34. Ridzky Firmansyah Fahmi - Kajian Mantra Asihan Di Daerah Tasikmalaya.pdf

  • Uploaded by: Ema Fitriani
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 34. Ridzky Firmansyah Fahmi - Kajian Mantra Asihan Di Daerah Tasikmalaya.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 4,011
  • Pages: 9
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

KAJIAN MANTRA ASIHAN DI DAERAH TASIKMALAYA Ridzky Firmansyah Fahmi Universitas Siliwangi/[email protected] Abstrak Sastra lisan merupakan aktualisasi dari daya cipta (ide, gagasan, khayalan, keinginan, atau cita-cita) yang membangun kesadaran diri dan seluruh tingkah laku (masyarakat) penuturnya melalui bahasa. Bahasa menjadi media perantara pesan (bermula dari gagasan, pikiran, bahkan keinginan atau cita-cita) yang menggambarkan keinginan personal atau komunal. Seperti halnya sastra lama berbentuk puisi lama, yakni mantra. Dalam konteks pendidikan formal di perguruan tinggi, kajian sastra lisan tidak hanya menumbuhkembangkan rasa cinta dan bangga kepada mahasiswa sebagai pemilik dan pewaris tradisi, tetapi memberikan pengetahuan yang luas dalam konteks perkembangan sastra Indonesia yang bermula dari tradisi lisan. Bahan ajar yang mengangkat lokalitas, tidak hanya mampu mendekatkan materi ajar dengan peserta didik saja, tetapi dapat mengungkapkan kembali kearifan lokal yang terkandung dalam sastra lama, seperti halnya pada penelitian mantra asihan yang diperoleh di daerah Tasikmalaya. Nilai-nilai lokalitas yang terdapat dalam sebuah puisi rakyat dapat ditransformasikan menjadi nilai-nilai karakter bagi mahasiswa, misalnya nilai kepatuhan dan nilai kecermatan. Melalui penelitian kajian sastra lisan, penelaahan kembali mengenai nilai-nilai lokalitas pun dapat diterapkan dalam bentuk model atau bahan ajar sebagai penguatan kompetensi mahasiswa dan memenuhi kebutuhan bahan ajar yang beragam dan mengangkat kekuatan budaya lokal tiap-tiap daerah di Indonesia. Kata kunci:mantra, nilai lokalitas PENDAHULUAN Sastra lama selalu dikaitkan dengan fenomena atau gejala alam yang terjadi ketika itu.Sastra lama yang berbentuk puisi lama, yakni mantra selalu dikaitkan dengan persoalan magis.Mantra digolongkan ke dalam sastra lama karena dapat diteliti dari segi estetik bahasanya yang tampak pada rima, irama, dan diksi. Itu sebabnya mantra dipelajari dalam ilmu sastra lama sebagai sebuah karya sastra, bukan dikaji dari segi unsur magisnya, meskipun hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Taum (2011: 65) menyatakan bahwa sastra lama dibagi dalam tiga ragam besar yakni puisi rakyat, cerita rakyat, dan teater rakyat. Puisi rakyat termasuk di dalamnya yaitu syair, pantun, gurindam, karmina, dan mantra. Cerita rakyat termasuk di dalamnya yaitu mite, legenda, dan cerita rakyat. Sementara teater rakyat ialah bentuk tontonan tradisional yang menggunakan bahasa sebagai media penyampaian pesan,misalnya, lenong di Betawi, Randai di Sumatera Barat, dan longser di Jawa Barat. Kepercayaan atau pengetahuan dari segi pengobatan yang berupa kata-kata yang dipercaya memiliki khasiat untuk menyembuhkan orang sakit, seperti mantra memiliki banyak fungsi. Mantra merupakan ucapan yang mengandung kepercayaan gaib (media pertolongan untuk menyembuhkan atau mencelakakan). Para ahli sastra umumnya sependapat bahwa bentuk awal (prototype) puisi Indonesia adalah mantra (Taum, 2011: 50). Dalam sastra lama daerah, terdapat banyak istilah untuk merujuk pada hal yang berhubungan dengan magis – dengan kekuatan gaib. Menurut Rusyana (1970: 24) istilah tersebut digunakan sesuai dengan fungsinya, misalnya saja mantra untuk mengobati; rajah untuk mengucap syukur atau meminta sesuatu, juga digunakan sebagai pembuka; pelet untuk menarik seseorang agar 339

Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

terpikat; asihan sebagai daya tarik, santet untuk mencelakakan orang; jangjawokan sebagai doa peminta suatu hal. Dalam penggolongan sastra lama Indonesia, berbagai istilah itu disebut dengan mantra. Jadi, ketika kita ingin mengucapkan kata mantra, penggunaan katanya tidak lagi mantra, tetapi menjadi mantra. Mantra yang berkembang di masyarakat menunjukkan bahwa folklor(mantra) acap kali berlaku jujur dalam menunjukkan proyeksi emosi penciptanya atau suatu masyarakat. Mantra mempunyai fungsi sendiri-sendiri yang ditentukan oleh masyarakatnya. Fungsi tersebut sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakatnya. Dapat saja fungsi tersebut menjadi fungsi pendidikan dalam hal pemeliharaan budaya, bukan lagi dalam konteks fungsi proyeksi. Penggalian dan pemeliharaan sastra dan budaya daerah bermanfaat bagi dunia pendidikan. Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah proses penciptaan mantra, bagaimanakah konteks penuturan mantra, bagaimanakah fungsi mantra bagi masyarakat penuturnya, dan bagaimanakah proses pewarisan mantra. Hal tersebut diteliti untuk memperoleh deskripsi mengenai karakteristik mantra yang terdapat di daerah Tasikmalaya. Mantra yang diteliti difokuskan pada mantra asihan sebab peneliti ingin mendapatkan deskripsi mengenai kekhasan mantra asihan yang diperoleh di daerah Tasikmalaya. Penelitian yang dilakukan di daerah Tasikmalaya meliputi beberapa wilayah yakni Cibeureum, Sukapura, Gunung Tugu, Singaparna, Gobras, Cipatujah, dan Bantarkalong. Tasikmalaya dipilih menjadi lokasi penelitian karena keberadaan mantra di daerah tersebut masih digunakan oleh sebagian masyarakatnya. Teori yang digunakan untuk menganalisis data penelitian berupa mantra ialah teori yang berkenaan dengan ilmu folklor dan sastra lisan. Menurut Danandjaja (2007: 56) dilihat dari bentuknya yang merupakan puisi, mantra digolongkan ke dalam bentuk puisi rakyat.Hal tersebut karena sebagai genre folklor lisan sajak dan puisi rakyat memiliki karakteristik tersendiri, yaitu bentuk kalimatnya tidak berbentuk bebas melainkan berbentuk terikat. Sajak atau puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terdiri atas beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama. Kajian mengenai sastra lisan dinaungi oleh folklor. Menurut Danandjaja(2007: 2), folklor adalah sebagai kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turuntemurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Dari pendapat Danandjaja, dapat disimpulkan bahwa folklor (folklor lisan) mengaktualisasikan bentuk-bentuk kesadaran kolektif masyarakat mengenai kebiasaan (adat istiadat), cara pandang, dan keyakinan-keyakinan mereka dalam bentuk kelisanan yang berupa mantra (sastra lisan). METODE Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif yang memusatkan analisis pada kualitas data.Dalam menganalisis data dilakukan analisis penelitian lapangan. Bogdan (1982: 27-29) mengemukakan karakteristik penelitian kualitatif, yaitu (1) menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung, (2) sifatnya deskriptif analitik, (3) tekanan penelitian ada pada proses bukan pada hasil, (4) sifatnya induktif, (5) mengutamakan makna. Menurut Sibarani (2012: 268), ada beberapa karakteristik penelitian kualitatif, yakni yang mengutamakan natural setting ‘latar alamiah’ sebagai sumber data; sifatnya deskriptif; memperlihatkan proses daripada hasil; bersifat emik; bersifat induktif; mencari makna; desain penelitian bersifat tentatif; dll. Penelitian tradisi lisan memiliki karakteristik latar alamiah 340

Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

karena data penelitian dikumpulkan secara langsung dari lingkungan nyata dalam situasi sebagaimana adanya untuk mendapatkan makna secara utuh termasuk makna atau nilai yang diteliti dalam peristiwa yang sebenarnya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode etnografi. Roger M. Kesing (Bungin, 2003: 196) mendefinisikan etnografi sebagai pembuatan dokumentasi dan analisis budaya tertentu dengan mengadakan penelitian lapangan. Artinya, dalam mendeskripsikan suatu kebudayaan seorang etnografer (penelitian etnografi) juga menganalisis. Dengan kata lain, etnografi adalah pelukisan yang sistematis dan analisis suatu kebudayaan kelompok, masyarakat atau suku bangsa yang dihimpun dari lapangan dalam kurun waktu yang sama. Syamsuddin dan Vismaia (2006: 162) mengemukakan bahwa etnografi adalah penelitian untuk menjelaskan dan menafsirkan budaya atau kelompok atau sistem sosial. Walaupun ada perbedaan pendapat tentang makna “budaya”, namun fokus penelitian ini berfokus pada polapola tindakan bahasa, ritual, dan pola-pola hidup yang dipelajari. Etnografi yang digunakan dalam penelitian ini yakni etnografi mikro yang berfokus pada kelompok budaya yang lebih kecil yakni kelompok masyarakat pemilik mantra. Tahapan penelitian secara detail terdiri atas delapan tahapan. Pertama, diawali dengan pengamatan lokasi yang akan diteliti untuk melakukan pencarian mengenai keberadaan informan. Dari pengamatan tersebut, dipilih beberapa informan, kemudian mewawancarainya. Wawancara bersifat terarah dan tidak terarah, bebas, dan memberi kesempatan kepada informan untuk memberi keterangan seluas-luasnya. Sebelumnya disiapkan alat bantu untuk kelancaran proses wawancara seperti alat tulis, alat rekam, dan kamera. Kedua, setelah melakukan wawancara terarah dan tidak terarah, berlanjut pada tahap berikutnya yaitu mentranskripsi hasil rekaman ke dalam bentuk tulisan dan memisahkan antara yang berbentuk wawancara dengan puisi lisan dan cerita rakyat. Ketiga, setelah proses pentranskripsian hasil rekaman ke dalam bentuk tulisan selesai, dilanjutkan pada proses penerjemahan (transliterasi) dari bahasa daerah (Sunda) ke dalam bahasa Indonesia dengan tidak mengubah atau menghilangkan aslinya. Untuk data yang berupa cerita rakyat, informan menjelaskannya dalam bahasa Indonesia. Keempat, menganalisis proses penciptaan puisi lisan dan cerita rakyat. Analisis difokuskan pada teks-teks atau variasi yang dihubungkan dengan konsep formula dan pendapat penutur. Kelima, menganalisis konteks penuturan puisi lisan dan cerita rakyat. Analisis difokuskan pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pertunjukan, yaitu dukun, penutur, waktu, setting (tempat dan suasana penuturan), dan persyaratan serta larangan dalam penuturan puisi lisan. Keenam, analisis fungsi puisi lisan. Analisis difokuskan pada kaitan antara sastra dengan masyarakat pendukungnya. Ketujuh, analisis proses pewarisan. Analisis difokuskan pada proses pewarisaan puisi lisan pada pengikutnya dan penyebarluasan cerita rakyat. Kedelapan menyimpulkan seluruh hasil analisis yang telah dikaji. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Mantra Mantra Asihan 1 Minyak aing minyak canu meunang guguru ti ratu Meunang nanya ti dewa, nu asih pahiri-hiri Nu hayang paheula-heula nu bogoh pa boro-boro Malik neneh malik saneh, malik asih ka awaking Awaking ratu asihan asih ka badan abdi

341

Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

Terjemahan: Parfum saya parfum canu hasil berguru dari ratu Hasil bertanya dari dewa, yang sayang mengantri Yang ingin bercepat-cepat yang cinta berlomba-lomba Berbalik suka berbalik cinta, berbalik cinta pada diri saya Diri ratu asihan cinta kepada badan saya Mantra Asihan 2 Api-api sarigasi welas karunya Mundeuk cunduk ulah jauh Mundeuk datang ulah ka pungpang Akmana sukmana bayuna......(nama orang yang dituju) Ceurik beurang peuting sanes caah ku cileuncang Caah ku ci soca..... (nama orang yang dituju) Terjemahan: Pura-pura sarigasi rasa kasihan Jika ingin tunduk jangan jauh Jika ingin datang jangan ada halangan Raganya, jiwanya, hatinya.....(orang yang dituju) Menangis siang malam bukan banjir dari air kotor Banjir dari air mata.....(orang yang dituju) Proses Penciptaan Mantra Asihan 1 dan 2 Proses penciptaan kedua mantra ini tidak diciptakan langsung oleh informan.Mantra yang diperoleh informan merupakan mantra yang diwariskan secara turun-temurun. Kedua mantra tidak mengalami proses penciptaan baru sebab tidak mengalami penambahan atau pengurangan kata pada setiap lirik atau barisnya. Konteks Penuturan Mantra Asihan 1 dan 2 Konteks penuturan mantra pertama diawali dengan membaca basmallah.Selanjutnya mantra dibacakan sebanyak tiga kali dengan cara membacakan mantra sambil membayangkan orang yang dituju.Setelah dibacakan,kemudian tiupkan tiga kali ke parfum yang akan digunakan mantra. Pembacaan mantra sama halnya seperti membaca biasa tanpa diiringi nyanyian atau intonasi tertentu. Tidak ada syarat-syarat khusus ketika membaca mantra tersebut. Hanya saja kehadiran parfum menjadi hal yang mutlak sebagai media perantara yang berfungsi sebagai pemikat dalam mantra. Mantra kedua diawali dengan membaca basmalah.Selanjutnya mantra dibacakan sambil membayangkan orang yang dituju dan membacakan sebanyak tiga kali. Kemudian tiupkan ke air panas sebanyak tiga kali. Air yanhg yang sudah diberi mantra digunakan untuk disiramkan atau dicipratkan ke halaman rumah dengan tujuan atau simbol mengundang seseorang yang dituju untuk datang ke rumah. Syarat-syarat utama dalam mantra kedua adalah pembacaan basmallah dan air panas. Selain, itu tidak ada persyaratan khusus lainnya dalam penuturan mantra. Proses Pewarisan Mantra Asihan 1 dan 2 Proses pewarisan mantra dilakukan oleh guru mengaji informan. Ketika ituinforman berusia 16 tahun.Informan memperoleh kedua mantra tersebut tanpa syarat tetentu.Mantra tersebut diwariskan kepada informan karena ia sudah dianggap anak dan dipercaya oleh 342

Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

gurunya. Guru informan sudah meninggal empat tahun yang lalu. Informan sendiri bukan seorang paranormal atau seorang pemimpin adat namun seorang masyarakat atau warga biasa. Larangan Mantra Asihan 1 dan 2 Pantangan yang terdapat pada kedua mantra ini yaitu mantra yang digunakan tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang tidak baik atau untuk dzolim kepada orang lain. Jika mantra digunakan untuk hal-hal yang tidak baik maka akan berakibat pada keselamatan diri sendiri, seperti sakit jiwa atau sakit menahun. Fungsi Mantra Asihan 1 dan 2 Fungsi mantrapertama yaitu untuk memikat seseorang yang diinginkan. Sementara mantra kedua berfungsi untuk mendatangkan seseorang yang diinginkan agar berkunjung ke rumah penutur mantra. Dari analisis mantra, diketahui teks mantra berupa kalimat imperatif. Rimanya cenderung tidak berpola tetapi terdapat rima mutlak yaitu mengulang seluruh bunyi kata seperti yang terdapat dalam mantra tersebut yaitu kasih sayang-kasih sayang. Dari teks mantra tersebut dapat diketahui kecenderungan teks mantra berupa kalimat inversi karena dalam struktur kalimatnya P (predikat) berada sebelum subjek. Terdapat beberapa tipe rima apabila dilihat dari bunyinya, yaitu rima tak sempurna dan rima mutlak. Rima tak sempurna karena hanya sebagian suku akhir yang sama bunyinya, misalnya berguru dari ratu, bertanya dari dewa dan rima mutlak yaitu bila seluruh bunyi kata-kata itu sama, misalnya yang cinta, berbalik cinta, asihan cinta. Penggunaan diksi dalam mantra tersebut setelah diartikan dalam bahasa Indonsia ternyata diksinya tidak terlalu sulit untuk dipahami sehingga tidak sulit untuk memahami makna yang terkandung dalam mantra. Gaya bahasa yang digunakan dalam mantra salah satunya adalah hiperbola. Gaya bahasa hiperbola terdapat dalam larik parfum saya parfum canu hasil berguru dari ratu hasil bertanya dari dewa. Larik terdsebut dianggap hiperbola karena menyatakan sesuatu hal atau kedaan secara berlebihan. Bahasa yang digunakan dalam mantra adalah bahasa Sunda arkaik, yaitu bahasa Sunda yang biasa digunakan masyarakat dalam kegiatan berkomunikasi sehari-hari sehingga untuk mencari arti atau menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia tidak mengalami kesulitan. Makna mantra tidak sulit untuk dipahami sehingga maknanya akan dimengerti oleh pembaca atau penutur mantra. Seperti halnya pada larik minyak aing minyak canu meunang guguru ti ratu, meunang nanya ti dewa, nu asih pahiri-hiri, nu hayang paheula-heula nu bogoh pa boro-boro.Kata-kata tersebut bisa ditemukan pada masyarakat tutur bahasa Sunda yang digunakan dalam kehidupan sehari hari, misalnya kata minyak (parfum), aing (saya),meunang (hasil), guguru (berguru), ti (dari), nanya (bertanya), dan hayang (mau). Mantra Asihan 3 “ Ya Rahman Ya Rohim Ya Rozak Ya Muhamad” Ya Allah janten jalmi kedah sing soleh sing tunduk supados umat Islam taat ka Nabi Muhamad Mantra Asihan 4 “Ya Nurullohii purnama sa’idin” Beungeut urang geulisna kawas caang bulan purnama

343

Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

Proses penciptaan Mantra Asihan 3 dan 4 Kedua mantra tersebut merupakan mantra dengan proses penciptaan langsung oleh informan. Menurut oengakuan informan, kedua mantra tersebut didapatkan ketika informan sedang bersemedi dan melakukan shalat tahajud di Gua Pamijahan. Konteks Penuturan Mantra Asihan 3 dan 4 Mantra pertama dan kedua dibaca sebanyak 133 ataupun 27 kali. Mantra pertama dibaca sambil menyebutkan nama orang yang ingin ditaklukkan atau ingin dipengaruhi. Sementara mantra kedua dibaca sambil menatap mata orang yang dituju. Mantra asihan ini termasuk mantra yang tidak diucapkan disebut dengan ajapa artinya tanpa ucapan. Maksud ajapa yakni mantra diucapkan di dalam hati dan tidak dilisankan (dibacakan dengan nyaring). Tidak ada ketentuan dari segi waktu untuk membaca kedua mantra. Mantra dapat dibaca setelah shalat, sebelum tidur, atau kapan saja. Proses PewarisanMantra Asihan 3 dan 4 Kedua mantra belum memiliki proses pewarisan sebab kedua mantra tersebut merupakan mantra yang diciptakan baru. Informan sendiri mengaku belum mewariskannya kepada keturunannya atau orang lain yang berguru kepadanya. Larangan Mantra Asihan 3 dan 4 Kedua mantra tersebut tidak boleh digunakan untuk sesuatu hal yang buruk. Kedua mantra hanya diperkenankan untuk menarik hati orang agar mengasihi penutur. Hal buruk yang tidak boleh dilakukan contohnya ialah menaklukan orang lain yang kemudian akan diperalat untuk kepentingan atau keuntungan diri kita sendiri. Fungsi Mantra Asihan 3 dan 4 Kedua mantra berfungsi untuk mempengaruhi alam bawah sadar seseorang agar tertanam rasa cinta atau sayang yang dalam kepada orang yang menuturkan mantra. Pembacaan mantra berfungsi juga untuk mencegah putusnya tali silaturahmi. Dari analisis mantra keempat diketahui teks mantra berupa kalimat imperatif karena ada perintah atau petunjuk. Rima yang terdapat dalam mantra tersebut cenderung tidak berpola tapi, terdapat rima tak sempurna terdapat pada kata uka saya cantiknya. Gaya bahasa yang terdapat dalam mantra tersebut salah satunya, yaitu asosiasi (perbandingan tak langsung) yang terdapat pada larik muka saya cantiknya seperti terang bulan purnama dalam gaya bahasa asosiasi perbandingan itu dinyatakan salah satunya dengan kata seperti. Diksinya sangan mudah dipahami sehingga maknannya dapat tersampaikan dengan utuh. Dalam mantra keempat, bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda arkaik karena semua kata yang terdapat dalam kalimat tersebut biasa digunakan masyarakat dalam kegiatan berkomunikasi sehari-hari dan maknanya mudah dipahami. Hal tersebut terlihat pada larik beungeut urang geulisna kawas caang bulan purnama sehingga pembaca yang membaca mantra tersebut akan mengetahui maknanya tidak harus bingung untuk mengartikan makna dari suatu kata. Nilai Lokalitas Nilai lokalitas dalam mantra tidak hanya berupa bentuk kearifan atas alam semesta. Nilai lokalitas pun tak terbatas pada teks manta yang biasanya menyeru nama karuhun sebagai bentuk pengabdian/penghormatan pemilik (pencipta) mantra terhadap leluhur. Nilai lokalitas dalam mantra dapat berupa nilai kepatuhan atas persyaratan pembacaan yang menjadi konteks penuturan mantra. 344

Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

Nilai lokalitas mantra yang berupa kearifan atas alam semesta terlihat pada mantra kedua dengan kemunculan isotopi alam. Kemunculan caah dan cileuncang (banjir dan air hujan) yang merupakan isotopi alam menunjukkan hubungan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan alam pun terlihat pada larik ketiga: beurang peuting (siang malam). Selain kemuculan teks yang berhubungan dengan alam, kemunculan teks yang berhubungan dengan makhluk hidup yakni manusia terlihat pada larik keempat: akmana sukmana bayuna (raganya, jiwanya, hatinya). Pada mantra keempat pun terlihat hubungan manusia dengan alam yakni kemunculan caang bulan purnama (terang bulan purnama). Dalam hal ini, teks mantra menggambarkan keselarasan hubungannya dengan alam dan makhluk hidup. Sementara nilai lokalitas mantra yang berupa bentuk pengabdian/penghormatan terhadap leluhur terlihat pada teks mantra yang menyeru nama leluhur. Seperti dalam mantra asihan kesatu yang menyeru ratu dan dewa. Ratu yang dimaksud dalam mantra ialah seseorang yang dijadikan sebagai guru, bisa juga berarti yang disembah. Dalam proses penciptaan mantra, tidak bisa dilepaskan dari persoalan gaib yang menyertainya. Biasanya hal tersebut berupa keterlibatan makhluk gaib yang memberi kekuatan kemudian dianggap sebagai sesembahan dan disebut sebagai ratu. Selain itu, penyebutan dewa pun dilakukan mengingat persoalan kepercayaan masyarakat kita pada masa lampau yakni bersifat animisne/dinamisne. Penyeruan nama dewa-dewa atau karuhun/leluhur bermula dari kepercayaan manusia dan asal mula religi. Menurut Taylor (Hadish, 1986: 37), asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa (soul). Jiwa tetap hidup, dan dapat berbuat sesukanya walaupun jasmaninya telah rusak. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu yang tidak disebut soul lagi tetapi spirit, atau makhluk gaib. Dengan demikian, pikiran manusia telah mentransformasikan kesadaran akan adanya jiwa menjadi kepercayaan pada makhlukmakhluk gaib. Manusia kemudian percaya bahwa makhluk-makhluk itulah yang menempati alam sekeliling tempatnya. Makhluk yang dianggap mampu berbuat hal yang tidak dapat diperbuat manusia menempati tempat yang penting dalam kehidupannya sehingga menjadi objek penghormatan dan penyembahan dengan berbagai upacara berupa doa, sajian, atau kurban. Religi serupa itulah yang disebut animism oleh Taylor. Pada perkembangannya, setelah daerah-daerah di wilayah Sunda yang berada dalam kekuasaan Raja Pajajaran yang penduduknya pada umumnya memeluk agama Hindu Budha mengalami kekalahan perang melawan Banten, maka pengaruh agama Islam memegang peranan yang sangat penting. Lama-kelamaan rakyat di tanah Sunda memeluk agama Islam.Meskipun demikian, masih terdapat pengaruh budaya lama atau kebudayaan lama bercampur kebudayaan baru dari pengaruh agama Islam. Hal tersebut berpengaruh pada teks mantra yang tidak lagi menyerukan nama dewa-dewa. Kata-kata yang muncul dalam teks mantra lebih mengarah pada kata-kata yang menunjukkan kepemelukan agama Islam, seperti penggunaan kata Gusti atau Rasulullah. Akan tetapi, fungsinya tetap sama untuk memohon perlindungan dan bantuan pada kekuasaan tertinggi. Hal tersebut terlihat dalam mantra ketiga dan keempat yang menyebutkan Tuhan dalam agama Islam (Allah) dan nabi-Nya (Muhammad). Dalam mantra, penyebutan nama leluhur yang diganti atau bahkan disandingkan dengan nama Tuhan dalam ajaran agama (Islam) telah menjadi perpaduan yang sinergis. Kesadaran manusia bahwa Tuhan merupakan penggerak dalam setiap keinginan telah terwujudkan dalam penggabungan penyebutan/seruan nama Tuhan dengan nama leluhur/karuhun. Dalam hal ini, Tuhan telah menjadi representasi dari verbalitas cita-cita manusia. Perpaduan antara hal-hal yang sifatnya budaya atau kepercayaan dikategorikan ke dalam bentuk sinkretisme. Sutiyono (2010: 4) mengatakan cara sinkretisme adalah cara-cara 345

Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

seseorang dalam menghayati dan mengamalkan agama dengan memilih-milih ajaran tertentu dari berbagai agama untuk dipraktikkan dalam kehidupan keagamaan diri sendiri atau untuk diajarkan kepada orang lain. Itu sebabnya dalam mantra ketiga dan keempat, unsur sinkretis sangat tampak dengan kemunculan penyebutan sifat-sifat Tuhan: Ya Rahman Ya Rohim Ya Rozak, penyebutan nama nabi: Ya Muhamad, dan pada larik Ya Nurullohii yang berarti cahaya Illahi. Nilai lokalitas dapat berwujud konkret berupa kepatuhan atas persyaratan dan larangan dalam penuturan mantra. Nilai lokalitas yang berupa kepatuhan ditransformasikan dalam bentuk bahan ajar guna pembangun karakter peserta didik. Nilai-nilai lokalitas dalam mantra ditransformasikan dengan tujuan analisis atas teks mantra tidak hanya berfokus pada struktur teks dan pada persoalan magisnya saja. Nilai lokalitas dapat berupa transformasi sikap penutur mantra atas mantra yang dibacanya. Sikap tersebut dapat berupa kepatuhan, kesungguh-sungguhan, keseriusan, kepercayaan, percaya, dan yakin. Sikap-sikap itulah yang dijadikan model transformasi dalam pembelajaran guna membentuk karakter siswa dimulai dengan pembelajaran teks mantra. Nilai kepatuhan dapat diwujudkan agar siswa dapat patuh terhadap norma yang dianut oleh masyarakat, dalam hal ini pihak sekolah. Sikap patuh dapat menjadikan kehidupan lebih baik sebab pelanggaran atas norma dapat diminimalkan. Penguatan karakter siswa dapat dititikberatkan atas pengenalan nilai kepatuhan sekaitan dengan norma yang berlaku di lingkungan sekolah. Sikap patuh dapat diwujudkan agar siswa dapat membentuk karakternya melalui sebuah kebiasaan mematuhi norma: tidak menyontek, tidak membolos, tidak berbuat onar, aktif, giat, dan sebagainya. Nilai kesungguh-sungguhan berselaras dengan nilai keseriusan. Kedua nilai tersebut dapat ditransformasikan dalam konteks pembelajaran. Sikap kesungguh-sungguhan berguna agar siswa optimal dalam belajar, menunjukkan keseriusan dalam meningkatkan prestasi, menunjukkan usaha untuk memahami materi, sekaligus memiliki keberanian untuk berpendapat tanpa dipenuhi ketakutan atas kebenaran pendapatnya. Sikap berani menunjukkan kesungguh-sungguhan dan keseriusan sebab siswa mengukur dan mengatur kemauannya dalam mengemukakan pendapat. Nilai kepercayaan menguatkan siswa atas kepercayaan yang diyakininya. Hal tersebut berguna agar siswa sadar atas hubungan dirinya dengan Tuhan. Nilai kepercayaan bukan dimaksudkan hanya sekadar membuat siswa terkesan tampak religius, namun menumbuhkan sikap sadar atas ketuhanan dan ciptaan-Nya. Selain itu, siswa dilatih untuk sadar bahwa semua yang ada di dunia merupakan kuasa Tuhan sehingga tumbuh sikap berempati terhadap lingkungan. Sadar hubungan dirinya dan Tuhan membuat sikap positif untuk menjaga dan merawat apa yang sudah diberikan Tuhan baik berupa kesehatan pribadi maupun kelestarian lingkungan. Hal ini berdampak atas karakter yang lebih tinggi yakni jujur. Jujur merupakan implikatur dari kesadaran siswa atas hubungannya dengan Tuhan. Nilai percaya menggambarkan sikap yang harus dimiliki siswa yakni saling percaya dengan sesama (teman dan guru). Sikap percaya dinilai mampu membuat interaksi antarsesama lebih baik sebab dengan menumbuhkan sikap saling percaya dapat menghasilkan minimnya sikap berburuk sangka terhadap orang lain. Nilai yakin menumbuhkan sikap positif pada diri seseorang. Nilai yakin dalam mantra dapat memberikan sugesti positif agar seseorang harus yakin atas apa yang dilakukannya untuk mendapat hasil yang maksimal. Begitupun sikap yakin dalam pembelajaran, ditumbuhkembangkan terhadap siswa agar yakin dengan kemampuan sendiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau cara lain dengan cara menyontek atau bekerja sama dalam mengerjakan soal ujian. Nilai-nilai lokalitas yang ditransformasikan tersebut telah mampu membuat siswa lebih toleran terhadap temannya. Nilai kejujuran pun mulai terlihat dalam pengerjaan soal 346

Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

ujian. Terlebih lagi, praktik ejek-mengejek (bullying) yang saat ini sedang marak di kalangan pelajar, menunjukkan penurunan intensitas. Tak hanya itu, kebersihan lingkungan kelas pun mulai terbina sebab siswa telah sadar mengenai hubungan dirinya Tuhan dan alam semesta. SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa proses penciptaan mantra beberapa di antaranya sangat berkaitan dengan proses pewarisaan. Artinya, mantra yang diperoleh bukanlah ciptaan informan melainkan hasil warisan (pemberian) leluhur (guru atau orang tua). Namun begitu, terdapat satu mantra yang merupakan mantra hasil penciptaan informan sendiri, bukan merupakan pemberian leluhur. Konteks penuturan mantra dilakukan dengan beberapa persyaratan yang harus dipatuhi penutur mantra. Selain adanya persyaratan tertentu, konteks penuturan mantra pun sangat berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan penutur. Fungsi mantra memiliki fungsi ritual dan fungsi sosial budaya. Fungsi ritual pada mantra tampak sebagai bentuk permohonan (doa) atas keinginan seseorang. Sementara fungsi sosial budaya mantra yakni sebagai bagian dari identitas kultural yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai kesejarahan masyarakat Indonesia yang semula menganut paham animisme dan dinamisme. Selain itu, mantra memiliki fungsi sosial dan budaya sebagai alat kontrol sosial, yakni adanya nilai yang dianut oleh masyarakat dan dapat ditransformasikan guna membentuk karakter yang lebih baik. Nilai lokalitas dalam mantra dapat pula menumbuhkan rasa kebersamaan dan toleransi. DAFTAR RUJUKAN Bogdan B. (1982). Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Sydney: Allyn and Bacon, Inc. Bungin, B. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada. Danandjaja, J. (2007). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti. Hadish, Y.K. dkk. (1986). Puisi Sawer Bahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Rusyana, Y. (1970). Bagbagan Puisi Mantra Sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Foklor Sunda. Sibarani, R. (2012). Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. Sutiyono. (2010). Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Syamsuddin, A.R. dan Vismaia S. Damaianti. (2006). Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Rosda. Taum, Y.Y. (2011). Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.

347

Related Documents

Fahmi
June 2020 9
Mantra
December 2019 30
Mantra
June 2020 27
Mantra
October 2019 47
An Pembangunan Di Daerah
October 2019 28

More Documents from "guritno soerjodibroto"