BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Klasifikasi Tanah Sistem klasifikasi tanah adalah suatu system pengaturan beberapa jenis tanah
yang berbeda-beda tetapi mempunyai sifat yang serupa kedalam kelompokkelompok berdasarkan pemakaiannya. Sistem klasifikasi memberikan suatu bahasa yang mudah untuk menjelaskan secara singkat sifat-sifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan yang terinci. Sebagian besar sistem klasifikasi tanah yang telah dikembangkan untuk tujuan rekayasa didasarkan pada sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti distribusi ukuran butiran dan plastisitas. Walaupun saat ini terdapat berbagai sistem klasifikasi tanah, tetapi tidak ada satupun dari sistem-sistem tersebut yang benar-benar memberikan penjelasan yang tegas mengenai segala kemungkinan pemakaiannya. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat tanah yang sangat bervariasi. (Braja M. Das, 1995). Menurut Hary Christady Hardiyatmo, (2002) Umumnya, penentuan sifat-sifat tanah banyak dijumpai dalam masalah teknis yang berhubungan dengan tanah. Hasil dari penyelidikan sifat-sifat ini kemudian dapat digunakan untuk mengevaluasi masalah-masalah tertentu seperti: a.
Penentuan penurunan bangunan, yaitu dengan menentukan kompresibilitas tanah. Dari sini, selanjutnya digunakan dalam persamaan penurunan yang didasarkan pada teori konsolidasi, misalnya teori Terzaghi.
b.
Penentuan kecepatan air yang mengalir lewat benda uji guna menghitung koefisien permeabilitas. Dari sini kemudian dihubungkan dengan Hukum Darcy dan jaring arus (flownet) untuk menentukan debit aliran yang lewat struktur tanah.
c.
Untuk mengevaluasi stabilitas tanah yang miring, yaitu dengan menentukan kuat geser tanah. Dari sini kemudian disubtitusikan dalam rumus statika (stabilitas lereng).
II - 1
2.1.1 Klasifikasi Berdasarkan Pemakaian Kebanyakan klasifikasi tanah menggunakan indeks tipe pengujian yang sangat sederhana untuk memperoleh karakteristik tanah. Karakteristik tersebut digunakan untuk menentukan kelompok klasifikasi. Umumnya, klasifikasi tanah didasarkan atas ukuran partikel yang diperoleh dari analisis saringan (dan uji sedimentasi) dan plastisitas. (Hary Christady Hardiyatmo, 2002). Pada saat sekarang ada dua buah sistem klasifikasi tanah yang selalu dipakai oleh para ahli teknik sipil. yaitu Unified Soil Classification System dan AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials). Kedua sistem tersebut ini menggunakan sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti memperhitungkan distribusi ukuran butiran, batas cair dan indeks plastisitas. Klasifikasi tanah dari Sistem Klasifikasi AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials) pada umumnya dipakai oleh departemen jalan raya di semua negara bagian di Amerika Serikat. Sedangkan Sistem Unified Soil Classification System mula pertama diperkenalkan oleh Casagrande tahun (1942) untuk dipergunakan pada pekerjaan pembuatan lapangan terbang yang dilaksanakan oleh The Army Corps of Engineers selama Perang Dunia II. Kemudian direvisi oleh kelompok teknisi dari USBR (United State Bureau of Reclamation) tahun (1952), sistem ini disempurnakan. Klasifikasi yang digunakan adalah Unified Soil Clasification System (USCS) ini disebapkan karena pada masa kini, sistem ini banyak digunakan oleh berbagai organisasi konsultan geoteknik untuk keperluan-keperluan teknik yang lain. Klasifikasi tanah berguna sebagai petunjuk awal dalam memprediksi kelakuan tanah. Dalam sistem ini klasifikasi tanah dibagi dalam dua kelompok, kelompok tanah berbutir kasar dan tanah berbutir halus yang didasarkan material yang lolos saringan nomor 200 (diameter 0,075 mm). (Hardiyatmo, 2010) 1.
Tanah berbutir kasar (coarse grained soil), yaitu : tanah kerikil dan pasir dimana kurang dari 50 % berat total contoh tanah lolos ayakan No. 200. Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal G, adalah untuk kerikil (gravel) atau tanah berkerikil dan S, adalah untuk pasir (sand) atau tanah berpasir.
II - 2
2.
Tanah berbutir halus (fine grained soil), yaitu : tanah dimana lebih dari 50 % berat total contoh tanah lolos ayakan No. 200. Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal M untuk lanau (silt) anorganik, C untuk lempung (clay) anorganik dan O untuk lanau-organik dan lempung-organik. Simbol PT digunakan untuk tanah gambut (peat), muck dan tanah-tanah lain dengan kadar organik yang tinggi. Simbol-simbol lain yang digunakan untuk klasifikasi USCS, adalah : W = Tanah dengan gradasi baik (well graded) P = Tanah dengan gradasi buruk (poorly graded) L = Tanah dengan plastisitas rendah (low plasticity), LL < 50 H = Tanah dengan plastisitas tinggi (high plasticity), LL > 50 Tanah berbutir kasar ditandai dengan simbol kelompok seperti : GW, GP, GM, GC, SW, SP, SM dan SC. Untuk klasifikasi yang benar, perlu diperhatikan faktor-faktor berikut ini : a.
Persentase butiran yang lolos ayakan No. 200 (ini adalah fraksi halus)
b.
Persentase fraksi kasar yang lolos ayakan No. 40
c.
Koefisien keseragaman (uniformity coeffisien, Cu) dan koefisien gradasi (gradation coeffisien, Cc) untuk tanah dimana 0 ā 12 % lolos ayakan No. 200
d.
Batas cair (LL) dan indeks plastisitas (IP) bagian tanah yang lolos ayakan No. 40 (untuk tanah dimana 5 % atau lebih lolos ayakan No. 200). Bilamana persentase butiran yang lolos ayakan No. 200 adalah antara 5
sampai 12 %, symbol ganda seperti : GW-GM, GP-GM, GW-GC, GP-GC, SWSM, SW-SC, SP-SM dan SP-SC diperlukan, secara rinci dalam Tabel 1.
II - 3
Tabel. 1 Klasifikasi tanah sistem Unified
(Sumber : Hary Christady Hardiyatmo, 2010)
II - 4
2.2
Kuat Geser Tanah Parameter kuat geser tanah diperlukan untuk analisis-analisis kapasitas
dukung tanah, stabilitas lereng, dan gaya dorong pada dinding penahan tanah. Menurut teori Mohr (1910) kondisi keruntuhan suatu bahan terjadi oleh akibat adanya kombinasi keadaan kritis dari tegangan normal dan tegangan geser. Hubungan fungsi antara tegangan normal dan tegangan geser pada bidang runtuhnya, dinyatakan oleh persamaan: š = š(š)
(2.1)
Dengan (š) adalah tegangan geser pada saat terjadinya keruntuhan atau kegagalan (failure), dan (š) adalah tegangan normal pada saat kondisi tersebut. Garis kegagalan yang didefinisikan dalam Persamaan (2.1), adalah kurva yang ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Kuat geser tanah adalah gaya perlawanan yang diberikan oleh butir-butir tanah terhadap desakan atau tarikan. Dengan dasar pengertian ini, bila tanah mengalami pembebanan akan ditahan oleh : (Hardiyatmo, 2002) a)
Kohesi tanah ( c ) yang tergantung pada jenis tanah dan kepadatannya, tetapi tidak tergantung dari tegangan normal yang bekerja pada bidang geser.
b)
Gesekan antara butir-butir tanah yang besarnya berbanding lurus dengan tegangan normal pada bidang gesernya. Menurut teori Mohr-Coulumb tahanan geser/kuat geser yang dapat
dikerahkan oleh tanah disepanjang bidang gesernya dinyatakan dengan persamaan : (Hardiyatmo, 2002) š = š + š tan šā
(2.2)
Keterangan : š
= kuat geser tanah (kN/m2)
c
= kohesi tanah (kN/m2)
šā = sudut gesek tanah ( o ) š
= tegangan normal pada bidang geser (kN/m2) Persamaan (2.2) ini disebut kriteria keruntuhan atau kegagalan Mohr-
Coulomb, di mana garis selubung kegagalan dari persamaan tersebut dilukiskan dalam Gambar 2.1.
II - 5
Gambar 2.1 Kriteria kegagalan Mohr dan Coulomb.
Pengertian mengenai keruntuhan suatu bahan dapat diterangkan sebagai berikut (Gambar 2.1): Jika tegangan-tegangan baru mencapai titik P, keruntuhan tanah akibat geser tidak akan terjadi. Keruntuhan geser akan terjadi jika tegangantegangan mencapai titik Q yang terletak pada garis selubung kegagalan (failure envelope). Kedudukan tegangan yang ditunjukkan oleh titik R tidak akan pernah terjadi, karena sebelum tegangan yang terjadi mencapai titik R, bahan sudah mengalami keruntuhan. Di dalam tanah, tegangan efektif dipengaruhi oleh tekanan air pori, sehingga berpengaruh juga pada kuat geser. Terzaghi mengubah persamaan Coulumb dalam bentuk tegangan efektif. (Hardiyatmo, 2002) š = š ā² + (š ā š¢) tan šā² atau
(2.3) ā²
ā²
š = š + š tan šā² Keterangan : cā
= kohesi tanah efektif
šā² = tegangan normal efektif š¢
= tekanan air pori
šā² = sudut gesek efektif
II - 6
Persamaan (2.2) menghasilkan data yang relatif tidak tepat, nilai-nilai (c) dan (š) yang diperoleh sangat tergantung dari jenis pengujian yang dilakukan. Persamaan (2.3) menghasilkan data untuk nilai-nilai (š ā² ) dan (š ā² ) yang relatif lebih tepat. Tabel 2. Hubungan antara sudut gesek dalam dengan jenis tanah Jenis Kerikil kepasiran Tanah Kerikil kerakal Pasir padat Pasir lepas Lempung kelanauan Lempung (Sumber : Das, 1990)
Sudut Gesek Dalam (Ć) 35o ā 40o 35o ā 40o 35o ā 40o 30o 25o ā 30o 20o ā 25o
2.2.1 Pengertian Pertambangan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara menyebutkan dalam Pasal 1 angka (1) yang dimaksud pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
penyelidikan
umum,
eksplorasi,
studi
kelayakan,
konstruksi,
penambangan, pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Masih dalam UU yang sama tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 angka (29) yang dimaksud wilayah pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/ atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintah yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
2.2.2 Peran Industri Pertambangan Industri pertambangan adalah suatu industri dimana bahan galian mineral diproses dan dipisahkan dari material pengikut yang tidak diperlukan. Dalam industri mineral, proses untuk mendapatkan mineral-mineral yang ekonomis
II - 7
biasanya menggunakan metoda ekstraksi, yaitu proses pemisahan mineral-mineral dari batuan terhadap mineral pengikut yang tidak diperlukan (Djauhari Noor, 2006). Menurut Djauhari Noor, (2014) Mineral-mineral yang tidak diperlukan akan menjadi limbah industri pertambangan dan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan pada pencemaran dan degradasi lingkungan. Industri pertambangan sebagai industri hulu yang menghasilkan sumberdaya mineral dan merupakan sumber bahan baku bagi industri hilir yang diperlukan oleh umat manusia di dunia. Sebagaimana kita ketahui bahwa di bidang pertanian, para petani sangat membutuhkan pupuk bagi tanamannya dan pupuk yang dibutuhkan oleh para petani tersebut berasal dari hasil industri pupuk (fertilizer) yang bahan bakunya berasal dari mineral-mineral yang ditambang (Djauhari Noor, 2006). Salim, H.S, (2007) menyatakan bahwa usaha pertambangan terdiri atas usaha penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan penjualan. a.
Penyelidikan umum merupakan usaha untuk menyelidiki secara geologi umum atau fisika, di daratan perairan dan dari udara, segala sesuatu dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tandatanda adanya bahan galian pada umumnya.
b.
Usaha eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti/seksama adanya sifat letakan bahan galian.
c.
Usaha eksploitasi adalah usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.
d.
Usaha pengolahan dan pemurnian adalah pengerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan galian.
e.
Usaha pengangkutan adalah segala usaha pemindahan bahan galian dan hasil pengolahan serta pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan/pemurnian.
f.
Usaha penjualan adalah segala sesuatu usaha penjualan bahan galian dan hasil pengolahan/pemurnian bahan galian.
II - 8
2.2.3 Perizinan Usaha Pertambangan Izin usaha pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) UU Pertambangan Mineral dan Batubara Tahun 2009 dikelompokan atas: a.
Pertambangan mineral; dan
b.
Pertambangan batubara. Selanjutnya dalam Pasal 35 UU Pertambangan Mineral dan Batubara Tahun
2009 usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 di laksanakan dalam bentuk: a.
IUP;
b.
IPR; dan
c.
IUPK. Pengertian Pasal 35 UU Pertambangan Mineral dan Batubara adalah bahwa
setiap kegiatan penambangan yang dilakukan haruslah dengan perizinan sesuai dengan jenis tambang yang dimanfaatkan. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memisahkan IUP menjadi dua tahap yaitu: a. b.
IUP eksporasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan umum. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan, dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Pengertian mengenai IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi terdapat
dalam ketentuan umum Pasal 1 angka (8) dan (9) UU Pertambangan Mineral dan Batubara Tahun 2009. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan, sedangkan IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. Mengenai pemberian Ijin Usaha Pertambangan (IUP), berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara pada Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa IUP diberikan
oleh
Menteri,
gubernur,
atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya berdasarkan permohonan yang diajukan oleh, badan usaha, II - 9
koperasi, dan perseorangan. Ketentuan mengenai jangka waktu IUP eksplorasi diatur dalam Pasal 42 UU Pertambangan Mineral dan Batubara Tahun 2009 yaitu: a.
IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun.
b.
IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.
c.
IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
d.
IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun. Salim, H.S, (2007) menyatakan bahwa apabila usaha pertambangan
dilaksanakan oleh kontraktor, kedudukan pemerintah adalah memberikan izin kepada kontraktor yang bersangkutan. Izin yang diberikan oleh pemerintah berupa kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan, dan kontrak production sharing. Menurut Salim, H.S, (2007) setiap perusahaan pertambangan yang ingin memperoleh kontrak karya, harus mengajukan permohonan kontrak karya dalam rangka penanaman modal asing (PMA)/PMDN kepada pejabat yang berwenang. Pejabat berwenang menandatangi kontrak karya adalah Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral. Penandatanganan kontrak karya oleh pejabat ini disesuaikan dengan kewenangannya. Apabila wilayah kontrak karya yang di mohon berada dalam wilayah kebupaten, pejabat yang menandatangi kontrak karya itu adalah Bupati/walikota, tetapi apabila wilayah pertambangan yang di mohon berada dalam dua kebupaten/kota, sedangkan kedua kabupaten/kota itu tidak menandatangani kerja sama, pejabat yang berwenang untuk menandatangani kontrak karya itu adalah Gubernur. Sementara itu, apabila wilayah pertambangan yang di mohon berada pada dua daerah provinsi, pejabat yang berwenang menandatangani adalah Menteri Energi Sumber Daya Mineral dengan pemohon.
II - 10
Jangka waktu berlakunya kontrak karya tergantung kepada jenis kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. jangka waktu berlakunya kegiatan eksploitasi adalah tiga puluh tahun. Jangka waktu itu juga dapat diperpanjang (Salim, H.S, 2007).
2.2.4 Penggolongan Sumberdaya Alam Tambang Sumberdaya mineral adalah sumberdaya yang diperoleh dari hasil ekstraksi batuan-batuan yang ada di bumi. Adapun jenis dan manfaat sumberdaya mineral bagi kehidupan manusia modern semakin tinggi dan semakin meningkat sesuai dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara (Djauhari Noor, 2006). Berdasarkan tipe bahan galian, sumberdaya mineral dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu: (1) Bahan Galian Vital; (2) Bahan Galian Strategis; dan (3) Bahan Galian Industri. Penggolongan jenis mineral yang terdiri atas bahan galian vital, strategis, dan industri merupakan bentuk lain dari bahan galian golongan A, golongan B, dan golongan C. Pada bahan galian vital disebut juga bahan galian golongan A. Bahan galian strategis merupakan bahan galian golongan B, sedangkan bahan galian industri merupakan bahan galian golongan C. Hal ini sebagaimana terlihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah Produksi Barang Tambang Mineral (Ton) menurut Jenis Tambang dari Tahun 1996-2015 di Indonesia. Bahan Galian
Jenis Mineral
Kegunaan
II - 11
Vital
Strategis
Industri
Uranium (U) Thorium (Th) Minyak/Gas Bumi Emas (Au) Perak (Ag)
Energi nuklir, senjata pemusnah, dll Energi nuklir, senjata pemusnah, dll Energi listrik, industri, petrokimia, BBM, dll Perhiasan, industri elektronik, dll Perhiasan, industri elektronika, dll
Besi (Fe) Tembaga (Cu) Nikel (Ni) Timah (Sn) Seng (Zn) Aluminium (Al) Muscovite
Industri baja, konstruksi, manufaktur, dll Kabel listrik, industri, manufaktur, dll Industri baja, metalurgi, manufaktur, dll Industri, manufaktur, dll Industri, manufaktur, bangunan, dll Industri manufaktur, dll Industri electronics, dll
Batu gamping Batu lempung Batu pasir Batuan beku Gypsum
Industri cement Bahan bangunan, batu bara, genteng, dll Bahan bangunan Bahan bangunan Campuran cement, bahan bangunan, dll
Sumber: Djauhari Noor , 2006
Jenis sumberdaya alam tambang yang terdapat pada Tabel 1 di atas merupakan jenis sumberdaya alam tambang yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Pemanfaatan terhadap berbagai jenis sumberdaya alam tambang tersebut terus dilakukan untuk dijadikan sebagai sumber energi pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
II - 12
2.2.5 Kebutuhan Sumberdaya Mineral Kebutuhan sumberdaya mineral di dunia dapat dikatakan sebanding dengan peningkatan populasi manusia di muka bumi serta ditunjang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Djauhari Noor, 2014). Djauhari Noor, (2014) menyatakan bahwa ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya permintaan mineral logam di dunia adalah: a.
Peningkatannya jumlah populasi manusia di dunia.
b.
Meningkatnya standar hidup manusia di Negara berkembang.
c.
Meningkatnya status negara (misalnya negara berkembang menjadi negara maju). Di Indonesia, segala bentuk industri pada sektor pertambangan diharapkan
mampu menyumbang pada peningkatan ekonomi dan pembangunan Negara. Kegiatan eksploitasi oleh industri pertambangan terus dilakukan demi pengejaran perekonomian dan pembangunan melalui penghasilan devisa Negara. Hal ini dilakukan seiring meningkatnya jumlah permintaan akan sumberdaya alam mineral akibat meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, sebagaimana terlihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Jumlah Produksi Barang Tambang Mineral (Ton) menurut Jenis Tambang dari Tahun 1996-2015 di Indonesia. Barang Tambang Mineral Tahun Batu Bara (Ton)
Nikel (Ton)
Emas (Ton)
Pasir Besi (Ton)
Konsentrat Tembaga (Ton)
1996
50,332,047
3,426,867
83,564
425,101
1,758,910
1997
55,982,040
2,829,936
86,928
516,403
1,817,880
Barang Tambang Mineral Tahun
Batu Bara (Ton)
Nikel (Ton)
Emas (Ton)
Pasir Besi (Ton)
Konsentrat Tembaga (Ton)
II - 13
1998
58,504,660
2,736,640
123,862
509,978
2,640,040
1999
62,108,239
2,798,449
127,768
502,198
2,645,180
2000
67,105,675
2,434,585
109,612
420,418
3,270,335
2001
71,072,961
2,473,825
148,528
440,648
2,418,110
2002
105,539,301
2,120,582
140,246
190,946
2,851,190
2003
113,525,813
2,499,728
138,475
245,911
3,238,306
2004
128,479,707
2,105,957
86,855
79,635
2,812,664
2005
149,665,233
3,790,896
142,894
87,940
3,553,808
2006
162,294,657
3,869,883
138,992
84,954
817,796
2007
188,663,068
7,112,870
117,854
84,371
796,899
2008
178,930,188
6,571,764
64,390
4,455,259
655,046
2009
228,806,887
5,819,565
140,488
4,561,059
973,347
2010
325,325,793
9,475,362
119,726
8,975,507
993,152
2011
415,765,068
41,193,335
68,220
11,814,544
1,472,238
2012
466,307,241
47,106,534
69,291
11,545,752
2,265,865
2013
458,462,513
65,047,388
59,804
22,353,337
1,909,548
2014
435,742,874
39,034,912
69,349
5,951,400
1,571,596
2015
405,871,432
34,063,566
92,339
3,838,546
2,282,831
Sumber : Data Badan Pusat Statistik, 2017
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa jumlah produksi tambang mineral yang ada di Indonesia, dari tahun ke tahun semakin meningkat. Peningkatan jumlah
II - 14
penduduk ini berimplikasi terhadap peningkatan jumlah permintaan sumberdaya mineral yang ada di Indonesia. Cadangan kebutuhan sumberdaya mineral di Indonesia termasuk jenis bahan galian C seperti pasir, batu, dan kerikil yang berada di Sulawesih Tengah tepatnya di Desa Loli Saluran, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Telah mendorong kegiatan eksploitasi dan eksplorasi serta untuk mendapatkan lokasi-lokasi sumberdaya mineral yang baru. Adapun persamaan menghitung cadangan volume bahan galian C digunakan aturan Simpson (Surveying for Construction-Willia Irvine, Hal. 352-volume from counturs).
š=
ā 3
š„ [Aawal + Aakhir + 2 x ā Aganjil + 4 x ā Agenap] ā¦ā¦ā¦ā¦.ā¦ā¦ā¦..(1)
Keterangan: Aawal
: Luasan Kontur (m2)
Aakhir
: Luasan Kontur (m2)
Aganjil
: Luasan Kontur (m2)
Agenap
: Luasan Kontur (m2)
V
: Volume Galian
h
: Jarak Interval Kontur
2.2.6 Metode Penambangan Secara garis besar metode penambangan dikelompokkan menjadi 3, yaitu: a.
Tambang terbuka (surface mining). Metode penambangan yang segala kegiatan atau aktivitas penambangannya dilakukan di atas atau relatif dekat dengan permukaan bumi, dan tempat kerjanya berhubungan langsung dengan udara luar.
b.
Tambang dalam/ tambang bawah tanah (underground mining).
II - 15
Metode penambangan yang segala kegiatan atau aktivitas penambangannya dilakukan di bawah permukaan bumi, dan tempat kerjanya tidak langsung berhubungan dengan udara luar. c.
Tambang bawah air (underwater mining). Metode penambangan yang kegiatan penggaliannya dilakukan di bawah permukaan air atau endapan mineral berharganya terletak dibawah permukaan air.
Tabel 3. Klasifikasi Metode Penambangan. SISTEM
KELAS
METODE
BAHAN GALIAN
Open pit mining*
Metal, non-metal
Quarrying*
Non-metal
Konvensional
Tambang
Mekanis
Opencast mining*
Batubara, non-metal
Terbuka
Aquaeous
Auger mining
Batubara, metal, non-metal
Hydraulicking*
Metal, non-metal
Dregding *
Metal, non-metal
Room & Pillar mining*
Batubara, non-metal
Stope & Pillar mining*
Metal, non-metal
Underground gloryhole
Metal, non-metal
Swa-sangga
(Self-supported) Gophering
Metal, non-metal
Shrinkage stoping
Metal, non-metal
Sublevel stoping *
Metal, non-metal
Berpenyangga
Cut & Fill stoping *
Metal
buatan
Stull stoping
Metal
(Supported)
Square set stoping
Metal
Longwall mining *
Batubara, non metal
Sublevel caving
Metal
Block caving *
Metal
Tambang Bawah Tanah
Ambrukan (Caving)
Inkonvesional
II - 16
Novel
Penggalian cepat
Batuan keras
Automasi, Robotik
Semua
Gasifikasi bawah tanah
Batubara, batuan lunak
Retorting bawah tanah
Hidrokarbon
Tambang samudera
Metal
Tambang nuklir
Non-batubara
Tambang luar bumi
Metal, non-metal
Sumber : Hartman, 1987
2.3
Tinjauan Tentang Masyarakat Desa Masyarakat desa didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang hidup dan
bertempat tinggal di wilayah pedesaan. Masyarakat desa dicirikan sebagai masyarakat yang memiliki ikatan yang relatif kuat karena adanya rasa memiliki satu sama lain. Pada umumnya masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai masyarakat yang homogen dari segi pekerjaan, agama, adat istiadat dan hubungan yang terjalin menganut sistem kekeluargaan sehingga cenderung tanpa pamrih. Menurut Soedjatmoko sebagaimana dikutip Sudarmanto, (1996) struktur masyarakat pedesaan, khususnya di jawa dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu: a.
Golongan pertama adalah mereka yang memiliki tanah cukup besar untuk kehidupan yang cukup bagi keluarganya.
b.
Golongan kedua, terdiri dari petani yang memiliki atau menguasai tanah yang luasnya atau kualitasnya marginal, sehingga kehidupan keluarganya sangat tergantung pada kesempatan kerja sampingan, selain karena faktor iklim dan faktor pasar.
c.
Golongan ketiga, yang makin lama makin besar jumlahnya baik di Indonesia maupun di Asia, pada umumnya ialah mereka yang sama sekali tidak mempunyai tanah.
II - 17
2.4
Tinjauan Tentang Konflik Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang
disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya (Fuad, F.H dan S. Maskanah, 2000). Ada 3 macam konflik yang dapat berwujud, yaitu: a.
Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak.
b.
Konflik mencuat (emerging) perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah jelas terindentifikasi permasalahannya, tetapi proses penyelesaian sendiri belum berkembang.
c.
Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan buntu. Menurut Fuad, F.H dan S. Maskanah, (2000) untuk dapat mengetahui
penyebab terjadinya konflik, di perlukan adanya pemetaan konflik dilakukan dengan mengelompokkan konflik ke dalam ruang-ruang konflik menggunakan kriteria-kriteria di bawah ini: a.
Konflik data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana atau mendapat informasi yang salah, atau tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, atau menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda.
b.
Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian.
c.
Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotipe, salah komunikasi, atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitif).
d.
Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak sesuai, entah itu hanya dirasakan atau memang ada.
e.
Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki
II - 18
wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain.
2.5
Tinjauan Tentang Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin kebutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU No. 32 Tahun 2009). Sugandhy dan Hakim, (2009) menyatakan bahwa setiap pola pembangunan berkelanjutan mengharuskan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan secara rasional dan bijaksana. Hal ini berarti bahwa pengelolaan sumberdaya alam, seperti sumberdaya alam pertambangan, hutan pelestarian alam, hutan lindung dan hutan produksi, dapat diolah secara rasional dan bijaksana dengan memperhatikan keberlanjutannya. Untuk itu, diperlukan keterpaduan antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan memberikan implikasi adanya batasan yang ditentukan oleh tingkat masyarakat dan organisasi sosial mengenai sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer dalam menyerap berbagai pengaruh aktivitas manusia. Proses pembangunan berlangsung secara berlanjut dan didukung sumberdaya alam yang ada dengan kualitas lingkungan dan manusia yang semakin berkembang dalam batas daya dukung lingkupannya. Pembangunan akan memungkinkan
generasi
sekarang meningkatkan kesejahteraannya,
tanpa
mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya (Sugandhy dan Hakim, 2009).
II - 19
2.6
Tinjauan Tentang Dampak Aktivitas Penambangan Galian C Menurut Kristanto (2004) dampak diartikan sebagai adanya suatu benturan
antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan pembangunan dengan kepentingan usaha melestarikan kualitas lingkungan yang baik. Dampak yang diartikan dari benturan antara dua kepentingan itupun masih kurang tepat karena yang tercermin dari benturan tersebut hanyalah kegiatan yang menimbulkan dampak negatif. Pengertian ini pula yang dahulunya banyak di tentang oleh para pemilik atau pengusul proyek. Dalam teknik penambangan terdapat 3 (tiga) dampak lingkungan yang sangat khas, yaitu Hidraulicking, Dredging, dan Strip Mining. 1.
Hidraulicking adalah sistem penambangan yang dilakukan dengan cara menyemprotkan air terhadap material yang akan ditambang. Pada sistem ini mineral-mineral berat yang ditambang seperti material pasir akan terbawa oleh air dan akan diendapkan di daerah yang rendah seperti di lembah-lembah sungai. Adapun dampak yang dapat terjadi pada sistem penambangan ini adalah endapan-endapan material yang diendapkan oleh sungai akan menimbun daerah seperti daerah pertanian ataupun daerah pemukiman.
2.
Dredging adalah sistem penambangan yang dilakukan dengan cara menggunakan mesin keruk. Dampak dari sistem penambangan model ini umumnya adalah terjadinya kolam-kolam air yang ada disepanjang sungai akibat pengerukan oleh mesin keruk.
3.
Strip Mining adalah sistem penambangan yang dilakukan dengan cara mengupas lapisan tanah. Adapun dampaknya mengalami degradasi, karena untuk dapat ditanami butuh waktu yang lama. Dalam proses penambangan galian C pasti menimbulkan dampak positif
maupun dampak negatif. Dampak positif adalah manfaat yang ditimbulkan dari penambangan galian C adalah memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi lokal, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan menampung tenaga kerja. Sedangkan dampak negatif adalah berupa resiko akibat penambangan galian C. Pada umumnya pengusaha penambangan galian C melakukan kegiatan
II - 20
penambangan baik di darat maupun di sungai keseluruhannya menggunakan alat berat. Dalam pemakaian alat-alat berat inilah yang mengakibatkan terdapatnya lubang-lubang besar bekas galian yang kedalamannya mencapai 3 sampai 4 meter. Apabila bekas galian ini tidak direklamasi oleh pengusaha maka lingkungan yang ada di sekitarnya akan rusak. Di Desa Loli Saluran terdapat lokasi-lokasi penambangan galian C, khususnya pasir, kerikil, dan batu. Pada beberapa lokasi penambangan galian C tersebut merupakan daerah aliran sungai. Akibat penambangan bahan galian C ini, dapat mengakibatkan terjadinya pengikisan terhadap humus tanah.
2.6.1 Dampak Aspek Sosio-Ekonomi Pelaksanaan pembangunan di Indonesia dengan melakukan transformasi sektor tradisional menjadi sektor industri, memberikan berbagai dampak terhadap struktur sosial masyarakat. Dampak kehadiran industri pertambangan bagi masyarakat tidak hanya terlihat pada perubahan struktur mata pencaharian saja, melainkan juga pada aspek sosial dan ekonomi yang meliputi tingkat pendapatan masyarakat serta tingkat konflik yang terjadi di masyarakat sebagai akibat adanya perubahan kondisi lingkungan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat adalah dengan melihat kondisi fisik tempat tinggal masyarakat tersebut. kondisi fisik tempat tinggal untuk kategori sangat layak diduduki oleh lapisan atas dan bawah. Tingginya pendapatan yang diperoleh masyarakat lapisan atas memberikan kemampuan untuk melakukan perawatan dan renovasi rumah, sehingga kondisi tempat tinggal menjadi sangat layak untuk dihuni. Sementara itu, pada masyarakat lapisan bawah, hasil penjualan lahan sebagian besar digunakan untuk biaya renovasi rumah.
2.6.2 Dampak Aspek Sosio-Ekologi Perubahan ekologi di wilayah pertambangan terjadi karena adanya aktivitas eksploitasi dan eksplorasi terhadap sumberdaya alam tambang serta untuk mendapatkan lokasi-lokasi sumberdaya alam tambang yang baru. Perubahan
II - 21
ekologi ini mengakibatkan kondisi yang semulanya tertutup oleh vegetasi dan lahan yang subur menjadi daerah yang tandus, dimana unsur-unsur hara yang di butuhkan oleh tanaman telah hilang. Dampak akibat aktivitas penambangan ini juga mengakibatkan penurunan kesehatan saja, melainkan juga timbulnya cekungan besar yang dikelilingi tumpukan tanah bekas penambangan galian dan ekosistem menjadi terganggu seperti, pencemaran air, pencemaran udara akibat limbah industri, dan kekeringan air yang kemudian berimplikasi pada penurunan produktivitas lahan pertanian serta terjadinya bencana erosi akibat sedimentasi tanah. Dalam hal ini juga hilangnya fungsi atas sungai bagi masyarakat seperti air sungai yang pada awalnya digunakan warga untuk minum, membersihkan makanan, mandi, mencuci, minum ternak. Sungai tercemar oleh limbah yang berasal dari konsentrator aktivitas limbah dan pembukaan hutan di bagian hulu. Selain itu, terjadinya kekeringan air sumur milik warga akibat adanya aktivitas pengeboran. Aktivitas penambangan galian C mengakibatkan timbulnya tebingtebing bukit yang rawan longsor akibat penambangan yang tidak memakai sistem berteras. Hal ini mengakibatkan semakin tingginya tingkat erosi di daerah pertambangan. Rahim (2003) menyatakan bahwa erosi dipengaruhi oleh hujan, angin, limpasan permukaan, jenis tanah, kemiringan lereng, penutupan tanah, dan tindakan konservasi. Menurut Hardiyatmo (2006), faktor-faktor penyebab erosi tanah adalah iklim, kondisi tanah, topografi, tanaman penutup permukaan tanah dan pengaruh gangguan tanah oleh aktifitas manusia. Keberhasilan pengendalian erosi tanah tergantung pada pemilihan strategi yang tepat untuk konservasi tanah. Strategi ini membutuhkan pengertian yang mendalam tentang proses erosi. Mekanisme terjadinya erosi, tanah yang terkikis pertama-tama adalah lapisan atas yang merupakan media tumbuhnya tanaman. Dengan hilangnya lapisan atas tanah maka terjadi pula kehilangan unsur hara, yang merupakan nutrisi tanaman (Rahim, 2003). Menurut Asdak (2004) proses erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan yaitu pengelupasan (detachement), pengangkutan (transportation) dan
II - 22
pengendapan (sedimentation). Beberapa erosi permukaan yang umum dijumpai di daerah tropis adalah: 1.
Erosi percikan (splash erosion) adalah proses terkelupasnya partikel-partikel tanah bagian atas oleh tenaga kinetik air hujan bebas atau sebagai air lolos.
2.
Erosi kulit (sheet erosion) adalah erosi yang terjadi ketika lapisan tipis permukaan tanah di daerah berlereng terkikis oleh kombinasi air hujan dan air larian (runoff). Tipe erosi ini disebabkan oleh kombinasi air hujan dan air larian yang mengalir ke tempat yang lebi rendah.
3.
Erosi alur (rill erosion) adalah pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh aliran air larian yang terkonsentrasi di dalam saluran-saluran air. Hal ini terjadi ketika air larian masuk ke dalam cekungan permukaan tanah, kecepatan air larian meningkat dan akhirnya terjadilah transpor sedimen.
4.
Erosi parit (gully erosion) membentuk jaringan parit yang lebih dalam dan lebar dan merupakan tingkat lanjutan dari erosi alur.
5.
Erosi tebing sungai (streambak erosion) adalah pengikisan tanah pada tebingtebing sungai dan penggerusan dasar sungai oleh aliran air sungai. Suripin (2002) menyatakan bahwa berat ringannya erosi tergantung pada
kuantitas suplai material yang terlepas dan kapasitas media pengangkut. Jika media pengangkut mempunyai kapasitas lebih besar dari suplai material yang terlepas, proses erosi dibatasi oleh pelepasan (detachement limited). Sebaliknya, jika kuantitas suplai material melebihi kapasitas, proses erosi dibatasi oleh kapasitas (capacity limited). Berbagai macam jenis tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda. Kepekaan erosi tanah tergantung pada interaksi sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan bawah, dan tingkat kesuburan tanah. Persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation) digunakan untuk menentukan perkiraan berat tanah hilang akibat erosi. Smith dan Wischmeier dalam Hardiyatmo (2006) menyatakan bahwa besarnya tanah yang hilang dipengaruhi oleh 6 faktor yaitu : panjang lereng, kemiringan lereng, penutup permukaan tanah, pengelolaan tanah, tipe tanah, dan curah hujan.
II - 23
Dari beberapa metode untuk memperkirakan besarnya erosi permukaan, metode Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah metode yang paling umum digunakan (Asdak, 1995). Wischmeier dan Smith (1978) juga menyatakan bahwa metode yang umum digunakan untuk menghitung laju erosi adalah metode Universal Soil Loss Equation (USLE). Adapun persamaan ini adalah:
A = R . K . L . S . C . P ................................................................................(2)
dimana : A
: Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)
R
: Indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)
K
: Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah)
LS
: Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
C
: Faktor tanaman (vegetasi)
P
: Faktor usaha-usaha pencegahan erosi (konservasi)
Permasalahan erosi sangat erat kaitannya dengan permasalahan lahan kritis. Lahan menjadi kritis salah satunya adalah akibat kesalahan dalam pengelolaannya. Lahan yang salah kelola mengalami pengikisan tanah. Hal ini sering terjadi pada kegiatan penambangan. Tanah yang subur sekalipun bila mengalami erosi akan berkurang kesuburannya, apalagi lahan yang sejak semula tidak subur. Penggunaan lahan secara tepat guna dan berhasil guna dapat terjadi apabila berdasarkan kemampuan alami lahan.
II - 24
II - 25