365035667-lp-metb-docx.docx

  • Uploaded by: Tri Handayani
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 365035667-lp-metb-docx.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,543
  • Pages: 16
TUGAS LAPORAN PENDAHULUAN MENINGITIS TUBERCULOSIS (MeTB) Klinik KMB 2 DI RSUP FATMAWATI Disusun Oleh Desi Kurniawati Nim. 11151040000076

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M

MENINGITIS TUBERCULOSIS 1. Definisi Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada paru. Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal Fluid (CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis purulenta dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda dan gejala klinis meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga diperlukan pengetahuan dan tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Hal ini berkaitan dengan penanganan selanjutnya yang disesuaikan dengan etiologinya. Untuk meningitis tuberkulosis dibutuhkan terapi yang lebih spesifik dikarenakan penyebabnya bukan bakteri yang begitu saja dapat diatasi dengan antibiotik spektrum luas. World Health Organization(WHO) pada tahun 2009 menyatakan meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi primer tuberkulosis, 83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru.

2. Epidemiologi Meningitis tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang paling sering ditemukan di negara yang sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia, dimana insidensi tuberkulosis lebih tinggi terutama bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Meningitis tuberculosis merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai 30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB memiliki gangguan neurologis walaupun telah di berikan antibiotik yang adekuat. Diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi resiko gangguan neurologis yang mungkin dapat bertambah parah jika tidak ditangani. Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB terjadi setiap 300 kasus TB primer yang tidak diobati. Centers for Disease Control (CDC) melaporkan pada tahun 1990 morbiditas meningitis TB 6,2% dari seluruh kasus TB ekstrapulmonal. Insiden meningitis TB sebanding dengan TB primer, umumnya bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur, status gizi dan faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang. Faktor predisposisi berkembangnya infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid, keganasan, cedera kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih sering dibanding dengan dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan. Jarang ditemukan pada usia dibawah 6 bulan dan hampir tidak pernah ditemukan pada usia dibawah 3 bulan.

Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1:100 dari semua kasus tuberkulosis. Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 1020%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual. Angka kejadian TB paru di Indonesia dilaporkan terus meningkat setiap tahun dan sejauh ini menjadi negara dengan urutan ketiga dengan kasus TB paru terbanyak, pada tahun 2001, dilaporkan perubahan dari tahun sebelumnya, penderita TB paru dari 21 orang menjadi 43 oreng per 100.000 penduduk, dan pasien BTA aktif didapatkan 83 orang per 100.000 penduduk. Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai x frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila meningitis tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya dalam kurun waktu tiga sampai lima minggu. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa.

3. Anatomi dan Fisiologi Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu (7): a. Pia mater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus, fisura dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fisura transversalis dibawah corpus callosum. Di tempat ini piamater membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu. b. Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia mater dan durameter. c. Dura mater merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan ikat yang tebal dan kuat. Dura kranialis atau pachymeninx adalah struktur fibrosa yang kuat dengan lapisan dalam (meningen) dan lapisan luar

(periosteal). Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk periosteum. Di antara kedua hemispher terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri yang melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke kedua sisi.

4. Tuberkulosis Ekstrapulmoner Gejala tuberkulosis paru yang paling umum adalah batuk produktif yang persisten, sering disertai gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan penurunan berat badan. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk darah, sesak napas, nyeri dada, malaise, serta anoreksia. Limfadenopati dengan TB paru juga dapat ditemukan, terutama pada pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Walaupun kebanyakan pasien dengan TB paru memiliki gejala batuk, gejala tersebut tidak spesifik untuk tuberkulosis. Batuk dapat terjadi pada infeksi saluran napas akut, asma, serta Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Walaupun begitu, batuk selama 2-3 minggu merupakan kriteria suspek TB dan digunakan pada guideline nasional dan internasional, terutama pada daerah dengan prevalensi TB yang sedang sampai tinggi. Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah, batuk kronik lebih mungkin disebabkan kondisi selain TB. Dengan memfokuskan terhadap dewasa dan anak dengan batuk kronik, kesempatan mengidentifikasi pasien dengan TB paru dapat dimaksimalkan. Selain gejala batuk, pada pasien anak penting mengevaluasi berat badan yang sulit naik dalam kurun waktu 2 bulan terakhir atau gizi buruk. Beberapa studi menunjukkan bahwa tidak semua pasien dengan gejala respiratori menerima evaluasi yang adekuat untuk TB. Kegagalan ini terjadi karena kurangnya deteksi dini TB sehingga menyebabkan meningkatnya keparahan penyakit pada pasien dan meningkatnya kemungkinan transmisi Mycobacterium tuberculosis ke orang-orang di sekitarnya. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan. Pada awal perkembangan penyakit sulit ditemukan kelainan. Pada umumnya kelainan paru terletak di lobus superior terutama apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Temuan yang bisa didapatkan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. Pada pleuritis TB, apabila cairan di rongga pleura cukup banyak, dapat ditemukan redup atau pekak pada perkusi. Pada auskultasi suara napas melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher. Dari urutan terjadinya, tuberkulosis ekstrapulmoner paling banyak terjadi di nodus limfa, pleura, sistem genitourinaria, tulang dan sendi, meningen, peritoneum, dan perikardium. Secara singkat tuberkulosis ekstrapulmoner diterangkan sebagai berikut :



Limfadenitis tuberkulosis dicirikan dengan pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri (pada umumnya servikalis posterior dan supraklavikular).  Tuberkulosis pleura dapat bermanifestasi mulai dari efusi yang kecil, hingga efusi besar sehingga menimbulkan nyeri pleura dan dispnu. Pemeriksaan fisik menunjukkan efusi pleura (redup pada perkusi, suara napas menghilang). Jenis efusi perlu ditentukan dengan melakukan pungsi pleura. Dapat pula terjadi empiema tuberkulosis yang lebih jarang, pada umumnya disebabkan oleh ruptur kavitas.  Tuberkulosis saluran napas atas merupakan komplikasi dari tuberkulosis paru dengan kavitasi. Tuberkulosis jenis ini melibatkan laring, faring, dan/atau epiglotis sehingga memunculkan gejala serak, disfonia, dan disfagia disertai dengan batuk produktif.  Tuberkulosis genitourinaria dapat menimbulkan gejala frekuensi, disuria, nokturia, hematuria, serta nyeri abdomen.  Tuberkulosis sistem muskuloskeletal mengenai tulang dan sendi, dan patogenesisnya terkait dengan reaktivasi dari fokus hematogen dan penyebaran melalui nodus limfa paravertebra. Dapat pula mengenai vertebra sehingga terkena tuberkulosis spinal (Pott’s disease atau spondilitis tuberkulosis).  Tuberkulosis meningitis dan tuberkuloma.  Tuberkulosis perikardial akibat ekstensi langsung nodus limfa mediastinal atau hilus. Kejadian tuberkulosis ekstrapulmoner dapat terjadi sekitar 15-20% pada populasi yang prevalensi HIV-nya rendah. Kejadian ini akan semakin meningkat dengan tingginya prevalensi infeksi HIV. Sebagaimana yang diketahui bahwa tuberkulosis merupakan infeksi poportunistik tersering pada ODHA di Indonesia. Tuberkulosis paru adalah jenis tuberkulosis yang paling banyak ditemukan pada ODHA, sedangkan tuberkulosis ekstrapulmoner sering ditemukan pada ODHA dengan hitung CD4 yang lebih rendah. Untuk mendiagnosis tuberkulosis ekstrapulmoner, sampel perlu didapakan dari tempat-tempat yang cenderung sulit, sehingga konfirmasi bakteriologis tuberkulosis ektrapulmoner menjadi lebih sulit dibandingkan tuberkulosis paru. Selain itu terdapat kecenderungan jumlah mikroorganisme M. Tuberculosis pada situs ekstrapulmoner lebih sedikit sehingga pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam (BTA) menjadi lebih sulit. Sebagai contoh, pemeriksaan cairan pleura pada pleuritis tuberkulosis hanya berhasil menemukan BTA pada sekitar 5-10% kasus, dan temuan sama rendahnya pada meningitis tuberkulosis. Mengingat fakta ini, kultur dan pemeriksaan histopatologi terhadap jaringan (misal: biopsi jarum halus nodus limfa) menjadi penting sebagai alat diagnostik. Pemeriksaan foto toraks juga sebaiknya silakukan untuk mengetahui adanya TB paru atau TB milier bersamaan dengan TB ekstraparu. Pada pasien anak, bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan dahak.

5. Mekanisme terjadinya Meningitis Tuberculosis Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2 tahap yaitu mulamula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permukaan di otak) akibat trauma atau proses imunologi, langsung masuk ke subaraknoid. Meningitis tuberkulosis biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer (Schlossberg, 2011) . Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebrospinal dalam bentuk kolonisasi dari nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid parenkim otak, atau selaput meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatan dapat menyebabkan aliran retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dura dapat disebabkan oleh fraktur, paska bedah saraf, infeksi steroid secara epidural, tindakan anestesi, adanya benda asing seperti implan koklear, VP shunt, dan lain-lain. Sering juga kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan meningitis. Meskipun meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen, kerusakan meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak, peyumbatan vena dan menghalang aliran cairan serebospinal yang dapat berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi (Schlossberg, 2011). Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (pia mater dan araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung terkumpul di daerah basal otak (Menkes, 2006). Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberculosis : a. Araknoiditis Proliferatif Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomeningen ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen (Frontera, 2008). b. Vaskulitis Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan

timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin (Schwartz, 2005). c. Hidrosefalus Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis (Albert, 2011).

6. Manifestasi Klinis Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita. Faktorfaktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya dengan perubahan patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis TB muncul perlahan-lahan dalam waktu beberapa minggu (Nofareni, 2003). Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernig’s dan Brudzinsky positif. Gejala pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak beraturan (Cavendish, 2011). Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium (Anderson, 2010) : a. Stadium I : Prodormal Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan menurun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah. b. Stadium II : Transisi berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang-kadang disertai

kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah yang lebih hebat. c. Stadium III : Terminal Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu.

7. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya adalah pemeriksaan rangsang meningeal (Sidharta, 2009). Yaitu sebagai berikut : a. Kaku Kuduk Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. b. Kernig`s sign Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri. c. Brudzinski I (Brudzinski leher) Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. BrudzinskiI positif (+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi disendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik. d. Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai) Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter padasendi panggul dan lutut kontralateral. e. BrudzinskiIII (Brudzinski Pipi) Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari pemeriksa tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas superior. f. Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis) Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi involunter extremitas inferior. g. Lasegue`s Sign Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue

positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60° pada lansia.

8. Pemeriksaan Penunjang Uji Mantuox/Tuberkulin Pada anak uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling bermanfaat. Terdapat beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48– 72 jam dan lebih diutamakan pada 72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi. Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih dianggap valid. Bila pasien tidak kontrol dalam 96 jam dan hasilnya negative maka tes Mantoux harus diulang. Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm (Kliegman, 2011).

9. Penatalaksanaan Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :  Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.  Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan. Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada meningitis tuberkulosis berupa : a. Rifampisin(R) Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Distribusi rifampisin ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranyekemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg (Heemskerk, 2011). b. Isoniazid ( H ) Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk

cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 10mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, cairan serebrospinal dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Bagi mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Heemskerk, 2011). c. Pirazinamid ( Z ) Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg (Heemskerk, 2011). d. Pirazinamid ( Z ) Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg (Heemskerk, 2011). e. Streptomisin ( S ) Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam.

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinitus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat. Efek samping yang mungkin juga terjadi adalah gangguan pendengaran dan vestibuler (Heemskerk, 2011).

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN METB I.

Pengkajian 1.) Biodata terdiri dari identitas pasien : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, nomor register klien, tanggal masuk dirawat, tanggal pengkajian, diagnosa medis. 2.) Riwayat kesehatan sekarang a. Keluhan utama : pasien dengan meningitis tuberculosa menunjukkan gejala gangguan kesadaran dan kelumpuhan. b. Riwayat keluhan utama : klien dengan meningitis tuberculosa biasanya datang berobat dengan riwayat gangguan kesadaran, kejang dan panas serta muntah. 3.) Riwayat kehamilan dan persalinan meliputi : prenatal, natal, postnatal 4.) Riwayat kesehatan masa lalu meliputi : riwayat penyakit yang diderita, pernah opname atau belum, nutrisi waktu bayi, imunisasi dan riwayat allergi. 5.) Riwayat tumbuh kembang, terdiri atas : berat badan lahir (BBL), panjang badan lahir (PBL), lingkar kepala, lingkar dada, lingkar lengan atas pada umur berapa : gigi tumbuh, anak tengkurap, duduk, berjalan, menggerakkan motorik halus. 6.) Data psikososial spiritual : anak dan orang tua 7.) Pola kebiasaan sehari-hari, terdiri dari : makan/minum, istirahat/tidur, pola eliminasi BAB dan BAK, aktivitas seharii-hari sebelum dan selama sakit. 8.) Pemeriksaan fisik meliputi : a. Inspeksi : (mulai kepala sampai ujung kaki). Keadaan umum : gangguan kesadaran, ubun-ubun menonjol, muntah, kejang, kelumpuhan saraf mata sehingga terjadi strabismus dan nigtasmus, pernafasan cheyne stoke. b. Palpasi : anak dengan meningitis akan menunjukkan kaku seluruh tubuh, suhu tubuh meningkat, nadi tidak teratur, kaku kuduk. c. Perkusi : anak dengan meningitis tuberculosa akan menunjukkan adanya refleks tendon yang meninggi. d. Auskultasi : akan terdengar bunyi pernafasan yang tidak teratur, ronchi basah. 9.) Pemeriksaan penunjang Pada kasus meningitis tuberculosa biasanya dilakukan pemeriksaan penunjang: a. Lumbal punksi untuk memeriksa CSF yang meliputi :  Warna : xanthacrom  Kekeruhan : tergantung pada jumlah sel dalam liquor, bila lebih dari 200mm3 liquor sedikit keruh.  Sel : terdiri dari PMN dan limposit. Semakin akut keadaan penyakit maka makin banyak jumlah PMN

 Protein : selalu lebih dari 40% b. Tes tuberkulin : pada stasium awal memberikan hasil positif, sedang distadium akhir hasil negatif c. Pemeriksaan radiologis : adanya perubahan gambaran yang dapat menyokong meningitis tuberculosa. d. Pemeriksaan hematologi : Hb, leukosit, hitung jenis, analisa gas darah. II. No. 1 2 3 4

Diagnosa Keperawatan Diagnosa Keperawatan Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan perubahan persepsi sensorik, integrasi Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan status cairan tubuh, penekanan reson inflamasi, pemanjangan terhadap patogen

III. No Dx 1

Rencana Keperawatan Nic 

2

  



Noc

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil :  Meningkatkan relaksasi  Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri  Meningkatkan vasokontriksi, penumpukan resepsi sensori yang selanjutnya akan menurunkan nyeri  Meningkatkan relaksasi otot dan menurunkan rasa sakit Setelah dilakukan tindakan Periksa kembali kemampuan dan keadaan keperawatan selama 3x24 jam secara fungsional kerusakan yang terjadi Bantu klien untuk melakukan latihan rentang diharapkan dapat mempertahankan kekuatan dan gerak Periksa adanya daerah yang mengalami nyeri fungsi otot yang optimal dengan kriteria hasil : tekan, kemerahan, kulit yang hangat, otot  Peningkatan rentang yang tegang dan sumbatan pada vena kaki. ROM Observasi adanya dipneu tiba-tiba,  Tidak terjadi kontraktur takikardia, demam, distres pernafasan dan  Dapat melakukan nhyeri dada aktivitas kehidupan Berikan matras udara atau air, terapi kinetik sehari-hari yang optimal sesuai kebutuhan Manajemen nyeri 1. Berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap sesuai indikasi 2. Tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang penting 3. Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin diatas mata 4. Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif secara tepat dan masase otot daerah leher/bahu 5. Gunakan pelembab yang agak hangat pada nyeri leher.punggung jika tidak ada demam 6. Kolaborasi : berikan analgetik seperti asetarninoen, kodein

3

 

  

4

       

Pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan sensorik dan proses fikir Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas, dingin, benda tajam atau tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Observasi respon prilaku seperti rasa bermusuhan, menangis, fektif yang tidak sesuai, agitasi dan halusinasi. Berikan lingkungan terstruktur termasuk terapi dan aktivitas. Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi bicara dan terapi kognitif

Beri tindakan isolasi sebagai tindakan pencegahan Pertahankan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat baik pengunjung maupun staf Pantau suhu secara teratur catat munculnya tanda-tanda klinis dari infeksi Teliti adanya keluhan nyeri dada berkembangnya nadi yang tidak disritmia atau demam yang terus menerus Auskultasi suara nafas. Pantau kecepatan pernafasan dan usaha pernafasan Ubah posisi pasien dengan teratur dan anjurkan untuk melakukan nafas dalam Catat karakteristik urine, seperti warna, kejernihan dan bau Identifikasi kontak yang beresiko terhadap perkembangan proses infeksi serebral dan anjurkan mereka untuk meminta pengobatan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan meningkatkan tingkat kesadarandan ungsi persepsi dengan kriteria hasil :  Berinteraksi sesuai dengan orang lain dan lingkungan  Memperlihatkan pengaturan pikiran secara logis  Menginterpretasikan pengaturan pikiran secara logis  Menginterpretasikan ide yang dikomunikasikan orang lain secara benar  Mengkompensasi deficit sensori dengan memaksimalkan indra yang rusak Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam diharapkan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil :  Tidak demam  Jumlah leukosit dalam rentang normal

DAFTAR PUSTAKA 

 



Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in children. Nicola Principi*, Susanna Esposito. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Università degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale Maggiore Policlinico,Via Commenda 9, 20122 Milan, Italyen Yayan A. Israr. Meningitis. Faculty of Medicine–University of Riau, Arifin Achmad General Hospital of Pekanbaru. 2008; 1-6. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2009. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2012

More Documents from "Tri Handayani"