3456.docx

  • Uploaded by: kupukupu
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 3456.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,940
  • Pages: 9
1. Penentuan refleks mati batang otak

Penentuan kematian batang otak memerlukan penilaian fungsi otak oleh minimal dua orang klinisi dengan interval waktu pemeriksaan beberapa jam. Tiga temuan penting pada kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh reflex batang otak, dan apnea. Pemeriksaan apnea (tes apnea) secara khas dilakukan setelah evaluasi reflex batang otak a. Pupil asimetris

Pupil yang besar, unreactive, disebabkan oleh adanya lesi pada saraf okulomotor ipsilateral, dapat pula karena pre-existing Adie’s pupil. Pupil yang kecil, lambat berdilatasi terdapat pada Horner syndrome. b. Reaksi pupil terhadap cahaya

Harus mempergunakan cahaya yang kuat karena respons pupil dapat lambat pada pasien tidak sadar (cahaya oftalmoskop kurang adekuat). Pupil yang tidak mengalami konttriksi jika diberikan stimulus cahaya menandakan adanya lesi pada N.II atau N.III. Respon direct didapatkan

ketika kita memberikan rangsang cahaya pada mata yang ingin diperiksa, dan mendapatkan ketika kita melihat respon pada pupil mata yang tidak diberi stimulus c. Posisi/pergerakan mata

Posisi dan pergerakan mata ditentukan oleh saraf III, IV dan VI. Pada posisi primer, lesi yang mengenai saraf tertentu dapat menghasilkan posisi juling (dysconjugate gaze). Aktivitas kejang dapat menimbulkan conjugate gaze yang simetris intermitten dengan arah kontralateral lesi, sedangkan lesi destruksilobus fronta dapat menghasilkan conjugate gaze ke sisi lesi. Nistagmus jarang terlihat, namun gerakan seperti nistagmus dapat timbul pada status epileptikus d. Roving eye movement

Merupakan gerakan bola mata berupa gerakan lambat dari satu sisi ke sisi yang lain, kelopak mata tertutup, dan mungkin disertai posisi mata yang divergen ringan dari aksis okuler. Gerakan ini biasanya terjadi pada tidur normal atau pada pasien koma ringan, fungsi batang otak normal dan tidak menunjukkan suatu lokasi lesi tertentu. e. Doll’s eye movement

Kepala digerakkan dari satu sisi ke sisi lainnya dan dari atas kebawah. Refleks okulosefalik dan reflex vestibulosefalik secara normal seharusnya menjaga posisi mata meskipun terdapat gerakan kepala, sehingga mata bergerak pada arah yang berbeda dengan pergerakan kepala. Bila pergerakan kepala telah sempurna, mata bergerak kembali ke posisi semula.

Horizontal

doll’head

eye

movements

yang

abnormal

menunjukkan adanya lesi yang mengenai N. Okulomotor (III), N. Abdusens (VI) dan pons. Vertical doll’s head eye movements yang abnormal menunjukkan lesi yang mengenai N. III, IV dan midbrain. f.

Tes kalori Merupakan test untuk memeriksa fungsi batang otak disebut juga test reflex okulovestibuler. Cara: pasien dibaringkan dengan tubuh bagian atas

dan kepala membentuk sudut 30% dengan bidang horizontal, kemudian disuntukkan 50- 100 cc air dingin pada salah satu telinga, yang akan berefek sama jika kepala digerakkan ke sisi yang berlawanan, mata pasien akan menghadap pada sisi dimana air dimasukkan. Posisi mata ini akan bertahan beberapa waktu. Jika hasil pemeriksaan negatif, kemungkinan terdapat lesi pada pons, medulla dan pada kasus yang jarang pada lesi N. III, N.IV, N.VI, atau N. VIII. g. Refleks kornea

Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan prognosis dan lokasi lesi. Refleks kornea yang negatif biasanya disebabkan lesi yang mengenai N. Trigeminus (V), pons atau N. Fasialis (VII). Meringis terhadap nyeri trigeminal dilakukan dengan cara menggosok dengan kuat anterior telinga atau pada supraorbital ridge. Timbulnya meringis dapat bermanfaat untuk mendeteksi kelumpuhan upper motor saraf VII. h. Gag refleks

Dapat dilakukan pemeriksaan dengan melakukan tes reflex muntah dan batuk, yang tergantung dari jalur N glosofaringeal (IX) dan N. Vagus (X) ke medulla dan kemudian ke N. X

Penilaian klinis terhadap reflex

batang otak dikerjakan secara

menyeluruh. Nervus cranialis yang diperiksa ditunjukkan dengan angka romawi; garis panah utuh menunjukkan jaras aferen; garis panah terputus menunjukkan jaras eferen. Hilangnya respon menyeringai atau mata tidak membuka terhadap rangsang tekanan dalam pada kedua condyles setinggi

temporomandibular joint (afferent n. V dan efferent N. VII), hilangnya reflex kornea terhadap rangsang sentuhan tepi kornea mata (n. V dan n. VII), hilangnya reflex cahaya (N. II dan N. III), hilangnya respon oculovestibularkearah sisi stimulus dingin oleh air es (N. VIII dan N. III dan N. VI), hilangnya reflex batuk terhadap rangsangan pengisapan yang dalampada trachea (N. IX dan n. X).

2. Etiologi koma bihemisfer a. Koma

supratentorial

diensephalik

:

merupakan

semua

proses

supratentorial yang mengakibatkan destruksi dan kompresi pada substansi aretikularis diensefalon yang menimbulkan koma. Koma supratentorial diensephalik dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu :

Proses desak ruang yang meninggikan tekanan dalam ruang intracranial supratentorial secara akut.



Lesi yang menimbulkan sindrom ulkus.



Lesi supratentorial yang menimbulkan sindrom kompresi rostrokaudal terhadap batang otak.

b. Koma infratentorial diensefalik Disiniter dapat 2 macam proses patologik yang menimbulkan koma : 

Proses patologik dalam batangotak yang merusak substansia retikularis



Proses diluar batang otak yang mendesak dan mengganggu fungsi substansia retikularis.

Koma infratentorial akan cepat timbul jika substansia retikularis mesensefalon mengalami gangguan sehingga tidak bisa berfungsi baik. Hal ini terjadi akibat perdarahan. Dimana perdarahan di batang otak sering merusak tegmentum pontis dari pada mesensefalon. c. Koma bihemisferik difus terjadi karena metabolism neural kedua belah hemsferium terganggu secara difus. Gejala yang ditimbulkannya yaitu dapat berupa hemiparesis,

hemihiperestesia, kejang epileptic, afasia, disatria, dan ataksia, serta gangguan kualitas kesadaran.

3. Pemeberian Manitol Pemberian cairan hiperosmoler bertujuan mengurangi tekanan intrakranial dengan cara mengurangi edema otak. Cairan osmotik ini akan memengaruhi osmolaritas tubuh. Cairan yang sering digunakan adalah manitol (1.100 mOsm), hipertonik salin sediaan 3% hingga 29,2% (1.026 sampai 10.000 mOsm) dan yang terbaru adalah natrium laktat (1.020 mOsm). Manitol merupakan jenis diuretik osmotik yang banyak atau sering dipergunakan untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial dengan cara memindahkan cairan intraseluler ke intravaskular melalui perbedaan gradien osmotik antara otak dan darah. Dosis manitol adalah 0,25 mg hingga 1 g/kgBB. Manitol akan menyebabkan diuresis cairan yang berlebihan sehingga terjadi gangguan cairan dan elektrolit. Keadaan ini akan menimbulkan hipovolemia dan juga hipotensi yang dapat menganggu hemodinamik sehingga menurunkan perfusi otak yang akan memperburuk kondisi cedera otak traumatik itu sendiri. Efek samping lain dari manitol adalah terjadi rebound fenomena, yaitu peningkatan tekanan intrakranial pada penggunaan manitol dalam waktu yang lama sehingga mengakibatkan akumulasi manitol di dalam jaringan otak sehingga tekanan osmotik menjadi lebih tinggi di jaringan yang menarik cairan dari pembuluh darah ke jaringan otak yang menyebabkan edema otak lebih berat. Berhubungan efek samping manitol ini maka dicari alternatif cairan hiperosmolar yang efektif dengan efek samping minimal, yaitu hipertonik salin dan natrium laktat hipertonik. Pemberian cairan hipertonik salin seringkali mengakibatkan asidosis hiperkloremia yang memperburuk kondisi pasien dengan cedera otak traumatik. Pemberian larutan manitol 20 – 25% dengan dosis 0,75 – 1 mg / kgBB bolus, diikuti 0,25 – 0,5 mg / kgBB setiap 3 – 5 jam tergantung pada respon klinis. 4. Fisiologi dan patofisiologi kesadaran, koma dan gangguan kesadaran Lokasi di mana stimulasi menyebabkan keadaan bangun terdiri dari berbagai titik yang menyebar mulai dari nukleus thalamus non-spesifik sampai ke otak tengah bagian kaudal.Titik-titik ini menempatkan diri di sepanjang inti neuron-neuron yang terorganisir secara longgar, daerah yang dinamakan sebagai formatio retikularis oleh para ahli anatomi.Studi-studi anatomikal oleh

Scheibels menggambarkan inervasi luas formatio retikularis oleh akson-akson cabang dan kolateral dari sistem sensorik asenden, mengimplikasikan daerah ini dijaga supaya berada dalam keadaan aktif oleh stimulasi sensorik asenden. Oleh karena daerah ini, terutama talamus medial, memproyeksikan dirinya secara luas ke dalam hemisfer serebri maka dari itu timbullah konsep adanya sistem aktivasi retikular yang mempertahankan keadaan responsif dan inaktivasi retikular yang menyebabkan keadaan tidak responsif.

Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai akibat dari berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing pada akhirnya mengacaukan fungsi reticular activating system secara langsung maupun tidak langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang kemudian meninggal dapat dibuat kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi /mekanisme yang masing-masing merusak fungsi reticular activating system, baik secara langsung maupun tidak langsung. a. Disfungsi otak difus 1) Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas neuronal. 2) Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik atau oleh pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat subseluler atau molekuler, atau lesi-lesi mikroskopik yang tersebar. 3) Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada kerusakan thalamus yang berat yang mengakibatkan terputusnya impuls talamokortikal atau destruksi neuron-neuron korteks bisa karena trauma (kontusio, cedera aksonal difus), stroke (infark atau perdarahan otak bilateral).

4) Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas metabolik sel-sel neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak seperti meningitis, viral ensefalitis, hipoksia atau iskemia yang bisa terjadi pada kasus henti jantung. 5) Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada kondisi ini setara dengan penurunan aliran darah otak atau metabolisme otak. b. Efek langsung pada batang otak 1) Lesi di batang otak dan diensefalon bagian bawah yang merusak/menghambat reticular activating system. 2) Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau midbrain di mana neuron-neuron ARAS terlibat langsung. 3) Lebih jarang terjadi. 4) Pola patoanatomik ini merupakan tanda khas stroke batang otak akibat oklusi arteri basilaris, perdarahan talamus dan batang otak atas, dan traumatic injury. c. Efek kompresi pada batang otak 1) Kausa kompresi primer atau sekunder 2) Lesi masa yang bisa dilihat dengan mudah. 3) Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau perdarahan intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi ini hanya mengenai sebagian dari korteks serebri dan substansia alba dan sebagian besar serebrum tetap utuh. Tetapi lesi ini mendistorsi struktur yang lebih dalam dan menyebabkan koma karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari struktur tengah bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal yang berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular activating system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih meluas di seluruh hemisfer. 4) Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area retikular batang otak atas dan menggesernya maju ke depan dan ke atas. 5) Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang terkait lesi seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon. Berdasar anatomi-patofisiologi, koma dibagi dalam: 1) Koma kortikal-bihemisferik, yaitu koma yang terjadi karena neuron pengemban kewaspadaan terganggu fungsinya. 2) Koma diensefalik, terbagi atas koma supratentorial, infratentorial, kombinasi supratentorial dan infratentorial; dalam hal ini neuron penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan.

Sampai saat ini mekanisme neuronal pada koma belum diketahui secara pasti. Dalam eksperimen, jika dilakukan dekortikasi atau perusakan inti intralaminar talamik atau jika substansia grisea di sekitar akuaduktus sylvii dirusak akan terjadi penyaluran impuls asenden nonspesifik yang terhambat sehingga terjadi koma. Studi terkini yang dilakukan oleh Parvizi dan Damasio melaporkan bahwa lesi pada pons juga bisa menyebabkan koma. Koma juga bisa terjadi apabila terjadi gangguan baik pada neuron penggalak kewaspadaan maupun neuron pengemban kewaspadaan yang menyebabkan neuron-neuron tersebut tidak bisa berfungsi dengan baik dan tidak mampu bereaksi terhadap pacuan dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Adanya gangguan fungsi pada neuron pengemban kewaspadaan, menyebabkan koma kortikal bihemisferik, sedangkan apabila terjadi gangguan pada neuron penggalak kewaspadaan, menyebabkan koma diensefalik, supratentorial atau infratentorial. Penurunan fungsi fisiologik dengan adanya perubahan-perubahan patologik yang terjadi pada koma yang berkepanjangan berhubungan erat dengan lesi-lesi sistem neuron kortikal diensefalik. Jadi prinsipnya semua proses yang menyebabkan destruksi baik morfologis (perdarahan, metastasis, infiltrasi), biokimia (metabolisme, infeksi) dan kompresi pada substansia retikularis batang otak paling rostral (nuklei intralaminaris) dan gangguan difus pada kedua hemisfer serebri menyebabkan gangguan kesadaran hingga koma. Derajat kesadaran yang menurun secara patologik bisa merupakan keadaan tidur secara berlebihan (hipersomnia) dan berbagai macam keadaan yang menunjukkan daya bereaksi di bawah derajat awas-waspada. Keadaankeadaan tersebut dinamakan letargia, mutismus akinetik, stupor dan koma. Bila tidak terdapat penjalaran impuls saraf yang kontinyu dari batang otak ke serebrum maka kerja otak menjadi sangat terhambat. Hal ini bisa dilihat jika batang otak mengalami kompresi berat pada sambungan antara mesensefalon dan serebrum akibat tumor hipofisis biasanya menyebabkan koma yang ireversibel. Saraf kelima adalah nervus tertinggi yang menjalarkan sejumlah besar sinyal somatosensoris ke otak. Bila seluruh sinyal ini hilang, maka tingkat aktivitas pada area eksitatorik akan menurun mendadak dan aktivitas otakpun dengan segera akan sangat menurun, sampai hampir mendekati keadaan koma yang permanen.

Daftar Pustaka Ichai C, Guy A, Orban JC, Berthier F, Rami L, Long CS, dkk. 2014. Sodium lactate vs. mannitol in the treatment of intracranial hypertensive episodes in severe traumatic brain-injured patients. Crit Care. http://www.cdkjournal.com. Duus,P. 2016. Diagnosis Topik Neurologi; Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala, edisi 4. Jakarta

More Documents from "kupukupu"

3456.docx
November 2019 1
A.docx
April 2020 1
A.docx
April 2020 1
Bab I.docx
November 2019 6