PERTUMBUHAN TANAMAN DI TANAH ASAM Hasil analisis varians menunjukkan bahwa C.callothyrsus secara bermakna (P < 0.05) lebih tinggi (122.47 cm) dari I.zollingeriana (96.34 cm) dan G.sepium (62.83 cm) pada usia 44 minggu. Diameter batang I.zollingeriana secara signifikan (P < 0.05) lebih besar 10.21 mm dibandingkan C.callothyrsus dan G.sepium, di mana diameter keduanya adalah 8.99 mm dan 7.54 mm, sedangkan diameter batang C.callothyrsus dan G.sepium tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Jumlah rata-rata cabang I.zollingeriana secara signifikan (P < 0.05) lebih banyak dari tanaman lain, yaitu mencapai 35.92 cabang, dan cabang G.sepium adalah yang paling sedikit di antara ketiga tanaman ini (7.65 cabang). Akar C.callothyrsus secara bermakna (P < 0.05) lebih panjang, yaitu mencapai ukuran 70.36 cm dibandingkan G.sepium (27.19 cm), namun tidak berbeda secara bermakna jika dibandingkan dengan I.zollingeriana. Menurut Sumoarno (2005), gejala yang sangat jelas dari suatu tanaman yang sensitif terhadap tanah asam adalah pertumbuhan terhambat, daun kuning kecoklatan, pertumbuhan akar terbatas, pembentukan bunga dan jumlah benih minimal, produktivitas sangat rendah, atau bahkan gagal menghasilkan benih. Silveira (2013) menyatakan bahwa efek negatif keasaman tanah untuk pertumbuhan tanaman umumnya tidak disebabkan oleh satu faktor semata, namun beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan tanaman normal. Faktor utama yang umumnya memengaruhi pertumbuhan tanaman di tanah asam adalah toksisitas ion hidrogen (H+), aluminium, mangan, dan defisiensi nutrien esensial seperti fosfor, magnesium, dan mikronutrien. Aluminium adalah salah satu elemen tanah yang mampu menyebabkan keracunan tanaman di lingkungan sekitar dan menghambat pertumbuhan tanaman (Timotiwu 2010). Sejalan dengan itu, Hadiatmi (2002) mengatakan bahwa gejala yang jelas pada shorgum adalah pertumbuhan terhambat, kerdil, daun lebih tebal dan berwarna hijau gelap dengan pinggiran daun keunguan atau dikeringkan. Perakaran sangat tergantung pada lingkungan dan dikendalikan oleh aktivitas tanaman. Daniel (2011) mengatakan bahwa karakteristik gejala toksisitas aluminium meliputi cacat akar seperti menebal, memutar, ujung akar pendek dan akar lateral, akar coklat, dan tidak memiliki percabangan yang baik dalam sistem perakaran. Menurut Rout dkk (2001), aluminium menyebabkan gangguan pembelahan sel ujung akar dan akar lateral, rigiditas sel melalui pembentukan pektin pada dinding sel, dan penurunan replikasi DNA melalui peningkatan rigiditas rantai ganda. Haling dkk (2011) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembanga akar tanaman besar dan panjang di bawah stres tanah asam menunjukkan kapabilitas
toleransi dan adaptasi terhadap keasaman dan saturasi aluminium yang tinggi. Efek toksisitas aluminium yang paling pertama dan mudah dikenali pada tanaman adalah penghambatan pembelahan dan pemanjangan sel-sel meristematik dan oleh karena itu akan menghambat pertumbuhan akar tanaman (Panda dkk 2003). Di samping itu, Yoichiro & Midori (2011) menyatakan bahwa panjang akar merupakan indikator toleransi tanaman terhadap tingkat stres keracunan aluminium. Tanaman yang toleran terhadap aluminium akan tumbuh dengan baik, sedangkan akar tanaman yang sensitif akan tumbuh lebih pendek dan tebal. PRODUKSI TANAMAN DI TANAH ASAM Produksi berat kering daun I.zollingeriana secara bermakna (P < 0.05) lebih tinggi (19.23 g/tanaman) dibandingkan dengan C.callothyrsus (15.30 g) dan G.sepium (9.37 g). Produksi berat kering cabang/batang C.callothyrsus secara bermakna (P < 0.05) lebih tinggi (13.39 g/tanaman) dibandingkan G.sepium (10.20 g), namun produksi berat kering cabang/batang I.zollingeriana dan C.callothyrsus tidak berbeda. Produksi berat kering biomassa I.zollingeriana secara signifikan (P < 0.05) lebih tinggi (32.06 g/tanaman) dibandingkan dengan C.callothyrsus (28.70 g) dan G.sepium (19.58 g). Rasio daun/batang I.zollingeriana secara bermakna (P < 0.05) lebih tinggi (3.44) dibandingkan C.callothyrsus (1.59) dan G.sepium (1.23). Umumnya, produksi berat kering I.zollingeriana lebih tinggi daripada C.callothyrsus dan G.sepium. Chen (2006) dan Dewi dkk (2010) menyatakan bahwa toksisitas aluminium adalah faktor utama yang dapat menghambat produktivitas tanaman di tanah asam tropis dan subtropis. Menurut Chen dkk (2005b), stres aluminium menyebabkan penutupa stomata yang bertanggungjawab terhadap penurunan ambilan CO2, sehingga laju asimilasi pun menurun. Hal ini memengaruhi produksi tanaman secara drastis. Ma dkk (2002) menyatakan bahwa konsentrasi aluminium dapat mengganggu pertumbuhan tanaman dan kerusakan perakaran, sehingga absorpsu nutrisi dan air tidak optimal dan menyebabkan produktivitas tanaman yang rendah. Berdasarkan penelitian Hilman dkk (2004), di tanah asam, ketersediaan fosfat menjadi rintangan terbesar. Jenis tanah beracun terhadap tanaman dan perlu penanganan. Pada pH ≤ 5.5, toksisitas aluminium adalah faktor stres utama untuk tanaman yang membatasi produksi tanaman kacang-kacangan (Ryan & Delhaize 2010). Haling dkk (2011) menyatakan bahwa performa tanamn yang baik di bawah kondisi asam dan kekeringan disebabkan oleh kemampuan tanaman untuk menoleransi stres yang diimplementasikan dalam produksi biomassa berupa kanopi dan akar yan berhubungan dengan tingkat akuisisi nutrisi dan air. Chen dkk (2005a) menyatakan bahwa aluminium menurunkan ambilan CO2 yang
berguna dalam proses asimilasi jeruk limau (Citrus rehhni), yang memengaruhi aktivitas enzim yang terlibat dalam siklus Calvin. Gangguan siklus asimilasi karena induksi aluminium menyebabkan penurunan suplai nutrisi ke tanah dan penurunan produksi kualitas tanaman, terutama pada tanaman yang sensitif. Menuurt Lynch (2013), tanaman yang toleran menunjukkan perakaran yang lebih baik dan diharapkan menghasilkan biomassa yang lebih banyak. Toksisitas aluminium menyebabkan perubahan proses fisiologis dan biokimia tanaman dan akibatnya akan mengubah produktivitasnya (Mora dkk 2006).