330054_pengertian Gcg (etika Bisnis).docx

  • Uploaded by: Baharudin Yusuf Ramadhan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 330054_pengertian Gcg (etika Bisnis).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,143
  • Pages: 20
BAB II Kajian teori

Pengertian GCG Istilah GCG dewasa in sudah sangat populer, namun sampai saat ini belum ada definisi baku yang dapat disepakati oleh semua pihak. Istilah “corporate governance” pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee, Inggri di tahun 19922 yang menggunakan istilah tersebut dalam laporannya yang kemudian dikenal sebagai Cadbury Report (dalam Sukrisno Agoes, 2006). Istilah ini sekaranag menjadi sangat populer dan telah diberi banyak definisi oleh berbagai pihak. Dibawah ini diberikan beberapa defini dari beberapa sumber yang dapat dijadikan acuan. 1. Cadbury Committee of United Kingdom: “a set rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the goverment, employees, and other internal and external stakeholders in respect to their right and responsibilities, or the system

by

which

[“Seperangkat

companies

are

directed

and

controlled”.

peraturan yang mengatur hubungan antara

pemegang saham, pengurus (pengelola)perusahaan, pihak kreditur,

pemerintah,

karyawan,

serta

para

pemegang

kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain Suatu Sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan”.] 2. Forum for corporate governance in Indonesia-FCGI (2006)-tidak membuat definisi tersendiri tetapi mengambil definisi dari Cadbury Committee

of

United

Kingdom,

yang

kalau

diterjemahkan

adalah:”....seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta pemegang kepentingan internal dan

eksternal lainnya berkaitan dengan hak-hak kewajiban mereka;atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.” 3. Sukrisno Agoes (2006) mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan peran dewan komisaris,

peran

direksi,

pemegang

saham,

dan

pemangku

kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya. 4. Organization for Economic Cooperation and Development-OECD (dalam Tjager dkk, 2004)-mendefinisikan GCG sebagai: [“suatu struktur yang terdiri atas para pemegang saham, direktur, manajer, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.”] 5. Wahyudi Prakarsa (dalam Sukrisno Agoes, 2006) mendefinisikan GCG sebagai:”...mekanisme hubungan

antara

administratif

manajemen

yang

mengatur

perusahaan,

hubungan-

komisaris,

direksi,

pemegang saham dan kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk berbagai aturan permainan dan sistem intensif sebagai kerangka kerja (framework) yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan perusaahan dan cara-cara pencapaian tujuan-tujuan serta pemantauan kinerja yang dihasilkan.”

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat diketahui bahwa GCG dapat diberi pengertian dalam arti sempit dan dalam arti luas. Definisi yang disampaikan oleh OECD dapat mewakili pengertian dalam arti sempit, sedangkan definisi yang diberikan oleh Cadbury Committe, Sukrisno Agoes dan Wahjudi Prakarsa dapat mewakili pengertian GCG dalam arti luas.

Konsep GCG

1. Wadah Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan). 2. Model Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk prinsipprinsip, serta nilai-nilai yang melandasi praktik bisnis yang sehat. 3. Tujuan  Meningkatkan kinerja organisasi.  Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan.  Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang signifikan dalam pengelolaan organisasi.  Meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan tidak dirugikan. 4. Mekanisme Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran, wewenang, dan tanggung jawab:  Dalam arti sempit: antar pemilik/pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.  Dalam arti luas: antar seluruh pemangku kepentingan.

Prinsip-prinsip GCG Konsep GCG memperjelas dan mempertegas mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam suatu organisasi. Organization for Economic Cooperation and Development mencoba untuk mengembangkan beberapa prinsip yang dapat dijadikan acuan baik oleh pemerintah maupun para pelaku bisnis dalam mengatur mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan tersebut. Prinsip-prinsip OECD (dalam Sukrisno Agoes, 2006) mencakup lima bidang utama, yaitu: hak-hak para pemegang saham (stockholders) dan perlindungan; peran para karyawan dan pihakpihak

yang

berkepentingan

(stakeholders)

lainnya;

pengungkapan

(disclosure) yang akurat dan tepat waktu; transparansi terkait dengan struktur dan operasi perusahaan; serta tanggung jawab dewan (maksudnya Dewan komisaris dan Direksi) terhadap perusahaan, pemegang saham,

dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Secara ringkas, prinsipprinsip tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: a. Perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan (fairness) b. Transparansi (transparency) c. Akuntabilitas (accountability) d. Responsibilitas (responsibility) Dalam hubungan dengan tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menteri negara Bumn juga mengeluarkan keputusan Nomor Kep-117/MMBU/2002 tentang Penerapan GCG (Tjager dkk, 2003). Ada lima prinsip menurut keputusan ini, yaitu: a. Kewajaran (fairness) b. Transparansi c. Akuntabilitas d. Pertanggungjawaban e. Kemandirian

Selanjutnya,

National

Committee

on

Governance

(NCG,2006)

memuublikasikan “kode Indonesia tentang tata kelola perusahaan yang baik (Indonesia’s Code of Good Corporate Governance) pada tanggal 17 Oktober 2006. Sebagaimana dinyatakan dalam kata pengantar oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dr.Boediono, walaupun Kode Indonesia tentang GCG ini bukan merupakan suatu peraturan, tetapi dapat menjadi pedoman dasar bagi seluruh perusahaan di Indonesia dalam menjalankan usaha agar kelangsungan hidup perusahaan lebih terjamin dalam jangka dalam koridor etika bisnis yang pantas. Dalam kode GCG ini, NCG mengemukakan lima prinsip GCG yaitu: a. Transparan (tranparency) b. Akuntabilitas (accountability) c. Responsibilitas (responsibility) d. Indepedensi (independency)

e. Kesetaraan (fairness)

Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh NCG hampir sama dengan yang diungkapkan oleh Menteri Negara BUMN. Penjelasan singkat atas masingmasing prinsip yang telah dikemukakan dapat diberikan sebagai berikut: a. Perlakuan yang setara (fairness) merupakan prinsip agar para pengelola memperlakukan semua pemangku kepentingan secar adil dan setara, baik pemangku kepentingan primer (pemasok, pelanggan, karyawan, modal)

maupun

pemangku

kepentingan

sekunder

(pemerintah,

masyarakat, dan yang lainnya). Hal inilah yang memunculkan konsep stakeholders (seluruh kepentingan pemangku kepentingan), bukan hanya kepentingan stockholders (pemegang saham saja). b. Prinsip transparansi (disebut juga prinsip keterbukaan), artinya kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses keputusan dan penyampaian informasi. Keterbukaan dalam menyampaikan informasi juga mengandung arti bahwa informasi yang disampaikan harus lengkap, benar, dan tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan tidak boleh ada hal-hal yang dirahasiakan, disembunyikan, ditutupi-tutupi, atau ditunda-tunda pengungkapannya. c. Prinsip akuntabilitas adalah prinsip di mana para pengelola berkewajiban untuk mebina sistem akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan (financial statement) yang dapat dipercaya. Untuk itu, diperlukan kejelasan fungsi, pelaksana, dan pertanggung jawaban setiap organ sehingga pengelolaan berjalan efektif. d. Prinsip responsilibilitas (lebih sering disebut prinsip tanggung jawab) adalah

prinsip

di

masa

para

pengelola

wajib

memberikan

pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam mengelola perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai wujud kepercayaan yang diberikan kepadanya. Prinsip tanggung jawab ada sebagai konsekuensi logis dari kepercayaan dan wewenang yang diberikan oleh para pemangku kepentingan kepada para pengelola perusaahan. Tanggung

jawab ini mempunyai lima dimensi, yaitu: ekonomi, hukum, moral, sosial, dan spiritual yang dijelaskan sebagai berikut:  Dimensi ekonomi, artinya tanggung jawab pengelolaan diwujudkan dalam bentuk pemberian keuntungan ekonomis bagi para pemangku kepentingan.  Dimensi hukum, artinya tanggung jawab pengelolaan diwujudkan dalam bentuk ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku; sejauh mana tindakan manajemen telah sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.  Dimensi moral, artinya sejauh mana wujud tanggung jawab tindakan manajemen tersebut telah dirasakan keadilannya bagi semua pemangku kepentingan.  Dimesi sosial, artinya sejauh mana manajemen telah menjalankan corporate social responbility (CSR) sebagai wujud kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam di lingkungan perusahaan.  Dimensi spiritual, artinya sejauh mana tindakan manajemen telah mampu mewujudkan aktualisasi diri atau telah dirasakan sebagai bagian dari ibadah sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya. e. Kemandirian sebagai tambahan prinsip dalam mengelola BUMN, artinya suatu keadaan di mana para pengelola dalam mengambil suatu keputusan bersifat profesional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan, dan bebas dari tekanan/pengaruh dari mana pun yang bertentangan dengan

perundang-undangan

yang

berlaku

dan

prinsip-prinsip

pengelolaan yang sehat.

Sebenarnya, tiga dari keempat prinsip GCG tersebut- transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab-mempunyai arti yang sangat erat dan tumpang-tindih. Laporan keuangan yang lengkap dan benar (prinsip akuntabilitas) merupakan salah satu alat pertanggung jawaban (prinsip tanggung jawab) para pengelola (manajemen,direksi) kepada para

pemangku

kepentingan.

Namun,

harus

dipahami

bahwa

wujud

pertanggungjawaban manajemen tidak terbatas hanya dalam bentuk penyampaian laporan keuangan (dimensi ekonomis) saja, tetapi juga mencakup empat dimensi lainnya (hukumu, moral, sosial dan spiritual). Laporan keuangan yang baik adalah laporan keuangan yang menyajikan kinerja keuangan apa adanya, tidak ada yang disembunyikan, dan disusun berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Ini berarti bahwa laporan keuangan yang disusun harus mengikuti prinsip transparansi. Namun harus dimengerti bahwa laporan hanya salah satu jenis informasi yang berhubungan dengan aktivitas perusahaan. Prinsip transparanis menghendaki penyampaian seluruh informasi, baik yang bersifat keungan maupun non-keuangan secara lengkap, benar, dan tepat waktu kepada seluruh pemangku kepentingan. Keempat tanggung

prinsip

ini-kesetaraan,

jawab-sebenarnya

transparansi,

merupakan

akuntanbilitas,

jawaban

langsung

dan atas

permasalahan/skandal yang dihadapi oleh dunia usaha, bukan saja di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, berbagai skandal yang marak dihadapi oleh dunia usaha terjadi dalam bentuk: a. Perlakuan tidak adil yang dihadapi oleh satu atau beberapa pemangku kepentingan. Misalnya, rekayasa pengajuan pinjaman (credit proposal) yang dilakukan oleh direksi perusahaan untuk memperoleh kredit bank tentu lebih menguntungkan kepentingan pemegang saham dan merugikan kepentingan pemangku kepentingan lainnya-dalam hal ini adalah bank. b. Maraknya rekayasa laporan keuangan dan sering timbulnya insider trading yang dilakukakn oleh para eksekutif puncak baik di Indonesia maupun AS yang bahkan melibatkan beberapa akuntan publik ternama, akhirnya

mempertegas

kembali

transparansi dan akuntabilitas.

pentingnya

penerapan

prinsip

c. Munculnya berbagai kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sangat canggih, korupsi, kolusi dan nepotisme yang melibatkan para pelaku bisnis dan oknum birokrasi pemerintahan sangat merugikan masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan. Timbulnya berbagai kerusakan

alam

semuanya

ini mencerminkan

lemahnya

wujud

kesadaran dan tanggung jawab dari para eksekutif puncak dan oknum pejabat pemerintah terkait. Namun harus diingat bahwa wujud tanggung jawab meliputi lima dimensi yaitu: ekonomi, hukum, moral, sosial, dan spiritual.

Manfaat GCG Salah satu akar krisis ekonomi di Indonesia dan krisis pasar modal di AS adalah buruknya kinerja perusahaan-perusahaan besar yang sebagian besar merupakan perusahaan publik yang telah terdaftar di bursa. Buruknya kinerja ini disebabkan oleh berbagai praktik kecurangan yang dilakukan oleh para eksekutif perusahaan-perusahaan tersebut. Praktikpraktik manipulasi ini sangat merugikan para investor sehingga para investor tidak percaya lagi pada institusi pasar modal dan institusi pengawas pasar modal tersebut. Akibat kepanikan dan kehilangan kepercayaan, para investor tersebut melakukan penarikan modal besarbesaran secara beruntun dari bursa sehingga menimbulkan tekanan berat pada indeks harga saham di bursa. Penerapan konsep GCG merupakan salah satu upaya untuk memulihkan kepercayaan para investor dan institusi terkait di pasar modal. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tujuan penerapan GCG adalah untuk meningkatkan kinerja organisasi serta mencegah atau memperkecil peluang praktik manipulasi dan kesalahan signifikan dalam pengelolaan kegiatan organisasi. Tjager dkk, (2003) mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasan mengapa penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu: 1. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh McKinsey&Company menunjukkan

bahwa

para

investor

institusional

lebih

menaruh

kepecayaan terhadap perusahaan-perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG. 2. Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis finansial dan krisi berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola perusahaan. 3. Internasionalisasi pasar-termasuk liberalisasi pasar finansial dan pasar moda-menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG. 4. Kalaupun GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, sistem ini dapat menjadi dasar bagi berkembangnya sistem nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah. 5. Secara teroritis, paraktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2007) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat dari penerapan GCG adalah: 1. Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing. 2. Mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah. 3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan. 4. Meningkatakan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan terhadap perusahaan. 5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum.

Konsep GCG merupakan upaya perbaikan terhadap sistem, proses, dan seperangkat peraturan dalam pengelolaan suatu organisasi yang pada esensinya mengatur dan memperjelas hubungan, wewenang, hak dan kewajiban semua pemangku kepentingan dalam arti luas dan khususnya organ RUPS, Dewan komisaris, dan Dewan Direksi dalam arti sempit. Namun harus disadari bahwa betapa pun baiknya suatu sistem dan perangkat hukum yang ada, pada akhirnya yang menjadi penentu utama adalah kualitas dan tingkat kesadaran moral dan spiritual dari para aktor/pelaku bisnis itu sendiri.

Agency Theory Teori keagenan (Agency theory)

Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer. Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency Theory (teori keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari perkembangan model akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model ekonomi. Teori

agensi

mendasarkan

hubungan

kontrak

antara

pemegang

saham/pemilik dan manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan. Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut. Hubungan antara principal dan agent dapat mengarah pada kondisi ketidakseimbangan informasi (asymmetrical information) karena agent berada pada posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Dalam kondisi yang asimetri

tersebut, agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba. Salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan membatasi perilaku opportunistic manajemen adalah corporate governance. Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu diperhatikan untuk terselenggaranya praktik good corporate governance adalah; transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness), dan responsibilitas (responsibility). Corporate governance diarahkan untuk mengurangi asimetri informasi antara principal dan agent yang pada akhirnya diharapkan dapat meminimalkan tindakan manajemen laba.

Kemudian, masalah keagenan juga akan timbul jika pihak manajemen atau agen perusahaan tidak atau kurang memiliki saham biasa perusahaan tersebut. Karena dengan keadaan ini menjadikan pihak manajemen tidak lagi berupaya untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan dan mereka berusaha untuk mengambil keuntungan dari beban yang ditanggung oleh pemegang saham. Cara yang dilakukan pihak manajemen adalah dalam bentuk peningkatan kekayaan dan juga dalam bentuk kesenangan dan fasilitas perusahaan. Dijelaskan dalam Jensen dan Meckling (1976), Jensen (1986), Weston dan Brigham (1994), bahwa masalah keagenan dapat terjadi dalam 2 bentuk hubungan, yaitu; (1)antara pemegang saham dan manajer, dan (2)antara pemegang saham dan kreditor. Jika suatu perusahaan berbentuk perusahaan perorangan yang dikelola sendiri oleh pemiliknya, maka dapat diasumsikan bahwa manajer– pemilik tersebut akan mengambil setiap tindakan yang mungkin, untuk memperbaiki kesejahteraannya, terutama diukur dalam bentuk peningkatan kekayaan perorangan dan juga dalam bentuk kesenangan dan fasilitas eksekutif. Tetapi, jika manajer mempunyai porsi sebagai pemilik dan mereka mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk perseroan

dan menjual sebagian saham perusahaan kepada pihak luar, maka pertentangan kepentingan bisa segera timbul. Keadaan ini menjadikan manajer mungkin saja tidak sedemikian gigih lagi untuk memaksimumkan kekayaan pemegang saham karena jatahnya atas kekayaan tersebut telah berkurang sesuai dengan pengurangan kepemilikan mereka. Atau mungkin saja manajer menetapkan gaji yang besar bagi dirinya atau menambah fasilitas eksekutif, karena sebagian di antaranya akan menjadi beban pemegang saham lainnya. Konflik antara pemegang saham dengan kreditur Kreditur menerima uang dalam jumlah tetap dari perusahaan (bunga hutang),sedangkan pendapatan

pemegang

saham

bergantung

pada

besaran

laba

perusahaan.Dalam situasi ini, kreditur lebih memperhatikan kemampuan perusahaan untuk membayar kembali utangnya, dan pemegang saham lebih

memperhatikankemampuan

perusahaan

untuk

memperoleh

kembalian yang besar adalah melakukaninvestasi pada proyek ± proyek yang berisiko. Apabila pelaksanaan proyek yang berisiko itu berhasil maka kreditur tidak dapat menikmati keberhasilan tersebut, tetapiapabila proyek mengalami kegagalan, kreditur mungkin akan menderita kerugianakibat dari

ketidakmampuan

pemegang

saham

untuk

memenuhi

kewajibannya.Untuk mengantisipasi kemungkinan rugi, maka kreditur melakukan pembatasan penggunaan hutang oleh manajer. Salah satu pembatasan adalah membatasi jumlah penggunaan hutang untuk investasi dalam proyek baru.Konflik antara pemegang saham dengan pihak manajemenWalaupun telah dilakukan kontrak kerja yang sah antara pihak principal dan agent,namun di sisi lain pihak agent memiliki pengetahuan yang lebih banyak mengenai perusahaan (full information) dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh pihak principal. Pengetahuan yang lebih banyak dimiliki oleh pihak agentdibandingkan dengan

pengetahuan

yang

dimiliki

oleh

pihak

membuatterbentuknya suatu asimetri information atau

principal

ini

asymetric information . Teori Akuntansi Keuangan´ Agency Theory ´ Adanya

asimetri

informasi

ini

menyebabkan

kemungkinan

munculnya konflik antara pihak principal dan agent. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: (1) manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self interest ),(2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang( bounded rationality ), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk adverse).Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi yangdihasilkan

manusia

untuk manusia lain

selalu dipertanyakan

reliabilitasnya dan dapatdipercaya tidaknya informasi yang disampaikan (Muh.Arief Ujiyantho). Asimetriinformasi ini juga pada akhirnya dapat memberikan kesempatan bagi para manajer untuk melakukan manajemen laba sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pribadinya. Jensen dan Meckling dalam Isnanta (2008), menyatakan bahwa teori keagenan mendeskripsikan pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham. Karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan agen. Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat mengakomodasi kepentingan

pihak-pihak

yang

terlibat

dalam

kontrak

keagenan.

Kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor, yaitu : 1.

Agen dan pinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen

maupun majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama

sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan 2.

dirinya

sendiri

Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil

yang berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang

diterimanya.

Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena manajer berada didalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi mengenai perusahaan,sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan tidak pernah datang ke perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat sedikit. Hal ini menyebabkan kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga hubungan agen dan prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Agen sebagai pengendali perusahaan pasti memiliki informasi yang lebih baik dan lebih banyak dibandingkan dengan prinsipal. Di samping itu, karena verifikasi sangat sulit dilakukan, maka tindakan agen pun sangat sulit untuk diamati. Dengan demikian, membuka peluang agen untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri dengan melakukan tindakan yang tidak semestinya atau sering disebut disfunctional behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan prinsipal, baik memanfaatkan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, maupun perekayasaan kinerja perusahaan. Salah satu hipotesis dalam teori ini adalah bahwa manajemen dalam mengelolah perusahaan cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada meningkatkan nilai perusahaan. Contoh nyata yang dominan terjadi dalam kegiatan perusahaan dapat disebabkan karena pihak agensi memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal (keunggulan informasi), sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power). Contoh lain Agency theory sebenarnya juga dapat dipahami dalam lingkup lembaga

kemahasiswaan.

Pengurus

yang

dipercayakan

menjadi

perpanjangan tangan keluarga mahasiswa untuk mengelolah organisasi menjadi agen yang idealnya mampu mengakomodasi semua kepentingan keluargaNamun, terkadang pengurus lembaga kemahasiswaan tak mampu menjalankan ini dengan baik. Kecenderungan pengurus lebih memilih melaksanakan kepengurusan sesuai dengan keinginannya. Kepentingan keluarga menjadi terabaikan.

Solusi memperkecil timbulnya Agency Teori Teori agensi berawal dengan adanya penekanan pada kontrak sukarela yang timbul di antara berbagai pihak organisasi sebagai suatu solusi yang efisien terhadap konflik kepentingan tersebut. Teori ini berubah menjadi suatu pandangan atas perusahaan sebagai suatu penghubung (nexus) kontrak (Jensen dan Macklin).Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer. Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency Teori (teori keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam perkembangan

riset

akuntansi

yang

merupakan

modifikasi

dari

perkembangan model akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model ekonomi. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemegang saham/pemilik dan manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan. Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada

agent tersebut. Hubungan antara principal dan agent dapat mengarah pada kondisi ketidakseimbangan informasi (asymmetrical information) karena agent berada pada posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, agent dapat mempengaruhi angka

Etika Bisnis A. Code of Corporate and Business Conduct Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (Code of Corporate and Business Conduct)” merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan praktek-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan & pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi peraturan yang ada. Pelanggaran atas Kode Etik dapat termasuk kategori pelanggaran hukum. B. Nilai Etika Perusahaan Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya bukan sekedar buku atau dokumen yang tersimpan saja. Namun Kode Etik tersebut hendaknya dapat dimengerti oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat dilaksanakan dalam bentuk tindakan (action). Beberapa contoh pelaksanaan kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain masalah : 1. Informasi rahasia

Dalam informasi rahasia, seluruh karyawan harus dapat menjaga informasi

rahasia

mengenai

perusahaan

dan

dilarang

untuk

menyebarkan informasi rahasia kepada pihak lain yang tidak berhak. Adanya kode etik tersebut diharapkan dapat terjaga hubungan yang baik dengan pemegang saham (share holder), atas dasar integritas (kejujuran) dan transparansi (keterbukaan), dan menjauhkan diri dari memaparkan informasi rahasia. Selain itu dapat terjaga keseimbangan dari kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya dengan kepentingan yang layak dari karyawan, pelanggan, pemasok maupun pemerintah dan masyarakat pada umumnya. 2. Benturan Kepentingan (Conflict of interest) Seluruh karyawan & pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang bebas dari suatu benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perusahaan. Suatu benturan kepentingan dapat timbul bila karyawan & pimpinan perusahaan memiliki, secara langsung maupun tidak langsung kepentingan pribadi didalam mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut seharusnya diambil secara obyektif, bebas dari keragu-raguan dan demi kepentingan terbaik dari perusahaan. Beberapa kode etik yang perlu dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain menghindarkan diri dari situasi (kondisi) yang dapat mengakibatkan suatu benturan kepentingan. Selain itu setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang merasa bahwa dirinya mungkin terlibat dalam benturan kepentingan harus segera melaporkan semua hal yang bersangkutan secara detail kepada pimpinannya (atasannya) yang lebih tinggi. Terdapat 8 (delapan) hal yang termasuk kategori situasi benturan kepentingan (conflict of interest) tertentu, sebagai berikut : 1. Segala konsultasi atau hubungan lain yang signifikan dengan, atau berkeinginan mengambil andil di dalam aktivitas pemasok, pelanggan atau pesaing (competitor). 2. Segala kepentingan pribadi yang berhubungan dengan kepentingan perusahaan.

3. Segala hubungan bisnis atas nama perusahaan dengan personal yang masih ada hubungan keluarga (family), atau dengan perusahaan yang dikontrol oleh personal tersebut. 4. Segala posisi dimana karyawan & pimpinan perusahaan mempunyai pengaruh atau kontrol terhadap evaluasi hasil pekerjaan atau kompensasi dari personal yang masih ada hubungan keluarga. 5. Segala penggunaan pribadi maupun berbagi atas informasi rahasia perusahaan demi suatu keuntungan pribadi, seperti anjuran untuk membeli atau menjual barang milik perusahaan atau produk, yang didasarkan atas informasi rahasia tersebut. 6. Segala penjualan pada atau pembelian dari perusahaan yang menguntungkan pribadi. 7. Segala penerimaan dari keuntungan, dari seseorang / organisasi / pihak ketiga yang berhubungan dengan perusahaan. Segala aktivitas yang terkait dengan insider trading atas perusahaan yang telah go public, yang merugikan pihak lain. 8. Sanksi Setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar ketentuan dalam Kode Etik tersebut perlu dikenakan sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku di perusahaan, misalnya tindakan disipliner termasuk sanksi pemecatan (Pemutusan Hubungan Kerja). Beberapa tindakan karyawan & pimpinan perusahaan yang termasuk kategori pelanggaran terhadap kode etik, antara lain mendapatkan, memakai atau menyalahgunakan aset milik perusahaan untuk kepentingan / keuntungan pribadi, secara fisik mengubah atau merusak asset milik perusahaan tanpa izin yang sesuai dan menghilangkan asset milik perusahaan. Untuk melakukan pengujian atas Kepatuhan terhadap Kode Etik tersebut perlu dilakukan semacam audit kepatuhan (compliance audit) oleh pihak yang independent, misalnya Internal Auditor, sehingga dapat diketahui adanya pelanggaran berikut sanksi yang akan dikenakan

terhadap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar kode etik. Akhirnya diharpkan para karyawan maupun pimpinan perusahaan mematuhi Code of Corporate & Business Conduct yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai penerapan GCG. Konsep Good Corporate Governance (GCG) adalah konsep yang sudah saatnya diimplementasikan dalam perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia, karena melalui konsep yang menyangkut struktur perseroan, yang terdiri dari unsur-unsur RUPS, direksi dan komisaris dapat terjalin hubungan dan mekanisme kerja, pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang harmonis, baik secara intern maupun ekstern dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan demi kepentingan shareholders dan stakeholders.

Daftar Pustaka http://anggyansyah.blogspot.co.id/ http://apeksmutz.blogspot.co.id/2013/11/good-corporate-governance.html

Prof. Dr. Sukrisno Agoes, Drs. I Cenik Ardana. Etika Bisnis dan Profesi Edisi Revisi. SALEMBA EMPAT.

Related Documents

Gcg
July 2020 14
Prinsip Gcg
October 2019 21
Etika
October 2019 60
Etika
June 2020 42
Etika
May 2020 37

More Documents from ""