3116958-finale

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 3116958-finale as PDF for free.

More details

  • Words: 26,531
  • Pages: 158
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS HUKUM Studi tentang Bentuk Pertanggungjawaban Negara Indonesia Terhadap Protes Malaysia dan Singapura Dalam Masalah Kabut Asap Kebakaran Hutan di Propinsi Riau pada tahun 2006 Penulisan Hukum ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum Oleh : Nama NIM Bagian : Ronald Eberhard : 03/167564/HK/16349 : Hukum Internasional YOGYAKARTA 2007

HALAMAN PERSETUJUAN Penulisan hukum ini telah disetujui oleh Dosen Pembimbing, Pada hari , tanggal Penyusun Ronald Eberhard No. Mahasiswa: 03/167564/HK/16349 Menyetujui: Dosen Pembimbing I Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M NIP 131598151 .:

HALAMAN PENGESAHAN Penulisan Hukum ini telah dipertahankan dihadapan Dewan penguji Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Pada Hari......................., Tanggal............................ Dewan Penguji Ketua NIP .:............................................. Anggota I Anggota II NIP .:............................... ........ Mengetahui NIP .:............................. ........ Ketua Bagian Hukum____________________ NIP .:.......................................

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Penulisan Hukum ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi lain, dan sepanjang pengetahuan saya didalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Yogyakarta, 31 Desember 2007

HALAMAN MOTTO Don’t Look Back in Anger (Oasis)

HALAMAN PERSEMBAHAN Thanks to: 1. Father and Mother, for your big support 2. MAPAGAMA, for the idea of making this 3. Mr. Marsudi, for the help and support 4. Mrs. Agustina Merdekawati, for the topic and the assistance 5. All my friends supporting me : especially MGers, Gelanggangers, KWers, that I may mention the names Hendra, Mindy (El Camino rocks guys !), Sidik, Baskoro, Agus, Tulus, Sharfan, Enggar, Angga, DM, Daru, Jabrik, Jinggo, Haznan, Dirga, and the others that I may forget. 6. For my beauty queen : Nancy, Ririn, Dea, Gris 7. For someone in somewhere : Kania 8. My friends at Law Faculty, my international law classmates : Dody, Tyas, Ayu, Diana, Saidah, my law friends : Teguh, Kenzo, Pandu, Togu, although not so much times spent with you guys but you all become helpful in such little chance. 9. Last but not least, thanks for the people giving time so this is finish, and I may mention the name again, Mr. Rajpal Singh, Mbak Riena, Pak Anuar, and Mbak Rina,

KATA PENGANTAR Sebelumnya penulis ingin mengucapkan terimakasih pada Tuhan YME atas kesempatan yang diberikan untuk menyelesaikan penulisan hukum ini beserta segala rahmat yang diberikan untuk menyusun penulisan hukum ini. Adapun dukungan dari keluarga dan teman-teman terdekat juga menyumbang bagi kelangsungan penulisan hukum ini. Oleh karena itu penulis ini ingin mempersembahkan penulisan hukum ini untuk mereka. Adapun tujuan penulisan hukum ini adalah menyelesaikan kewajiban penulis sebagai mahasiswa fakultas hukum UGM. Banyak terimakasih ingin penulis sampaikan bagi seluruh civitas akademika karena telah membimbing penulis sampai ke titik ini. Penulisan hukum ini juga ingin penulis persembahkan bagi khasanah ilmu pengetahuan agar referensi akan masalah yang penulis angkat semakin bertambah. Akhir kata, tidak ada gading yang tak retak oleh karena itu biarlah penulisan ini diuji oleh para pembaca sekalian. Saran dan kritik akan penulis terima secara terbuka. Sekali lagi, terimakasih atas perhatian dan waktu yang saudara/i berikan untuk penulisan hukum ini

DAFTAR ISI Halaman Sampul Depan Halaman Judul…….......…………………………………………………..…….i Halaman Persetujuan....................................................................... ii Halaman Pengesahan......................................................................ii i Halaman Pernyataan.......................................................................i v Halaman Motto............................................................................. ....v Halaman Persembahan...................................................................vi Kata Pengantar......................................................................... ......vii Daftar isi............................................................................... .........viii Daftar Tabel............................................................................. .........x Daftar Lampiran.......................................................................... ....xi Bab I. Pendahuluan A. Judul............................................................................. ..........1 B. Latar Belakang.......................................................................1 C. Perumusan Masalah...............................................................9 D. Tujuan Penelitian....................................................................9 E. Manfaat Penelitian................................................................10 F. Keaslian Penelitian...............................................................10 G. Cara Penelitian.....................................................................15 BAB II. Tinjauan Pustaka...............................................................20

BAB III. Pembahasan A. Kebakaran Hutan di Riau pada Tahun 2006..............................44 B. Peraturan Berkaitan dengan Kebakaran Hutan........................52 C. Penanganan Kebakaran Hutan di Riau......................................57 D. Kebakaran Hutan di Riau sebagai Bencana Alam.....................62 E. Transboundary Haze Pollution akibat Kebakaran Hutan..........65 F. Peraturan yang Berkaitan dengan Transboundary Haze Pollution......................................................................... ................66 G. Penanganan Transboundary Haze Pollution..............................67 H. Peraturan yang Berkaitan dengan Tanggungjawab Negara.....79 I. Yurisprudensi-yurisprudensi Transboundary Pollution..............86 BAB III. Penutup A. Kesimpulan........................................................................ ...98 B. Saran............................................................................. .....101 Daftar Pustaka........................................................................... ..103 Lampiran.......................................................................... ............107 DAFTAR TABEL Tabel 1. Pembagian wilayah daratan Riau Tabel 2. Jumlah titik api pada tahun 2006 Tabel 3. Propinsi dengan jumlah titik api terbanyak

Tabel 4. Jenis penggunaan lahan yang menyebabkan kebakaran hutan Tabel 5. Kualitas udara di Malaysia dan Singapura pada tahun 2006 DAFTAR LAMPIRAN ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution ILC Draft of Prevention of Transboundary Harm from Hazardous Activities, 2001

DEKLARASI RIO (terjemahan) Bagan birokrasi ASEAN untuk penanganan kabut asap Bagan prinsip hukum lingkungan internasional yang berhubungan dengan kabut asap Bagan pertanggungjawaban negara dalam kasus kabut asap

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masalah asap kebakaran hutan di Indonesia adalah masalah yang pelik. Propinsi Riau yang letaknya berdekatan dengan Malaysiaa dan Singapura menjadi sumber transboundary haze pollution bagi kedua negara tersebut. Dari sejumlah titik api yang terdeteksi terbanyak ditemukan di Riau dan Kalimantan Barat. Dalam periode 1-30 Juli 2006, berdasarkan Data Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer, di Provinsi Riau terdeteksi sejumlah 1.419 titik api, yang terdiri dari: lahan masyarakat (55,39%), kawasan HTI (23,82%) dan perkebunan (20,79%).1 Dampak langsung dari kebakaran hutan di Riau tersebut antara lain : Pertama, timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat. Kedua, berkurangnya efesiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan diliburkan. Ketiga, terancamnya habitat asli Macan Sumatera membakar habitat dan Gajah mereka. karena Keempat, kebakaran hutan juga timbulnya persoalan internasional asap dari kebakaran hutan di Riau menimbulkan kerugian materiil dan imateriil di negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. 1 Fire Bulletin No. 1-2006_3Aug.doc, WWF

Penyebab dari masalah kebakaran hutan adalah karena kesalahan sistemik dalam pengelolaan hutan secara nasional. Dalam hal ini, ada pengusaha perkebunan sawit yang lebih memilih metode land clearing dengan cara membakar daripada metode lain, pekerja-pekerja pembuka lahan yang berasal dari masyarakat setempat. Pemerintah memberikan hak penguasaan hutan (HPH) kepada pengusaha-pengusaha perkebunan sawit. Tidak terlaksananya inilah mekanisme yang pembukaan inti lahan yang seharusnya menjadi permasalahan. Ketidaktersediaan teknologi yang memadai membuat metode land clearing dengan cara membakar dinilai efisien. Dampak yang ditimbulkan dari penerapan metode ini terhadap lingkungan tidak sebanding dengan hasilnya. Faktor ekonomi menjadi latar belakang kenapa metode ini lazim dilakukan di Riau. Penerapan metode land clearing dengan pembakaran hutan ini bertentangan dengan hukum nasional Indonesia sendiri. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Bab III Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa ”Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.2 Selain itu, UndangUndang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 Paska Amandemen menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan 2 UU No. 23 Tahun 1997 pasal 5 ayat (1)

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.3 Perlu diperhatikan juga mengenai status Riau sebagai propinsi di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena berkaitan dengan kewenangan propinsi Riau terhadap hutan yang berada di wilayahnya. Ada beberapa kelemahan dalam UU No. 32 tahun 2004 dimana basis otonomi diberikan kepada kabupaten dan bukan propinsi sehingga jika terjadi kebakaran hutan di suatu kabupaten pencemarannya dapat mencakup daerah lainnya. Penyebab kebakaran hutan di Riau jika ditarik garis lurus maka akan melibatkan pengusaha-pengusaha kertas dan pengelola perkebunan sawit. Produsen kertas membutuhkan kayu sebagai bahan baku produksi. Hutan membutuhkan pemeliharaaan dan perawatan yang berkelanjutan agar tetap lestari. Karena mengejar keuntungan pengusaha kertas dan kebun sawit dalam mengelola kertas dan minyak sawit seringkali mengabaikan konsep konservasi. Terhadap masalah kebakaran hutan ini masyarakat sebenarnya bisa membela sumber daya alam yang berada di sekitarnya. Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengutarakan ada hak masyarakat untuk mengajukan gugatan kepada perusahaan-perusahaan yang kegiatannya berdampak 3 Amandemen UUD 1945

buruk terhadap lingkungan. Hak-hak yang dapat digunakan oleh seseorang tersebut antara lain : a. hak mengajukan gugatan; b. pertanggungjawaban (liability), c. beban pembuktian, dan d. penentuan ganti kerugian. 4 Mengenai hak mengajukan gugatan dapat dibagi atas beberapa macam yakni : a. gugatan perwakilan kelompok b. hak gugat LSM dalam hal terjadinya kerugian negara c. gugatan masyarakat atau citizen suit5 Adapun mengenai masalah pembuktian dalam kasus ini dapat ditempuh dengan 2 cara yakni: a. Konvensional (163 HIR dan 1865 BW) “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.” b. Terbalik Kewajiban penggugat sebatas mengajukan bukti awal/pendahuluan atau prima facie evidence dan tidak perlu legal evidence. 4 Rino Subagyo, 2005, Hukum Lingkungan : Aspek Pidana,, Indonesian Centre for environmental Law 5 Ibid

Ada 2 jenis implikasi jenis pertanggungjawaban terhadap pembuktian ini yakni : a. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yakni : 1. Kesalahan (fault) 2. Kerugian (damages) 3. Kausalitas (casual link) 4. Beban pembuktian terhadap ketiga unsur di atas terdapat pada penggugat (163 HIR dan 1865 BW) b. Pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no fault liability/strict liability), yakni: 1. Kerugian (damages) 2. Kausalitas (casual link) 3. Beban pembuktian terhadap kedua unsur di atas tetap merupakan beban penggugat (163 HIR dan 1865 BW) 4. Beban pembuktian tentang ada faktor pada penghapus diri tergugat pertanggungjawaban/pembelaan sebagaimana layaknya suatu pembelaan (tidak terdapat pemindahan beban pembuktian). Khusus penggunaan strict liability adalah pada kegiatan yang : a. Berdampak besar dan penting b. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun dalam proses

produksi c. Menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun 6 Memang setiap negara tetap memiliki kedaulatan terhadap wilayahnya. Negara dapat menurunkan peraturan hukum wajib untuk wilayahnya, memiliki kekuatan eksekutif (adiminstratif, kebijakan), dan pengadilannya adalah satu-satunya yang berwenang untuk mengadili. Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga (transboundary pollution) sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah ini. Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan hidup ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober 2006, Malaysia dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi Indonesia tidak langsung setuju dengan permintaan Malaysia dan Singapura. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap tersebut telah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan pariwisata mereka. Pernyataan maaf secara resmi terhadap masalah ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Malaysia dan Singapura karena mereka belum merasa puas. Inti ketidakpuasan dari negara-negara 6 Ibid

ASEAN terutama Malaysia dan Singapura, Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi The 1997 ASEAN 7 Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Negara ASEAN lain sudah meratifikasi AATHP kecuali Filipina. Sampai dengan bulan Juli 2005, tujuh negara ASEAN telah meratifikasi yakni Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos dan Kamboja.8 Untuk menyelesaikan persoalan pencemaran lintas batas ini sebaiknya diperhatikan ketentuan hukum internasional, khususnya hukum kebiasaan internasional. Prinsip yang berkenaan adalah good neighbourliness. Prinsip ini tersirat dalam Deklarasi Stockholm. Prinsip ini mengatakan kalau setiap negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya tanpa merugikan negara lain. Contoh kasus yang serupa dengan kasus ini adalah Trail Smelter Case. Prinsip-prinsip internasional ini juga telah diakui dalam Mahkamah Internasional dan dalam dokumen-dokumen hukum lingkungan internasional seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio 1992. Walaupun prinsip-prinsip ini belum dikodifikasikan dalam perjanjian internasional, tetapi bisa dikatakan bahwa kebiasaan internasional telah berkembang.9 7 Virtual Information Center,2006, Special Press Summary : ASEAN SubRegional Ministerial Meeting on Transboundary Haze Pollution, Pekanbaru 8 Eyes on The Forest, Forest Fire Rages Again – Stop Conversion on Peatlands, 2006, hlm 5. 9 Azmi Sharom,

Hukum lingkungan internasional pada mulanya berkembang dalam bentuk hukum kebiasaan, yaitu keputusan-keputusan yang dibentuk oleh badan-badan arbitrasi, yang dibentuk oleh negara-negara yang bersengketa, yang ingin menyelesaikan sengketanya secara damai. Pada umumnya mengacu kepada prinsipprinsip hukum internasional, yaitu prinsip tanggungjawab negara (state responsibility), yang mewajibkan setiap negara bertanggungjawab terhadap setiap akibat tindakannya yang merugikan negara lain. Orientasi penerapan prinsip tersebut bukanlah perlindungan lingkungan, melainkan perlindungan dan pemulihan hakhak negara yang dirugikan. 10 Menurut hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Apabila kemudian terbukti adanya pelanggaran tersebut, maka diperlukan adanya upaya pemulihan yang dapat berupa satisfaction, misalnya permohonan ma'af secara resmi, ataupun berwujud pecuniary reparation, misalnya dengan pemberian ganti rugi material.11 Goldie menyatakan bahwa istilah 'responsibility' digunakan untuk menunjuk pada kewajiban (duty), atau menunjuk pada standar pemenuhan suatu peran sosial yang ditetapkan oleh sistem hukum tertentu. Sedangkan istilah 'liability' digunakan untuk http://thestar.com.my/columnists/story.asp?file=/2007/7/12/columnists/bravenew world/18255105&sec=Brave%20New%20World (diakses pada 5-8-2007 pukul 23.00) 10 Ida Bagus Wyasa Putra, 2003 Hukum Lingkungan Internasional, Refika Aditama,, halaman 18 11 F, Soegeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Yogyakarta:Penerbitan UAJYogyakarta,, hlm 77-78.

menunjuk pada konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban atau untuk memenuhi suatu standar tertentu yang telah ditetapkan.12 Lebih jelasnya lagi dapat diketahui dari rumusan ketentuan Art. 139 (1 & 2) KHL-1982, sebagai berikut: 1. States Parties shall have the responsibility to ensure that activities in the Area, whether carried out by States Parties, or state enterprises or natural or juridical persons which possess the nationality of States Parties or are effectively controlled by them or their nationals, shall be carried out in conformity with this Part. The same responsibility applies to international organizations for activities in the Area carried out by such organizations. 2. Without prejudice to the rules of international law and Annex III, article 22, damage caused by the failure of a State Party or international organization to carry out its responsibilities under this Part shall entail liability: States Parties or international organization acting together shall bear joint and several liability. A State Party shall not however be liable for damage caused by any failure to comply with this Part by a person whom it has sponsored under article 153, paragraph 2 (b), if the State Party has taken all necessary and appropriate measures to secure effective compliance under article 153, paragraph 4, and Annex III, article 4, paragraph 4.13 Dalam konteks perlindungan lingkungan, untuk mengetahui ada tidaknya pertanggungjawaban negara (responsibility) dan atau liability) dalam suatu peristiwa, Zemanek mengingatkan perlunya dilakukan penelitian terhadap empat aspek dari keadaan faktual yang bersangkutan, yang meliputi: akibat (effect); kegiatan (activity); tempat/ruang lingkup (space); serta sumber dan korban 12 Marsudi Triatmodjo, Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingukungan Internasional, hlm. 3 13 Ibid

(sources and victims).6 Mengenai ada tidaknya akibat yang ditimbulkan dalam suatu peristiwa, pertama-tama perlu untuk dibedakan mengenai pengertian kerusakan (damage) dan pengertian membahayakan (harm). Dalam hukum internasional, yaitu sebagaimana dirumuskan dalam Art. 1 (a) Liability Treaty-1972, pengertian 'kerusakan' didefinisikan sebagai berikut: "the term 'damage' means loss of life, personal injury or other impairment of health, or loss of or damage to property of States or persons, natural or juridical, or property of international intergovernmental organizations".14 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Pasal 25 juga memberikan pernyataan bahwa (1) Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control. (2) Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social protection.15 Ketentuan Pasal 1 Draft International Law Commision (ILC) tentang Pertanggungjawaban Negara berisi bahwa: ”Every internationally wrongful act of a State entails the international 14 961 UNTS 187 15 Universal Decalarations of Human Right

responsibility of that State”.16 Selain itu sesuai dengan prinsip ke14 Deklarasi Rio 1992 yang megatakan “Pencegahan peralihan bahan perusak lingkungan dari satu negara ke negara lainnya oleh setiap pemerintah.”17 B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap protes Malaysia dan Singapura dalam kasus kabut asap akibat kebakaran hutan di Riau pada tahun 2006 ? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan obyektif : 1. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban negara terhadap lingkungan terutama dikaitkan dengan adanya protes dari negara lain Tujuan subyektif: 2. Untuk menyelesaikan tanggungjawab sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UGM dan memperoleh gelar Sarjana Hukum. 16 International Law Commision Draft on State Responsibility Article 1 17 Deklarasi Rio 1992 prinsip ke 14

D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini: 1. Bagi ilmu pengetahuan, memperkaya referensi penulisan hukum 2. Bagi masyarakat luas, memberikan referensi akan masalah kabut asap dan bentuk pertanggungjawabannya. E. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian mengenai PERTANGGUNGJAWABAN INDONESIA DALAM PENYELESAIAN PERSOALAN RITUAL KABUT ASAP KEBAKARAN HUTAN INDONESIA YANG BERDAMPAK SECARA INTERNASIONAL RESPONSIBILITY BERDASARKAN sebenarnya sudah KONSEP ada sebelumnya STATE yang dikerjakan oleh Agustina Merdekawati pada tahun 2007 dan sudah dipulikasikan UGM Research Week pada yahun 2007 tetapi sepanjang penelusuran kepustakaan di Perpustakaan Pasca Sarjana UGM dan Perpustakaan FH UGM, belum ditemukan judul penelitian dengan permasalahan “Studi tentang Bentuk Pertanggungjawaban Negara Indonesia Terhadap Protes Malaysia dan Singapura Dalam Masalah Kabut Asap Kebakaran Hutan di Propinsi Riau pada tahun 2006” sehingga penelitian ini dapat dianggap memenuhi kaedah keaslian penelitian. Penelitian untuk penulisan hukum mengenai kebakaran

hutan telah dilakukan oleh Fitri Sumarni, berjudul TINJAUAN TERHADAP TANGGUNG JAWAB KORPORASI DALAM KASUS KEBAKARAN HUTAN/LAHAN. Permasalahan yang diangkat meliputi analisa pengutusan pengadilan terhadap tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh korporasi. Terdapat juga penelitian tentang kebakaran hutan yang pernah dilakukan oleh Edy Suasono pada tahun 2003 dengan judul PELAKSANAAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN PONTIANAK PROPINSI KALIMANTAN BARAT. Penelitian dalam tesis tersebut membahas mengenai kebijakan faktor-faktor pemerintah yang dalam mempengaruhi upaya pelaksanaan dan pencegahan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan serta peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat. Penelitian juga dilakukan secara kelembagaan oleh beberapa institusi yang empati terhadap kasus kebakaran hutan, misalnya beberapa LSM yang bergerak pada bidang lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup RI, dan Pusat Studi Lingkungan Hidup. Penelitian mengenai pertanggungjawaban negara pernah

dilakukan pada tahun 2005 oleh Marsudi Triatmodjo di Fakultas Hukum UGM yang berjudul PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN INTERNASIONAL, yang memfokuskan permasalahan mengenai kewajiban yang dapat memaksa negara untuk tidak melakukan kegiatan mencemari lingkungan daerah di luar batas yurisdiksinya dan konsekuensinya jika kewajiban itu dilanggar. Selain itu, juga pernah ada penelitian yang berjudul TANGGUNG JAWAB NATO ATAS KERUSAKAN LINGKUNGAN YANG DIAKIBATKAN OLEH PENGGUNAAN METODE ENVIRONMENTAL WARFARE DALAM KRISIS KOSOVO., yang mengangkat mengenai tanggung jawab organisasi internasional dalam menggunakan metode berperang yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Penelitian ini dilakukan oleh Agung Rahmawati Saptasiwi pada tahun 2005. Fokus permasalahan yang penulis kaji dalam penelitian ini berbeda dengan fokus penelitian yang telah ada sebelumnya. Fokus kajian dalam penelitian sebelumnya umumnya membahas tentang masalah penyebab dan penanggulangan masalah kabut asap kebakaran hutan dengan fokus lokasi pada keseluruhan wilayah Indonesia serta pertanggungjawaban negara terhadap pencemaran lingkungan internasional. Dalam penelitian ini fokus pembahasannya lebih pada masalah kabut asap kebakaran hutan

yang berdampak secara internasional yang dikaitkan dengan protes Malaysia dan Singapura berdasarkan konsep hukum pertanggungjawaban negara berdasarkan Draft Internasional Law Commision (ILC) tentang state responsibility. Dengan demikian penelitian penelitian. ini dapat dianggap memenuhi kaedah keaslian F. CARA PENELITIAN Penelitian ini akan dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. 1. Penelitian Kepustakaan Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari data yang terdapat dalam buku atau literatur, tulisan– tulisan ilmiah, dokumen-dokumen dan peraturan–peraturan perundang–undangan yang berhubungan dengan obyek penelitian, yang meliputi: Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari : a. Bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari : 1.) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 2.) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 3.) Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah 4.) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer yang terdiri dari : 1.) ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 2.) Deklarasi Rio 1992 tentang HAM dan Lingkungan (KTT Bumi) 3.) Draft Articles of Responsibilities of State for Internatioanal Wrongful Acts with Comementaries, Commentaries of the Draft, ILC 4.) Buku-buku mengenai Hukum Lingkungan Internasional 5.) Bahan-bahan lain yang berkaitan dengan transboundary pollution. 6.) Majalah, surat kabar, tulisan yang berkaitan dengan materi penelitian c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier meliputi : 1.) Kamus Hukum 2.) Kamus Besar Bahasa Indonesia

2. Penelitian Lapangan Penelitian Lapangan adalah penelitian yang dilakukan secara langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan berkaitan dengan masalah yang diteliti. a. Data Data yang diperoleh dari penelitian lapangan adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber yang dipilih dan dianggap mengetahui masalah yang diteliti. b. Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di Jakarta dan Riau mengingat kemudahan untuk mengakses kantor-kantor pemerintahan dan elemen yang terkait di kasus ini. c. Cara pengambilan sampel Cara pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probabilitas (non probability sampling), yaitu cara pengambilan sampel yang tidak memberikan kesempatan yang sama kepada setiap sampel dalam populasi untuk dipilah, sedangkan jenis sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu calon sampel yang dipilah berdasarkan kriteria atau ciri-ciri yang dianggap berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti. d. Responden dan Narasumber Narasumber adalah pihak – pihak yang mengetahui mengenai

permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini, namun tidak terlibat langsung di dalam permasalahan. Pihak – pihak yang dijadikan narasumber di dalam penelitian ini adalah : 1.) Wakil dari ASEAN : Riena R. Prasidha, Technical Officer, Environment and Disaster Management Bureau for Resources Development 2.) Wakil dari Pemerintah Malaysia : Anuar Zaki Bakar, Setia Usaha II Politik dan Ekonomi 3.) Wakil dari Departemen Luar Negeri RI : Rina Dwi Astuti, Dinas 2 Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosbud 4.) Wakil dari Pemerintah Singapura : Rajpal Singh, First Seceretary e. Alat pengumpulan data Alat pengumpulan data yang digunakan menggunakan pedoman wawancara semi struktur, yaitu kombinasi antara pedoman wawancara yang terstruktur dengan pedoman wawancara tidak terstruktur. Pedoman wawancara semi struktur untuk menghindari terlewatinya inti pertanyaan yang diajukan. Dalam hal ini, mula – mula diajukan beberapa pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian dari beberapa pertanyaan dikembangkan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut sehingga diperoleh jawaban yang lengkap dan mendalam. f. Analisis Data

Dari data yang telah dikumpulkan, baik itu dari penelitian kepustakaan atau penelitian lapangan kemudian diseleksi dan dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif. Analisis data ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah. 1) Kualitatif Yaitu metode analisis data dengan mengelompokkan data yang diperoleh berdasarkan kualitas kebenarannya, kemudian disajikan dalam bentuk uraian kalimat. 2) Deskriptif Yaitu menganalisis data yang diperoleh kemudian berusaha menyajikan dan menggambarkan data agar pembaca dapat memahami dengan baik dan jelas keadaan yang sebenarnya Pada bab pembahasan, subsub bab dibagi dalam : a. Kebakaran Hutan di Riau pada tahun 2006 Pada sub bab ini dibahas mengenai sebab kebakaran hutan dan kerugian-kerugian yang ditimbulkannya b. Peraturan Berkaitan dengan Kebakaran Hutan Pada sub bab ini dibahas menegenai peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebakaran hutan. Interpretasi sistematis dan gramatikal digunakan untuk mengetahui hierarki perundangundangan dan peraturan mengenai kebakaran hutan. Pada sub bab ini juga dapat disimpulkan siapa yang bertanggungjawab atas kebakaran hutan.

c. Penanganan Kebakaran Hutan di Riau Pada sub bab ini dibicarakan langkah-langkah pencegahan, pemantauan, dan penanggulangan kebakaran hutan d. Kebakaran Hutan di Riau sebagai Bencana Alam Pada sub bab ini akan dibicarakan penggolongankebakaran hutan di Riau sebagai bencana alam e. Transboundary Haze Pollution akibat kebakaran hutan Pada sub bab ini dibahas mengenai akibat kebakaran hutan yang berdampak secara internasional yakni kabut asap. f. Peraturan yang Berkaitan dengan Transboundary Haze Pollution Pada sub bab ini hampir sama dengan sub bab b, namun kali ini yang lebih ditinjau adalah hukum internasional g. Penanganan Transboundary Haze Pollution Pada sub bab ini dibahas mengenai penyelesaian masalah ini secara internasional baik deri segi politik dan hukum internasional h. Peraturan yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Negara Pada sub bab ini dibahas mengenai pertanggungjawaban negara atas kasus ini, ditinjau dari segi hukum nasional dan internasional i. Yurisprudensi berkaitan Transboundary Pollution

Pada sub bab ini dipaparkan mengenai kasus-kasus Transboundary Pollution lainnya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Prinsip bahwa setiap negara berdaulat diakui dan dilindungi oleh hukum internasional. Oleh karena itu semua negara yang menjadi bagian dari masyarakat internasional harus mengakui dan menghormati hal tersebut. Namun kedaulatan yang dimiliki oleh negara itu bukan tak terbatas. Maksudnya adalah bahwa di dalam kedaulatan itu, terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Jadi jika suatu negara melanggar ketentuanketentuan internasional atau melakukan tindakan yang tidak sah secara internasional akan dikenai suatu tanggung jawab negara.18 18 Report of International Law Commission on the work of its Thirty Seventh, 1985

Dalam tatahukum internasional, ketentuan berkenaan dengan masalah pertanggungjawaban negara ini memang belum ada yang pasti. International Law Commision (ILC), salah satu organ PBB yang bertugas untuk melakukan perumusan dan pembahasan ketentuan dan hukum internasional sampai saat ini masih berusaha merumuskan dan membahas draft tentang ketentuan tanggung jawab negara. Meskipun hasil kerjanya masih dalam bentuk draft, tetapi aktivitas ILC dalam mempersiapkan dan melakukan perkembangan hukum internasional khususnya mengenai tanggung jawab negara yang dilakukan oleh para ahli hukum terkemuka yang mewakili kebudayaan-kebudayaan terpenting di dunia yang mempunyai nilai tinggi yang tergabung di dalam Panitia Hukum Internasional (ILC), dapat digunakan sebagai sumber tambahan hukum internasional. Jika ketentuan ini dipakai dalam praktek kenegaraan maka akan menjadi hukum kebiasaan internasional. Sampai saat ini walaupun belum ada ketentuan yang mapan, tanggung jawab negara tetap merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional. Dalam hal ini baru bisa dikemukakan mengenai syarat-syarat atau karakteristik tanggung jawab negara, seperti dikemukakan oleh Shaw yang dikutip oleh Huala Adolf19 sebagai berikut : 19 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. Radja Grafindo Persada, ed. 1, cet. 2., Jakarta, 1996, h. 174

1. Ada suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tersebut; 2. Ada suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara; dan 3. Ada kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian Persyaratan-persyaratan ini kerapkali digunakan untuk menangani sengketa yang berkaitan dengan tanggung jawab negara. Misalnya dalam kasus the Spanish Zone of Morocco Claims. Hakim Huber dalam kasus ini menegaskan bahwa tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari adanya suatu hak. Hak-hak yang bersifat internasional tersangkut di dalamnya tanggung jawab internasional. Tanggung jawab ini melahirkan kewajiban untuk mengganti kerugian manakala suatu negara tidak memenuhi kewajibannya.20 Dalam Draft Articles on State Responsibility yang diadopsi oleh Komisi Hukum Internasional (ILC), pada Article 1 ditegaskan bahwa setiap tindakan suatu negara yang tidak sah secara internasional melahirkan tanggung jawab bagi negara tersebut. Sedangkan pada Article 2 ditegaskan bahwa negara merupakan subyek yang dimungkinkan melakukan tindakan tidak sah secara 20 Huala Adolf, ibid., hlm. 174-175

internasional. Perbuatan yang sah secara internasional menimbulkan kerugian atau kerusakan menyebabkan suatu negara dibebani kewajiban untuk memperbaikinya. Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan didasarkan pada adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang berada di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang membawa akibat yang merugikan terhadap lingkungan tanpa mengenal batas negara. Hukum lingkungan internasional mengatur bahwa setiap negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga negaranya. Pasal 5 butir 1 UndangUndang Nomor 23 tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. Demikian pula Deklarasi Universal PBB mengenai Hak-Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya.21 Pembahasan masalah tanggung jawab atas lingkungan seperti telah dikemukakan di atas berkaitan dengan prinsip kedaulatan negara dan prinsip hormat-menghormati negara lain. 21 The Universal Declaration of Human Rights : A Guide for Journalist. Terjemahan : Hendriati Trianita, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia : Panduan bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), cet. 2, Jakarta, 2000, h. 36

Menurut Daud Silalahi konsep state responsibility-liability dalam kerangka hukum lingkungan internasional mengacu pada pembahasan the principle of sovereignity dan the freedom of the high seas.22 Prinsip ini sangat berguna dalam menyelesaikan sengketa lingkungan lintas internasional batas yakni dalam hal terjadi yang pencemaran (transboundary pollution) menimbulkan kerusakan lingkungan di wilayah negara lain, misal dalam kasus Trail Smelter. Tanggung jawab negara terhadap akibat-akibat dari tindakannya terhadap negara lain dan hak-hak negara terhadap lingkungan ditegaskan pula dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm (Resolusi MU No. 2992 (XXVII)) 15 Desember 1972) menyatakan bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya dan bertanggung jawab agar kegiatan eksploitasi yang dilakukan di dalam wilayah atau di bawah pengawasannya tersebut tidak menyebabkan kerugian atau kerusakan terhadap negara lain. Rumusan yang sama ditetapkan dalam Pasal 194 Konvensi Hukum Laut 198223 yaitu bahwa negara harus mengambil tindakan yang perlu untuk menjamin agar kegiatan-kegiatan yang berada di bawah yurisdiksinya atau di bawah pengawasannya dilakukan dengan cara sedemikian rupa 22 Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, Penerbit Alumni, ed. 2, cet. 1, Bandung, h. 129,171. 23 UN Doc. A/CONF.62/122

sehingga tidak mencemari wilayah negara lain. Sedangkan ketentuan Prinsip 22 Deklarasi Stockholm berkaitan dengan masalah tanggung jawab dan kompensasi bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya yang disebabkan oleh kegiatan di dalam wilayah yurisdiksi atau di bawah pengawasan suatu negara. Hal serupa dikemukakan Komar Kantaatmadja, yakni bahwa perbuatan yang menyebabkan terjadinya kerugian menimbulkan kewajiban untuk memenuhi ganti rugi.24 Upaya masyarakat internasional dalam membahas hak (dasar) negara ini, misalnya saja dilakukan pada tahun 1916 oleh American Institute of International Law (AIIL), sebuah organisasi internasional beranggotakan negara-negara di benua Amerika, yang berhasil memutuskan “Declarations of the Rights and Duties of Nations” Upaya ini disusul dengan sebuah kajian yang berjudul “Fundamental Rights and Duties of American Republics”; dan dirampungkannya Konvensi Montevideo tahun 1933 tentang hak dan kewajiban negaranegara oleh negara-negara Amerika Latin.25 Upaya penting lainnya adalah dikeluarkannya draft Deklarasi tentang hak dan kewajiban negara-negara yang disusun oleh komisi hukum internasional PBB pada tahun 1949. Draft 24 Komar Kantaatmadja,1982, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Alumni, Bandung , h, 51 25 Huala Adolf,2002, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Press, hlm. 38

deklarasi hukum internasional ini semula dibuat agar dapat disahkan oleh Majelis Umum PBB. Tetapi kenyataan kemudian, Majelis Umum tidak pernah mengesahkannya.26 Adapun prinsip-prinsip mengenai hak dan kewajiban negara seperti termuat dalam rancangan Deklarasi dapat digunakan sebagai pedoman untuk saat ini. Adapun hak-hak dan kewajiban tersebut adalah : α. 1. 2. Hak-hak negara : Hak atas kemerdekaan (Pasal 1) Hak untuk melaksanakan jurisdiksi terhadap wilayah, orang dan benda yang berada di dalam wilayahnya (Pasal 2) 3. Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan negara-negara lain (Pasal 5); 4. Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal 12). β. 1. Kewajiban negara Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di negara lain (Pasal 3); 2. Kewajiban untuk tidak menggerakkkan pergolakan sipil di negara lain (Pasal 4); 3. Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia 26 Idem

(Pasal 6); 4. Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 7); 5. Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai (Pasal 8); 6. Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman senjata (Pasal 9); 7. Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya pasal 9 di atas; 8. Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh melalui cara-cara kekerasan (Pasal 12); 9. Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik (Pasal 13); dan 10. Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negaranegara lain sesuai dengan hukum internasional (Pasal 14).27 Doktrin persamaan kedudukan negara-negara ini dapat ditemukan pula dalam dokumen-dokumen internasional, serta putusan-putusan pengadilan. Di antaranya adalah: 1.

Komisi khusus PBB tentang prinsip-prinsip hukum Internasional tentang hubungan baik dan kerjasama antar negara (the United Nations Special Committee on Principles 27 idem

of International Law concerning Peaceful Relation and Cooperation among States) berhasil mencapai konsensus tentang persamaan kedudukan negara-negara tahun 1964. Konsensus tersebut menetapkan sebagai berikut : All states enjoy sovereign quality. As subjects of international law they have equal rights and duties. α. β. χ. States are judicially equal Each State enjoys the rights inherent in full sovereignty Each State has the duty to respect the personality of other states; δ. The territorial integrity and political independence of the State are inviolable ε. Each State has the right freely to choose and develop its political, social, economic and cultural systems φ. Each state has the duty to comply fully and in good faith with its international obligations, and to live in peace with other states Negara sebagai subyek hukum internasional adalah pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional itu mencakup hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional material dan hukum internasional formal.28 28 F. Sugeng Istanto, op.cit.,,h. 16

Adapun pandangan lain dinyatakan oleh Kelsen yang menyatakan bahwa individu merupakan subyek hukum yang sesungguhnya merupakan dari hukum dari internasional, hukum karena nasional individu maupun subyek segala internasional. Hal ini bertitik tolak dari anggapan bahwa negara dijalankan dan dibentuk oleh sekumpulan individu yang terikat hukum. Namun pandangan di atas tidak bisa diberlakukan begitu saja mengingat pengaturan hukum internasional sudah mengatur mengenai hak dan kewajiban negara. Tanggung jawab secara harafiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain.29 Menurut Sugeng Istanto, pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Menurut hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara itu merugikan negara lain. Pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum internasional saja. Perbuatan suatu negara yang 29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1006

merugikan negara lain tetapi tidak melanggar hukum internasional tidak menimbulkan pertanggungjawaban. Misalnya perbuatan negara menolak seorang warga negara asing yang masuk ke dalam wilayah negaranya.30 Pertanggungjawaban negara atau responsibility of states mengandung kewajiban dalam bagian dari suatu negara untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan dari sebuah serangan yang dilakukan dalam wilayah yurisdiksinya dan melawan anggota lainnya dari komunitas internasional.31 Prinsip bahwa setiap negara adalah berdaulat memang diakui dan dilindungi oleh hukum internasional. Oleh karena itu semua negara yang menjadi bagian dari masyarakat internasional harus menghormati dan mengakui hal tersebut. Namun kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara itu tidak tak terbatas. Artinya dalam melaksanakan hak berdaulat itu terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Suatu negara dapat dimintai pertanggungjawaban untuk tindakantindakannya yang melawan hukum akibat kelalaiankelalaiannya. Latar belakang timbulnya tanggung jawab di dalam hukum internasional adalah bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak negara lain. Setiap perbuatan atau kelalaian terhadap hak negara lain, 30 F Sugeng Istanto,op.cit., hlm. 77 31 Joseph P Harris – Consulting editor,1935, Introduction to the Law of Nations, McGraw Hill Series Inc., Political science, New York-Toronto-London, hlm.133

menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran hak tersebut. Ketentuan hukum internasional yang mengatur masalah tanggung jawab negara hingga kini belum ada yang mapan, dan terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan jaman. Para ahli hukum internasional mengakui bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental hukum internasional.32 International Law Commision (ILC) merupakan sebuah badan PBB yang bertugas mengurusi dan membahas draft tentang ketentuan tanggungjawab negara. Walaupun masih dalam bentuk draft tetapi karena disusun oleh para ahli hukum terkemuka yang mewakili berbagai kebudayaan terpenting di dunia dan mempunyai nilai tinggi serta tergabung dalam panitia hukum internasional, seperti yang tergabung dalam kepanitiaan penyusunan draft tentang tanggung jawab negara dalam ILC, maka ketentuan tanggung jawab negara ini dapat digunakan sebagai sumber tambahan di dalam hukum internasional.33 Secara garis besar tanggung jawab negara dibagi menjadi : a. Tanggung liability) Tanggungj jawab ini lahir dari setiap kesalahan atau kelalaian 32 M.N. Shaw, International Law, Butterworths, edisi 2, 1986, h. 466, Ian Brownlie, Principles of Public International Law, 1979, h. 431, seperti dikutip oleh Huala Adolf,1996, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, h. 174 33 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit. h. 143 jawab perbuatan melawan hukum (delictual

suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayah negaranya atau wilayah negara lain. Hal ini dapat timbul karena : 1. Eksplorasi ruang angkasa 2. Eksplorasi nuklir 3. Kegiatan Lintas Batas Nasional b. Tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian Pertanggungjawaban negara timbul karena suatu negara melanggar perjanjian internasional (treaty) yang dibuat dengan negara lain yang mengakibatkan kerugian terhadap negara lainnya. Menurut Sharon Williams, ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara yaitu :34 1. Subjective fault criteria 2. Objective fault criteria 3. Strict Liability 4. Absolute Liability Subjective fault criteria menentukan arti pentingnya kesalahan, baik dolus maupun culpa si pelaku untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara. Dalam konsep objective fault criteria ditentukan adanya pertanggungjawaban negara yang timbul dari adanya suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban 34 Sharon Williams, “Public International Governing Trans-boundary Pollution” 13 Univ. of Queensland L.J. (1984), h. 114-118 dikutip oleh Marsudi Triatmodjo, ibid, h. 177

internasional. Jika suatu negara dapat menunjukkan adanya forcé majeure atau adanya dapat tindakan dibebaskan pihak dari ketiga, negara yang bersangkutan tersebut. Konsep pertanggungjawaban strict liability membebani negara dengan pertanggungjawaban terhadap perbuatan atau tidak berbuat yang terjadi di wilayahnya yang di menimbulkan wilayah pencemaran lain, dan mengakibatkan kerugian negara meskipun berbagai persyaratan pencegahan pencemaran telah diterapkan. Dalam konsep ini acts of God, tindakan pihak ketiga atau forcé majeure dapat digunakan sebagai alasan pemaaf (exculpate). Menurut konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang dapat digunakan seperti dalam strict liability, sehingga dalam konsep ini terdapat total pertanggungjawaban walaupun segala standar telah dipenuhi.35 Pengertian sumber hukum dalam hukum internasional ada dua yakni sumber hukum formal dan sumber hukum material. Sumber hukum formal adalah proses atau prosedur yang mnghasilkan norma-norma hukum internasional, yakni hukum internasional perjanjian kebiasaan (international (treaty). customary law) dan internasional Sedangkan sumber hukum material menunjuk pada substansi atau isi dari prinsip hukum 35 Ibid

yang mendasari yang berlaku, yakni misalnya prinsip ius cogens. Prinsip ius cogens ialah serangkaian prinsip atau norma yang tidak dapat dirubah (preemptory), yang tidak boleh diabaikan dan yang karenanya dapat berlaku untuk membatalkan suatu traktat atau perjanjian antara negara-negara dalam hal traktat atau perjanjian itu tidak sesuai dengan norma atau prinsip tersebut.36 Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice), sumber-sumber hukum internasional yang dapat diterapkan oleh Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya adalah sebagai berikut : 1. Traktat/international treaty (perjanjian internasional) 2. Hukum internasional kebiasaan (international custom) 3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa beradab; 4. Keputusan-keputusan pengadilan; dan 5. Ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaedah hukum. Di samping ketentuan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional di atas, kini sejalan dengan perkembangan dalam beberapa bidang hukum internasional seperti hak asasi manusia, juga pada hukum lingkungan internasional ada penambahan 36 Starke, op.cit., h. 66

sumber hukum baru dari yang telah ada sebelumnya. Kiss dan Shelton menyebutnya sebagai “new sources of law” yang terdiri dari “binding resolutions” dan “nonbinding resolutions”.37 Binding resolutions adalah resolusi yang dihasilkan oleh organisasi internasional terhadap para anggotanya, sedangkan non-binding resolutions ialah resolusi yang dikeluarkan oleh konferensi atau oleh organisasi internasional, yang menurut isinya dapat diklasifikasikan menjadi of tiga kategori dan yaitu directive of recommendations, program action declaration principles.38 Berbagai dokumen internasional semacam ini dapat juga disebut sebagai soft law, yaitu “rules which have to be considered as law so far as they fix norms with which states would comply, but which cannot be enforced in the traditional meaning of them”.39 Daud Silalahi menyatakan bahwa konsep state responsibility-liability (tanggung jawab negara atas lingkungan) dalam kerangka hukum lingkungan internasional mengacu pada pembahasan the principle of sovereignity dan the freedom highseas. Pelaksanaan kegiatan di dalam suatu wilayah negara 37 Alexander Kiss and Dinah Shelton, 1991, Introduction to International Environmental Law, London, : Graham & Trotman Ltd., h. 108-113 seperti dikutip oleh Marsudi Triatmodjo,1999, dalam “Pengembangan Penagturan Hukum dan Kelembagaan Pencemaran Laut dari Darat di Kawasan Asia Tenggara”, Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, Jakarta, h. 243-244 38 Ibid., h. 243 39 Alexander Kiss, 1976, “Survey of Current Development in International Environmental Law”, IUCN Environmental Policy and Law Paper, No. 10(1976), h. 23 dikutip oleh Marsudi T. dalam ibid.

terhadap lingkungannya merupakan perwujudan kedaulatan dari suatu negara. Jika kegiatan tersebut menimbulkan kerugian bagi negara lainnya (the act injuries to another states) maka timbullah tanggung jawab negara. Prinsip responsibilityliability dikaitkan pula dengan legal strategy, yakni upaya untuk melakukan pencegahan terhadap aktivitas dengan cara menetapkan/mengatur standar permisible injury atau ambang batas dari kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan (environmental injuries) dapat pula dianggap sebagai ongkos eksternal yang timbul dari kegiatan ekonomi. Adanya kerusakan lingkungan ditetapkan berdasarkan ambang batas atau baku mutu lingkungan.40 Penetapan permisible level of injury (ambang batas kerusakan dari lingkungan) dilakukan melalui hasil putusan pengadilan internasional, yang atau dapat penetapan menimbulkan standar kerusakan perbuatan/tindakan lingkungan, dan melalui pelaksanaan fungsi pengaturan oleh badan-badan internasional. Sebagian besar tanggungjawab negara ini didasarkan pada ketentuan larangan injury of one state to another. Jika akibat timbul di luar wilayah suatu negara, pada wilayah yang termasuk common heritage of mankind (wilayahwilayah yang merupakan warisan bersama umat manusia) maka tanggung jawab yang timbul adalah tanggung jawab 40 Daud Silalahi, op.cit., h. 129-137

internasional.41 Salah satu prinsip yang terkenal dari hukum lingkungan internasional adalah sic utere tuo, ut alienum non laedas atau principles of good neighbourliness. Pada intinya prinsip itu mengatakan kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara lain. Hal ini patut berlaku pada saat terjadi aktivitas dalam negara yang menggangu negara lain. Ada juga prinsip lain yakni preservation and the protection of environment yang menegaskan bahwa tindakan-tindakan perlu diambil untuk mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan bagi kondisi yang baik di masa depan. Kemudian prinsip preventif yang menekankan tindakan pencegahan bagi kerusakan lingkungan. Selanjutnya pelanggaraan prinsip-prinsip ini akan membawa kepada penerapan prinsip berikutnya yakni prinsip ke 21 Deklarasi Stockholm yang menuntut negara pencemar untuk melakukan usaha memperbaiki kerusakan lingkungan yang dibuatnya. Pendekatan yang sama ini bisa juga dilihat dalam artikel 2(1) dari Konvensi ECE tentang Pengendalian Dampak Lingkungan yang menyatakan setiap negara harus mengambil tindakan pencegahan untuk mengurangi dampak pencemaran lintas batas. Pada umumnya kewajiban setiap negara adalah mewujudkan langkahlangkah administratif dan legislatif untuk melindungi lingkungan 41 Ibid

sehingga dapat dikatakan sebagai pemerintah yang baik.42 Prinsip kedua yang dikenal luas juga adalah kerjasama antara negara untuk mitigasi resiko kerusakan lingkungan lintas batas. Prinsip ini juga tercantum dalam prinsip ke 24 Deklarasi Stockholm.43. Prinsip berikutnya adalah polluter pays principle. Pada intinya ini adalah prinsip ekonomi dimana negara dituntut untuk membiayai tindakan yang dibutuhkan agar lingkungan kembali pada kondisi semula.44 Lalu ada juga prinsip ’balance of interest’ (keseimbangan kepentingan) pihak-pihak yang telah dirugikan. Prinsip ini terdapat di dalam Article 9 Draft on State Responsibility. Kemudian ada juga prinsip non-diskriminasi (nondiscrimination) yang mewajibkan negara untuk mengatasi/menanggulangi akibat-akibat yang diderita oleh negara lain dengan cara yang sama dengan yang dipergunakan jika akibat-akibat tersebut sudah terjadi di negaranya sendiri. Prinsip ini terdapat di dalam Article 11 dan 15 Draft on State Responsibility. Ukuran untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang digolongkan sebagai abnormally dangerous (the standard of abnormality) didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut : 1. Tingkat risiko (the degree of risk). Risiko dianggap tinggi 42 Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle,1992, International Law & The Environment, Oxford, hlm. 89-93 43 Idem 44 idem

apabila tidak dapat dijangkau oleh upaya yang lazim atau menurut kemampuan teknologi yang telah ada 2. Tingkat bahaya (the gravity of harm) sulit untuk dicegah pada saat mulai terjadinya. 3. Tingkat kelayakan upaya pencegahan (the appropriateness), sudah dilakukan upaya pencegahan secara maksimal; 4. Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatannya (value of activity) telah dilakukan secara memadai. Sementara itu merujuk pada the restatement of the law torts in America, menentukan apakah suatu kegiatan termasuk ke dalam kegiatan yang berbahaya (abnormally dangerous) yakni :45 1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat bahaya yang tinggi bagi manusia, tanah, atau benda bergerak (the activity involves a high degree of some harm to the person, land or chattels of others) 2. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut mempunyai kemungkinan untuk menjadi besar (the harm which may result from it is likely to be great) 3. Risiko tidak dapat dihilangkan meskipun kehati-hatian yang layak sudah diterapkan (the risk cannot be eliminated by the exercise of reasonable care) 45 M Ramdan Andri GW., Masalah Ganti Kerugian Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Secara Perdata, Beberapa Analisis Atas Teori Pertanggungjawaban (“Liability Theories”), Asuransi, Dan Dana Ganti Kerugian, Jurnal Hukum Lingkungan ISSN 08547378 Tahun V No. I/1999, h. 5

4. Kegiatan itu tidak termasuk ke dalam kegiatan yang lazim (the activity is not a matter of common usage) 5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat dimana kegiatan itu dilakukan (the activity is inappropriate to the place where it is carried on) 6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat (the value of activity to the community) Berdasarkan prinsip pencemar membayar (the polluter must pay) dan asas strict liability dikembangkan prosedur tentang pembuktian yang disebut shifting or alleviating the burden of proofs.46 Penerapan asas strict liability dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan :47 1. Strict liability with contributory negligence defense, yakni strict liability diterapkan kepada tergugat sepanjang pihak korban tidak mempunyai andil kesalahan atas timbulnya kerugian, dibuktikan; 2. Negligence with contributory negligence defense, yakni tergugat bertanggungjawab apabila kerugian itu timbul karena kesalahannya, beban pembuktian ada pada tangan penggugat; 3. Comparative negligence, yakni ganti kerugian akan kesalahan dari pihak tergugat tidak perlu 46 Koesnadi Hardjasoemantri, op.cit., h. 378 47 M Ramdan Andri GW., op.cit., h. 5

disesuaikan dengan proporsi dari besarnya andil terhadap timbulnya kerugian. Masih berkaitan dengan strict liability, Green Paper menyediakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan :48 1. Tipe bahaya yang dihasilkan oleh kegiatan tertentu 2. Kemungkinan terjadinya kerugian dari suatu kegiatan dan kemungkinan meluasnya kerugian 3. Insentif yang akan akan disediakan oleh strict liability berupa pengelolaan risiko dan pencegahan kerugian yang lebih baik; 4. Kemungkinan pelaksanaan dan biaya-biaya pemulihan kerugian yang diperkirakan akan terjadi 5. Beban keuangan yang harus ditanggung oleh sektor-sektor ekonomi yang terlibat, yang ditetapkan berdasarkan strict liability, dan 6. Kebutuhan akan tersedianya asuransi. Kalau ditelaah butir-butir prinsip yang ditelurkan oleh konferensi internasional mengenai lingkungan Stockholm 1972 itu, terlihat penuh dengan kompromi antara negara-negara maju dan berkembang, inilah salah satu faktor menurut penulis, justru mengurangi kepastian dan mengikatnya ketentuan internasional mengenai lingkungan ini. Ditambah dengan kenyataan, bahwa 48 Ibid., h. 6

dalam prinsip-prinsip itu diakui hak berdaulat setiap negara untuk mengelola sumber-sumber alam dan lingkungannya sendiri sesuai dengan ”sistem nilai-nilai yang berlaku di tiap negara” (Prinsip XXIII), makin menjadi kabur ketentuan internasional ini. Kunci keberhasilan hukum lingkungan internasional ini terletak pada ”pengaturan kerja sama multilateral dan bilateral antara negara-negara” untuk pengawasan efektif, pencegahan, pengurangan dan peniadaan dampak yang merusak lingkungan (Prinsip XXIV). Kelihatannya Eropa Barat cukup berhasil dalam menciptakan pengaturan kerja sama regional seperti dimaksud ini, sehingga dapat dikatakan menjadi pencetus lahirnya European Environmental Law. Kerja sama antarnegara Eropa Barat tersebut kelihatan dalam praktik efektifnya, misalnya jika dilihat penyelesaiaannya kasus Seveso di Italia yang pusat perusahaan yang mencemar itu ada di Swiss. Baik penyelesaian ganti kerugian (perdata) yang telah disebut sebelumnya, maupun penyelesaian hukum pidananya. Para pelaku atau yang dipandang bertanggung jawab atas kelalaian terlambat melapor kepada pemerintah tentang terjadinya kebocoran zat kimia yang berbahaya ke atmosfer telah dijatuhi pidana penjara dari dua setengah sampai lima tahun. Empat terdakwa dibebaskan di pengadilan banding sedangkan seorang pidananya ditunda. Karena kejadian di wilayah Italia dan

pembuat melakukan delik juga di Italia, dengan sendirinya hakim Italia berwenang mengadili dan hukum (pidana) juga dilakukan, karena semua terdakwa berada di Italia. Diplomasi hutan mempunyai nilai strategis bagi penyelamatan dunia dari perubahan iklim yang mengerikan. Hutan diyakini sebagai penhasil seperempat dari total emisi gas efek rumah kaca global akibat penggundulan hutan, kebakaran hutan, illegal logging, dan bencana hutan lainnya. Namun pada waktu bersamaan, hutan juga menjadi paru-paru dunia guna menyerap emisi gas rumah kaca, yang justru 75% di antaranya dihasilkan oleh negara-negara industri maju. Di sini posisi hutan tropis menjadi penting, karena 80% dari seluruh hutan dunia berada di wilayah tropis. Yakni, daerah yang berada di belahan dunia antara 10 derajat Lintang Utara dan 10 derajat Lintang Selatan. Sehingga beres atau tidaknya kondisi hutan tropis sangat menentukan kadar emisi gas rumah kaca. Luas hutan tropis Indonesia sendiri mencapai sekitar 10% dari total hutan tropis.49 Hutan tropis menjadi andalan bumi dalam penyerapan karbon, karena potensinya yang cepat bisa mengabsorbsi gas asam arang tersebut dalam jumlah besar. Sinar matahari dan air yang melimpah sepanjang tahun adalah potensi yang amat besar 49 Hidayat Gunadi, Bernadetta Febriana, 2007, “Diplomasi Hutan dan Laut”, GATRA No. 02 Thn. XIV, hlm 116

bagi proses fotosintesis. Belum lagi keragaman hayatinya, yang menyediakan jenisjenis pepohonan yang cepat tumbuh. BAB III PEMBAHASAN A. KEBAKARAN HUTAN DI RIAU PADA TAHUN 2006 Rully Syumanda, Direktur Eksekutif Walhi Riau, berpendapat, bila ditarik ke belakang, pada dasarnya bencana kebakaran hutan dan lahan merupakan sebuah pengulangan dari bencana yang sama beberapa tahun yang lalu. Sebuah gejala dari memburuknya kesehatan hutan alam Riau akibat eksploitasi hutan secara massif sejak 1980-an. Setelah ratusan ribu hektare hutan

dilepaskan kepada pengusaha HPH, Pemerintah kemudian melakukan politik konversi dengan memberikan peluang yang besar kepada pengusaha sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Pemerintah juga memberikan insentif bagi IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) kepada pengusaha perkebunan dan Dana Reboisasi kepada pengusaha HTI. Pada saat yang bersamaan, akhir tahun 90-an kebutuhan dunia akan CPO (minyak sawit) semakin meningkat. Ditambah ambisi dua industri pulp dan paper menjadi eksportir kertas terbesar dunia plus keinginan Pemerintah Daerah untuk memperluas perkebunan sawit menjadi 1,02 juta hektar dari 2,5 juta yang ditargetkan, terjadilah simbiosi mutualisme antara pengusaha yang pada akhirnya merusak tutupan hutan alam Riau menjadi hanya tersisa 785 ribu hektare pada April 2003. Demikianlah, didasarkan pada kebutuhan dunia, kebijakan pemerintah, dan kebutuhan biaya pengusaha untuk memperoleh lahan (land keuntungan dengan murah, pembersihan clearing) dengan pembakaran pun dipraktekkan. Inilah kesalahan dari sebuah model pengelolaan hutan yang salah. Pada dasarnya, praktek pembakaran lahan merupakan salah satu cara yang digunakan oleh Perkebunan Besar di Riau untuk menaikkan pH tanah, di samping pertimbangan biaya murah.

Dengan pembakaran pH tanah, bisa dinaikkan menjadi antara 5-6, sehingga cocok untuk tanaman tahunan seperti sawit. Contoh kasus, misalnya pembakaran yang dilakukan di areal PT. Adei Plantation & Industry, di mana perusahaan bersangkutan akhirnya didenda Rp. 100 juta ditambah kurungan badan 2 tahun bagi pimpinan perusahaan bersangkutan. Sayangnya, menurut Walhi Riau, praktek land clearing dengan biaya murah ini tidak mempertimbangkan kerugian yang tercipta, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada tahun 2003 saja, Walhi Riau mencatat hanya dalam waktu sepuluh hari (2-12 Juni 2003) ada lebih dari 2.400 titik api tersebar di 57 perusahaan perkebunan dan HTI dengan luasan lebih dari 50 ribu hektar. Total kerugian langsung mencapai Rp. 19 milyar lebih. Itu pun tanpa memasukkan variabel transportasi, perdagangan, hilangnya kesempatan panen, dan peningkatan penderita ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) akibat asap. Selain kerugian ekonomi, belum dihitung kerugian akibat terjadinya erosi karena tanah 20-30 kali lebih peka dibandingkan daerah hutan yang tidak terbakar, terjadinya percepatan perubahan iklim global, kerugian tidak langsung akibat hilangnya habitat satwa dan erosi berbagai bibit benih tumbuhan, dan fauna di lantai hutan, mempercepat penghilangan biomassa lantai hutan,

mempercepat proses pencucian hara tanah, terjadinya banjir di daerah yang hutan gambutnya terbakar, dan polusi udara dan air. Kebakaran hutan juga berdampak pada kesuburan tanah. Sifat fisika tanah juga berubah dengan rusaknya struktur tanah sehingga menurunkan infiltrasi dan perkolasi tanah. Hilangya tumbuhan juga membuat tanah menjadi terbuka sehingga energi pukulan air hujan tidak lagi tertahan oleh tajuk pepohonan. Pada fisik kimia tanah, juga terjadi peningkatan keasaman tanah dan air sungai. Tangketasik (1987) menunjukkan terjadinya penurunan sifat-sifat retensi kelembaban serta kapasitas kation pada tanah yang memiliki kebakaran. Untuk sifat fisik biologi tanah, kebakaran hutan membunuh organisme tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah. Makroorganisme, seperti cacing tanah, yang dapat meningkatkan aerasi dan drainase tanah juga menghilang di samping hilangnya mikroorganisme tanah, seperti mikorisa, untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, tambang (Cu), magnesium (Mg), dan besi (Fe). Rusaknya hutan menyebabkan turunnya daya serap alam terhadap gas polutan. Hutan yang terbakar bahkan menambah beban atmosfir bumi dengan karbondioksida, gas polutan yang paling besar pengaruhnya dalam mendorong pemanasan global. Akibatnya, gelombang panjang sinar matahari makin tertahan di

permukaan bumi dan kian memanaskan temperatur udara.50 Sejumlah dampak tersebut di atas, tentunya harus menjadi perhatian agar nominal kerugian yang tercipta tidak terus membesar. Namun, lagi-lagi ada kelemahan mendasar yang menyebabkan pembakaran hutan dan lahan terus menjadi bencana di Riau, yaitu lemahnya penegakan hukum. Walaupun bukti-bukti sudah menunjukkan bahwa kegiatan land clearing yang dilakukan oleh perkebunan merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan, namun sering sekali banyak oknum yang belum ditindak. Tabel 2 Jumlah titik api pada tahun 2006 Waktu Agustus September Oktober Tabel 3 Propinsi dengan jumlah titik api terbanyak Lokasi Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Sumater Barat Riau Jumlah titik api 46.285 28.061 21.030 10.784 Jumlah titik api 48.943 47.810 35.829 50 E. Sukendar, 2007, “Menjalankan Bisnis Memelihara Planet”, GATRA No. 02 Thn. XIV, hlm. 68

Tabel 4 Jenis penggunaan lahan yang menyebabkan kebakaran hutan Jenis lokasi Konsesi perkebunan sawit Hutan Tanaman Industri Hak Pengusahaan Hutan Areal Penggunaan lain Persentase 23,37% 16,16% 1,88% 58,59 % Sumber : WWF, http://www.wwf.or.id/admin/file-upload/files/FCT1177083164.pdf (diakses pada 27-9-2007 pukul 00.26) Walaupun fakta di atas menyebutkan kawasan hutan alami di Riau sudah banyak yang rusak, tetapi secara historis kebakaran hutan di Riau dapat dilihat kembali dari tiga faktor utama penyebab. Pertama, dari kemampuan hutan alam Riau dalam menyediakan bahan baku bagi industri kayu yang ada. Dengan kebutuhan 14,7 juta meter³ pertahun, industri kayu di Riau memaksa hutan alam dan hutan industri menyuplai kayu jauh di atas kemampuannya, yang secara lestari hanya mampu menyediakan 7,7 juta meter kubik³ pertahun. Kedua, besarnya peluang yang diberikan pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konversi hutan menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan kelapa sawit maupun kebun kayu (HTI). Ketiga, laju konversi yang dianggap menjadi penyebab maraknya kebakaran hutan dengan pelaksanaan praktek buka lahan dengan

membakar.51 Masalah asap kebakaran hutan di Indonesia adalah masalah yang berulang. Kebakaran hutan itu mengusik ekosistem bumi dari dua segi. Material kayu dan serasah yang terbakar itu menghasilkan gas-gas rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global. Sedangkan asap hitamnya menggangu secara langsung kehidupan manusia.52 Banyak faktor yang menyebabkan hal ini berulang terus, salah satunya adalah pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan metode pembukaan lahan yang salah. Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah salah satu contoh nyata. Menurut laporan Global Forest Resources Assesment 2005 Indonesia adalah salah satu negara dengan luas hutan terbesar di dunia. Luas hutan Indonesia adalah 48,8% dari luas daratannya sendiri.53 Bisa disimpulkan kalau Indonesia adalah salah satu penyumbang terbesar bagi dunia untuk memerangi efek gas rumah kaca. Di lain sisi, kebakaran hutan di Indonesia adalah penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca dalam negeri dibanding emisi dari kegiatan industri, transportasi, dan lainnya. Kembali ke topik pengelolaan hutan, penyebab dari kebakaran hutan salah satunya adalah kekurangan 51 Rully Syumanda, Pembakaran Hutan : Bencana Tahunan Riau, 2003, http://www.walhi.or.id/ kampanye/bencana/bakarhutan/pembakar_hut_benc_riau_200603/ 52 Aries Kelana, Elmy Diah Larasati, “Bumi Memanas, Kuman Penyakit Mengganas”, GATRA No. 02 Thn XIV, hlm 30 53 Global Forest Resources Assesment 2005

masyarakat Indonesia terutama yang bekerja di hutan adalah dalam menyerap teknologi baru sehingga konsep perlindungan hutan seperti zero burning principle tidak dapat berjalan dengan baik di Indonesia. Hal ini harus segera ditangani oleh Indonesia mengingat ini adalah masalah dalam negeri yang berdampak ke luar negeri. Negara lain atau pihak ketiga hanya dapat memberikan bantuan seperti penyuluhan-penyuluhan dan transfer teknologi. Untuk bantuan dana mengatasi masalah ini dapat dikatakan akan sulit didapatkan mengingat posisi Indonesia didesak oleh negara tetangga untuk menyelesaikan masalah ini dan masalah kemudian menjadi masalah regional, dalam hal ini lingkup Asia Tenggara. Laporan PT. Pelangi Energi Abadi Citra Enviro (PEACE) atas dukungan Bank Dunia dan Departemen Pembangunan Internasional Inggris menekankan bahwa penggundulan hutan, degradasi lahan gambut, dan kebakaran hutan menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, bersama raksasa industri, seperti Amerika Serikat, Cina, dan Jepang. Sekitar 75% emisi karbon dioksida sektor kehutanan Indonesia berasal dari penggundulan hutan dan konversi lahan. PT. Riau Pulp Andalan Pulps and Paper (Riaupulp) melalui induk perusahaannya, Asia Pacific Resources International Holdings Ltd (APRIL) bekerjasama dengan Global Nexus Institute

menggelar expert panel discussion dan jumpa pers di Washington DC pada 1 November 2007. Salah satu pembicaranya adalah Dr. Neil Franklin, Sustainability Director APRIL. Menurut Franklin, sebanyak 80% dari jumlah emisi yang dihasilkan Indonesia berasal dari peralihan fungsi lahan. ”Emisi dari peralihan fungsi lahan ini menyumbang 8% pada emisi global,” menurut Franklin. Kini Indonesia menempati urutan ketiga setelah Amerika Serikat (USA) dan China sebagai penyumbang emisi CO2 terbesar dunia. Padahal sebagian besar dari emisi tersebut dapat dihindari dengan penerapan Sustainable Forest Management dan pengelolaan hutan secara bertanggungjawab. B. Peraturan berkaitan dengan Kebakaran Hutan Dalam kasus kebakaran hutan dapat ditarik hierarki perundang-undangan. Paling tinggi dimulai dengan Pasal 33 UUD 45 ayat 3 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Interpretasi gramatikal atas pasal ini membawa kepada pengertian bahwa negara bertanggungjawab atas sumber daya alam. Pasal ini secara interpretasi sistematis melahirkan pasal 25 dan 27 UU no. 23

tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal-pasal ini menekankan kepad tanggung jawab pemerintah untuk mengawasi pengelolaan hutan. Pasal 41 dan 42 UU no. 23 tahun 1997 menegaskan bahwa ada sanksi pidana bagi pencemaran lingkungan hidup. Pasal UU no. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga menegaskan bahwa setiap orang dilarang membakara hutan. Tindakan pencegahan tercantum dalam pasal 12 PP no. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan. Pelaksanaan otonomi daerah perlu ditelaah karena Pemda Riau sudah menyusun Tata Ruang Propinsi Riau yang pada pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan harapan. Dasar hukumnya adalah UU No. 34 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Terdapat pertentangan antara Tata Ruang Propinsi Riau dan UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 Pasal 18 dan Ayat (1) yang menyebutkan, Pemerintah menetapkan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Ayat (2), Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang

proporsional. Sebagai pembanding terhadap UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 Pasal 18 Ayat (1) wilayah daratan Riau telah terbagi-bagi menjadi: Tabel 1 No 1 2 3 Jenis HPH HTI Kebun TOTAL Luas Tanah 3.481.868 ha 1.621.693 ha 1.316.762 ha 6.420.323 ha Sumber : Data Potensi Sumberdaya Hutan dan kebun Propinsi Riau 1999 dan 2000 milik Dephutbun Dengan jumlah luas keseluruhan Propinsi Riau (dalam hektare) mencapai 9.456.000 ha, maka lahan tersisa di Riau hanya tinggal 3.035.837 ha. Bila luasan tersebut kemudian dipotong dengan luas Kotamadya, Kota Kabupaten, Kota Kecamatan, dan desadesa yang ada maupun areal untuk peruntukan lain, seperti ladang dan lahan perkebunan masyarakat, bisa jadi luas tersisa hanya mencapai 1,5 juta ha. Cukup jauh dari nilai 30% yang seharusnya tersisa untuk kawasan hutan alami yang harus dipertahankan, sebagaimana termaktub dalam undang-undang

yang telah disebutkan di atas.54 Pembahasan berikutnya adalah kewenangan Pemerintah Daerah Riau dalam menangani kebakaran hutan di daerahnya. Menurut pasal 13 ayat 1 UU no. 32 tahun 2004 maka dikatakan bahwa Pemerintah Daerah bertanggungjawab dalam hal pengendalian lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 155 ayat 1 UU no. 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa sumber keuangan yang menjadi kewenangan daerah didanai oleh Pemerintahan Daerah. Jika dikaitkan dengan penanggulangan kebakaran hutan di Riau maka dapat dikatakan ini termasuk kewenangan Pemda Riau terutama dalam hal pembiayaan. Kewenangan ini berbentuk pemberian hak pengelolaan hutan (HPH) kepada pihak-pihak lain. Pasal 160 ayat 3 mengatakan kalau ini termasuk pemasukan dari Dana Bagi Hasil. Ketimpangan akan terlihat saat Pasal 162 ayat (1) mengatakan Dana Alokasi Khusus dari APBN akan diberikan untuk masalah yang berskala nasional. Masalah kebakaran hutan di Riau telah melewati batas negara dan menjadi masalah internasional. Sehingga dapat disimpulkan kalau pemerintah pusat harus terlibat dalam masalah kebakaran hutan di Riau baik secara moril maupun materiil. Kebakaran hutan ini sebenarnya di dalam negeri sendiri sudah ada yang diselesaikan lewat jalur pengadilan karena ada gugatan yang diajukan terhadap perusahaan. Contoh dari 54 Teguh Surya, Kritik konstruktif terhadap RTRWP Riau 2000-2015, 2004 http://www.walhi.or.id/ kampanye/psda/040910_rtrwpriau_li/

penyelesaian secara pidana bisa dilihat dalam kasus kebakaran hutan di Bangkinang. Saat itu putusan Mahkamah Agung menyatakan kalau perusahaan bertanggungjawab secara pidana atas kebakaran hutan yang terjadi di wilayahnya. Dalam hal ini manager sebagai pemberi perintah dikenakan sanksi pidana. Hal ini bisa digolongkan sebagai tindak pidana korporasi sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1997 pasal 46.55 Dari enam perusahaan perkebunan di Riau yang diajukan ke persidangan pada tahun 2001, hanya PT. Adei Plantation & Industry dan PT. Jatim Jaya Perkasa yang dijatuhi hukuman. Sedangkan, sisanya, yaitu PT. Multi Gambut, PT. Musim Mas, PT. Indo Sawit Subur, dan PT. Inti Prona, tidak terdengar lagi kabarnya hingga hari ini. Pada pertengahan 2003, Walhi Riau mengajukan gugatan atas 7 Pemerintah Daerah dan 32 perusahaan yang diduga terlibat dalam pembakaran hutan. Setelah 7 kali sidang, hakim menolak gugatan pendakwa hanya karena kesalahan interpretasi hakim atas Pasal 53 di mana Walhi Riau meminta Pemerintah mencabut izin perusahaan dan dimungkinkan melalui PN, namun diartikan bahwa hal ini harus melalui PTUN. Kekurangan pemerintah dalam melakukan pencegahan bisa 55 Sukma Violetta, Hukum Lingkungan : Aspek Pidana, Indonesian Centre for Environmental Law

dilihat dari Undang-Undang tentang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, di mana menurut Walhi tidak ada pasal yang secara jelas, melarang orang untuk melakukan pembakaran. Pasal 50 ayat 3 huruf d, misalnya, secara jelas, membuka peluang dihidupkannya kembali pembukaan lahan dengan cara bakar karena larangan membakar hutan dapat dikecualikan dengan tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Bandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa pengecualian) tentang larangan pembukaan lahan tanpa bakar, seperti diatur dalam pasal 29 A dan 29 B Malaysian Environment Quality Act 1974 (diamandemen tahun 1998). Undang-undang ini, secara tegas, mengancam pelaku pembakaran hutan, baik pemilik maupun penggarap, dengan hukuman 5 tahun penjara atau denda 500.000 ringgit. C. Penanganan Kebakaran Hutan di Riau Pada aspek pencegahan, berbagai kebijakan yang sifatnya meminimalisir kemungkinan kebakaran harus diutamakan, termasuk penguatan sistem informasi manajemen kebakaran hutan, lahan, kebijakankebijakan yang menyertai konversi, dan pembukaan lahan. Sedangkan, untuk aspek pemantauan harus dikembangkan sistem peringatan dini dan tentu saja kapabilitas

pemadam kebakarannya sebagai salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam aspek penanggulangan kebakaran. Dalam perspektif Walhi Riau, ada beberapa hal yang harus dilakukan berkenaan dengan upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemantauan kebakaran hutan diantaranya adalah : 1. Aspek pencegahan Adanya sistem informasi manajemen kebakaran hutan dan lahan. Kecepatan pertukaran informasi kebakaran, merupakan kunci keberhasilan peringatan dini dan pemadaman dini di lapangan. Untuk itu, diperlukan perangkat komunikasi dan perangkat-perangkat lainnya. Sistim Informasi Kebakaran (SIK) dan Sistem Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan (SIKHL) harus dikembangkan dengan sistem komputer agar data dan informasi bisa dipadukan untuk mendukung kebijakan. Sebagai data masukan untuk SIK, dapat menggunakan peta penggunaan lahan terbaru untuk daerah propinsi, termasuk batas seluruh konsesi HPH, perkebunan dan transmigrasi. Selanjutnya, data jaringan infrastruktur, aktivitas manusia serta data tingkat kekeringan yang diperoleh Badan Meteorologi dan Geofisika manajemen kebakaran hutan dan penentuan

dipadukan dengan data citra inderaja, seperti NOAAAVHHRR/NDVI Landsat TM dan ERS-2-SAR sebagai data lanjutan. Sensor yang terdapat pada satelit tersebut, memberikan informasi yang sangat berguna untuk manajemen kebakaran, seperti deteksi kebakaran harian, pemetaan daerah yang terbakar, perbedaan vegetasi, dan bahan bakar api. Selanjutnya, dikeluarkannya menghentikan yang konversi secara lahan sebelum mampu peraturan menyeluruh, menjamin dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, serta melarang dengan tegas metode bakar dalam melakukan land clearing dan sesegera mungkin menyusun Pedoman Pembukaan Lahan tanpa Bakar yang sifatnya tegas, jelas, dan mudah dipahami, secara awam. Kemudian, mencabut seluruh izin usaha bagi perusahaanperusahaan yang terbukti menggunakan metode bakar dalam proses land clearing dan memberlakukan hukuman bagi pelanggar hukum secara proporsional, dengan melakukan pertimbangan terhadap sejumlah kerugian dan dampak yang ditimbulkannya. Terakhir dengan memberlakukan insentif ekonomi sebagai rangsangan kepada perusahaan yang melakukan land clearing tanpa metode bakar, dengan secepat mungkin menyusun sebuah rancangan undang-undang tentang pencegahan, pemantauan, dan

penanggulangan kebakaran hutan, baik yang berdiri sendiri maupun yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 1999. 2. Aspek Pemantauan Dengan adanya sistem peringatan dini, semua daerah yang berpotensi besar dalam kebakaran hutan dan lahan bisa mempersiapkan semua peralatan, mensiagakan petugas, dan lain sebagainya. Sistem ini sangat berguna untuk mengurangi resiko tingkat rawan kebakaran suatu lokasi dan mengetahui tingkat bahaya kebakaran di suatu lokasi. Masyarakat juga harus ikut serta mendorong dan mengawasi kinerja aparat dalam melakukan pencegahan, pemantauan, dan penanggulangan kebakaran hutan sekaligus dalam hal penegakan hukum terhadap kasus kebakaran. 3. Aspek Penanggulangan Kelembagaan penanggulangan kebakaran, terjadinya kebakaran hutan dan lahan di areal HPH, HTI atau perkebunan skala besar sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing-masing pihak pemilik konsesi lahan. Sedangkan, untuk penanganan kebakaran di tingkat propinsi menjadi tanggung jawab Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Pusdakarhutla) daerah

yang melibatkan instansi terkait. Untuk itu perlu ada koordinasi antar instansi terkait agar penegakan hukum bagi pembakaran hutan tidak menjadi permasalahan yang terpisah-pisah, sehingga tidak terdapat lagi saling lempar tanggung jawab. Dalam hal kelembagaan ini juga, Gubernur Propinsi Riau mengeluarkan SK dengan No. KPTS 25/V/2000 tentang Pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Riau kemudian pada bulan Juni kembali mengeluarkan keputusan tentang Pembentukan Tim Terpadu Kerjasama Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penataan kembali diperlukan dengan harapan utama agar rantai birokrasi pemantauan dan pelaporan kebakaran hutan tidak terlalu panjang sehingga menyulitkan aspek penanggulangan itu sendiri (tidak menunggu instruksi atasan saja). Untuk Bidang Pemantauan yang selama ini berada di tangan Dinas Kehutanan lebih baik dikelola langsung oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) dan Bapedal Regional sehingga dapat mengoordinir semua pihak dalam upaya pendeteksian dini dan peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Sedangkan untuk bidang pencegahan dan penanggulangan dapat diserahkan pada Dinas Kehutanan sehingga dapat mengembangkan sistem dan jenis pelatihan, pencegahan, dan pemadaman kebakaran hutan

dan lahan, sampai dengan tingkat daerah. Serta perlunya pengembangan mobilisasi potensi sumber daya, baik personil regu pemadam kebakaran maupun sarana dan prasarana. Mewajibkan setiap perusahaan untuk membangun sumur artesis dan peralatan pemadam kebakaran di lahan konsesi yang dianggap potensial terjadi kebakaran dengan menyertakan aspek pemeliharaan bersama masyarakat (bila ada dan berdekatan). Mempersiapkan dan meyempurnakan pedoman teknis pemadaman kebakaran dengan mengikutsertakan masyarakat di dan sekitar hutan sebagai mitra sejajar dan membangun pusat kebakaran hutan dan lahan propinsi dan lokal yang berisikan : pengadaan gudang dan drasi, pelatihan peralatan, distribusi peralatan dan kendaraan pemadam kebakaran hutan, peralatan komunikasi, komputer dengan sistem e-mail dan internet. D. Kebakaran Hutan di Riau sebagai Bencana Alam Kebakaran hutan di Riau tergolong multi dimensi dan kompleks dampaknya oleh karena itu dapat dikategorikan sebagai bencana alam. Salah satu indikator kebakaran hutan Riau sebagai bencana internasional adalah bentuknya yang dapat digolongkan sebagai transboundary environmental degradation. Penurunan kualitas lingkungan tidak hanya dirasakan di Indonesia tetapi juga

terjadi di Singapura dan Malaysia. Bencana secara internasional sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah kejadian yang secara fisik merugikan, fenomena atau aktivitas manusia yang bisa menghilangkan nyawa, kerusakan prasarana, gangguan ekonomi dan sosial dan degradasi lingkungan. Bencana dapat mencakup ancaman yang akan datang dan penyebabnya pun berbeda : alami (geologis, hidrometeorologi, dan biologis) atau disebabkan oleh ulah manusia (degradasi lingkungan dan bencana teknologi.56 Sementara itu, saat ini sudah ada pemahaman yang jelas bahwa Sasaran-Sasaran Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) tidak akan tercapai tanpa pertimbangan risiko bencana, dan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai kalau pengurangan risiko bencana tidak diarusutamakan ke dalam kebijakan-kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Sudah secara luas diakui bahwa perspektif pengurangan bencana harus dipadukan kedalam perencanaan pembangunan setiap negara dan dalam strategi pelaksanaannya yang terkait. Kabar baiknya, teknologi sekarang memberikan kemampuan tentang dan kesempatan akan pemahaman lebih baik tentang risiko bencana dan dalam mengambil tindakan proaktif untuk mengurangi kerugian akibat 56 Hyogo Framework For Action halaman 3

bencana sebelum bencana terjadi. Konteks ini telah mempengaruhi hasil dokumen WCDR: Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005-2015: Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana (Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of Nations and Communities to Disasters/HFA). Dokumen ini telah diadopsi untuk para negara anggota PBB yang turut serta dalam WCDR, yang menunjukkan komitmen global terhadap pengurangan risiko bencana dalam konteks pembangunan.57 Sejak WCDR, Komite Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) tentang Pengelolaan Bencana telah berkomitmen untuk memperkuat pelaksanaan HFA melalui program-program regional ASEAN untuk pengelolaan bencana. Pada bulan Agustus 2007, negara-negara ASEAN mengadopsi kesepakatan ASEAN tentang Pengelolaan Bencana dan Respon terhadap Keadaan Darurat, lebih jauh meningkatkan kerja sama regional antar negara anggota. Komite Konsultatif Regional ADPC (RCC) untuk Pengelolaan Bencana pada bulan Mei 2005 mengadopsi pernyataan RCC5 Hanoi tentang mengarusutamakan pengelolaan risiko bencana ke dalam pembangunan di negara-negara ASEAN, dimana para negara anggota berkomitmen untuk mengarusutamakan pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan, perencanaan dan 57 Aksi Beijing Untuk Pengurangan Risiko Bencana di Asia halaman 2

pelaksanaan pembangunan.58 Oleh karena itu ASEAN patut bekerja keras untuk mengatasi masalah ini mengingat statusnya sebagai bencana internasional. E. TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION AKIBAT KEBAKARAN HUTAN Polusi kabut asap adalah asap dari kebakaran hutan atau lahan yang menghasilkan efek berbahaya bagi kesehatan manusia, makhluk hidup lainya, ekosistem, instalasi umum, dan bertentangan dengan standar baku mutu lingkungan. Tabel 5 Kualitas udara di Malaysia dan Singapura pada tahun 2006 Lokasi Kuching, Malaysia Nilai, Malaysia Singapura Tanggal 7-8 2006 9 2006 7 2006 API (nilai Keterangan normal 100) Oktober 150 Tidak sehat Oktober 198 Oktober 150 Sangat sehat Tidak ehat tidak Sumber : The Associated Press, http://www.iht.com/articles/ap/2006/10/16/asia/AS_GEN_Singapore_Haze.php Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/2006_Southeast_Asian_haze#Malaysia Jenis kerugian yang dialami oleh Malaysia dan Singapura dapat digolongkan kerugian secara tidak langsung. Kabut asap yang memasuki wilayah kedua negara tersebut dapat dibilang tidak 58 idem mengancam jiwa penduduk Malaysia dan Singapura.

Kerugian besar justru disebabkan oleh produktivitas penduduk yang menjadi berkurang, yang secara garis besar dapat dihitung berupa materiil. Hal ini berdampak pada pemasukan kedua negara tersebut. Kabut asap membuat wisatawan luar negeri enggan bepergian kepada kedua negara tersebut jika ada kabut asap. Pembatalan terhadap tiket penerbangan dan hotel lumrah terjadi saat ada kabut asap. Hal ini dikarenakan faktor keselamatan penerbangan yang banyak terganggu oleh kabut asap. Produktivitas dalam negeri menurun karena karyawan dan anakanak sekolah dihimbau untuk tidak banyak melakukan aktivitas di luar. Penyebab penyakit pernafasan pada kedua negara tersebut sebagaian besar disinyalir oleh kabut asap yang menerpa pada beberapa bulan di tahun 2006. Kerugian yang ditaksir secara materiil mencapai jutaan dollar. Seorang ahli ekonomi dari Nanyang Technological University Singapura, misalnya, memperkirakan kerugian Singapura akibat asap kita dalam satu bulan terakhir telah mencapai hampir Rp500 miliar.59 Walaupun begitu kerugian secara langsung juga dialami oleh Malaysia dan Singapura dimana kualitas udara menurun. Hal ini diukur menggunakan indeks kualitas udara yang telah diakui secara internasional. 59 Media Indonesia, Sabtu, 14 Oktober 2006

F. Peraturan yang Berkaitan dengan Transboudary Haze Pollution Transboundary haze pollution adalah polusi kabut asap yang berasal dari suatu negara tetapi efeknya sampai ke negara lain, biasanya sampai sulit dibedakan sumbernya. Setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat, setidaknya seperti yang dijamin oleh hukum internasional. Atau tercantum juga dalam prinsip 21 deklarasi Stockholm yang menyatakan hal yang sama, dan hak seperti ini dilindungi oleh hak mengajukan gugatan. Hak-hak tersebut juga dilengkapi dengan hak atas perlakuan yang sama. Walaupun hak-hak tersebut juga memiliki batas. Adapun tanggungjawab sipil memiliki penyelesaian untuk masalah di atas dimana protes antara negara nantinya tidak akan diperlukan. Tanggungjawab sipil juga menerapkan prinsip polluter pays dengan baik. Tetapi penerapan tanggungjawab ini tidak akan jalan tanpa adanya kerjasama internasional. Lalu terakhir yang tidak kalah penting adalah hak anak cucu bagi lingkungan yang baik kelak.60 Hal inilah yang dirasakan oleh Malaysia dan Singapura dimana mereka mengalami kerugian akibat bencana kabut asap. G. Penanganan Transboundary Haze Pollution 60 Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, International Law & the Environment, Oxford, 1992, hlm. 190-214

Bentuk kerugian yang dialami Malaysia dan Singapura sebenarnya bisa membuat mereka menuntut ganti rugi materiil. Belum lagi pembebanan biaya kepada Indonesia untuk melakukan rehabilitasi lingkungan. Rehabilitasi lingkungan yang tergolong kompleks secara internasional karena menyangkut terancamnya spesies Gajah dan Macan Sumatera. Protes, atau dapat didefinisikan sebagai komunikasi formal dari suatu subyek internasional kepada subyek internasional lainnya untuk mengutarakan kebaratan terhadap pelanggaran hukum internasional61, Malaysia dan Singapura belum diajukan secara resmi lewat jalur yuridis namun paksaan dengan jalur diplomatik dari kedua negara tersebut kepada Indonesia sudah cukup besar untuk mengatasi masalah ini. Cara penyelesaian sengketa yang paling tradisional adalah dengan perundingan secara langsung (negotiation). Perundingan diadakan dalam bentuk-bentuk pembicaraan langsung antara negara-negara yang bersengketa dalam pertemuan tertutup antara wakil-wakilnya. Perundingan-perundingan langsung ini biasanya dilakukan menteri-menteri luar negeri, duta-duta besar atau wakil-wakil yang ditugaskan ad khusus hoc. untuk berunding dalam kerangka itu juga diplomasi Ada kalanya sengketa dinternasionalisasikan dalam sebuah konferensi internasional.62 61 Black’s Law Dictionary 62 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, 2000 hlm. 190

Untuk kasus ini sepertinya bentuk inilah yang sedang berjalan, terbukti dengan negoisiasi-negosiasi Indonesia dengan Malaysia dan Singapura dalam menyusun draftdraft kesepakatan dalam menyelesaikan masalah kabut asap. Konferensi internasional juga terbukti dengan adanya Sub Regional Ministerial Meeting dalam lingkup ASEAN. Politik luar negeri adalah cara dalam melaksanakan hubungan luar negeri antara satu negara dengan negara lainnya. Pada kenyataanya politik luar negeri banyak dipengaruhi oleh intrik-intrik yang disebabkan oleh tujuan masing-masing negara yang berbeda. Obyek politik luar negeri sendiri luas menyangkut perjanjian-perjanjian internasional. Adapun subyek-subyek pelakunya luas mencakup kepala negara hingga warga negaranya. Dalam menjalankan politik luar negerinya, setiap negara memiliki gayanya masing-masing, yang tentu akan dipengaruhi oleh faktor kebudayaan yang berlaku di masing-masing negara. Oleh karena itu kajian politik internasional tidak akan lepas dari disiplin ilmu lain seperti ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. Sikap kedua negara atau boleh dibilang politik luar negeri sedikit berbeda menanggapi masalah ini. Singapura mengambil sikap netral dengan membantu Indonesia lewat program penyuluhan kebakaran hutannya, sedangkan Malaysia mengambil sikap yang pasif dengan mengembalikan tanggungjawab

permasalahan ini kepada Indonesia. Jika melihat prinsip pertanggungjawaban secara internasional terutama dalam kasus pencemaran lingkungan maka kasus pencemaran dapat dilihat sebagai kasus yang universal. Artinya, prinsip-prinsip yang berlaku disini adalah prinsip-prinsip atau kebiasaan hukum internasional. Mengingat lingkupnya adalah internasional maka sudah dapat dipastikan kalau kasus ini sendiri akan membawa dampak bagi masyarakat internasional. Jika dibandingkan dengan kasus-kasus transboundary pollution yang lain maka kasus ini belum dapat diselesaikan secara yuridis karena memiliki beberapa kekurangan bagi dasar penyelesaiannya yakni : 1. Belum ada peraturan hukum secara internasional yang mengikat bagi pihak yang merugikan dan dirugikan 2. Substansi permasalahan ada pada kebakaran hutan dan kabut asap itu sendiri pada saat ini dan bukan pada mekanisme pertanggungjawabannya sehingga yang diprioritaskan adalah penananganan kebakaran hutan Maksudnya adalah pembahasan dalam kasus ini hanya akan mengarah kepada mekanisme apa untuk dapat dijalankan di kasus ini. Oleh karena itu sebaiknya bagi merugikan adalah menyelesaikan kasus ini dalam lingkup dalam negeri dahulu agar untuk ke depannya kasus ini tidak akan berlanjut

dalam yang cocok pihak yang terlebih

kepada arbitrasi atau mahkamah internasional. Sementara itu bagi pihak yang dirugikan itu adalah melihat yakni kepada substansi permasalahan sendiri kepada pencemaran lingkungannya. Prinsip yang berlaku dalam kasus ini salah satunya adalah prinsip cooperation atau kerjasama. Hal ini berlaku dalam negara-negara ASEAN menghadapai masalah kabut asap. Salah satu yang dibahas dalam AATHP adalah masalah haze fund yang disediakan negara-negara ASEAN untuk menangani masalah ini. Inti yang dapat ditarik dari kerjasama ini adalah kata sepakat atau konsensus di antara negara anggotanya untuk segera menyelesaikan masalah ini. Berdasarkan Bab IV the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), terdapat 3 (tiga) mekanisme atau prosedur penyelesaian sengketa yang dikenal negara-negara anggota ASEAN, meliputi : 1. Penghindaran Timbulnya Sengketa dan Penyelesaian Melalui Negosiasi secara langsung Pasal 13 TAC mensyaratkan negara-negara anggota untuk sebisa mungkin dengan iktikad baik mencegah timbulnya sengketa di antara mereka. Namun apabila sengketa tetap lahir dan tidak mungkin dicegah maka para pihak wajib menahan diri untuk tidak menggunakan (ancaman) kekerasan. Pasal ini selanjutnya mewajibkan para pihak untuk menyelesaikannya melalui negosiasi

secara baik-baik (friendly negotiations) dan langsung di antara mereka. Pasal 13 TAC berbunyi : The High Contracting Parties shall have the determination and good faith to prevent disputes from arising. In case disputes on matters directly affecting them should arise, especially disputes likely to disturb regional peace and harmony, they shall refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such disputes among themselves through friendly negotiations. 2. Penyelesaian Sengketa Melalui the High Council Manakala negosiasi secara langsung oleh para pihak gagal, penyelesaian sengketa masih dimungkinkan dilakukan oleh the High Council (Pasal 14 TAC). Pasal 14 TAC berbunyi : To settle disputes through regional process, the High Contracting Parties shall constitute, as a continuing body, a High council comprising a Representative at ministerial level from each of the High contracting parties to take cognizance of the existence of disputes or situations likely to disturb regional peace and harmony. The Council terdiri dari setiap negara anggota ASEAN. Apabila sengketa timbul maka the Council akan memberi rekomendasi mengenai cara-cara penyelesaian sengketanya. The High Council juga diberi wewenang untuk memberikan jasa baik, mediasi, penyelidikan atau konsiliasi, apabila para pihak menyetujuinya (Pasal 15 dan 16 TAC). Pasal 15 TAC berbunyi : In the event no solution is reached through direct

negotiations, the High Council shall take cognizance of the dispute or the situation and shall recommend to the parties in dispute appropriate means of settlement such as good offices, mediation, inquiry or conciliation. The High council may however offer its good offices, or upon agreement of the parties in dispute appropriate means of settlement such as good offices, mediation, inquiry or conciliation. The high Council may however offer its good offices, or upon agreement of the parties in dispute, constitute itself into a committee of mediation, inquiry or conciliation. When deemed necesarry, the High Council shall recomend appropriate measures for the prevention of a deterioration of the dispute or the situation. Pasal 16 TAC berbunyi : The foregoing provision of this Chapter shall not apply to a dispute unless all the parties to the dispute agree to their application to that dispute. However this shall not preclude the other High Contracting Parties not party to the dispute from offering all possible assistance to settle the said dispute. Parties to the dispute should be well disposed of towards such offers of assistance. 3. Cara-Cara penyelesaian Sengketa Berdasarkan pasal 33 Ayat (1) Piagam PBB Meskipun terdapat mekanisme di atas, TAC tidak menghalangi para pihak untuk menempuh cara atau metode penyelsaian sengketa lainnya yang para pihak sepakati sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB (Pasal 17 TAC). Dalam praktik, para pihak yang bersengketa lebih cenderung untuk menyelesaikan sengketanya secara hukum. Misalnya penyelesaian sengketa sesuai dengan Pasal 17 TAC, yaitu penyelesaian sengketa sesuai dengan Pasal 17 TAC, yaitu

penyelesaian sengketa ke Mahkamah Internasional (ICJ). Contoh langkah seperti ini misalnya adalah sengketa Indonesia-Malaysia mengenai status kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, atau antara Malaysia-Singapura mengenai status kepemilikan Pulau Batu Puteh. Pasal 17 TAC berbunyi: Nothing in this Treaty shall preclude recourse to the modes to peaceful settlement contained in Article 33 (1) of the Charter of the United Nations. The High Contracting parties which are parties to a dispute should be encouraged to take initiatives to solve it by friendly negotiations before resorting to the other procedures provided for in the Charter of the United Nations. Uraian di atas mengisyaratkan beberapa kesimpulan berikut. Pertama, berdirinya dari instrumen-instrumen internasional hukum regional, yang mendasari adanya organisasi tersirat kehendak dari negara-negara pendirinya untuk menghindari caracara kekerasan dalam penyelesaian sengketa. Instrumeninstrumen tersebut mengakui dan menyadari bahwa penyelesaian sengketa harus dilaksanakan secara damai di antara mereka. Kedua, mensyaratkan badan-badan kata organisasi untuk internasional menentukan regional atau sepakat cara mekanisme yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa mereka. Tiga, organisasi-organisasi internasional regional memberikan fungsi non yudisial kepada lembaga baik yang sudah

ada atau yang secara khusus dibentuk. Empat, kecenderungan lain yang juga tampak adalah latar belakang dan tujuan pembentukan suatu organisasi yang sedikit banyak akan memberi warna terhadap penyelesaian sengketa. Organisasi regional yang dikaji di atas umumnya adalah organisasi regional persoalan politis. atau Karena sengketa ditempuh itu tampaknya timbul wajar di pula apabila mereka hal ini, yang secara antara Dalam penyelesaiannya politis. penyelesaiannya misalnya dilakukan secara negosiasi, mediasi atau penyelesaian melalui bantuan pihak ketiga lainnya, baik oleh suatu lembaga permanen atau suatu lembaga ad hoc (sementara). Lima, pemanfaatan Pasal 33 ayat (1) piagam PBB, khususnya penyelesaian melalui jalur hukum, dalam hal ini oleh Mahkamah Internasional (ICJ), hanya ditempuh oleh para pihak manakala cara-cara penyelesaian sengketa secara langsung (atau melalui pihak ketiga) telah ditempuh dan ternyata gagal. Relevansi kasus ini dengan AATHP adalah letak AATHP yang menjadi mekanisme yuridis atau dasar hukum bagi penyelesaian kasus ini kelak AATHP adalah salah satu jenis traktat multilateral yang mengandung nilai-nilai dan prinsip kerjasama yang dianut oleh ASEAN. AATHP juga menyediakan mekanisme penyelesaian masalah kabut asap yang akan berjalan dalam lingkup kerjasama internasional.

Traktat adalah metode yang paling sering dilakukan untuk membuat peraturan internasional yang mengikat terkait dengan lingkungan. Pada dasarnya itu adalah perjanjian dengan berbagai bentuk diantara negara yang diatur oleh hukum internasional. Pembentukannya mengacu pada Konvensi Wina 1969. Negara yang telah menandatangani traktat namun belum meratifikasinya dilarang untuk melakukan aktivitas yang dilarang oleh traktat.63 Salah satu traktat yang berpengaruh dalam kasus ini adalah Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada 9 Juli 1985. Traktat ini menjamin perlindungan bagi sumber daya alam.yang tercantum dalam prinsip dasar pada pasal 1. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, yaitu suatu perjanjian multilateral di antara negara-negara ASEAN untuk menuntaskan masalah kabut asap. Menarik untuk diulas karena persoalan kabut asap ini telah berulang-ulang kali terjadi dan merugikan banyak pihak. Oleh karena itu dibuatlah perangkat ini sebagai salah satu alat untuk menangani masalah tersebut. Traktat ini ditandatangani tanggal 10 Juni tahun 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada saat itu negara-negara yang menandatangani adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan 63 Patricia W. Birnie, Alan E. Boyle, International Law & the Environment, Oxford, 1992, hlm. 11-14

Vietnam. Traktat ini menekankan kembali kepada Deklarasi ASEAN 8 Agustus 1967 yang mengibarkan semangat kerjasama regional diantara negara-negara ASEAN. Juga mengingat kembali pada pertemuan di Kuala Lumpur mengenai Lingkungan dan Pembangunan yang menyatakan perlunya pencegahan polusi lintas batas negara. Juga lanjutan dari Rencana ASEAN akan Polusi Lintas Batas pada tahun 1995 yang khusus membahas mengenai polusi lintas batas negara dalam udara, dan menetapkan prosedur dan mekanisme kerjasama diantara negara ASEAN dalam pencegahan dan mitigasi kebakaran hutan dan kabut asap. Traktat ini bertujuan untuk menggerakkan Rencana Kabut Asap 1997 dan Rencana Hanoi yang bermaksud mengimplementasikan Rencana Kerjasama ASEAN terhadap Polusi Lintas Batas 1995, dengan penekanan Rencana Regional Kabut Asap sampai tahun 2001. Substansi yang diatur dalam AATHP adalah pengikatan kerjasama antara para pihak dalam ASEAN untuk menuntaskan masalah polusi kabut asap lintas batas. Adapun hambatan yang menghalangi tercapainya tujuan ini secara sempurna adalah belum semua negara ASEAN meratifikasi perjanjian ini, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia sendiri peratifikasian perjanjian ini akan menguntungkan karena dijamin bantuan dari para Pihak untuk menyelesaikan masalah kabut asap yang nota bene sebagian berasal dari negara ini. Saran terhadap

traktat ini sendiri adalah pencantuman klausula formal yang jelas karena secara teknis belum jelas panduan pelaksanaannya dalam traktat ini. Peratifikasian AATHP adalah salah satu kunci bagi kasus ini agar memiliki mekanisme secara internasional. Perjanjian ini sendiri sudah terbentuk pada tahun 1997. Hingga saat ini hanya Indonesia dan Filipina yang belum meratifikasinya. Bagi Indonesia proses di DPR yang menghambat proses ratifikasi. Walaupun secara eksplisit dalam pasal 6 UU no. 37 tahun 1999 memang dikatakan untuk perjanjian internasional adalah wewenang badan legislatif. Walaupun perjanjian ini tergolong soft law, salah satu alasannya adalah karena tidak ada sanksi yang mengikat bagi para pihak, tetapi dengan semangat kerjasama yang diusung ASEAN telah berlangsung usaha-usaha untuk mengatasi masalah ini. Dalam perjanjian ini juga disinggung mengenai Conference of the Parties. Indonesia dan Filipina walaupun belum meratifikasi AATHP tetapi mereka diundang kepada setiap konferensi. Political will dibutuhkan Indonesia untuk meratifikasi AATHP karena akan muncul implikasi-implikasi berikutnya. Persetujuan ini memerlukan ratifikasi, penerimaan, persetujuan, dan aksesi dari setiap negara pihak untuk dapat berlaku ke dalam hukum nasionalnya. Pembukaan atas instrumeninstrumen tersebut

adalah pada hari setelah persetujuan tersebut tertutup untuk penandatanganan. Dalam pasal 28 juga menyebutkan bahwa “This Agreement shall be subject to ratification, acceptance, approval or accession by the Member States. It shall be opened for accession from the day after the date on which the Agreement is closed for signature. Instruments of ratification, acceptance, approval or accession shall be deposited with the Depositary” Artinya pemberlakuan atas instrumen-instrumen tersebut di atas harus disimpan oleh depositary sebelumnya. Yang dimaksud dengan depositary disini adalah Sekretaris Jenderal ASEAN yang akan membuat salinan dari instrumen-instrumen tersebut dari setiap negara anggota. Salah satu implikasi adalah perubahan citra negara peratifikasi yang harus bertanggungjawab terhadap ketentuanketentuan yang mengikatnya. Peratifikasian perjanjian ini memakan waktu yang lama karena proses yang berlangsung di badan legislatif Indonesia. Sementara itu, selama proses ini berjalan juga telah ada Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia juga antara Indonesia dan Singapura. Walaupun MoU in belum ditandatangani, proses negosiasi telah berjalan sejak bulan Februari. Salah satu poin penting dan substansial yang dibahas dalam MoU ini adalah mengenai kerjasama antara kedua belah pihak untuk melakukan

transfer of knowledge dalam menangani masalah kabut asap. Satu hal yang tidak disinggung dalam MoU ini adalah masalah finansial atau pendanaan. Berbeda dengan AATHP dimana para pihak telah sepakat untuk menyumbang iuran yang besarnya sama. H. PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN TANGGUNG JAWAB NEGARA Ketentuan Pasal 1 Draft International Law Commision (ILC) tentang Pertanggungjawaban Negara berisi bahwa “Setiap tindakan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum internasional membawakan tanggungjawab internasional bagi negara itu.” Selain itu kita juga melanggar prinsip ke-14 Deklarasi Rio 1992 yang mengatakan “Pencegahan peralihan bahan perusak lingkungan dari satu negara ke negara lainnya oleh setiap pemerintah.” Menurut hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Prinsip-prinsip internasional yang berkaitan antara lain : 1. sic utere tuo ut alienum non laedas 2. Draft ILC art. 7 dan 8 yang mewajibkan meminimilasir transboundary pollution

3. abuse of rights Bentuk pertanggungjawaban internasional seringkali bersumber pada hukum kebiasaan. Contoh kasus yang mirip dengan ini adalah kasus Trail Smelter. Kasus Trail Smelter bermula dari kasus pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuah perusahaan pupuk milik warga negara Kanada yang dioperasikan di dalam wilayah Kanada, dekat sungai Columbia, lebih kurang 10 mil menjelang perbatasan Kanada-AS. Mulai tahun 1920 produksi emisi perusahaan tersebut terus meningkat. Emisi tersebut mengandung sulfur dioksida, menyebarkan bau logam dan seng yang sangat menyengat. Pada tahun 1930 jumlah emisi tersebut mencapai lebih dari 300 ton sulfur setiap hari. Emisi tersebut, karena terbawa angin, bergerak ke arah wilayah AS melalui lembah sungai Columbia dan menimbulkan berbagai akibat merugikan terhadap tanah, air dan udara, kesehatan serta berbagai kepentingan penduduk Washington lainnya. AS kemudian melakukan klaim terhadap Kanada dan meminta Kanada bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita AS. Setelah melakukan negosiasi, kedua negara sepakat untuk menyelesaikan kasus itu melalui International Joint Commision, suatu badan adminsitratif yang dibentuk berdasarkan Boundary Waters Treaty 1907. Badan itu tidak mempunyai yurisdiksi terhadap masalah-masalah pencemaran udara dan

sesungguhnya hanya mempunyai yurisdiksi terhadap sengketasengketa yang berkaitan dengan masalah perbatasan perairan. Pada tahun 1931, komisi tersebut berhasil menyelesaikan pekerjaannya, untuk mengumpulkan fakta, dan melaporkan bahwa kerugian yang diderita AS, termasuk yang terjadi dan yang masih diperkirakan, mencapai jumlah 350.000 dolar ASD. Kanada yang tidak mempersoalkan jumlah tersebut menyetujui membayar jumlah tersebut. Tetapi setelah tahun 1931, AS kembali menuntut ganti rugi dari pihak Kanada berhubung polusi yang terjadi masih terus berlangsung. Besar tuntutan ganti yang diajukan AS adalah 2 (dua) juta dolar AS. Tuntutan kedua ini diselesaikan melalui Badan Arbitrase yang dibentuk oleh kedua negara. Badan Arbitrase menetapkan keputusan berdasarkan prinsip-prinsip hukum umum, yaitu prinsip abuse of rights, dan tanggungjawab negara dengan menyatakan bahwa: ..no States has the right to use or permit the use of its territory in such a manner as to cause injury by fumes in or to the territory of another or the properties os persons therein… Badan Arbitrase, dalam keputusannya, menetapkan dua hal, pertama, mewajibkan Kanada membayar ganti rugi sebesar 78.000 dólar AS, dan kedua, mewajibkan Kanada untuk mencegah kerugian yang mungkin timbul pada masamasa selanjutnya (to

prevent the future damage), menurunkan emisi sampai tingkat tidak melampaui ambang batas (acceptable level). Kasus tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian kasus lingkungan internasional, menggunakan prinsip-prinsip hukum umum sebagai dasar untuk memutuskan sengketa. Pada sisi lain, dalam menerapkan prinsip tanggungjawab ganti untuk rugi negara, (liability) hakim dalam arbitrase kombinasi menerapkan dengan prinsip kewajiban mencegah kerugian selanjutnya (duty to prevent). Peran hukum nasional bagi berlakunya hukum internasional adalah besar, dan ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, hukum nasional adalah wadah untuk mengimplementasikan kewajiban internasionalnya baik ke dalam maupun ke luar negeri. Kedua, hukum nasional bisa digunakan untuk menempatkan tanggungjawab pencemaran langsung kepada pencemar bukan kepada negara secara tidak langsung nasional jika bisa memang menjaga tidak dari mencemari. Ketiga, hukum kemungkinan dari terjadinya polusi lintas batas.64 Oleh karena itu otonomi daerah dalam kasus kabut asap di Indonesia perlu dilibatkan untuk menerapkan ketiga alasan di atas. Hal ini juga menjadi alasan kuat mengingat kebakaran hutan terjadi di daerah Riau dan Riau sendiri sudah memiliki otonomi daerah yang 64 Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, International Law & the Environment, Oxford, 1992, hlm. 190

mengaturnya. Dalam bidang lingkungan hidup, otonomi daerah berarti : a. Menyesuaikan kebijaksanaan pengelolaan sumber daya alam dengan ekosistem setempat. b. Menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara lestari c. Tidak berdasarkan batas administratif, tetapi berdasarkan batas ekologi (bioecoregion) d. Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat dan bukan menghancurkan daya dukung ekosistem dengan eksploitasi yang melewati daya dukung e. Pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang paling berkepentingan (menentukan) dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Syarat-syarat agar otonomi berjalan dengan baik : a. Otonomi adalah perwujudan kedaulatan rakyat b. Otonomi harus menghormati hukum internasional65 Menurut Pasal 13 UU no. 32 tahun 2004 Pemerintah Daerah diberikan kewenangan seperti berikut : a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c.penyelenggaraan masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 65 WALHI, Otonomi Daerah : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, hlm. 4 ketertiban umum dan ketentraman

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini adalah poin j yakni pengendalian lingkungan hidup maka beberapa propinsi yang telah menyumbang kabut asap dapat disebut melanggar pasal ini. Walaupun kemudian dalam pasal 15 dikatakan bahwa sumber uang berasal dari Pemerintah Pusat namun tetap daerahlah yang mengelolanya untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan Pasal 13. Pasal 21 memang menyebutkan daerah boleh mengeksploitasi kekayaan sumber daya alamnya namun ini tidak boleh bertentangan lagi dengan prinsip yang terdapat pada pasal 13. Menurut pasal 155, dikatakan kalau urusan daerah maka dibiayai oleh Pemda sedangkan jika urusan

Pusat maka dibiayai oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal ini urusan daerah termasuk pemeliharaan lingkungan hidup sedangkan penanggulangannya termasuk urusan kebakaran hutan menjadi beban Pemerintah Pusat. PP no. 4 tahun 2001 juga mengatur pertanggungjawaban kasus ini secara nasional. Pasal 11 secara tegas melarang setiap orang untuk melakukan pembakaran hutan. Bagi yang melanggar bisa dikenakan sanksi ganti kerugian seperti tercantum dalam pasal 49. I. Yurisprudensi-yurisprudensi berkaitan Transboundary Pollution Beberapa kasus internasional yang menarik perhatian dan dapat dijadikan bahan studi perbandingan yang menyangkut hukum perdata lingkungan internasional khusus perbuatan melanggar hukum (onrectmatige daad; tort) dan juga hukum publik seperti kasus bocornya pabrik Union Carbide di Bhopal India. Malapetaka ini menimbulkan banyak korban jiwa, kesehatan, harta, tanaman, dan hewan. Ia menimbulkan masalah perdata karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad; tort) antara pabrik di satu pihak dan para korban di lain pihak. Ini pun menimbulkan kaitan dengan hukum perdata internasional, karena pusat pabrik itu berada di Amerika Serikat yang sudah jelas dapat timbul masalah hukum eksekusi. Tempat perbuatan

(locus actus) dan kerugian yang timbul (locus damni) berada di satu tempat (negara), yaitu Bhopal, India. Jadi, masalah hakim nasional (India) dan hukum nasional (India) dapat diterapkan. Yang mungkin menjadi masalah adalah hukum eksekusi, jika pabrik di Bhopal itu tidak mampu membayar ganti kerugian yang pusatnya ada di Amerika Serikat. Sampai kini masih belum tuntas benar masalah ganti kerugian itu. Sebagaimana dikemukakan oleh Jessurum d’Oliveira ada tiga masalah dalam hukum perdata lingkungan internasional, yaitu : a. Wewenang hukum nasional untuk memutuskan perkara b. Dapat ditetapkan hukum nasional; c. Hukum eksekusi Masalah yang lebih rumit jika tempat dilakukannya perbuatan (locus actus) berada di negara yang satu, tetapi akibat perbuatan yang menimbulkan kerugian (locus damni) berada di negara lain. Jadi, terjadilah pencemaran dan perusakan lingkungan yang transnasional (melampaui batas negara). Pada umumnya ini terjadi dalam hal pencemaran air sungai yang mengalir di lebih dari satu negara, pencemaran udara, pencemaran laut, dan mungkin juga kebakaran hutan seperti antara Serawak dan Kalimantan Barat, Sabah dan Kalimantan, Timur Swiss dan Austria, dan lain-lain. Pencemaran sungai Rijn di hulu (Swiss) dapat membawa

akibat berupa kerugian di Jerman atau Belanda atau pembakaran hutan di Serawak dapat merembet ke wilayah Kalimantan Barat Indonesia. Begitu pula pencemaran Selat Malaka yang berasal dari daratan Malaysia dapat membawa akibat di perairan Sumatra Indonesia. Semuanya ini menunjukkan bahwa locus actus berbeda dengan locus damni. Walaupun locus actus dan locus damni berada di dalam suatu negara, yaitu India dalam kasus Bhopal, namun pemerintah India atas nama korban sebagai parens patriae menggugat Union Carbide yang berpusat di Amerika Serikat di pengadilan distrik federal Southern District, New York. Mungkin dengan pertimbangan sulitnya melakukan eksekusi jika gugatan perdata diajukan di India. Dua tahun sesudah gugatan diajukan, pengadilan distrik tersebut menolak gugatan dengan alasan antara lain bahwa Union Carbide bersedia memenuhi putusan pengadilan di India. Pada permulaan bulan September 1986 diajukan gugatan oleh Pemerintah India kepada pengadilan di Bhopal India karena bocornya gas di pabrik Union Carbide yang menimbulkan kerugian. Gugatan itu meliputi $ 3 miliar sebagai ganti kerugian. Masalah yang paling rumit dalam kasus ini adalah masalah hukum eksekusi karena kekayaan Union Carbide berada di Amerika Serikat.

Jauh sebelum peristiwa Bhopal, yaitu pada tahun 1976 terjadi malapetaka di pabrik kimia di Seveso Italia. Pada tanggal 10 Juli 1976, suatu ledakan terjadi di pabrik kepunyaan Givaudan di Mede. Suatu pabrik yang menjadi cabang dari pabrik Hoffman La Roche di Swiss. Terjadi awan berupa gas trichiorophenol dengan bau obat yang sangat tajam berisi kira-kira 4 setengah pon subtansi 2, 3, 7, 8 dibenzoparadioxine, terkenal dengan nama TCDD atau dioxine. Zat itu masuk ke atmosfir di sekitar pabrik, kemudian jatuh kebagian 7 kota Italia, tiga daerah yang sangat parah terkena polusi, yaitu Mede, Seveso, dan Cecano Mardeno. Kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian pengelola pabrik terutama karena terlambat melaporkan kejadian (ledakan) sangat besar, begitu pula akibatnya terhadap kesehatan manusia. Menurut penelitian medis di kalangan pekerja pabrik, banyak di antaranya merasa mual, muntah-muntah, terbakar, melepuh, dan pusing. Segera setelah kejadian itu, permintaan perabot dan pakaian yang dijual pedagang setempat dibatalkan dan ditawarkan dengan rabat yang sangat besar. Pabrik ditutup selamanya setelah lebih sebulan timbul kejadian. Dilakukan evakuasi dari daerah yang tercemar. Rumah-rumah di daerah yang paling tercemar dirubuhkan dan bangunan lain didekontamninasi. Akhirnya, Pemerintah Italia dan daerah Lombardy mencapai

perhatian dengan perusahaan LaRoche , yaitu perwakilannya, Givaudan, berupa kompensasi untuk Seveso. Givaudan berjanji untuk membayar kedua pemerintah sebesar $ 80 juta untuk pengeluaran oleh berbagai kementerian, reklamasi tanah, pembangunan kembali sarana kesehatan di daerah itu, kerusakan panen, dan dekontaminasi. Mengenai pidana kepada mereka yang bertanggung jawab, akan disebut di bagian B di belakang mengenai penegakan hukum publik lingkungan internasional. Malapetaka terhadap lingkungan karena kebocoran reaksi nuklir terjadi di Chernobyl, Ukraina. Malapetaka Chernobyl menwaskan 31 orang, 237 orang menderita radiasi, saebagaian ditransplantasi tulangnya, dan 135.000 orang diungsikan dari radius 18 mil dari sekitar tenaga pembangkit itu. Puluhan ribu burh didekontaminasi, 60.000 bangunan dalam 500 desa dibangun tembok beton berjarak 50 kaki dari bawah tanah sekitar pusat pembangkit itu untuk membelok air yang sudah tercemar dan memotong tanah dari radioaktif serta memotong tanah sekitar beberapa mil persegi. Bahaya Pemerintah radioaktif Polandia menimpa beberapa negara Eropa. mengambil tindakan melarang menggembalakan sapi dan supaya sapi diberi rumput, melarang anak-anak minum susu di beberapa daerah dan memberi mereka

iodine. Di Prancis tingkat radioaktif naik menjadi 400 kali yang tercatat secara normal. Di Inggris orang dilarang minum air hujan karena tercatat awan radio aktif di Kent. Begitu pula halnya dengan Finlandia, Italia dan Irlandia. Di Swiss, nelayan dilarang menangkap ikan di Danau Ugano karena ada radioaktif di situ. Pemerintah Swiss mengganti kerugian nelayan karena dilarang menangkap ikan. Meskipun parlemen Eropa mendesak agar menuntut ganti kerugian dari Uni Soviet tetapi tidak ada kepastian mengenai hal itu. Mungkin karena Uni Soviet masih berpaham komunis dan perang dingin masih berlangsung, lagi pula Uni Soviet masih merupakan salah satu negara adidaya pada masa itu. Enam bulan setelah terjadi malapetaka Chernobyl, yaitu pada tanggal 1 November 1986 terjadi kebakaran zat kimia yang hebat di pabrik Sandoz, suatu industria multinasional Swiss di Basel. Pemerintah Swiss menyatakan terjadi 30 ton zat kimia tumpah ke sungai Rijn termasuk herbicides, pestisida, dan mercury beracun. Akan tetapi, pemerintah Prancis mengatakan semuanya 1.000 ton. Sandoz melaporkan, bahwa sebagian besar dari 1.246 ton vahan di dalam gudang tumpah ke Sungai Rijn sewaktu pemadam kebakaran melakukan pemadaman di pabrik itu, yang terdiri atas

824 ton insecticide, 4 ton obat pelarut, 12 ton komponen organik berisi mercury. Pencemaran sungai Rijn ini memberi dampak ke Jerman, Prancis, dan Belanda di samping Swiss sendiri. Segera pemerintah mengundang semua menteri lingkungan dari negara-negara yang dilalui sungai Rijn, dan mengaku telah mengeluarkan seperempat juta dólar untuk pengawasan pencemaran. Pemerintah Prancis menyodorkan kepada pemerintah Swiss tuntutan $ 38 juta sebagai ganti atas kerugian industri, sistem ekologi, dan kerugian potensial berupa biaya membangun bendungan dan fasilitas lain sepanjang sungai Rijn, seperti sistem pompa air. Pemerintah Swiss dan Sandoz beserta CIBA Geigy menunjukkan perhatian untuk mengganti kerugian, walaupun tidak jelas siapa yang bertanggungjawab dan berapa yang dituntut. Sebagai tindakan pencegahan pencemaran oleh industri terhadap sungai Rijn di masa depan, diadakanlah pertemuan menteri dan mencapai persetujuan pada tanggal 1 Desember 1986 untuk menanggulangi pencemaran sungai Rijn oleh industri. Perlu pula disebutkan di sini beberapa kejadian pencemaran laut karena minyak tumpah dari kapal tangki. Yang menyangkut Indonesia adalah peristiwa kandasnya kapal tangki Showa Maru di Selat Malaka pada tanggal 6 Januari 1975. Kapal tangki

berbendera Jepang milik perusahaan Taiheyo Kaiun Co. Ltd. Di Tokyo yang berbobot mati 237.698 metrik ton kandas di sebuah karang yang namanya Buffalo Rock di selat Singapura wilayah Indonesia. Mahkamah nakhoda kapal pelayaran melakukan menyatakan antara lain, yang bahwa kurang tindakan-tindakan bijaksana seperti : a. Kelalaian untuk memplot posisi kapal secara terus menerus guna mengetahui apakah kapal itu benar berlayar secara terus menerus guna mengetahui apakah kapal itu benar berlayar pada trayek yang telah direncanakan semula, yang sangat perlu di dalam suatu daerah pelayaran yang berbahaya bagi kapalnya dan yang dipengaruhi oleh arus pasang surut; b. Kelalaian untuk memeriksa kembali posisi-posisi kapal dengan misalnya memakai pedoman guna membaring titiktitik baringan yang dapat dilihat secara visual; c. Kepercayaan untuk selalu mempercayai alat bantú navigasi radar dengan hanya membaring satu titik baringan saja, sedangkan pada daerah pelayaran ini terdapat banyak titik baringan yang lebih tepat posisinya seperti mercusuar Raffles dan St. John; d. Kelalaian untuk tidak menyuruh perwira navigasi lain yang

juga berada di anjungan, seperti subcaptain dan mualim I supaya mengadakan baringan ulang; e. Kelalaian untuk tidak memakai alat perum dan sonar doppler sewaktu mengubah haluan untuk memeriksa kedalaman air; f. Kelalaian untuk tidak mempelajari sifat-sifat dan periode suar sebelum dibaring, satu dan lain untuk dapat membedakan suar-suar satu sama lain. Pada bagian lain konsiderans putusan mahkamah dikatakan: “Ditinjau dari segi nautik dan teknis dan dihubungkan dengan besarnya kapal, sempit serta dangkalnya Selat Singapura bagi kapal-kapal raksasa, mahkamah menilai kejadian tersebut sebagai sesuatu yang sesungguhnya dapat dicegah dan tidak perlu terjadi, seandainya saran dan anjuran yang diberikan sebelumnya untuk tidak melayani selat tersebut dengan kapal-kapal itu diindahkan.” Akibat kandasnya kapal dan tumpahnya minyak ke laut cukup besar seperti dampaknya terhadap : 1. Pulau-pulau Takong, Pemping, Bulan, Kasu, Ampar, dan lumban besar; 2. Jaringjaring ikan terkena minyak di utara Pulau Kelapa Jernih dan Pemping; 3. Minyak tebal dijumpai di pantai di sebelah utara Pulau Kelapa Jernih; 4. Gumpalan minyak dijumpai di pantai Pulau Karimun Besar. Lebih jauh ada dampaknya terhadap :

a. Pulau Pemping, Pulau Pelampong, dan Pulau Takong kelihatannya telah tercemari pula oleh minyak mentah; b. Rumah-rumah dan tiangtiang kelihatan terkena minyak; c. Jala-jala nelayan terkena minyak; d. Hutan bakau tempat bertelur dan bersemai ikan tercemar minyak. Indonesia mengajukan tuntutan (claim) tanggal 29 Mei 1975 sebagai berikut. 1. Biaya langsung yang meliputi biaya pengumpulan data kerusakan pencemaran beserta hal-hal bersangkutan dengan itu, biaya pencegahan dan penangkalan pencemaran serta perluasan pencemaran di pantai, dan biaya pembersihan tumpukan minyak. 2. Kerugian sosial ekonomis yang meliputi tiga sektor utama, yaitu sektor produksi, sektor perdagangan, dan sektor sosial. 3. Kerugian ekologis, yaitu keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk operasi monitoring dan rehabilitasi wilayah tercemar. Dibuatlah perjanjian antara pencemar, yaitu The Britania Insurance Company Limited yang mewakili Taiheyo Kaiun Co. Ltd. Kuasa pemerintahan Republik Indonesia, yaitu Agreement and release tanggal 21 Desember 1976. Masih ada tumpahan minyak laut yang berasal dari kapal tangki yang lain yang tercatat secara internasional seperti

kecelakaan tangki Exxon Valders yang merupakan pencemaran tumpahan minyak yang terbesar dalam sejarah Amerika. Peristiwa ini terjadi bulan Maret 1989 yang merupakan tumpah minyak di perairan Alaska sebanyak sebelas juta galon. Malapetaka ini menyebabkan Amerika Serikat tersentak, sehingga kongres mengeluarkan Oil Pollution Act yang ditandatangani oleh presiden tanggal 18 Agustus 1990. Di dalam bulan Juni tahun 1990 supertanker Mega Brog meledak dan membakar Teluk Meksiko. Peristiwa itu terjadi ketika kapal itu memindahkan muatannya sebanyak 1 juta galon ke kapal yang lebih kecil. Ledakan telah menewaskan dua orang serta dua orang lagi hilang diduga tewas dan banyak yang terluka. Ketika ledakan terjadi, telah 3 juta galon minyak dipindahkan ke kapal lain. Tumpahan minyak seluas 30 mil panjangnya dan 10 mil lebarnya lepas pantai Galveston Texas. Jika 38 juta galon yang sisa tumpah semuanya Exxon ke laut, akibatnya lebih dari riga kali kecelakaan Valders. Kebakaran terjadi seminggu, menyebabkan awan menjadi kelabu. Usaha mencegah meluasnya pencemaran kurang berhasil. Ditaburkan bakteri untuk merombak minyak yang tumpah namun kurang efektif. Empat juta galon tumpah, tetapi sebagian habis karena kebakaran. Usaha pemadaman dari kapal laut dan udara. Andaikata kapal karam,

maka tumpahan minyak hebat sekali. Untung kapal tidak karam. Kecelakaan kapal tangki Amaco Cadiz lebih hebat, yaitu 68 juta galon tumpah ke laut di Utara Prancis pada tahun 1978. Pencemaran terjadi 80 mil panjangnya dan 18 mil lebarnya. Di dalam bulan Juni 1990 putusan hakim untuk ganti kerugian sebanyak $160 juta ditimpahkan Arnoco.66 66 Prof. Dr. jur. Andi Hamzah. Penegakan Hukum Lingkungan, hlm. 133

BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Bentuk pertanggungjawaban negara yang paling tepat adalah penerapan tanggungjawab berupa ganti rugi (pecuniary reparation) kerusakan. dengan Menurut kewajiban definisi untuk Goldie mencegah tentang terulangnya maka liability pemberian ganti rugi layak dilakukan karena negara yang merugikan tidak memenuhi standar baku mutu lingkungan, dalam hal ini kualitas udara. Menurut konsep objective fault criteria dari Sharon Williams maka obyek pelanggarannya adalah kewajiban internasional. Kewajiban internasional yang dilanggar adalah kewajiban untuk tidak menimbulkan kerugian di negara lain. Besarnya ganti rugi ditentukan oleh negara yang dirugikan. Pertanggungjawaban negara dalam hal ini bisa mucul karena sesuai dengan hukum nasional yang berlaku dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 8 UU Nomor 23 Tahun 1997 dimana hutan termasuk kekayaan alam yang harus dikelola oleh pemerintah. Dalam hal ini sudah selayaknya pemerintah melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang berpotensi menimbulkan

kebakaran hutan seperti land clearing. Oleh karena itu secara in eventu tanggung jawab atas kebakaran hutan ini dapat dibebankan kepada negara. Penggolongan kebakaran hutan di Riau sebagai bencana alam membawa konsekuensi kepada penanganan masalah ini. Bencana alam secara internasional dianggap sebagai suatu musibah yang harus ditangani bersama. Dalam hal ini, bantuan patut diberikan kepada yang mengalami. Pada pelaksanaannya, Malaysia sudah memberikan bantuan berupa posko di Riau. Menimbang pertimbangan di atas, maka sudah dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan adalah pertanggungjawaban negara untuk menangani kebakaran hutan secara tuntas sehingga tidak akan mucul lagi transboundary environmental degradation berupa haze pollution. Setiap negara dalam hal ini dibebani dengan kewajiban untuk menyelesaikan sengketa dengan damai. Kasus ini adalah kasus hukum lingkungan internasional dimana subyek hukumnya melibatkan negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Obyek hukum yang dipermasalahkan dalam hal ini adalah kerugian moril dan materiil yang diderita Malaysia dan Singapura dalam masalah kabut asap dari propinsi Riau pada tahun 2006 kemarin. ASEAN sebagai organisasi regional yang menaungi daerah bencana ini patut memberikan bantuan Perkembangan terakhir menunjukkan masalah ini sedang

diselesaikan lewat jalur diplomatik. Dalam hal ini mekanisme yang dipilih adalah negosiasi. Negosiasi yang berlangsung sifatnya tertutup antara negara pihak. Walaupun begitu hasil-hasil atau kesimpulan dari negosiasi-negosiasi tersebut dapat dilihat dalam press statement yang dikeluarkan oleh para pihak. ASEAN dalam hal ini sebagai organisasi tempat para pihak bernaung secara internasional memiliki perangkat yuridis berupa traktat internasional yakni ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Tetapi perangkat tersebut tidak bisa sepenuhnya dijalankan mengingat sampai tulisan ini dibuat Indonesia belum juga meratifikasi traktat tersebut. Menurut asas pacta sunt servanda, maka Indonesia tidak terikat oleh traktat tersebut. Secara garis besar hukum internasional memiliki 4 sumber hukum yang mengikat sesuai dengan pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, yakni : 1. Traktat-traktat internasional 2. Kebiasaan internasional, yang terbukti dari praktek umum telah diterima sebagai hukum 3. Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsabangsa beradab 4. Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai Negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan aturan kaidah hukum.

Tata urutan penerapan sumber hukum material di atas disusun menurut prioritas penggunaannya. Sampai saat ini yang bisa berjalan dalam kasus ini adalah nomor 2, 3 dan 4. Tampaknya kasus ini akan berujung kepada dua jenis penyelesaian. Pertama, adalah penyelesaian diplomatik lewat negosiasi dan konsultasi. Kedua, adalah penyelesaian yuridis lewat arbitrase. Untuk penyelesaian diplomatik sendiri saat ini sedang berjalan dengan adanya negosiasi bilateral baik antara Indonesia dan Malaysia juga antara Indonesia dan Singapura. Sementara itu alasan kuat bagi penyelesaian yuridis lewat arbitrase adalah sampai saat ini hanyalah Trail Smelter Case yang dapat dipadankan dengan kasus ini sebagai yurisprudensi. Bentuk pertanggungjawaban Indonesia nantinya akan diatur dengan pasal-pasal dalam kesepakatan mengenai penyelesaian masalah ini. Adapun posisi Indonesia diuntungkan dengan adanya penggolongan bencana kabut asap sebagai bencana internasional. Penggolongan ini akan berakibat pada penggolongan pelanggaran yang dilakukan oleh Indonesia dapat digolongkan sebagai force majeure sehingga baik Malaysia dan Singapura tidak dapat mengajukan klaimnya secara yuridis kelak. Belum bisa dibilang sengketa karena sampai saat ini baru protes yang secara resmi diajukan dan baru dapat digolongkan protes melalui jalur diplomasi saja. Oleh karena itu penyelesaian

yuridis lewat arbitrasi hanya dapat dicapai jika kebakaran hutan sudah bertambah parah dan kedua pihak yang dirugikan akan mulai mengajukan klaim secara yuridis. Mengenai kebakaran hutan itu sendiri untuk beberapa tahun ke depan diperkirakan masih akan terjadi lagi, jadi diperlukan usaha-usaha teknis untuk menangani masalah ini agar tidak berkelanjutan. Salah satu perkembangan yang terjadi adalah penggolongan fenomena ini sebagai bencana internasional. Hal ini akan memperbolehkan intervensi pihak asing guna menyelesaikan permasalahan yang berulang kali terjadi ini. Setelah adanya konferensi UNFCC di Bali Desember 2007 lalu, yang memunculkan skema REDD. Indonesia sebagai negara tropis akan mendapa insentif mengingat hutan yang dimiliki cukup luas sebagai penopang iklim melawan pemanasan global. Kerjasama internasional yang juga dibentuk lewat F11 diharapkan dapat membantu dalam mengembangkan kawasan hutan tropis. Keuntungan lewat kerjasama internasional ini dapat menjadi jalan keluar lain setelah proses perundingan di ASEAN yang memakan waktu lama. Insentif dapat mendorong untuk melestarikan hutan dan melawan kebakaran hutan. B. SARAN 1. Bagi Indonesia :

a. Mengembangkan usaha-usaha penangangan kebakaran hutan secara preventif dengan membentuk komisi khusu penanggulangan bencana kebakaran hutan berskala nasional b. Melakukan mitigasi secara sigap terhadap kebakaran hutan yang telah terjadi dengan menyiagakan petugas pemadam kebakaran hutan di setiap hot spot yang telah berulang kali menyebabkan kemarau c. Melakukan ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Poluution secepatnya. Mengingat alasan Indonesia belum meratifikasi perjanjian ini adalah karena adanya tuntutan untuk memasukkan pengaturan mengenai illegal logging dan penambangan pasir ke dalam AATHP makan hal ini seharusnya bisa dilakukan menggunakan mekanisme amandemen yang oleh dilakukan oleh negara yang telah meratifikasi traktat tersebut. Eksekutif dan legislatif harus bekerjasama dengan baik dalam hal ini. Eksekutif atau pemerintah dalam hal ini membangun hubungan kebakaran hutan terutama pada musim internasional yang baik terutama dengan Malaysia dan Singapura. Sedangkan legislatif atau DPR dalam hal ini merumuskan perangkat peraturan dalam menangani kasus bencana kabut asap dan mempercepat proses ratifikasi di DPR guna mencegah sengketa internasional kelak. Langkah

ini bisa ditempuh dengan memprioritaskan pembahasan masalah ini pada tahun 2008. d. Menggalakkan upaya reforestasi dan aforestasi sesuai dengan mekanisme CDM yang telah disepakati. e. Mengaktualisasikan konsep REDD ke dalam rencana teknis yang dapat memberikan insentif. 2. Bagi Malaysia dan Singapura : a. Membentuk komisi pencari fakta untuk menghitung kerugian jika mekanisme penyelesaian arbitase yang dipilih sebagai alternatif penyelesaian sengketa kelak, juga untuk mencari fakta-fakta di lapangan yang dapat mendukung solusi bagi bencana kabut asap. b. Membuat nota kesepakatan dengan Indonesia dalam penyelesaian masalah ini mengingat bencana kabut asap dapat digolongkan sebagai bencana internasional sehingga diharapkan bantuan dari negara-negara maju dapat mengatasi masalah ini. c. Mengintensifkan bantuan internasional dalam hal ini di propinsi Riau untuk bias menanggulangi bencana kabut asap ini meningat Indonesia sendiri dalam hal ini tidak mampu menangani dengan cepat dan tanggap. Jadi yang diharapkan adalah prinsip kerjasama internasional.

DAFTAR PUSTAKA A. Daftar Buku Tsani, Burhan., Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990 Istanto, Sugeng, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1994 Putra, Wyasa, Bandung, 2003 Hukum Lingkungan Internasional, Refika, Thontowi, Iskandar., Hukum Internasional Kontemporer, Refika, Bandung 2006 Hoof, Van., Pemikiran Kembali Sumber-Sumber internasional, Alumni, Bandung, 2000 Hukum Starke, J.G., Introduction to International Law, 10th ed., London: Butterworths, 1990 Blach, H.C., Black’s Law Dictionary, St, Paul, Minn.: West Publishing Co., 1990 Daryanto, Masalah Pencemaran, Tarsito, Bandung 1995 Suherman, Hukum Udara Indonesia & Internasional, Alumni, Bandung, 1983 Sjamsumar, Riswandi., Kerjasama ASEAN : Latar Belakang, Perkembangan dan Masa Depan, Ghalia, Jakarta, 1995 L. Guruswamy, B. Hendricks, International Environmental Law, West Publishing Co., 1997, St. Paul M. Sunkin, D.M. Ong, R. Wight, Sourcebook on Environmental Law, Cavendish Publishing Ltd., 1998, London P .W. Birnie, A.E. Boyle, International Law & The Environment, Clarendon Press, 1992, Oxford R.V. Percival, D.C. Alevizatos, Law and The Environment,

Temple University Press 1997, Philadelphia Suparto Wijoyo, Hukum Lingkungan : Mengenal Instrumen Hukum Pengendalian Pencemaran Udara di Indonesia, Airlangga University Press, 2004, Surabaya Simorangkir, Erwin, Prasetyo, Kamus Hukum, Sinar Grafika, 2004, Jakarta Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, 2000, Bandung Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, 2005, Jakarta B. Peraturan dan Perundang-undangan United Nation Millenium Development Goals Aksi Beijing Untuk Pengurangan Risiko Bencana di Asia United Nation Framework on Climate Change Hyogo Framework for Action 2005-2015 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution Deklarasi Stockholm 1972 Deklarasi Rio 1992 Draft Articles of Responsibilities of State for Internatioanal Wrongful Acts with Comementaries, Commentaries of the Draft, ILC Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang C. Makalah Violetta, Sukma, Hukum Lingkungan Indonesian Centre for Environmental Law : Aspek Pidana, Subagyo, Rino, Hukum Lingkungan : Aspek Perdata, 2005, Indonesian Centre For Environmental Law D Asril, Peranan Walhi Riau Dalam Menjaga Kelestarian Fungsi Lingkungan Hidup, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2004, Yogyakarta Global Forest Resources Assesment 2005 WALHI, Otonomi Daerah : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup D. Internet Surya, Teguh, Krituk konstruktif terhadap RTRWP Riau 20002015,2004,http://www.walhi.or.id/kampanye/psda/040910_rtrwp riau_li/ Syumanda, Rully., Pembakaran Hutan : Bencana Tahunan Riau, 2003,http://www.walhi.or.id/kampanye/bencana/bakarhutan/pe mbakar_hut_benc_riau_200603/ Syumanda, Rully., ASAP – Ritual Bencana Tahunan Riau, http://www.walhi.or.id/ kampanye/bencana/040915_asapriau/ http://www.unescap.org/drpad/vc/orientation/M3anx_asean_int. htm Azmi Sharom, http://thestar.com.my/columnists/story.asp?file=/2007/7/12/columnists/brave newworld/18255105&sec=Brave%20New%20World (diakses pada 5-82007 pukul 23.00) WWF, http://www.wwf.or.id/admin/fileupload/files/FCT1177083164.pdf http://app.mewr.gov.sg/press.asp?id=CDS4376 The Associated Press, http://www.iht.com/articles/ap/2006/10/16/asia/AS_GEN_Singapore_Haze.ph p

http://app.mfa.gov.sg/2006/press/view_press_print.asp?post_id=1851 http://www.deplu.go.id/?hotnews_id=1836 E. Majalah Stolzenburg, William, Conservacy, June 2001 Fire in the Rain Forest, Nature Gatra, Mandat Bali : Selamatkan Bumi, No. 02 Thn. XIV, November 2007 F. Kasus The 1941 Trail Smelter Arbitration. 35 A.J.I.L. 684 (1941)

LAMPIRAN ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION The Parties to this Agreement, REAFFIRMING the commitment to the aims and purposes of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) as set forth in the Bangkok Declaration of 8 August 1967, in particular to promote regional co-operation in Southeast Asia in the spirit of equality and partnership and thereby contribute towards peace, progress and prosperity in the region, RECALLING the Kuala Lumpur Accord on Environment and Development which was adopted by the ASEAN Ministers of Environment on 19 June 1990 which calls for, inter alia, efforts leading towards the harmonisation of transboundary pollution prevention and abatement practices, RECALLING ALSO the adoption of the 1995 ASEAN Co-operation Plan on Transboundary Pollution, which specifically addressed transboundary atmospheric pollution and called for, inter alia, establishing procedures and mechanisms for co-operation among ASEAN Member States in the prevention and mitigation of land and/or forest fires and haze, DETERMINED to give effect to the 1997 Regional Haze Action Plan and to the Hanoi Plan of Action which call for fully implementing the 1995 ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution, with particular emphasis on the Regional Haze Action Plan by the year 2001, RECOGNISING the existence of possible adverse effects of transboundary haze pollution,

CONCERNED that a rise in the level of emissions of air pollutants within the region as forecast may increase such adverse effects, RECOGNISING the need to study the root causes and the implications of the transboundary haze pollution and the need to seek solutions for the problems identified, AFFIRMING their willingness to further strengthen international cooperation to develop national policies for preventing and monitoring transboundary haze pollution, AFFIRMING ALSO their willingness to co-ordinate national action for preventing and monitoring transboundary haze pollution through exchange of information, consultation, research and monitoring, DESIRING to undertake individual and joint action to assess the origin, causes, nature and extent of land and/or forest fires and the resulting haze, to prevent and control the sources of such land and/or forest fires and the resulting haze by applying environmentally sound policies, practices and technologies and to strengthen national and regional capabilities and cooperation in assessment, prevention, mitigation and management of land and/or forest fires and the resulting haze, CONVINCED that an essential means to achieve such collective action is the conclusion and effective implementation of an Agreement, Have agreed as follows: PART I. GENERAL PROVISIONS Article 1 Use of Terms For the purposes of this Agreement: 1. “Assisting Party” means a State, international organisation, any other entity or person that offer and/or render assistance to a Requesting Party or a Receiving Party in the event of land and/or forest fires or haze pollution.

2. “Competent authorities” means one or more entities designated and authorised by each Party to act on its behalf in the implementation of this Agreement. 3. “Controlled burning” means any fire, combustion or smouldering that occurs in the open air, which is controlled by national laws, rules, regulations or guidelines and does not cause fire outbreaks and transboundary haze pollution. 4. “Fire prone areas” means areas defined by the national authorities as areas where fires are most likely to occur or have a higher tendency to occur. 5. “Focal point” means an entity designated and authorised by each Party to receive and transmit communications and data pursuant to the provisions of this Agreement. 6. “Haze pollution” means smoke resulting from land and/or forest fire which causes deleterious effects of such a nature as to endanger human health, harm living resources and ecosystems and material property and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of the environment. 7. “Land and/or forest fires” means fires such as coal seam fires, peat fires, and plantation fires. 8. “Member State” means a Member State of the Association of Southeast Asian Nations. 9. “Open burning” means any fire, combustion or smouldering that occurs in the open air. 10. “Party” means a Member State of ASEAN that has consented to be bound by this Agreement and for which the Agreement is in force. 11. “Receiving Party” means a Party that accepts assistance offered by an Assisting Party or Parties in the event of land and/or forest fires or haze pollution. 12. “Requesting Party” means a Party that requests from another Party or Parties assistance in the event of land and/or forest fires or haze pollution. 13. “Transboundary haze pollution” means haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the area under the national jurisdiction of one Member State and which is transported into the area under the jurisdiction of another Member State. 14. “Zero burning policy” means a policy that prohibits open burning but may allow some forms of controlled burning. Article 2 Objective The objective of this Agreement is to prevent and monitor

transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, through concerted national efforts and intensified regional and international co-operation. This should be pursued in the overall context of sustainable development and in accordance with the provisions of this Agreement. Article 3 Principles The Parties shall be guided by the following principles in the implementation of this Agreement: 1. The Parties have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment and harm to human health of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction. 2. The Parties shall, in the spirit of solidarity and partnership and in accordance with their respective needs, capabilities and situations, strengthen co-operation and co-ordination to prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated. 3. The Parties should take precautionary measures to anticipate, prevent and monitor tranboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, to minimise its adverse effects. Where there are threats of serious or irreversible damage from transboundary haze pollution, even without full scientific certainty, precautionary measures shall be taken by Parties concerned. 4. The Parties should manage and use their natural resources, including forest and land resources, in an ecologically sound and sustainable manner. 5. The Parties, in addressing transboundary haze pollution, should involve, as appropriate, all stakeholders, including local communities, non-governmental organisations, farmers and private enterprises. Article 4 General Obligations In pursuing the objective of this Agreement, the Parties shall: 1. Co-operate in developing and implementing measures to

prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, and to control sources of fires, including by the identification of fires, development of monitoring, assessment and early warning systems, exchange of information and technology, and the provision of mutual assistance. 2. When the transboundary haze pollution originates from within their territories, respond promptly to a request for relevant information or consultations sought by a State or States that are or may be affected by such transboundary haze pollution, with a view to minimising the consequences of the transboundary haze pollution. 3. Take legislative, administrative and/or other measures to implement their obligations under this Agreement. PART II. MONITORING, ASSESSMENT, PREVENTION AND RESPONSE Article 5 ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control 1. The ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control, hereinafter referred to as “the ASEAN Centre”, is hereby established for the purposes of facilitating co-operation and co-ordination among the Parties in managing the impact of land and/or forest fires in particular haze pollution arising from such fires. 2. The ASEAN Centre shall work on the basis that the national authority will act first to put out the fires. When the national authority declares an emergency situation, it may make a request to the ASEAN Centre to provide assistance. 3. A Committee composed of representatives of the national authorities of the Parties shall oversee the operation of the ASEAN Centre. 4. The ASEAN Centre shall carry out the functions as set out in Annex and any other functions as directed by the Conference of the Parties. Article 6 Competent Authorities and Focal Points 1. Each Party shall designate one or more Competent Authorities and a Focal Point that shall be authorised to act on its

behalf in the performance of the administrative functions required by this Agreement. 2. Each Party shall inform other Parties and the ASEAN Centre, of its Competent Authorities and Focal Point, and of any subsequent changes in their designations. 3. The ASEAN Centre shall regularly and expeditiously provide to Parties and relevant international organisations the information referred to in paragraph 2 above. Article 7 Monitoring Each Party shall take appropriate measures to monitor: a. all fire prone areas, b. all land and/or forest fires, c. the environmental conditions conducive to such land and/or forest fires, and d. haze pollution arising from such land and/or forest fires. 2. Each Party shall designate one or more bodies to function as National Monitoring Centres, to undertake monitoring referred to in paragraph 1 above in accordance with their respective national procedures. 3. The Parties, in the event that there are fires, shall initiate immediate action to control or to put out the fires. Article 8 Assessment 1. Each Party shall ensure that its National Monitoring Centre, at agreed regular intervals, communicates to the ASEAN Centre, directly or through its Focal Point, data obtained relating to fire prone areas, land and/or forest fires, the environmental conditions conducive to such land and/or forest fires, and haze pollution arising from such land and/or forest fires. 2. The ASEAN Centre shall receive, consolidate and analyse the data communicated by the respective National Monitoring Centres or Focal Points. 3. On the basis of analysis of the data received, the ASEAN Centre shall, where possible, provide to each Party, through its Focal Point, an assessment of risks to human health or the environment arising from land and/or forest transboundary haze pollution. fires and the resulting

Article 9 Prevention Each Party shall undertake measures to prevent and control activities related to land and/or forest fires that may lead to transboundary haze pollution, which include: a. Developing and implementing legislative and other regulatory measures, as well as programmes and strategies to promote zero burning policy to deal with land and/or forest fires resulting in transboundary haze pollution; b. Developing other appropriate policies to curb activities that may lead to land and/or forest fires; c. Identifying and monitoring areas prone to occurrence of land and/or forest fires; d. Strengthening local fire management and firefighting capability and co-ordination to prevent the occurrence of land and/or forest fires; e. Promoting public education and awareness-building campaigns and strengthening community participation in fire management to prevent land and/or forest fires and haze pollution arising from such fires; f. Promoting and utilising indigenous knowledge and practices in fire prevention and management; and g. Ensuring that legislative, administrative and/or other relevant measures are taken to control open burning and to prevent land clearing using fire. Article 10 Preparedness 1. The Parties shall, jointly or individually, develop strategies and response plans to identify, manage and control risks to human health and the environment arising from land and/or forest fires and related haze pollution arising from such fires. 2. The Parties shall, as appropriate, prepare standard operating procedures for regional co-operation and national action required under this Agreement. Article 11 National Emergency Response 1. Each Party shall ensure that appropriate legislative, administrative and financial measures are taken to mobilise equipment, materials, human and financial resources required to respond to and mitigate the impact of land and/or forest fires and haze pollution arising from such fires.

2. Each Party shall forthwith inform other Parties and the ASEAN Centre of such measures. Article 12 Joint Emergency Response through the Provision of Assistance 1. If a Party needs assistance in the event of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires within its territory, it may request such assistance from any other Party, directly or through the ASEAN Centre, or, where appropriate, from other States or international organisations. 2. Assistance can only be employed at the request of and with the consent of the requesting Party, or, when offered by another Party or Parties, with the consent of the receiving Party. 3. Each Party to which a request for assistance is directed shall promptly decide and notify the requesting Party, directly or through the ASEAN Centre, whether it is in a position to render the assistance requested, and of the scope and terms of such assistance. 4. Each Party to which an offer of assistance is directed shall promptly decide and notify the assisting Party, directly or through the ASEAN Centre, whether it is in a position to accept the assistance offered, and of the scope and terms of such assistance. 5. The requesting Party shall specify the scope and type of assistance required and, where practicable, provide the assisting Party with such information as may be necessary for that Party to determine the extent to which it is able to meet the request. In the event that it is not practicable for the requesting Party to specify the scope and type of assistance required, the requesting Party and assisting Party shall, in consultation, jointly assess and decide upon the scope and type of assistance required. 6. The Parties shall, within the limits of their capabilities, identify and notify the ASEAN Centre of experts, equipment and materials which could be made available for the provision of assistance to other Parties in the event of land and/or forest fires or haze pollution resulting from such fires as well as the terms, especially financial, under which such assistance could be provided. Article 13 Direction and Control of Assistance Unless otherwise agreed: 1. The requesting or receiving Party shall exercise the overall direction, control, coordination and supervision of the assistance

within its territory. The assisting Party should, where the assistance involves personnel, designate in consultation with the requesting or receiving Party, the person or entity who should be in charge of and retain immediate operational supervision over the personnel and the equipment provided by it. The designated person or entity should exercise such supervision in co-operation with the appropriate authorities of the requesting or receiving Party. 2. The requesting or receiving Party shall provide, to the extent possible, local facilities and services for the proper and effective administration of the assistance. It shall also ensure the protection of personnel, equipment and materials brought into its territory by or on behalf of the assisting Party for such purposes. 3. A Party providing or receiving assistance in response to a request referred to in paragraph (1) above shall co-ordinate that assistance within its territory. Article 14 Exemptions and Facilities in Respect of the Provision of Assistance 1. The requesting or receiving Party shall accord to personnel of the assisting Party and personnel acting on its behalf, the necessary exemptions and facilities for the performance of their functions. 2. The requesting or receiving Party shall accord the assisting Party exemptions from taxation, duties or other charges on the equipment and materials brought into the territory of the requesting or receiving Party for the purpose of the assistance. 3. The requesting or receiving Party shall facilitate the entry into, stay in and departure from its territory of personnel and of equipment and materials involved or used in the assistance. Article 15 Transit of Personnel, Equipment and Materials in Respect of the Provision of Assistance Each Party shall, at the request of the Party concerned, seek to facilitate the transit through its territory of duly notified personnel, equipment and materials involved or used in the assistance to the requesting or receiving Party. PART III. TECHNICAL CO-OPERATION AND SCIENTIFIC RESEARCH

Article 16 Technical Co-operation In order to increase the preparedness for and to mitigate the risks to human health and the environment arising from land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires, the Parties shall undertake technical co-operation in this field, including the following: a. Facilitate mobilisation of appropriate resources within and outside the Parties; b. Promote the standardisation of the reporting format of data and information; c. Promote the exchange of relevant information, expertise, technology, techniques and know-how; d. Provide or make arrangements for relevant training, education and awareness-raising campaigns, in particular relating to the promotion of zeroburning practices and the impact of haze pollution on human health and the environment; e. Develop or establish techniques on controlled burning particularly for shifting cultivators and small farmers, and to exchange and share experiences on controlled-burning practices; f. Facilitate exchange of experience and relevant information among enforcement authorities of the Parties; g. Promote the development of markets for the utilisation of biomass and appropriate methods for disposal of agricultural wastes; h. Develop training programmes for firefighters and trainers to be trained at local, national and regional levels; and i. Strengthen and enhance the technical capacity of the Parties to implement this Agreement. The ASEAN Centre shall facilitate activities cooperation as identified in paragraph 1 above. for technical Article 17 Scientific Research The Parties shall individually or jointly, including in co-operation with appropriate international organisations, promote and, whenever possible, support scientific and technical research programmes related to the root causes and consequences of transboundary haze pollution and the means, methods, techniques and equipment for land and/or forest fire management, including fire fighting.

PART IV. INSTITUTIONAL ARRANGEMENTS Article 18 Conference of the Parties 1. A Conference of the Parties is hereby established. The first meeting of the Conference of the Parties shall be convened by the Secretariat not later than one year after the entry into force of this Agreement. Thereafter, ordinary meetings of the Conference of the Parties shall be held at least once every year, in as far as possible in conjunction with appropriate meetings of ASEAN. 2. Extraordinary meetings shall be held at any other time upon the request of one Party provided that such request is supported by at least one other Party. 3. The Conference of the Parties shall keep under continuous review and evaluation the implementation of this Agreement and to this end shall: a. Take such action as is necessary to ensure the effective implementation of this Agreement; b. Consider reports and other information which may be submitted by a Party directly or through the Secretariat; c. Consider and adopt protocols in accordance with the Article 21 of this Agreement; d. Consider and adopt any amendment to this Agreement; e. Adopt, review and amend as required any Annexes to this Agreement; f. Establish subsidiary bodies as may be required for the implementation of this Agreement; and g. Consider and undertake any additional action that may be required for the achievement of the objective of this Agreement. Article 19 Secretariat 1. A Secretariat is hereby established. 2. The functions of the Secretariat shall include: a. Arrange for and service meetings of the Conference of the Parties and of other bodies established by this Agreement; b. Transmit to the Parties notifications, reports and other information received in accordance with this Agreement; c. Consider inquiries by, and information from, the Parties, and to consult with them on questions relating to this Agreement; d. Ensure the necessary co-ordination with other relevant international bodies and in particular to enter into administrative arrangements as may be required for the effective discharge of the

Secretariat functions; and e. Perform such other functions as may be assigned to it by the Parties. The ASEAN Secretariat shall serve as the Secretariat to this Agreement. Article 20 Financial Arrangements 1. A Fund is hereby established for the implementation of this Agreement. 2. It shall be known as the ASEAN Transboundary Haze Pollution Control Fund. 3. The Fund shall be administered by the ASEAN Secretariat under the guidance of the Conference of the Parties. 4. The Parties shall, in accordance with the decisions of the Conference of the Parties, make voluntary contributions to the Fund. 5. The Fund shall be open to contributions from other sources subject to the agreement of or approval by the Parties. 6. The Parties may, where necessary, mobilise additional resources required for the implementation of this Agreement from relevant international organisations, in particular regional financial institutions and the international donor community. PART V. PROCEDURES Article 21 Protocols 1. The Parties shall co-operate in the formulation and adoption of protocols to this Agreement, prescribing agreed measures, procedures and standards for the implementation of this Agreement. 2. The Conference of the Parties may, at ordinary meetings, adopt protocols to this Agreement by consensus of all Parties. 3. The text of any proposed protocol shall be communicated to the Parties by the Secretariat at least six months before such a session. 4. The requirements for the entry into force of any protocol shall be established by that instrument. Article 22 Amendments to the Agreement

1. Any Party may propose amendments to the Agreement. 2. The text of any proposed amendment shall be communicated to the Parties by the Secretariat at least six months before the Conference of the Parties at which it is proposed for adoption. The Secretariat shall also communicate proposed amendments to the signatories to the Agreement. 3. Amendments shall be adopted by consensus at an ordinary meeting of the Conference of the Parties. 4. Amendments to this Agreement shall be subject to acceptance. The Depositary shall circulate the adopted amendment to all Parties for their acceptance. The amendment shall enter into force on the thirtieth day after the deposit with the Depositary of the instruments of acceptance of all Parties. 5. After the entry into force of an amendment to this Agreement any new Party to this Agreement shall become a Party to this Agreement as amended. Article 23 Adoption and Amendment of Annexes 1. Annexes to this Agreement shall form an integral part of the Agreement and, unless otherwise expressly provided, a reference to the Agreement constitutes at the same time a reference to the annexes thereto. 2. Annexes shall be adopted by consensus at an ordinary meeting of the Conference of the Parties. 3. Any Party may propose amendments to an Annex. 4. Amendments to an Annex shall be adopted by consensus at an ordinary meeting of the Conference of the Parties. 5. Annexes to this Agreement and amendments to Annexes shall be subject to acceptance. The Depositary shall circulate the adopted Annex or the adopted amendment to an Annex to all Parties for their acceptance. The Annex or the amendment to an Annex shall enter into force on the thirtieth day after the deposit with the Depositary of the instruments of acceptance of all Parties. Article 24 Rules of Procedure and Financial Rules The first Conference of the Parties shall by consensus adopt rules of procedure for itself and financial rules for the ASEAN Transboundary Haze Pollution Control Fund to determine in particular the financial participation of the Parties to this Agreement. Article 25 Reports

The Parties shall transmit to the Secretariat reports on the measures taken for the implementation of this Agreement in such form and at such intervals as determined by the Conference of the Parties. Article 26 Relationship with Other Agreements The provisions of this Agreement shall in no way affect the rights and obligations of any Party with regard to any existing treaty, convention or agreement to which they are Parties. Article 27 Settlement of Disputes Any dispute between Parties as to the interpretation or application of, or compliance with, this Agreement or any protocol thereto, shall be settled amicably by consultation or negotiation. PART VI. FINAL CLAUSES Article 28 Ratification, Acceptance, Approval and Accession This Agreement shall be subject to ratification, acceptance, approval or accession by the Member States. It shall be opened for accession from the day after the date on which the Agreement is closed for signature. Instruments of ratification, acceptance, approval or accession shall be deposited with the Depositary. Article 29 Entry into Force 1. This Agreement shall enter into force on the sixtieth day after the deposit of the sixth instrument of ratification, acceptance, approval or accession. 2. For each Member State ratifying, accepting, approving or acceding to the Agreement after the deposit of the sixth instrument of ratification, acceptance, approval or accession, the Agreement shall enter into force on the sixtieth day after the deposit by such Member State of its instrument of ratification,

acceptance, approval or accession. Article 30 Reservations Unless otherwise expressly provided by this Agreement no reservations may be made to the Agreement. Article 31 Depositary This Agreement shall be deposited with the Secretary General of ASEAN, who shall promptly furnish each Member State a certified copy thereof. Article 32 Authentic Text This Agreement shall be drawn up in the English language, and shall be the authentic text. IN WITNESS WHEREOF the undersigned, being duly authorised by their respective Governments have signed this Agreement. Done at Kuala Lumpur, Malaysia on the tenth day of June in the year two thousand and two. For the Government of Brunei Darussalam For the Government of the Kingdom of Cambodia H.E. Mr. Keo Puth Reasmey Ambassador Royal Embassy of the Kingdom of Cambodia in Malaysia

For the Government of the Republic of Indonesia Ms. Liana Bratasida Deputy Minister for Environment Conservation State Ministry of Environment For the Government of Lao People’s Democratic Republic H.E. Prof. Dr. Bountiem Phissamay Minister to the Prime Minister’s Office Chairman of Science, Technology and Environment Agency For the Government of Malaysia H.E. Dato’ Seri Law Hieng Ding Minister of Science, Technology and the Environment For the Government of the Union of Myanmar U Thane Myint Secretary, National Commission for Environmental Affairs DirectorGeneral of the Ministry of Foreign Affairs For the Government of the Republic of the Philippines For the Government of the Republic of Singapore

H.E. Mr. Lim Swee Say Minister for the Environment For the Government of the Kingdom of Thailand H.E. Mr. Chaisiri Anamarn Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary Royal Thai Embassy in Malaysia For the Government of the Socialist Republic of Viet Nam H.E. Mr. Nguyen Van Dang Vice Minister of Agriculture and Rural Development

ANNEX Terms of Reference of the ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control The ASEAN Centre shall: Establish and maintain regular contact with the respective National Monitoring Centres regarding the data, including those derived from satellite imagery and meteorological observation, relating to: a. b. c. from Land and /or forest fire; Environmental conditions conducive to such fires; and Air quality and levels of pollution, in particular haze arising such fires. 2. Receive from the respective National Monitoring Centres or Focal Points the data above, consolidate, analyse and process the data into a format that is easily understandable and accessible. 3. Facilitate co-operation and co-ordination among the Parties to increase their preparedness for and to respond to land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires. 4. Facilitate coordination among the Parties, other States and relevant organisations in taking effective measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires. 5. Establish and maintain a list of experts from within and outside of the ASEAN region who may be utilised when taking measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires, and make the list available to the Parties. 6. Establish and maintain a list of equipment and technical facilities from within and outside of the ASEAN which may be made available when taking measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires, and make the list available to the Parties. 7. Establish and maintain a list of experts from within and outside of the ASEAN region for the purpose of relevant training, education and awareness-raising campaigns, and make the list available to the Parties. 8. Establish and maintain contact with prospective donor

States and organisations for mobilising financial and other resources required for the prevention and mitigation of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires and preparedness of the Parties, including fire-fighting capabilities. 9. Establish and maintain a list of such donors, and make the list available to the Parties. 10. Respond to a request for or offer of assistance in the event of land and/or forest fires or haze pollution resulting from such fires by: a. Transmitting promptly the request for assistance to other States and organisations; and b. Co-ordinating such assistance, if so requested by the requesting Party or offered by the assisting Party. 11. Establish and maintain an information referral system for the exchange of relevant information, expertise, technology, techniques and know-how, and make it available to the Parties in an easily accessible format. 12. Compile and disseminate to the Parties information concerning their experience and any other practical information related to the implementation of the Agreement. 13. Assist the Parties in the preparation of standard operating procedures (SOP).

Prevention of Transboundary Harm from Hazardous Activities 2001 Copyright © United Nations 2005 Text adopted by the Commission at its fifty-third session, in 2001, and submitted to the General Assembly as a part of the Commission’s report covering the work of that session. The report, which also contains commentaries on the draft articles, appears in Official Records of the General Assembly, Fifty-sixth Session, Supplement No. 10 (A/56/10). Prevention of Transboundary Harm from Hazardous Activities The States Parties, Having in mind Article 13, paragraph 1 (a), of the Charter of the United Nations, which provides that the General Assembly shall initiate studies and make recommendations for the purpose of encouraging the progressive development of international law and its codification, Bearing in mind the principle of permanent sovereignty of States over the natural resources within their territory or otherwise under their jurisdiction or control, Bearing also in mind that the freedom of States to carry on or permit activities in their territory or otherwise under their jurisdiction or control is not unlimited, Recalling the Rio Declaration on Environment and Development of 13 June 1992, Recognizing the importance of promoting international cooperation, Have agreed as follows: Article 1 Scope The present articles apply to activities not prohibited by international law which involve a risk of causing significant transboundary harm through their physical consequences. Article 2 Use of terms For the purposes of the present articles: (a) “Risk of causing significant transboundary harm” includes risks taking the form of a high probability of causing significant transboundary harm and a low probability of causing disastrous transboundary harm; (b) “Harm” means harm caused to persons, property or the environment; (c) “Transboundary harm” means harm caused in the territory of or in other places under the jurisdiction or control of a State other

than the State of origin, whether or not the States concerned share a common border; (d) “State of origin” means the State in the territory or otherwise under the jurisdiction or control of which the activities referred to in article 1 are planned or are carried out; (e) “State likely to be affected” means the State or States in the territory of which there is the risk of significant transboundary harm or which have jurisdiction or control over any other place where there is such a risk; (f) “States concerned” means the State of origin and the State likely to be affected. Article 3 Prevention The State of origin shall take all appropriate measures to prevent significant transboundary harm or at any event to minimize the risk thereof. Article 4 Cooperation States concerned shall cooperate in good faith and, as necessary, seek the assistance of one or more competent international organizations in preventing significant transboundary harm or at any event in minimizing the risk thereof. Article 5 Implementation States concerned shall take the necessary legislative, administrative or other action, including the establishment of suitable monitoring mechanisms to implement the provisions of the present articles. Article 6 Authorization 1. The State of origin shall require its prior authorization for: (a) Any activity within the scope of the present articles carried out in its territory or otherwise under its jurisdiction or control; (b) Any major change in an activity referred to in subparagraph (a); (c) Any plan to change an activity which may transform it into one falling within the scope of the present articles. 2. The requirement of authorization established by a State shall be made applicable in respect of all pre-existing activities within the scope of the present articles. Authorizations already issued by the State for pre-existing activities shall be reviewed in order to comply with the present articles. 3. In case of a failure to conform to the terms of the authorization, the State of origin shall take such actions as appropriate, including where necessary terminating the authorization.

Article 7 Assessment of risk Any decision in respect of the authorization of an activity within the scope of the present articles shall, in particular, be based on an assessment of the possible transboundary harm caused by that activity, including any environmental impact assessment. Article 8 Notification and information 1. If the assessment referred to in article 7 indicates a risk of causing significant transboundary harm, the State of origin shall provide the State likely to be affected with timely notification of the risk and the assessment and shall transmit to it the available technical and all other relevant information on which the assessment is based. 2. The State of origin shall not take any decision on authorization of the activity pending the receipt, within a period not exceeding six months, of the response from the State likely to be affected. Article 9 Consultations on preventive measures 1. The States concerned shall enter into consultations, at the request of any of them, with a view to achieving acceptable solutions regarding measures to be adopted in order to prevent significant transboundary harm or at any event to minimize the risk thereof. The States concerned shall agree, at the commencement of such consultations, on a reasonable time frame for the consultations. 2. The States concerned shall seek solutions based on an equitable balance of interests in the light of article 10. 3. If the consultations referred to in paragraph 1 fail to produce an agreed solution, the State of origin shall nevertheless take into account the interests of the State likely to be affected in case it decides to authorize the activity to be pursued, without prejudice to the rights of any State likely to be affected. Article 10 Factors involved in an equitable balance of interests In order to achieve an equitable balance of interests as referred to in paragraph 2 of article 9, the States concerned shall take into account all relevant factors and circumstances, including: (a) The degree of risk of significant transboundary harm and of the availability of means of preventing such harm, or minimizing the risk thereof or repairing the harm; (b) The importance of the activity, taking into account its overall advantages of a social, economic and technical character for the State of origin in relation to the potential harm for the State likely to be affected;

(c) The risk of significant harm to the environment and the availability of means of preventing such harm, or minimizing the risk thereof or restoring the environment; (d) The degree to which the State of origin and, as appropriate, the State likely to be affected are prepared to contribute to the costs of prevention; (e) The economic viability of the activity in relation to the costs of prevention and to the possibility of carrying out the activity elsewhere or by other means or replacing it with an alternative activity; (f) The standards of prevention which the State likely to be affected applies to the same or comparable activities and the standards applied in comparable regional or international practice. Article 11 Procedures in the absence of notification 1. If a State has reasonable grounds to believe that an activity planned or carried out in the State of origin may involve a risk of causing significant transboundary harm to it, it may request the State of origin to apply the provision of article 8. The request shall be accompanied by a documented explanation setting forth its grounds. 2. In the event that the State of origin nevertheless finds that it is not under an obligation to provide a notification under article 8, it shall so inform the requesting State within a reasonable time, providing a documented explanation setting forth the reasons for such finding. If this finding does not satisfy that State, at its request, the two States shall promptly enter into consultations in the manner indicated in article 9. 3. During the course of the consultations, the State of origin shall, if so requested by the other State, arrange to introduce appropriate and feasible measures to minimize the risk and, where appropriate, to suspend the activity in question for a reasonable period. Article 12 Exchange of information While the activity is being carried out, the States concerned shall exchange in a timely manner all available information concerning that activity relevant to preventing significant transboundary harm or at any event minimizing the risk thereof. Such an exchange of information shall continue until such time as the States concerned consider it appropriate even after the activity is terminated. Article 13 Information to the public States concerned shall, by such means as are appropriate, provide the public likely to be affected by an activity within the scope of

the present articles with relevant information relating to that activity, the risk involved and the harm which might result and ascertain their views. Article 14 National security and industrial secrets Data and information vital to the national security of the State of origin or to the protection of industrial secrets or concerning intellectual property may be withheld, but the State of origin shall cooperate in good faith with the State likely to be affected in providing as much information as possible under the circumstances. Article 15 Nondiscrimination Unless the States concerned have agreed otherwise for the protection of the interests of persons, natural or juridical, who may be or are exposed to the risk of significant transboundary harm as a result of an activity within the scope of the present articles, a State shall not discriminate on the basis of nationality or residence or place where the injury might occur, in granting to such persons, in accordance with its legal system, access to judicial or other procedures to seek protection or other appropriate redress. Article 16 Emergency preparedness The State of origin shall develop contingency plans for responding to emergencies, in cooperation, where appropriate, with the State likely to be affected and competent international organizations. Article 17 Notification of an emergency The State of origin shall, without delay and by the most expeditious means, at its disposal, notify the State likely to be affected of an emergency concerning an activity within the scope of the present articles and provide it with all relevant and available information. Article 18 Relationship to other rules of international law The present articles are without prejudice to any obligation incurred by States under relevant treaties or rules of customary international law. Article 19 Settlement of disputes 1. Any dispute concerning the interpretation or application of the present articles shall be settled expeditiously through peaceful means of settlement chosen by mutual agreement of the parties to

the dispute, including negotiations, mediation, conciliation, arbitration or judicial settlement. 2. Failing an agreement on the means for the peaceful settlement of the dispute within a period of six months, the parties to the dispute shall, at the request of any of them, have recourse to the establishment of an impartial fact-finding commission. 3. The Fact-finding Commission shall be composed of one member nominated by each party to the dispute and, in addition, a member not having the nationality of any of the parties to the dispute chosen by the nominated members who shall serve as Chairperson. 4. If more than one State is involved on one side of the dispute and those States do not agree on a common member of the Commission and each of them nominates a member, the other party to the dispute has the right to nominate an equal number of members of the Commission. 5. If the members nominated by the parties to the dispute are unable to agree on a Chairperson within three months of the request for the establishment of the Commission, any party to the dispute may request the Secretary-General of the United Nations to appoint the Chairperson who shall not have the nationality of any of the parties to the dispute. If one of the parties to the dispute fails to nominate a member within three months of the initial request pursuant to paragraph 2, any other party to the dispute may request the Secretary-General of the United Nations to appoint a person who shall not have the nationality of any of the parties to the dispute. The person so appointed shall constitute a singlemember Commission. 6. The Commission shall adopt its report by a majority vote, unless it is a single-member Commission, and shall submit that report to the parties to the dispute setting forth its findings and recommendations, which the parties to the dispute shall consider in good faith. _____________

DEKLARASI RIO Prinsip I : Bahwa manusia mempunyai hak-hak dasar untuk merdeka, persamaan dan keseimbangan kondisi kehidupan dalam suatu lingkungan yang berkualitas yang memungkinkan kehidupan yang terhormat dan baik, dan manusia mempunyai tanggung jawab yang suci untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan sekarang dan untuk generasi mendatang. Dalam hal ini suatu publik yang menganjurkan rasial, atau melaksanakan apartheid, perbedaan diskriminasi, colonial dan segala bentuk pemerasan serta dominasi asing dikutuk dan harus dihapuskan. Prinsip II : Sumber-sumber alamiah dari bumi yang meliputi udara, air, tanah, flora, dan fauna serta contoh-contoh khusus dari ecosystem alamiah harus dilindungi untuk generasi sekarang dan mendatang melalui perencanaan atau manajemen yang teliti yang sesuai. Prinsip III : Kesanggupan bumi untuk memproduksi sumbersumber yang dapat diperbarui yang vital harus dipertahankan dan di mana mungkin dipulihkan dan diperbaiki. Prinsip IV : Manusia mempunyai tanggung jawab yang khusus untuk mengamankan dan mengelola secara bijak warisan binatang liar dan habitatnya yang sekarang telah dirusak dengan hebatnya oleh kombinasi berbagai factor. Konservasi

alam yang meliputi binatang liar harus diutamakan dalam perencanaan pembangunan ekonomi. Prinsip V : Sumber-sumber yang tidak dapat diperbarui dari bumi harus dipergunakan dengan cara menjaga terhadap bahaya dari pengurasannya di masa depan dan menjamin manfaat dari pemakaiannya dinikmati oleh seluruh umat manusia. Prinsip VI : Membebaskan bahan berbahaya dan bahan lain dan pelepasan panas dalam jumlah atau konsentrasi yang melampaui kemampuan lingkungan untuk memulihkan menjadi tidak merusak. Prinsip VII : Negara-negara akan mengambil langkah-langkah yang mungkin untuk mencegah pencemaran laut oleh bahanbahan yang dapat menimbulkan bahaya terhadap kesehatan manusia yang merusak sumber-sumber hidup dan kehidupan kelautan yang merusak kenyamanan atau mengganggu pemakaian laut yang sah. Prinsip VIII : Pembangunan ekonomi social adalah esensial untuk menjamin lingkungan yang menyenangkan untuk hidup serta bekerja untuk manusia dan penciptaan kondisi terhadap bumi yang penting bagi perbaikan kualitas hidup. Prinsip IX : Kerusakan lingkungan disebabkan oleh kondisi kurang berkembang (under development) dan bencana alam

merupakan masalah besar dan dapat dipulihkan paling baik dengan mempercepat pembangunan dengan pengalihan sejumlah uang yang substansial dan bantuan teknologi sebagai bantuan kepada usaha dalam negeri Negara-negara berkembang dan bantuan pada waktunya jika dibutuhkan. Prinsip X : Untuk Negaranegara berkembang stabilitas harga dan perolehan yang memadai untuk barang-barang primer dan bahan mentah adalah esensial bagi pengelolaan lingkungan karena factor ekonomi dan juga proses ekologis harus diperhitungkan. Prinsip XI : Untuk Negara-negara berkembang stabilitas harga dan perolehan dan tidak member dampak kurang baik untuk pembangunan potensial sekarang dan masa depan Negaranegara berkembang, dan biaya yang berasal dari dimasukkannya pengalaman lingkungan ke dalam perencanaan pembangunan dan keperluan menyediakan bagi mereka bantuan tambahan teknik dan keuangan internasional untuk tujuan ini. Prinsip XII : Sumber-sumber harus dijadikan tersedia untuk menjaga dan memperbaiki lingkungan, memperhitungkan keadaan dan persyaratan khusus Negara-negara berkembang, dan biaya yang berasal dari dimasukkannya pengalaman lingkungan ke dalam perencanaan pembangunan dan keperluan

menyediakan bagi mereka bantuan tambahan teknik dan keuangan internasional untuk tujuan ini. Prinsip XIII : Dengan tujuan untuk mencapai manajemen yang lebih rasional terhadap sumber-sumber dan dengan demikian memperbaiki lingkungan. Negara harus menerima pendekatan terpadu dan terkoordinasi terhadap perencanaan pembangunan mereka sehingga menjamin bahwa pembangunan dapat digabungkan dengan keperluan melindungi dan memperbaiki lingkungan manusia untuk keperluan penduduk mereka. Prinsip XIV : Perencanaan rasional menciptakan suatu alat esensial untuk mendamaikan setiap pertentangan antara kebutuhan pembangunan dan kebutuhan untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan. Prinsip XV : Perencanaan harus ditetapkan kepada permukiman dan urbanisasi manusia dengan maksud untuk menghindari dampak buruk terhadap lingkungan dan memperoleh manfaat maksimum sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk semua. Dalam hal ini proyek yang diperuntukkan bagi dominasi kolonialis dan rasialis harus dihentikan. Prinsip XVI : Politik demografis yang tanpa merugikan hak asasi manusia yang didampingi sesuai pemerintah yang bersangkutan, harus diterapkan kepada wilayah-wilayah yang pertimbangan pertumbuhan penduduk atau konsentrasi

penduduk yang sangat mungkin mempunyai dampak yang buruk terhadap lingkungan dan pembangunan atau di tempat kepadatan penduduk yang jarang, dapat mencegah perbaikan lingkungan manusia dan merintangi pembangunan. Prinsip XVII : Lembagalembaga nasional yang cocok harus diberi kepercayaan dengan tugas perencanaan, pengeloalaan dan pengawasan sumber-sumber lingkungan Negara-negara dengan maksud meningkatkan kualitas lingkungan. Prinsip XVIII : Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian kontribusi kepada pembangunan ekonomi dan sosial harus diterapkan kepada identifikasi, penghindaran dan pengawasan risiko lingkungan dan pemecahan berbagai masalah lingkungan dan untuk kebaikan umum bagi kemanusiaan. Prinsip XIX : Pendidikan soal-soal lingkungan kepada generasi muda begitu pula kepada orang dewasa, member pertimbangan yang tepat kepada mereka yang kurang diutamakan adalah esensial untuk memperluas basis untuk suatu pencerahan pandangan dan tingkah laku yang bertanggung jawab oleh perorangan, perusahaan dan masyarakat dalam melindungi dan memperbaiki lingkungan dalam dimensi kemanusiaan yang penuh. Juga esensial bahwa media massa dan komunikasi menghadapi kontribusi terhadap kerusakan lingkungan, tetapi sebaliknya menyebarkan informasi yang bersifat mendidik

dengan maksud melindungi, memperbaiki lingkungan untuk memungkinkan orang untuk berkembang dalam segala hal. Prinsip XX : Penelitian ilmiah dan pembangunan dalam kaitan dengan masalah-masalah lingkungan baik nasional dan multinasional, harus dimajukan di semua Negara khususnya Negara berkembang. Dalam hal ini penyiaran bebas informasi ilmiah yang up to date dan pengalihan pengetahuan harus ditunjang dan dibantu untuk memecahkan berbagai masalah lingkungan, teknologi lingkungan harus tersedia di Negara-negara berkembang dengan batas yang akan meningkatkan penyiaran secara luas tanpa menimbulkan beban ekonomi kepada Negara berkembang. Prinsip XXI : Negara-negara mempunyai sesuai dengan piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumbersumber sendiri sesuai dengan politik lingkungan mereka sendiri dan tanggung jawab untuk menjamin aktivitas dalam yurisdiksi mereka atau pengawasan yang tidak merusak lingkungan Negara lain atau wilayahwilayah di luar batas yurisdiksi nasional. Prinsip XXII : Negara-negara akan bekerja sama untuk mengembangkan lebih lanjut hukum internasional mengenai tanggung jawab dan kompensasi untuk korban pencemaran dan

kerusakan lingkungan lain yang disebabkan oleh aktivitasaktivitas dalam yurisdiksi atau pengawasan Negara-negara demikian kepada wilayah di luar yurisdiksi mereka. Prinsip XXIII : Tanpa prasangka kepada kriteria demikian, yang dapat disetujui oleh masyarakat internasional atau standar yang akan ditentukan secara nasional adalah esensial untuk semua kasus dalam memperhatikan sistem nilai-nilai yang berlaku di tiap Negara dan tentang dapatnya diterapkan standar yang berlaku bagi Negara-negara maju, tetapi mungkin tidak cocok dan biaya sosial yang tidak dapat dijamin terhadap Negara-negara berkembang. Prinsip XXIV : Masalah-masalah internasional mengenai pertimbangan dan perbaikan lingkungan harus ditangani dengan jiwa kerja sama oleh semua Negara, besar, dan kecil yang berdiri sama tinggi. Kerja sama melalui pengaturan multilateral dan bilateral atau cara-cara lain yang sesuai adalah esensial untuk pengawasan efektif mencegah, mengurangi, dan meniadakan dampak merusak lingkungan sebagai dampak akibat berbagai aktivitas yang dilakukan semua bidang dengan cara demikian bahwa perhitungan yang tepat diimbali bagi kedaulatan dan kepentingan semua Negara. Prinsip XXV : Negara-negara akan menjamin organisasi

internasional memainkan suatu permainan yang terkoordinasi, efisien, dan dinamis untuk perlindungan dan perbaikan lingkungan. Prinsip XXVI : Manusia dan lingkungannya harus dijaga dari dampak senjata-senjata nuklir dan semua jenis perusakanperusakan massal yang lain. Negara-negara harus berusaha untuk mencapai persetujuan relevan segera untuk dalam badan-badan dan internasional yang meniadakan menghancurkan secara tuntas senjata-senjata demikian itu.