326573040-isu-end-of-life-fix.docx

  • Uploaded by: Dwi Novi Lestari
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 326573040-isu-end-of-life-fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,178
  • Pages: 10
1

Jelaskan perbedaan mati klinis dan mati biologis! Mati klinis ditandai dengan henti nafas dan jantung (sirkulasi) serta berhentinya aktivitas otak tetapi tidak irreversibel dalam arti masih dapat dilakukan resusitasi jantung paru dan kemudian dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi. (Soenarjo et al, 2013) Mati biologis merupakan kelanjutan mati klinis apabila pada saat mati klinis tidak dilakukan resusitasi jantung paru. Mati biologis berarti tiap organ tubuh secara biologis akan mati dengan urutan : otak, jantung, ginjal, paru-paru, dan hati. Hal ini disebabkan karena daya tahan hidup tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada tiap organ terjadi secara tidak bersamaan. (Soenarjo et al, 2013)

Perbedaan

Mati Klinis (Clinical Death)

Mati Biologis (Biological Death)

Tanda

Berhentinya detak jantung, denyut nadi dan

Kematian yang terjadi akibat degenerasi

pernafasan.

jaringan di otak dan organ lainnya.

Beberapa organ seperti mata dan ginjal akan

Beberapa organ akan mati (tidak dapat

tetap hidup saat terjadi mati klinis.

berfungsi kembali) setelah mati

Fungsi Organ

biologis. Organ dalam

Organ dalam tubuh dapat digunakan sebagai

Organ dalam tubuh tidak dapat

tubuh

transplantasi.

digunakan untuk transplantasi.

Sifat

Reversibel / dapat kembali

Ireversibel/ tidak dapat kembali

Pemerikasaan

Pemeriksaan keadaan klinis

Pemeriksaan keadaan klinis dan Pemeriksaan Neurologis

Suhu Tubuh

Hipertermia (> 36oC) dan terkadang ditemui

Hipotermia (< 36oC)

Hipotermia Kriteria

1) Berhentinya detak jantung

1) Dilatasi bilateral dan fixaxi pupil

2) Berhentinya denyut nadi

2) Berhentinya semua reflek

3) Berhentinya pernafasan spontan.

3) Berhentinya respirasi tanpa bantuan 4) Berhentinya aktivitas cardiaovaskuler 5) Gambaran gelombang otak datar

2

Apakah yang dimaksud dengan end of life care?

End of life care merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo, 2016). End of life care adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orang yang berada di bulan atau tahun terakhir kehidupan mereka (NHS Choice, 2015). End of life care akan membantu pasien meninggal dengan bermartabat. Pasien yang berada dalam fase tersebut biasanya menginginkan perawatan yang maksimal dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien tersebut. End of life care merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang diperuntukkan bagi pasien yang mendekati akhir kehidupan. End of life care bertujuan untuk membantu orang hidup dengan sebaik-baiknya dan meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life care adalah salah satu kegiatan membantu memberikan dukungan psikososial dan spiritual (Putranto, 2015). Jadi dapat disimpulkan bahwa End of life care merupaka salah satu tindakan keperawatan yang difokuskan pada orang yang telah berada di akhir hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk membuat orang hidup dengan sebaik-baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan bermartabat.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi merupakan suatu tindakan dimana dokter menempatkan sebuah instruksi berupa informed concent yang telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga pasien di dalam rekam medis pasien, yang berfungsi untuk menginformasikan staf medis lain untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada pasien. Pesan ini berguna untuk mencegah tindakan yang tidak perlu dan tidak diinginkan pada akhir kehidupan pasien dikarenakan kemungkinan tingkat keberhasilan CPR yang rendah (Sabatino, 2015). Do Not Resusitate (DNR) adalah perintah yang dilakukan oleh dokter berlisensi dalam konsultasinya dengan pasien atau pengambilan keputusan yang menunjukkan dilakukan atau tidaknya CPR saat cardiac atau respiratory arrest terjadi (Braddock, 2014). Secara etik DNR merupakan sebuah pesan ambigu untuk praktisi kesehatan sehubungan dengan tugasnya dalam menyelamatkan hidup (Junod, 2002). DNR merupakan keputusan untuk mengabaikan CPR dan secara resmi diperkenalkan sebagai alternative untuk end of life care pada awal tahun 1970 (Fallahi et al, 2016). Cardiopulmonary resuscitation (CPR) merupakan suatu prosedur medis yang bersifat darurat dan dilakukan pada pasien dengan henti nafas dan serangan jantung, namun dalam beberapa kasus

tindakan ini tidak sepenuhnya berhasil dan memberikan prognosis yang baik. Menurut Fallahi et al (2016), dalam jurnalnya disebutkan bahwa hanya 20% pasien yang mampu bertahan hidup setelah dilakukan CPR. Temuan lain di Amerika Serikat juga telah memverifikasi bahwa hanya 10-15% dari pasien yang dapat bertahan hidup setelah dilakukannya CPR, statistik ini tidak berubah selama 30 tahun terakhir (Yuen, 2011). Jarang sekali pasien dapat bertahan hidup setelah dilakukan CPR ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan CPR sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irreversible, diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonia. Dibatasinya pelaksanaan CPR telah meningkatkan derajat harapan hidup pasien sebesar 10,5% setelah tindakan CPR meskipun 7-10% lainnya ditunda untuk dilakukan CPR. Pada beberapa negara di Amerika Serikat, walaupun petugas gawat darurat sudah membatasi dilakukannya tindakan CPR di lapangan, masih dapat ditemukan bukti CPR yang tidak dikehendaki. Bahkan didapatkan 7% pasien yang dipulangkan dari rumah sakit tidak menghendaki dilakukannya CPR (Hillberman,1997). Sebelum tahun 1990, kebijakan formal untuk memfasilitasi pasien perioperative dengan DNR order masih sangat jarang. Pada tahun 1993 The American Society of Anesthesiologists melegalkan kebijakan ini sebagai pedoman dan diperbaharui lagi tahun 1998 (Ewanchuk & Brindley, 2006). Di Indonesia sendiri kebijakan DNR sudah lama diterapkan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 519/Menkes/Per/Iii/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit, disebutkan didalamnya bahwa prosedur pemberian atau penghentian bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU dan HCU yaitu semua bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation), dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak dilakukan tindakantindakan luar biasa, pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya memperlambat waktu kematian dan bukan memperpanjang kehidupan. Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian atau penundaan bantuan hidup. Sedangkan pasien yang masih sadar dan tanpa harapan, hanya dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman dan bebas nyeri (Depkes, 2011). Walaupun telah diterapkan Amestiasih (2015) menyebutkan dalam jurnalnya, keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat dikarenakan timbulnya penolakan dalam

hati nurani seorang perawat. Merawat pasien setiap hari, melihat perkembangan kondisi pasien, membuat rencana DNR seperti dua sisi mata uang bagi perawat, disatu sisi harus menerima bahwa pemberian tindakan CPR sudah tidak lagi efektif untuk pasien namun di sisi lain muncul perasaan iba dan melihat pasien seolah-olah keluarganya. Timbulnya dilema psikis ini juga dapat dipengaruhi oleh masih belum adekuatnya sumber informasi tentang DNR yang dimiliki perawat. Yand, et al (2001) mengatakan bahwa hampir semua perawat yang pernah merawat pasien dengan DNR pernah merasa empati dan perawatan yang dilakukan menjadi terhambat diakibatkan oleh perasaan empati tersebut. Penegakkan diagnosa DNR menuntut perawat untuk menemukan cara terbaik guna meningkatkan kualitas end of life care pada pasien (Fields, 2007). Perawat sebagai care giver dituntut untuk tetap memberikan perawatan pada pasien DNR tidak berbeda dengan pasien lain pada umumnya, perawat harus tetap memberikan pelayanan sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya. End of life care yang perawat lakukan dengan baik diharapkan dapat memberikan peacefull end of life bagi pasien, seperti yang digambarkan dalam teori keperawatan peacefull end of life oleh Rulland and Moore yang meliputi terhindar dari rasa sakit, merasakan kenyamanan, penghormatan, kedamaian, dan mendapatkan kesempatan untuk dekat dengan seseorang yang dapat merawatnya (Amestiasih, 2015). Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai dilemma etik yang terjadi pada Do Not Resuscitate (DNR).

2.1 Ringkasan jurnal 2.5.1

Pengantar Tidak Melakukan Resuscitation (DNAR) merupakan daerah yang sulit dan menantang bagi banyak praktisi kesehatan. Cardiopulmonary resuscitation (CPR) pertama kali dipraktek pada tahun 1960. Kemudian DNAR diterapkan di beberapa rumah sakit dan muncul isu bahwa CPR dapat memperpanjang kematian pasien pada pasien terminal. Dalam sebuah upaya untuk mencegah hal ini, permintaan DNAR mulai dikembangkan pada 1970an di Amerika Serikat. Sekarang terdapat beberapa negara yang menerapkan DNAR tapi tidak semua memiliki kerangka hukum tertentu. Terdapat beberapa variasi dalam pencatatan dan praktek DNAR. Tidak terlalu diketahui tentang interaksi perawat dalam pelaksanaan DNAR dan bagaimana perawat terlibat atau ingin menjadi dalam proses pengambilan keputusan DNAR.

2.5.2

Tujuan Penelitian kami bertujuan untuk mengeksplorasi pendapat dan pengalaman dari staf perawat atas permintaan DNAR.

2.5.3

Metode Penelitian ini menggunakan survei cross-sectional dari semua perawat yang bekerja di bangsal rawat inap selama 24 jam, pada 2 jenis RS yaitu rumah sakit pendidikan universitas dan rumah sakit rehabilitasi. Digunakan 24-item kuesioner yang dikembangkan oleh penulis setelah berkonsultasi dengan para ahli dan melakukan tinjauan literatur. Kuesioner diujicobakan dengan 3 perawat yang terlibat dengan rawat jalan untuk mengetahui tingkat kejelasan dari pertanyaan dan membuat jawaban yang diberikan oleh responden menjadi terbuka serta tidak terkesan kaku. Pendapat yang dicari mengenai kebijakan DNAR adalah bagaimana permintaan DNAR harus dibuat dan digunakan serta apa perawatan yang tepat pada pasien dengan permintaan DNAR. Beberapa pertanyaan pada kursioner yang diberikan yang terdapat di kuisioner: 1.) Apakah permintaan DNR bersifat jelas?; 2.) Apakah pasien kanker boleh di DNR?; 3.) Apakah pasien home care boleh di DNR?; 4.) Haruskah bila keluarga menghendaki DNR, pasien harus mendapatkan informasi?; 5.) Bagaimana format permintaan DNR?

2.5.4

Hasil Dua ratus lima puluh satu perawat diundang untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dimana 178 yang diterima digunakan respon 70,9% sesuai dengan kriteria. Distribusi staf responden di tiga wilayah klinis. Mereka terdiri bedah umum dan bangsal medis (termasuk bangsal kedokteran geriatri akut); daerah perawatan intensif; unit perawatan koroner, departemen darurat dan semua bangsal rawat inap lainnya.

2.5.5

Tanggapan Responden diberi kesempatan untuk memberikan pendapat umum atau umpan balik di dua daerah survei. Pada pertanyaan 21, mereka diminta untuk mengomentari apa yang akan mereka lakukan jika mereka tidak setuju dengan keputusan DNAR. Terdapat beberapa tanggapan yang disampaikan oleh perawat sebagia responden penelitian ini yaitu harus ada kebijakan DNAR tertulis untuk pasien menandatangani, dan dimana dokter dan perawat juga ikut menandatanganinya; informasi harus sebanyak mungkin untuk diberikan kepada pasien; adanya peningkatan otonomi pasien dalam pengambilan keputusan; form DNR juga harus direview setiap minggunya untuk merevisi hal-hal yang perlu diperbaharui; menjelaskan kualitas kehidupan pasien pasca resusitasi; mempunyai sebuah tim etika harus tersedia untuk berkonsultasi; memiliki sebuah protokol ringkas jelas dengan garis-garis komunikasi yang

efektif antara dokter, perawat dan pasien; pada laporan digunakan warna cerah agar mudah ditemukan saat keadaan darurat; dan harus ada kejelasan antara status DNAR dan pengobatan aktif. 2.5.6

Diskusi Banyak bidang klinis tidak memiliki kebijakan tertulis resmi atas permintaan DNAR. Dalam penelitian ini, sebagian besar permintaan DNAR berada dalam bentuk tertulis saja (52%), dengan 45% baik tertulis maupun lisan. Namun, perawat dilaporkan menggunakan catatan medis (99%), catatan keperawatan (62%) dan serah terima secara lisan dari perawat (56%) untuk tetap diinformasikan sebagai status resusitasi. Ketika ditanya apakah permintaan DNAR bekerja dengan baik, hanya 24% merasa bahwa permintaan DNAR selalu jelas, dan 26% menjawab bahwa ketika ada permintaan DNAR mereka selalu dilibatkan secara efektif. Namun dua pertiga dari responden melaporkan bahwa dokter kadang-kadang hanya menjelaskan keputusan mereka dan 11% mengatakan bahwa mereka tidak pernah melakukannya. Kemudian 2% merasa bahwa dokter tidak pernah membuat keputusan yang tepat tentang permintaan DNAR, dengan 74% mengatakan kadang-kadang dan 24% selalu. Lebih dari sepertiga melaporkan bahwa mereka telah setuju dengan keputusan DNAR pada beberapa kesempatan dan ketika ditanya apakah mereka akan mematuhi permintaan dalam hal apapun, sepertiga juga mengatakan mereka akan mematuhinya. Di Inggris tidak ada kebijakan nasional atas permintaan DNAR, tetapi banyak badanbadan profesional telah menerbitkan panduan mereka sendiri. pedoman yang dikeluarkan oleh British Medical Association, Royal College of Nursing dan Dewan Resuscitation menyatakan bahwa perawat didorong untuk mengambil lebih banyak keterlibatan dalam keputusan DNAR. Ketika ditanya siapa yang harus memutuskan, 91% dari responden dalam penelitian ini merasa harus konsultasi terlebih dahulu dengan anggota paling senior dari tim medis. Hanya 22% merasa bahwa perawat harus memiliki peran. Hal ini bertentangan dengan penelitian oleh Thibault-Prevost et al, di mana 81% responden merasa bahwa perawat harus terlibat (meskipun ini adalah perawat bekerja di unit perawatan intensif). Lebih dari dua pertiga merasa bahwa pasien atau keluarga mereka harus memiliki peran. Hal ini mirip dengan Penelitian oleh Giles dan Moule mana 81% responden merasa bahwa keluarga harus terlibat. Empat puluh lima persen setuju bahwa pasien harus selalu diberitahu tentang tatanan DNAR, tetapi 47% mengatakan "kadang-kadang". Situasi klinis memang menuntut pada beberapa kesempatan bahwa keluarga pasien harus diinformasikan, misalnya, jika itu intervensi sia-sia atau jika intervensi itu dilakukan menyebabkan beberapa bahaya. Sebagian besar responden merasa bahwa itu adalah tanggung jawab dokter untuk menjaga

pasien diinformasikan. Hanya 25% merasa bahwa perawat memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi. Lebih dari setengah dari perawat yang disurvei senang dengan keterampilan resusitasi mereka, tetapi tiga perempat mengatakan mereka ingin lebih latihan. Hal ini menjelaskan bahwa pedoman permintaan DNAR sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan dimana perawat harus mengajukan kepada pihak pengelola kebijakan rumah sakit untuk dapat menyusun form atau lampiran permintaan DNR, sekaligus menyebutkan kelebihan dan kekurangan apabila DNR dilakukan tanpa form, mengingat hitam di atas putih diperlukan sebagai bukti dan arsip bagi pihak bersangkutan, dalam hal ini yakni bagi pasien atau keluarga dan tenaga kesehatan. Lapisan kedua dalam advokasi pembentukan form bagi permintaan DNR yakni mengembangkan kemampuan tenaga kesehatan terkait penggunaan form DNR. Lapisan ketiga yang diperlukan adalah menyebarkan peraturan terkait adanya form permintaan DNR serta membiasakan tenaga kesehatan untuk menggunakannya. Perawat adalah kelompok yang sering diabaikan ketika mengambil keputusan mengenai DNAR sehingga reformasi pedoman DNAR harus mempertimbangkan pandangan mereka. Selain itu jelas bahwa pendidikan interprofessional harus digunakan untuk membantu mencapai kerjasama yang lebih baik antara Staf kesehatan di daerah penting dan relevan ini. 2.5.7

Kesimpulan Ada minat yang cukup besar dalam permintaan DNAR antara staf keperawatan. Sebagian menyatakan ketidakpuasan berkaitan dengan bagaimana permintaan DNAR bekerja, dan khususnya, dengan dirasakan kurangnya komunikasi dari dokter. Terdapat kebutuhan untuk pendidikan lebih lanjut mengenai intervensi ini dan DNAR pedoman harus dirumuskan mempertimbangkan pandangan dari semua pemegang kebijakan.

2.2 Ringkasan jurnal terkait Do Not Resuscitation dan kaitannya dengan peran perawat. Do Not Resuscitation (DNR) merupakan perintah untuk tidak mencoba melakukan resusitasi atau memberikan tindakan pertolongan berupak resusitasi jantung paru (RJP) ketika terjadi permasalahan darurat pada jantung atau henti napas pada pasien. Perintah ini ditulis atas permintaan pasien atau keluarga melalui konsultasi kepada dokter yang berwenang untuk selanjutnya perawat dapat memutuskan tindakan-tindakan suportif yang dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan pasien dalam masa perawatan. Melalui hal tersebut, maka kami memutuskan untuk mengulas jurnal berjudul “Nurses’ attitudes towards Do Not Attempt Resuscitation orders” yang memperlihatkan peran perawat dalam hal administratif terkait DNR, dengan terlebih dahulu mengulas secara singkat jurnal berjudul “The Iranian physicians attitude toward the do not

resuscitate order” yang melihat gambaran deskriptif sikap dokter ketika ada keluarga yang meminta dilakukan DNR, terkait dokterlah yang memutuskan suatu permintaan DNR. Jurnal berjudul “The Iranian physicians attitude toward the do not resuscitate order” menyebutkan bahwa tanggungjawab untuk memutuskan permintaan DNR terhadap pasien dimiliki oleh dokter. Namun, penelitian yang telah banyak dilakukan menyatakan bahwa hanya 20% pasien yang bertahan setelah dilakukan CPR. Studi lainnya menyebutkan bahwa hanya 10%-15% jumlah pasien bertahan setelah dilakukan CPR. Selain itu, resusitasi yang berhasil seringkali memberikan komplikasi pasca resusitasi, seperti fraktur tulang rusuk, masalah neurologi permanen, dan kerusakan kondisi fisik. Namun, hingga kini aspek etika menyebabkan dokter kesulitan dalam memberikan keputusan yang dibutuhkan oleh keluarga. Hasil yang didapatkan oleh penelitian pada jurnal tersebut yakni adanya angka menyetujui DNR oleh dokter yang merupakan permintaan keluarga kepada dokter. Dokter dengan pendidikan yang lebih tinggi rata-rata menyetujui permintaan DNR. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa diperlukan analisis untuk menyetujui suatu permintaan DNR, dan didapatkan bahwa DNR merupakan hak pasien atau keluarga yang memiliki beneficience tergantung kondisi masing-masing pasien. Setelah melihat bahwa sebagian besar DNR mendapatkan persetujuan dari dokter, maka selanjutnya kami mengulas jurnal utama yang berjudul “Nurses’ attitudes towards Do Not Attempt Resuscitation orders” yang menggambarkan peran perawat dalam hal administratif. Ringkasan Jurnal dikaitkan dengan Peran Perawat Sebagai Advokator Jurnal berjudul “Nurses’ attitudes towards Do Not Attempt Resuscitation orders” menekankan pada bagaimana perawat harus berinteraksi dengan permintaan keluarga terhadap DNR, serta bagaimana kejelasan suatu permintaan DNR. Tujuan dari jurnal tersebut adalah untuk melihat opini dan pengalaman perawat terkait adanya permintaan terhadap DNR. Hasil dari penelitian pada jurnal menunjukkan bahwa berkaitan dengan peran perawat, kami terfokus pada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peneliti kepada perawat tentang kejelasan DNR. Beberapa pertanyaan pada kursioner yang diberikan yang menyita perhatian kami, di antaranya: 1.) Apakah permintaan DNR bersifat jelas?; 2.) Apakah pasien kanker boleh di DNR?; 3.) Apakah pasien home care boleh di DNR?; 4.) Haruskah bila keluarga menghendaki DNR, pasien harus mendapatkan informasi?; 5.) Bagaimana format permintaan DNR? Adapun pendapat yang diberikan oleh perawat yang menjadi responden terkait dengan DNR, diantaranya perawat mengatakan bahwa dalam mengajukan maupun menyetujui perminataan DNR diperlukan adanya pernyataan tertulis yang ditanda tangani oleh pasien dan tenaga kesehatan. Selanjutnya, perawat juga menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memberikan informasi kepada pasien terkait ketepatan pengajuan DNR. Form DNR juga harus direview setiap minggunya untuk merevisi hal-hal yang perlu diperbaharui. Ketika terdapat pasien yang memerlukan resusitasi,

perawat harus menjelaskan kepada keluarga tentang kemungkinan keberhasilan dari resusitasi jika diperlukan. Perawat juga menyebutkan bahwa diperlukan adanya tim etika untuk keluarga dapat melakukan konsultasi dan tenaga kesehatan harus dengan segan menanyakan kepada keluarga terkait dengan tindakan yang masih memiliki dilemma etik seperti DNR. Berkaitan dengan form DNR, berhubungan dengan form yang diberikan pada saat keadaan gawat darurat, form diharapkan ditulis dengan tulisan dengan warna mencolok sehingga poin yang ingin disampaikan mudah terbaca oleh keluarga. Berkaitan dengan komunikasi antar tenaga kesehatan terkait dengan permintaan DNR, perawat menyarankan untuk dibuatkan protokol yang jelas. Harus terdapat kejelasan antara DNR serta intervensi yang harus diberikan untuk menyelamatkan hidup pasien. Melalui jurnal tersebut tampak jelas bahwa peneliti ingin membahas dengan jelas peran perawat sebagai advokator kebijakan. Advokasi diartikan sebagai perubahan-perubahan secara sistematis untuk menyikapi suatu kebijakan, regulasi, atau pelaksanaannya. Advokasi menyangkut perubahan yang mengubah kebijakan tertentu. Dalam melakukan advokasi terkait perlunya kebijakan bagi form permintaan DNR, perawat perlu melakukannya melalui beberapa tahap. Lapisan pertama yang dapat dilakukan yaitu melakukan permintaan, tuntutan, atau desakan perubahan terhadap aturan yang terdapat di suatu institusi atau rumah sakit tempat perawat bekerja. Dalam hal ini, perawat harus mengajukan kepada pihak pengelola kebijakan rumah sakit untuk dapat menyusun form atau lampiran permintaan DNR, sekaligus menyebutkan kelebihan dan kekurangan apabila DNR dilakukan tanpa form, mengingat hitam di atas putih diperlukan sebagai bukti dan arsip bagi pihak bersangkutan, dalam hal ini yakni bagi pasien atau keluarga dan tenaga kesehatan. Lapisan kedua dalam advokasi pembentukan form bagi permintaan DNR yakni mengembangkan kemampuan tenaga kesehatan terkait penggunaan form DNR. Menurut kami, jika form DNR telah terbentuk, tenaga kesehatan harus bias mengaplikasikan form permintaan DNR kepada pasien maupun keluarga. Dalam hal ini, tenaga kesehatan khususnya perawat harus mengetahui dan memahami dengan jelas isi dan konteks kebijakan yang telah terbentuk (permintaan DNR), konsekuensi dan manfaat yang akan didapatkan dari kebijakan jika seandainya DNR disetujui, siapa yang akan dipengaruhi oleh adanya DNR tersebut (dalam hal ini kemungkinan keluarga akan mendapatkan pengaruh paling signifikan dari segi psikologis), kapan seharusnya form DNR diberikan kepada keluarga yakni apakah di awal pasien masuk ke rumah sakit (dengan kondisi menderita penyakit krooni stadium lanjut) atau pada saat pasien mengalami henti jantung dan henti napas. Lapisan ketiga yang diperlukan adalah menyebarkan peraturan terkait adanya form permintaan DNR serta membiasakan tenaga kesehatan untuk menggunakannya. Dalam mencegah form tidak digunakan dengan baik, pemberian form permintaan DNR menurut kami dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam SOP bagi pasien dengan kondisi tertentu. Melalui tahap tersebut, diharapkan

dapat tersusun dan terbentuknya suatu form yang dapat diberikan kepada keluarga yang memiliki permintaan DNR, sehingga permintaan DNR memiliki suatu kejelasan secara tertulis.

More Documents from "Dwi Novi Lestari"

Ppt Kgd 1.pptx
December 2019 10
Stiker Komunitas.docx
November 2019 47
09650085.pdf
June 2020 8
Format Api.docx
November 2019 26