MATA PELATIHAN
PENANGANAN KONLIK PERHUTANAN SOSIAL
Oleh: TIM PENYUSUN MATERI
PELATIHAN PENDAMPINGAN PERHUTANAN SOSIAL KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM BALAI DIKLAT KEHUTANAN PEKANBARU PEKANBARU, MARET 2019
KATA PENGANTAR Bahan ajar ini digunakan sebagai referensi dalam pembelajaran pada Pelatihan Pendampingan Perhutanan Sosial khususnya untuk mata pelatihan Penyusunan Rencana Usaha Perhutanan Sosial. Produk dokumen rencana yang dihasilkan dapat digunakan untuk kebutuhan awal penyusunran rencana kelola perhutanan sosial berupa kegiatan Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa maupun Kemitraan Kehutanan dalam format bentuk Rencan Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT). Selain itu dapat juga digunakan untuk kegiatan Kelompuk Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang mengelola kegiatan dalam izin perhutanan sosial dalam bentuk Rencana Kerja Kelompok (RKK). Bahan ajar dibagi dalam 3 kelompok bahasan yaitu Pemetaan Partisipatif Perhutanan Sosial, Identifikasi Potensi dan Penyusunan RKU /RKT. Dengan tersusunnya bahan ini diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berperan serta didalam penyusunannya. Mudah-mudahan Bahan Ajar ini bermanfaat.
Pekanbaru, Maret 2019 Kepala Balai,
Komaruddin, S.Hut. NIP. 19730501 199403 1 002
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
i
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR........................................................................i DAFTAR ISI...................................................................................i BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................1 A. Latar Belakang............................................................1 B. Maksud dan Tujuan....................................................1 C. Standar Kompetensi....................................................2 D. Indikator Keberhasilan................................................2 BAB II
PENGERTIAN KONFLIK................................................................3 A. Konsep Dasar..............................................................................3 B. Definisi Konflik............................................................................4 C. Jenis Konflik................................................................................5 D. Indikator adanya Konflik.........................................................6 E. Tahapan Berlangsungnya Konflik........................................7
BAB III
PEMETAAN KONFLIK..................................................................8 A. Konsep Dasar Pemetaan Konflik...........................................8 B. Rapid Land Tenurial Assessment (RaTA).........................10 C. Analisis Gaya Bersengketa (AGaTa)...................................16
BAB IV PENYELESAIAN KONFLIK............................................20 A. Negosiasi......................................................................................21 B. Mediasi.........................................................................................22 C. Arbitrasi.......................................................................................22 D. Litigasi..........................................................................................23 E. Fasilitasi......................................................................................23 DAFTAR PUSTAKA.....................................................................24
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
ii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kehidupan manusia dimana terjadi interaksi sosial, timbulnya konflik tidak dapat dihindarkan dan akan selalu ada. Keberadaan konflik yang berkepanjangan akan menciptakan keresahan dalam masyarakat. Konflik juga menciptakan perubahan interaksi di antara pihak-pihak berkonflik yaitu pihak-pihak yang merasa memiliki kepentingan terhadap obyek yang sama. Interaksi ini terkadang-kadang bersifat radikal dan tiba-tiba. Sering muncul ketidakpastian terhadap situasi dan terjadi peningkatan emosi. Konflik tidak boleh dihindari dan dibiarkan berlarut, tetapi harus dikelola dengan baik, harus dihadapi dan ditangani serta diselesaikan dengan baik oleh pihak yang posisinya sebagai pihak yang terlibat di dalam konflik maupun oleh pihak ketiga (intervenor) yang tidak terlibat tetapi berusaha untuk membantu pihak yang terlibat agar keluar dari jebakan konflik itu. Konflik yang ditangani dan dikelola dengan baik dapat menghasilkan keluaran-keluaran yang membangun dan positif. Di sektor kehutanan, sampai dengan saat ini, konflik dalam pengelolaan hutan masih terus terjadi terjadi. Menurut Fuad dan Maskanah (2000), konflik pengelolaan hutan yang paling sering terlihat adalah konflik yang terjadi antara masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, dengan berbagai pihak di luarnya yang dianggap memiliki otoritas dalam mengelola sumberdaya hutan. Begitupula di dalam pelaksanaan program perhutanan sosial, tidak luput dari adanya konflik antara masyarakat dengan pengelola hutan atau pemegang izin dan antara pemegang izin dengan mitranya. Seorang fasilitator yang mendampingi proses perhutanan sosial harus cermat dan jeli melihat fenomena ini untuk kemudian melakukan upaya-upaya membantu mengurangi bahkan menyelesaikan konflik tersebut. Hal yang terpenting bukanlah terjadi atau tidaknya konflik, tetapi bagaimana fasilitator mengajak setiap pihak yang terlibat untuk menghadapi dan mengelola konflik tersebut dengan bijak sehingga dapat diselesaikan dan diarahkan pada terciptanya perubahan yang lebih baik. B. Maksud dan Tujuan Maksud dari pembuatan bahan ajar Manajemen Konflik adalah untuk memperlancar kegiatan pembelajaran di dalam kelas sehingga diharapkan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Sedangkan Tujuannya adalah agar peserta diklat mudah mengerti dan memahami tentang Manajemen Konflik dalam proses pendampingan kegiatan perhutanan sosial.
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
1
C. Standar Kompetensi Setelah selesai mengikuti pembelajaran ini peserta dapat menjelaskan manajemen Konflik dalam pendampingan kegiatan perhutanan sosial. D. Indikator Keberhasilan Setelah selesai mengikuti pembelajaran ini peserta dapat menjelaskan: 1. Pengertian konflik, 2. Pemetaan konflik, 3. Penyelesaian konflik
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
2
BAB II A.
PENGERTIAN KONFLIK
Konsep Dasar Konflik selalu mewarnai kehidupan sosial manusia, mulai dari konflik sangat kecil sampai konflik sangat besar. Konflik ada yang bisa diselesaikan secara tuntas, ada yang setengah tuntas, ada juga yang berlarut-larut tanpa solusi. Konsep penting dan mendasar yang perlu dipahami bahwa potensi konflik selalu hadir atau tidak dapat dihindari dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan dalam kehidupan sosial masyarakat. Adanya perbedaan-perbedaan, dalam kehidupan sosial masyarakat, merupakan suatu keniscayaan. Ketika perbedaanperbedaan itu kemudian dipersoalkan dan dipertentangkan maka terjadilah konflik. Adanya tertib sosial seperti adanya sistem nilai yang disepakati bersama tidak secara otomatis dapat menghilangkan konflik. Oleh karena itu, konflik pasti selalu hadir di dalam sebuah interaksi sosial dengan kadar atau intensitas yang berbedabeda. Perbedaan tersebut dapat diartikan sebagai faktor penyebab terjadinya konflik. Mark Anstey (1997) seorang Mediator Afrika Selatan dan spesialis konflik, menyatakan bahwa konflik timbul saat beberapa fihak percaya aspirasi mereka tidak dapat diraih bersama-sama, atau merasa adanya perbedaan dalam tata nilai, kebutuhan atau kepentingan mereka. Dan sengaja menggunakan kekuasaan mereka dalam usaha saling menyingkirkan atau mengubah untuk melindungi atau mengatakan kepentingan mereka dalam interaksi ini. Secara umum, perbedaan-perbedaan yang memicu timbulnya konflik sosial antara lain: 1. Disparitas individu Setiap individu berbeda dengan yang lainnya dalam banyak hal seperti sifat, sikap, suku, pendirian dan keinginan, kepentingan dan keyakinan/agama. Dalam suatu masyarakat, seringkali terjadi perbedaan pendapat atau perbedaan dalam memandang suatu hal misalnya sikap politik. Tak jarang, perbedaan sikap politik menjadi benih timbulnya konflik sosial dalam masyarakat, perbedaan keyakinan juga merupakan salah satu sumber terjadinya konflik sosial. Konflik sosial yang terjadi karena perbedaan keyakinan tidak hanya terjadi antar umat beragama tetapi juga intraumat beragama. 2. Disparitas kebudayaan Kebudayaan, nilai-nilai serta berbagai norma yang dianut oleh masyarakat tertentu berbeda dengan yang lainnya. Dalam proses interaksi antara dua budaya, tidak jarang menimbulkan gesekan yang berujung pada konflik sosial. Konflik sosial yang berlatar belakang budaya juga tak jarang berakhir dengan kekerasan. Tidak adanya sikap toleransi menjadi salah satu penyebab lunturnya Bhineka Tunggal Ika. PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
3
3. Konflik kepentingan Kepentingan yang dimiliki oleh setiap orang berbeda-beda. Perbedaan dapat membawa ke arah konflik apabila kedua kepentingan ini mengalami benturan. Misalnya demo buruh yang menuntut kenaikan upah kepada pengusaha. Dari sisi buruh, mereka menuntut kenaikan upah untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Namun dari sisi pengusaha, kenaikan upah buruh berarti menambah pengeluaran perusahaan. 4. Adanya perubahan sosial Setelah reformasi bergulir, hampir seluruh tatanan hidup berbangsa dan bernegara mengalami perubahan. Hal ini ditandai dengan Amandemen UUD 1945. Namun, di masing-masing daerah proses perubahan sosial ini tidak sama sehingga menimbulkan konflik sosial.. B.
Definisi Konflik Terdapat banyak definisi konflik, namun pada hakikatnya, konflik merupakan perbedaan yang dipertentangkan atau merupakan bentuk ketidakselarasan dari sebuah interaksi social. Berikut diberikan beberapa definisi konflik dari para pakar. Perbedaan dari definisi-definisi tersebut terletak pada cara pandang terhadap sumber atau factor yang menjadi penyebab konflik. Pengertian konflik, menurut Fisher (2001) adalah hubungan antara dua pihak atau lebih/ individu atau kelompok, yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang berbeda atau tidak sejalan. Sedangkan menurut Soekanto (2006), konflik adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang fihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. Menurut Johnson (dalam Edhar, 2003) bahwa konflik merupakan suatu situasi dimana tindakan salah satu fihak bersifat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan fihak lain. Johnson memberikan gambaran bahwa, konflik dapat menjadikan kita sadar tentang adanya suatu persoalan yang perlu dipecahkan dalam hubungan dengan individu lain. Selanjutnya dikatakan konflik bisa menyadarkan dan mendorong kita untuk melakukan perubahan dalam diri kita dan memecahkan persoalan yang kita tidak sadari. Smith dan Berg (1987) mendefinisikan konflik adalah pertentangan kekuatan yang berlawanan yang meliputi gagasan, sumberdaya, kepentingan, harapan atau motivasi. Menurut Hugh Mill (2002), Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perbedaan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan.
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
4
C.
Jenis Konflik Terjadi perbedaan tinjauan dari para ahli mengenai jenis konflik. Perbedaan ini disebabkan sudut pandang atau titik tolak pengkajian mengenai konflik tersebut berbeda-beda, yang dilatarbelakangi oleh bidang keilmuwan yang berbeda-beda dari masing-masing pakar tersebut. Berikut diberikan beberapa jenis konflik berasarkan pandangan dari beberapa pakar, yaitu: Pada dasarnya konflik sosial dapat dibagi menjadi dua jenis ( Surata dan Taufik, 2001), yaitu: 1. Konflik Sosial Vertikal Konflik yang terjadi antara masyarakat dan negara. 2. Konflik Sosial Horizontal Konflik sosial horizontal, yaitu konflik yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat interaksi-interaksi sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Konflik horizantal ini dapat terjadi antar individu dalam kelompok, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok bahkan secara lebih luas antar negara. Konflik horizantal ini terwujud dalam bentuk konflik antaretnis, suku, golongan (agama) atau antar kelompok masyarakat (antarkampung, antarpemuda dan lain-lain). Konflik horizontal, khususnya antar etnik, terjadi bisa disebabkan karena adanya kecemburuan sosial. Konflik vertikal maupun horisontal tersebut kemudian dapat dijabarkan dari berbagai sudut pandang. Soetrisno (2003), menyebutkan bahwa terdapat dua jenis konflik berdasarkan sifatnya, yaitu:. 1. Konflik yang bersifat destruktif /disfungsional Konflik yang dipicu oleh rasa kebencian yang tumbuh didalam diri individu atau kelompok yang masing terlibat konflik. Munculnya rasa kebencian itu disebabkan berbagai hal. Salah satu sebab adalah adanya kecemburuan sosial. Konflik ini biasanya mengarah pada anarkisme. 2. Konflik yang fungsional Konflik yang menghasilkan suatu perubahan atau konsensus/kesepakatan baru yang berakhir pada perbaikan. Konflik ini biasanya disebabkan hanya karena adanya perbedaan pendapat dalam memandang suatu masalah yang sama-sama dihadapi. Menurut Mastenbroek (1982) bahwa berdasarkan penyebabnya atau terjadinya, konflik dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu : 1. Konflik instrumental Yang merupakan masalah dalam konflik ini adalah tujuan-tujuan dan cara-cara juga penentuan struktur dan prosedur-prosedur dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Konflik ini tidak bersifat pribadi dan mengarah pada tugas, namun dapat mempunyai banyak bentuk: prioritas-prioritas yang tak jelas atau priotas-priotas yang PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
5
tidak hanya cukup dengan mufakat saja, salah pengertian, penggunaan bahasa yang berbeda, kemampuan berkomunikasi yang minim, adanya prosedur-prosedur yang tak memadai dalam menangani masalah-asalah, kurangnya saling bertukar pendapat dan saling menyesuaikan diri. 2. Konflik sosial emosional Konflik ini muncul jika identitas diri menjadi masalah. Konflik ini berkaitan dengan citra diri yang dimiliki seseorang, prasangka, masalah kepercayaan, dan cara menangani hubungan-hubungan pribadi. 3. Konflik kepentingan Konflik ini berhubungan dengan penyelamatan atau penguatan posisi individu dengan cara menuntut posisi yang layak yang sesuai dengan potensi atau kemampuan yang dimiliki. Kelly (dalam Koehler et al, 1976) membagi konflik, bedasarkan jumlah aktor yang terlibat, menjadi empat tingkatan: 1. Konflik dalam Individu Konflik yang diakibatkan oleh rasa frustasi dan agresi perorangan. 2. Konflik dalam Kelompok Konflik yang terjadi dikarenakan adanya perbedaan sistem nilai dan ketidakpuasan terhadap pemenuhan kebutuhan. 3. Konflik dalam organisasi Berhubungan dengan pembagian kekuasaan dan penghargaan yang tidak seimbang pada tiap level struktural dan pada pengelolaan fungsifungsi organisasi tersebut. 4. Konflik dalam masyarakat Dikarenakan adanya ketidakadilan antar kelas sosial dan antar kelompok etnis. D.
Indikator adanya Konflik Wijono (1990) menjelaskan bahwa terdapat beberapa indicator yang menandai adanya konflik dalam suatu hubungan manusia, antara lain: 1. Adanya ketidakpuasan dari masyarakat atau anggota-anggota dalam kelompok. Hal ini ditandai dengan adanya keresahan yang disertai dengan emosi seperti kritik, komentar dan saran ketidakpuasan dengan intensitas emosi mulai dari emosi rendah sampai dengan penuh emosi. 2. Muncul ketidakpercayaan terhadap gagasan atau program pembangunan sehingga terjadi penyerangan terhadap gagasan atau ide dari program tersebut. 3. Terjadi suasana saling menuduh antara pihak-pihak yang bekepentingan bahwa mereka tidak memahami masalah yang sebenarnya. Terjadi kubu beroposisi dan menolak untuk kompromi.
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
6
4. Munculnya isu yang berkembang yang pada intinya menjelekan dan menyerang salah satu pihak yang berkepentingan atau saling menjelekkan dan saling menyerang. E.
Tahapan Berlangsungnya Konflik Kemunculan konflik bukanlah merupakan peristiwa yang ”spontan”. Konflik, pada umumnya, timbul melalui sebuah proses atau tahapan. Tahapan ini bergerak menurut tingkatan atau intensitas. Pada umumnya konflik berlangsung dalam lima tahap, yaitu tahap potensial, konflik terasakan, pertenangan, konflik terbuka, dan akibat konflik. 1. Tahap Potensial, yaitu munculnya perbedaan di antara individu, organisasi, dan lingkunan merupakan potensi terjadinya konflik; 2. Konflik Terasakan, yaitu kondisi ketika perbedaan yang muncul dirasakan oleh individu, dan mereka mulai memikirkannya; 3. Pertentangan, yaitu ketika konflik berkembang menjadi perbedaan pendapat di antara individu atau kelompok yang saling bertentangan; 4. Konflik Terbuka, yaitu tahapan ketika pertentangan berkembang menjadi permusuhan secara terbuka; 5. Akibat Konflik, yaitu tahapan ketika konflik menimbulkan dampak terhadap kehidupan dan kinerja organisasi. Jika konflik terkelola dengan baik, maka akan menimbulkan keuntungan, seperti tukar pikiran, ide dan menimbulkan kreativitas. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik, dan melampaui batas, maka akan menimbulkan kerugian seperti saling permusuhan.
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
7
BAB III
PEMETAAN KONFLIK
A. Konsep Dasar Pemetaan Konflik Konflik tidak boleh dihindari dan dibiarkan berlarut, tetapi harus dihadapi, ditangani dan dikelola serta diselesaikan dengan baik oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam situasi konflik maupun oleh pihak ketiga yang tidak terlibat tetapi berusaha untuk membantu pihak yang terlibat agar keluar dari jebakan konflik itu. Dalam usaha menangani konflik ini (apapun wujud strategi yang akan dipilih dan tindakan yang akan diambil) diperlukan langkah-langkah pendahuluan (initial stage) yang harus dilakukan sebelum penentuan strategi dan pengambilan tindakan yang berkait dengan konflik tersebut. Pemetaan konflik merupakan langkah pertama (initial stage) dari serangkaian langkah atau tahapan dalam pengelolaan konflik. Pemetaan konflik adalah salah satu alat-alat penting yang akan memberikan pemahaman berkaitan dengan kejelasan dan struktur dari situasi konflik yang terjadi. Pemetaan konflik akan memberikan gambaran awal mengenai berbagai sikap, perilaku dan situasi yang berkembang dalam dinamika konflik. Pemetaan konflik akan membantu untuk menavigasi riak-riak konflik ke arah yang konstruktif, efisien dan lebih terkendali. Tanpa pemahaman awal yang menjadi pondasi penyelesaian konflik, seringkali keputusan dalam rangka penyelesaian konflik ditetapkan secara kurang bijak bahkan terjadi pengorbanan (biaya, waktu, tenaga) yang tinggi. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat konflik atau yang peduli terhadap penyelesaian konflik harus memiliki pemahaman sejelas dan sedetail mungkin tentang apa yang sedang terjadi. Pihak-pihak tersebut harus terlebih dahulu melakukan pemetaan terhadap konflik tersebut. Perlu disadari bahwa konflik adalah sebuah proses sosial yang berubah terus menerus. Karenanya, pemetaan konflik juga harus dilakukan berulangulang. Secara operasional, pemetaan konflik merupakan salah satu teknik dari sederetan teknik dan alat yang sangat membantu dalam menganalisa dan memecahkan konflik. Pemetaan konflik membuat para pihak yang berkonflik maupun interventor (yang melakukan intervensi– dalam arti positif mediator, dalam arti negatif provokator) mendapatkan pemahaman yang lebih jelas mengenai akar konflik, nature (sifat) dan dinamika konflik serta berbagai kemungkinan untuk mengakhiri atau memperpanjang konflik. Melalui pemetaan konflik maka dapat diketahui secara lebih mudah dan akurat hal-hal sebagai berikut : 1. Latar belakang dan sejarah situasi konflik dan peristiwa (konflik) terkini. 2. Semua kelompok atau pihak relevan yang terlibat dalam konflik, tidak hanya pihak yang utama atau yang jelas yang terlibat konflik. Semakin PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
8
banyak pihak (baik individu maupun kelompok) yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu konflik, maka semakin kompleks suatu konflik untuk ditangani. 3. Perspektif dari semua kelompok atau pihak tersebut dan untuk mengetahui lebih luas tentang bagaimana relasi mereka satu sama lain. Konsekuensinya, pihak ketiga yang bermaksud membantu menangani konflik dapat memperoleh pemahaman terhadap konflik dari perspektif pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. 4. Faktor-faktor dan kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dan berkembang yang selama konflik berlangsung. Konflik pada umumnya bersifat berlapis, baik dari segi pihak yang terlibat, penyebabnya, maupun faktor-faktor lain yang terkait dengan konflik yang terjadi. 5. Kegagalan dan kesuksesan penanganan konflik yang pernah dilakukan. Pemetaan konflik bukan tool yang sekali pakai selesai. Darinya, para praktisi yang menangani konflik dapat banyak belajar, baik yang berupa kesuksesan maupun kegagalan. Sikap ini akan melahirkan kehati-hatian dalam proses penangan konflik dan menjauhkan diri dari sikap gegabah dalam memandang dan memahami konflik. Salah satu model sederhana dalam menganalisis konflik, dimana di dalamnya terdapat kegiatan pemetaan konflik, adalah model SIPABIO. Model ini dikembangkan oleh Amr Abdalla, seorang sosiolog dari United Nations-University for Peace. SIPABIO merupakan singkatan dari Source, Issue, Parties, Attitude Behaviour, Intervetion, dan Outcome. Penjelasan masing-masing elemen dari SIPABIO tersebut adalah sebagai berikut: a. Source (sumber konflik). Konflik disebabkan oleh sumber – sumber yang berbeda sehingga melahirkan tipe – tipe konflik yang berbeda. Jika kita kembali pada analisis sosiologi konflik, berbagai sumber konflik tersebut bisa muncul dari model hubungan sosial, nilai –nilai seperti identitas dan agama dan dominasi structural. b. Issues (isu-isu). Isu menunjuk pada saling keterkaitan tujuan – tujuan yang tidak sejalan di antara pihak bertikai. Isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang tidak teridentifikasi tentang sumber – sember konflik. c. Parties (pihak). Pihak berkonflik adalah kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak konflk utama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan kepentingan konflik. Pihak tersier ini yang sering dijadikan sebagai pihak netral untuk mengintervensi konflik. d. Attitudes /felling (sikap). Sikap adalah perasaan dan persepsi yang mempengaruhi pola perilaku konflik. Sikap bisa muncul dalam bentuk yang positif dan negatif bagi konflik. PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
9
e. Behavior (perilaku/tindakan). Perilaku adalah aspek tindak sosial dari pihak berkonflik, baik muncul dalam bentuk coercive action dan noncoercive action. f. Intervention (campur tangan pihak lain). Intervesi adalah tindakan sosial dari pihak netral yang ditujukan untuk membantu hubungan konflik menemukan penyelesaian. g. Outcome (hasil akhir). Outcome adalah dampak dari berbagai tindakan pihak-pihak berkonflik dalam bentuk situasi[. B. Rapid Land Tenurial Assessment (RaTA) Konflik kepemilikan lahan merupakan hasil dari persaingan perebutan kekuasaan, ideologi dan sejarah lokal, yang mengakibatkan terjadinya pola ketidakmerataan yang terus berubah. Dalam rangka menjawab konflik tersebut, diperlukan pengaturan kepemilikan lahan secara tepat dalam pengelolaan sumber daya hutan bagi terwujudnya pengelolaan hutan lestari. Galudra dkk (2013) menyatakan pentingnya penilaian kepemilikan lahan sebagai bagian dari analisis atas konfliknya. Penilaian kepemilikan lahan dibutuhkan bukan hanya untuk mengetahui penyebab sesungguhnya dari konflik yang terjadi, tetapi juga dibutuhkan untuk menjalankan program yang ditujukan untuk membantu komunitas lokal untuk mewujudkan penataan sumber daya hutan dengan lebih baik. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian atas kepemilikan lahan yang disengketakan adalah RaTA. RaTA adalah pendekatan sistematis untuk memahami kompleksitas berbagai status kepemilikan lahan para pihak, kepentingan dan klaim para pihak, dan hak dan kekuatan para pihak untuk menjustifikasi klaim dan konflik yg diciptakan. Galudra dkk (2013) menyatakan bahwa RaTA merupakan initial stage dan lebih bersifat recognisance study, yaitu sebuah kegiatan penelitian pendahuluan untuk menegaskan bahwa konflik sistem kepemilikan lahan telah terjadi di lokasi tertentu dan berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Terdapat 5 (lima) tujuan yang perlu dicapai dalam aimplementasi RaTa, diantaranya pemahaman umum tentang tanah dan konflik, analisis pemangku kepentingan, berbagai bentuk dari klaim historis dan legal, keterkaitan dari klaim ini dengan kebijakan dan (adat) hukum pertanahan, dan mekanisme dari penyelesaian konflik lihat Tabel berikut.
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
10
No. Tujuan Pertanyaan 1. Menggambarkan keterkaitan Kapankah konflik tanah ini muncul? Bagaimanakah konflik tanah ini umum dari tanah dan terjadi? konflik terhadap keadaan Dapatkah anda gambarkan faktor tertentu; politik, ekonomi, pemicu yang menyebabkan konflik lingkungan, dsbnya. tanah? 2. Mengidentifikasi dan Aktor manakah yang terlibat menganalisis langsung atau mempengaruhi pihak pemangku kepentingan lain dalam konflik ini? Bagaimana pihak yang berkepentingan berkompetisi, berinteraksi dan berhubungan satu sama lain? 3. Mengidentifikasi berbagai Jenis bukti seperti apa yang mereka bentuk gunakan atau pertimbangkan dari klaim historis dan legal sebagai hal yang dapat diterima oleh untuk membuktikan sebagai klaim? Apakah mereka percaya bahwa pemangku kepentingan. kepentingan dan hak atas tanah mereka dapat dilakukan? Apakah mereka mengetahui lembaga/organisasi legal yang melindungi kepentingan mereka? 4. Mengidentifikasi dan Apa hukum (adat) resmi dan rezim menganalisis kebijakan mengenai perihal hubungan antara berbagai pertanahan dan penguasaan? Apakah pemegang hak memiliki klaim dukungan dari kebijakan yang ada? terhadap kebijakan dan Apakah ada kebijakan dan hukum adat perundang-undangan yang tumpang pertanahan tindih? 5. Mengartikan pilihan Apakah ada kebijakan untuk kebijakan/ intervensi untuk mengelola atau menyelesaikan mekanisme penyelesaian perselisihan tanah? Jenis penyelesaian konflik apa yang konflik perlu disampaikan? Intervensi tingkat apa yang diperlukan?
B.1. Bagaimana Rata Menganalisis PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
11
Dalam menganalisis data dan informasi yang sudah dihimpun, RaTA membagi atas tiga bagian yaitu : 1. Seberapa pasti masyarakat memiliki hak-hak atas tanah-tanah tersebut? 2. Seberapa pasti pemerintah atau pihak lain memiliki hak-hak atas tanah-tanah tersebut? 3. Kebijakan-kebijakan apa saja yang mengakui atau memperkuat klaim-klaim masyarakat atas tanah-tanah tersebut, namun di lain pihak mengakui atau memperkuat klaim-klaim pemerintah atau pihak lain atas tanah-tanah tersebut? Adakah bentuk kebijakan-kebijakan yang memungkinkan hak-hak masyarakat dan hak-hak pemerintah dapat saling terintegrasi? Ketiga bagian tersebut merupakan kerangka analisis bagi RaTA. Penyajian ini sengaja difokuskan pada sistem penguasaan tanah dan aturan-aturan pengelolaan sumber daya alam. Selain menjelaskan hak-hak penguasaan masyarakat dan pemerintah atau pihak lain atas tanah, bentuk kerangka ini juga berusaha menganalisis hubungan di antara kedua hak-hak penguasaan tersebut apakah ia saling bersinerji atau saling bertolakan (antagonis). B.2. Tahapan Pelaksanaan RaTA Terdapat 6 tahapan pelaksanaan RaTA, yaitu : 1. Menentukan dan memetakan tempat potensial Tahap awal dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis data sekunder. Pertanyaan yang hendak dijawab pada langkah pertama ini adalah adakah daerah yang sedang diamati itu sedang mengalami persengketaan atau tidak, atau adakah daerah itu berpotensi untuk mengalami konflik. Informasi semacam itu bisa didapatkan dari berbagai situs web, koran,laporan resmi, televisi, dll. Beberapa sumber alternatif yang bisa dipertimbangkan adalah wawancara misalnya dengan LSM setempat, pejabat pemerintah atau laporan yang tidak dipublikasikan oleh pemerintah. Langkah selanjutnya adalah memastikan jenis penggunaan tanah yang dikaitkan dengan klaim sengketa. Langkah itu juga menentukan penggunaan tanah yang berlawanan itu dan sumber daya apa yang diperebutkan. Langkah itu juga menentukan jenis sistem penguasaan tanahnya. Terlebih, dalam RaTA, analisis spasial dan pemetaan partisipatif bisa digunakan untuk menentukan sengketa penggunaan tanah itu dan sumber daya yang diperebutkan. Bagaimanapun, pemetaan partisipatif bermanfaat untuk memahami definisi setempat tentang jenis penggunaan tanah dan lembaga yang terkait dengan penggunaan tanah dan PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
12
penggunaan sumber dayanya. Karenanya, dalam RaTA, kedua pendekatan itu digunakan. 2. Dimensi klaim sengketa Pembicaraan tentang aspek klaim sengketa meliputi pembahasan tetang dimensi apa yang diperebutkan oleh klaimklaim yang bersengketa itu dan bobot relatif yang diberikan oleh tiap aktor kepada apa yang diperebutkanitu. Aspek selanjutnya tidak hanya didasarkan pada kepentingan para aktor, tetapi juga terkait dengan perasaan dan persepsi mereka. Parameter dimensi dan parameter intensitas itu harus dijelaskan. Semakin besar jumlah aktor yang terlibat dan semakin besar terjadinya kekerasan, maka semakin besarlah apa yang diperebutkan di situ. Dimensi lain yang harus dipertimbangkan adalah hubungan di antara pihak-pihak yang bertikai itu. Ketika pihak-pihak yang berkonflik itu memang saling mencurigai dan bermusuhan satu sama lain, maka sengketa klaim mereka pun bisa menjadi sengit. Sejarah klaim sengketa (lama dan seberapa seringnya) dan proses pemecahannya harus juga diperhitungkan.
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
13
3. Analisis aktor Analisis aktor dalam RaTA menggunakan dan mengikutkan beberapa pendekatan teoretis. Analisis kekuasaan pemangku kepentingan (stakeholders analysis) yang dikembangkan oleh Mayer merupakan sebuah alat yang membantu kita memahami bagaimana orang mempengaruhi kebijakan dan institusi, dan bagaimana kebijakan dan lembaga berdampak pada orang. Perubahan dalam hubungan di antara para aktor itu adalah faktor utama yang menyebabkan terjadinya konflik. Kebijakan dan lembaga biasanya membentuk dan seringkali menentukan hubungan di antara para aktor. Karenanya, Tahapan ini tidak hanya dijalankan untuk mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam klaim sengketa, tetapi juga untuk menimbang kekuataan PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
14
para aktor dengan cara memahami kebijakan, lembaga dan proses yang membentuk dan menentukan hubungan kekuasaan di antara para aktor yang bersengketa. Di sini para aktor harus diidentifikasi dengan hati-hati, meneliti lebih jauh dalam menyebut mereka sebagai subjek konflik dan subyek kepentingan dan legitimasi. 4. Penilaian Penilaian merupakan tahapan untuk mengetahui perspektif para aktor terkait klaim sengketa atas sumber daya alam itu. Hal itu dilakukan dengan melakukan sebuah penilaian atas klaim itu oleh masyarakat, baik sebagai individu dan kelompok, dan penilaian atas pemerintah, dengan pertimbangan bahwa RaTA bukanlah alat penilaian yang murni “ilmiah” dan “legal”; namun RaTA secara luas menggunakan “legalitas yang dipikirkan warga negara” dan pengetahuan para aktor setempat. Hal itu didasarkan pada pendapat bahwa klaim tanah yang bersengketa itu terjadi karena banyak aktor memiliki persepsi berbeda tentang hak tanah “legal” dan memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang kebijakan terkait tanah. 5. Studi Kebijakan Analisis kebijakan membutuhkan pemahaman tentang apa yang terlihat jelas dan apa yang tersembunyi. Kebijakan yang jelas terlihat bisa saja itu menghadirkan keadilan, kesejahteraan rakyat, sementara kebijakan yang tersembunyi mengandung hukum tersembunyi dalam beberapa kebijakan tertentu. Hal itu bisa terjadi dengan berbagai cara. a. Dalam praktiknya kebijakan bisa berubah substansinya akibat implementasi berbeda yang dilakukan oleh agensi. b. Kebijakan dilihat secara sistematis dan kolektif dengan cara tertentu oleh yang menjadi sasaran kebijakan itu. c. Aksi pemerintah bisa terikat pada bermacam kepentingan Sebuah pemeriksaan dokumen kebijakan penting bisa meliputi : a. Mengumpulkan dokumen kebijakan yang terkait dengan akses hutan, hak dan orang b. Mengelompokkan isi dokumen itu yang terkait dengan tujuan analisis c. Menggarisbawahi inkonsistensi, keterkaitan dan tumpang tindih yang ada di antara dokumen-dokumen itu d. Membandingkan dokumen itu dengan kedudukankelompok pemangku kepentingan atas klaim tanah e. Mencatat tiap konflik yang disebabkan oleh dokumen-dokumen itu f. Mengidentifikasi mekanisme yang bisa digunakan untuk menghadirkan dialog di antara para pemangku kepentingan itu untuk mewujudkan perdamaian. PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
15
6. Pilihan Kebijakan Langkah terakhir dalam RaTA adalah menentukan manakah di antara bermacam kebijakan alternatif itu yang paling bisa mencapai tujuan-tujuan yang ada dengan mempertimbangkan hubungan antara kebijakan dan klaim-klaim yang saling bersengketa itu. Langkah ini berusaha untuk membuat keputusan alternatif yang bisa digunakan untuk mendamaikan klaim-klaim yang bersengketa itu. Reformasi regulasi dan reformasi kebijakan yang tepat seringkali harus dilakukan untuk mencegah terjadinya sengketa klaim tanah terus-menerus. Persengketaan yang melibatkan beberapa hak legal yang saling berbenturan itu bisa saja membutuhkan proses pengadilan agar bisa dipecahkan secara efektif. Dalam beberapa konteks, pengadilan sengketa tanah terbukti sangat membantu memecahkan sengketa tanah. Di pihak lain, pengalaman pun menunjukkan bahwa berbagai sengketa tanah lebih baik diselesaikan di luar pengadilan. Pengadilan memiliki kapasitas terbatas untuk memproses sengketa tanah secara efisien dan transparan. Cara terbaik untuk menyelesaikan sengketa tanah adalah memperbesar dan melindungi kepastian penguasaan tanah. C. Analisis Gaya Bersengketa (AGaTa) Sering terjadi beberapa pihak mengaku (klaim) menguasai suatu obyek yang sama. Atas dasar legitimasi yang diyakini oleh masingmasing pihak, setiap pihak melakukan tindakan yang membatasi pihak lainnya melakukan hal-hal tertentu berkenaan dengan obyek tersebut, dan disinilah sengketa/konflik mulai terjadi. Pada beberapa kasus, tidak jarang pembatasan menjadi tindakan mengeleminasi kepentingan dan entitas pihak lain. Sengketa akan semakin rumit dan desktruktif jika salah satu pihak tidak mengakui penguasaan pihak lain dan melakukan tindakan-tindakan pembatasan dan legitimasi dengan cara kekerasan. Dalam sengketa, tidak ada dua pihak yang memiliki harapan dan keinginan yang sama persis karena sengketa adalah bagian alami dari interaksi suatu pihak dengan pihak lain. Bagaimana suatu pihak bereaksi atas perbedaannya disebut gaya bersengketa. Gaya bersengketa ini dipengaruhi oleh kombinasi antara dimensi mementingkan diri sendiri (assertiveness) dan dimensi untuk menerima kepentingan pihak lain (cooperartive). Kobinasi dua dimensi tersebut tersebut menghasilkan 5 (lima) gaya tanggapan konflik.
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
16
1. Pengabaian (Penghindaran) Ciri utama gaya ini adalah perilaku yang tidak asertif dan pasif. Biasanya mereka mengalihkan perhatian dari konflik atau justru menghindari konflik. Individu menjadi tidak peduli dengan permasalahan dan cederung melihat konflik sebagai sesuatu yang merugikan dan membahayakan dirinya maka harus dihindari. Konflik dinilai akan menindas atau menciptakan konflik yang berkepanjangan dan merugikan dirinya. 2. Akomodasi Ditandai dengan perilaku non asertif namun kooperatif. Individu cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Suatu tindakan untuk meredakan tekanan pihak lain dengan cara menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Tindakan ini lazim diambil oleh pihak yang lebih lemah dalam situasi konflik. Dengan kata lain pihak yang PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
17
bersangkutan kalah sedangkan pihak lain menang. Ini berarti pihak yang bersangkutan berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. 3. Kompetisi (Menang/Kalah)-Agitasi Pada gaya kompetitif, individu cenderung agresif dan sulit untuk bekerjasama, menggunakan kekuasaan untuk melakukan konfrontasi secara langsung; dan berusaha untuk menang tanpa ada keinginan untuk menyesuaikan tujuan dan keinginannya dengan orang lain. Tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk memuaskan kepentingannya tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kepentingan pihak lain, dengan kata lain satu pihak memastikan bahwa dia yang memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Keputusan berkompetisi ini lazimnya muncul jika: (a) pihak yang bersangkutan menilai bahwa dirinya memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan kompetisi. (b) pihak yang bersangkutan menilai bahwa pihak lain akan bersikap sama dengan dirinya. Pihak yang bersangkutan menggunakan kekuasaan atau pengaruhnya untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut ia yang keluar sebagai pemenang. Seperti yang digambarkan pada grafik, gaya kompetitif lebih memperhatikan diri sendiri daripada orang lain. 4. Kolaborasi (Penyelesaian Masalah) Individu dengan collaborative style memiliki sikap asertif dan perhatian terhadap orang lain. Tindakan yang diambil oleh semua pihak yang berkonflik untuk menghasilkan tindakan yang memuaskan semua pihak yang terlibat. Tindakan kolaborasi dilakukan melalui proses klarifikasi perbedaan dan bukan sekedar mengakomodasi kepentingan. Kolaborasi merupakan tindakan: “menang-menang”. Dengan demikian, tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Orang dengan collaborative style bersedia menghabiskan waktu banyak untuk menyelesaikan konflik dengan tuntas. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. 5. Kompromi Tindakan bersama yang bersifat mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Dalam tindakan ini, tidak jelas siapa yang menang dan siapa yang kalah. Gaya kompromi lebih terbuka dibandingkan dengan avoidance, tetapi masalah yang terungkap tidak sebanyak gaya kolaborasi. Yang membedakan antara gaya kompromi dengan gaya kolaborasi adalah waktu. Waktu yang dibutuhkan gaya kompromi untuk menyelesaikan konflik lebih sedikit, namun solusi yang PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
18
dihasilkan bisa jadi bukan solusi yang terbaik untuk semua pihak. Dalam tindakan kompromi kepuasan yang sejati biasanya tidak tercapai. Gaya bersengketa, sebagaimana diuraikan di atas, yang dimanifestasikan oleh pihak-pihak yang berkonflik sangat menentukan dalam menetapkan pendekatan apa yang paling memungkinkan dilakukan dalam rangka pengelolaan dan penanganan konflik. Oleh karena itu, idealnya seorang pemeta konflik harus mampu memetakan gaya-gaya bersengketa dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Untuk mengetahui gaya bersengketa para pihak yang berkonflik perlu dilakukan analisis. Instrumen AGATA merupakan suatu alat analisis sederhana yang dirancang oleh Thomas Kilmann (1974) untuk mengukur perilaku/gaya berkonflik pihak dalam situasi sengketa. Instrumen AGATA berupa daftar pertanyaan yang diberi skor. Terdapat 25 pertanyaan yang didesain untuk mengukur kelima gaya bersengketa. Oleh Gamal Pasya instrument AGATA dikemas kedalam bentuk EXCEL sehingga menjadi lebih sederhana dalam penggunaannya. AGaTa dapat digunakan untuk membantu menentukan apakah situasi dan kondisi para pihak yang bersengketa siap untuk dipertemukan dalam ajang perundingan penyelesaian konflik.
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
19
BAB IV PENYELESAIAN KONFLIK Penyelesaian konflik adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan atau menghilangkan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Penyelesaian konflik terkait tenurial tidak bisa ditangani oleh pemerintah saja tapi harus didukung oleh semua pihak, tanpa kerja sama semua pihak penyelesaian konflik bisa menjadi semacam impian saja. Artinya, konflik tenurial harus diselesaikan dengan partisipasi aktif dari para pihak. Penyelesaian konflik diperlukan untuk mencegah: 1. semakin mendalamnya konflik, yang berarti semakin tajamnya perbedaan antara pihak-pihak yang berkonflik 2. semakin meluasnya konflik, yang berarti semakin banyaknya jumlah peserta masing-masing pihak yang berkonflik yang berakibat konflik semakin mendalam dan meluas, bahkan menimbulkan disintergrasi masyarakat yang dapat menghasilkan dua kelompok masyarakat yang terpisah dan bermusuhan. Seorang pendamping perhutanan sosial dapat berperan dalam mencermati dan membantu menyelesaikan konflik di wilayah kerjanya. Berdasarkan hasil analisis gaya bersengketa para pihak yang berkonflik, terdapat berbagai pilihan penyelesaian konflik. Alur pengambilan keputusan dalam menawarkan cara penyelesaian konflik (menggunakan hasil AGaTa) dapat dilihat pada gambar berikut:
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
20
A. Negosiasi Negosiasi adalah proses tawar menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang bersengketa. Yang harus diperhatikan bagi para pihak yang melakukan perundingan secara negosiasi harus mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan dengan damai. Artinya, negosiasi bukan berarti harus mengalah namun juga bukan harus menang dengan mengalahkan pihak lain. Negosiasi adalah kesediaan dan kemampuan untuk mencari berbagai alternatif secara kreatif untuk menemukan solusi. Pembentukan kesepakatan antara pihak-pihak yang memiliki pandangan dan kepentingan berbeda bukan hal yang mudah sehingga negosiasi tidak selalu bisa berjalan dengan lancar. Dalam proses pelaksanaan negosiasi dikenal sebuah istilah deadlock atau kebuntuan bilamana kedua pihak tidak dapat menghasilkan solusi yang memberi kepuasan sehingga sulit untuk menghasilkan kesepakatan. Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya peran mediasi terhadap negosiasi. Sama seperti PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
21
negosiasi, mediasi menekankan pada penyelesaian konflik atau perbedaan antara pihak-pihak yang bersengketa. Dalam hal ini mediasi dapat berfungsi sebagai solusi yang efektif untuk menghindari kemungkinan adanya konflik yang lebih besar akibat situasi deadlock. B. Mediasi Mediasi berasal dari kata Latin mediatio adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga yang netral dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat melalui perundingan atau cara mufakat. Kedudukan pihak ketiga hanya sebagai penasihat dan tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan-keputusan penyelesaian perselisihan tersebut. Pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi mengandung unsur-unsur : a. merupakan sebuah proses menjembatani penyelesaian sengketa melalui perundingan berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak. b. mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan. c. Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian. d. tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa. Tugas utama mediator adalah sebagai fasilitator dan menemukan dan merumuskan persamaan pendapat. Namun, jika dengan cara mediasi tidak menghasilkan suatu putusan dia antara para pihak maka masingmasing pihak boleh menempuh cara penyelesaian lain, seperti melalui pengadilan, arbitrase. C. Arbitrasi Arbitrasi berasal dari kata Latin arbitrare mempunyai makna yaitu suatu kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang didasarkan pada suatu atau tidak bertentangan kebijakan yang berlaku. Arbitrasi umumnya dilakukan apabila kedua belah pihak yang berkonflik tidak mampu mencapai sendiri penyelesaian konflik. Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipi!ih oleh kedua belah pihak atau oleh suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi dari pihak-pihak yang bertentangan. Dengan kata lain, kedua pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang impasial (tidak memihak) dan netral yang akan memberikan keputusan terbaik untuk menyelesaikan konflik. Arbitrasi merupakan salah satu cara penyelesaian perselisihan atau sengketa yang PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
22
dilakukan di luar sistem peradilan umum yang berlaku di dalam suatu negara atau wilayah. D. Litigasi Litigasi adalah proses dimana pihak yang berkonflik membawa sengketa, kasus ke jalur pengadilan atau upaya penyelesaian berupa gugatan/tuntutan secara hukum. Litigasi digunakan sebagai jalan terakhir terutama ketika sengketa atau keluhan tidak bisa diselesaikan dengan cara lain. Gugatan adalah suatu tindakan yang dibawa ke pengadilan di mana pihak yang menggugat, pihak yang mengklaim telah mengalami kerugian sebagai akibat dari tindakan pihak lain, menuntut upaya hukum atau adil. Pihak yang dianggap melakukan kerugian diperlukan di pengadilan untuk menanggapi keluhan penggugat. Jika penggugat berhasil, penilaian akan diberikan dalam mendukung penggugat, dan berbagai perintah pengadilan mungkin dikeluarkan untuk menegakkan hak, kerusakan penghargaan, atau memberlakukan perintah sementara atau permanen untuk mencegah atau memaksa tindakan. E. Fasilitasi Fasilitasi berasalal dari kata Latin Fasilis yang artinya mempermudah atau membantu memudahkan berlangsungnya sebuah proses. Fasilitasi dalam penyelesaian konflik mengandung pengertian sebuah proses dalam membantu atau memudahkan pihak-pihak yang berkonflik mencari dan membuat keputusan bersama untuk menyelesaiakan konflik. Seorang fasilitator adalah seseorang yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berkonflik, secara substantif berdiri netral, dan tidak punya otoritas mengambil kebijakan/keputusan, melakukan intervensi untuk membantu pihak yang berkonflik memperbaiki cara-cara mengidentifikasi dan menyelesaikan konflik. Intervensi berarti masuk ke wilayah konflik yang sedang terjadi dalam rangka membantu pihak yang berkonflik meningkatkan efektivitas upaya penyelesaian konflik.
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
23
DAFTAR PUSTAKA Dalmases LC. 2014. Mapping Conflict: Theory and Metodology, Practical application in Juvenile Justice. Barcelona: Department de Justicia Fisher S et al . 2001 . Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak (edisi Bahasa Indonesia). Jakarta: SMK Grafika Desa Putra. Fuad FH, Maskanah S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Putaka LATIN. Galudra G, dkk. 2013. RaTA: Manual Penilaian Cepat Konflik Pertanahan. Yogyakarta: STPN Press. Marshall E.M. 1995. Transformating the Way We Work: The Power of the Collaborative Workplace. Newyork: American Managemen Association. Mastenbroek WFG . 1986 . Penanganan Konflik dan Pertumbuhan Organisasi. Jakarta: UI Press. Mill H. et.al. 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konlik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, terj. Tri Budhi Sastrio. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Pasya G, Sirait MT. 2011. Analisis Gaya Bersengketa-AGATA. Panduang Ringkas untuk Membantu Memilih Bentuk Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Alam. Bogor: Samdhana Institue. Sarwono SW. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan Jakarta: Balai Pustaka Soekanto S . 2006 . Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
PELATIHAN PENDAMPING PS Tahun 2019 Halaman
24