3 1 2018.pdf

  • Uploaded by: Novia Nadhira
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 3 1 2018.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 10,823
  • Pages: 57
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian saat ini menggambarkan bahwa jumlah pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) mengalami peningkatan dan hal ini terjadi di terjadi di rumah sakit nasional maupun swasta.1 Kegawatdaruratan ini juga sering terjadi di bidang telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher (bidang THT-KL) dan beberapa di kegawatdaruratan THT-KL dapat menimbulkan kematian sehingga membutuhkan intervensi yang cepat.2 Penelitian yang telah dilakukan di Korle Bu Teaching Hospital, Ghana didapatkan penyebab terbanyak kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat THTKL adalah benda asing esofagus (41.3%), epistaksis (16.67%), infeksi tenggorok (15.74%), stridor (8.13%), dan terdapatnya koin pada esofagus (20.13%). Sebesar 2,6% dari kunjungan pasien menimbulkan kematian. Kematian tersebut disebabkan oleh epistaksis (20%), abses leher dalam (20%), epiglottitis akut (10%), komplikasi intrakranial dari rinosinusitis akut (10%), dan obstruksi saluran pernapasan atas (10%).3 Penelitian di Mesir pada tahun 2001-2006 menunjukkan bahwa dari 33.792 pasien yang datang ke IGD, sebanyak 17.775 pasien (52,6%) adalah pria dan 16.017 pasien (47,4%) adalah wanita. Sejumlah 1707 pasien (12,2%) direkomendasikan untuk pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan X ray dilakukan pada 1357 pasien (9,7%). Antibiotik diberikan pada 4099 pasien (29,3%). Usia pasien yang kurang dari 14 didominasi oleh penyakit faringitis akut, laringitis, otitis media, dan otitis eksterna sedangkan usia yang lebih dari 30 tahun didominasi oleh penyakit stomatitis, rhinitis, dan sinusitis.4 Data dari Agency for Healthcare Research and Quality (AQHRC), United States pada tahun 2011, menyimpulkan bahwa penyakit otitis media dan kondisi lainnya yang berhubungan (infeksi telinga lainnya) menempati urutan kedua dari lima penyebab tersering kunjungan pasien ke IGD pada usia 0-17 tahun. Kejadian kegawatdaruratan pada wanita lebih tinggi dari pada pria. Kategori usia yang sering

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



1

mengunjungi IGD adalah pada usia yang kurang dari 1 tahun dan lebih dari 85 tahun (816 dan 935 kasus dari 1000 populasi).5 Penelitian selanjutnya di Brazil pada tahun 2012 menunjukkan bahwa kunjungan ke IGD lebih tinggi pada wanita, tetapi perbedaan jenis kelamin tidak memberikan gambaran yang signifikan. Kondisi terbanyak yang menyebabkan pasien datang ke bagian kegawatdaruratan THT-KL dari penelitian ini adalah infeksi saluran pernapasan atas (24.55%), rinosinusitis akut (7.49%), serumen (6.93%), otitis media akut (6.84%), otitis eksterna (5.81%), epistaksis (4.96%), vertigo (3.93%), laringitis akut (2,90%), otitis media sekretoris (2,34%), abses peritonsilar (2,34%),

disfungsi temporomandibular joint (1,68%), tinnitus

(1,21%), fraktur nasal (0,84%), benda asing hidung (0,56%) dan benda asing telinga (0,56%). Usia yang sering mengunjungi IGD dari penelitian ini adalah pada rentang usia 20-40 tahun.1 Penelitian oleh National Ambulatory Care Reporting System (NACRS) tentang kunjungan pasien ke IGD tahun 2014-2015 di Kanada menggambarkan bahwa penyakit infeksi telinga merupakan salah satu penyebab tersering kunjungan pasien ke IGD pada usia 0-4 tahun. Data ini juga menggambarkan kunjungan ke IGD meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Persentase pasien yang mengunjungi IGD bawah 18 tahun sebesar 7 persen dan pasien yang mengunjungi IGD di atas 85 tahun sebesar 15 persen.6 Data dari Mount Elizabeth Medical Centre Singapura, menggambarkan bahwa kegawatdaruratan THT-KL dibagi menjadi kegawatdaruratan telinga yang mencakup otitis media efusi, otitis media eksterna, dan infeksi virus pada telinga dalam. Kegawatdaruratan pada hidung yaitu benda asing hidung dan karsinoma nasal, kegawatdaruratan tenggorok yang meliputi benda asing tenggorok, karsinoma laring, epiglottitis akut dan abses peritonsilar, dan kegawatdaruratan pada leher yang meliputi abses leher dan selulitis submandibular.7 Mulai tanggal 1 Januari 2014, Indonesia sudah memasuki era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).8 Penyakit gawat darurat yang mendapat pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan sistem pelayanan kesehatan Indonesia saat ini dimuat dalam surat edaran Direktur Pelayanan Nomor 038 Tahun 2014 tentang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



2

petunjuk teknis surat edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor HK/Menkes/32/I/2014 tahun 2014.9 Daftar penyakit gawat darurat di bidang THTKL yang termasuk di dalamnya adalah abses di bidang THT-KL, benda asing laring/trakea/bronkus, dan benda asing tenggorok, benda asing telinga dan hidung, disfagia, obstruksi jalan nafas atas grade II/III kriteria Jackson, obstruksi jalan nafas atas grade IV kriteria Jackson, otalgia akut (apapun penyebabnya), paresis fasialis akut, perdarahan di bidang THT-KL, syok karena kelainan di bidang THT-KL, trauma (akut) di bidang THT-KL, tuli mendadak, dan vertigo (berat).10 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gangguan di bidang THT KL dapat menjadi salah satu kondisi yang meningkatkan kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat. Kondisi tersebut dapat menyebabkan kematian sehingga perlu adanya perhatian khusus terhadap kegawatdaruratan di bidang THT KL. Saat ini, data mengenai kegawatdaruratan di bidang THT KL di Indonesia masih sangat minim terutama di Kota Padang, Sumatera Barat. Khususnya di RSUP Dr. M. Djamil, belum ada data mengenai kegawatdaruratan THT-KL yang dilaporkan. Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk meneliti lebih lanjut bagaimana karakteristik penyakit THT-KL yang masuk IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan utama, klasifikasi, dan terapi yang diberikan. Harapannya penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk pelayanan kegawatdaruratan THT-KL yang lebih baik kedepannya. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah karakteristik penyakit THT-KL yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 1 Januari 2015- 31 Desember 2016.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



3

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui karakteristik penyakit THT-KL yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 1 Januari 2015- 31 Desember 2016. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui karakteristik penyakit THT-KL menurut klasifikasi yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. M. Djamil Padang 2. Mengetahui karakteristik penyakit THT-KL menurut umur yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. M. Djamil Padang 3. Mengetahui karakteristik penyakit THT-KL menurut jenis kelamin yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. M. Djamil Padang 4. Mengetahui karakteristik penyakit THT-KL menurut keluhan utama yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. M. Djamil Padang 5. Mengetahui karakteristik penyakit THT-KL menurut terapi yang diberikan yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. M. Djamil Padang 6. Mengetahui karakteristik penyakit THT-KL menurut klasifikasi penyakit ‘yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. M. Djamil Padang 1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti Peneliti mendapatkan pengetahuan dan informasi mengenai karakteristik penyakit THT-KL yang masuk IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang dan pengalaman dalam melakukan penelitian serta dapat mengembangkan minat dan kemampuan membuat karya tulis ilmiah. 1.4.2 Bagi Institusi Kesehatan Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan ilmu pengetahuan tentang mengenai karakteristik penyakit THT-KL yang masuk IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang kepada kalangan medis. 1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat memberi ilmu pengetahuan mengenai karakteristik penyakit THT-KL yang masuk IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang dan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



4

1.4.3 Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat tentang karakteristik penyakit THT-KL yang masuk IGD RSUP Dr. M.Djamil Padang sehingga masyarakat lebih peduli terhadap kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Instalasi Gawat Darurat 2.1.1 Definisi Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah area di dalam sebuah rumah sakit. Instalasi Gawat Darurat ini dirancang dan digunakan untuk memberikan standar perawatan gawat darurat bagi pasien yang membutuhkan perawatan akut atau mendesak.11 2.1.2 Tujuan Secara umum keberadaan IGD rumah sakit bertujuan untuk : 1. Mencegah kematian dan kecacatan 2. Menerima rujukan atau merujuk pasien baik secara horizontal maupun vertikal 3. Melakukan penanggulangan korban bencana massal yang terjadi di dalam dan di luar rumah sakit 4. Melakukan penanganan kasus true dan false emergency selama 24 jam 5. Mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan penanggulangan penderita gawat darurat melalui pendidikan serta menyelenggarakan berbagai kursus yang berhubungan dengan basic dan advanced life support. Penguatan IGD rumah sakit adalah menurunkan angka kematian dan kecacatan akibat kasus gawat darurat melalui penguatan kemampuan Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit sebagai safe community center bagi desa siaga dalam penanggulangan penderita gawat darurat sehari-hari dan bencana serta pengadaan fasilitas instalasi gawat darurat rumah sakit sesuai standar.12

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



6

2.2 Kondisi Kegawatdaruratan THT-KL 2.2.1 Abses THT, Kepala dan Leher 2.2.1.1 Definisi Abses adalah kumpulan pus yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Abses dapat terjadi di mana saja di dalam tubuh - di jaringan keras, lunak, organ dan lain-lain. Abses merupakan bagian dari mekanisme pertahanan alami tubuh, melokalisasi infeksi untuk mencegah penyebaran organisme infeksius.13 Klasifikasi abses THT-KL berdasarkan letak terhadap tulang hioid adalah : a. Terletak di atas tulang hioid (peritonsilar, submandibular, parafaring, mastikator/temporal, bukal dan ruangan parotis) b. Melibatkan keseluruhan leher (retrofaring, prevetebral dan ruangan karotis) c. Terletak di bawah hioid (viseral anterior atau pretrakeal).14 2.2.1.2 Keluhan Utama Keluhan utama pada abses leher dalam dapat berupa nyeri tenggorok, demam yang disertai terbatasnya gerakan membuka mulut serta nyeri dan pembengkakan di ruangan leher yang terlibat.15 Keluhan utama yang sering ditemukan adalah pembengkakan pada leher.16 2.2.1.3 Pemeriksaan Fisik Temuan yang paling umum didapatkan adalah benjolan abnormal pada leher. Kondisi lainnya yang dapat ditemukan adalahl cervical pain, kelainan gigi geligi, trismus (sukar membuka mulut), dan ditemukannya penyakit periodontal pada pasien.17,18 2.2.1.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksan laboratorium yang dilakukan yaitu hitung darah lengkap dan glukosa serum. Pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu pemeriksaan elektrolit, Prothrombin Time (PT), Partial Thromboplastin Time (PTT), skrining HIV pada dewasa, kultur darah, dan kultur pus dari abses. Kultur darah dan kultur pus dari abses dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Pasien yang mengalami penurunan daya tahan tubuh direkomendasikan melakukan pemeriksaan kultur jamur dan acid fast cultures. Leukositosis darah berhubungan dengan perkembangan abses yang dapat didrainase. Pasien yang juga menderita HIV dan atau infeksi tuberkulosis dari

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



7

hasil pemeriksaan akan didapatkan leukopenia dan leukosit yang persisten di bawah 8000/mm3.14 Pemeriksaan foto polos juga bisa dilakukan pada beberapa kasus abses leher dalam. Pemeriksaan foto polos dada digunakan untuk skrining komplikasi seperti mediastinitis, pneumonia, dan efusi pleura. CECT (Contrast Enhanced Computed Tomography) lebih superior untuk mengevaluasi selulitis atau abses pada mediastinum. Radiografi gigi juga dilakukan untuk mengidentifikasi infeksi yang bersumber dari gigi geligi. Pemeriksaan dengan teknik ultrasonografi lebih akurat dari CECT dalam membedakan abses yang dapat didrainase dari selulitis. Keuntungan lain dari pemeriksaan dengan menggunakan teknik ultrasonografi yaitu lebih portable, murah, dan cepat digunakan dalam segala situasi. Pemeriksaan dengan menggunakan Magnetic Resonance Angiography (MRA) sangat membantu dalam mengevaluasi komplikasi vaskuler, seperti ruptur atau aneurisme arteri karotis.14 Pemeriksaan CT Scan (Computerized Tomography Scan) merupakan pemeriksaan penting untuk mengambarkan karakter dari abses, identifikasi organ yang terlibat, serta membantu mendeteksi komplikasi. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan standar dari abses leher dalam dan oleh karena itu penting untuk dilakukan. Pemeriksaan ini juga dapat mencegah terjadinya obstruksi jalan napas. Pembengkakan leher yang meluas ke suprasternal notch mengindikasikan keterlibatan mediastinum.14 2.2.1.5 Terapi Obstruksi pernapasan akut adalah komplikasi yang sering terjadi dan yang paling mematikan. Memonitor pernapasan merupakan prioritas utama dalam menerapi abses leher dalam dan harus dilanjutkan 48 jam sesudah terapi invasif seperti operasi karena setelah periode pembedahan jaringan berpotensi mengalami pembengkakan. Kondisi dengan adanya gangguan pernapasan (ditandai dengan dispnea, stridor, retraksi, hambatan pernapasan karena pembengkakan pada faring, edema saluran pernapasan akibat kompresi saluran pernapasan oleh abses), diperlukan manajemen pernapasan yang agresif. Penatalaksanaan medikamentosa seperti antibiotik empiris wajib diberikan setelah pemeriksaan kultur dan sensitivitas.15

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



8

Surgical drainase dapat dilakukan sebagai manajemen medis konservatif. Intervensi pembedahan dilakukan pada kasus yang parah atau terdapat komplikasi. Kondisi dengan adanya gangguan jalan napas, septikemia, diabetes melitus, dan tidak ada perbaikan klinis setelah 48 jam, diberikan antibiotik parenteral.15 Gambar 2.1 meringkas penyakit abses THT, kepala, dan leher. Definisi

bagian dari mekanisme pertahanan alami tubuh, melokalisasi infeksi untuk

mencegah

penyebaran

organisme infeksius Keluhan Utama

pembengkakan pada leher

Pemeriksaan Fisik

benjolan abnormal pada leher, cervical pain, kelainan gigi geligi, trismus (sukar membuka mulut)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan

labor,

Foto

polos,

Ultrasound, CT Scan, MRI Terapi

Pembedahan, medikamentosa, monitor pernapasan Gambar 2.1 Ringkasan Abses THT, Kepala, leher

2.2.2 Korpus Alienum 2.2.2.1 Definisi Benda asing di dalam suatu organ adalah benda yang berasal dari dalam atau luar tubuh yang normalnya tidak ada. Benda asing yang berasal dari luar tubuh dapat berupa benda padat, cair, atau gas. Benda asing eksogen padat dapat berupa zat organik seperti kacang (berasal dari tumbuhan) dan tulang (berasal dari kerangka hewan). Zat anorganik dapat berupa manik, mainan, baterai, cotton bud, korek api, batu, peniti, paku, jarum, dan lain-lain. Serangga juga dapat ditemukan sebagai benda asing. Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah, cairan mekonium, dan lain-lain. Benda asing yang masuk ke tubuh manusia ini masuk secara tidak sengaja atau untuk suatu tujuan. Benda asing ini biasanya dapat ditemukan di telinga, saluran napas, dan saluran cerna.15,19

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



9

2.2.2.2 Keluhan Utama Gejala yang dirasakan pada benda asing di telinga adalah nyeri telinga, penurunan kemampuan pendengaran, dan rasa penuh pada telinga. Gejala ini biasanya disertai dengan adanya riwayat memasukkan benda asing ke telinga.16 Adanya bau busuk, riwayat memasukkan benda asing dari hidung, dan perdarahan yang berasal dari hidung merupakan salah satu gejala dari benda asing hidung. Benda asing pada trakea akan menimbulkan keluhan batuk yang berulang-ulang dengan disertai rasa tercekik (choking) dan rasa tersumbat di tenggorok (gagging). Benda asing yang terdapat di orofaring dan hipofaring biasanya menunjukkan gejala nyeri pada waktu menelan, baik pada saat makan maupun saat meludah. Benda asing piriformis akan menunjukkan tanda Jackson (Jackson’s Sign), yaitu terdapatnya akumulasi ludah di sinus piriformis tempat benda asing tersangkut.15,19 Riwayat menelan benda asing biasanya ditemukan pada benda asing saluran cerna. Riwayat menelan ini biasanya disertai dengan nyeri pada waktu menelan, rasa tercekik (choking), rasa tersumbat di tenggorok (gagging), batuk, dan muntah.15 2.2.2.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada benda asing hidung dan telinga dapat dilakukan dengan pemeriksaan visual.19 Ulserasi, edema, dan inflamasi mukosa unilateral dapat ditemukan pada pemeriksaan benda asing hidung. Pemeriksaan fisik benda asing pada hipofaring dan orofaring dapat dilakukan dengan menggunakan kaca tenggorok yang besar (nomor 8-10). Sumbatan total benda asing pada laring akan menyebabkan kematian mendadak karena asfiksia sehingga pada pemeriksaan fisik akan tampak dispneu dan sianosis. Gejala patognomonik seperti getaran di daerah tiroid yang akan menunjukkan palpatory thud dan ketika diperiksa dengan stetoskop akan didengar audible slap akan ditemukan pada benda asing trakea. Kekakuan lokal pada leher biasanya terjadi pada benda asing esofagus akibat edema yang timbul progresif. Perforasi akut, pneumomediastinum, emfisema leher, dan terdengarnya suara getaran di daerah prekordial atau interskapula pada pemeriksaan auskultasi merupakan tanda-tanda dari benda asing ireguler.15

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



10

2.2.2.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada benda asing saluran pernapasan atas adalah pemeriksaan radiologis yang dilakukan segera setelah kejadian berlangsung. Hasil dari pemeriksaan tersebut untuk benda asing akan bersifat radioopak. Benda asing yang radiolusen, rontgen foto dibuatkan setelah 24 jam kejadian. Pemeriksaan radiologik leher dalam posisi tegak dilakukan untuk penilaian jaringan lunak leher dan pemeriksaan toraks posteroanterior dan lateral dilakukan untuk benda asing yang teraspirasi. Pemeriksaan paru penting dilakukan pada benda asing bronkus. Bronkogram berguna untuk benda asing radiolusen dan melihat bronkietasis akibat benda asing yang lama di bronkus. Pemeriksaan laboratorium darah diperlukan untuk mengetahui adanya gangguan asam basa serta tanda infeksi traktus trakeobronkial.15 Pemeriksaan penunjang benda asing di saluran pencernaan dapat dilakukan dengan

melakukan

foto

rontgen

polos

esofagus

servikal

dan

torakal

(anteroposterior dan lateral). Foto polos sering tidak menunjukkan gambaran benda asing seperti pada tulang ikan sehingga memerlukan pemeriksaan esofagus dengan kontras (esofagogram). Pemeriksaan lainnya adalah xeroradiografi yang dapat menunjukkan gambaran penyengatan (enhancement) pada daerah pinggir benda asing, CT Scan esofagus untuk menunjukkan gambaran inflamasi jaringan lunak dan abses, serta MRI untuk menunjukkan gambaran semua keadaan patologik esofagus.15 2.2.2.5 Terapi Prinsipnya, benda asing di saluran pernapasan dapat diatasi segera dengan pengangkatan secara endoskopik untuk kondisi yang paling aman dan trauma yang minimum. Manuver Heimlich dilakukan pada benda asing yang menyumbat laring secara total. Bronkoskopi harus segera dilakukan pada benda asing yang berada di trakea dan bronkus. Antibiotika dan kortikosteroid tidak rutin diberikan dan pasien dapat pulang 24 jam setelah tindakan apabila paru bersih dan tidak demam15. Benda asing pada telinga dapat ditatalaksana dengan ekstraksi menggunakan pinset, cunam, maupun irigasi dengan air hangat. Benda asing pada hidung dapat dikeluarkan dengan memakai pengait (hook) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian atas, lalu menyusuri seluruh kavum nasi sampai menyentuh

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



11

nasofaring. Pemberian terapi medikamentosa seperti antibiotika sistemik 5-7 hari hanya diberikan pada kasus benda asing hidung yang menimbulkan infeksi pada hidung maupun sinus. Benda asing di tonsil dan pangkal lidah dapat diambil menggunakan pinset/cunam. Benda asing di valekula dan sinus piriformis dapat diambil dengan laringoskopi langsung. Benda asing yang terdapat di saluran penceranaan terutama esofagus, dapat dikeluarkan dengan tindakan esofagoskopi. Servikotomi, torakotomi, atau esofagotomi dilakukan apabila benda asing tidak dapat dikeluarkan. Tindakan invasif pembedahan (laparotomi) dilakukan pada benda asing yang menetap selama 2 kali 24 jam.15 Gambar 2.2 berisi ringkasan korpus alienum. Definisi

Benda asing di dalam suatu organ yang berasal dari dalam atau dari luar tubuh yang normalnya tidak ada

Keluhan Utama

• Benda asing telinga: nyeri telinga penurunan

kemampuan

pendengaran, dan rasa penuh pada telinga • Benda asing hidung: Bau busuk dan perdarahan dari hidung • Benda asing saluran cerna: nyeri pada waktu menelan, rasa tercekik (choking),

rasa

tersumbat

di

tenggorok (gagging, batuk, dan muntah) Pemeriksaan Fisik

benjolan abnormal pada leher, cervical pain, kelainan gigi geligi, trismus (sukar membuka mulut)

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

darah,

radiografi,

bronkogram, esofagogram, CT Scan, dan MRI Terapi

Endoskopi, ekstraksi, dan pembedahan Gambar 2.2 Ringkasan Korpus Alienum

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



12

2.2.3 Obstruksi Jalan Napas Atas 2.2.3.1 Definisi Obstruksi jalan napas bagian atas adalah penyumbatan jalan nafas di atas saluran thoracic inlet. Penyumbatan ini dapat terjadi di laring, faring, trakea, dan daerah sekitarnya.23 Infeksi merupakan penyebab tersering obstruksi saluran napas atas pada anak-anak.21 Penyebab lain obstruksi jalan napas atas adalah: 1. Karsinoma (laring dan trakea) 2. Infeksi (epiglotitis, laringitis, angina ludwig, croup) 3. Aspirasi benda asing 4. Angioedem (alergi, drug induce) 5. Iatrogenic (postoperative, instrumentation procedure) 6. Trauma pada saluran napas (kecelakaan indrustri) 7. Trauma tumpul (kecelakaan lalu lintas, serangan fisik) 8. Gangguan neuromuskuler (krisis miastenik, distonia laring-faring) 9. Difteri 21,22 2.2.3.2 Keluhan Utama Stridor merupakan keluhan yang spesifik obstruksi saluran napas atas. Stridor terjadi karena turbulensi udara, vibrasi dalam struktur anatomi, atau penyempitan fungsional sepanjang saluran pernapasan antara rongga mulut dan distal bronki selama respirasi. Tanda penting lainnya adalah retraksi suprasternal dan perubahan suara. Stridor inspirasi terjadi akibat adanya gangguan di pita suara (vocal cord) atau di atas pita suara.21,22 2.2.3.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada sumbatan jalan napas atas dapat berupa pemeriksaan radiologis, laringoskopi, dan bronkoskopi.24 Laringoskopi tidak langsung dilakukan pada orang dewasa dilakukan dan pada anak dapat dilakukan laringoskopi langsung. Pemeriksaaan CT Scan dapat digunakan pada kasus sumbatan jalan napas atas yang disebabkan oleh karsinoma15,22.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



13

2.2.3.3 Pemeriksaan Fisik Jackson membagi sumbatan pernapasan atas dalam 4 stadium dengan gejala: a. Stadium 1. Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor waktu inspirasi dan pasien masih tenang. b. Stadium 2. Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam, ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar pada waktu inspirasi. c. Stadium 3. Cekungan di daerah suprasternal, epigastrium, infraklavikula, dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah, dan dispnea. Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi. d. Stadium 4. Cekungan-cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis. Pasien akan kehabisan tenaga apabila keadaan ini terus berlangsung.15 2.2.3.5 Terapi Prinsip terapi pada obstruksi jalan napas adalah mengembalikan patensi jalan napas dengan tindakan operatif atau resusitasi melalui intubasi orotrakea, intubasi orotrakea, trakeostomi, serta krikotirotomi, atau dengan terapi medikamentosa melalui pemberian antiinflamasi, antialergi, antibiotik hingga oksigen intermiten. Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan laring derajat dua atau tiga, sedangkan krikotirotomi dilakukan pada sumbatan laring derajat empat. Tindakan operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasarkan analisis gas darah. Intubasi endotrakea merupakan pilihan pertama pada fasilitas yang memadai, sedangkan trakeostomi dilakukan jika tidak terdapat ruangan intensif. Setelah jalan napas ditatalaksana, terapi spesifik untuk penyebab obstruksi yang mendasari harus diberikan.15

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



14

Pengobatan spesifik pada kasus karsinoma perlu dilakukan seperti pembedahan, radiasi, dan kemoterapi.22 Gambar 2.3 Berisi ringkasan obstruksi jalan napas atas. Definisi

Obstruksi jalan napas bagian atas adalah penyumbatan jalan nafas di atas saluran thoracic inlet.

Keluhan Utama

Stridor,

retraksi

suprasternal,

perubahan suara Pemeriksaan Fisik

Kriteria Jackson

Pemeriksaan Penunjang

Radiologis,

Laringoskopi,

Bronkoskopi, CT Scan Terapi

Medikamentosa,

intubasi,

trakeotomi/krikotirotomi Gambar 2.3 Ringkasan Obstruksi Saluran Napas Atas 2.2.4 Otitis Eksterna 2.2.4.1 Definisi Otitis eksterna adalah peradangan liang telinga. Terdapat dua kemungkinan otitis eksterna pada keadaan akut yaitu otitis eksterna sirkumskripta dan otitis eksterna difusa. Otitis eksterna yang mengancam jiwa adalah otitis eksterna maligna. Hal ini disebabkan infeksi yang terdapat pada otitis eksterna maligna sudah menyebar ke jaringan sekitar, termasuk tulang tengkorak. Kondisi lainnya yang termasuk ke dalam otitis eksterna lainnya adalah otomikosis, herpes zoster otikus, dan keratosis obturans.15,25 2.2.4.2 Keluhan Utama Kondisi ini ditandai dengan adanya nyeri telinga (otalgia), nyeri pada tragus atau pinna, telinga terasa penuh dan dengan atau tanpa hilangnya pendengaran, dan nyeri rahang. Keluhan-keluhan tersebut beronset cepat (umumnya dalam waktu 48 jam).26 Otitis eksterna maligna ditandai dengan rasa gatal di liang telinga yang dengan cepat diikuti nyeri yang terasa semakin berat, keluarnya sekret yang banyak, pembengkakan di liang telinga, dan dapat mengenai saraf fasial sehingga menimbulkan paresis atau paralisis fasial.15

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



15

2.2.4.3 Pemeriksaan Fisik Otitis eksterna sirkumskripita ditandai dengan adanya furunkel (bisul) pada sepertiga telinga bagian luar. Otitis eksterna difusa ditandai dengan liang telinga yang tampak hiperemis (bewarna kemerahan), bengkak, dan edem yang menyebar dan tidak jelas batasnya.15 2.2.4.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan dengan melakukan swab pada kanalis eksterna dilakukan untuk menentukan jenis organisme penyebab. Spesimen yang didapatkan dikultur di labotorium dan dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop. Pemeriksaan tambahan seperti CT Scan dan MRI juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebaran infeksi melalui tulang dan jaringan.26 2.2.4.5 Terapi Terapi otitis eksterna sirkumskripta bergantung pada furunkel. Terapi pada dinding furunkel yang tebal adalah dengan insisi furunkel lalu dipasang drain (salir) untuk mengalirkan nanahnya, kemudian dapat diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik dalam bentuk salep untuk mengobati proses infeksi. Abses yang terbentuk harus dikeluarkan nanahnya dengan aspirasi secara steril. Terapi pada otitis eksterna difusa adalah dengan pemberian antibiotik topikal melalui tampon21. Tidak jarang antibiotik tersebut dikombinasikan dengan steroid untuk mengurangi inflamasi. Pemberian antibiotik intravena diberikan 6-8 minggu berikutnya jika infeksi pada otitis eksterna maligna sudah menyebar luas berdasarkan gambaran dari CT Scan dan MRI. Tatalaksana infeksi telinga akibat jamur dapat dilakukan dengan

membersihkan

liang

telinga

dan

pemberian

obat

anti

jamur.

Penatalaksanaan herpes zoster otikus sesuai dengan tatalaksana herpes zoster.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



16

Pada keratosis obturan penatalaksanaan dilakukan dengan pembersihan debris secara berkala.26 Gambar 2.4 berisi ringkasan otitis eksterna. Definisi

peradangan pada liang telinga

Keluhan Utama

Nyeri telinga (otalgia), telinga terasa penuh, dan hilangnya pendengaran

Pemeriksaan Fisik

Otoskopi

Pemeriksaan Penunjang

Kultur, CT Scan, MRI

Terapi

Medikamentosa, pembedahan Gambar 2.4 Ringkasan Otitis Eksterna

2.2.5 Otitis Media 2.2.5.1 Definisi Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga bagian tengah, termasuk tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif (otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusi). Otitis media supuratif tergolong atas Otitis Media Supuratif Akut (OMA) dan Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK). OMSK terbagi pula atas OMSK tipe aman dan OMSK tipe bahaya. Otitis media serosa juga terbagi atas otitis media serosa akut dan otitis media serosa kronis.15 2.2.5.2 Keluhan Utama Gejala otitis media akut bergantung dari umur pasien dan stadium yang sedang berlangsung. Keluhan utama pada anak yang sudah dapat bicara adalah nyeri telinga, keluhan di samping suhu tubuh yang tinggi, dan biasanya didahului oleh riwayat batuk pilek sebelumnya. Keluhan pada anak yang lebih besar atau orang dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang dengar. Gejala khas OMA pada bayi dan anak kecil adalah suhu tubuh yang tinggi dapat sampai 39,5 derajat (stadium supurasi), anak sukar tidur dan gelisah, tiba-tiba menjerit saat tidur, diare, kejang-kejang, dan memegang telinga yang sakit. Sekret yang mengalir dari telinga merupakan pertanda adanya ruptur membran telinga dan kondisi ini diikuti dengan suhu tubuh menurun serta anak menjadi tenang. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



17

ditandai dengan keluarnya cairan dari telinga secara terus menerus dan hilang timbul. Sekret mungkin cair, bening, atau berupa nanah. Sakit kepala merupakan salah satu gejala dari komplikasi OMSK. Pada otitis media serosa gejala yang umum ditemukan adalah pendengaran yang berkurang. Selain itu, pasien dapat mengeluhkan rasa tersumbat pada telinga atau suara sendiri lebih nyaring/berbeda. Kadang-kadang pasien mengeluhkan seperti ada cairan di dalam kepala jika posisi kepala berubah.15 2.2.5.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan untuk melihat membran timpani melalui otomikroskopi atau otoskopi adalah kunci dari diagnosis.27 Normalnya, akan tampak pantulan cahaya dari membran timpani yang disebut juga cone of light. Refleks cahaya ini akan bergeser atau bahkan tidak ada sama sekali pada otitis media akut. Refleks cahaya abnormal ini akan disertai dengan gambaran membran timpani yang bervariasi sesuai dengan stadium penyakit. Kelima stadium OMA disertai gambaran membran timpaninya adalah: 1. Stadium hiperemis Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis dan edem 2. Stadium supurasi Stadium ini ditandai dengan membran timpani menonjol (bulging) ke arah telinga luar karena edema yang hebat pada mukosa telinga tengah, hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani 3. Stadium perforasi Pada stadium ini terdapat ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar 4. Stadium resolusi Apabila membran timpani utuh, membran timpani akan normal kembali, sekret berkurang dan akhirnya kering. Membran timpani akan tampak mengalami retraksi pada otitis media serosa. Kadang-kadang, tampak gelembung udara atau permukaan cairan dalam kavum timpani.15,28

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



18

2.2.5.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada otitis media akut adalah timpanometri, audiometri, reflektometri akustik, kultur dan foto rongent mastoid. Pemeriksaan timpanometri merupakan suatu pemeriksaan yang bersifat objektif dan kuantitatif untuk menilai mobilitas membran timpani dan fungsi telinga bagian tengah. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menginsersikan probe tone ke liang telinga dan mengukur energi suara yang direfleksikan kembali. Pemeriksaan audiometri dengan tes audiologi dilakukan untuk menentukan derajat hearing loss. Tes audiologi yang dilakukan adalah pure-tone threshold audiometry, speech awareness audiometry, behavioral observation audiometry, dan Auditory Brain Response (ABR). Pemeriksaan kultur dapat dilakukan dengan menggunakan cairan atau pus yang terbentuk.29 2.2.5.5 Terapi Terapi otitis media akut tergantung dari stadium yang sedang berlangsung. Pada stadium oklusi pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba eustachius sehingga menurunkan tekanan negatif di dalam telinga. Kondisi ini dapat ditatalaksana dengan pemberian obat tetes hidung dengan HCl Efedrin. Sumber infeksi juga harus diobati seperti pemberian antibiotik pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Pada stadium supurasi, terapi yang diberikan adalah terapi medikamentosa dengan obat tetes hidung, analgesik, dan antibiotik yang idealnya disertai dengan miringotomi apabila membran timpani masih utuh. Stadium perforasi ditandai dengan sekret yang keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3-5 hari.15 Prinsip terapi pada OMSK tipe aman adalah terapi konservatif atau medikamentosa. Bila cairan keluar terus menerus diberikan obat cuci telinga H2O2 3%. Obat tetes telinga yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid diberikan setelah sekret yang keluar berkurang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



19

Prinsip terapi pada OMSK tipe bahaya adalah dengan pembedahan, yaitu mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti.15 Gambar 2.5 berisi ringkasan otitis media. Definisi

Peradangan pada liang telinga

Keluhan Utama

Nyeri telinga, sekret dari telinga, pendengaran berkurang, dan telinga tersumbat

Pemeriksaan Fisik

Otoskopi

Pemeriksaan Penunjang

Kultur, CT Scan, audiometri, dan timpanometri

Terapi

Medikamentosa dan pembedahan Gambaar 2.5 Ringkasan Otitis Media

2.2.6 Tuli Mendadak 2.2.6.1 Definisi Tuli mendadak atau Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSHL) didefinisikan sebagai hilangnya pendengaran sensorineural. Onset penyakit ini cukup cepat, berlangsung kurang dari 3 hari.30 2.2.6.2 Keluhan Utama Kondisi ini ditandai dengan hilangnya fungsi pendengaran pada satu telinga tanpa alasan yang jelas. Kondisi ini tergolong dalam keadaan gawat darurat dan apabila ditangani secara cepat maka kesempatan pendengaran untuk pulih kembali akan tinggi.31 2.2.6.3 Pemeriksaan Fisik Telinga akan tampak normal pada pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan fisik termasuk tekanan darah juga perlu dilakukan.15,30 2.2.6.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan audiometri nada murni, speech, dan timpanometri termasuk tes refleks stapedius harus dilakukan. Pada kasus vertigo, Electronystagmography (ENG) atau Videonystagmography (VNG) juga harus dilakukan. Pemeriksaan lainnya adalah Brain-stem Evoked Response Audiometry (BERA) dan MRI. Pemeriksaan sampel darah dilakukan berdasarkan riwayat penyakit pasien dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



20

penyakit yang mungkin diderita oleh pasien. Pemeriksaan laboratorium darah yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Htc), sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), trombosit, C-reactive protein (CRP), pemeriksaan serologis untuk penyakit Lyme (Borrelia burgdorferi) dan sifilis (Treponema Pallidum Hemagglutination Assay, TPHA). Pemeriksaan imunologis untuk antibodi antikoklear juga diperlukan.30 2.2.6.5 Terapi Dewasa ini, standar pengobatan tuli mendadak adalah dengan tapering off kortikosteroid oral karena kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi dan memiliki kemampuan dalam meningkatkan aliran darah koklear. Kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid sintetik oral, intravena, dan/atau intratimpani. Obatobatan yang dapat diberikan meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason. Pasien dengan kondisi medis sistemik, seperti Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), diabetes tidak terkontrol, hipertensi labil, tuberkulosis, dan ulkus peptikum tidak disarankan diberi terapi kortikosteroid sistemik. Pada kondisi tersebut, terapi kortikosteroid intratimpani menjadi terapi pilihan. Terapi oksigen hiperbarik dapat diberikan sebagai terapi tambahan yang bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklear dan perilimfe. Inisiasi pemberian anti virus disinyalir dapat membantu pemulihan fungsi pendengaran tetapi dari beberapa percobaan yang telah dilakukan masih belum terungkap adanya manfaat penambahan terapi antivirus.32 Gambar 2.6 berisi ringkasan tuli mendadak. Definisi

Hilangnya pendengaran sensorineural yang berlangsung kurang dari 3 hari

Keluhan Utama

Hilangnya fungsi pendengaran pada satu telinga

Pemeriksaan Fisik

Otoskopi: normal

Terapi

Medikamentosa Gambaar 2.6 Ringkasan Tuli Mendadak

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



21

2.2.7 Vertigo 2.2.7.1 Definisi Vertigo merupakan kondisi dengan adanya perasaan atau sensasi tubuh yang berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya, lingkungan sekitar yang kita rasakan berputar. Vertigo juga dirasakan sebagai suatu perpindahan linear ataupun miring, tetapi gejala seperti ini lebih jarang dirasakan. Penyakit ini merupakan gejala yang menandakan adanya gangguan sistem vestibuler atau kelainan labirin. Tidak jarang vertigo merupakan gejala dari gangguan sistemik lain (misalnya obat, hipotensi, penyakit endokrin, dan sebagainya).33 Kondisi lain yang dapat terjadi adalah vertigo spontan (tanpa ada rangsangan) dan vertigo kalori.15 2.2.7.2 Keluhan Utama Keluhan utama pada vertigo adalah perasaan pusing berputar. Sensasi ini dapat dirasakan dengan adanya perubahan posisi kepala maupun tanpa rangsangan.15 2.2.7.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang menyeluruh difokuskan pada evaluasi neurologis terhadap saraf-saraf kranial dan fungsi serebelum, misalnya dengan melihat modalitas motorik dan sensorik. Penilaian terhadap fungsi serebelum dilakukan dengan menilai gerakan bola mata. Nistagmus (horizontal) menunjukkan adanya gangguan vestibuler sentral. Penting dilakukan tes keseimbangan seperti tes romberg, tes melangkah di tempat (stepping test), dan tes salah tunjuk (pass pointing), serta melakukan manuver nylen-barany atau hallpike. Pemeriksaan kanalis auditorius dan membran timpani juga harus dilakukan untuk menilai ada/tidaknya infeksi telinga tengah, malformasi, kolesteatoma, atau fistula perilimfatik.33 2.2.7.4 Pemeriksaan Penunjang CT Scan kepala sering dilakukan sebagai first line imaging untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis perdarahan atau massa yang besar pada fossa posterior. Pemeriksaan dengan CT Scan kepala masih alat diagnostik yang kurang baik dan susah dilakukan pada kasus gawat darurat karena pasien tidak kooperatif pada beberapa kasus. Sebaliknya, pemeriksaan MRI lebih baik.34 Gambar 2.7 berisi ringkasan vertigo.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



22

2.2.7.5 Terapi Tujuan utama terapi medikamentosa secara umum berguna untuk mengeliminasi keluhan vertigo, memperbaiki proses-proses kompensasi vestibuler, dan mengurangi gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif. Golongan obat yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di antaranya adalah obat yang berperan sebagai supresan verstibuler yaitu antikolinergik, antihistamin, dan antagonis kalsium. Antihistamin dan antidopaminergik digunakan untuk memberikan efek sedasi. Obat lain yang dapat digunakan adalah asetileusin dan simpatomimetik.33 Definisi

Vertigo merupakan kondisi adanya perasaan atau sensasi tubuh yang berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan berputar

Keluhan Utama

Perasaan pusing berputar

Pemeriksaan Fisik

Tes keseimbangan, gerakan bola mata, manuver nylen-barany atau hallpike

Terapi

Medikamentosa Gambaar 2.7 Ringkasan Vertigo

2.2.8 Serumen Impaksi 2.2.8.1 Definisi Serumen merupakan produksi dari kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas, dan debu. Dalam keadaan normal serumen akan ditemukan pada sepertiga luar liang telinga.15 2.2.8.2 Keluhan Utama Gangguan yang timbul apabila terjadi impaksi pada serumen adalah hilangnya pendengaran. Keluhan lain seperti nyeri telinga dan pusing juga dapat terjadi.35 2.2.8.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan pada serumen impaksi dapat dilakukan melalui otoskopi. Harus dipastikan ada/tidaknya benda asing dan kanalis auditori yang bengkak akibat peradangan saluran telinga luar (otitis eksterna).35

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



23

2.2.8.4 Terapi Serumen yang lembik dibersihkan dengan kapas yang dililitkan pada pelilit kapas. Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengait atau kuret. Terapi medikamentosa seperti karbogliserin 10% diberikan pada serumen keras yang tidak dapat dikeluarkan dengan pengait atau kuret. Ekstraksi serumen dengan teknik irigasi dilakukan pada serumen yang terdorong terlalu dalam dan setelah dipastikan tidak terdapat perforasi membran timpani.15 Gambar 2.8 berisi ringkasan serumen impaksi. Definisi

Produksi dari kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan debu

Keluhan Utama

Nyeri

telinga

dan

hilangnya

pendengaran Pemeriksaan Fisik

Otoskopi: serumen

Terapi

Medikamentosa dan ekstraksi serumen Gambar 2.8 Ringkasan Serumen Impaksi

2.2.9 Temporomandibular Joint Disorder 2.2.9.1 Definisi Sendi temporomandibular (TMD) dibentuk oleh kondilus mandibular yang diinsersikan ke fossa mandibular pada tulang temporal.36 Kelainan internal yang terjadi pada persendian ini sama seperti kelainan sendi lainnya seperti disk displacement, osteoartrosis, artritis, deformitas kongenital, ankilosis, fraktur, dan neoplasma. TMJ disorder umumnya disebabkan oleh disk displacement. Kondisi ini mengakibatkan terganggunya ligamen yang menghubungkan diskus ke kondilus mandibular. Hal ini sering terjadi pada hiperekstensi mandibular, trauma tumpul muka, dan kelemahan struktural.37 2.2.9.2 Keluhan Utama Temporomandibular joint disorder merupakan penyebab utama dari nyeri nondental pada regio orofasial. Nyeri nondental ini mencakup daerah kraniofasial yang melingkupi daerah sekitar persendian temporomandibular, otot mastikasi, dan inervasi otot dari kepala dan leher. Keluhan yang umum dirasakan pada dislokasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



24

TMJ adalah adalah pasien tidak mampu untuk menyatukan gigi atas dan bawah. Keluhan ini dapat disertai nyeri, spasme, dan tidak mampu berbicara dengan jelas.37 2.2.9.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan inspeksi harus memastikan adanya deformasi dan deviasi dari dagu dan gigi. Pasien kemudian diminta untuk membuka dan menutup mulut secara aktif, menggerakan mandibular ke kiri dan ke kanan, serta menonjolkan dagu ke depan. Pemeriksaan ini berfungsi untuk menilai derajat dari gangguan TMJ berdasarkan Range Of Motion (ROM). Pemeriksaan palpasi akan teraba adanya tonjolan dan/atau krepitasi saat pembukaan mulut.38 2.2.9.4 Pemeriksaan Penunjang Peningkatan sedimentasi eritrosit akan didapatkan dari pemeriksaan laboratorium jika penyebabnya adalah infeksi atau penyakit sistemik lainnya. Pemeriksaan foto polos tidak terlalu memberikan informasi kecuali jika ada tandatanda artrosis. Pemeriksaan dengan CT Scan akan menggambarkan lokasi meniskus dan sendi lebih akurat. Beberapa tahun terakhir pemeriksaan dengan MRI sudah mulai sering digunakan untuk menilai derajat dari TMJ.38 2.2.9.5 Terapi Pasien dengan gangguan intraartikular disarankan untuk melakukan pembedahan. Pembedahan yang dilakukan diantaranya artrosentesis (pungsi pada ruang sendi untuk mengeluarkan cairan yang terakumulasi sekaligus prosedur irigasi sendi temporomandibular), artroskopi (melihat ruangan dalam sendi utnuk diagnostik dan terapeutik), artrotomi, hingga mengganti struktur anatomis dengan menggunakan sendi protesa buatan. Terapi lainnya adalah injeksi kortikosteroid pada ruang sendi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



25

Terapi fisik dengan mobilisasi rahang dapat dilakukan untuk mengurangi 39

nyeri. Gambar 2.9 berisi ringkasan Temporomandibular Joint. Definisi

Gangguan pada kondilus mandibular yang diinsersikan ke fossa mandibular pada tulang temporalyang disebabkan oleh disk displacement

Keluhan Utama

Nyeri non dental dan tidak mampu menyatukan gigi atas dan bawah

Pemeriksaan Fisik

Deformasi dan deviasi dagu dan gigi dan adanya tonjolan/krepitasi

Terapi

Medikamentosa dan pembedahan Gambar 2.9 Ringkasan Temporomandibular Joint Disorder

2.2.10 Trauma di bidang THT-KL 2.2.10.1 Definisi Trauma adalah luka atau cedera yang dapat disebabkan oleh faktor mekanik ataupun fisik. Trauma juga bisa disebabkan oleh efek psikologis seperti syok emosional yang berakhir neurosis atau psikosis.40 Trauma mekanik di bidang THTKL dapat mengenai setiap bagian dari telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Trauma dapat terjadi pada : a. Telinga Kondisi yang dapat terjadi adalah patah tulang meatus akustikus eksternus, laserasi saluran telinga luar, trauma telinga bagian luar, hematoma daun telinga, sengatan suhu dingin, hingga trauma yang menyebabkan robeknya membran timpani b. Muka Trauma pada muka yang dapat terjadi yaitu patah tulang hidung terbuka atau tertutup, laserasi hidung, fraktur tulang temporal, dan patah tulang hidung nasoorbitemoid kompleks. Selain itu kondisi yang juga dapat terjadi adalah fraktur zigoma dan arkus zigoma, faktur tulang maksila/mid facial fracture, fraktur tulang orbita, dan fraktur tulang mandibular

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



26

c. Leher Trauma yang umum terjadi adalah trauma laring yang biasanya berupa trauma tajam akibat tusukan pisau pada penganiyaan atau usaha bunuh diri. Kadang-kadang terjadi akibat pecahan kaca pada kecelakaan.20,41 2.2.10.2 Keluhan Utama Keluhan utama pada cedera rahang wajah dan cedera laring dapat bervariasi, mulai dari fraktur tulang hidung dengan tanpa epistaksis bermakna dan hanya dengan deformitas hidung minor, laserasi atau luka sayat, hingga cedera remuk pada wajah yang luas. Lokasi spesifik laserasi mungkin terjadi pada bagian luar hidung, telinga, bibir, galea, kelopak mata, dan lidah.15,42 Lekukan pada daerah dahi menunjukkan fraktur sinus frontalis. Nyeri tekan pipi biasanya menunjukkan fraktur tulang zigoma.15,42 Trauma telinga yang menyebabkan ruptur membran timpani dapat menyebabkan nyeri pada telinga. Fraktur tulang temporal merupakan salah satu penyebab tersering dari paralisis nervus fasialis.42,43,44 Keluhan utama trauma muka bergantung dari organ yang terkena. Patah tulang hidung ditandai dengan adanya deformitas hidung, bengkak, dan perdarahan dari rongga hidung. Syok akibat trauma umumnya terjadi pada trauma maksilofasial karena trauma pada daerah ini mengenai arteri maksilaris interna.41,45,46 2.2.10.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada trauma telinga terdiri dari dari inspeksi aurikula dan otoskopi.47 Bekuan darah yang tebentuk di antara perikondrium dan tulang rawan daun telinga merupakan tanda adanya hematoma daun telinga.41 Pemeriksaan otoskopi juga dilakukan pada perforasi membran timpani. Perforasi yang kecil membutuhkan pemeriksaan dengan meggunakan otomikroskop.48 Hematoma septum dapat ditemukan dengan palpasi hidung.41 Pipi yang lebih rata dibandingkan dengan kontralateral, diplopia, ptosis, epistaksis karena perdarahan pada antrum merupakan tanda-tanda dari fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma.15 Pemeriksaan fraktur maksila secara inspeksi akan didapatkan epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema, dan hematoma subkutan yang mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan belakang dan diperkuat dengan maloklusi gigi jika mandibular utuh. Pemeriksaan fraktur maksila

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



27

secara palpasi akan didengar suara krepitasi saat maksila digerakkan. Pada palpasi bilateral, adanya step deformity pada sutura zygomaticomaxillary mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.48 Selanjutnya, pada fraktur tulang orbita dapat dilihat adanya endoftalmus, eksoftalmus, diplopia, asimetri pada muka, dan gangguan saraf sensoris.15 Nyeri tekan laring, krepitasi tulang, sesak napas, dahak campur darah, dan nyeri laring saat menolehkan kepala merupakan tanda-tanda dari trauma laring. Pemeriksaan dengan laringsokopi langsung atau tidak langsung pada trauma laring akan memperilhatkan darah, jaringan yang memar, atau deformitas. Berbagai pemeriksaan kelumpuhan saraf fasial seperti pemeriksaan fungsi tonus, sinkinesis, dan hemispasme dapat dilakukan untuk mengetahui derajat dan letak lesi dari kelumpuhan saraf fasial.41 2.2.10.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan

penunjang

perlu

dilakukan

pada

fraktur

tulang

nasoorbitetmoid, kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis. Foto yang paling baik untuk menilai fraktur maksila adalah dari potongan aksial. Potongan koronalpun dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Pemeriksaan CT Scan dilakukan pada fraktur laring dan faktur mandibular untuk menentukan lokasi fraktur. Pemeriksaan foto polos juga dapat dilakukan, terutama pada fraktur maksila dan mandibular. Teknik yang dipakai pada fraktur maksila adalah teknik waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view. Kenampakan yang mungkin akan kita dapat dari foto polos tersebut diantaranya adalah opasitas pada sinus maksila, pemisahan pada rima orbita inferior, sutura zigomatikofrontal, dan daerah nasofrontal.49 Teknik pemeriksaan foto polos yang digunakan pada fraktur mandibula adalah lateral, towne, lateral oblik kiri dan kanan.15 2.2.10.5 Terapi Terapi trauma telinga pada patah tulang meatus akustikus eksternus terdiri atas pengeluaran fragmen yang menyebabkan obstruksi. Penjahitan membran timpani dalam narkose dilakukan pada perforasi membran timpani. Cairan yang keluar dari telinga pada perforasi membran timpani harus diberikan antibiotik dalam bentuk obat tetes telinga. Cedera pada telinga akibat trauma yang tidak sembuh atau disertai tuli konduktif menetap, diperlukan eksplorasi dan reposisi. Tidak ada pengobatan spesifik pada sengatan suhu dingin telinga, melainkan bula

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



28

yang terbentuk dicegah jangan sampai pecah dan diberikan obat analgesik. Antibiotik dapat diberikan jika ada tanda-tanda infeksi.41,48 Trauma laserasi yang terbentuk memerlukan penutupan langsung.44 Penatalaksanaan pada trauma patah tulang hidung adalah pembedahan dengan reposisi untuk mencegah deformitas wajah yang menetap. Epistaksis yang terjadi harus segera ditatalaksana. Prinsip penatalaksanaannya adalah perbaiki keadaan umum, hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab untuk mencegah perdarahan berulang.15 Tampon hidung posterior juga dapat digunakan dan biasanya dipertahankan selama tiga hingga lima hari.42 Penanganan epistaksis yang tidak terkontrol dapat dilakukan dengan angiografi dan embolisasi yang membutuhkan anestesi. Terapi fraktur tulang zigoma yang sudah terjadi perubahan posisi orbita adalah fiksasi dengan kawat baja atau mini plate. Penutupan dan fiksasi intermaksilar yang betujuan untuk oklusi gigi menjadi lebih sempurna sangat ditekankan pada fraktur maksila agar rahang atas dan rahang bawah. Fraktur mandibular juga dapat diterapi dengan mini plate, tetapi biasanya dilakukan di negara-negara maju.15 Gambar 2.10 berisi ringkasan trauma di bidang THT-KL Definisi

Trauma adalah luka atau cedera yang dapat disebabkan oleh faktor mekanik ataupun fisik.

Keluhan Utama

Nyeri pada telinga, hematoma daun telinga, epistaksis, syok, deformasi, bengkak

Pemeriksaan Penunjang

Foto polos dan CT Scan

Terapi

Medikamentosa , pembedahan, dan penutupan luka Gambar 2.10 Ringkasan Trauma di bidang THT-KL.

2.2.11 Perikondritis 2.2.11.1 Definisi Perikondritis adalah infeksi pada jaringan ikat telinga yang menutupi aurikula atau pinna. Infeksi yang terjadi tidak mengenai lobulus telinga.50

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



29

2.2.11.2 Keluhan Utama Keluhan utama dari perikondritis adalah nyeri telinga (otalgia) yang semakin lama semakin berat. Kondisi ini dapat disertai adanya cairan (discharge) yang purulen.50 2.2.11.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan adalah eritema, pembengkakan, dan nyeri pada aurikula tanpa fluktuasi yang mencolok. Lobulus yang tidak terpengaruh pada kondisi ini merupakan kondisi yang dapat menyingkirkan kecurigaan otitis eksterna.50 2.2.11.4 Terapi Manajemen perikondritis mencakup terapi antibiotik dan pertimbangan pembedahan melalui insisi dan drainase oleh spesialis THT. Tindakan ini penting pada kasus fluktuasi untuk menghilangkan tulang rawan yang nekrotik.50 Gambar 2.11 berisi ringkasan perikondritis. Definisi

Perikondritis adalah infeksi pada jaringan ikat telinga yang menutupi aurikula atau pinna

Keluhan Utama

Nyeri telinga yang makin berat dan dapat ditemukan sekret dari telinga

Pemeriksaan Fisik

Eritema dan pembengkakan pada aurikula Medikamentosa dan pembedahan

Terapi

Gambar 2.11 Ringkasan Perikondritis 2.2.12 Bell’s Palsy 2.2.12.1 Definisi Bells’s palsy adalah penyakit idiopatik yang menyebabkan paralisis muka unilateral. Diagnosa bell’s palsy diberikan jika tidak ada etiologi medis lain yang bisa diidentifikasi sebagai penyebab kelemahan wajah.51 Kondisi ini melibatkan inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum yang menyebabkan kompresi, iskemia, dan demielinisasi. Penyakit ini sering dihubungkan dengan reaktivasi virus herpes zoster, tetapi patogenesis pasti masih

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



30

belum diketahui.52 Kondisi lain penyebab paralisis fasial meliputi stroke, tumor otak, tumor parotis atau fossa intratemporal, kanker yang melibatkan nervus fasialis, penyakit sistemik, penyakit serta infeksi seperti sarkoidosis dan lyme disease.51,52 2.2.12.2 Keluhan Utama Penyakit ini bersifat akut dan progresif. Pasien dengan bell's palsy biasanya mengalami kelemahan otot secara parsial atau total dari setengah wajah sehingga mengakibatkan ketidakmampuan menaikkan alis, mengerutkan kening, menutup kelopak mata, serta kehilangan lipatan nasolabial.53 2.2.12.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksan fisik yang harus dilakukan adalah observasi wajah pasien yang asimetri. Selain itu, penting dilakukan pemeriksaan motorik dan sensorik pada wajah. Penilaian fungsi motorik dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk mengangkat alis mata, menutup kedua mata dengan rapat, tersenyum, dan meringis (memperlihatkan gigi pada rahang atas dan bawah). Penilaian fungsi sensorik dilakukan dengan menilai fungsi persarafan pada dua pertiga anterior lidah. Pemeriksaan general lainnya yang penting dilakukan adalah otoskopi, palpasi massa di leher dan wajah, serta pemeriksaan kulit untuk menilai vesikel yang berhubungan dengan herpes zoster. Penilaian terhadap refleks orbikularis dapat dilakukan dengan mengetuk glabela kemudian melihat bagaimana pasien berkedip, dan menilai adanya fenomena bel, yaitu melihat upward movement mata saat penutupan kelopak mata.52 2.2.12.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah lengkap bertujuan untuk mengetahui adanya proses infeksi dan gangguan limfoproliferatif. Pemeriksaan serum antibodi digunakan untuk mengidentifikasi adanya infeksi herpes zoster dilakukan jika terdapat vesikel pada pemeriksaan fisik luar. Analisis serebrospinal dapat menyingkirkan kemungkinan syndrom gulianbarre, karsinomatosis leptomeningeal, dan infeksi yang terkait sistem saraf pusat. Pemeriksaan radiologis tidak direkomendasikan pada evaluasi awal bells palsy kecuali jika gejala bersifat atipikal. Kondisi ini dapat disebabkan tumor yang menyebabkan kelumpuhan otot wajah seperti neuroma

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



31

wajah, kolesteatoma, hemangioma, dan meningioma. CT Scan dan MRI digunakan apabila gejala tidak membaik setelah 3 minggu.52 2.2.12.5 Terapi Terapi pada pada bell’s palsy dapat dikelompokkan menjadi terapi medikamentosa, pembedahan, dan terapi fisik. Penatalaksanaan terapi medika mentosa dilakukan pada pasien yang tidak dapat menutup mata secara rapat. Kondisi ini harus segera diterapi dengan memberikan obat tetes mata yang mengandung air mata buatan dan salep mata lubrikan pada saat tidur untuk mencegah

keratopati.

Terapi

medikamentosa

dengan

kortikosteroid

direkomendasikan pada 72 jam pertama untuk mendapatkan fungsi saraf wajah yang lebih baik. Pemberian kortikosteroid ini dilaporkan lebih baik hasilnya jika diberikan bersama dengan obat-obatan antivirus. Indikasi terapi pembedahan adalah pasien dengan paralisis komplit dengan penurunan motor amplitude lebih dari 90% pada penilaian konduksi saraf. Beberapa penelitian menyatakan bahwa terapi fisik pada wajah dapat membantu penyembuhan.52 Gambar 2.12 berisi ringkasan bell’s palsy. Definisi

Penyakit idiopatik yang menyebabkan paralisis muka unilateral

Keluhan Utama

Kelemahan otot secara parsial atau total dari setengah wajah

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang Terapi

Penilaian fungsi sensorik, motorik, dan ditemukan fenomena bell Pemeriksaan Labor, Radiografi, CT Scan, dan MRI Medikamentosa dan pembedahan

Gambar 2.12 Ringkasan Bell’s Palsy 2.2.13 Miringitis Bullosa 2.2.13.1 Definisi

Miringitis bullosa adalah radang akut pada membran timpani yang sering

ditemukan pada orang dewasa dan dewasa muda. Inflamasi terjadi pada seluruh lapisan membran timpani dan dapat disertai bullae. Miringitis bulosa terbagi menjadi dua bentuk. Bentuk primer tanpa disertai adanya otitis media Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



32

sebelumnya, sedangkan bentuk sekunder adalah sisa dari penyakit di telinga tengah.54,55 2.2.13.2 Keluhan Utama Keluhan utama yang biasanya diderita oleh pasien adalah nyeri telinga berat awitan dini disertai adanya sekret serosanguinosa. Keluhan ini sering didahului oleh infeksi saluran pernapasan.53,54 2.2.13.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada miringitis bulosa adalah otoskopi. Pemeriksaan ini akan menggambarkan lesi vesikuler kecil yang multipel pada membran timpani. Temuan ini juga disertai dengan adanya limfadenopati servikal posterior.55 2.2.13.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan

kultur

jarang

diperlukan.

Biopsi

dilakukan

untuk

mendiagnosis miringitis bullosa pada pasien dengan immunocompromised berat atau pasien dengan gejala yang atipik.54 2.2.13.5 Terapi Miringitis bullosa primer dapat sembuh 3-4 hari. Membuka bula dengan menggunakan myryngotomy knife dapat mengurangi nyeri. Miringitis bullosa sekunder diterapi dengan memberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik untuk mengobati otitis media yang mendasari.54 Gambar 2.13 berisi ringkasan Miringitis Bulosa. Definisi

Inflamasi terjadi pada seluruh lapisan membran timpani dan dapat disertai bullae

Keluhan Utama

nyeri telinga berat awitan dini disertai adanya sekret serosanguinosa

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang

Otoskopi: lesi vesikuler kecil pada membran timpani Biopsi

Terapi

Medikamentosa dan pembedahan Gambar 2.13 Ringkasan Miringitis Bulosa

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



33

2.2.14 Mastoidis Akut 2.2.14.1 Definisi Mastoiditis adalah inflamasi yang biasanya disebabkan infeksi bakteri pada tulang mastoid. Tanpa pengobatan yang adekuat, dapat menyebabkan meningitis dan abses otak. Penyakit ini biasanya didahului oleh OMA yang tidak mendapatkan pengobatan adekuat.56 2.2.14.2 Keluhan Utama Biasanya pada pasien ini akan didapatkan adanya nyeri pada area postauricular. Keluhan ini tidak jarang disertai edema dan pembengkakan.54 2.2.14.3 Pemeriksaan Fisik Tanda inflamasi seperti pembengkakan pada postauricular akan diapatkan pada pemeriksaan fisik. Tanda inflamasi lain seperti edema juga dapat ditemukan.54 2.2.14.4 Pemeriksaan Penunjang Penegakan diagnosis penyakit ini adalah berdasarkan manifestasi klinis yang dikonfirmasi dengan pencitraan radiografi. Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat digunakan yaitu CT Scan untuk menentukan ada atau tidaknya penumpukan cairan atau pus pada sel mastoid.55 2.2.14.5 Terapi Penyakit ini membutuhkan perawatan untuk pemberian antibiotik intravena yang cepat. Terapi medikamentosa sefalosporin generasi ketiga merupakan pengobatan pilihan. Prosedur pembedahan untuk drainase dapat dibutuhkan.55 Gambar 2.14 berisi ringkasan mastoiditis akut. Definisi

Inflamasi yang biasanya disebabkan infeksi bakteri pada tulang mastoid

Keluhan Utama

Nyeri pada area postauricular

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang

Edema dan bengkak pada area postauricular Radiografi, CT Scan

Terapi

Medikamentosa dan pembedahan Gambar 2.14 Ringkasan Mastoiditis Akut

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



34

2.2.15 Kerangka Teori

Gambar 2.3 Kerangka Teori 35

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas





BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Bagian THT-KL dan Rekam Medik RSUP Dr. M. Djamil Padang. 3.2.2 Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2017 – Januari 2018. 3.3 Populasi, Sampel, Teknik Pengambilan Sampel 3.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang masuk IGD THTKL RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2015 – 2016. 3.3.2 Sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi §

Kriteria Inklusi § Data pasien dari rekam medik yang masuk IGD THT-KL yang sudah didiagnosis oleh spesialis THT-KL

§

Kriteria Eksklusi §

Data pasien dari rekam medik yang masuk IGD THT-KL yang tidak lengkap

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling dari semua pasien yang masuk IGD THT-KL RSUP dr. M. Djamil Padang Januari 2015Desember 2016 3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.4.1 Variabel Penelitian Klasifikasi variabel penelitian yaitu : 1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Keluhan Umum

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



36

4. Diagnosis 5. Terapi 3.4.2 Definisi Operasional 1.

2.

3.

Usia

: Usia adalah lama waktu hidup (sejak dilahirkan)57

Cara Ukur

: Observasi

Alat Ukur

: Data rekam medik pasien

Hasil Ukur

: 1.

0 – 5 tahun

2.

6– 10 tahun

3.

11 – 15 tahun

4.

16 – 20 tahun

5.

21 - 30 tahun

6.

31 - 40 tahun

7.

41 - 50 tahun

8.

51 – 60 tahun

9.

61 – 70 tahun

10.

>71 tahun

Skala Ukur

: Ordinal

Jenis kelamin

: Karakteristik fisik penderita

Cara ukur

: Observasi rekam medik pasien

Alat ukur

: rekam medik

Hasil ukur

: 1.

Laki-Laki

2.

Perempuan

Skala ukur

: Nominal

Keluhan utama

: Keadaan yang mendorong pasien untuk meminta bantuan medis58

Cara Ukur

: Observasi

Alat Ukur

: Data rekam medik pasien

Hasil Ukur

: 1.

Bengkak

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



37

4.

2.

Nyeri

3.

Tersumbat

4.

Riwayat kemasukan benda asing

5.

Bau busuk dari hidung

6.

Keluar sekret dari telinga

7.

Hilang fungsi pendengaran

8.

Perdarahan

9.

Tercekik

10.

Suara napas stridor

11.

Pusing berputar

12.

Tidak dapat menggerakkan rahang

13.

Syok

14.

Kelemahan otot muka

Skala Ukur

: Ordinal

Diagnosis

: Penentuan jenis penyakit dengan cara meneliti (memeriksa) menurut gejala-gejalanya.59

Cara Ukur

: Observasi

Alat Ukur

: Data rekam medik pasien

Hasil Ukur

: 1.

Abses THT

2.

Korpus alienum

3.

Obstruksi jalan napas

4.

Otitis eksterna

5.

Otitis media

6.

Tuli mendadak

7.

Vertigo

8.

Serumen impaksi

9.

Temporomandibular Joint Disorder

10. Trauma di bidang THT 11. Perikondritis 12. Bell’s Palsy Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



38

13. Miringitis bullosa 14. Mastoiditis akut

5.

Skala Ukur

: Ordinal

Terapi

: Usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit; pengobatan penyakit; perawatan penyakit. Terapi berkaitan dengan keluhan utama.60

Cara Ukur

: Observasi

Alat Ukur

: Data rekam medik pasien

Hasil Ukur

: 1. Pembedahan 2. Medikamentosa 3. Ekstraksi 4. Ear toilet 5. Penutupan luka

6.

Skala Ukur

: Ordinal

Klasifikasi

: Pengelompokan lima penyakit terbanyak yang masuk IGD sesuai dengan kriteria penyakit tersebut.

Cara Ukur

: Observasi

Alat Ukur

: Data rekam medik pasien

Hasil ukur

: Disesuaikan dengan kriteria masing-masing lima penyakit yang terbanyak masuk ke IGD 1. Korpus Alienum a. Korpus Alienum telinga b. Korpus alienum hidung c. Korpus alienum tenggorok

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



39

Jenis Korpus alienum: 1. Kacang/Biji 2.

Tulang

3.

Jarum

4.

Manik

5.

Mainan

6.

Baterai

7.

Cottonbud

8.

Korek api

9.

Serangga

10.

Batu

11.

Dan lain-lain

2. Otitis Media a. Otitis Media Supuratif •

Akut (stadium 1-4)



Kronis (aman dan bahaya)

b. Otitis Media Non supuratif 3. Otitis Eksterna (sirkumskripta dan difusa) 4.

Trauma THT-KL •

Hidung (Trauma nasal, fraktur os. nasal, fraktur NOE)



Telinga (Laserasi LT, ekskoriasi LT, laserasi aurikula, ruptur MT)



Muka (fraktur zigoma, fraktur maksila, fraktur mandibular)

3.5 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data rekam medik pasien di Bagian Rekam Medik dan THT KL RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



40

3.6 Prosedur Pengambilan Data Pengambilan data dilaksanakan dengan mengambil data rekam medik dan mencatat rekam medik di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang. Data yang diambil dari rekam medik adalah kasus THT-KL yang masuk IGD RSUP Dr. M. Djamil dari tanggal 1 Januari 2015 sampai 31 Desember 2016. Data yang dikumpulkan adalah data usia, jenis kelamin, keluhan utama, diagnosis, dan terapi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



41

3.7 Alur Penelitian Populasi: Pasien kegawatdaruratan yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2015-2016 KRITERIA EKSKLUSI

KRITERIA INKLUSI

SAMPEL POPULASI

PENGUMPULAN DATA DAN PENCATATAN REKAM MEDIS

USIA

JENIS KELAMIN

KELUHAN UTAMA

DIAGNOSIS

TERAPI

PENCATATAN DATA

ANALISIS DATA Gambar 3.7 Alur Peneltian 3.8 Cara Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan menggunakan komputer dan analisis data yang dilakukan adalah deskriptif univariat untuk mengetahui gambaran usia, jenis kelamin, keluhan utama, diagnosis, dan terapi dari kegawatdaruratan THT KL yang masuk IGD RSUP Dr. M. Djamil periode 1 Janurari 2015 – 31 Desember 2016. Data yang diolah akan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



42

DAFTAR PUSTAKA 1.

Prestes L, Hamerschmidt L, Moreira STAT, Tambara E. Epidemiologic Profile of an Otolaryngologic Emergency Service. Int Arch Otorhinolaryngol . 2014 June 17;18(4): 380–382.

2.

Andrade JSC, Albuquerque AMS, Matos RC, Godofredo VR, Penido NO. Profile of otorhinolaryngology emergency unit care in a high complexity public hospital. Braz J Otorhinolaryngol. 2013 June; 79(3): 312-316

3.

Kitcher ED, Jangu A, Baidoo K. Emergency Ear, Nose and Throat Admissions At the Korle-Bu Teaching Hospital. Ghana Medical Journal. 2007 March; 41(1): 9–11.

4.

Vasileiou I, A Giannopoulos, C Klonaris et al. The potential role of primary care in the management of common ear, nose or throat disorders presenting to the emergency department in Greece. Quality in Primary Care. 2009 March 3; 17(2): p. 145-148.

5.

Healthcare Cost And Utilization Project. Overview of Emergency Department Visits in the United States, 2011. United States: Agency for Healthcare Research and Quality; 2014.

6.

National Ambulatory Care Reporting System. Emergency Department Visits In 2014-2015. Canada: Canadian Institute for Health Information.

7.

G CHEE Ear Nose Throat Sinus and Dizziness Centre. Common ENT Emergencies. Singapore. Mount Elizabeth Medical Centre; 2017.

8.

Khoirunnisa R. Memahami Hubungan JKN, KIS, KJS, BPJS, JAMKESMAS dan JAMKESDA. BPJS Kesehatan. http:// www.pasienbpjs.com/2016/08/ pebedaan-jkn-kis-kjs-bpjs-jamkesmas-dan-jamkesda.html - Diakses tanggal 3 November 2017.

9.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta (ID): RI.

10. Penjaminan Pelayanan Kesehatan Darurat Medis di Faskes yang Tidak Bekerjasama Dengan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan. 2014: h. 5-26.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



43

11. Part 3 Division 3 of the Auditor-General Act 2009. Emergency Department Peformance Reporting Summary. Brisbane: Queensland Audit Office; 2014. 12. Halim W, Nurshabrina LP, Novi. Perancangan Ruang Triase dan Intermediate Ward (IW) Ditinjau Dari Segi Ergonomi dan Peraturan Pemerintah (Studi Kasus di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS.X. Jurnal INTEGRA. 2015 Juni; 5(1): h. 83-101. 13. Polsdorfer JR. Abscess. In Krapp K, Wilson J editors. The Gale Encyclopedia of Medicine. 3rd edition. Detroit: Gale; 2006. p. 13-15. 14. Vieira F, Allen SM, Stocks RMS, Thompson JW. Deep Neck Infection. Otolaryngol Clin N Am. 2008 June; 41(3):459-483. 15. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku ajar Ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h. 1-273. 16. Patigaroo SA, Patigaroo FA, Mehfooz N, Khan NA, Kirmani MH, Shakeel. Pediatric Deep Neck Space Abscesses: A Prospective Observational Study. Emergency Med. 2012; 2(5): p 3-6. 17. Kamath MP, Shetty AB, Hegde MC, Sreedharan S, Bhojwani K, Agarwal S, et al. Presentation and Management of Deep Neck Abscess. Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgeon. 2003 October; 55(4): 270–275. 18. Motahari SJ, Poormoosa R, Nikkhah M, Bahari M, Shirazy SMH, Khavarinejad F. Treatment and Prognosis of Deep Neck Infections. Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgeon. 2015 March; 67(Suppl 1): 134–137. 19. Polsdorfer JR. Foreign Objects. In Krapp K, Wilson J editors. The Gale Encyclopedia of Medicine. 3rd edition. Detroit: Gale; 2006. p. 781-785. 20. Dovemed Editorial Board. Acute Upper Airway Obstruction. Dove Med. Available

on

http://www.dovemed.com/diseases-conditions/acute-upper-

airway-obstruction/. 21. Sasidaran K, Bansal A, Singhi S. Acute Upper Airway Obstruction. Indian J Pediatr. 2011 October; 78(10): p. 1256-1261.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



44

22. Braman S, McCool F. Critical Care Medicine: Upper airway obstruction. Clinical Advisor. Available on http://www.clinicaladvisor.com/ critical- caremedicine/upper-airway-obstruction/article/585129/ . 23. Marbun EM. Evaluasi Stridor Pada Bayi dan Anak. Meditek. 2006 Mei – Agustus; 14(37): h. 1-7. 24. Smeltzer S, Bare B, Hinkle J, Cheever K. Textbook of Medical-Surgical Nursing. 12th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2010. 25. De-Witt RC. Otitis Externa. In Krapp K, Wilson J editors. The Gale Encyclopedia of Medicine. 3rd edition. Detroit: Gale; 2006. p. 2720-2722. 26. Chui CPS. Acute Otitis Externa. Paediatr Child Health. 2013 February; 18(2): p. 96-98. 27. Thomas JP, Berner R, Zahnert T, Dazert S. Acute Otitis Media—a Structured Approach . Dtsch Arztebl Int. 2014 February 28; 11(9): p. 151–160. 28. Corbeil DMS, DeWitt RC, Frey RJ. Otitis Media. In: Krapp K, Wilson J editors.

The Gale Encyclopedia of Children's Health: Infancy through

Adolescence. 3rd Edition. Detroit: Gale; 2006. p. 1373-1377. 29. Bluestone CD. Pediatric Otolaryngology. 2nd Volume. Philadelphia: Gulf Professional Publishing; 2003. 30. Levie P, Desgain O, Burbure CD, Germonpré P, Monnoye JP , Thill MP et al. Robillard. Sudden Hearing Loss . Royal Belgian Society for Ear, Nose, Throat, Head and Neck Surgery. 2007;3(Suppl 6): p. 33-43. 31. National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. Sudden Deafness. Bethesda: US Department of Health and Human Services. 2014. 32. Novita S, Yuwono N. Diagnosis dan Tata Laksana Tuli Mendadak . Cermin Dunia Kedokteran-210. 2013;40(11): h. 820-826. 33. Wahyudi KT. Vertigo . Cermin Dunia Kedokteran-198. 2012;39(10): h.738741. 34. Heath CL, Buckle C, Christoforidis G, Straus C. Utility of Head CT in The Evaluation of Vertigo/Dizziness in The Emergency Department. Am Soc Emerg Radiol. 2013 Jan; 20(1): p. 45-49. 35. McCarter DF, Courtney AU, Pollart SM. Cerumen Impaction. Am Fam Physician. 2007 May 15; 75(10): p. 1523-1528.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



45

36. Gauer RL, Semidey MJ. Diagnosis and Treatment of Temporomandibular Disorders. Am Fam Physician. 2015 Mar 15; 91(6): p. 378-386. 37. Donlon, WC. Temporomandibular Joint Disorders. In: Bailey BJ, Healy GB, Johnson JT, Calhoun KH, Pillsbury HC, Jackler RK, editors. Head And Neck Surgery- Otolaryngology. 3rd ed. Philladelphia:l Lippincott Williams and Willkins; 2001. P. 555-578. 38. Elsevier. Clinical Examination of Temporomandibular Joint. Available on http://www.orthopaedicmedicineonline.com/downloads/pdf/B978070203145 800079X_web.pdf 39. United Health Care Oxford. Temporomandibular Joint Disorders. Oxford: Oxford Health Plans. 2017. 40. Bangash MYH, Bangash FN, Al-Obaid YF, Bangash. Trauma - An Engineering Analysis. Berlin: Springer.2007. p. 1-75. 41. Reksoprawiro S, Wijayahadi Y, Bisono, Susanto I, Sudjatmiko G, Darmadiputra MS, dkk. Kepala dan leher. Editor: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013. H. 440-455. 42. Effendi H, Santoso RAK, editor. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997. H. 204, 229-230, 410. 43. Edward Y, Hafiz A. Terapi Dekompresi pada Parese Saraf Fasialis Akibat Fraktur

Tulang

Temporal.

http://repository.unand.ac.id/17668/1/Case%201%20%20Fraktur%20Tulang%20Temporal.pdf - Diakses tanggal 6 November 2017 44. Semer NB. Practical Plastic Surgery for Nonsurgeons. Philadelphia: Hanley & Belfus Inc. 2001. 45. Thaller S, McDonald WS, editors. Facial Trauma: Miami. CRC Press; 2004. 46. Martanti R, Nofiyanto M, Prasojo RAJ. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Petugas Dalam Pelaksanaan Triage di Instalasi Gawat Darurat RSUD Wates. Media Ilmu Kesehatan. 2015 Agustus; 4(2): h. 69-75. 47. Ely JW, Hansen MR, Clark EC. Diagnosis of Ear Pain. Am Fam Physician. 2008 Mar 1;77(5):6 p. 621-628.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



46

48. Howard ML. Middle Ear, Tympanic Membrane, Perforations. Medscape. https://emedicine.medscape.com/article/858684-overview:63

-

Diakses

tanggal 24 Oktober 2017. 49. Suardi NPEP, Jaya AGA, Maliawan S, Kawiyana S. Fraktur pada Tulang Maksila. e-Jurnal Medika Udayana. 2013 Januari 1; 2(12): h. 2076-2095. 50. Pescatore R. Perichondritis: Not Just Simple Cellulitis. Emergency Medicine Research

Inspira

Health

Network

Vineland,

NJ.

Rational Evidence Based Evaluation of Literature in Emergency Medicine (REBEL).

http://rebelem.com/perichondritis-not-just-simple-cellulitis/

-

Diakses tanggal 9 November 2017 51. Mujaddidah N. Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’s Palsy. Qanun Medika. 2017 Juli; 1(2): h. 1-11. 52. Patel DK, Levin KH. Bell palsy: Clinical examination and management. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2015 July; 82(7): p. 419-426. 53. Fahimi J, Navi BB, Kamel H. Potential Misdiagnosis of Bell’s Palsy in the Emergency Department. Ann Emerg Med. 2014 April; 63(4): p. 428–434. 54. Imanto M. Radang Telinga Luar. Jurnal Kesehatan. 15 Oktober; 6(2): h. 201210. 55. Greenberg MI. Greenberg's Text-atlas of Emergency Medicine M - Medicine Series. 1st ed. Philladelpia; Lippincott Williams & Wilkins: 2005. P. 135,146. 56. Duke T. Mastoidits Akut. Hospital Care for Children. Available on http://www.ichrc.org/694-mastoiditis-akut 57. Hoetomo. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Mitra Pelajar; 2005. 58. Hardjodisastro D. Menuju Seni Ilmu Kedokteran: Bagaimana dokter berpikir, bekerja, dan menampilkan diri. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama;2006 59. Baiquny A, Budiman E, Hairah U. Aplikasi Diagnosa Gangguan Mental Pada Anak. Prosiding Seminar Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi. 2017 Maret; 2(1): h. 53-57 60. Kemdikbud.

Terapi.

Kamus

Besar

Bahasa

Indonesia

(KBBI).

https://kbbi.web.id/terapi - Diakses 2 Desember 2017.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



47

Lampiran 1 Dummy Table Tabel 1. Distribusi Frekuensi Usia, Jenis Kelamin, dan Terapi terhadap 14 Penyakit Gawatdarurat THT-KL Obs Tuli Traum Perikon Bell’s Abses BA OE OMA Vertigo TMJ Definisi Operasional . mendad a dritis palsy (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) ak (%) (%) (%) (%) Usia 1. 0 – 5 tahun 2. 6– 10 tahun 3. 11 – 15 tahun 4. 16 – 20 tahun 5. 21 - 30 tahun 6. 31 - 40 tahun 7. 41 - 50 tahun 8. 51 – 60 tahun 9. 61 – 70 tahun 10. >71 tahun

MB (%)

Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan

48

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas





MA (%)

Serumen impaksi (%)

Definisi Operasional

Abses (%)

BA (%)

Obs. (%)

OE (%)

OMA (%)

Tuli mendad ak (%)

Vertigo (%)

Traum a (%)

TMJ (%)

Perikon dritis (%)

Bell’s palsy (%)

MB (%)

Keluhan utama 1. 2. 3. 4.

5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

13. 14.

Bengkak Nyeri Tersumbat Riwayat kemasukan benda asing Bau busuk hidung Keluar sekret dari telinga Gangguan pendengaran Perdarahan Tercekik Stridor Pusing berputar Tidak dapat menggerakkan rahang Syok Kelemahan otot muka

49

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas





MA (%)

Serumen impaksi (%)

Definisi Operasional

Abses (%)

BA (%)

Obs. (%)

OE (%)

OMA (%)

Tuli Vertigo mendad (%) ak (%)

TMJ (%)

Traum a (%)

Perikon dritis (%)

Bell’s palsy (%)

MB (%)

Terapi 1. 2. 3. 4. 5.

Medikamentosa Pembedahan Esktraksi Ear toilet Penutupan luka

50

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas





MA (%)

Serumen impaksi (%)

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Usia, Jenis Kelamin, dan Jenis Benda asing terhadap Korpus Alienum hidung, Telinga, dan Tenggorok Korpus Alienum

Hidung (%)

Telinga (%)

Tenggorok (%)

Usia 1. 0 – 5 tahun 2. 6– 10 tahun 3. 11 – 15 tahun 4. 16 – 20 tahun 5. 21 - 30 tahun 6. 31 - 40 tahun 7. 41 - 50 tahun 8. 51 – 60 tahun 9. 61 – 70 tahun 10. >71 tahun Jenis Kelamin 1. laki-laki 2. Perempuan Jenis Benda asing 1. Kacang/Biji 2. Tulang 3. Jarum 4. Manik 5. Mainan 6. Baterai 7. Cottonbud 8. Korek api 9. Serangga 10. Batu 11. Dan lain-lain.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



51

Tabel 3. Distribusi Freuensi Usia, Jenis Kelamin, Keluhan Utama, dan Terapi terhadap Klasifikasi Otitis Media Otitis Media Distribusi Frekuensi

Supuratif Akut (stadium) (%) Telinga Kiri Telinga kanan 1 2 3 4 1 2 3 4

Usia 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Kronis (%) Aman

Non Supurat if

Bahaya

0 – 5 tahun 6– 10 tahun 11 – 15 tahun 16 – 20 tahun 21 - 30 tahun 31 - 40 tahun 41 - 50 tahun 51 – 60 tahun 61 – 70 tahun >71 tahun

Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Keluhan Utama 1. Nyeri telinga 2. Sekret dari telinga 3. Telinga tersumbat (rasa penuh) 4. Gangguan pendengaran Terapi 1. Medikamentosa 2. Pembedahan 3. Ear toilet

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



52

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Usia, Jenis Kelamin, Keluhan Utama dan Terapi terhadap Otitis Eksterna. Otitis Eksterna Distribusi Frekuensi

Difusa (%)

Sirkumskripta (%)

Usia 1. 0 – 5 tahun 2. 6– 10 tahun 3. 11 – 15 tahun 4. 16 – 20 tahun 5. 21 - 30 tahun 6. 31 - 40 tahun 7. 41 - 50 tahun 8. 51 – 60 tahun 9. 61 – 70 tahun 10. >71 tahun Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Keluhan Utama 1. Nyeri telinga 2. Telinga tersumbat (rasa penuh) 3. Gangguan pendengaran Terapi 1. Medikamentosa 2. Pembedahan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



53

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Usia, Jenis Kelamin, Keluhan Utama, dan Terapi terhadap Trauma THT-KL.

Trauma THT-KL Nasal

Distribusi Frekuensi Trauma nasal

Telinga

Fraktur Fraktur Laserasi os. NOE LT nasal

Ekskoriasi LT

Muka Laserasi aurikula

Ruptur Fraktur Fraktur Fraktur MT Zigoma maksila Mandibula

Usia 1. 0 – 5 tahun 2. 6– 10 tahun 3. 11 – 15 tahun 4. 16 – 20 tahun 5. 21 - 30 tahun 6. 31 - 40 tahun 7. 41 - 50 tahun 8. 51 – 60 tahun 9. 61 – 70 tahun 10. >71 tahun Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan

54

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas





Keluhan Utama 1. Nyeri 2. Deformitas 3. Bengkak 4. Epistaksis 5. Syok Terapi 1. Medikamentosa 2. Pembedahan 3. Penutupan luka

55

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas





Lampiran 2 Jadwal Kegiatan BULAN

NO

KEGIATAN

1

PENGESAHAN JUDUL

2

PEMBUATAN PROPOSAL

3

UJIAN PROPOSAL

4

REVISI

PROPOSAL

6

&

7

8

9

10

11

12

1

MELAKUKAN

PENELITIAN 5

UJIAN SKRIPSI

6

REVISI SKRIPSI & MEMPERBANYAK SKRIPSI

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



56

Lampiran 3 Rancangan Dana Penelitian

1

PENELITIAN

BIAYA (Rp) 300.000

2

TRANSPORTASI

50.000

TOTAL BIAYA

350.000

NO KEGIATAN

Padang, 2 Desember 2017

(Novia Nadhira)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



57

Related Documents

3-1[1][1]
April 2020 21
3-3-1
December 2019 20
3-1
November 2019 35
3-1
May 2020 24
3-1
November 2019 31
3-1
November 2019 28

More Documents from ""