LAPORAN PENDAHULUAN CHRONIC KIDNEY DISEASE dg ACUTE LUNG OEDEMA (ALO) Di R. hemodialisaRSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Oleh: ELA NUR LAILA NIM. 14401.15.16009
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2016
CHRONIC KIDNEY DISEASE
A. DEFINISI CKD Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001).
Gagal ginjal kronis (bahasa Inggris: chronic kidney disease, CKD) adalah proses kerusakan pada ginjal dengan rentang waktu lebih dari 3 bulan.CKD dapat menimbulkan simtoma berupa laju filtrasi glomerular di bawah 60 mL/men/1.73 m2, atau di atas nilai tersebut namun disertai dengan kelainan sedimen urin. Adanya batu ginjal juga dapat menjadi indikasi CKD.
Chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau penurunan GFR <60 ml/menit/1.73m2 selama ≥3 bulan. Kerusakan ginjal yang dimaksud adalah adanya abnormalitas patologis atau adanya marker kerusakan ginjal, termasuk abnormalitas pada pemeriksaan darah, urine, atau imaging.
B. ETIOLOGI CKD Chronic Kidney Disease ( CKD ) terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral. 1. Infeksi : Pielonefritis kronik. 2. Penyakit peradangan : Glomerulonefritis. 3. Penyakit vaskuler hipertensif :Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis. 4. Gangguan jaringan penyambung sistemik progresif.
: SLE, poli arteritis nodosa, sklerosis
5. Gangguan kongenital dan herediter : Penyakit ginjal polikistik,asidosis tubuler ginjal. 6. Penyakit metabolik : DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis. 7. Nefropati obstruktif : Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale. 8. Nefropati obstruktif a. Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli, neoplasma, fibrosis, netroperitoneal. b. Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra. Faktor predisposisi: 1) Diabetes 2) Usia lebih dari 60 tahun 3) Penyakit ginjal congenital 4) Riwayat keluarga penyakit ginjal 5) Autoimmune (lupus erythematosus 6) Obstruksi renal (BPH dan prostitis) 7) Ras Faktor presipitasi: 1) Paparan toksin dan beberapa medikasi yang berlebih 2) Gaya hidup (hipertensi, atherosclerosis) 3) Pola makan (diet)
C. KLASIFIKASI CKD Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut: LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma (mg/dl)*) *) pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit Derajat 1
Penjelasan Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑
LFG(ml/mnt/1,73m²) > 90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan
60-89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang
30-59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat
15- 29
5
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis
a. Stadium 1 Seseorang yang berada pada stadium 1 CKD biasanya belum merasakan gejala yang mengindikasikan kerusakan pada ginjal.Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi 100% sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1.Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
b. Stadium 2 Sama seperti pada stadium awal, seseorang yang berada pada stadium 2 juga tidak merasakan gejala karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik, walaupun dengan GFR yang mulai menurun. c. Stadium 3 Seseorang yang menderita CKD stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa–sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang. d. Stadium 4 Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15–30% saja dan apabila seseorang berada pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal/dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya
muncul pada
stadium ini. Selain itu besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya. e. Stadium 5
Pada stadium ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja secara optimal.Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
D. PATOFISIOLOGI CKD Faktor yg tidak dapat dimodifikasi: Herediter, Usia>60, Jenis kelamin, Ras
Faktor yg dapat dimodifikasi: DM, hipertensi, merokok, obstruksi saluran kemih
Penurunan aliran darah renal Primary kidney disease Kerusakan ginjal karena penyakit lain Obstruksi outflow urine
BUN ↑
Penurunan filtrasi glomerulus
Serum creatinine ↑
Kerusakan nefron
Hipertrofi nefron yang tersisa
Kerusakan fungsi nefron lebih lanjut
Chronic kidney disease (CKD)
Ggn. sekresi protein
retensi Na
sindrom uremia
edema
Kerusakan sel yg memproduksi EPO Produksi EPO ↓
Perpospatemia
pruritus Gangguan Integritas Kulit
kelebihan volume cairan Produksi eritrosit ↓
urokrom tertimbun di kulit
perubahan warna kulit
Toksisitas ureum di otak
Enchepalo pati
Penurunan kesadaran
hipertrofi ventrikel kiri
Ggn. asam basa
Mual Muntah
Gangguan nutrisi
payah jantung kiri
Metab.anaerob
Asidosis metabolik
gangguan pola nafas
edema paru
Asam laktat ↑
ggn. pertukaran gas
fatigue
beban jantung naik
Anemia
Cardiac output ↓
intoleransi aktivitas
Suplai O2 ↓
E. MANIFESTASI KLINIS CKD Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369): 1. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi 2. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin – angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi). Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut: Gangguan kardiovaskuler Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema. Gannguan Pulmoner Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels. Gangguan gastrointestinal Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia. Gangguan muskuloskeletal Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas. Gangguan Integumen Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh. Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia. System hematologi Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
Pasien dengan CKD menunjukkan manifestasi yang berbeda-beda, tergantung pada stadium CKD yang dialami. 1) Stadium 1 Seseorang dengan CKD stadium 1 biasanya belum merasakan gejala yang menandakan kerusakan ginjal karena ginjal masih dapat berfungsi dengan normal. 2) Stadium 2 Seseorang dengan CKD stadium 2 biasanya juga belum merasakan gejala yang menandakan kerusakan ginjal walaupun sudah terdapat penurunan GFR ringan, yaitu sebesar 60-89. 3) Stadium 3 Padastadium ini, gejala- gejala terkadang mulai dirasakan seperti: Fatigue: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia. Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh. Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi coklat, oranye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Rasa sakit pada ginjal.
Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi. Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs. 4) Stadium 4 Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 hampir sama dengan stadium 3, yaitu: Nausea : muntah atau rasa ingin muntah. Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya. Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau pernafasan yang tidak enak. Sulit berkonsentrasi 5) Stadium 5 (gagal ginjal terminal) Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain: Kehilangan nafsu makan Nausea. Sakit kepala. Merasa lelah. Tidak mampu berkonsentrasi. Gatal – gatal. Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali. Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki. Kram otot Perubahan warna kulit
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG CKD 1. Laboratorium Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat GGK, menentukan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi.Blood ureum nitrogen (BUN)/kreatinin meningkat, kalium meningkat, magnesium meningkat, kalsium menurun, protein menurun, Ht menurun karena adanya anemia, SDM menurun karena terjadi defisiensi eritropoetin, GDA mengalami asidosis metabolic, Natrium serum rendah.
2. Radiology Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal ( adanya batu atau adanya suatu obstruksi ). Dehidrasi karena proses diagnostic akan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa. 3. Intra Vena Pielografi (IVP) Untuk menilai system pelviokalisis dan ureter. 4. USG Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal. Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh karena batu atau massa tumor, dan untuk menilai apakah proses sudah lanjut 5. EKG Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia)
G. KOMPLIKASI CKD Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006) antara lain adalah : 1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan diit berlebih. 2.Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat. 3.Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin aldosteron. 4.Anemia akibat penurunan eritropoitin. 5.Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik. 6.Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh. 7.Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian. 8.Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah. 9.Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
H. PENATALAKSANAAN CKD a) Konservatif Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein) Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus bernilai biologis (produk susu, telur, daging) di mana makanan tersebut dapat mensuplai asam amino untuk perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300-600 ml/24 jam. Kalori untuk mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan lemak.Pemberian vitamin juga penting karena pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin larut air melalui darah sewaktu dialisa.
b) Simptomatik 1. Hipertensi Ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan cairan, diit rendah natrium, diuretik, digitalis atau dobutamine dan dialisis. Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis. 2. Anemia Penatalaksanaan anemia dengan rekombinan erythropoiesis-stimulating agents (ESAs) dapat memperbaiki kondisi pasien CKD dengan anemia secara signifikan.ESAs harus diberikan untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi hemoglobin 11.0 sampai 12.0 gr/dL. Pasien juga harus menerima suplemen zat besi selama menerima terapi ESA karena erythropoiesis yang diinduksi secara farmakologis dibatasi oleh supply zat besi, ditunjukkan dengan kebutuhan ESA yang lebih sedikit setelah pasien menerima suplemen zat besi. Selain itu, karena tubuh membentuk banyak sel darah merah, tubuh juga memerlukan banyak zat besi sehingga dapat terjadi defisiensi zat besi.Serum ferritin dan persen transferrin saturation mengalami penurunan setelah 1 minggu terapi ESA pada pasien dengan CKD yang menerima dialysis.Karena pasien CKD mengalami gangguan metabolism zat besi, serum ferritin dan persen transferrin saturation harus dipertahankan lebih tinggi daripada individu normal.Maintenance
serum ferritin yang disarankan yaitu ≥200 ng/mL, dan persen transferrin saturation ≥20%.Sebagian besar pasien CKD membutuhkan suplementasi zat besi parenteral untuk mencapai kadar zat besi yang disarankan.
c) Terapi Pengganti 1. Transplantasi Ginjal Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal karena menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis kronik dan menimbulkan perasaan sehat seperti orang normal. Transplantasi ginjal merupakan prosedur menempatkan ginjal yang sehat berasal dari orang lain kedalam tubuh pasien gagal ginjal. Ginjal yang baru mengambil alih fungsi kedua ginjal yang telah mengalami
kegagalan
dalam
menjalankan
fungsinya.Seorang
ahli
bedah
menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi abdomen bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis dengan ginjal yang baru. Darah mengalir melalui ginjal yang baru yang akan membuat urin seperti ginjal saat masih sehat atau berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor kadaver). 2. Cuci Darah (dialisis) Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu sama, difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu. a. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis.CAPD merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi pasien terhadap kerentanan perubahan cairan (seperti pasien diabetes dan kardiovaskular). b. Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan.
Hemodialisis Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, dan “dialisis ” artinya pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat sampah, melalui proses penyaringan di luar tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa mesindialisis. Hemodialisis dikenal secara awam dengan istilah ‘cuci darah. Hemodialisis (HD) adalah cara pengobatan / prosedur tindakan untuk memisahkan darah dari zat-zat sisa / racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui membran semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memindahkan.
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain : 1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain. 2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat. 3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal. 4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di keluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memilki konsentrasi tinggi ke cairan yang konsentrasi rendah. Air yang berlebihan akan di keluarkan dari tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat di kendalaikan dengan menciptakan gradien tekanan dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang loebih rendah (cairan dialisat).gradien ini dapat di tingkatkan meleui tekanan negatif yang di kenal dengan ultrafiltrasi. Tekanan negatif ini di terapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi
pengeluran air karena pasien tidak dapat mengekresikan ari kekuatan ini di perlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia(keseimbangan cairan).
Penatalaksanaan pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang : Diet dan masalah cairan Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal tidak mampu mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal dengan gejala uremik dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Lebih banyak toksin yang menumpuk, lebih berat gejala yang timbul. Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala. Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep diet untuk pasien ini. Dengan penggunaan hemodialisa yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan Pertimbangan medikasi Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-oabatan dalam darah dan jaringan dapat di pertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.
Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada saat dilakukan terapi adalah : a. Hipotensi: dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan b. Kram otot : nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meningglkanruang ekstrasel. c. Mual atau muntah : merupakan peristiwa yang sering terjadi. d. Sakit dada : dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
e. Gatal-gatal : dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit. f. Demam dan menggigil g. Kejang
I. ASUHAN KEPERAWATAN CKD 1. PENGKAJIAN Pengkajian pada klien CKD menurut Suzanne C. Smeltzer, Doenges (1999) dan Susan Martin Tucker (1998). 1. Sistem Kardiovakuler Tanda dan gejala : Hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sacrum). Edema periorbital, fiction rub pericardial, dan pembesaran vena jugularis, gagal jantung, perikardtis takikardia dan disritmia. 2.Sistem Integument Tanda dan gejala : Warna kulit abu – abu mengkilat, kulit kering bersisik, pruritus, echimosis, kulit tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar, turgor kulit buruk, dan gatal – gatal pada kulit 3. Sistem Pulmoner Tanda dan gejala : Sputum kental , nafas dangkal, pernafasan kusmaul, udem paru, gangguan pernafasan, asidosis metabolic, pneumonia, nafas berbau amoniak, sesak nafas. 4. Sistem Gastrointestinal Tanda dan gejala : Nafas berbau amoniak, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia,
mual, muntah, konstipasi
dan
diare, perdarahan
dari
saluran
gastrointestinal, sto,atitis dan pankreatitis.
5. Sistem Neurologi Tanda dan gejala : Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, penurunan konsentrasi, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, dan perubahan perilaku, malaise serta penurunan kesadaran. 6. Sistem Muskuloskletal Tanda dan gejala : Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop, osteosklerosis, dan osteomalasia. 7. Sisem Urinaria
Tanda dan gejala : Oliguria, hiperkalemia, distropi renl, hematuria, proteinuria, anuria, abdomen kembung, hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan asidosis metabolik. 8. Sistem Reproduktif Tanda dan gejala : Amenore, atropi testikuler, penurunan libido, infertilitas.
2.
DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah: 1. Kelebihan volume cairan 2. Penurunan curah jantung 3. Intoleransi aktivitas 4. Risiko infeksi 5. Risiko perdarahan 6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan 7. Gangguan integritas kulit
3.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN 1.
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal.
Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tampa kelebihan cairan. Kriteria Evaluasi : a) Haluaran urine tepat dengan berat jenis/hasil lab mendekati normal. b) BB stabil. c) TTV dalam batas normal. d) Tidak ada edema. Intervensi : a)
Awasi denyut jantung TD dan CVP.
b)
Catat pemasukan dan pengeluaran akurat.
c)
Awasi berat jenis urine.
d)
Timbang BB tiap hari dengan alat ukur dan pakaian yang sama.
e)
Batasi pemasukan cairan.
f) g) h)
Kaji kulit, area tergantung edema, evaluasi derajat edema. Kaji tingkat kesadaran, selidiki perubahan mental, adanya gelisah. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium : Kreatinin, ureum HB/Ht,
kalium dan natrium serum. i)
Kolaborasi foto dada, berikan/batasi cairan sesuai indikasi.
j)
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : Diuretik, anti hipertensif
k)
Kolaborasi untuk dialisis sesuai indikasi.
2.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
pembatasan nutrisi. Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat. Kriteria Evaluasi : a) Mempertahankan/meningkatkan
berat
badan
seperti
yang
diindikasikan oleh situasi individu. b) Bebas edema. Intervensi : a)
Kaji/catat pemasukan diet.
b)
Beri makan sedikit tapi sering.
c)
Berikan pasien daftar makanan tatau cairan yang diizinkan dan dorong
terlibat pada pemilihan menu. d)
Timbang BB tiap hari.
e)
Kolaborasi pemeriksaan lab BUN, albumin serum, transferin, natrium,
kalium. f) g)
Kolaborasi dengan ahli gizi, berikan kalori tinggi rendah protein.
Batasi kalsium, natrium dan pemasukan fosfat sesuai indikasi
ACUTE LUNG OEDEME
1. Definisi -
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang terjadisecara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem parukardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik)yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga terjadi gangguanpertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Sally, 2009)
-
Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang terjadi secara akut. Pada keadaan normal cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler endotelium dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan mengalir ke pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi (Flick, 2000; Hollenberg, 2003).
2. Etiologi dan Faktor Resiko a. Ketidakseimbangan Starling Forces 1) Peningkatan tekanan kapiler paru
Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).
Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.
Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
2) Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
3) Peningkatan tekanan negatif intersisial
Pengambilan terlalu cepat pneumotoraks atau efusi pleura (unilateral).
Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
4) Peningkatan tekanan onkotik intersisial
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome) 1) Pneumonia (bakteri, virus, parasit). 2) Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb). 3) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alphanaphthyl thiourea). 4) Aspirasi asam lambung. 5) Pneumonitis radiasi akut. 6) Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin). 7) Disseminated Intravascular Coagulation. 8) Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin. 9) Shock lung oleh karena trauma di luar toraks. 10) Pankreatitis perdarahan akut. c. Insufisiensi Limfatik 1) Post Lung Transplant 2) Lymphangitic Carcinomatosis 3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis) d. Tak diketahui/tak jelas 1) High Altitude Pulmonary Edema 2) Neurogenic Pulmonary Edema 3) Narcotic overdose 4) Pulmonary embolism 5) Eclampsia 6) Post Cardioversion. 7) Post Anesthesia 8) Post Cardiopulmonary Bypass. (Harun & Sally, 2009)
Klasifikasi ALO: a. Edema paru kardiogenik Yaitu edema paru yang disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem kardiovaskuler. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak mampu memompa darah lagi seperti biasa. Kardiomiopati Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan
ventrikel
kiri
menjadi
lemah
sehingga
tidak
mampu
mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding). Gangguan katup jantung Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru. Hipertensi Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria. (Harun dan Sally, 2009).
b. Edema paru non kardiogenik Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru itu sendiri. Edema paru non-kardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus. Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif
mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury dimana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005). Non-cardiogenic pulmonary edema umumnya disebabkan oleh hal berikut: a. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menjurus pada alveoli yang bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah. b. Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru. c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh. d. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10.000 feet. e. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang parah, atau operasi otak dapat berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema. f. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan reexpansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema). g. Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary edema. h. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-
related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.
FAKTOR RISIKO Penyebab paling umum dari edema paru adalah gagal jantung. Tapi tidak setiap kasus adalah karena masalah jantung. Beberapa faktor risiko edema paru meliputi: (umm.edu) Tekanan darah tinggi Diabetes Penyakit jantung koroner atau katup Kegemukan Cedera sistem saraf Infeksi 3. Patofisiologi Pada paru normal, cairan dan protein keluar darimikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapatmasuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel alveolusterdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairanmemasuki
ruang
intertisial,
cairan
tersebut
akan
dialirkanke
ruang
peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikanoleh sistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yangdihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onkotik protein. Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik yangcepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvascular.(Gambar 1B). Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungandengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan ventrikel kiri (18 – 25 mmHG) menyebabkan edema di perimikrovaskulerdan ruang ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekananatrium kiri meningkat lebih ti nggi (>25) maka cairan edemaakan menembus epitel paru,membanjiri alveolus. Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setanyang terus memburuk oleh proses sebagai berikut : -
Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard danakhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
-
Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkantekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikelakan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
-
Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung
Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostati k maka sebaliknya, edema parunonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru danalveolus. Cairan edema paru nonkardiogenik memilikikadar protein tinggi karena membran pembuluh darahlebih permeable untuk dilewati oleh protein plasma. Akumulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara kecepatan filtrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cairan tersebut dikeluarkan dari alveoli dan intersisial.
4. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium (Simadibrata, 2000):
a. Stadium 1 Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukarangas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium inimungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelasmenemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inpsirasi karena terbukanyasaluran nafas yang tertutup saat inspirasi. b. Stadium 2 Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur,demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis kerley B).Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih memperkecil saluran nafaskecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflex bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguanfungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga membantu
memompa
aliran
limfe
sehinggapenumpukan
cairan
interstisial
diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikitperubahan saja. c. Stadium 3 Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia danhipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital danvolume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right to left intrapulmonary shunt. Penderitabiasanya menderita hipokapsia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acuterespiratory acidemia. Pada leadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati Cara membedakan ALO kardiogenik dan ALO non kardiogenik ALO kardiogenik
ALO non kardiogenik
(+)
Jarang
Perifer
Dingin (low flow state)
Hangat (high flow
S3 gallop/kardiomegali
(+)
meter)
Anamnesis Acute cardiac event Penemuan Klinis
Nadi kuat (-) JVP
Meningkat
Tak meningkat
Ronki
Basah
Kering
Tanda penyakit dasar Laboratorium EKG
Iskemia/infark
Biasanya normal
Foto toraks
DIstribusi perihiler
Distribusi perifer
ENzim kardiak
Bisa meningkat
Biasanya normal
PCWP
> 18 mmHg
< 18 mmHg
Shunt intra pulmoner
Sedikit
Hebat
Protein cairan edema
< 0.5
> 0.7
Keterangan: JVP: jugular venous pressure PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure (Harun dan Nasution,2006)
5. Pemeriksaan Diagnostik Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa kemiripan. -
Anamnesis Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
-
Pemeriksaan Fisik Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau tekanan darah
bisa meningkat. Pasien biasanya
dalam posisi
duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat
ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010). -
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan denganpulmonary artery occlusion pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure (Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya (AHA, 2009).
-
Pemeriksaan Radiologis Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
-
Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah
horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009). -
Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Tabel 1. Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik (dikutip dari Lorraineet al, 2005) NO. Gambaran Radiologi
Edema Kardiogenik
Edema Non Kardiogenik
1
Ukuran Jantung
Normal atau membesar Biasanya Normal
2
Lebar pedikel Vaskuler Normal atau melebar
Biasanya normal
3
Distribusi Vaskuler
Seimbang
Normal/seimbang
4
Distribusi Edema
rata / Sentral
Patchy atau perifer
5
Efusi pleura
Ada
Biasanya tidak ada
6
Penebalan Peribronkial Ada
Biasanya tidak ada
7
Garis septal
Ada
Biasanya tidak ada
8
Air bronchogram
Tidak selalu ada
Selalu ada
Gambar 5. Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari Cremers et al, 2010)
Gambar 6. Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari Koga dan Fujimoto, 2009) -
Ekokardiografi Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri. Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010).
-
EKG Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).
Gambar 7. Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik(dikutip dari Lorraine et al, 2005)
6. Penatalaksanaan
Gambar 8. Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012)
Penatalaksanaan: -
Posisi ½ duduk.
-
Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
-
Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
-
Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
-
Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
-
Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
-
Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari).
-
Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
-
Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
-
Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
-
Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
-
Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel / corda tendinae.
Rekomendasi Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012)
7. Asuhan Keperawatan PENGKAJIAN
Identitas
:
Umur: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa muda
Riwayat Masuk: Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
Riwayat Penyakit Dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
Pemeriksaan fisik -
Sistem Integumen Subyektif
:
Obyektif
: kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi
sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan -
Sistem Pulmonal Subyektif
: Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif
:Pernafasan
cuping
hidung,
hiperventilasi,
batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru, -
Sistem Cardiovaskuler Subyektif
: sakit dada
Obyektif
:Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,
kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan -
-
Sistem Neurosensori Subyektif
: gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif
: GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
Sistem Musculoskeletal Subyektif
: lemah, cepat lelah
Obyektif
: tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan -
Sistem genitourinaria
-
Subyektif
:-
Obyektif
: produksi urine menurun/normal,
Sistem digestif Subyektif
: mual, kadang muntah
Obyektif
: konsistensi feses normal/diare
- Studi Laboratorik Hb
: menurun/normal
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar karbon darah meningkat/normal - Elektrolit
: Natrium/kalsium menurun/normal
Diagnosa Keperawatan a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas miokard b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat bantu nafas c. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar Intervensi Keperawatan 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial (penurunan). Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam terdapat perbaikan curah jantung Indikator: “cardiopulmonary status” Indikator
1. TD 2. Edema paru 3. Kelelahan 4. Sianosis 5. Ritme jantung
Severe
Substantial
Moderate
Mild
No
Deviation
Deviation
Deviation
Deviation
Deviation
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Intervensi Indikator
Intervensi Cardiac Care
5
1. Auskultasi suara jantung
3,5
2. Pastikan level aktivitas yang tidak mempengaruhi kerja jantung yang berat
3
3. Tingkatkan secara bertahap aktivitas ketika kondisi klien stabil, misal aktivitas ringan yang disertai masa istirahat
1
4. Monitor TTV secara teratur
5
5. Monitor kardiovaskuler status
3
6. Atur periode aktifitas dengan istirahat untuk menghindari kelelahan.
2,4
7. Lakukan penilaian konprehensif sirkulasi perifer (edema, CRT, warna, temperature dan nadi perifer)
3,5
8. Instrusikan pasien dan keluarga tentang pembatasan dan progres aktifitas klien
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat bantu nafas Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan pola nafas klien efektif. Indikator: “ Respiratory Status” Indikator
1. RR (16-24 x/menit) 2. Irama respirasi 3. Kedalaman inspirasi 4. Wheezing 5. Pursed- Lips breathing
Severe
Substantial
Moderate
Mild
No
Deviation
Deviation
Deviation
Deviation
Deviation
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
6. Menggunakan otot bantu pernapasan 7. Dyspnea pada saat aktivitas ringan 8. Banyak mengeluarkan Sputum 9. Batuk
Intervensi Indikator
Intervensi “ Respiratory Monitoring”
1,2,3
1. Monitor RR, irama, kedalaman dan usaha bernafas.
6
2. Catat pergerakan dada, lihat kesimetrisan, menggunakan otot bantu
pernafasan
dan
retraksi
otot
intercostae
dan
supracalavicular. 4
3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan seperti wheezing
9
4. Catat serangan , karakteristik dan batuk.
7
5. Monitor dyspnea dan aktivitas yang meningkatkan terjadinya dyspnea. “ Airway Management”
8
6. Dorong mengeluarkan sputum/skret pada saat batuk.
7
7. Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi dyspnea dan usaha pernafasannya dengan menaikkan tempat tidur dengan posisi semi fowler. “ Ventilation Assistence”
5
8. Ajarkan teknik bernapas dengan bibir yang benar yaitu bernapas dengan bibir yang dirapatkan (pursed-lips breathing). 9. Monitor adanya kelelahan penggunaan otot bantu napas
10. Jaga pemberian terapi oksigen sesuai dengan yang diresepkan. 3. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat sesuai dengan indikator Indikator: “Respiratory Status : Gas Exchange” Severe
Substantial
Moderate
Mild
No
Deviation
Deviation
Deviation
Deviati
Deviation
(1)
(2)
(3)
on (4)
(5)
1. Tekanan parsial O2 di pembuluh darah arteri ( PaO2) 2. Tekanan parsial CO₂ di pembuluh darah arteri (PaCO2) 3. pH arteri 4. Saturasi oksigen 5. Pemeriksaan Rontgent Thoraks 6. Keseimbangan ventilasiperfusi 7. Kelemahan 8. Sianosis
Intervensi Indikator
Intervensi
“ Respiratory Monitoring” 4,6
1. Monitor kecepatan, irama dan kedalaman usaha pernafasan
4, 6
2. Catat pergerakan dada, lihat kesimetrisan, menggunakan otot bantu
pernafasan
dan
retraksi
otot
intercostae
dan
supracalavicular. 4, 6
3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan seperti wheezing
6,7
4. Catat serangan , karakteristik dan batuk.
4, 7
5. Monitorpola napas misal: bradypnea, takipnea, hiperventilasi
4
6. Auskultasi suara napas, catat penurunan atau ketiadaan ventilasi &suara tambahan
4
7. Catat perubahan SaO2 dan perubahan nilai Blood Gas Arteri
7
8. Monitor peningkatan kelemahan dan ansietas
5
9. Monitor hasil pemeriksaan Rontgen dada
1,2,3,4,6,7,8
10.
Instruksikan resusitasi yang akan diberikan
DAFTAR PUSTAKA
Bulecheck, Gloria M., Butcer, Howard K., Dochterman S. Mc Closkey. 2012. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Lowa Mosby Elsavier Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online). Tersedia:Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-ray-heartfailure.html. (24 November 2012) Nanda International. 2012. Nursing Diagnosis: Definition & Classifications 2012-2014. Jakarta: EGC Hudak&Gallo. 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC Jhonshon, Marion. 2012. Nursing Outcomes Classification (NOC). New Jersey: Upper Saddler River ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2012.
European
Heart
Journal
(2012)
33,
1787–1847
doi:10.1093/eurheartj/ehs104 Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653 Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96 Simadibrata M, Setiati S, Alwi, Maryantono, Gani RA, Mansjoer. 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI.Jakarta Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000 Fauci et al. 2008.Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson.2006. Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit.Jakarta : EGC Nurko, Saul. 2006. Anemia in chronic kidney disease:Causes, diagnosis, treatment. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 73(3): 289-97 Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K SM, Setiati S, editors: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5nd ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p.1035-40