3_111.160.082_muhamad Rinaldi_translate Paper_penurunan Tanah Di Cekungan Bandung Dan Kemungkinan Penyebabnya.docx

  • Uploaded by: Muhammad Rinaldi
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 3_111.160.082_muhamad Rinaldi_translate Paper_penurunan Tanah Di Cekungan Bandung Dan Kemungkinan Penyebabnya.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,137
  • Pages: 18
Penurunan Tanah di Cekungan Bandung dan Kemungkinan Penyebabnya Irwan Gumilara , Hasanuddin Z. Abidina, Lambok M. Hutasoitb, Dudung M. Hakimc, Teguh P. Sidiqa, Heri Andreasa

Abstrak Cekungan Bandung terletak di Jawa Barat, Indonesia adalah cekungan intramontana besar yang dikelilingi oleh dataran tinggi vulkanik. Cekungan nya telah menjadi daerah yang sangat urban yang populasinya telah meningkat pesat sejak beberapa dekade yang lalu. Dipercaya secara luas bahwa peningkatan populasi, serta kegiatan industri, akan meningkatkan tingkat ekstraksi air tanah dan pada akhirnya akan menyebabkan penurunan tanah di wilayah cekungan Bandung. Menurut hasil survei sepuluh kampanye GPS (Global Positioning System), yang dilakukan dalam kurun waktu 2000 hingga 2012, ditemukan bahwa beberapa lokasi di cekungan Bandung mengalami penurunan tanah, dengan tingkat penurunan ratarata sekitar -8 cm / tahun. dan bisa mencapai sekitar - 16,9 cm / tahun di lokasi dan periode tertentu. Penurunan terbesar terjadi di didaerah Cimahi, Gedebage, Dayeuhkolot, Rancaekek, Majalaya, dan Katapang. Hasil serupa juga didapat dari data InSAR (Interferometry Synthetic Aperture Radar). Selama periode tahun 1999 sampai 2010, tingkat penurunan tanah yang maksimal di cekungan Bandung mencapai 2 meter yang terjadi di kawasan industri seperti di Cimahi, Katapang, Dayeuhkolot, Gedebage, dan Rancaekek. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara penurunan tanah dan ekstraksi air tanah di Cimahi, Dayeuhkolot, Majalaya, dan Rancaekek. Selain itu, mungkin juga ada kemungkinan penyebab lain karena pemadatan alami di hampir semua daerah subsidence dan proses tektonik di Dayeuhkolot, Gedebage, Cimahi, dan Majalaya. Key Words: Bandung; penurunan; ekstraksi airtanah; natural compaction; tektonik

1

1.Pendahuluam

Cekungan Bandung adalah cekungan intra-montana besar yang dikelilingi oleh dataran tinggi vulkanik, yang terletak di provinsi Jawa Barat, Indonesia (Gbr.1). Bagian tengah cekungan memiliki ketinggian sekitar 665 m sampai 2400 m dan dikelilingi oleh dataran tinggi vulkanik tersier akhir dan kuarter.Daerah tangkapan air di cekungan dan pegunungan sekitarnya mencakup sekitar 2300 km2, dan Sungai Citarum dengan anak-anak sungainya membentuk sistem drainase utama di DAS. Drainase utama ini adalah salah satu daerah aliran sungai terbesar di pulau Jawa, dan menyediakan air untuk minum, pertanian dan perikanan, serta pasokan utama untuk tiga waduk (bendungan tenaga air), dengan total volume sekitar 6147 juta meter kubik 2 Suhu rata-rata tahunan di baskom adalah sekitar 23,7 ° C dan jumlah curah hujan tahunan rata-rata sekitar 1.700 mm 3. Deposito di baskom terdiri dari vulkaniklin kasar, sedimen fluvial dan terutama setumpuk tebal endapan lacustrine.

Gambar 1. Topografi dari lokasi Cekungan Bandung di Jawa Barat,Indonesia

Berdasarkan karakteristik hidrolik dan kedalamannya, konfigurasi akuifer multi lapisan di cekungan Bandung dapat disederhanakan menjadi dua sistem: akuifer dangkal (beberapa meter sampai sekitar 40 m di bawah permukaan) dan akuifer dalam (lebih dari 40 sampai 250 m di bawah permukaan). Akuifer ini terdiri

2

dari produk vulkanik dari kompleks vulkanik yang membatasi cekungan ini, dan sedimen danau yang disimpan saat bagian tengah cekungan adalah danau. Danau itu terbentuk sepenuhnya sekitar 50.000 tahun yang lalu, dan menjadi kering sekitar 16.000 tahun yang lalu. Populasi kota Bandung meningkat dari sekitar 40.000 pada tahun 1906 menjadi hampir satu juta pada tahun 1961, dan telah berkembang menjadi sekitar dua setengah juta pada tahun 1995. Penduduk di cekungan Bandung sekitar 3,4 juta pada tahun 1986, menjadi sekitar 4,4 juta pada tahun 1994,dan menjadi sekitar 5,9 juta orang pada tahun 2003, dan akhirnya pada tahun 2005 lebih dari 7 juta orang mendiami lembah tersebut. Peningkatan populasi dan kegiatan industri pada akhirnya meningkatkan tingkat penarikan air tanah dari akuifer di cekungan Bandung. Peningkatan ekstraksi air tanah telah menyebabkan penurunan cepat permukaan air Ekstraksi air tanah diperkirakan akan menyebabkan penurunan tanah di cekungan Bandung disamping penurunan yang disebabkan oleh beban konstruksi buatan manusia (yaitu penyelesaian tanah yang sangat kompresibel), penurunan yang disebabkan oleh konsolidasi alami tanah alluvium, dan penurunan geotektrik. Dampak penurunan lahan dapat dilihat dalam beberapa bentuk, seperti retakan pada bangunan, kerusakan infrastruktur (jalan dan jembatan), rumah yang miring dan rusak, dan peningkatan genangan banjir. Banjir di cekungan Bandung terjadi berkali-kali dalam setahun dan banjir yang besar biasanya terjadi setelah hujan deras. Banjir di cekungan Bandung telah menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi rumah tangga, bisnis, industri, pertanian, infrastruktur, fasilitas umum dan kegiatan sosial di daerah yang terkena dampak.

3

2. Penurunan Tanah Dengan Metode GPS dan InSAR di Cekungan Bandung Beberapa metode telah dilakukan untuk memantau penurunan tanah di cekungan Bandung seperti data survei GPS (Global Positioning System) dan InSAR (Inteferometry Synthetic Aperture Radar). Untuk mempelajari penurunan tanah di cekungan Bandung, 10 survei GPS dilakukan pada tanggal 21-24 Februari 2000, 21-30 November 2001, 11-14 Juli 2002, 1-3 Juni 2003, 24-27 Juni 2005, 21-23 Agustus 2008, 26-29 Juli 2009, dan 29-31 Juli 2010, 15-22 Agustus 2011, dan 5-8 Agustus 2012 oleh Divisi Riset Geodesi, Institut Teknologi Bandung (ITB). Analisis data InSAR juga dilakukan di cekungan Bandung dari satelit ALOS / PALSAR. Semua data diolah menggunakan perangkat lunak Gamma. Metode diferensial dual pass digunakan untuk menghasilkan citra deformasi di cekungan Bandung. Dual-pass DInSAR (Differential InSAR) hanya membutuhkan gambar twoSAR dan DEM (Digital Elevation Model) untuk menghasilkan citra deformasi. Dalam penelitian ini, data ALOS / PALSAR (pada tanggal 3 Juni 2006, 6 Maret 2007, 14 Januari 2007, 18 April 2009, 28 Januari 2009, dan 3 Mei 2010) digunakan dan data DEM berasal dari SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) 90x90 m. Hasil survei 10 GPS (Global Positioning System) yang dilakukan sejak tahun 2000 sampai 2012 menunjukkan bahwa beberapa lokasi di cekungan Bandung telah mengalami penurunan tanah, dengan tingkat penurunan rata-rata sekitar -8 cm / tahun dan dapat mencapai sekitar -16,9 cm / tahun di lokasi dan periode tertentu Rata-rata tingkat subsidence yang diperoleh data GPS selama periode 2000 - 2012 bervariasi antara 1,1 - 16,9 cm, sedangkan yang diturunkan dengan metode InSAR bervariasi antara 0,9 - 17 cm per tahun pada periode tahun 2006 – 2010 Telah diketahui bahwa GPS memberikan hasil dengan akurasi yang lebih baik daripada InSAR. Namun, InSAR memberikan resolusi spasial yang lebih baik daripada GPS. Oleh karena itu, integrasi metode GPS dan InSAR dapat memberikan solusi yang lebih baik untuk mendapatkan hasil akurasi tinggi dengan informasi spasial yang luas mengenai penurunan tanah. Dalam penelitian ini, kita memodelkan penurunan tersebut dengan mengasimilasi hasil data GPS dan InSAR. Teknik asimilasi yang digunakan untuk asimilasi uap air. 4

(1) Tujuan pembobotan tersebut adalah untuk mengurangi efek ketidaktepatan yang diakibatkan oleh hasil InSAR. Untuk menghitung koefisien fij, fungsi berikut telah diterapkan:

(2) Koefisien tertimbang sehubungan dengan jarak r dari stasiun GPS k (rk) ke titik grid dengan menggunakan fungsi bobot berikut.

(3)

r mewakili jarak semua stasiun yang relevan, yaitu yang berada dalam jarak 15 km (dilambangkan dengan l). Pengali fk untuk masing-masing stasiun GPS dihitung dengan menggunakan cara berikut

(4)

5

Dimana LSGPS mewakili penurunan tanah yang berasal dari pengamatan GPS dan LS InSAR mewakili penurunan tanah yang berasal dari data InSAR, sedangkan T dan I adalah bujur dan lintang stasiun k. Hasil asimilasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Penurunan tanah berasal dari data asimilasi GPS dan InSAR di tahun 1999-2010

Berdasarkan hasil kombinasi GPS dan InSAR, penurunan tanah di cekungan Bandung selama periode 1999 sampai 2010 bisa mencapai 2 meter. Penurunan besar terjadi di Cimahi, Gedebage, Dayeuhkolot, Rancaekek, Majalaya dan Leuwigajah. Perlu dicatat bahwa hasil InSAR diekstrapolasikan sampai tahun 1999 dengan asumsi bahwa tingkat penurunan bervariasi secara linear dengan waktu. Seperti yang kita perkirakan, tingkat penurunan yang besar terjadi di kawasan industri, dimana air tanah pada akuifer dalam telah banyak diambil. Diketahui bahwa industri bergantung pada sumber daya air tanah. Penurunan tanah di daerah ini menyebabkan banyak dampak kerugian seperti retakan pada bangunan, rumah yang rusak, retakan di jalan raya / jalan raya, dan perluasan wilayah banjir.

6

3. Faktor Penyebab Penurunan Tanah di Cekungan Bandung. Penurunan air tanah menjadi salah satu masalah di wilayah Bandung. Beberapa tempat di cekungan Bandung telah mengalami penurunan tahunan tabel air tanah (MAT), seperti luas wilayah Cimahi, Dayeuhkolot, Rancaekek, Majalaya, dan Banjaran. Ada banyak produsen tekstil di daerah ini yang diduga mengambil air tanah dari akuifer dalam (artesis) dalam jumlah banyak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Barat, dan Dinas Pertambangan Kabupaten Bandung pada tahun 1999, ekstraksi air tanah oleh industri dan usaha komersial melalui 2.401 sumur artesis di Kabupaten Bandung dan Cimahi, Kota Bandung, dan Kabupaten Sumedang yang termasuk dalam wilayah survei mencapai 45,4 juta m3 . Ekstraksi air tanah pada tahun 2000 diperkirakan 46,6 juta meter kubik yang diambil dari 2.484 sumur artesis. Kemudian pada tahun 2003 tercatat sekitar 50,6 juta m3 dengan jumlah sumur artesis sekitar 2.258, sedangkan pada tahun 2004 berdasarkan data sampai dengan Mei, volume ekstraksi tercatat adalah 27 juta m3 (pada tahun diperkirakan 58,5 juta m3) diambil melalui 1.597 sumur artesis. Jumlahnya tentu lebih kecil dari yang sebenarnya, karena diprediksi masih ada sumur produksi yang masih belum terdaftar. Ekstraksi air tanah yang berlebihan tentu saja menimbulkan kerusakan pada akuifer terutama akuifer dalam. Kerusakan akifer dapat dilihat pada Gambar 3.

7

Gambar 3. Tabel penurunan Air tanah Hasil zonasi pada Tahun 2013 dari numerical simulation

Berdasarkan hasil simulasi numerik, pada tahun 2013 beberapa daerah mengalami kerusakan akuifer termasuk Cimahi, Dayeuhkolot, Rancaekek, Majalaya, dan Banjaran. Perlu dicatat bahwa hasil di atas adalah hasil simulasi numerik dengan asumsi tidak ada pengisian ulang buatan. Warna merah menunjukkan zona yang rusak dimana MAT menurun> 80%, sedangkan warna kuning mengindikasikan zona kritis dengan MAT turun 60% - 80%, dan warna hijau adalah zona rawan yang menunjukkan penurunan MAT sekitar 40% - MAT 60%. Warna biru adalah zona aman dimana penurunan MAT <40%. Beberapa sumur artesis di sekitar titik pengamatan penurunan permukaan air tanah (MAT) mengalami penurunan sekitar 1 meter per tahun karena dapat dilihat pada grafik yang ditunjukkan pada Gambar 4. Lokasi sumur yang sebagian besar berada di sekitar kawasan industri tekstil yang diduga diambil. Air tanah secara berlebihan dan bukan tidak mungkin ada beberapa sumur yang tidak terdaftar.

8

Gambar 4 Penurunan tabel air tanah di beberapa sumur pabrik di cekungan Bandung (Courtesy of Indonesian Geological Agency)

Tabel 1 menunjukkan rata-rata penurunan muka air tanah per tahun untuk sumur yang disebutkan di atas. Sumur di daerah Cimahi mengalami penurunan paling banyak MAT.

9

Sumur artesis yang dijelaskan pada Gambar 4 adalah yang mengalami penurunan rata-rata lebih dari satu meter per tahun per hari. Sumur juga berada di daerah yang mengalami rata-rata penurunan tanah yang cukup besar setiap tahunnya seperti, Cimahi, Rancaekek, Dayeuhkolot, Banjaran, Ciparay, dan Majalaya. Gambar 5 menunjukkan daerah yang mengalami kerusakan akuifer akibat penurunan muka air tanah serta mengalami penurunan tanah. Kerusakan akifer sebagian besar terjadi di daerah industri. Gambar 6 menunjukkan distribusi pabrik yang mengalami penurunan muka air tanah lebih dari 1 meter per tahun. Secara spasial, terlihat jelas bahwa penurunan tanah terjadi di dekat pabrik yang mengambil air tanah secara berlebihan. Namun demikian, ada beberapa pabrik tekstil yang memiliki tabel air tanah mengalami penurunan lebih dari 1 meter per tahun namun mengalami penurunan lahan kecil (0,5 - 1 cm per tahun) seperti Permukiman Sari Mas, PT. Waitex, dan CV. Wiska. Persentase sumur pemantau yang mengalami penurunan muka air tanah lebih dari 1 meter dan mengalami penurunan tanah adalah 90,6%.

Gambar 5. Hubungan Antara penurunan tanah dari GPS dan InSAR yang terintregasi kerusakan akuifer

10

Gambar 6.Penurunan tanah selama tahun 1999-2010 dari data GPS dan InSAR yang terintegrasi di Cekungan Bandung dan pusat distribusi yang sumur artesisnya memiliki penurunan permukaan air tanah lebih dari 1 meter per tahun.

Di beberapa sumur pemantauan dekat titik pemantauan GPS, korelasi positif terlihat antara penurunan muka tanah dan penurunan muka air tanah seperti terlihat pada sumur pemantauan PT. Hintex (Cimahi), PT. Luen Fung (Dayeuhkolot), PT. Kukje Adetex (Banjaran), dan PT. Asia Besar (Rancaekek). Korelasi yang terjadi bisa positif maupun negatif. Nilai koefisien korelasi (U) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut

(5)

X X adalah nilai penurunan tanah, Y adalah tabel air tanah menurun, dan n adalah jumlah data. Jika nilai koefisien korelasi U = 1 atau mendekati 1 maka korelasi antara dua variabel adalah positif. Jika nilai korelasi U = -1 atau mendekati -1 maka korelasi antara dua variabel adalah negatif. Setelah perhitungan dilakukan dengan rumus, nilai koefisien korelasi (U) diperoleh dari penurunan tanah dan penurunan tabel muka air tanah terjadi pada titik tersebut. Gambar 7 menunjukkan penurunan

11

penurunan muka air tanah dan penurunan tanah di empat wilayah dan nilai korelasinya Penentuan beberapa titik pemantauan di atas didasarkan pada jarak antara titik monitor GPS dengan pemantauan dengan baik, oleh karena itu diharapkan dapat mewakili hubungan antara penurunan MAT dan penurunan tanah. Gambar 8 menunjukkan daerah dengan penurunan tanah yang signifikan seperti Cimahi, Kopo Katapang, Dayeuhkolot, Majalaya, Rancaekek, dan Gedebage adalah kawasan industri terutama industri tekstil.

Gambar 7.Penurunan tanah (garis merah) dan penurunan tabel air tanah (garis biru) di (a) Dayeuhkolot,(b) Cimahi,(c) Banjaran,dan (d) Rancaekek ( sumber Badan Geologi Indonesia)

12

Gambar 8. Penurunan tanah dan peggunaan tanah disekitar area dengan besar penurunan tanah

Selain penurunan muka air tanah, ada beberapa penyebab lain yang dapat menyebabkan penurunan tanah di cekungan Bandung. Cekungan Bandung masih bisa mengalami pemadatan alami. Secara geologis, cekungan Bandung didasarkan pada beberapa formasi yaitu pembentukan Kosambi, Cibeureum dan Cikapundung. Bagian tengah cekungan Bandung (yang sebagian besar mengalami penurunan tanah) didominasi oleh formasi Kosambi di permukaan. Formasi Kosambi terutama terdiri dari lempung, batulanau, dan batupasir yang belum padat yang berumur Holosen. Perlu dicatat, bahwa berdasarkan data pengeboran masih ada formasi lain di bawah formasi Kosambi, yaitu formasi Cibeureum dan formasi Cikapundung. Khusus untuk titik pengamatan GPS, semua titik berada di atas bebatuan yang membentuk formasi Kosambi dan Cibeureum yang mungkin mengalami pemadatan alami dan kemungkinan pengaruh proses tektonik (Gambar V.13). Wilayah Dayeuhkolot, Cimahi, dan Rancaekek memiliki indeks kompresibilitas menengah dan tinggi (0,3 - 0,7) [sumber data: PT. Bina Karya dan Pusat Litbang SDA, 1991]. Hamparan antara peta penurunan tanah dan formasi geologi menunjukkan bahwa penurunan tanah terjadi di daerah-daerah yang secara geologis terdiri dari lempung, batulanau, dan batupasir yang kompak, dari zaman Holosen (Formasi Kosambi), endapan kipas aluvial dan endapan pasir Klastik (Cibeureum Formasi), dan sedikit di Formasi Vulkanik Tersier (Gambar 9).

13

Gambar 9. Overlay antara peta penurunan tanah dan peta geologi (Hutasoit,2009)

Selain itu adanya pengaruh tektonik masih dimungkinkan, hal ini didasarkan pada beberapa penelitian. Struktur geologi di daerah cekungan Bandung dan sekitarnya merupakan struktur geologi yang ditemukan dalam bentuk kelurusan, pergeseran sesar (gerak relatif). Berdasarkan peta geologi dan citra Landsat Bandung dan sekitarnya, keberadaan patahan pecah di sepanjang arah Barat-Timur, Timur Laut-Timur Laut, dan Utara selatan dapat diidentifikasi.Arah patahan timur-timur yang terletak di Utara adalah kesalahan Lembang, sedangkan di bagian selatan adalah patahan Gunung Geulis dan Citarum. Sesar Utara-Selatan dikenal sebagai patahan Cihideung-Bandasari, dan sesar Barat daya-Timur laut yaitu Cicalengka dan Cileunyi-Tanjungsari. Secara karakteristik, Sesar Lembang merupakan wilayah sesar normal, sedangkan sesar Cileunyi-Tanjungsari, sesar Cicalengka , dan sesar Cihideung Bandarsari dibiarkan disamping horisontal 11. 12 menunjukkan hasil pengeboran sedalam 250 m di sekitar Gedebage mengidentifikasi air panas. Mata air panas di sekitar Bandung terletak di Maribaya di Utara Bandung dan gunung Wayang Windu di Bandung Selatan. Hal ini diduga menunjukkan Sesar Utara-Selatan dari Maribaya menuju gunung Wayang Windu melintasi cekungan Bandung (Gedebage). Patahan ini mungkin ditutupi oleh sedimen usia yang relatif muda. 14

Hamparan antara peta penurunan tanah dan peta seismotektonik di cekungan Bandung (Gambar 10) menunjukkan bahwa beberapa lokasi mengalami penurunan tanah yang dilewati oleh sesar. Majalaya, Gedebage, Cimahi, Katapang, dan Dayeuhkolot, adalah daerah yang mengalami penurunan tanah yang besar dan tidak dilewati oleh sesar. Daerah Rancaekek dan Banjaran mengalami penurunan tanah yang besar namun tidak dilewati oleh sesar. Studi geologi lebih lanjut diperlukan untuk memastikan kontribusi kesalahan terhadap penurunan tanah.

Gambar 10. Penurunan tanah dan lokasi sesar di cekungan Bandung

Berdasarkan analisis penyebab faktor di atas, beberapa kemungkinan penyebab penurunan tanah dapat disimpulkan di beberapa daerah yang mengalami penurunan tanah cukup besar seperti pada Tabel 2.

15

Tabel 2. Faktor kemungkinan penyebab penurunan tanah di cekungan Bandung

4. Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola spasial dan laju penurunan yang diperoleh dengan metode GPS dan InSAR sangat mirip. Beberapa daerah seperti Cimahi, Gedebage, Dayeuhkolot, Banjaran, Majalaya, dan Rancaekek mengalami penurunan terbesar. Rata-rata tingkat penurunan yang diperoleh data GPS selama periode 2000 - 2012 bervariasi antara 1,1 - 16,9 cm, sedangkan yang berasal dari metode InSAR bervariasi antara 0,9 - 17 cm per tahun pada periode 2006-2010. Integrasi data GPS dan InSAR dengan konsep pembobotan menghasilkan karakteristik spatio-temporal yang lebih baik. Selama periode 1999 sampai 2010, tingkat penurunan tanah maksimum di cekungan Bandung mencapai 2 meter yang terjadi di kawasan industri seperti di Cimahi, Katapang, Dayeuhkolot, Gedebage, dan Rancaekek. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara penurunan tanah dan ekstraksi air tanah di Cimahi, Dayeuhkolot, Majalaya, dan Rancaekek. Hasil pengamatan gravitasi menunjukkan bahwa penurunan tingkat airtanah terjadi di Cimahi dengan laju sekitar 1,79 m / tahun. Selain itu, mungkin juga ada kemungkinan penyebab lain karena pemadatan alami di hampir semua daerah penurunan dan proses tektonik di Dayeuhkolot, Gedebage, Cimahi, dan Majalaya.

16

Referensi 1. Dam, M. A. C., Suparan, P., Nossin, J. J., Voskuil, R. P. G. A. & G. T. L. Group. (1996) A chronology for geomorphological developments in the greater Bandung area, West-Java, Indonesia. J. Southeast Asian Earth Sci. 14(1–2), 101–115. 2. Wangsaatmaja, S., Sutadian, A. D. & Prasetiati, M. A N. (2006) A review of groundwater issues in the Bandung Basin, Indonesia: Management and Recommendations. The International Review for Environmental Strategies (IRES) 6(2), http://www.iges.or.jp/en/pub/ires/volume6_2.html. 3. Iwaco-Waseco (1991) Bandung Hydrological Study. Main Report Annex 1: Surface water resources. 4. Soetrisno, S. (1996). Impact of Urban and Industrial Development on Groundwater, Bandung, West Java, Indonesia. Paper presented at the Symposium on Groundwater and Landuse Planning, Fremantle, Western Australia, 16-18 September 1996. 5. Abidin, H.Z., Andreas, H., Gamal, M., Wirakusumah, A.D., Darmawan, D.W., Deguchi, T, dan Maruyama, T. (2008) : Land Subsidence Characteristic of The Bandung Basin, Indonesia, as Estimated From GPS and InSAR, Journal of Applied Geodesy, 2, 167-177. 6. Abidin. H. Z, Gumilar. I, Andreas, H, Sidiq. T. P, Fukuda. (2011). Study on Causes and Impacts of Land Subsidence in Bandung Basin, Indonesia. Paper presented in FIG Working Week 2011, Bridging the Gap Between Cultures, Marrakech, Marocco, 18-22 May 2011. 7. Gumilar I, Abidin HZ, Andreas H, Sidiq TP and Gamal M, and Fukuda, Y. (2013) : Land Subsidence, Groundwater Extraction, and Flooding in Bandung Basin (Indonesia). IAG Symp. 139, Earth on the Edge: Science for a Sustainable Planet, Chris Rizos, Pascal Willis (Eds) . 8. Karabatic, A. (2011). Precise Point Positioning (PPP) – an Alternative Technique for Ground Base GNSS Troposphere Monitoring. Dissertation.TechnisceUniversitat Wien, Vienna. 9. DTLGP. (2004) : Pemantauan Kondisi Airtanah dan Lingkungannya di Daerah Bandung dan Sekitarnya. Laporan Tahunan.

17

10. Hutasoit, L.M. (2009) : Kondisi Muka Airtanah Dengan dan Tanpa Peresapan Buatan Daerah Bandung: Hasil Simulasi Numerik. Jurnal Geologi Indonesia, 4, 1777-188. 11. Wirakusumah, A.D. dan Soehaemi, A. (2012) : Transek Seismotektonik Lajur Sindangbaran-Bandung Purwakarta dan Kegempaan Wilayah Bandung, Journal of Earthquake and Active Tectonics, 1, 19 – 30. 12. Hutasoit, L.M. (2006) : Recharge Area and the Origin of Brackish Water in East Bandung: Result of exploration Well, Proceeding of 9th International symposium on Mineral Exploration (ISME IX), Bandung, Indonesia, 19 – 21 September 2006.

18

Related Documents


More Documents from "Yiyi Sulaeman"