum, berhenti minum atau muntah Kejang Diare Kulit menjadi kuning

Minum • Setiap ibu memproduksi ASI yang khusus untuk bayinya, tapi ibu dari bayi kurang bulan menghasilkan ASI rendah laktosa yang penting untuk pencernaan karena bayi kurang bulan tidak mempunyai laktosa – enzyme yang menguraikan gula tertentu. Kandungan ASI manusia berubah sesuai pertumbuhan neonatus. ASI, terutama kolostrum, kaya akan antibodi – imunoglobulin, yang melindungi terhadap infeksi. • Selain itu, ASI manusia mengandung zat anti infeksi lainnya seperti hormon interferon, faktor pertumbuhan dan komponen anti inflamasi. Bayi yang sangat kurang bulan atau sakit dan tidak bisa menyusui akan mendapatkan manfaat dari sedikit ASI yang diberikan melalui pipet. • Untuk bayi dengan usia kehamilan kurang dari 30-32 minggu biasanya perlu diberi minum melalui selang nasogastrik, yang bisa digunakan juga untuk ASI yang diperah. Ibu bisa membiarkan bayi mengisap jarinya saat diberi minum melalui sonde, dan hal ini bisa dilakukan dalam posisi kangguru. • Untuk bayi dengan usia kehamilan lebih dari 30-32 minggu, bisa digunakan cangkir kecil untuk memberikan ASI yang telah diperah. Pemberian minum menggunakan cangkir bisa dilakukan satu atau dua kali sehari meskipun bayi masih diberi minum melalui selang nasogastrik, jika bayi bisa minum dari cangkir dengan baik, maka pemberian minum melalui sonde bisa dikurangi

624

secara bertahap. Untuk pemberian minum melalui cangkir, bayi dilepaskan dari posisi kangguru, ditutup dengan selimut hangat dan kembali ke posisi kangguru setelah selesai minum. • Bayi dengan usia kehamilan lebih dari 32 minggu bisa mulai belajar mengisap puting. Bayi mungkin hanya akan mencari puting dan menjilatnya. Teruskan memberikan ASI yang telah diperah menggunakan cangkir atau sonde hingga bayi bisa mengisap secara efektif. Bayi mungkin sering berhenti selama menyusui dan kadang berhenti lama. Penting untuk tidak langsung menghentikan menyusui. Kadang-kadang bayi perlu waktu satu jam untuk selesai menyusu. Tawarkan minum melalui cangkir setelah menyusu atau ganti ke payudara lainnya dan berikan minum melalui cangkir. • Pastikan posisi yang baik, kelekatan dan frekuensi menyusui.

Gambar 24. Memberikan ASI yang telah diperah menggunakan selang nasogastrik

Memantau Pertumbuhan • Timbang bayi kecil sekali sehari; penimbangan lebih sering mungkin akan mengganggu bayi dan menyebabkan kecemasan dan kekhawatiran kepada ibunya. Saat bayi mulai bertambah berat,

625



• • •

timbang setiap dua hari selama satu minggu dan kemudian sekali seminggu hingga bayi cukup bulan (40 minggu atau 2500g) Timbang bayi dengan cara yang sama setiap kali, misalnya telanjang, dengan timbangan kalibrasi yang sama (dengan interval 10 g jika mungkin), letakkan handuk bersih dan hangat pada timbangan untuk menghindari bayi menjadi dingin Timbang bayi di tempat yang lingkungannya hangat Catat beratnya Ukur lingkar kepala setiap minggu, saat berat bayi mulai meningkat, lingkar kepala akan naik antara 0,5 dan 1 cm per minggu.

Kenaikan berat badan tidak memadai • Jika kenaikan berat badan tidak memadai selama beberapa hari, nilai teknik, frekuensi, lama dan jadwal pemberian minum terlebih dahulu, dan periksa apakah diberi minum saat malam hari. Berikan nasehat kepada ibu untuk meningkatkan frekuensi pemberian minum, dan anjurkan ibu untuk minum lebih banyak. • Kemudian lihat kondisi lainnya; - Oral thrush – tatalaksana bayi dengan nistatin suspensi oral (100,000 IU/ml) menggunakan pipet, berikan 1 ml pada mukosa mulut dan oleskan pada kedua puting ibu setiap kali setelah menyusui hingga lesi sembuh. Obati selama 7 hari. - Rinitis – obati dengan larutan normal saline yang diteteskan melalui masing-masing lubang hidung setiap kali sebelum minum - Infeksi saluran kemih - Infeksi bakteri

626

Perawatan Preventif • Bayi kecil tidak memiliki simpanan mikronutrien yang memadai. Bayi kurang bulan, tanpa melihat beratnya, harus mendapatkan suplementasi besi dan asam folat dari sejak umur dua bulan hingga satu tahun. Dosis besi harian yang direkomendasikan adalah 2 mg/kg berat badan per hari KELUAR DARI Bayi KMC dapat diijinkan pulang jika RUMAH SAKIT memenuhi kriteria berikut: • Kesehatan umum bayi baik dan tidak ada penyakit pada saat itu seperti apnea atau infeksi • Bayi minum dengan baik dan mendapatkan ASI eksklusif atau sebagian besar minumnya adalah ASI • Berat badan bayi naik (sedikitnya 15 g/kg/hari paling sedikit 3 hari berturut-turut) • Suhu bayi stabil saat berada dalam posis KMC (dalam kisaran normal selama 3 hari berturut-turut) • Ibu yakin bisa merawat bayinya dan dapat datang secara teratur untuk kunjungan tindak lanjut. DAFTAR Conde-Agudelo A, Belizan JM, DiazRUJUKAN Rossello. 87

627

4.24 Termoregulasi neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TERMOREGULASI NEONATUS (ICD 10: P80-P83) UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia PENDAHULUAN

No. Dokumen

Tanggal Terbit/Revisi

No. Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Termoregulasi adalah keseimbangan antara kehilangan panas dan produksi panas dan produksi panas tubuh. Tujuannya adalah untuk mengontrol lingkungan neonatus dalam mempertahankan lingkungan suhu netral dan meminimalkan pengeluaran energi. - Suhu normal neonatus: 36,5-37,5°C - Hipotermia: <36,5°C - Hipertermia: >37,5°C Hipotermia dibagi atas: - Hipotermia ringan (antara 36,0-36,4°C) - Hipotermia sedang (antara 32-35,9°C) - Hipotermia berat (< 32°C) Mekanisme produksi panas pada neonatus: • Proses metabolisme • Aktivitas otot polos • Vasokonstriksi perifer • Termogenesis tanpa menggigil Mekanisme kehilangan panas pada neonatus: Evaporasi • Merupakan sumber kehilangan panas terbesar pada saat lahir, dapat terjadi secara disadari (keringat) atau tidak disadari (dari kulit dan

628

pernapasan). Terjadi saat cairan menguap dari permukaan kulit.

ketuban

Konduksi • Terjadi saat neonatus ditempatkan pada permukaan yang lebih dingin dan bersentuhan langsung dengan kulit (tanpa pakaian) seperti meja periksa, timbangan, tempat tidur. Radiasi • Perpindahan panas antara permukaan padat yang tidak bersentuhan langsung, pada bayi baru lahir terjadi saat berada di sekitar benda lain yang dingin, seperi dinding, tanpa bersentuhan langsung dengan permukaannya. Konveksi • Terjadi saat neonatus terekspos udara sekitar yang dingin atau dari pintu ruangan yang terbuka, jendela atau kipas angin.

Gambar 25. Kehilangan panas pada neonatus

Patofisiologi termoregulasi Suhu tubuh diatur dengan mengimbangi produksi panas terhadap kehilangan panas. Bila kehilangan panas dalam tubuh lebih besar, dari pada laju pembentukan panas, maka akan terjadi penurunan suhu tubuh. Hal sebaliknya begitu juga, bila pembentukan panas dalam tubuh lebih besar daripada kehilangan panas, maka akan timbul panas dalam tubuh sehingga suhu tubuh meningkat.

629

Bayi yang mempunyai risiko terjadi gangguan termoregulasi: • Bayi preterm dan bayi-bayi kecil lainnya yang dihubungkan dengan tingginya rasio luas permukaan tubuh dibandingkan dengan berat badannya. • Bayi dengan kelainan bawaan, khususnya dengan penutupan kulit yang tidak sempurna seperti pada meningomielokel, gastroskisis, omfalokel. • BBL dengan gangguan saraf sentral seperti pada perdarahan intrakranial, obat-obatan, asfiksia. • Bayi dengan sepsis. • Bayi dengan tindakan resusitasi yang lama. • Bayi IUGR (intra uterine growth retardation) atau pertumbuhan janin terhambat. HIPOTERMIA

Hipotermi terjadi jika suhu aksila neonatus dibawah 36,5°C Kondisi yang membuat risiko kehilangan panas lebih besar: • Luas permukaan tubuh yang besar dibandingkan rasio massa tubuh • Lemak subkutan yang sedikit • Kadar air dalam tubuh yang lebih besar • Kulit yang imatur dapat menyebabkan penguapan air dan kehilangan panas yang lebih besar • Mekanisme metabolisme tubuh yang kurang berkembang dalam merespon thermal stress (misalnya tidak menggigil) • Perubahan aliran pada pada kulit (misalnya sianosis perifer) Tanda dan gejala hipotermi: • Akrosianosis, kulit dingin, bercak-bercak, atau pucat • Hipoglikemi • Hiperglikemi sementara • Bradikardia • Takipnea, gelisah, napas dangkal dan tidak teratur • Distres pernapasan, apnea, hipoksemia, asidosis metabolik • Letargi, hipotonus

630

• Menangis lemah, tidak mau menyusu • Berat badan turun Catatan: semua gejala dan tanda diatas tidak spesifik, dan mungkin mengindikasikan kondisi lain yang berarti seperti infeksi bakteri pada neonatus

HIPERTEMIA

Penatalaksanaan hipotermi: A. Hipotermi ringan • Kontak kulit ke kulit pada suhu ruangan yang hangat (setidaknya 25°C) • Gunakan topi pada kepala neonatus • Tutupi ibu dan neonatus dengan selimut hangat B. Hipotermi sedang • Letakkan dibawah pemancar panas • Pada inkubator yang sudah dihangatkan • Pada matras yang berisi air hangat (contoh: KanBed) • Jika tidak ada peralatan yang tersedia atau neonatus stabil secara klinis, maka lakukan kontak kulit ke kulit dengan ibu pada ruangan dengan suhu hangat (setidaknya 25°C) C. Hipotermi berat • Gunakan inkubator yang sudah dihangatkan (diatur 1-1,5°C lebih tinggi dibanding suhu tubuh neonatus) dan harus disesuaikan dengan meningkatnya suhu neonatus (harus selalu dipantau) • Jika tidak ada peratalan yang tersedia, lakukan kontak kulit ke kulit atau ruangan yang hangat atau boks bayi yang hangat dapat digunakan Hipertermi merupakan kondisi suhu tubuh diatas 37,3°C atau 37,5°C. Hipertermi biasanya berkaitan dengan faktor lingkungan yang suhunya terlalu tinggi. Penyebab hipertermi: • Inkubator, pemancar panas, suhu lingkungan yang terlalu panas • Ibu demam • Pasca anestesi epidural pada ibu • Cahaya fototerapi, sinar matahari • Membedong yang terlalu kuat

631

• • •

Infeksi Kelainan sistem saraf pusat (contoh: asfiksia) Dehidrasi

Tanda dan gejala hipertermi: • Takikardi, takipnea, apnea • Ektremitas hangat, kemerahan, dan berkeringat (pada bayi cukup bulan) • Dehidrasi • Letargi, hipotonus, tidak mau menyusu • Iritabilitas • Menangis lemah Tatalaksana hipertermi: • Pendekatan yang biasa dilakukan pada kondisi neonatus yang mengalami hipertermi adalah menyesuaikan kondisi lingkungannya. Neonatus harus segera dijauhkan dari sumber panas, dan jika perlu membuka sebagian atau seluruh pakaiannya. • Cek suhu lingkungan (infant warmer, blanket, atau inkubator) jika memungkinkan diturunkan 0,5°C tiap 30-60 menit (infant warmer dan inkubator). • Selama proses pendinginan, suhu neonatus harus selalu dipantau setiap 15-30 menit hingga stabil. Jangan mematikan inkubator untuk mendinginkan suhu neonatus. • Ketika terjadi hipertermia berat (suhu tubuh di atas 40°C), neonatus dapat dimandikan. Air yang digunakan harus hangat (sekitar 2°C lebih rendah dari suhu tubuh neonatus). Tidak disarankan menggunakan cooling devices. Jika neonatus tidak dapat tambahan cairan dari menyusui, harus dipasang cairan secara intravena atau selang makan. PENGENDALIAN Di ruang bersalin: SUHU • Memberikan lingkungan hangat yang bebas dari aliran udara • Keringkan neonatus segera • Kontak kulit ibu-bayi segera akan berperan sebagai sumber panas. Selimuti ibu dan bayinya sekaligus atau tutupi dengan kain/baju. • Tutup kepala neonatus dengan topi

632

Pemakaian radiant warmer jika tidak mungkin melakukan kontak kulit dengan kulit (ibu mengalami komplikasi pascanatal) • Neonatus tidak berpakaian kecuali popok dan diletakkan tepat di bawah penghangat/ radiant warmer • Neonatus dapat dihangatkan dengan handuk hangat dan menggunakan topi • Probe suhu tubuh harus diletakkan mendatar pada kulit, biasanya pada abdomen daerah hati (daerah hipokondrium kanan) • Suhu servo harus diset pada 36,5oC • Suhu harus diukur setiap 30 menit atau atas instruksi dokter untuk menilai bahwa suhu tubuh neonatus dipertahankan dalam kisaran yang seharusnya • Bayi > 32 minggu dan atau > 1500 gram - Keringkan bayi dan pindahkan bayi dari kain yang basah - Bungkus bayi dengan blanket hangat - Topi Jika bayi stabil dapat dilakukan KMC • Bayi < 32 minggu atau diperkirakan <1500 gram (b) - Plastik polietilen dibuka dan diletakkan di meja resusitasi/ infant warmer - Letakkan bayi di atas plastik - Secepatnya bungkus bayi sampai bahu di bawah infant warmer - Lap kepala yang terbuka - Tutup kepala dengan topi hangat - Biarkan bayi terbungkus plastik, jika akan dpindahkan ke ruangan bayi dibungkus lagi dengan blanket hangat

PENGUKURAN SUHU

Suhu Aksila • Letakkan termometer di tengah aksila dengan lengan ditempelkan secara lembut tetapi kuat pada sisi tubuh bayi selama sekitar 5 menit

633

• •

Meskipun suhu sedikit lebih rendah daripada suhu sentral tubuh sesungguhnya, perubahannya akan sama dengan suhu tubuh Keuntungannya mencakup penurunan risiko neonatus, kebersihan terjaga, dan pengukurannya relatif cepat serta akurat

Suhu Rektum • Suhu darah yang mengalir dari ekstremitas bawah mempengaruhi suhu rektum • Pengukuran suhu tubuh dari rektum merupakan prosedur invasif dan tidak selalu dapat diandalkan • Pengukuran suhu melalui rektum/anus jika menggunakan alat yang sama untuk bayi lain dapat menimbulkan penyebaran infeksi. • Pengukuran suhu melalui rektum sudah mulai ditinggalkan

DAFTAR RUJUKAN

Suhu lingkungan • Setiap kamar harus memiliki termometer dinding • Jaga suhu lingkungan kamar antara 24-26°C Newborn Thermoregulation: Self-learning Module. 88 Rutter N. 89 Knobel NB, Vohra S, Lehmann CU. 90 Lyon A, Puschner P. 91 WHO. 92 Waldron S, MacKinnon R. 93 Knobel-Dail RB. 94 Women and Newborn Health Service Neonatal Directorate Western Australia. 95 WHO. 96

634

4.25 Hipoglikemia pada neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

HIPOGLIKEMIA PADA NEONATUS (ICD 10: P70)

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia DEFINISI

Hipoglikemia pada neonatus menurut WHO merupakan kadar gula darah <47 mg/dl (2,6 mmol/L). Hipoglikemia pada neonatus menurut American Academy of Pediatric (AAP) merupakan kadar gula darah < 45 mg/dl (2,5 mmol/L), sedangkan definisi dari Pediatric Endocrine Society (PES) menyebutkan hipoglikemia jika kadar gula darah < 50 mg/dL (2,8 mmol/L). Unit Kerja Koordinasi Neonatologi PP IDAI dalam PNPK menggunakan nilai <47 mg/dL berdasarkan definisi dari WHO atau <45 mg/dL menurut AAP.

ANAMNESIS

Bayi Berisiko Hipoglikemia • Bayi dari ibu diabetes (IDM) • Bayi besar masa kehamilan (BMK) • Bayi kecil masa kehamilan (KMK) • Bayi kurang bulan dan lewat waktu • Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia) • Bayi puasa • Bayi dengan polisitemia • Bayi dengan eritroblastosis

635



PEMERIKSAAN FISIS

PEMERIKSAAN PENUNJANG KRITERIA DIAGNOSIS

Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya steroid, beta simpatomimetik dan beta blocker • Jitteriness, rewel/gelisah, hipotonia, tangis high-pitch, tangis lemah • Sianosis • Kejang atau tremor • Letargi, gangguan menghisap • Apnea, takipnea • Hipotermia Pemeriksaan glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5)

Hipoglikemia pada neonatus merupakan kadar gula darah < 45 - 47 mg/dl (2,5 -2,6 mmol/L). Nilai GD tersebut adalah nilai gula darah dari sampel darah vena. Pada pengambilan sampel darah kapiler terdapat perbedaan 10-18 mg/dl lebih tinggi. Pemeriksaan GD dilakukan pada usia 2-4 jam setelah lahir karena diusia tersebut kadar hipoglikemia mencapai titik nadir Hipoglikemia pada neonatus merupakan kadar gula darah < 45 - 47 mg/dl (2,5 - 2,6 mmol/L). Perbedaan hasil pemeriksaan dapat terjadi pada bayi baru lahir karena bergantung pada waktu pemeriksaan. Bayi usia 0 hingga < 4 jam kadar gula darah harus ≥ 40 mg/dl, usia ≥ 4-24 jam kadar gula darah harus ≥ 45 mg/dl, dan usia ≥ 24 jam kadar gula darah harus ≥ 50 mg/dL. Oleh karena adanya proses hipoglikemia fisiologis pada bayi baru lahir, maka setelah pemeriksaan kadar gula darah pasca-lahir, pemeriksaan kadar gula darah ulangan disarankan pada 24 jam setelah pemeriksaan kadar gula pertama. Pediatric Endocrine Society (PES) mengatakan kadar gula darah bayi < 48 jam harus dipertahankan di atas 50 mg/dL, sedangkan

636

jika usia bayi > 48 jam gula darah harus dipertahankan di atas 60 mg/dL. Jika bayi menunjukkan gejala simptomatik, maka harus dikoreksi jika gula darah < 40 mg/dL. Neonatus risiko tinggi dengan GDS: AAP: Usia < 4 jam GDS < 25 mg/dL; 4-24 jam GDS < 35 mg/dL PES: Usia 24-48 jam GDS < 50 mg/dL; >48 jam GDS < 60mg/dL. DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

TERAPI

Transitory disorders of carbohydrate metabolism specific to fetus and newborn (ICD 10: P70) • Transitory neonatal disorders of calcium and magnesium metabolism (ICD 10: P71) • Pyridoxine deficiency (ICD 10: E53.1) • Hyperosmolality and hypernatraemia (ICD 10: E87.0) • Hypo-osmolality and hyponatraemia (ICD 10: E87.1) • Penanganan bayi hipoglikemia tergantung pada 2 hal, yaitu: kadar gula darah rendah dan ada tidaknya gejala klinis. • Bayi asimtomatik: Mulai diberikan minum peroral dalam 1 jam pertama, kemudian 30 menit sesudahnya dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Dapat diberikan koreksi hipoglikemia melalui asupan enteral apabila kadar gula darah >25-<45 mg/dl. Apabila kadar gula darah <25 mg/dL diberikan bolus glukosa 200 mg/kg (dekstrosa 10% dengan dosis 2 ml/kg) dilanjutkan pemberian infus dekstrosa dengan GIR 5-8 mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma yang diharapkan 40-50 mg/dL.

637

• Bayi simtomatik: Apabila kadar gula > 25-<45 mg/dL diberikan bolus glukosa 200 mg/kg (dekstrosa 10% dengan dosis 2 ml/kg) dilanjutkan pemberian infus dekstrosa dengan GIR 5-8 mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma yang diharapkan 40-50 mg/dL. • Setelah koreksi hipoglikemia, monitoring gula darah dilakukan kembali setelah 30 menit-1 jam paska koreksi. • Neonatus risiko tinggi: Direkomendasikan bayi segera mendapat asupan enteral dalam 1 jam pertama, kemudian 30 menit sesudahnya dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Pada bayi dengan paska resusitasi dengan CPAP atau VTP bayi tidak dianjurkan untuk diberikan asupan enteral dan segera mendapat akses IV serta infus dektrosa 10% 60-80 cc/kgBB/24 jam • Pada bayi dengan infus dekstrosa direkomendasikan untuk dievaluasi nilai GIR. GIR pada bayi cukup bulan: 4-6 mg/kgBB/menit dan pada bayi kurang bulan: 6-8 mg/kgBB/menit Bila ada riwayat syok dan normoglikemia, maka pemberian cairan dibatasi menjadi 60 mL/kgBB/hari menggunakan D10W (GIR 4,2 mg/kgBB/menit), D12,5W (GIR 5,2 mg/kgBB/menit), atau D15W (GIR 6,2 mg/kgBB/menit). Akses vena sentral diperlukan untuk pemberian cairan dekstrosa >12,5% atau dekstrosa 12,5% yang diberi zat/komponen tambahan. Tatalaksana hipoglikemia dapat mengikuti algoritma berikut:

638

GD <47 mg/dL

GD <25 mg/dL atau dengan gejala





GD >25-<47 mg/dL



IV bolus dekstrosa 10% 2 mL/kgBB **IVFD dekstrosa 10%, minimal 60 mL/kgBB/hari (hari pertama) sampai mencapai GIR 6-8 mg/kgBB/menit Oral tetap diberikan bila tidak ada kontraindikasi

GD ulang (30 menit-1 jam)



GD <36 mg/dL

Nutrisi oral/enteral segera: ASI atau PASI, maksimal 100 mL/kgBB/hari (hari pertama) Bila ada kontraindikasi oral atau enteral → **

GD 36-<47 mg/dL

Oral: ASI atau PASI yang dilarutkan dengan dektrosa 5%

GD <47 mg/dL

GD ulang (1 jam) Dekstrosa ditingkatkan dengan cara: • Volume ditingkatkan sampai maksimal 100 mL/kgBB/hari (hari pertama) atau • Konsentrasi ditingkatkan: vena perifer maksimal 12,5%, umbilikal 25%

GD 36-<47 mg/dL**

GD >47 mg/dL

Ulang GD tiap 2-4 jam, 15 menit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2 kali berturut-turut normal

Gambar 26. Alogaritma tatalaksana hipoglikemia

EDUKASI

Pemberian asupan enteral dini merupakan tindakan pencegahan tunggal yang paling penting. Jika pemberian asupan secara enteral akan dimulai, ASI atau D5W harus digunakan jika bayi dapat mentoleransi pemberian asupan melalui puting atau selang nasogastrik. Bayi tersebut harus dipantau sampai mereka mencapai pemberian asupan penuh dan telah memiliki tiga pembacaan pra-pemberian asupan di atas 40-45 mg/dl. Kita harus hati-hati untuk memastikan bahwa ibu menyusui memberikan asupan yang memadai. Jika bayi yang berisiko terkena hipoglikemia tidak dapat mentoleransi pemberian asupan melalui puting atau selang akibat darah yang tertelan, dapat diupayakan untuk melakukan satu kali percobaan lavage lambung dan melanjutkan pemberian asupan melalui mulut. Jika tindakan ini gagal, terapi IV dengan glukosa 10% harus dimulai dan kadar glukosa dipantau.

639

PROGNOSIS

Ad vitam

: Dubia Bonam

Ad sanationam : Dubia Bonam Ad fungsionam : Dubia Bonam DAFTAR RUJUKAN

Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. 97 Resuscitation ILCo. 98 McCormick M, Cooper P. 99 Queensland Clinical Guidelines. 100 USCF Children's Hospital. 101 Thompson-Branch A, Havranek T.102 Sweet CB, Grayson S, Polak M. 103 Thornton PS, Stanley CA, De Leon DD, Harris D, Haymond MW, Hussain K,et. al. 104

640

4.26 Hiperbilirubinemia pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS (ICD 10: P59)

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia DEFINISI

ANAMNESIS

Hiperbilirubinemia: Naiknya kadar bilirubin serum melebihi normal. Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi / indirek: Peningkatan bilirubin serum tidak terkonjugasi di atas normal. Hiperbilirubinemia terkonjugasi / direk/ kolestasis: Peningkatan kadar bilirubin direk >20% dari total bilirubin serum. Ensefalopati bilirubin: Deposit bilirubin tidak terkonjugasi/indirek pada basal ganglia otak yang menimbulkan gangguan pada sistem susunan syaraf pusat. Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi • Onset timbulnya ikterus • Ibu dengan golongan darah O, dengan suami golongan darah non-O dan perbedaan Rhesus. • Kakak yang mengalami ikterus atau anemia • Ibu yang mengkonsumsi obat-obatan (sulfonamides, aspirin, antimalaria) • Riwayat perinatal: persalinan traumatis, trauma lahir, tertundanya penjepitan tali pusat, asfiksia

641

PEMERIKSAAN FISIS

Hiperbilirubinemia terkonjugasi • Warna kulit tampak kuning kehijauan • BAB dempul / pucat • Urin berwarna seperti teh Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi: • Warna kulit tampak kuning oranye • Pada bayi kurang bulan, onset terjadinya lebih cepat dan durasinya lebih lama • Pada kejadian sefal hematom atau memar bisa terjadi hiperbilirubinemia • Pada anemia hemolitik tampak kuning disertai pucat dan pletora. • Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi yang berlanjut akan terjadi bilirubin ensefalopati dengan gejala : Tahap awal: Tampak letargis, tidak mau menetek, tonus menurun, tidak adanya refleks Moro dan tangisan melemah Tahap intermediate: Opistotonus/ retrocolis, hipertoni, kesadaran/iritabel, demam, dan melengking.

gangguan tangisan

Tahap lanjut: Kerusakan SSP bersifat ireversibel, tangisan melengking, tidak mampu menyusu, apne, demam, gangguan kesadaran hingga koma dan kejang.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hiperbilirubinemia terkonjugasi: • Warna kulit kuning kehijauan • Muntah • Distensi abdomen dengan hepatomegali • Mungkin disertai dengan tanda sepsis • Kecenderungan mengalami perdarahan • Dapat disertai mikrosefali maupun korioretinitis Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi: • Bilirubin total serum dan bilirubin direk (ICD 9 CM: 91.0)

642

• • • • •

Golongan darah dan Rhesus dari bayi dan ibu (ICD 9 CM: 90.5) Pemeriksaan Coomb’s (ICD 9 CM: 90.5) Pemeriksaan hitung darah lengkap (Hemoglobin, Hematokrit, morfologi sel darah merah) (ICD 9 CM: 90.5) Hitung retikulosit (ICD 9 CM: 90.5) Jika ada hemolisis dan tidak ada ketidaksesuaian Rhesus atau ABO, mungkin diperlukan pemeriksaan hemoglobin elektroforesis, penapisan G6PD atau pengujian kerentanan osmotik untuk mendiagnosis defek sel darah merah (ICD 9 CM: 90.5)

Hiperbilirubinemia terkonjugasi: • Sepsis berlanjut (ICD 9 CM: 90.5) • Pemeriksaan fungsi hati (ICD 9 CM: 91.0) • Penapisan TORCH (ICD 9 CM: 90.5) • USG abdomen (ICD 9 CM: 88.76) • Jika memungkinkan, penapisan metabolik (ICD 9 CM : V77) KRITERIA DIAGNOSIS

Ikterus fisiologis: Pada bayi sehat dan cukup bulan, akan terlihat pada hari ke-2-3 dan biasanya hilang pada hari ke 6-8 tapi mungkin tetap ada sampai hari ke-14 dengan maksimal total kadar bilirubin serum <12 mg/dl. Pada bayi kurang bulan sehat, ikterus akan terlihat pada hari ke 3-4 dan hilang pada hari ke 10-20 dengan kadar serum maksimal <15 mg/dl. Breast feeding jaundice : ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI biasanya muncul pada hari ke 2 sampai 3 pada waktu produksi ASI belum banyak. Breastmilk jaundice: Pada hari ke-14, kadar bilirubin terus meningkat dan bukannya menurun. Kadar bilirubin bisa mencapai 20-30 mg/dl dan mulai menurun pada usia empat minggu dan kemudian secara bertahap kembali ke normal.

643

Ikterus non-fisiologis • Ikterus mulai sebelum berusia 24 jam • Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dl/jam • Total bilirubin serum sesuai dengan grafik dibawah untuk dilakukan terapi sinar

Gambar 27. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar bilirubin serum sesuai dengan usia (dalam jam) 105

DIAGNOSIS KERJA

Penyebab hiperbilirubinemia terkonjugasi • Obstruksi ekstrahepatik biliaris • Atresia biliaris • Kista koledokal • Kompresi eksternal, misalnya node lymph • Kolestasis intrahepatik dengan kurangnya duktus biliaris, misalnya sindrom Alagille • Kolestasis intrahepatik dengan duktus biliaris normal • Infeksi (misalnya TORCH atau neonatal hepatitis) • Kesalahan metabolisme sejak lahir (inborn error of metabolism) misalnya galaktosemia • Sindrom Dubin-Johnson, sindrom Rotor’s • Kolestasis yang disebabkan penggunaan TPN yang lama Neonatal jaundice from other and unspecified causes (ICD 10: P59)

644

DIAGNOSIS BANDING

TERAPI

EDUKASI

PROGNOSIS DAFTAR RUJUKAN

Haemolytic disease of fetus and newborn (ICD 10: P55) Hydrops fetalis due to haemolytic disease (ICD 10: P56) Kernicterus (ICD 10: P57) Neonatal jaundice due to other excessive haemolysis (ICD 10: P58) Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi: • Terapi sinar berdasarkan grafik di atas • Asuhan nutrisi yang adekuat • Mengatasi penyakit lain yang menyertai seperti hipoksia, infeksi, dan asidosis Hiperbilirubinemia terkonjugasi: • Kunci tata laksana hiperbilirubinemia terkonjugasi/direk adalah mengidentifikasi penyebab dasar meningkatnya kadar bilirubin serum. • Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik diagnostik yang diperlukan harus merujuk neonatus ke fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi. • Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus hiperbilirubinemia terkonjugasi /direk (sindrom bayi tembaga) • Kenali tanda dan gejala hiperbilirubinemia pada neonatus • Kenali faktor risiko pada neonatus • Tata laksana segera berdasarkan diagnosis Ad vitam : Bonam Ad sanationam : Dubia Bonam Ad fungsionam : Dubia Bonam Excellence NIfC. 106 Muchowski KE. 107 Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. 105 Maisels MJ, Bhutani VK, Bogen D, Newman TB, Stark AR, Watchko JF. 108 Hamidi M, Aliakbari F. 109 Kaplan M, Merlob P, Regev R. 110 Maisels MJ. 111

645

4.27 Anemia pada neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

ANEMIA PADA NEONATUS (ICD 10: P61.3)

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

ANAMNESIS

Anemia Neonatal didefinisikan sebagai kadar hemoglobin atau hematrokrit dibawah kurang dari 2 SD, dibawah ratarata nilai normal pasca lahir. Pengambilan darah diperoleh melalui vena sentral Untuk bayi prematur, definisi anemia dikategorikan berdasarkan berat badan lahir dan usianya. • ) Bayi BBL 1200-2500 gram 0-7 hari = 16,4 g/dl 7-14 hari = 16 g/dl >14 hari = 13,5 g/dl • ) Bayi BBL <1200 gram 0-7 hari = <16 g/dl 7-14 hari = <14,8 g/dl >14 hari = <13,4 g/dl 1. Anemia perdarahan 2. Hemolisis atau pemecahan sel darah merah 3. Defisiensi

646

A. Penyebab obstetrik ► Kehilangan darah: o Solusio Plasenta (Abruptio placenta) dan plasenta previa o Terpotongnya plasenta selama seksio sesarea o Robeknya tali pusat ► o

o

Kehilangan darah tersembunyi: Perdarahan fetomaternal atau perdarahan transplasental dari sirkulasi fetus ke sirkulasi ibu Transfusi kembar-kembar: terjadi ketika satu kembar mengalirkan darah ke saudara kembarnya akibat kelainan plasenta vaskuler. Donor menjadi kecil dan anemik, sementara penerima menjadi besar dan pletorik

B. Perdarahan pada periode neonatus: ► Perdarahan intrakranial ► Hematoma sefal berukuran besar ► Hematoma subkapsuler, hati atau limpa yang robek, perdarahan adrenal atau renal ► Perdarahan dari umbilikus akibat robek atau terpotongnya tali pusat ► Iatrogenik dari pengambilan sampel darah berulang ► Perdarahan karena infeksi (hematemesis dan atau melena) 2. Anemia hemolitik ► Hemolisis o Imun: ketidaksesuaian Rhesus, ABO, dan golongan darah minor o Anemia hemolitik bawaan: sferositosis, defisiensi G6PD o Anemia hemolitik dapatan: infeksi, DIC, defisiensi vitamin E, vitamin K (overdosis) 3. Anemia hipoplastik • Menurunnya produksi darah merah

647



Penyebab, antara lain: Infeksi seperti rubella atau penekanan produksi oleh obat

PEMERIKSAAN FISIS

Pucat, tanda kehilangan darah akut, yaitu gejala syok, termasuk tekanan darah arteri rendah dan penurunan hematokrit.

PEMERIKSAAN PENUNJANG



KRITERIA DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

Hitung darah lengkap/CBC (hemoglobin dan hematokrit) (ICD 9 CM: 90.5) • Hitung retikulosit (ICD 9 CM: 90.5) • Sediaan apus darah (ICD 9 CM: 90.5) • Uji Comb Direk (ICD 9 CM: 90.5) • Bilirubin total dan bilirubin direk (ICD 9 CM: 91.0) • Golongan darah (ABO) dan tipenya (Rhesus) (ICD 9 CM: 90.5) • Profil hemolitik (ICD 9 CM: 90.0) • Penapisan TORCH jika tersedia (ICD 9 CM: 90.5) • USG kepala dan perut (ICD 9 CM: 88.71 dan 88.76) Kadar hemoglobin vena sentral sebesar <13 g/dL atau kadar hemoglobin kapiler sebesar <14.5 g/dL, selama periode neonatus (0-28 hari), pada bayi dengan usia kehamilan > 34 minggu. Congenital anaemia from fetal blood loss (ICD 10: P61.3) • Anaemia of prematurity (ICD 10: P61.2) • Other congenital anaemias, not elsewhere classified (ICD 10: P61.4) • Rh isoimmunization of fetus and newborn (ICD 10: P55.0) • ABO isoimmunization of fetus and newborn (ICD 10: P55.1) • Other haemolytic diseases of fetus and newborn (ICD 10: P55.8) • Haemolytic disease of fetus and newborn, unspecified (ICD 10: P55.9) • Haemorrhagic disease of fetus and newborn (ICD 10: P53) • Haemolytic anaemias (ICD 10: D55-D58)

648

TERAPI

• Aplastic and other anaemias (ICD 10: D60D64) • Kadar hemoglobin, hematokrit, dan bilirubin harus diperiksa secara sering untuk memantau anemia pada neonatus • Transfusi darah utuh (whole blood) atau butir-butir darah merah (10-20 ml/kg) dapat dipertimbangkan dalam kondisi ini: ► Anemia perdarahan akut ► Penggantian defisit yang berlanjut (on going) ► Dipertahankannya kapasitas pengangkutan oksigen yang efektif • Ht < 35%, ♦ Dengan penyakit kardiopulmoner parah, misal IPPV dengan MAP > 6 cm H2O ▪ Ht < 30%, ♦ Dengan penyakit kardiopulmoner ringan hingga sedang (FiO2 > 35% dan memakai CPAP) ♦ Apnea yang bermakna ♦ Penambahan berat badan < 10 g/hari dengan asupan kalori penuh ♦ Denyut jantung > 180 per menit yang bertahan selama 24 jam ♦ Jika menjalani pembedahan ▪ Ht < 21%, ♦ Tidak bergejala tetapi hitung retikulositnya rendah • Suplemen zat besi tidak disarankan pada neonatus kurang bulan sebelum usia kehamilan 34 minggu, karena akan meningkatkan peroksidasi lipid pada membran sel darah merah akibat oksigen terbatas, mekanisme scavenger radikal pada neonatus dengan kelainan ini.

649

Panduan ambang batas Hb dan Ht untuk pemberian tranfusi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.112 Penggunaan Furosemid: • Tidak direkomendasikan pada penggunaan rutin • Pertimbangakan segera pemberiannya pada bayi dengan kondisi: • bayi dengan penyakit paru kronis • bayi dengan PDA signifikan • bayi dengan gagal jantung • bayi dengan edema atau kelebihan cairan EDUKASI

• •

PROGNOSIS

Ad vitam

Kenali gejala anemia pada neonatus Lakukan penatalaksanaan yang sesuai : Dubia Bonam

Ad sanationam : Dubia Malam Ad fungsionam : Bonam DAFTAR RUJUKAN

New HV, Berryman J, Bolton‐Maggs PH, Cantwell C, Chalmers EA, Davies T, dkk.113 Neonatal guidelines 2017-19.114 Colombatti R, Sainati L, Trevisanuto D, 115 Robert IAG, Murray NA.116 WC, Glader BE.117 Jones LL, Schwartz AL, David BW.118

Tabel 12. Standar transfusi internasional 112

650

4.28 Polisitemia neonatorum PANDUAN PRAKTIK KLINIK

POLISITEMIA NEONATORUM (ICD 10: P61.1)

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

Polisitemia atau peningkatan massa sel darah merah total, didefinisikan sebagai hematokrit vena sentral ≥ 65% pada pasien simptomatik dan ≥ 75% pada pasien asimptomatik.

ANAMNESIS

Penyebab Polisitemia Transfusi sel darah merah plasenta ► Keterlambatan pemasangan klem pada tali pusat ► Tali pusat yang dikosongkan dengan cara darah didorong ke arah bayi (cord stripping) ► Memegang/menahan neonatus lebih rendah dari ibu pada saat persalinan ► Transfusi maternal-fetal ► Transfusi kembar-kembar Insufisiensi plasenta ► Bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK) ► Kelainan darah tinggi pada ibu ► Postmaturitas

651

► ►



PEMERIKSAAN FISIS

PEMERIKSAAN PENUNJANG

KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

Bayi yang lahir dari ibu dengan hipoksia kronis (penyakit jantung) Kehamilan pada daerah dengan tingkat ketinggian yang tinggi (high altitude) Ibu adalah perokok

Kondisi-kondisi lain: ► Bayi dari ibu diabetes melitus ► Bayi besar untuk masa kehamilan (BMK) ► Dehidrasi ► Sindrom trisomi (terutama trisomi 21) Kulit: penundaan waktu pengisian ulang kapiler (CRT) dan pletora SSP: refleks hisap yang buruk, letargi, iritabilitas, apnea, kejang; dan pada kasus parah, infark serebral Kardiopulmonal: sianosis, takipnea, gagal jantung kongestif dan peningkatan resistensi vaskuler paru Sistem gastrointestinal: enterokolitis nekrotikans (NEC) karena pemberian minum secara dini Ginjal: hematuria, proteinuria; dan pada kasus parah, trombosis vena ginjal Hematologi: trombositopenia dan ikterus Lain-lain: hipoglikemia Nilai hematrokit/vena sentral (ICD 9 CM: 90.5) Kadar glukosa serum (ICD 9 CM: 90.5) Kadar bilirubin serum (ICD 9 CM: 91.0) Kadar kalsium serum (ICD 9 CM: 90.5) Hitung trombosit (ICD 9 CM: 90.5) Penilaian secara klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang Polycythaemia neonatorum (ICD 10: P61.1) Transient neonatal thrombocytopenia (ICD 10: P61.0) Bacterial sepsis of newborn (ICD 10: P36)

652

TERAPI

Intracranial nontraumatic haemorrhage of fetus and newborn (ICD 10: P52) Congenital pneumonia (ICD 10: P23) Cardiovascular disorders originating in the perinatal period (ICD 10: P29) ► Bayi tanpa gejala dengan hematokrit vena antara 65-70% dapat ditangani dengan peningkatan asupan cairan dan mengulang pemeriksaan hematokrit pada 4-6 jam. ►



Sebagian besar ahli neonatologi, dalam ketiadaan gejala, akan melakukan transfusi tukar ketika hematokrit vena perifer > 70%, meskipun hal ini masih ini bersifat kontroversial. Bayi yang mengalami gejala dengan kadar hematokrit vena > 65% harus ditangani dengan melakukan tranfusi tukar parsial. Pertukaran biasanya dilakukan dengan albumin 5% atau salin normal untuk membuat kadar hematokrit turun hingga 50%.

Rumus berikut ini digunakan menghitung volume tukar

untuk

Volume tukar dalam ml = (Hct yg teramati–Hct yg diharapkan) X BB X volume darah Hct yang teramati

EDUKASI PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN

Kenali gejala awal polistemia neonatorum Ad vitam : Dubia Bonam Ad sanationam: Dubia Bonam Ad fungsionam: Dubia Bonam Watchko JF. 119 Celik IH, Demirel G, Canpolat FE, Dilmen U. 120

653

4.29 Trombositopenia pada neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TROMBOSITOPENIA PADA NEONATUS (ICD 10: P61.0)

UKK Neonatologi 2018

No. Dokumen

Panduan Praktik Klinis

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia DEFINISI

ANAMNESIS

PEMERIKSAAN FISIS

Trombositopenia ditandai oleh hitung trombosit yang rendah pada neonatus. Trombositopenia neonatal didefinisikan sebagai turunnya kadar trombosit dengan nilai lebih rendah dari 150.000/µL. Penyebab trombositopenia pada neonatus: • Kelainan genetik, misalnya Trisomi 13, 18, 21 , dan TAR • Penyakit autoimun pada ibu, misalnya lupus eritematosus sistemik (SLE) atau idiopatik trombositopenia purpura (ITP) • Kondisi plasenta • Infeksi ( bawaan atau dapatan) • Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau trombosis • Ibu HELLP syndrome • •

Petekie di seluruh permukaan tubuh Perdarahan mukosa dan perdarahan spontan jika hasil hitung trombosit < 20.000/mm3

654



Perdarahan intrakranial mungkin terjadi pada trombositopenia yang parah

Investigasi Evaluasi dari trombositopenia awitan dini (< 72 jam sesudah lahir) • Bayi prematur dengan onset awal trombositopenia ringan-sedang yang terbukti insufisiensi placenta, investigasi lanjut tidak diperlukan sampai hitung trombosit tidak membaik dalam10-14 hari • Bayi prematur tanpa insufifsiensi placaenta, investigasi pertama adalah untuk sepsis • Bayi cukup bulan investigasi untuk sepsis dan NAIT • Apabila trombositopenia berat periksa skrining pembekuan darah • Lihat adanya perdarahan aktif atau ptekie yang tampak • Apabila ada kecurigaan infeksi kongenital (misal LFT abnormal, rash, riwayat maternal dsb) atau trombositopenia persisten atau tidak bisa dijelaskan, pemeriksaan infeksi kongenital misal serologi CMV dan toksoplasma; cek status maternal untuk sifilis, rubella dan HIV; skrining herpes simpleks dan enterovirus • Riwayat kehamilan, terutama hitung jumlah trombosit, obat-obatan, pre eklampsia. Riwayat keluarga adanya gangguan perdarahan • Mungkin berhubungan dengan kelainan bawaan (misalnya trisomi, inherited syndrome) Evaluasi trombositopenia awitan lambat • Trombositopenia yang tampak pada bayi setelah umur 3 hari, evaluasi kemungkinan sepsis atau NEC • Bayi dengan risiko perdarahan, pikirkan keuntungan dari transfusi trombosit

655

PEMERIKSAAN Pemeriksaan trombosit (ICD 9 CM: 90.5) PENUNJANG KRITERIA DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

TERAPI

EDUKASI PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN

Trombositopenia ringan: hitung trombosit 100150x109/L Trombositopenia sedang: hitung trombosit 50100x109/L Trombositopenia berat: <50x109/L Hitung trombosit < 150.000/mm3 pada bayi cukup bulan Hitung trombosit < 100,000/mm3 pada bayi kurang bulan Transient neonatal thrombocytopenia (ICD 10: P61.0) • Haemolytic disease of fetus and newborn (ICD 10: P55) • Neonatal jaundice due to other excessive haemolysis (ICD 10: P58) • Anaemia of prematurity (ICD 10: P61.2) • Congenital anaemia from fetal blood loss (ICD 10: P61.3) • Other congenital anaemias, not elsewhere classified (ICD 10: P61.4) • Other specified perinatal haematological disorders (ICD 10: 61.8) • Perinatal haematological disorder, unspecified (ICD 10: 61.9) • •

Pengobatan penyebab kondisi yang terjadi Memberikan transfusi trombosit: satu unit trombosit tunggal dapat menaikkan hitung trombosit sebesar 40.000-50.000/mm3

Kenali gejala trombositopenia pada neonatus Ad vitam: Dubia Bonam Ad sanationam: Dubia Bonam Ad fungsionam: Dubia Bonam Newborn Services Clinical Guideline.

121

656

4.30 Hemorrhagic Disease of The Newborn (HDN) pada neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIK

PENYAKIT PERDARAHAN PADA NEONATUS (HEMORRHAGIC DISEASE OF THE NEWBORN/ HDN) (ICD 10: P55.9)

UKK Neonatologi 2018

No. Dokumen

No. Revisi

Panduan Praktik Klinis

TanggalTerbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

Penyakit perdarahan pada neonatus (Hemorrhagic Disease of the Newborn/ HDN) Sindroma klinis perdarahan spontan yang ditemukan pada bayi baru lahir akibat kekurangan Vitamin K dan kofaktor yang bergantung pada Vitamin K yaitu faktor II, VII, IX, dan X, atau sering disebut perdarahan defisiensi vitamin K, atau VKDB. Vitamin K berperan penting dalam pembekuan darah. Karena vitamin K tidak diturunkan secara efisien dari ibu ke bayi di dalam rahim, kebanyakan bayi lahir dengan jumlah simpanan vitamin K yang rendah.

ANAMNESIS

Vitamin K diperoleh dari diet dan dari sintesis flora usus. Faktor ini mengalami defisiensi pada hari pertama kehidupan. Pada saat simpanan vitamin K ibu menurun pada hari pertama, defisiensi vitamin K menjadi semakin parah.

657

PEMERIKSAAN FISIS

Pendarahan dapat terjadi pada satu atau beberapa area, yakni: perdarahan daerah umbilicus, selaput lendir hidung dan mulut, saat dilakukan sirkumsisi, vaksinasi, perdarahan saluran cerna atau benjolan kepala yang muncul sejak dini (sefalohematoma). Dapat pula terjadi perdarahan intrakranial yang dapat mengancam jiwa. VKDB dikategorikan berdasarkan waktu gejala pertama: Awitan dini terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran onset klasik terjadi dalam dua hingga tujuh hari onset lambat terjadi dalam dua minggu hinggaenam bulan HDN Dini ► Mungkin terjadi bersamaan dengan pemaparan maternal terhadap obat yang mempengaruhi koagulasi seperti anti koagulan, anti konvulsan, dan anti tuberkulosis ► Ditemui dengan perdarahan hebat selama persalinan atau pada hari pertama kehidupan HDN Klasik ► Perdarahan biasanya terjadi di kulit, gastrointestinal, atau berasal dari sunat ► Bayi tampak normal pada saat lahir, kemudian perdarahan terjadi pada usia 1-7 hari ► Memar secara umum dapat dilihat di sekitar hidung dan tali pusat

PEMERIKSAAN PENUNJANG

HDN Lambat ► Terjadi antara usia 1-3 bulan, biasanya dalam bentuk perdarahan intra kranial • Hitung trombosit normal (ICD 9 CM: 90.5) •

PT dan APTT memanjang (ICD 9 CM: 90.5)

658

KRITERIA DIAGNOSIS

Berdasarkan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang)

DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

Haemolytic disease of fetus and newborn, unspecified (ICD 10: P55.9)

TERAPI

EDUKASI PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN



Haemolytic disease of fetus and newborn (ICD 10: P55)) • Other specified perinatal haematological disorders (ICD 10: 61.8) • Perinatal haematological disorder, unspecified (ICD 10: 61.9) Profilaksis ► Vitamin K1 (phytonadione) 0,5-1 mg. Berikan IM setelah bayi lahir. Pengobatan ► 5 mg vitamin K. Berikan secara IV atau IM ► Transfusi darah segar mungkin diberikan ► Plasma beku segar Kenali gejala awal HDN pada neonatus Suntikan vitamin K-1 membantu melindungi bayi baru lahir dari VKDB. Ad vitam: Dubia Malam Ad sanationam: Dubia Malam Ad fungsionam: Malam Newborn Services Clinical Guideline 122 Brahim EH,Lamia K, Badr SB. 123 Waseem M.124 Sandy CR.125

659

4.31 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) pada neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION (DIC) PADA NEONATUS (ICD 10: P60)

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

Koagulasi Intravaskuler Diseminata (Disseminated Intravascular Coagulation/DIC) merupakan proses patologis yang ditandai oleh aktivasi sistemik dari pembekuan darah, yang menghasilkan pembentukan dan pengendapan fibrin, mengarahkan terjadinya trombus mikrovaskuler di berbagai organ dan berkontribusi terhadap sindrom disfungsi multi organ (MODS).126, 127

ANAMNESIS

Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit pada DIC dapat menyebabkan perdarahan yang mengancam jiwa.128 Faktor risiko DIC: • Septikemia Gram Negatif • Asidosis • Hipoksia • Hipotensi • Respiratory distress syndrome (RDS)

660

• • • •

PEMERIKSAAN FISIS

• • PEMERIKSAAN PENUNJANG

KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

TERAPI

Asfiksia Petekie Perdarahan gastrointestinal Keluar darah dari tusukan/lubang pada vena (venipuncture) Perdarahan umum dari berbagai lubang pada tubuh Infeksi

Penurunan hitung trombosit (ICD 9 CM: 90.5) • Peningkatan PT dan PTT (ICD 9 CM: 90.5) • Fragmen sel darah merah pada preparat apus darah (ICD 9 CM: 90.5) • Penurunan fibrinogen (ICD 9 CM: 90.5) • Peningkatan jumlah produk penguraian fibrinogen (ICD 9 CM: 90.5) Berdasarkan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang) •

Disseminated intravascular coagulation of fetus and newborn (ICD 10: P60) • Haemolytic disease of fetus and newborn (ICD 10: P55) • Neonatal jaundice due to other excessive haemolysis (ICD 10: P58) • Anaemia of prematurity (ICD 10: P61.2) • Congenital anaemia from fetal blood loss (ICD 10: P61.3) • Other congenital anaemias, not elsewhere classified (ICD 10: P61.4) • Other specified perinatal haematological disorders (ICD 10: 61.8) • Perinatal haematological disorder, unspecified (ICD 10: 61.9) • Prinsip manajemen adalah memantau tanda vital, mengkaji dan mendokumentasikan proses perdarahan dan thrombosis, mengkoreksi hypovolemia, serta memberikan prosedur pengobatan hemostasis dasar sesuai indikasi • Vitamin K 1,0 mg IM

661

Trombosit dan plasma beku segar dapat diberikan • Jika perdarahan terus berlangsung, salah satu hal berikut ini dilakukan: ► Transfusi tukar dengan darah utuh (whole blood) sitrat segar atau packed cells yang dicampur dengan plasma beku segar (FFP) ► Transfusi trombosit dan FFP ► Kriopresipitat (10 ml/kg) ► Jika DIC terkait dengan trombosis, berikan heparin Kenali gejala awal DIC pada neonatus •

EDUKASI PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN

Ad vitam : Malam Ad sanationam: Dubia Malam Ad fungsionam: Malam Newborn Services Clinical Guideline 122 Costello RA, Nehring SM. 126 Vincent JL, De Backer D. 127 Papageorgiou C, Jourdi G, Adjambri E, Walborn A, Patel P, Fareed J, dkk. 128

662

4.32 Pengendalian infeksi di Unit Perawatan Neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PENGENDALIAN INFEKSI DI UNIT PERAWATAN NEONATUS

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

PENDAHULUAN

PENERAPAN PENGENDALIAN INFEKSI

Faktor yang memengaruhi infeksi nosokomial: • Imaturitas sistem imun terutama pada bayi kurang bulan • Prosedur invasif yang merusak jaringan seperti dilakukannya intubasi, kateterisasi, dan pemasangan berbagai jalur intravaskular • Terlalu banyak bayi dan pengunjung serta kurangnya staf di unit perinatologi • Penggunaan antibiotik yang tidak tepat • Tidak dipatuhinya kebijakan pengendalian infeksi terutama untuk prosedur cuci tangan Lingkungan Ruang Bayi • Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan jalan dan tidak ada jendela yang terbuka ke daerah luar. • Semua jalan masuk ke ruang perinatologi harus ada wastafel dengan keran yang bisa dibuka/ditutup dengan siku atau kaki dan sabun cair serta handuk sekali pakai untuk cuci tangan yang benar sebelum masuk ruang bayi.

663

• • • •

• • •

Batasi jumlah orang di ruang bayi. Harus ada ruang atau daerah isolasi. Lantai ruang bayi harus bersih sesuai ketentuan PPI Linen di dalam inkubator harus diganti sekali sehari atau jika terkontaminasi. Inkubator harus dibersihkan dengan air steril sekali sehari atau jika terkontaminasi. Inkubator harus diganti supaya bisa dibersihkan secara menyeluruh dengan larutan hipoklorida 0,5%/antiseptik • Setiap 5 hari untuk bayi <1000 gram • Setiap minggu untuk bayi >1000 gram • Label untuk menuliskan tanggal pembersihan harus ditempel pada setiap inkubator Harus ada area yang khusus untuk melakukan disinfeksi inkubator. Harus ada wastafel dinding di dalam ruang bayi, satu untuk setiap tiga inkubator Pemisahan limbah dibagi atas: • Sampah infeksius (kantung berwarna kuning) Dressing bedah, kasa, verband, kateter, swab, plester, masker, sarung tangan, kapas lidi, kantong urin, sampah yang terkontaminasi dengan cairan tubuh. • Sampah domestik/rumah tangga (kantong berwarna hitam) Kertas, plastik, plastik bungkus spuit/infus, kardus, kayu, kaleng, daun, sisa makanan, sampah yang tidak terkontaminasi cairan tubuh pasien. • Sampah benda tajam (kotak berwarna kuning) Jarum suntik, pisau cukur, pecahan ampul, gelas obyek, lancet, sampah yang memiliki permukaan/ujung yang tajam.

664





Semua limbah cair (darah, cairan lendir & sekresi) dibuang di saluran air kotor dan disiram dengan air dalam jumlah banyak. Semua limbah tajam dibuang kedalam penampungan yang tahan tusukan dan air tidak pernah memberikan dari tangan ke tangan untuk dibuang.

Petugas Prosedur Cuci Tangan • Gulung lengan baju hingga siku dan lepaskan semua perhiasan. • Sebelum masuk ruangan, cuci tangan secara seksama selama tiga menit dengan sikat untuk cuci tangan pra bedah yang basah dan larutan pencuci tangan antiseptik. Mulai dari tangan, bawah kuku dan bagian sisi jari. • Bilas secara seksama dengan air mengalir. • Keringkan dengan tisu. • Bilas tangan selama 15 detik atau lebih lama sebelum menangani pasien berikutnya. • Direkomendasikan untuk menggunakan sarung tangan jika akan ada kontak dengan darah, cairan tubuh, selaput lendir atau kulit yang tidak utuh. Neonatus • Tali pusat harus kering dan bersih. • Salep/tetes mata profilaktik diberikan kepada semua neonatus pada hari pertama. • Neonatus yang dirujuk dari masyarakat harus ditempatkan di area khusus di ruang bayi dan langkah pencegahan untuk penanganan diterapkan selama 72 jam pertama. Hal ini harus dinyatakan dengan jelas pada inkubator atau pintu masuk ruangan.

665



PERLENGKAPAN

Neonatus dalam kondisi berikut memerlukan isolasi menurut kategori tertentu, yaitu : • Infeksi stafilokokus • Konjungtivitis bakteri • Gastroenteritis • Luka infeksius • Infeksi yang menular melalui udara; varicella, contohnya, memerlukan isolasi di ruang terpisah. Pencucian dan sanitasi • Perlengkapan yang diperlukan untuk pemberian asupan dan nutrisi: • Sterilisasi cangkir susu dengan benar. Botol tidak boleh digunakan karena akan mengakibatkan bingung puting • Menggunakan air steril untuk mempersiapkan formula • Sonde lambung untuk asupan diganti setiap 2-3 hari • Cuci tangan sebelum dan sesudah mempersiapkan minum. • Hal yang harus dilakukan untuk jalur infus: o Ganti cairan infus steril setiap hari o Evaluasi kasa setiap hari o Ganti kasa jika kotor atau basah o Evaluasi semua jalur masuk infus setiap hari. Kultur area yang terlihat terkena infeksi (misal merah, bengkak atau teraba panas) o Ganti buret dan tabung infus setiap 3-5 hari o Ganti spuit 50 cc untuk infus setiap pergantian cairan. •



Hal yang harus dilakukan pada perlengkapan pernapasan: o Setiap pasien baru, menggunakan alat sirkuit pernapasan yang baru Hal yang harus dilakukan pada perlengkapan pengisap lendir: o Ganti air dalam alat pengisap lendir setiap hari

666

o Cuci selang pengisap lendir setiap kali setelah digunakan pada satu bayi KEBIJAKAN



• •

SURVEILANS

DAFTAR RUJUKAN

Petugas unit perawatan neonatus harus selalu waspada kemungkinan penyebaran penyakit oleh mereka kepada neonatus Petugas ruang bayi dianjurkan untuk melaporkan adanya penyakit menular kepada penyelianya. Penyakit yang dapat dilaporkan adalah infeksi stafilokokus kutaneus, penyakit pernapasan, konjungtivitis dan gastroenteritis.



Surveilans rutin insidensi infeksi yang menyebar di ruang bayi merupakan keharusan. • Selama terjadinya KLB • Melakukan kultur dengan mengambil contoh bakteri yang mungkin ada di permukaan tertentu. • Melakukan kultur darah neonatus yang terkena infeksi. • Mengidentifikasi bakteri yang telah diisolasi. • Perlu dilakukan kultur bakteri dari petugas, perlengkapan dan lingkungan di ruang bayi. Ramasethu. 129 Winnipeg Regional Health Authority. 130 Polin RA, Denson S, Brady MT, Committee on F, Newborn, Committee on Infectious D. 131

667

4.33 Sepsis Neonatorum PANDUAN PRAKTIK KLINIK

SEPSIS NEONATORUM (ICD 10: P36)

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia DEFINISI

Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis penyakit sistemik, disebabkan oleh mikroorganisme atau produknya yang terjadi pada masa neonatus. Suatu sindroma respon inflamasi janin / FIRS disertai gejala klinis infeksi yang diakibatkan adanya mikroorganisme di dalam darah pada neonatus.

• Klasifikasi : 1. Early Onset (dini): terjadi pada 72 jam pertama kelahiran dengan manifestasi klinis yang mendukung, dengan gejala sistemik yang berat. Faktor risiko : - Berat badan lahir rendah < 2500 gram atau prematur - Ibu dengan demam atau terbukti infeksi dalam 2 minggu sebelum persalinan - Cairan ketuban bercampur mekonium atau berbau

668

-

-

Pecah ketuban lebih dari 24 jam Pemeriksaan vagina lebih dari 3 kali yang steril atau 1 kali yang tidak bersih selama persalinan Persalinan tidak maju (kala 1 dan kala 2 lebih dari 24 jam) Asfiksia perinatal (Apgar skore <4 pada menit pertama)

2. Late Onset (lambat): timbul setelah usia 72 jam dengan manifestasi klinis sistemik yang berat. Faktor risiko: - Berat badan lahir rendah - Prematuritas - Perawatan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) - Penggunaan ventilasi mekanis - Prosedur invasif - Pemberian cairan parenteral Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus yang timbul setelah 48 jam dirawat di rumah sakit ANAMNESIS

Faktor Risiko 1) Maternal : Ibu dengan toksemia, demam, KPD > 18 jam, ketuban berbau 2) Intrapartum Trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan, atau tindakan obstetri yang invasif 3) Postnatal : Asfiksia, tindakan invasif seperti insersi intrumen dan durasinya (misalnya pemasangan selang nasogastrik, selang endotrakea, ventilasi mekanik, pemasangan CVC, chest tube, transfusi darah atau transfusi tukar, dan lumbal

669

pungsi), penggunaan medikasi bersamaan seperti nutrisi parenteral. PEMERIKSAAN FISIS

Gejala tidak spesifik : Instabilitas suhu Letargi, sulit menyusu, menangis lemah Perfusi buruk, memanjangnya CRT Hipotonus, hilangnya refleks neonatal Bradikardi atau takikardi Gawat nafas, apnea, gasping Hipoglikemia atau hiperglikemia Asidosis metabolik Gejala spesifik SSP : fontanel anterior menonjol, tangis melengking, iritabel, stupor atau koma, kejang, tatapan kosong, dan leher kaku. Dipertimbangkan meningitis Sistem kardiovaskular : hipotensi, perfusi buruk, syok Sistem gastrointestinal : intoleransi buruk, muntah, diare, distensi abdomen, ileus paralitik, NEC Hepatik : hepatomegali, hiperbilirubinemia direk Ginjal : gagal ginjal akut Hematologi : perdarahan, ptekiae, purpura Perubahan kulit : pustula multipel, abses, sklerema, mottling, kemerahan dan sekret di sekitar umbilikal.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Rasio imatur/total (rasio I/T) (ICD 9 CM: 90.5) • Hitung total neutrofil (ICD 9 CM: 90.5) • Rasio imatur/matur (rasio I/M) (ICD 9 CM: 90.5) • Hitung neutrofil imatur (ICD 9 CM: 90.5) • Jumlah leukosit (ICD 9 CM: 90.5) • Perubahan degenerasi neutrofil (ICD 9 CM: 90.5) • Jumlah trombosit (ICD 9 CM: 90.5)

670

• Kultur darah (ICD 9 CM: 90.52) • Lumbal pungsi (ICD 9 CM: 03.31) • Biomarker: reaktan fase akut [C-reactive protein (CRP), procalcitonin (PCT), Serum Amiloid-A (SAA), LipopolysacharideBinding Protein (LBP)], sitokin [tumor necrosis factor (TNF), interleukin 1 (IL-1), IL-2, IL-8 dan interferon gamma (IFN-γ)] dan sel antigen permukaan [cluster differentiation (CD) 11b, reseptor FcgI-III (CD64, CD32, dan CD16), CD69]. (ICD 9 CM: 90.5) KRITERIA DIAGNOSIS

Berdasarkan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang) • FIRS (Fetal inflammatory response syndrome/ Sindroma respon inflamasi janin) • Laju napas > 60 x/menit atau <30 x/menit atau apnea dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi oksigen • Suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau > 37,50C) • Waktu pengisian kapiler > 3 detik • Hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L Bila ditemukan dua atau lebih keadaan tersebut di atas disebut sebagai FIRS •

TERDUGA/ SUSPEK SEPSIS Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai gejala klinis infeksi (letargis, apne, bradikardi, takikardi, tidak mau menyusu)



TERBUKTI/ PROVEN SEPSIS Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai bakteremia / kultur darah positif



Laboratorium : o Leukositosis (> 34.000 x 109/L) o Leukopenia (< 4.000 x 109/L) o Netrofil muda >10%

671

o Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding total (stab+segmen) atau I/T ratio > 0,2 o Trombositopenia < 100.000 x 109/L) o Peningkatan CRP serial di atas nilai normal DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING TERAPI EDUKASI

PROGNOSIS

DAFTAR RUJUKAN

Bacterial sepsis of newborn (ICD 10: P36) • Congenital viral diseases (ICD 10: P35) • Other congenital infectious and parasitic diseases (ICD 10: P37) Antibiotik sesuai pola kuman di rumah sakit masing-masing Kenali tanda dan gejala sepsis pada neonatus Lakukan cuci tangan secara efektif Tata laksana dengan komprehensif Ad vitam : Dubia Malam Ad sanationam: Dubia Malam Ad fungsionam: Dubia Malam Brady MT, Polin RA. 132 Rohsiswatmo R, Nisa S. 133 Wandita. 134 Lusyati, Sauer PJJ. 135 Mustarim. 136 Shane AL, Sanchez P, Stoll JB. 137 Gebremedhin D, Berhe H, Gebrekirstos K.138 Kung YH, Hsieh YF, Weng YH. 139 Hendrarto TW. 140 Wibowo T. 141 WHO. 142 Aggarwal R, Sarkar N, Deorari AK, Paul VK. 143

672

4.34 Syok pada neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

SYOK PADA NEONATUS (ICD 10: R57)

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

ANAMNESIS

Syok: suatu sindrom akut yang ditandai oleh perfusi sirkulasi yang tidak memadai pada jaringan untuk dapat memenuhi kebutuhan metabolisme organ-organ vital sehingga terjadi disfungsi organ. Hipotensi: Tekanan darah < 2 standar deviasi sesuai dengan usia gestasi Penyebab syok hipovolemik 1.Kehilangan darah/cairan intrapartum • Plasenta • Tali pusat • Twin-to-twin transfusion 2. Perdarahan pascanatal : intrakranial, paru 3. Lain-lain : dehidrasi Penyebab syok septik: Infeksi berat bakteri, virus atau jamur yang menyebabkan integritas vaskular hilang sehingga cairan keluar dari pembuluh darah ke jaringan

673

Penyebab syok kardiogenik • Asfiksia intrapartum atau pascapartum • Penyakit jantung • Infeksi bakteri atau virus • Hipoksia dan/atau asidosis metabolik • Hipoglikemia berat • Gangguan metabolik dan/atau elektrolit berat • Gangguan sirkulasi • Artimia PEMERIKSAAN FISIS

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanda penurunan perfusi: • SSP : iritabilitas, letargi, dan koma • Sistem kardiovaskular : takikardia, hipotensi dan pemanjangan CRT • Paru : takipnea, merintih, retraksi • Ginjal : oliguria, anuria dan uremia • Kulit : pucat, kutis marmorata, ekstremitas dingin, perfusi buruk, dan sianosis.

Umum Darah perifer lengkap, elektrolit, glukosa (ICD 9 CM: 90.5) C-reactive protein (ICD 9 CM: 90.5) Analisis gas darah (ICD 9 CM: 89.65) Syok septik Kultur darah, CSF, urine, dan sumber infeksi lainnya (ICD 9 CM: 90.52; 90.02 dan 91.32) Syok kardiogenik Elektrokardiografi (ICD 9 CM: 89.52)

KRITERIA DIAGNOSIS

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan didukung pemeriksaan penunjang

674

DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING

TERAPI

EDUKASI

PROGNOSIS

Syok hipovolemik (ICD 10 : R57.1) Syok septik (ICD 10 : R57.2) Syok kardiogenik (ICD 10: R57.0) Syok lainnya (ICD 10: R57.8) Syok, unspecified (ICD 10: R57.9)

Tata Laksana Umum • Bolus intravena sejumlah 20 ml/kg normal salin (bisa diulang dua kali). • Bila ada perdarahan dapat diberikan transfusi darah dan komponennya. • Jika tidak terdapat respons, dapat ditambahkan agen inotropik. • Agen inotropik: mulai dengan infus dopamin 5-10 mcg/kgBB/menit kemudian tambahkan dobutamin (5-20 mcg/kgBB/menit) • Mengoreksi hipoksia dan memberikan dukungan pernapasan sesuai dengan kebutuhan. • Mengoreksi hipoglikemia dan ketidakseimbangan elektrolit jika ditemui. Mengenali faktor risiko syok pada neonatus Kenali tanda bahaya syok Atasi infeksi dengan antibiotik yang sesuai Segera bawa ke fasilitas kesehatan Ad vitam

: Dubia Bonam

Ad sanationam : Dubia Bonam Ad fungsionam : Bonam DAFTAR RUJUKAN

WHO.

144

Davis, Carcillo JA, Aneja RK, Deymann AJ, Lin JC, Nguyen TC.

145

675

4.35 Kelainan jantung yang sering ditemui pada neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KELAINAN JANTUNG YANG SERING DITEMUI PADA NEONATUS (ICD 10: P29)

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

TanggalTerbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

Penyakit jantung kongenital: kelainan struktur atau fungsi jantung akibat gangguan pembentukan jantung, katup jantung dan pembuluh darah pada saat janin dan menetap sesudah lahir dengan klinis sianosis maupun asianosis. Bentuk penyakit jantung kongenital asianosis yang paling sering ditemui adalah defek septum ventrikel atau ventricular septal defect (VSD), defek septum atrium atau atrial septal defect (ASD) dan patent ductus arteriosus (PDA). Bentuk penyakit jantung kongenital sianosis yang paling sering ditemui adalah Tetralogy of Fallot (ToF), dan Transposition of Great Arteries (TGA) Duktus arteriosus paten atau patent ductus asteriosus (PDA): adanya pembuluh darah yang menghubungkan percabangan arteri pulmonalis kiri ke aorta desendens tepat di sebelah distal arteri subklavia kiri yang sifatnya menetap.

676

Gagal jantung: sindrom klinis akibat jantung tidak mampu memompakan darah dalam jumlah yang cukup ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan dan menerima aliran darah balik dari vena sistemik dan pulmonal atau kombinasi kedua hal tersebut. ANAMNESIS

▪ ▪ ▪ ▪

PEMERIKSAAN FISIS

▪ ▪



▪ ▪

Berat badan sulit naik Menetek terputus-putus Kesulitan bernapas : napas cepat, tarikan dinding dada Kadang-kadang tampak kebiruan di sekitar mulut dan ujung-ujung jari tangan dan kaki Adanya bunyi murmur (tergantung penyakit jantung kongenital) Mean arterial pressure (MAP) melebar (interval normal antara tekanan darah sistolik dan diastolik bervariasi sesuai dengan usia gestasi) Sianosis yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespon terhadap terapi O2 dengan atau tanpa disertai bising jantung. Pertimbangkan kemungkinan penyakit jantung kongenital sianotis. Jika saturasi oksigen dibawah normal (< 90%) dipertimbangkan kemungkinan penyakit jantung kongenital sianosis. Adanya perbedaan saturasi oksigen di ekstremitas atas dan bawah > 10% dipertimbangkan kemungkinan koartasio aorta.

Gagal • • •

jantung: Takipnea dan takikardia Peningkatan usaha napas Pengisian ulang kapiler memanjang

677

PEMERIKSAAN PENUNJANG



• •

KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA

DIAGNOSIS BANDING TERAPI

Rontgen dada dapat memperlihatkan kardiomegali (Cardiothoracic ratio > 0,65), disertai ada tidaknya pletora/edema paru (ICD 9 CM: 87.44) Elektrokardiografi (EKG) dapat menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel (ICD 9 CM: 89.52) Konfirmasi penyakit jantung kongenital dengan ekokardiografi (ICD 9 CM: 88.72)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang Ventricular septal defect (ICD 10: Q21.0) Atrial septal defect (ICD 10: Q21.1) Patent ductus arteriosus (ICD 10: Q25.0) Transposition of great arteries (ICD 10: Q20.3) Tetralogy of Fallot (ICD 10: Q21.3) Coarctatio aorta ( ICD 10: Q25.29) Neonatal cardiac failure (ICD 10: P29.0) Cardiovascular disorders originating in the perinatal period (P29.0-P29.9) Terapi suportif ▪ Restriksi cairan ▪ Diuretik apabila dicurigai adanya kelebihan beban cairan (periksa penambahan berat yang berlebihan dan edema perifer). Dapat dipertimbangkan pemberian : -Spironolakton 1-2 mg/kgBB/kali - Furosemid 1-2mg/ kgBB/kali ▪ Oksigenasi yang memadai, hati-hati pemberian oksigen terlalu tinggi pada penyakit jantung kongenital sianotik. ▪ Parasetamol diberikan pada bayi prematur dengan PDA yang menimbulkan gangguan hemodinamik secara klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan ekokardiografi, dengan dosis 1015mg/kgBB/6jam selama 5 hari atau ibuprofen selama 3 hari dengan dosis 10 mg/kg hari pertama, dilanjutkan 5 mg/kg pada hari kedua dan ketiga.

678

Terapi pembedahan ▪ Ligasi PDA dilakukan pada bayi prematur dengan PDA yang menunjukkan gejala hemodinamik yang signifikan yang tidak memberikan respons dengan obat-obatan atau terdapat kontraindikasi medikamentosa Gagal jantung: ▪ Atasi penyebab ▪ Oksigen yang memadai ▪ Perlu rujukan segera ke pusat perawatan khusus yang memiliki tenaga ahli jantung anak EDUKASI PROGNOSIS DAFTAR RUJUKAN

Kenali tanda dan gejala awal adanya kelainan bawaan pada bayi Tergantung besar, jenis defek dan kompleksitas penyakit jantung kongenital Semberova. 146 Terrin G. 147 Ohlsson A, Walia R, Shah SS.148

679

4.36 Pemberian ASI di fasilitas kesehatan PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PEMBERIAN ASI DI FASILITAS KESEHATAN

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

No. Revisi

Tanggal Terbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

Air Susu Ibu (ASI): minuman yang dianjurkan untuk semua bayi baru lahir (BBL), termasuk bayi kurang bulan (BKB) ASI eksklusif: pemberian ASI saja pada bayi tanpa cairan atau makanan lain; dianjurkan diberikan selama 6 bulan pertama kehidupannya. Inisiasi menyusu dini (IMD): memberi kesempatan bayi menyusu sendiri segera setelah lahir dengan meletakkan bayi di dada atau perut ibu dan kulit bayi melekat pada kulit ibu (skin to skin contact) setidaknya selama 1-2 jam sampai bayi menyusu sendiri.

SEPULUH LANGKAH MENUJU KEBERHASILAN MENYUSUI

Berikut 10 langkah menuju keberhasilan menyusui (expansion): 1. Mempunyai kebijakan tertulis yang secara rutin dikomunikasikan kepada seluruh karyawan RS 2. Mendidik staf tenaga kesehaan agar memiliki pengetahuan tentang menyusui

680

3. Menginformasikan kepada ibu hamil yang dirawat di rumah sakit yang berisiko melahirkan bayi prematur atau bayi sakit tentang manajemen laktasi dan menyusui, serta manfaat menyusui 4. Mendorong terjadinya kontak kulit ke kulit sedini mungkin, berkelanjutan, dan dalam jangka panjang tanpa pembatasan yang tidak perlu 5. Menunjukkan kepada ibu cara memulai dan mempertahankan laktasi, serta mulai menyusui dini dengan stabilitas bayi sebagai satu-satunya kriteria 6. Tidak memberikan makanan atau minuman selain ASI, kecuali ada indikasi medis 7. Membiarkan ibu dan bayinya bersamasama selama 24 jam sehari 8. Mendorong pemberian ASI berdasarkan demand atau, saat diperlukan, semidemand, sebagai strategi peralihan bagi bayi prematur dan sakit 9. Memakai alternatif botol hingga menyusui bisa dilakukan dan menggunakan dot dan nipple shields hanya jika ada alasan yang jelas 10. Menyiapkan orang tua untuk terus menyusui dan memastikan akses terhadap kelompok pendukung ASI setelah keluar dari rumah sakit TATA LAKSANA IMD

a. Anjurkan suami atau anggota keluarga mendampingi ibu waktu bersalin b. Anjurkan tindakan non-farmakologis untuk membantu ibu melalui proses persalinan (berikan pijatan, aromaterapi, cairan, bergerak) c. Biarkan persalinan berlangsung sesuai dengan posisi yang diinginkan oleh ibu d. Keringkan Bayi secepatnya, biarkan lapisan putih (verniks) yang melindungi kulit bayi

681

POSISI MENYUSUI YANG BENAR

PERLEKATAN YANG BAIK

e. Lakukan kontak kulit dengan kulit dengan cara meletakkan bayi di atas dada ibu, menghadap ibu, dan tutupi keduanya dengan kain atau selimut f. Biarkan bayi mencari payudara ibu sendiri. Ibu akan merangsang bayinya dengan sentuhan dan bisa juga membantu memposisikan bayinya lebih dekat dengan puting (jangan memaksakan memasukkan puting susu ibu ke mulut bayi) g. Teruskan kontak kulit dengan kulit hingga menyusui pertama kali berhasil dilselesaikan dan selama bayi menginginkannya. h. Ibu yang melahirkan melalui sectio caesaria juga bisa melakukan kontak kulit dengan kulit setelah bersalin i. Bayi dipisahkan dari ibunya untuk ditimbang, diukur dan diberikan obat preventif setelah menyusu awal. Tunda prosedur yang invasif atau membuat stress seperti menyuntik vitamin K dan menetesi mata bayi j. Jangan memberikan minuman atau makanan pralaktal, kecuali ada indikasi medis yang jelas. • Tubuh bayi dekat dengan tubuh ibu • Bayi datang dari arah bawah bayi sehingga dagu bayi adalah bagian pertama yang melekat pada payu dara dengan hidung menghadap puting ibu • Kepala dan tubuh BBL dalam posisi lurus • Dagu bayi menyentuh payudara ibu, dada bayi melekat pada dada ibu • Seluruh tubuh bayi disangga, tidak hanya bagian leher dan bahu saja • • • •

Lebih banyak daerah areola yang terlihat di atas mulut daripada di bawah mulut BBL Mulut terbuka lebar Bibir bawah terlipat ke arah luar Dagu menyentuh payudara

682

Pengisapan efektif terlihat dari isapan yang lambat, dalam, menelan dan jeda Pembengkakan • Memberikan ASI yang sering dan sesuai permintaan • Pemberian kompres hangat akan membantu saluran ASI tetap terbuka dan ASI mengalir. • Masase payudara dengan lembut • Pengeluaran ASI dengan tangan bisa membantu mencegah pembengkakan •

PENCEGAHAN MASALAH DALAM MENYUSUI

TATA LAKSANA MASALAH DALAM MENYUSUI

Puting Lecet • Pengeluaran ASI untuk merangsang aliran ASI • Masase payudara untuk menjaga patensi saluran ASI • Memulai pemberian ASI dari payudara yang tidak sakit atau tidak terkena • Posisikan bayi dengan hati-hati, dekat dengan ibu untuk memastikan kelekatan yang tepat • Perubahan posisi yang sering akan membantu mencegah iritasi jaringan Pembengkakan • Mengevaluasi tanda-tanda mastitis atau infeksi payudara yang perlu dirawat dengan pemberian antibiotika sistemik • Pemberian kompres hangat bisa menghilangkan pembengkakan • ASI harus tetap diberikan selama pembengkakan terjadi • Pemerahan ASI secara mekanis mungkin perlu untuk mengatasi pembengkakan yang parah Puting Lecet • Puting harus tetap bersih dan kering untuk mempercepat pemulihan • Puting harus dibilas dengan ASI yang dikeluarkan (bukan sabun atau alkohol)

683

Puting harus dibiarkan kering sendiri oleh udara • Sariawan mungkin menyebabkan puting lecet dan pecah-pecah. Bila keadaan ini terus berlanjut, ibu dan bayinya sebaiknya dievaluasi oleh dokter. • Jika bayi kelihatan mengisap dengan lemah atau tidak efektif, pengeluaran ASI dengan tangan akan membantu memulai refleks let down dan merangsang bayi untuk menetek. • Bayi dengan refleks isap dan menelan yang tidak terkoordinasi atau kelainan mengisap harus dievaluasi selama menetek untuk mengetahui apakah dengan posisi yang berbeda hasilnya lebih baik. Metode alternatif, seperti menggunakan sendok, cangkir atau sonde dapat dipertimbangkan. • Bayi yang menunjukkan kesulitan menetek harus dievaluasi menurut protokol berikut • Mengkaji riwayat perinatal • Melakukan penilaian fisik yang seksama termasuk tanda vital dan status kardiopulmonal sebelum dan selama menetek. Terutama amati koordinasi refleks isap-menelannapas. • Oksimetri mungkin bermanfaat selama evaluasi. Jika perlu, pertimbangkan pemberian oksigen tambahan melalui kanula hidung atau tiupan oksigen. • Selama pemberian ASI bagi bayi berisiko atau kurang bulan, suhu harus dipertahankan dengan kontak kulit dengan kulit dan topi. • Kenaikan berat badan dan asupan nutrisi harus dipantau. Indikasi 1. Pembengkakan payudara •

ASUHAN BAYI YANG KESULITAN MENYUSU

TEKNIK MEMERAH ASI

684

2. BBL sakit dan berisiko yang memerlukan asupan alternatif 3. Ibu tidak hadir untuk menyusui dan ASI harus disimpan Memerah ASI dengan tangan Alasan 1. Sebagai persediaan saat bayi dan ibu terpisah 2. Meningkatkan produksi ASI 3. Menghilangkan sumbatan duktus 4. Memberi minum bayi sambil bayi belajar mengisap dari puting yang terbenam 5. Memberi minum bayi yang mengalami kesulitan mengisap 6. Memberi minum bayi yang ‘menolak’, sambil bayi belajar minum 7. Memberi minum bayi berat badan lahir rendah yang tidak dapat menetek 8. Memberi minum bayi sakit yang tidak bisa mengisap dengan kuat 9. Menjaga keberadaan ASI apabila ibu atau bayi sakit 10. Menyediakan ASI untuk bayi jika ibu pergi atau bekerja 11. Mengeluarkan ASI langsung ke mulut bayi 12. Mencegah puting dan areola menjadi kering atau lecet Panduan 1. Cuci tangan sampai bersih dengan sabun 2. Jika mungkin, perah ASI di tempat yang tenang dan santai. Bayangkan anda sedang berada di tempat yang menyenangkan. Pikirkan hal menyenangkan mengenai bayi anda. Kemampuan anda untuk merasa santai

685

akan membantu refleks pengeluaran ASI yang lebih baik. 3. Berikan kompres hangat dan lembab pada payudara anda selama 3-5 menit sebelum mengeluarkan ASI 4. Pijat payudara anda dengan gerakan melingkar, ikuti dengan pijatan lembut pada payudara dari sisi luar ke arah puting 5. Stimulasi puting dengan lembut dan tarik sedikit ke arah luar atau memutarnya dengan jari 6. Duduk dengan nyaman dan pegang wadah di dekat payudara 7. Tempatkan ibu jari di bagian atas payudara pada tepi areola (jam 12) dan jari telunjuk di bawah payudara pada tepi areola (jam 6). Jari-jari yang lain menyangga payudara 8. Tekan ke arah belakang kearah dinding dada, kemudian kearah depan kearah puting tanpa jari-jari bergesar .Ibu jari dan telunjuk – ibu harus menekan sinus laktoferus yang ada di belakang areola. Kadang-kadang sinus dapat teraba seperti biji kacang. Bila ibu dapat meraba sinus ini, ibu dapat menekan di atasnya 9. Tidak boleh ada rasa sakit – bila ada rasa sakit berarti tekniknya salah. 10. Mungkin awalnya tidak ada ASI yang keluar, tapi menekan beberapa kali, ASI akan mulai menetes. ASI akan mulai mengalir lebih lancar bila refleks oksitosin menjadi aktif. 11. Ulangi dengan pola yang teratur, tekan pada bagian payudara yang berbeda untuk mengosongkan semua sinus

686

12. Hindari menggosok dengan jari di atas kulit payudara. Gerakan jari harus memutar. 13. Hindari memerah puting. Menekan atau menarik puting tidak akan membuat ASI keluar. Hal ini juga terjadi apabila bayi hanya mengisap puting. 14. Perah setiap payudara selama 3-5 menit sampai aliran makin sedikit kemudian perah payudara yang satu lagi, kemudian ulangi pada kedua payudara 15. Masukkan ASI yang sudah diperah, langsung ke dalam wadah yang bersih (gunakan gelas kaca atau plastik keras) 16. Setiap kali memerah ASI, mungkin jumlah ASI yang keluar akan berbeda 17. Setelah selesai, oleskan beberapa tetes ASI pada setiap puting dan biarkan kering sendiri 18. Tampilan ASI berubah selama pemerahan. Pada beberapa sendok pertama, ASI akan terlihat bening dan kemudian ASI akan menjadi putih susu. Beberapa obat, makanan, vitamin, mungkin akan sedikit merubah warna ASI. Lemak ASI akan naik ke atas apabila disimpan 19. Jelaskan bahwa memerah ASI perlu waktu 20-30 menit terutama pada beberapa hari pertama apabila hanya sedikit ASI yang diproduksi. Penting diketahui untuk tidak memerah untuk waktu yang lebih pendek 20. ASI yang disimpan harus ditutup rapat dan diberi label bertuliskan tanggal, waktu dan jumlah. Kemudian segera dinginkan atau bekukan.

687

Memerah ASI secara mekanis Teknik • Air susu ibu perah dapat disimpan dalam botol kaca (pyrex), plastic keras (polypropylene) atau kantong plastik (polyurethane). • Plastik keras atau kaca merupakan tempat penyimpanan ASI yang disertai segel kedap udara sehingga dapat menyimpan ASI lebih lama. • Kaca dan polypropylene memiliki pengaruh yang sama terhadap kandungan lemak, imunoglobulin A dan jumlah sel darah putih. • Kantong plastik khusus ASI dapat digunakan untuk penyimpanan ASI dalam waktu yang lebih singkat (<72 jam). • Kantong plastik khusus ASI tidak disarankan untuk penggunaan jangka lama oleh karena mudah tumpah, terkontaminasi bakteri, dan beberapa komponen ASI mudah melekat pada plastik. • Wadah untuk penyimpanan ASI tidak boleh mengandung Bisphenol A karena bersifat mutagenik.

Panduan 1. Cuci tangan sampai bersih 2. Jika memungkinkan, perah ASI di tempat yang tenang dan santai. Bayangkan anda sedang berada di tempat yang menyenangkan. Pikirkan hal menyenangkan tentang bayi anda. Kemampuan anda untuk merasa santai akan membantu refleks pengeluaran ASI yang lebih baik.

688

3. Berikan rasa hangat yang lembab pada payudara Anda selama 3-5 menit sebelum mengeluarkan ASI 4. Pijat payudara anda dengan gerakan melingkar, ikuti dengan usapan lembut pada payudara dari sisi luar payudara menuju puting 5. Stimulasi puting anda dengan lembut dan tarik sedikit ke arah luar atau memutarnya dengan jari 6. Ikuti instruksi umum yang tercantum pada pompa payudara 7. Aliran ASI akan bervariasi. Selama beberapa menit pertama ASI mungkin menetes lambat dan kemudian memancar kuat setelah ASI keluar. Pola ini akan berulang beberapa kali selama pengeluaran ASI dari kedua payudara. 8. Jumlah ASI yang diperoleh pada setiap pengeluaran mungkin bervariasi dan ini adalah hal yang biasa 9. Ketika sudah selesai, oleskan beberapa tetes ASI pada setiap puting dan biarkan kering oleh udara 10. Penampilan ASI anda akan berubah selama pengeluaran. Beberapa sendok pertama akan terlihat bening dan setelahnya ASI akan berwarna putih susu. Sejumlah obat, makanan dan vitamin juga dapat sedikit mengubah warna ASI anda. Lemak susu akan berada di bagian atas ASI ketika ASI disimpan. 11. Jika akan disimpan, tutup dan beri label pada wadah yang bertuliskan tanggal, waktu dan jumlahnya segera setelah dikeluarkan.

689

PEMBERIAN ASI PADA BAYI PREMATUR

ASI DONOR

PENYIMPANAN ASI

MENCAIRKAN ASI

Bayi prematur yang diberikan nutrisi per oral lebih baik diberikan berdasarkan tanda lapar bayi dibandingkan diberikan terjadwal, kecuali jika bayi tertidur lebih dari 3 jam setelah minum terakhir • Pilihan kedua bila ASI tidak tersedia • Harus menjalani skrining untuk menghindari risiko infeksi (HIV, CMV, hepatitis, sifilis) atau kontaminasi toksik (obat, narkotik, alkohol, tembakau). • Tes mikrobiologi dan pasteurisasi dilakukan pada ASI donor untuk menghindari kontaminasi bakteri atau virus. • Pengolahan dan pemberian ASI donor harus memenuhi persyaratan skrining donor ASI, penyimpanan, dan prosedur pengolahan untuk memastikan keamanan dan optimalisasi kandungan zat gizi ASI donor. • Simpan dalam jumlah yang sama dengan yang bisa dihabiskan BBL dalam satu kali minum. • Beri label setiap wadah dengan nama, tanggal dan waktu serta jumlah. • Jika ASI dibekukan, tinggalkan sedikit ruang dalam wadah untuk pemuaian ASI. • BBL kurang bulan atau sakit memerlukan kehati-hatian lebih saat pengumpulan dan penyimpanan. Yang paling aman adalah mendinginkan ASI segera dan tidak membiarkannya di suhu kamar. • Cairkan ASI beku dengan memindahkan ASI beku ini dari freezer ke lemari es ( refrigerator) selama satu malam . • Rendam susu sambil diputar-putar dalam mangkuk berisi air hangat. Panas

690

MEMBEKUKAN KEMBALI ASI

DAFTAR RUJUKAN

berlebihan akan merubah atau menghancurkan enzim dan protein. • Cairkan seluruhnya karena lemak terpisah saat proses pembekuan. • Jangan pernah menggunakan microwave untuk mencairkan atau menghangatkan ASI. • Setelah dicairkan, ASI harus digunakan dalam waktu 24 jam • Membekukan kembali ASI yang telah dicairkan atau dicairkan setengah tidak dianjurkan. Pertimbangan ini berlaku saat membawa ASI ke rumah sakit atau pulang ke rumah. Disarankan untuk menjaga ASI sedingin mungkin tanpa membekukannya dan hanya membekukannya ketika ASI sudah sampai di tujuan akhir. • Menggunakan sisa ASI yang tidak habis (ASI yang dihangatkan untuk persiapan pemberian minum) • Jangan gunakan kembali bagian ASI yang tidak habis di botol karena mungkin telah terkontaminasi oleh air liur BBL. Suradi R, Hegar B, Partiwi IGAN, Marzuki ANS, Ananta Y.149 Besar SD, Eveline NP. 150 UKK Neonatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Kadim M, Roeslani R, Nurmalia L. 151

691

4.37 Pemberian nutrisi enteral bagi neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL BAGI NEONATUS BERISIKO TINGGI

UKK Neonatologi 2018 Panduan Praktik Klinis

No. Dokumen

Tanggal Terbit/Revisi

No. Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia DEFINISI

INISIASI PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL PADA BAYI KURANG BULAN JENIS NUTRISI ENTERAL

Neonatus berisiko tinggi: bayi baru lahir yang berisiko lebih besar untuk mengalami komplikasi yang dapat terjadi dalam periode janin, saat persalinan atau pada periode pasca persalinan • Diberikan apabila kondisi STABLE terpenuhi • Sebelum STABLE terpenuhi, nutrisi diberikan secara parenteral dalam bentuk trophic feeding yang diberikan dalam waktu 24 jam pertama diusahakan ASI segar mulai 5–10 mL/kgBB/hari yang dinaikkan bertahap sampai volume 25 mL/kgBB/hari. 1. Air Susu Ibu (ASI) merupakan nutrisi yang direkomendasikan untuk NKB karena efek imunoprotektif, stimulasi maturitas fungsi gastrointestinal, dan faktor bioaktif yang berkontribusi untuk luaran neurodevelopmental. 2. ASI Perah. Produksi ASI perah seharusnya dimulai segera setelah lahir untuk meningkatkan produksi ASI.

692

3. ASI Donor merupakan pilihan kedua bila ASI tidak tersedia. 4. Human Milk Fortifier (HMF) perlu dilakukan pada BBLSR (berat lahir <1500 gram) yang mendapat ASI. Zat gizi kunci HMF adalah protein dan dapat dibuat dari susu sapi atau ASI, serta dapat berupa cair atau bubuk. Satu saset HMF yang dilarutkan ke dalam 25 ml ASI akan menambah kalori sebanyak 4 kkal/oz sehingga kalori ASI+HMF menjadi 24 kkal/oz, sedangkan bila satu saset HMF dilarutkan ke dalam 50 ml ASI akan menambah kalori sebanyak 2 kkal/oz sehingga kalori ASI+HMF menjadi 22 kkal/oz. HMF juga mengandung elektrolit, makromineral, mikromineral, dan vitamin sehingga dapat mencukupi kecukupan bayi prematur yang lebih tinggi dari bayi cukup bulan. 5. Hindmilk diperlukan bila HMF tidak memungkinkan, pemberian hindmilk untuk membantu meningkatkan berat badan bayi prematur bisa dijadikan alternatif. 6. Formula prematur merupakan formula medis khusus dengan energi berkisar 80 kkal/100 ml, protein 2,0-2,4 g/100 ml dan diperkaya mineral, vitamin, dan trace elements untuk mendukung kecukupan nutrisi bayi prematur agar dapat mencapai laju pertumbuhan intrauterin. 7. Nutrient-enriched formula atau postdischarge formula (PDF) pada awalnya dirancang khusus untuk bayi prematur yang dipulangkan dari rumah sakit. Kandungan energi berkisar 72-74 kkal/100 ml, kandungan protein 1,8-1,9 g/100 ml dan diperkaya dengan mineral, vitamin, dan trace elements. 8. Formula standar dirancang untuk bayi cukup bulan berdasarkan komposisi ASI matur, yaitu kandungan energi 66-68 kkal/100 ml, konsentrasi protein berkisar 1,4-1,7 g/100 ml, kalsium sekitar 50 mg/100 ml dan fosfat 30 mg/100 ml. Komposisi tersebut tidak cukup untuk memenuhi

693

kebutuhan nutrisi BBLSR (<1500 gram) dalam fase kejar tumbuh. Formula standar dapat diberikan pada bayi prematur yang telah mencapai usia koreksi 0 minggu dan indikator antropometri menurut grafik WHO 2006 menunjukkan BB menurut usia berada antara -2 sampai +2 z-score dan panjang bayi mencapai 45 cm RUTE PEMBERIAN NUTRISI

Tabel 13. Rute pemberian nutrisi pada bayi prematur 152 Usia kehamilan

Kematangan fungsi oral

<28 minggu

-Refleks mengisap belum ada -Gerak dorong usus belum ada -Refleks mengisap payudara mulai ada -Belum ada koordinasi antara mengisap, menelan dan bernapas

28-31 minggu

32-34 minggu

>34 minggu

CARA PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL

-Refleks mengisap hampir matang -Koordinasi antara mengisap, menelan dan bernapas mulai ada -Refleks mengisap telah matang -Koordinasi mengisap, menelan dan bernapas telah terbentuk sempurna

Rute pemberian nutrisi Parenteral

Orogastric tube atau nasogastric tube Sesekali dengan nipples dengan nipples

Menyusu

1. Oral langsung. Sebelum memberikan nutrisi oral pada bayi usia gestasi ≥ 32–34 minggu, harus dipastikan bayi mempunyai kemampuan koordinasi mengisap, menelan, dan bernapas yang baik. Metode pemberian nutrisi oral dapat dengan menyusu atau dengan nipples. Menyusui merupakan metode yang paling dianjurkan. Apabila menyusui tidak memungkinkan, alternatifnya adalah dengan menggunakan nipples. 2. Pemberian nutrisi enteral diindikasikan pada bayi prematur <32–34 minggu, bayi prematur dengan kemampuan mengisap, menelan dan/atau bernapas yang belum baik, bayi prematur tidak bisa mendapat nutrisi per oral karena kondisi medis atau sebagai suplementasi nutrisi oral yang tidak adekuat. Sebelum memulai nutrisi enteral

694

pastikan saluran cerna dan kondisi hemodinamik baik. Dapat diberikan dengan NGT atau OGT. FREKUENSI Tabel 14. Frekuensi dan volume nutrisi enteral bayi prematur DAN VOLUME 153 BBLASR BBLSR NUTRISI Jenis cairan ASI ASI ENTERAL Mulai 6−48 jam pertama 6−48 jam pertama BAYI Minimal enteral 0,5 ml/kg/jam atau 1 ml/kg/jam atau PREMATUR feeding 1 ml/kg/2 jam 2 ml/kg/2jam (MEF) Durasi MEF

1−4 hari

1−4 hari

Peningkatan minum Continues feeding

15−25 ml/kg/hari

20−30 ml/kg/hari

+0,5 ml/kg/jam tiap 12 jam

+1 ml/kg/jam tiap 8 jam

Intermittent feeding/ 2 jam

+1 ml/kg/jam tiap 12 jam

+1 ml/kg/jam tiap 8 jam

HMF

Sebelum 100 ml/kg/hari 110−130 kkal/kg/hari 4−4,5 g/kg/hari

Sebelum 100 ml/kg/hari 110−130 kkal/kg/hari

Target energy Target protein

PEMANTAUAN

asupan

3,5−4 g/kg/hari

Jangka Pendek Akseptabilitas yaitu penilaian perbandingan asupan yang masuk secara aktual terhadap preskripsi nutrisi yang direncanakan dokter. Toleransi, meliputi penilaian adanya muntah, diare, residu lambung, food adverse reaction pada pemberian nutrisi enteral atau oral; parameter biokimia dan klinis pada pemberian nutrisi parenteral. Efisiensi yaitu menilai kenaikan berat badan

695

Tabel 15. Pemantauan laboratorium terkait pemberian nutrisi pada bayi prematur 154, 155 Nutrisi Enteral Hemoglobin dan hematokrit Glukosa serum

1 x seminggu (sesuai indikasi) 1 x (nilai baseline)

Elektrolit

Sesuai indikasi

Ca, Mg dan P darah

1 x (nilai baseline)

Trigliserida

Sesuai indikasi

Fungsi Ginjal

1 x seminggu

Enzim hati

1 x seminggu

Alkalin fosfatase

1 x (nilai baseline)

Jangka Panjang Pemantauan Pertumbuhan Berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala diukur secara berkala. Kecepatan penambahan berat badan (weight velocity) diukur setiap hari, dalam rangka mendeteksi dini adanya weight faltering dan melakukan tata laksana yang tepat untuk menanggulanginya. Target terapi nutrisi pada bayi prematur yaitu mencapai laju pertumbuhan yang sama dengan janin normal yang sesuai usia gestasi, menyerupai komposisi tubuh janin, dan mencapai luaran fungsional serupa dengan bayi lahir cukup bulan yaitu:153 - Penambahan berat badan bayi prematur 15 g/kg/hari. - Penambahan panjang badan : 0,8−1,0 cm/minggu - Penambahan lingkar kepala: 0,5−0,8/minggu Osteopenia Prematuritas Pada bayi prematur, deteksi dan pemantauan osteopenia prematuritas sebaiknya dilakukan bila umur gestasi <34 minggu dan BB lahir <1800 gram. Temuan yang khusus pada osteopenia prematuritas ini berupa penurunan kadar

696

ion kalsium (Ca2+) dan fosfor serta peningkatan serum alkali fosfatase (ALP). Tabel 16.Nilai rujukan parameter biokimia pascarawat 156 Parameter Biokima Alkali Fosfatase (ALP)

Nilai rujukan

Interpretasi

150─420 U/L

Kalsium (Ca)

9,0─11.0 mg/dl

Fosfor (P)

4,5─9 mg/dl (<40 minggu umur gestasi) 4,5─6,7 mg/dl (>40 minggu umur gestasi)

Vitamin D 25(OH)

30─100 mg/ml

Hemoglobin (Hb)

10,5 ─13,5 g/dl

Hematokrit (Ht)

33─39 %

• Penanda formasi tulang • Nilai dapat meningkat selama periode pertumbuhan tulang • Nilai >500 U/L pada bayi prematur mengindikasikan resiko osteopenia dan memerlukan evaluasi lebih lanjut jika didapatkan juga nilai kalsium atau fosfor yang rendah • Kation ekstraseluler yang terlibat pada pertumbuhan skeletal • Peningkatan nilai sebagai penanda formasi tulang • Nilai yang yang lebih rendah atau lebih tinggi dari angka referensi perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut • Anion sel ikut terlibat dalam pembentukan tulang • Peningkatan nilai mengindikasikan penyakit skeletal, renal, atau kelebihan asupan fosfor • Nilai yang rendah → asupan fosfor tidak adekuat • Nilai yang yang lebih rendah atau lebih tinggi dari angka referensi perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut • Nilai <30 ng/ml menunjukkan insufisiensi • Nilai <20 ng/ml menunjukkan defisiensi • Nilai <5 ng/ml menunjukkan defisiensi yang berat (Angka referensi bervariasi tergantung nilai rujukan) • Nilai lebih rendah dariangka referensi menunjukkan defisiensi besi • Nilai lebih rendah dari angka referensi menunjukkan defisiensi besi

697

DAFTAR RUJUKAN

Indikasi untuk penilaian ulang dari status kalsium, fosfor, dan alkali fosfatase: Satu bulan pascaperawatan untuk semua bayi dengan BB lahir <1500 gram dan bayi IUGR dengan BB lahir <1800 gram. Satu bulan pascaperawatan, jika hasil laboratorium saat keluar RS (tidak diketahui) diluar dari nilai rujukan. Jika bayi prematur mengalami pergantian dari ASI ke susu formula <3 bulan usia koreksi Jika asupan dan kecepatan pertumbuhan bayi prematur berada di bawah batas bawah garis pertumbuhan. Lester BM, Andreozzi-Fontaine L, Tronick E, Bigsby R. 157 Rauter S, Messler S, Steven D. 158 Karlsen KA. 159 Castrodale V, Rinehart S. 160 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 161 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 162 Sjarif DR, Rohsiswatmo R, Rundjan L, Yuliarti K.163 Agostoni C, Buonocore G, Carnielli VP.164 American Academy of Pediatrics.165 World Health Organization. 166 Underwood MA. 167 Young L, Morgan J, McCormick FM, McGuire W. 168

Working Group of Pediatrics Chinese Society Of Parenteral and Enteral Nutrition, Working Group Of Neonatology Chinese Society Of Pediatrics, Working Group Of Neonatal Surgery Chinese Society Of Pediatric Surgery.154 Moyer-Mileur LJ. 155 Koletzko, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R. 153

Corvaglia L, Rotatori R, Ferlini M, Aceti A, Ancora G, Faldella G. 169 Bertino E, Boni L, Rossi C, Coscia A, Giuliani F, Spada E, dkk. 156 Fenton TR, Nasser R, Eliasziw M, Kim JH, Bilan D, Sauve R. 152

698

4.38 Tatalaksana nutrisi parenteral pada neonatus PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TATA LAKSANA NUTRISI PARENTERAL PADA NEONATUS

UKK Neonatologi 2018

No. Dokumen

No. Revisi

Panduan Praktik Klinis

TanggalTerbit/Revisi

Halaman

DITETAPKAN KETUA PP IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia

DEFINISI

Nutrisi parenteral: cara untuk memenuhi persyaratan nutrisi, sebagian atau seluruhnya, untuk pertumbuhan bayi.

INDIKASI

1. Neonatus kurang bulan dengan usia kehamilan kurang dari 30 minggu dengan berat lahir kurang dari 1250 gram. 2. Neonatus yang dicurigai atau pasti mengalami enterokolitis nekrotikans, diperkirakan mendapat nutrisi parenteral total lebih dari tiga hari

KOMPLIKASI

3. Neonatus dengan kasus bedah karena kelainan saluran cerna kongenital dan tidak dapat menerima asupan nutrisi enteral dalam periode lima hari dengan kecukupan 100 mL/kgBB/24jam. 1. Komplikasi yang berkaitan dengan kateter, antara lain sepsis, infeksi kulit lokal dan slough, trombosis dan chylothorax 2. Komplikasi metabolik: hiperglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, asidosis, osteopenia, kerusakan hati dan kolestasis

699

KECUKUPAN NUTRISI PADA NEONATUS KECUKUPAN CAIRAN

Kecukupan nutrisi pada neonatus adalah jumlah asupan adekuat pada bayi baru lahir sesuai dengan grafik pertumbuhan baik intra maupun ekstra uteri. Bertujuan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit pada fase diuresis dan mencegah kehilangan cairan ekstraseluler pada fase pascadiuresis. Jumlah diuresis dipertahankan pada 1-3 mL/kgBB/jam. Jumlah cairan yang diberikan pada fase pradiuresis adalah IWL ditambah jumlah diuresis minimal 1 mL/kgBB/jam.

KECUKUPAN ENERGI

Kebutuhan cairan ditingkatkan 10-20 mL/kgBB/hari sampai 140-160 mL/kgBB/hari pada minggu pertama (fase pascadiuresis), maksimal 200 mL/kgBB/hari pada minggu kedua agar tercapai pertumbuhan optimal intrauterin. Jumlah yang dianjurkan diberikan secara parenteral adalah 90–100 kkal/kg/hari dan secara enteral 115-120 kkal/kg/hari

Rekomendasi nutrisi bayi kurang bulan berdasarkan KECUKUPAN MAKRONUTRIEN evidence-based (Adamkin, 2009)

Karbohidrat Pemberian glukosa pada bayi prematur harus dimulai dalam 24 jam pertama pascalahir dengan kecepatan infus glukosa (glucose infusion rate, GIR) pada usia gestasi <32 minggu 6-8 mg/kgBB/menit dan pada usia gestasi >32 minggu 4-6 mg/kgBB/menit, kemudian ditingkatkan bertahap 1-2 mg/kgBB/menit sampai mencapai kecukupan maksimal dukungan NPT dengan GIR 12-13 mg/kgBB/menit. Dalam pemberian glukosa ini perlu pemantauan terhadap risiko terjadinya hiperglikemi. Kadar gula darah dipertahankan 50-120 mg/dL

700

Protein Pemberian protein 2,5 g/kgBB/hari pada 24 jam pertama pascalahir, ditingkatkan 0,5-1 g/kgBB/hari. Dosis maksimal protein pada minggu pertama adalah 3,5-4 g/kgBB/hari. Untuk 1 g protein membutuhkan 20-25 kkal non protein. Pemberian dosis 1,5 kgBB/hari pada hari pertama pascalahir ditoleransi dengan baik karena dapat memenuhi kecukupan protein, mencegah katabolisme protein, menjaga keseimbangan nitrogen sehingga tercapai peningkatan tumbuh kembang. Manfaat lain adalah meningkatkan toleransi glukosa, mengurangi risiko hiperglikemia melalui sekresi insulin endogen dan glukoneogenesis. Protein dalam sediaan nutrisi neonatus harus mengandung conditionally essential amino acid, yaitu tirosin, sistein, taurin, histidin, glisin, glutamin, dan arginin. Mulai infus asam amino, jika tersedia, pada usia dua hari dengan jumlah 0,5-1,0 g/kg/hari.

KECUKUPAN MIKRONUTRIEN

Lemak Pemberian lipid intravena pada bayi prematur dimulai dalam 24 jam pertama pascalahir dengan dosis 0,5- 1 g/kgBB/hari dinaikkan bertahap sebanyak 0,5-1 g/kgBB/hari sampai mencapai 3-3,5 g/kgBB/hari Elektrolit Kebutuhan natrium (Na) bervariasi pada minggu pertama sebesar 0-3 mEq/kgBB/hari. Setelah terdapat diuresis awal, dapat diberikan natrium (Na) dan kalium (K) dengan dosis 2-3 mEq/kgBB/hari disesuaikan dengan kondisi klinis dan kadar elektrolit. Saat asupan cairan mencapai 150 mL/KgBB/hari, cairan parenteral haruslah mengandung 12.5-15 mmol/L Ca elemental and 13-15 mmol/L Phospor. Kebutuhan Ca, P, dan Mg dalam nutrisi enteral bayi prematur dihitung berdasarkan

701

kandungan komposisi Ca, P, dan Mg dalam ASI dan variabilitas penyerapan elektrolit tersebut berdasarkan usia gestasi (Ca2+:4070 %, P:60-95%, Mg:40%) Trace Elements Besi Penting dalam perkembangan otak fetus dan neonatus Pemberian suplementasi besi untuk BBLSR yang mendapat ASI bila bayi telah memasuki fase pertumbuhan (growing care), umumnya dimulai pada usia 2 minggu dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dan dievaluasi setelah pemberian 3 bulan untuk ditentukan apakah dilanjutkan atau tidak.

KECUKUPAN VITAMIN

Zinc Asupan zinc minimal 1,4-2 mg/kgBB/hari diperlukan untuk mencapai pertumbuhan optimal pada bayi prematur. Rekomendasi terkini untuk asupan zinc enteral pada bayi prematur adalah 1-2 mg/kg/hari atau maksimal 1-3 mg/kg/hari. Vitamin A Dapat menurunkan kematian, kebutuhan oksigen pada 1 bulan, serta kebutuhan oksigen pada usia 36 minggu masa gestasi. Vitamin D Pada bayi yang mendapat ASI eksklusif atau parsial untuk mendapat vitamin D 400 IU/hari selama minimal setahun pertama kehidupan. Bayi yang tidak mendapat ASI juga sebaiknya mendapat suplementasi, sampai 32 fl.oz. (1000 ml) per hari susu formula fortifikasi vitamin D. Vitamin E Diet pada bayi prematur sebaiknya mengandung minimal 1 IU vitamin E/gram asam linoleat, setara ± 0.6 mg δ-

702

NUTRISI PARENTERAL TOTAL

tocopherol/gram polyunsaturated fatty acids (PUFA). Bayi prematur yang mendapat nutrisi enteral dan suplemen multivitamin, di mana asupan setiap harinya mengandung 5 IU vitamin E, mendapat ±5–10 IU/kg/hari vitamin E, tetapi untuk nutrisi parenteral kadarnya lebih rendah. Rute pemberian Pemberian melalui vena sentral lebih diutamakan. Pemasangan akses vena sentral sesuai dengan prosedur baku yang telah ditetapkan. Osmolaritas maksimal untuk akses vena perifer adalah 630 mOsm/L setingkat dengan konsentrasi dekstrosa 12,5%. Nutrisi parenteral tidak boleh terpapar sinar matahari untuk mencegah terbentuknya peroksida yang merusak lipid dan vitamin. Perubahan pemberian asupan parenteral menjadi enteral yang bersumber dari payudara dan/atau puting dapat dimulai dan ditingkatkan secara bertahap, segera setelah bayi menunjukkan refleks mengisap dan menelan yang cukup untuk memperoleh asupan secara oral tanpa mengalami kelelahan atau apnea.

PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Meliputi pemantauan jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek : -

Akseptabilitas

yaitu

penilaian

perbandingan asupan yang masuk secara aktual terhadap preskripsi nutrisi yang direncanakan dokter. -

Toleransi,

meliputi

penilaian

adanya

muntah, diare, residu lambung, food

703

adverse reaction pada pemberian nutrisi enteral atau oral; parameter biokimia dan klinis pada pemberian nutrisi parenteral. -

Efisiensi

yaitu menilai

kenaikan berat

badan Tabel 17. Pemantauan laboratorium terkait pemberian nutrisi pada bayi prematur 154, 155 Hemoglobin dan hematokrit Glukosa serum Elektrolit Ca, Mg dan P darah Trigliserida Fungsi Ginjal Enzim hati Alkalin fosfatase

Nutrisi Parenteral 2-3 x seminggu (sesuai indikasi) Sesuai indikasi 1-3 x seminggu 2-3 x seminggu Saat peningkatan dosis lipid 2-3 x seminggu 1 x seminggu 1 x (nilai baseline)

Jangka panjang: -

Untuk

menilai

pertumbuhan

dan

osteopenia prematuritas DAFTAR RUJUKAN

Fusch C, Jochum F.170 Kashyap S, Ohira-Kist K, Abildskov K, Towers HM, Sahni R, Ramakrishnan R, dkk. 171 Johnson.172 Nutritional&co. 173 Bauer J, Werner C, Gerss J. 174 Embleton ND. 175 Thureen PJ, Hay VW. 176 Poindexter BB, Denne.177 Adamkin DH. 178 Adamkin DH. 179 Velaphi. 180 Kleinman RE, Greer FR. 181 Agostoni C, Buonocore G, Carnielli V, De Curtis M, Darmaun D, Decsi T, dkk. 182 Darlow BA, Graham P. 183

704

Working Group Of Pediatrics Chinese Society Of Parenteral and Enteral Nutrition. 154 Moyer-Mileur LJ. 155

705

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan 1. Pembagian tingkatan kompetensi pada pelayanan neonatus diperlukan dalam sistem Kesehatan Nasional sesuai dengan beberapa Peraturan Menteri Kesehatan yang terkait dengan ini. 2. Tingkatan pelayanan neonatus juga bermanfaat pada sistem pembiayaan kesehatan pada era JKN saat ini 3. Panduan pelayanan neonatal diperlukan sebagai upaya menuju standarisasi terutama dengan lebarnya disparitas jumlah ATM, fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan panduan prosedur yang sama. 4. Inti dari panduan pelayanan neonatal adalah PNPK dan PPK

4.2 Saran 1. Tingkat

kompetensi

pelayanan

neonatus

akan

selalu

berkembang sesuai dengan perkembangan IPTEK, untuk itu revisi panduan pelayanan neonatal harus selalu dilakukan seiring

dengan

berlangsungnya

perkembangan

IPTEK,

khususnya PPK minimal dua tahun sekali. 2. Revisi juga harus dilakukan pada kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang neonatologi seiring dengan perkembangan IPTEK. 3. Revisi dilakukan oleh masing-masing unit layanan neonatus sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, tetapi tetap mengikuti panduan pelayanan neonatal yang disepakati.

706

DAFTAR RUJUKAN

1. Committee on Fetus and Newborn American Academy of Pediatric. Policy Statement: Level of Neonatal Care. Pediatrics. 2004;114(5):1341-47. 2. O’Reilly H. Admission of Newborn babies to the Neonatal Unit. Norfolk and Norwich University Hospital NHS Foundation Trust 2015 [Available from: www.nnuh.nhs.uk/publication/download/admission-to-nicu-ca4068v3. 3. Pilgrim S. Guideline for Discharge from the Neonatal Unit. Mid Essex Hospital Services NHS Trust 2014 [Available from: http://www.meht.nhs.uk/EasysiteWeb /getsource.axd?AssetID=6454&type=full1&servicetype=Attachment. 4. Stark A. Levels of Neonatal Care. Pediatrics 2004;114(5):1341-7. 5. Malarkey M, Kuschel C, Rowley S. Newborn Services Guidelines and Protocols applies to this guideline. Services Clinical Guideline; 2018. 6. Yusna D, Wisnumurti D, Djauharie E, Siswanto J, Kadi F, Irawan G, et al. Stabilisasi Bayi Baru Lahir Pasca Resusitasi di layanan tingkat pertama2016. 7. Ha J, Longnecker N. Doctor-patient communication: a review. Ochsner J. 2010;10:38-43. 8. Kementrian Kesehatan RI. Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Jakarta Kemenkes; 2018. 9. Ballard J, Khoury J, Wedig K, Wang L, Eilers-Walsman B, Lipp R. New Ballard Score, expanded to include extremely premature infants. J Pediatr. 1991;119(3):417-23. 10. McCance D, McNamara M. HSE Guidelines for the Management of Pregestational And Gestational Diabetes Mellitus from Pre-conception to the Postnatal period. 2010:188. 11. Gonzalez NG, Davila EG, Castro A, Padron E, Plasencia W. Effect of pregestational diabetes mellitus on first trimester placental characteristics: three-dimensional placental volume and power Doppler indices. Placenta. 2014;35(3):147-51. 12. Qadir SY, Yasmin T, Fatima I. Maternal and foetal outcome in gestational diabetes. Journal of Ayub Medical College Abbottabad. 2012;24(3-4):17-20. 13. Noctor E, Dunne FP. Type 2 diabetes after gestational diabetes: the influence of changing diagnostic criteria. World journal of diabetes. 2015;6(2):234. 14. Duckitt K, Harrington D. Risk factors for pre-eclampsia at antenatal booking: systematic review of controlled studie. Bmj 2005;330(7491):565. 15. Children's Hospital of Orange Country. Tracheoesophageal fistula/ esophageal atresia care guideline 2016 2016 [Available from: https://www.choc.org/wp/wpcontent/uploads/2016/06/ TracheoesophagealFistula_EsophagealAtresiaCareGuideline.pdf. 16. Mielniczuk M, Kusza K, Brzeziński P, Jakubczyk M, Mielniczuk K, CzerwionkaSzaflarska M. Current guidelines on management of congenital diaphragmatic hernia. Anesthesiol Intensiv Ther. 2012;44(4):232-7. 17. Akangire G, Carter B. Birth injuries in neonates. Pediatrics 2016;37(11):451-62. 18. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku resusitasi neonatus 2017. 19. Wiegersma J, Droogh J, Zijlstra J, Fokkema J, Ligtenberg J. Quality of inter hospital transport of the critically ill: impact of a mobile intensive care unit with a specialized retrieval team. Crit Care. 2011;15:R-75.

707

20. Iwashyna T, Courey A. Guided transfer of critically ill patients: where patients are transferred can be an informed choice. Curr Opin Crit Care. 2011;17:641-7. 21. Lim M, Ratnavel N. A prospective review of adverse events during inter hospital transfer of neonates by a dedicated neonatal transfer service. Pediatr Crit Care Med. 2008;9(289-93). 22. Kendall A, Scott P, Karlsen K. The S.T.A.B.L.E program: the evidence behind the 2012 update. J Perinat Neonat Nurs. 2012;26(2):147-57. 23. McCall E, Alderdice F, Halliday H, Jenins J, Vohra S. Intervention to prevent hypothermia at birth in preterm and/or birth weight infants (review). Cochrane Datab System Rev. 2010(3). 24. Rohana J, Khairinia W, Boo N, Shareena I. Reducing hypothermia in preterm infants with polyethylene wrap. Pediatr Int. 2011;53(468-74). 25. Reimer-Brady J. Legal Issues related to stabilization and transport of the critically ill neonate. J Perinatol Neonat Nurs. 1998;10(3):59-69. 26. Leppala K. Whether near or far transporting the neonate. J Perinatol Neonat Nurs. 2010;24(2):167-71. 27. Taylor R, Price-Douglas W. The S.T.A.B.L.E program: Post resuscitation/ pre transport stabilization care of sick people. J Perinatol Neonat Nurs. 2008;22(2):159-65. 28. Cummings J, Polin R. Oxygen targetting in extremely low birth wieght infants. Pediatrics 2016;138. 29. Wilson A, Martel I, Saskatoon S. Maternal Transport Policy. J Obstet Gynecol Can 2005;27:956-58. 30. Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger K, Nardi A, Langer M. Perinatal mortality and morbidity. Comparison between maternal transport, neonatal transport and inpatient antenatal treatment. Arch Gynecol Obstet 2001;265:113-18. 31. Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P, Buytaerta P, Vlieta J. Intrauterine versus postnatal transport of the preterm infant: a short-distance experience. Early Hum Dev 2001;63:1-7. 32. Woodward G, Insoft R, Pearson-shaver A. The state of pediatric inter-facility transport: Consensus of the second national pediatric and neonatal inter-facility transport medicine leadership conference. Pediatr Emerg Care 2002;1:38-43. 33. Das U, Leuthner S. Preparing the neonate for transport. Pediatr Clin North Am 2004;51:581-98. 34. Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni, Reyes. Effect of a centralised transfer service on characteristics of inter-hospital neonatal transfers. . Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2007;92:185-9. 35. McKay S, Cruickshanks J, Skeoch C. Step by step guide: Transporting neonates safely. J Neonatal Nurs 2003;1:9. 36. Kulshrestha A, Singh J. Interhospital and intrahospital patient transport: recent concept. Indian J. 2016;60:451-7. 37. Fenton A, Leslie A, Skeoch C. Optimising neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal Neonatal 2004;89(F215-9). 38. Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R. Neonatal transport of very low birth weight infants in Jerussalem, revisited. IMAJ 2006;8(477-82). 39. Kumar P, Kumar C, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport-the need of the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2.

708

40. Terrey A, Browning C. Stabilising the newborn for transfer: Basic principles. Aust Fam Physician 2008;37:510. 41. Tingay D, Stewart M, Morley C. Monitoring of end tidal carbon dioxide and transcutaneous carbon dioxide during neonatal transport. . Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2005;90:F523-6. 42. Lilley C, Stewart M, Morley C. Respiratory function monitoring during neonatal emergency transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2005;90:F82-3. 43. Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli C, Rubaltelli F. Early extubation and nasal continuous positive airway pressure after surfactant treatment for respiratory distress syndrome among preterm infants< 30 weeks’ gestation. Pediatrics 2004;113:5603. 44. Fowlie P, Booth P, Skeoch C. Clinical review moving the preterm infant. BMJ. 2004;309:904-6. 45. Cloherty J, Eichenwald E, Hansen A, Stark A. Manual of neonatal care. 7 ed. Philadelphia: Lippincott William Wilkins; 2012 46. Gomella T, Cunningham M, Eyal F. Neonatology, management, procedures, oncall problems, diseases and drugs. 7 ed. Philadelphia: Mc Graw hill; 2013. 47. Queensland Clinical Guidelines. Hypoxic-ischaemic encephalopathy (HIE). Australia : Queensland; 2016. 48. Martinello K, Hart A, Yap S, Mitra S, Robertson N. Management and investigation of neonatal encephalopathy: 2017 update. Arch Dis Child Fetal. 2017:F11-3. 49. Chalak L, Kaiser J. Neonatal guideline hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE). J Ark Med Soc. 2017;104(4):87-9. 50. Slaughter L, Patel A, Slaughter J. Pharmacological Treatment of Neonatal Seizures: A Systematic Review. J Child Neurol. 2013;28(3):351-64. 51. Kanhere S. Recent advances in neonatal seizures. Indian J Pediatr. 2014;81(9):917-25. 52. Sarosa G. Kejang dan Spasme. In: Kosim MS YA, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, editor. Buku ajar neonatologi Edisi ke 4. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014. 53. Hallberg B, Blennow M. Investigations for neonatal seizures. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine. Philadelphia Elsevier 2013. 54. Hamrick S, Zimmermann A. Cerebral Seizures. In: G H, editor. Neonatal Emergencies. Cambridge: Cambridge University Press; 2009. 55. World Health Organization. Guidelines on neonatal seizures. Geneva World Health Organization; 2011. 56. Shellhaas R. Neonatal seizures. In: Polin RA YM, editor. Workbook in Practical Neonatology. Philadelphia: Elsevier Health Sciences; 2015. 57. Priestley J. Experiments and observations on different kinds of air. J Johnson. 1776. 58. Ballot D. Ups and Downs of Oxygen Therapy in Neonatal Care. The United South African Neonatal Association Conference. OR Tambo: University of the Witwatersrand; 2017. 59. Saugstad O. Oxygen and retinopathy of prematurity. J Perinatol. 2006;26(S1):S46. 60. Bancalari E. The Newborn Lung: Neonatology Questions and Controversies EBook: Elsevier Health Sciences; 2012. 61. Wyckoff M, Aziz K, Escobedo M, Kapadia V, Kattwinkel J, Perlman J, et al. Part 13: neonatal resuscitation: 2015 American Heart Association guidelines update for

709

cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation. 2015;132:S543-S60. 62. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) tentang BBLR. Jakarta Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2018. 63. World Health Organization. Oxygen therapy for children: a manual for health workers.2016. 64. Duc G, Sinclair J. Oxygen administration. Effective care of the newborn infant.1992. 65. Saugstad O, Aune D. Optimal oxygenation of extremely low birth weight infants: a meta-analysis and systematic review of the oxygen saturation target studies. Neonatology. 2014;105(1):55-63. 66. Cummings J, Polin R. Oxygen targeting in extremely low birth weight infants. Pediatrics. 2016;138(2). 67. Col S, Maj S, Brig M, Capt G. Controlled FiO2 Therapy to Neonates by Oxygenhood in the Absence of Oxygen Analyzer. Med J Armed Forces India. 2007;63(2):149-53. 68. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi Neonatus. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2014. 69. Organization W. Oxygen therapy for children: a manual for health workers. 2016. 70. Trevisanuto D, Cengio V, Doglioni N, Cavallin F, Zanardo V, Parotto M, et al. Oxygen delivery using a neonatal self-inflating resuscitation bag: effect of oxygen flow. Pediatrics. 2013;131(4):144-9. 71. Wu S. Molecular bases for lung development, injury, and repair. The Newborn Lung: Neonatology Questions and Controversies: Expert Consult-Online and Print: Elsevier Inc. ; 2012 72. Kattwinkel J. Pediatrics AAo, Association AH. Textbook of Neonatal Resuscitation: Am Acad Pediatrics; 2018. 73. Spitzer A, Clark R. ositive-pressure ventilation in the treatment of neonatal lung disease. Assisted Ventilation of the Neonate (Fifth Edition): Elsevier; 2011. 74. Gregory G, Kitterman J, Phibbs R, Tooley W, Hamilton W. Treatment of the idiopathic respiratory-distress syndrome with continuous positive airway pressure. N Engl J Med 1971;284(24):1333-40. 75. Sandri F, Ancora G, Lanzoni A, Tagliabue P, Colnaghi M, Ventura M, et al. Prophylactic nasal continuous positive airways pressure in newborns of 28–31 weeks gestation: multicentre randomised controlled clinical trial. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2004;89(5):F394-F8. 76. Subramaniam P, Ho J, Davis P. Prophylactic nasal continuous positive airway pressure for preventing morbidity and mortality in very preterm infants. Cochrane Database Syst Rev. 2016. 77. Carlo W, Ambalavanan N. Conventional mechanical ventilation: traditional and new strategies. Pedsinreview 1999;20:e177-e26. 78. Hess D, MacIntyre N. Mechanical ventilation In: Hess D, MacIntyre N, Mishoe S, Galvin W, Adams A, editors. Respiratory care. Canada Jones & Baetlett Learning 2012. 79. Donn S, Sinha S. Manual of neonatal respiratory care. Switzerland: Springer International Publishing Switzerland; 2017. 80. Al Hazzani F, Al Alaiyan S, Al Hussein K, Al Saedi S, Al Faleh H, Al Harbi F, et al. Mechanical ventilation in newborn infants: Clinical Practice Guidelines of the Saudi Neonatology Society. J of Clin Neonatology. 2017;6:57-63.

710

81. Carlo W. Prematurity and Intrauterine Growth Restriction. In: Kliegman RM SB, Schor NF, Geme JW, dan Behrman R, editor. Nelson Textbook Of Pediatrics Edisi ke-20. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2016. 82. Intrauterine growth restriction: screening, diagnosis, and management. SOGC clinical practice guideline No. 295 2013. 83. Sharma D, Shastri S, Sharma P. Intrauterine growth restriction: antenatal and postnatal aspects. Clin Med Insights Pediatrics. 2016;10. 84. Damanik S. Klasifikasi bayi menurut berat lahir dan masa gestasi. In: Kosim MS YA, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, editor. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2014. 85. The Royal Children's Hospital Melbourne. Skin to skin care for the newborn 2016 2016 [Available from: https://www.rch.org.au/rchcpg/hospital_clinical_guideline_index/ Skin_to_Skin_Care_for_the_Newborn/. 86. Children's Hospital of Philadelphia. Skin-to-skin for infants: Guidelines for professionals. 87. Conde-Agudelo A, Belizan J, Diaz-Rossello. Kangaroo mother care to reduce morbidity and mortality in low birthweight infants. Cochrane Database Syst Rev 2011;3. 88. Module NTS-l. Interprofessional Education and Research Committee of the Champlain Maternal Newborn Regional Program (CMNRP). 2013:1-16. 89. Rutter N. Temperature control and its disorders. Churchill Livingstone, London2005. 90. Knobel R, Vohra S, CU. L. Heat loss prevention in the delivery room for preterm infants: a national survey of newborn intensive care units. J Perinatol. 2005;25(8):514. 91. Lyon A, Puschner P. Thermo monitoring. wwwdragercom. 1998. 92. WHO, UNICEF. Managing newborn problems: a guide for doctors, nurses, and midwives. 2003. 93. Waldron S, MacKinnon R. Neonatal thermoregulation. Infant. 2007;3:101-4. 94. Knobel-Dail R. Role of effective thermoregulation in premature neonates. Res Rep Neonatol. 2014;4:147-56. 95. Women and Newborn Health Service Neonatal Directorate Western Australia. Thermoregulation. Australia: Government of Western Australia North Metropolitan Health Service 2018. 96. WHO. WHO recommendation on Newborn health. WHO; 2017. 97. Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. Survival and outcome of very low birth weight infants born in a university hospital with level II NICU. J Med Assoc Thai. 2007;90(7):1323. 98. Resuscitation ILCo. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) consensus on science with treatment recommendations for pediatric and neonatal patients: pediatric basic and advanced life support. Pediatrics. 2006;117(5):955-77. 99. McCormick M, Cooper P. Managing newborn problems: a guide for doctors, nurses, and midwives. World Health Organization; 2003. 100. Queensland Clinical Guidelines. Newborn hypoglycaemia. Australia Queensland 2013. 101. USCF Children's Hospital. Neonatal hypoglycemia [Available from: https://www.ucsfbenioffchildrens.org/pdf/manuals/52_Hypoglycemia.pdf. 102. Thompson-Branch A, Havranek T. Neonatal hypoglycemia. Pediatrics. 2017;38(4).

711

103. Sweet C, Grayson S, Polak M. Management strategies for neonatal hypoglycemia. J Pediatr Pharmacol Ther. 2013;18(3):199-208. 104. Thornton P, Stanley C, De Leon D, Harris D, Haymond M, Hussain K, et al. Recommendations from the Pediatric Endocrine Society for Evaluation and Management of Persistent Hypoglycemia in Neonates, Infants, and children. 167. 2015;2(238-45). 105. Bhutani V, Johnson L, Sivieri E. Predictive ability of a predischarge hour-specific serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy term and nearterm newborns. Pediatrics. 1999;103(1):6-14. 106. Excellence NIfC. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health. Caesarean section: clinical guideline. 2003. 107. Muchowski K. Evaluation and treatment of neonatal hyperbilirubinemia. Am Fam Physician. 2014;89(11):873-8. 108. Maisels M, Bhutani V, Bogen D, Newman T, Stark A, Watchko J. Hyperbilirubinemia in the newborn infant ≥ 35 weeks’ gestation: an update with clarifications. Pediatrics. 2009;124(4):1193-8. 109. Hamidi M, Aliakbari F. Comparison of Phototherapy with light-editing diodes (LED) and Conventional Phototherapy (fluorescent lamps) in Reducing Jaundice in Term and Preterm Newborns. Middle East J Fam Med 2018;7(10):123. 110. Kaplan M, Merlob P, Regev R. Israel guidelines for the management of neonatal hyperbilirubinemia and prevention of kernicterus. J Perinatol. 2008;28(6):389. 111. Maisels M. Managing the jaundiced newborn: a persistent challenge. Canadian Medical Association Journal. 2015;187(5):335-43. 112. von_Lindern J, Lopriore E. Management and preventionof neonatal anemia: current evidence and guidelines. Expert Rev Hematol. 2014;7(2):195-202. 113. New H, Berryman J, Bolton-Maggs PC, C , Chalmers E, Davies T, dkk. Guidelines on transfusion for fetuses, neonates and older children. Br J Haematol. 2016;175(5):784-828. 114. Neonatal guidelines 2017-19: the bedside clinical guidelines partnership in association with the Staffordshire Shropshire and Black Country, Southern West Midlands Neonatal; 2017 [Available from: kids.bch.nhs.uk/wp-content/uploads/2017/05/neonatalguidelines-2015-17.pdf. 115. Colombatti R, Sainati L, Trevisanuto D. Anemia and transfusion in the neonate. Semin Fetal Neonatal Med. 2015:1-8. 116. Robert I, Murray N. Hematology. In: Rennej J, editor. Robertson's textbook of neonatology: Elsevier 2005. p. 739-51. 117. WC, Glader B. Erytrochyte disorders in infancy. In: Taueusch H, Balard R, Gleaseon C, editors. Avery's disease of the newborn. 8th Edition. Philadelphia: Elsevier; 2005. p. 1203-7. 118. Jones L, Schwartz A, David B. The blood and hematopoetic system. In: Fannarof A, Martin R, editors. Neonatal-perinatal medicine disease of the fetus and infant. 6th Edition. St Louis: Mosby Year Book; 1997. p. 1201-23. 119. Watchko J. Common hematologic problems in the newborn nursery. Pediatr Clin North Am. 2015;62(2):509-24. 120. Celik I, Demirel G, Canpolat F, Dilmen U. A common problem for neonatal intensive care units: late preterm infants, a prospective study with term controls in a large perinatal center. J Matern-Fetal Neonatal Med. 2013;26:459-62. 121. Guideline. NSC. Neonatal thrombocytopenia. Available from: http://wwwadhbgovtnz/newborn/Guidelines/

712

Blood/Platelets/NeonatalThrombocytopeniahtm 122. Newborn Services Clinical Guideline. Neonatal thrombocytopenia [Available from: http://www.adhb.govt.nz/newborn/Guidelines/ Blood/Platelets/NeonatalThrombocytopenia.htm. 123. Brahim E, Lamia K, Badr S. Newborn haemorrhagic disorders: about 30 cases. Pan Afr Med J. 2017;28:150. 124. Waseem M. Vitamin K and haemorrhagic disease of newborns. South Med J. 2006;99(11). 125. Sandy C. Haemorrhagic disease of newborns (review). University of IllinoisChicago, College of Medicine. 2016. 126. Costello R, Nehring S. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC): StatPearls Publisihing LCC; 2018. 127. Vincent J, De Backer D. Does disseminated intravascular coagulation lead to multiple organ failure? Crit Care Clin. 2005;21:469-77. 128. Papageorgiou C, Jourdi G, Adjambri E, Walborn A, Patel P, Fareed J, et al. Disseminated Intravascular Coagulation: An Update on Pathogenesis, Diagnosis, and Therapeutic Strategies. . Clin Appl Thromb Hemost. 2018;24:8S-28S. 129. Ramasethu J. Prevention and treatment of neonatal nosocomial infection. Matern Health Neonatol Perinatol. 2017;3:5. 130. Authority. WRH. Infection Prevention for Newborns in Neonatal Areas. Available from: http://wwwwrhambca/extranet/eipt/files/EIPT-035-014pdf. 2015. 131. Polin R, Denson S, Brady MCoF, Newborn., D. CoI. Strategies for prevention of health care-associated infections in the NICU. Pediatrics. 2012;129(4)(e1085-93). 132. Brady M, Polin R. Prevention and Management of Infants With Suspected or Proven Neonatal Sepsis. Pediatrics. 2012;132(1):166-8. 133. Rohsiswatmo R, Nisa S. Manajemen Komprehensif dan Terapi Antibiotik pada Sepsis Neonatorum. Dalam: Update on Management of Neonatal Infection. 2017;pp:3342. 134. Wandita SPIpNdI. Problem Infeksi pada Neonatus di Indonesia. Dalam: Update on Management of Neonatal Infection. 2017:pp1-16. 135. Lusyati S, Sauer P. Sepsis Neonatal di NICU RSAB Harapan Kita Jakarta. Sari Pediatri. 30 Nov 2017;9(3):173-7. 136. Mustarim. Faktor Risiko dan Pencegahan Komplikasi Sepsis Neonatal. 2017:pp134-42. 137. Shane A, Sanchez P, Stoll JNSJoi-. Neonatal Sepsis. Journal of inf. 2017;(17):1-11. 138. Gebremedhin D, Berhe H, Gebrekirstos K. Risk Factors for Neonatal Sepsis in Public Horpitals of Mekelle City, North Ethiopia. Unmatched Case Control Study PLoS One2016. 2015. 139. Kung Y, Hsieh Y, Weng Y, et a. Risk Factors of Late-onset Neonatal Sepsis in Taiwan: A matched case-control study. J Microbiol Immunol InfectScience Direct. 2016:430-5. 140. Hendrarto W. Bagaimana Mendiagnosis Dini Sepsis Neonatorum? Dalam: Update on Management of Neonatal Infection. 2017:pp17-23. 141. Wibowo T. Pemeriksaan Darah pada Sepsis Neonatorum. Dalam: Update on Management of Neonatal Infection. 2017:pp24-32.

713

142. Organization. WH. Antibiotic use for sepsis in neonates and children: 2016 evidence update. Geneva: World Health Organization. 2016. 143. Aggarwal R, Sarkar N, Deorari A, Paul V. Sepsis in the Newborn. Indian J Pediatr. 2001;68(12):1143-7. 144. Organization. WH. Shock in newborn. Available from: http://wwwnewbornwhoccorg/STPs/STP_Shock_Pre-Finalpdf 145. Davis A, Carcillo J, Aneja R, Deymann A, Lin J, Nguyen T, et al. American College of Critical Care Medicine clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal septic shock. CCM. 2017;45(6)(1063-93). 146. Semberova. Spontaneous closure of patent ductus arteriosus in infants 1500g. Pediatrics. 2017;140(2). 147. Terrin G. Paracetamol for the treatment of patent ductus arteriosus in preterm neonates: a systematic review and meta-analysis. Arch Dis Child Fetal Neonatal 2016;101. 148. Ohlsson A, Walia R, Shah S. Ibuprofen for the treatment of patent ductus arteriosus in preterm or low birth weight (or both) infants. Cochrane Database Syst Rev 2015. 149. Suradi R, Hegar B, Partiwi I, Marzuki A, Ananta Y. Indonesia menyusui. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010. 150. Besar S, Eveline N. Air susu ibu dan hak bayi. In: Pratiwi IGAN PJ, editor. Bedah ASI. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. 151. UKK Neonatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Kadim M, Roeslani R, Nurmalia L. Konsensus asuhan nutrisi pada bayi prematur. Jakarta Ikatan Dokter Anak Indonesia 2016. 152. Fenton T, Nasser R, Eliasziw M, Kim J, Bilan D, Sauve R. Validating the weight gain of preterm infants between the reference growth curve of the janin and the term infant. BMC Pediatr. 2013;13:92. 153. Koletzko B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R. uidelines on paediatric parenteral nutrition of the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) and the European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN), Supported by the European Society of Paediatric Research (ESPR). J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005;41(2):1-87. 154. Working Group of Pediatrics Chinese Society Of Parenteral and Enteral Nutrition, Working Group Of Neonatology Chinese Society Of Pediatrics, Working Group Of Neonatal Surgery Chinese Society Of Pediatric Surgery. CSPEN guidelines for nutrition support in neonates. Asia Pac J Clin Nutr. 2013;22:655-63. 155. Moyer-Mileur L. Anthropometric and laboratory assessment of very low birth weight infants: the most helpful measurements and why. Semin perinatol. 2007;31(2):96103. 156. Bertino E, Boni L, Rossi C, Coscia A, Giuliani F, Spada E, et al. Evaluation of postnatal growth in very low birth weight infants: A neonatologist's dilemma. Pediatr Endocrinol Rev. 2008;6(9-13). 157. Lester B, Andreozzi-Fontaine L, Tronick E, Bigsby R. Assessment and Evaluation of the High Risk Neonate: The NICU Network Neurobehavioral Scale. . JOVE 2014;90:1-9. 158. Rauter S, Messler S, Steven D. Neonatal golden hour-intervention to improve quality of care of ELBW. SD Med 2014;67:397-403.

714

159. Karlsen K. The STABLE program: pre-transport/post-resuscitation stabilization care of sick infants, guidelines for neonatal healthcare providers. 2006. 160. Castrodale V, Rinehart S. The golden hour: improving the stabilization of the very low birth-weight infant. Adv Neonatal Care 2014;14:9-14. 161. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. 162. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi neonatus. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013. 163. Sjarif D, Rohsiswatmo R, Rundjan L, Yuliarti K. Panduan berbasis bukti asuhan nutrisi untuk bayi prematur2015. 164. Agostoni C, Buonocore G, Carnielli V. Enteral nutrient supply for preterm infants: commentary from the European Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50(85-91). 165. American Academy of Pediatrics. Section on breastfeeding: Breastfeeding and the use of human milk. Pediatrics. 2012;129:827-41. 166. World Health Organization. Optimal feeding of low-birth-weight infants: technical review. Switzerland: WHO; 2006. 167. Underwood M. Human milk for the premature infant. Pediatr Clin North Am 2013;60:189-207. 168. Young L, Morgan J, McCormick F, McGuire W. Nutrient-enriched formula versus standard term formula for preterm infants following hospital discharge. Cochrane Database Syst Rev 2012 3. 169. Corvaglia L, Rotatori R, Ferlini M, Aceti A, Ancora G, Faldella G. he effect of body positioning on gastroesophageal reflux in premature infants: Evaluation by combined impedance and pH monitoring. J Pediatr 2007;151:591-6. 170. Fusch C, Jochum F. Water, sodium, potassium and chloride. . Karger Publisher. 2014(p.99-120). 171. Kashyap S, Ohira-Kist K, Abildskov K, Towers H, Sahni R, Ramakrishnan R, et al. Effects of quality of energy intake on growth and metabolic response of enterally fed lowbirth-weight infants. Pediatr Res. 2001;50(3):390. 172. Johnson PRomipnfnicpNN-. Review of macronutrients in parenteral nutrition for neonatal intensive care population. NN. 2014;33(1):29-34. 173. Nutrition C. Nutritional needs of the preterm infant. In: Kleinrnan RE e, editor. .Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2009. 174. Bauer J, Werner C, Gerss J. Metabolic rate analysis of healthy preterm and fullterm infants during the first weeks of life Am J Clin Nutr. 2009;90(6):1517-24. 175. Embleton N. Optimal protein and energy intakes in preterm infants. Early Hum Dev. 2007;83(12):831-7. 176. Thureen P. Early aggressive nutrition in the neonate. Pediatr Rev. 1999;20(9):e45e55. 177. Denne S. editor Protein and energy requirements in preterm infants. Semin Fetal. 2001;Elsevier. 178. Adamkin D. Pragmatic approach to in-hospital nutrition in high-risk neonates. J Perinatol. 2005;25(S2):S7. 179. Adamkin D. Nutrition management of the very low-birth weight infant. Total parenteral nutrition and minimal enteral nutrition Neonatology Reviews. 2006;7:e602-e7.

715

180. Velaphi S. Nutritional requirements and parenteral nutrition in preterm infants. South African Journal of Clinical Nutrition. 2011;24(3):S27-S31. 181. Kleinman R, Greer F. Nutritional needs of the preterm infant. In: Kleinman RE GF, editors., editor. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics2014. 182. Agostoni C, Buonocore G, Carnielli VDC, M., Darmaun D, Decsi T, et a. ESPGHAN Committee on Nutrition. Enteral nutrient supply for preterm infants: commentary from the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50(1):85-91. 183. Darlow B, Graham P. Vitamin A supplementation to prevent mortality and shortand long-term morbidity in very low birthweight infants. Cochrane Database Syst Rev. 2011;10:(10).

716

Lampiran 1. Kodifikasi diagnosis dan prosedur neonatologi ICD-9 CM, Neonatal Procedures Coding

Chapter

Code

Type of Procedure

0

00

Procedures and interventions, not elsewhere classified

00.12

Administration of inhaled nitric Significant, major oxide Nitric oxide therapy 


IV

00.17

Infusion of vasopressor agent 


Significant, major Diagnostic procedures on spinal Significant, minor cord and spinal canal structures

III, IV

03.39

Other diagnostic procedures on Significant, spinal cord and spinal canal minor structures

II, III, IV

19

Reconstructive operations on Significant, major middle ear Signifiant, Other tympanoplasty major Significant, Operation on nasal sinus major Other operation on nasal sinuses Significant, major Significant, Incision of chest wall and pleura Excludes: that as operative major approach --omit code Incision of chest wall Extrapleural drainage

II, III, IV

Reopening of recent thoracotomy Significant, major site: Insertion of intercostal catheter for drainage, - chest tube - Closed chest drainage - Revision of intercostal catheter

IV

03

19

03.3

19.5 22 22.9 34

34.0

34.03

Classification

Level of Competency: Level I, basic Level II, specialist Level III, subspecialist Level IV, subspecialist advance

II, III, IV

II, III, IV II, III, IV II, III, IV IV

717

38

38.8 38.85 38.9 38.91 38.92 38.93 38.94 38.98 38.99

39

39.92

54

54.9 54.91

57 57.1 57.17

67 67.32 75

75.32

88

88.7 88.71 88.72

88.78 89

Incision, excision, and occlusion of vesels Other surgical occlusion of vessels, thoracic vessels Puncture of vessel: Arterial catheterization Umbilical vein catheterization Venous catheterization, not elsewhere classified Venous cutdown
 Other puncture of artery Other puncture of vein → ®Phlebotomy

Significant, major Significanti, major

Minor Minor Significant, major Minor

Significant, minor Minor Minor Injecting sclerosing agent into Significant, major vein Other operations of abdominal region Percutaneous abdominal Significant, minor drainage Paracentesis Operation on urinary bladder Cystostomy Percutaneous cystostomy Minor - Closed cystostomy Minor - Percutaneous suprapubic cystostomy Operation on cervix Destruction of lesion of cervix by Significant, minor cauterization Significant, Cardiotopography Minor Diagnostic ultrasound, includes Significant, echography minor Head and neck - Determination of midline Significant, shift of brain minor - EEG Echocardiography Significant, Diagnostic ultrasound of gravid minor Significant, uterus minor Interview, evaluation, Minor consultation and examination

IV

I*), II, III, IV III, IV I*), II, III, IV II, III, IV II, III, IV III, IV II, III, IV *) Emergency

procedure

II, III, IV

II, III, IV*) *) Emergency procedure

II, III, IV II, III, IV

II, III, IV III, IV III, IV III, IV III, IV

I, II, III, IV

718

89.0 89.1 89.13

89.5 89.50 89.51

93

Significant, minor Minor

I, II, III, IV I, II, III, IV

Minor

Other non-operative cardiac and Minor vascular diagnostic procedures Ambulatory cardiac monitoring Minor (pulse oximetry) ECG

II, III, IV I*), II, III, IV III, IV *) Emergency procedure

89.7

General physical examination

Minor

I, II, III, IV

93.84

Music therapy on premature infants Respiratory therapy Non-invasive ventilation Invasive ventilation Respiratory medication administered by nebulizer (mist therapy) Other oxygen enrichment (oxygen therapy) Low Flow High Flow

Minor

II, III, IV

Significant, major Significant, major Significant, major

I*), II, III, IV I*), II, III, IV II*), III, IV

93.9 93.90 93.91 93.94 93.96

94 94.1 95

Diagnostic interview, consultation and evaluation Anatomic and physiologic measurement and manual examination, anthropometry Neurologic examination, Ballard score

95.4 95.42

96 96.01 96.02 96.05 96.07 96.08 96.09 96.55

Minor

Significant, major Physiologic evaluation and testing Minor Psychiatric interview, consultations, and evaluations Non-operative procedures related to hearing Minor Oto Acoustic Emission (OAE) Non-operative intubation and irrigation Insertion of nasopharyngeal airway Insertion of oropharyngeal airway, include laryngeal mask airway (LMA) Other intubation and extubation of respiratory Tract Insertion of other (naso/ oro-) gastric tube

II, III, IV II*), III, IV *) Emergency procedure

I*, II, III, IV

II, III, IV

Minor

I*), II, III, IV

Significant, minor Significant, minor

I*), II, III, IV I*), II, III, IV

Minor

II, III, IV II, III, IV II, III, IV

Minor

I*), II, III, IV

719

96.6 96.7 96.70

97 97.0 97.01 97.02 97.03 97.04

97.3 97.37 97.4 97.41 97.5 97.51 97.52

Insertion of other (naso/ oro-) intestinal tube Insertion of rectal tube Tracheostomy toilette Enteral infusion of concentrated nutritional substances Other continuous invasive ventilation Continuous invasive mechanical ventilation of unspecified duration ® Continuous invasive mechanical ventilation for less than 96 consecutive hours ® Continuous invasive mechanical ventilation for 96 consecutive hours or more ® Replacement and removal of therapeutic appliances Non-operative replacement of gastrointestinal appliance Replacement of (naso/ oro)gastric or esophagostomy tube
 jReplacement of gastrostomy tube
 Replacement of tube or enterostomy device of small intestine Replacement of tube or enterostomy device of large intestine Nonoperative removal of therapeutic device from head and neck Removal of tracheostomy tube Nonoperative removal of therapeutic device from thorax Removal of thoracotomy tube or pleural cavity drain Nonoperative removal of therapeutic device from digestive system Removal of gastrostomy tube Removal of tube from small intestine

Minor Minor

II, III, IV

Minor

III, IV

Significant, major Significant, major Significant, major

II, III, IV III, IV

Significant, major

Minor

II, III, IV

Minor

II, III, IV

Minor Minor

II, III, IV II, III, IV

Minor

II, III, IV

Minor

II, III, IV

Minor

II, III, IV

Minor

II, III, IV

Minor

II, III, IV

Minor

II, III, IV

Minor Minor

II, III, IV II, III, IV

720

97.6 97.63 97.64

99

99.0

99.00 99.01 99.02 99.03

99.04 99.05 99.06 99.07 99.08

Non-operative removal of therapeutic device from urinary Minor system Minor Removal of cystostomy tube 
 Removal of indwelling urinary Minor catheter 
 Other non-operative procedures Transfusion of blood and blood components Use additional code for that done via catheter or cutdown (38.9238.94) Perioperative autologous transfusion of whole blood or blood components Exchange transfusion Transfusion: exsanguination replacement Transfusion of previously collected autologous blood Blood component Other transfusion of whole blood Transfusion: blood hemodilution Transfusion of packed cells Transfusion of platelets Transfusion of thrombocytes Transfusion of coagulation factors Transfusion of anti-hemophilic factor Transfusion of other serum Transfusion of plasma Transfusion of blood expander Transfusion of Dextran

Significant, minor

Significant, minor Significant, minor

II, III, IV II, III, IV II, III, IV

II, III, IV

II, III, IV II*), III, IV II, III, IV

Significant, minor

II, III, IV

Significant, minor

II, III, IV

Significant, minor Significant, minor Significant, minor

II, III, IV II, III, IV II, III, IV II, III, IV *) Emergency procedure

Significant, minor Significant, minor

99.1 99.15

Injection or infusion of therapeutic or prophylactic substance Parenteral infusion of concentrated nutritional

Significant, minor Significant, minor

II, III, IV II, III, IV

721

99.17 99.18 99.19

99.2 99.21 99.22 99.23

99.3

substances . Hyperalimentation
 . Total parenteral nutrition [TPN] Significant, Peripheral parenteral minor nutrition [PPN] 
 Significant, Injection of insulin 
 minor Injection or infusion of Significant, minor electrolytes 
 Injection of anticoagulant 
 Injection or infusion of other therapeutic or prophylactic substance ® Injection of antibiotic Injection of other anti- infective Injection of steroid

Significant, minor

Significant, minor Significant, minor Significant, minor Prophylactic vaccination and Minor inoculation against certain bacterial diseases

II, III, IV II, III, IV II, III, IV

II, III, IV I*), II, III, IV I*, II, III, IV II, III, IV *) Emergency procedure

I, II, III, IV

99.4

Prophylactic vaccination and Minor inoculation against certain viral diseases

I, II, III, IV

99.5 99.56

Other vaccination and inoculation Minor Administration of tetanus/ diphteri antitoxin 


I, II, III, IV

99.6 99.60

Conversion of cardiac rhythm Cardiopulmonary resuscitation, not otherwise specified (NOS) Other electric counter shock of heart Cardioversion: . NOS . external
Conversion to sinus rhythm . Defibrillation
External electrode stimulation Closed chest cardiac massage . Cardiac massage NOS
 . Manual external cardiac massage 


99.62

99.63

Significant, major Significant, major

I, II, III, IV I, II, III, IV II, III, IV

Significant, minor

I, II, III, IV Significant, minor

722

99.8 99.81 99.83 99.84

99.9 99.98

Miscellaneous physical procedures Hypothermia (central) (local) Other phototherapy: Phototherapy of the newborn Isolation . Isolation after contact with infectious disease . Protection of individual from his surroundings/ surroundings from individual


Significant, major Significant, minor Minor

Other miscellaneous procedures Minor Extraction of milk from lactating breast


II*), III, IV I, II, III, IV I, II, III, IV

*) Emergency

procedure

I, II, III, IV

723

Start DRG LOS <5d And Discharge type = Died or Transfer

Yes

2501 or 2502

Yes

Sign or Maj Procedure (AX15PBX or 15PDX)

2503 or 2504

No Yes Minor Procedure No

(AX15PCX) or Other procedure for newborn

No Died Discharge type

2505

(8, 9)

Transfer (4)

Cardiothoracic procedure (AX25PEX)

2506 2512 9

Yes Adm weight ≥2500 g or age ≤28 days without weight adm

Sign Procedure (AX15PBX)

Yes

Maj Procedure

2507

2508

(AX15PDX) No Yes

Minor Procedure (AX15PCX)

Yes

Other Procedure

2509

2510

For Newborn

1

724

1 Yes Adm weight ≥2000 g

Sign Procedure

2512

(AX15PBX) Yes

Maj Procedure

2513

(AX15PDX) No

Yes Minor Procedure

2514

(AX15PCX) Yes

Other Procedure

2515

For Newborn Yes

Sign Procedure

xxxx

(AX15PBX) Adm weight ≥1800 g Yes

Maj Procedure

xxxx

(AX15PDX) No Yes

Minor Procedure

xxxx

(AX15PCX)

Yes

Other Procedure

xxxx

For Newborn

Yes

Sign Procedure

xxxx

(AX15PBX)

Yes No

Adm weight ≥1000 g

Maj Procedure

xxxx

(AX15PDX)

Yes

Minor Procedure

xxxx

(AX15PCX)

Yes

Other Procedure For Newborn

xxxx

2 725

xxxx

Sign Procedure Adm weight ≥700 g

(AX15PBX)

Maj Procedure

2

xxxx

(AX15PDX)

xxxx

Minor Procedure (AX15PCX)

xxxx

Other Procedure

3

Sign Procedure (AX15PBX)

For Newborn

PDx and SDx Major CC or > 1 SDx Major CC (AX25BX

DRG 25033 DRG 25032

Maj Procedure (AX15PDX)

Minor Procedure

xxxx

xxxx

(AX15PCX)

Other Procedure

xxxx

For Newborn

STOP

726

727

ICD-10 Neonatal Diseases Coding Code A33 P000 P001 P002 P003 P004 P005 P006 P007 P008 P009 P010 P011 P012 P013 P014 P015 P016 P017 P018 P019 P020 P021 P022 P023 P024 P025 P026 P027 P028 P029 P030 P031 P032 P033 P034 P035 P036 P038 P039 P040 P041 P042 P043 P044 P045 P046 P048

Description Tetanus neonatorum Fetus & newborn aff by mat H/T disrd Fetus & newborn aff by mat urinary dis Fetus & newborn aff by mat infect dis Fetus newborn aff oth mat circ resp dis Fetus & newborn aff mat nutrit disrd Fetus & newborn aff by maternal injury Fetus & newborn aff by maternal surgery Fetus newborn aff oth mat med proc NEC Fetus & newborn aff by oth mat cond Fetus & newborn affected by mat cond NOS Fetus & newborn aff incompetent cervix Fetus & newborn affected by PROM Fetus & newborn aff oligohydramnios Fetus & newborn aff polyhydramnios Fetus & newborn aff by ectop pregnancy Fetus & newborn aff by multiple preg Fetus & newborn aff by maternal death Fetus newborn aff malpres before labour Fetus & newborn aff by oth mat comp preg Fetus & newborn aff by mat comp preg NOS Fetus & newborn aff by placenta praevia Fetus & newborn aff oth placnt sep haem Fetus aff oth morph fn abn placenta Fetus & newborn aff placnt transfn syndr Fetus & newborn aff by prolapsed cord Fetus newborn aff oth compression umb Fetus & newborn aff oth cond umb cord Fetus & newborn aff by chorioamnionitis Fetus & newborn aff by oth abn membranes Fetus & newborn by aff abn membranes NOS Fetus & newborn aff by breech delivery Fetus newborn aff oth malpres in labour Fetus & newborn aff by forceps delivery Fetus & newborn aff by vacuum extract Fetus & newborn aff caesarean delivery Fetus & newborn aff precipitate delivery Fetus newborn aff abn uterine contrctn Fetus newborn aff oth spec comp labour Fetus newborn aff comp labour delv NOS Fetus & newborn aff mat anaes analgesia Fetus newborn aff oth mat medication Fetus & newborn aff by mat use of tobacco Fetus & newborn aff by mat use of alc Fetus & newborn aff by mat use of drug of addiction Fetus & newborn aff by mat use of nutri chem subs Fetus & newborn aff by mat exposure to envir chem subs Fetus & newborn aff by oth mat noxious influ

728

P049 P050 P051 P052 P059 P070 P071 P072 P073 P080 P081 P082 P100 P101 P102 P103 P104 P108 P109 P110 P111 P112 P113 P114 P115 P119 P120 P121 P122 P123 P124 P128 P129 P130 P131 P132 P133 P134 P138 P139 P140 P141 P142 P143 P148 P149 P150 P151 P152 P153 P154

Fetus & newborn aff by mat noxious influ unspec Light for gestational age Small for gestational age Fet malnutrit w/o mention light or small for gestational age Slow fetal growth, unspecified Extremely low birth weight Other low birth weight Extreme immaturity Other preterm infants Exceptionally large baby Other heavy for gestational age infants Post- term infant, not heavy for gest age Subdural hemorrhage d/t birth inj Cerebral hemorrhage d/t birth inj Intraventr hemorrhage d/t birth inj Subarch hem d/t birth inj Tentorial tear d/t birth inj Oth intracr lacerations & hemorrhages dt birth inj Unsp intracr lacerations & hemorrhages dt birth inj Cerebral edema dt birth inj Oth specified brain damage d/t birth inj Unspecified brain damage d/t birth inj Birth inj to facial nerve Birth inj to other cranial nerves Birth inj to spine & spinal cord Birth inj to CNS; unspec Cephalhematoma d/t birth inj Chignon d/t birth inj Epicranial subaponeurotic hemorrhage d/t birth inj Bruising of scalp d/t birth inj Monitoring inj of scalp of newborn Other birth inj to scalp Birth inj to scalp, unspec Fracture of skull d/t birth inj Other birth inj to skull Birth inj to femur Birth inj to other long bones Fracture of clavicle d/t birth inj Birth inj to oth prt of skeleton Birth inj to skeleton, unspec Erb’s paralysis d/t birth inj Klumpke’s paralysis d/t birth inj Phrenic nerve paralysis d/t birth inj Other brachial plexus birth inj Birth inj to oth parts of periph nerv sys Birth inj to oth parts of periph nerv sys, unspec Birth inj to liver Birth inj to spleen Sternomastoid inj d/t birth inj Birth inj to eye Birth inj to face

729

P155 P156 P158 P159 P200 P201 P209 P210 P211 P219 P220 P221 P228 P229 P230 P231 P232 P233 P234 P235 P236 P238 P239 P240 P241 P242 P243 P248 P249 P250 P251 P252 P253 P258 P260 P261 P268 P269 P270 P271 P278 P279 P280 P281 P282 P283 P284 P285 P288 P289 P290

Birth inj to external genitalia Subcutaneous fat necrosis d/t birth inj Other specified birth inj Birth inj, unspecified Intrauterine hypoxia first noticed before onset of labor Intrauterine hypoxia first noticed dur onset of labor Intrauterine hypoxia, unspec Severe birth asphyxia Mild & moderate birth asphyxia Birth asphyxia, unspecified Resp distress syndrome of newborn Transient tachypnea of newborn Other resp distress of newborn Resp distress of newborn, unspec Congen pneumonia d/t viral agent Congen pneumonia d/t Chlamydia Congen pneumonia d/t staphylococcus Congen pneumonia d/t streptococcus gr B Congen pneumonia d/t E. coli Congen pneumonia d/t Pseudomonas Congen pneumonia d/t other tract agents Congen pneumonia d/t other organisms Congen pneumonia, unspec Neonatal aspiration of meconium Neonatal aspiration of amniotic fluid & mucus Neonatal aspiration of blood Neonatal aspiration of milk & regurgitated food Other neonatal aspiration syndromes Neonatal aspiration syndrome, unspec Interstitial emphysema orig in perinatal period Pneumothorax originating in perinat period Penumomediastinum orig in perinat period Penumopericardium orig in perinat period Oth conds rel interstit emphys orig in perinat period Tracheobronchial hemorr orig in perinat period Massive pulm hemorr orig in perinat period Oth pulm hemorr orig in perinat period Unspec pulm hemorr orig in perinat period Wilson-Mikity syndrome Bronchopulmonay dysplasia orig in perinat period Oth chronic resp dis orig in perinat period Unspec chr resp dis orig in perinat period Primary athelectasis of newborn Other & unspec atelectasis of newborn Cyanotic attacks of newborn Primary sleep apnea of newborn Other apnea of newborn Respiratory failure of newborn Oth specified resp conds of newborn Resp condition of newborn, unspec Neonatal cardiac failure

730

P291 P292 P293 P294 P298 P299 P350 P351 P352 P353 P358 P359 P360 P361 P362 P363 P364 P365 P366 P369 P370 P371 P372 P373 P374 P375 P378 P379 P38 P390 P391 P392 P393 P394 P398 P399 P500 P501 P502 P503 P504 P505 P508 P509 P510 P518 P519 P520 P521 P522 P523

Neonatal cardiac dysrhythmia Neonatal hypertension Persistent fetal circulation Transient myocardial ischemia of newborn Oth cardiovascular dis orig in perinat period Cardiovascular dis orig in periat period unsp Congenital rubella syndrome Congenital cytomegalovirus infection Congenital herpesviral inf Congenital viral hepatits Other congen viral diseases Congen viral disease, unspec Sepsis of newborn d/t sterptococcus, gr B Sepsis of newborn d/t oth & unspec sterptococci Sepsis of newborn d/t Staphylococcus aureus Sepsis of newborn d/t oth & unspec staphylococci Sepsis of newborn d/t E coli Sepsis of newborn d/t anaerobs Other bacterial sepsis of newborn Bacterial sepsis of newborn, unspec Congenital tuberculosis Congenital toxoplasmosis Neonatal (disseminated) listeriosis Congenital falciparum malaria Other congenital malaria Neonatal candidiasis Oth spec cingen inf & parasitic dis Congen inf or parasitic disease, unspec Omphalitis of newborn w or w/o mild hemorr Neonatal infective mastitis Neonatal conjunctivitis & dacryocystitis Intra-amniotic infection of fetus , NEC Neonatal urinary tract infection Neonatal skin infection Oth spec inf specific to the perinatal period Infectn specific to the perinatal period, unspec Fetal blood loss from vasa previa Fetal blood loss from ruptured cord Fetal blood loss from placenta Hemorrhage into co-twin Hemorrhage into maternal circulation Fetal blood loss from cut end of co-twin’s cord Other fetal blood loss Fetal blood loss, unspecified Massive umbilical hemorrhages of newborn Other umbilical hemorrhages of newborn Umbilical hemorrhage of newborn, unspec Intraventic (nontraum) hemorr gr 1 fet newborn Intraventic (nontraum) hemorr gr 2 fet newborn Intraventic (nontraum) hemorr gr 3 fet newborn Unspec intraven (nontraum) hemorr fet newborn

731

P524 P525 P526 P528 F529 P53 P540 P541 P542 P543 P544 P545 P546 P548 P549 P550 P551 P558 P559 P560 P569 P570 P578 P579 P580 P581 P582 P583 P584 P585 P588 P589 P590 P591 P592 P593 P596 P599 P60 P610 P611 P612 P613 P614 P615 P616 P618 P619 P700 P701 P 702

Intracerb (nontraum) hemorr of fet & newborn Subarach (nontraum) hemorr of fet & newborn Cerebellar (nontraum) & post fossa hemorr of fet & newborn Oth intract (nontraum) hemorr of fet & newborn Intracr (nontraum) hemorr fet & newborn unsp Hemorrhagic disease of fetus & newborn Noenatal haematemesis Neonatal melaena Neonatal rectal hemorrhage Oth neonatal gastrointest hemorrhage Neonatal adrenal hemorrhage Neonatal cutaneus hemorrhage Neonatal vaginal hemorrhage Oth spec neonatal hemorrhages Neonatal hemorrhage, unspec Rh isoimmunication of fet & newborn ABO isoimmunization of fet & newborn Oth hemolytic dis of fet & newborn Hemolytic disease of fet & newborn, unspec Hydrops fetalis d/t isoimmunization Hydrops fetalis d/t oth & unspec hemolytic dis Kernicterus d/t isoimmunization Other specified kernicterus Kernicterus, unspecified Neonat jaund d/t bruising Neonat jaund d/t bleeding Neonat jaund d/t infection Neonat jaund d/t polycythemia Neonat jaund d/t drg tox transm from moth orgiven nwbrn Neonat jaund d/t swallowed mat blood Neonat jaund d/t oth spec excess hemolysis Neonat jaund d/t excess hemolysis, unspec Neonat jaund assoc w preterm deliv Inspissated bile syndrome Neonatal jaund from oth & unspec hepatcellu damage Neonatal jaund from breast milk inhibitor Neonatal jaund from othr spec causes Neonatal jaund, unspecified Dissem intravasc coagul of fetus & newborn Transient neonatal trombocytopenia Polycythemia neonatorum Anemia of prematurity Congen anemia from fetal blood loss Other congenital anemias, NEC Transient neonatal neutropenia Oth transient neonatal dis of coagulation Oth specified perinatal hematological dis Perinatal hematological dis, unspec Syndrome of infant of moth w gest diabetes Syndrome of infant of a diabetic mother Neonatal Diabetes Mellitus

732

P 703 P 704 P 708 P 709 P 710 P 711 P 712 P 713 P 714 P 718 P 719 P 720 P 721 P 722 P 728 P 729 P 740 P 741 P 742 P 743 P 744 P 745 P 748 P 749 P 75 P 760 P 761 P 762 P 768 P 77 P 780 P 781 P 782 P 783 P 788 P 789 P 800 P 808 P 809 P 810 P 818 P 819 P 830 P 831 P 832 P 833 P 834 P 835 P 836

Iatrogenic Neonatal Hypoglycemia Other Neonatal Hypoglycemia Oth trns disrd fetal carbohydrate metab Trans disrd fetal carbohydrate metab NOS Cow's milk hypocalcaemia in newborn Other neonatal hypocalcaemia Neonatal hypomagnesaemia Neon tetany wo calcium magnesium def Transitory neonatal hypoparatyhyroidism Oth trns neonat dis calcium magns metab Trns neonat disrd calcm magns metab NOS Neonatal goitre NEC Transitory neonatal hyperthyroidism Oth trns neonat disrd thyroid fn NEC Oth spec trns neonatal endocrine disrd Transitory neonatal endocrine disrd NOS Late metabolic acidosis of newborn Dehydration of newborn Disturb of sodium balance of newborn Disturb of potassium balance of newborn Oth transitory electrolyte disturbance of newborn Transitory tyrosinemia of newborn Oth transit metabol disturbance of newborn Transitory metabol disturb of newborn, unspec Meconium ileus Meconium plug syndrome Transitory ileus of newborn Intestinal obstruction due to inspissated milk Intestinal obstruction of newborn, unspec Necrotizing enterocolitis of fetus & newborn Perinatal intestinal perforation Other neonatal peritonitis Neonatal hematemesis and melena d/t swallowed matern blood (Neonatal hematemesis and melena due to swallowed maternal blood) Noninfecctive neonatal diarrhea Other specified perinatal digestive system disorders Perinatal dig sys dis, unspec Cold inj syndrome Other hypothermia of newborn Hypothermia of newborn, unspec Environmental hyperthermia of newborn Other spec disturb of temp regulation of newborn Disturbance of temp regul of newborn Sclerema neonatorum Neonatal erythem nodosum Hydrops fetalis not due to hemolytic dis Other & unsp edema spec to newborn Breast engorgement of newborn Congenital hydrocele Umbilical polyp of newborn

733

P 838 P 839 P 90 P 910 P 911 P 912 P 913 P 914 P 915 P 916 P 918 P 919 P 920 P 921 P 922 P 923 P 924 P 925 P 928 P 929 P 93 P 940 P 941 P 942 P 948 P 949 P 960 P 961 P 962 P 963 P 965 P 968 P 969 O 660 O 661 O 662 O 666 O 675 O 894 O 897 O 898 O 899 Z 380 Z 381 Z 383 Z 384 Z 385 Z 386

Oth spec condition of integument specific to newborn Condition of the integument specific to newborn, unspecified Convulsions of newborn Neonatal cerebral ischemia Acquired periventricular cysts of newborn Neonatal cerebral leukomalacia Neonatal cerebral irritability Neonatal cerebral depression Neonatal coma Hypoxic-Ischemic encephalopathy of newborn Other specified disturbance of cerebral status of newborn Disturbance of cerebral status of newborn, unspec Vomiting in newborn Regurgitation and Rumination of newborn Slow feeding of newborn Underfeeding of newborn Overfeeding of newborn Neonatal difficulty in feeding at breast Other feeding problem of newborn Feeding problem of newborn, unspec Reactions and intoxications due to drugs administered to newborn Transient neonatal myasthenia gravis Congenital hypertonia Congenital hypotonia Other dis of muscles tone of newborn Dis muscles tone of newborn, unspec Congenital renal failure Neonatal withdrawal symptoms from maternal use of drugs of addiction Withdrawal symptoms from therapeutic use of drugs in newborn Wide cranial sutures of newborn Complication to newborn due to (fetal) intrauterine procedure Other specified conditions originating in the perinatal period. Condition originating in the perinatal period, unspecified. Obstructed labor due to shoulder dystocia. Fetal hydantoin syndrome Obstructed labor due to unusually large fetus Obstructed labor due to other multiple fetuses Other specific joint derangements left foot, not elsewhere classified. Conjoined twins Multiple congenital malformations NEC Other specified congenital malformations Congenital malformations unspec Single liveborn infant, born in hospital Single liveborn, unspec as to place of birth Twin, born in hospital Twin, born outside hospital Twin, unspec as to place of birth Other multiple, born in hospital

734

Z 387 Z 388

Other multiple, born outside hospital Other multiple, unspec as to place of birth

735

736

Related Documents


More Documents from ""