TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI PADA SOFT TISSUE LEHER KASUS DISFAGIA DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN
Laporan Kasus Disusun dalam rangka memenuhi tugas Praktek Kerja Lapangan I di Instalasi Radiologi RSUD Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN
Disusun oleh : PRAKOSO YOGI PAMBUDI NIM : P1337430214074
PRODI D- IV TEKNIK RADIOLOGI JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI POLITEKNIK KESEHATAN DEPKES SEMARANG 2015
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah penemuan sinar – X oleh Wilhem Conrad Rontgen, seorang ahli fisika berkebangsaan Jerman melalui percobaannya pada tanggal 8 November 1895, telah memberikan perkembangan bagi ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk dalam dunia kedokteran. Prinsip dari radiodiagnostik yaitu sinar – X yang mengenai suatu obyek akan menghasilkan gambaran radiograf yang dapat membantu menegakkan diagnosa adanya suatu kelainan penyakit. Seiring semakin berkembangnya aplikasi pemanfaatan sinar – X dalam rangka penegakkan diagnosa suatu penyakit, maka teknik pemeriksaan suatu organ menjadi lebih bervariasi dengan didukung berbagai spesifikasi pesawat diagnostik yang lebih moderen. Dalam hal ini salah satu pemeriksaan yang memanfaatkan sinar – X adalah pemeriksaan Soft Tissue Leher dengan kasus Disfagia pada pasien dengan keluhan tidak bisa menelan. Pemeriksaan secara radiograf Soft Tissue Leher umumnya menggunakan proyeksi anterioposterior, lateral dimana masing – masing proyeksi mempunyai kriteria radiograf yang berbeda dan dapat menampilkan struktur anatomi fisiologi dan patologi dari Soft Tissue Leher pada posisi yang berlainan. Pemeriksaan secara radiograf Soft Tissue Leher dimanfaatkan untuk mendapatkan struktur gambaran radiograf Soft Tissue Leher yang jelas sehingga bisa
2
memperlihatkan manifestasi hampir semua penyakit yang timbul pada Soft Tissue Leher. Disfagia adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan kesulitan menelan, biasanya dikarenakan oleh rusaknya kemampuan esophagus untuk mengangkut makanan padat maupun cair. Disfagia terjadi ketika ada masalah pada saraf-saraf pengendali atau struktur-struktur yang ikut serta dalam proses penelanan. Uraian diatas menarik penulis sehingga menyajikan dan menuangkannya dalam laporan kasus yang berjudul “ Teknik Pemeriksaan Radiografi Soft Tissue Leher Dengan Kasus Disfagia Di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Soedirman Kebumen “. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut diatas maka penulis dapat menarik permasalahan yang akan dibahas antara lain : 1. Bagaimanakah prosedur pemeriksaan secara radiografi Soft Tisseu Leher pada kasus Disfagia di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Soedirman Kebumen ? 2. Apakah pemeriksaan Soft Tissue Leher anteroposterior dan lateral di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Soedirman Kebumen sudah bisa mendiagnosis kelainan Disfagia ? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah : 1. Untuk mengetahui teknik pemeriksaan Soft Tissue Leher dengan kasus Disfagia di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Soedirman Kebumen.
3
2. Untuk mengetahui apakah pemeriksaan Soft Tissue Leher anteroposterior dan lateral di Instalasi Radiologi di RSUD Dr. Soedirman Kebumen sudah dapat mendiagnosa pada kasus Disfagia. 3. Untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan PKL 1 di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Soedirman Kebumen yang mulai pada tanggal 23 November 2015 dan berakhir pada tanggal 2 Januari 2015.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Anatomi A. Cervical
Gambaran 2.1 : Anatomi Vertebrae Cervical Kolumna vertebralis adalah struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebrae. Diantara tiap ruas terdapat bantalan tulang rawan. Panjang rangkaiannya orang dewasa adalah 57 – 67 cm. Seluruhnya terdapat 33 ruas yang terdiri dari : a. 7 vertebrae cervical b. 12 vertebrae thorakal c. 5 vertebrae lumbal
5
d. 5 vertebrae sacrum e. 4 vertebrae coccygeus Vertebrae cevicalis terdiri dari tujuh vertebrae, yang masing – masing terhubung dengan yang lain. Pada vertebrae cervicalis satu sampai enam mempunyai corpus kecil. Processusnya bersifat bifida ( bercabang dua ). Processus tranversusnya mempunyai foramen tranversarium yang membagi processus tranversum menjadi dua tonjolan yaitu tuberkulum anterius dan posterius tetapi pada cervical enam terdapat pembesaran dari tuberkulum anterius yang tersebut tuberkulum karotikus yang terletak di arteria karotikus. Sedangkan pada vertebrae cervical tujuh terdapat perbedaan susunan dengan vertebrae cervicalis lainnya karena processus spinosusnya disini meruncing menuju ke dorsal dan tidak bercabang menjadi dua lagi dan sangat menonjol sehingga mudah diraba dari luar, oleh karena itu vertebrae cervical tujuh disebut vertebrae prominens. Selain itu perbedaan yang lainnya adalah foramen tranversarium sangat kecil.
6
Gambar 2.2 : Anatomi Cervical a.
Ruas – ruas vertebrae cervical : 1. Cervical Vertebare cervical 1 dikenal dengan istilah tulang atlas. Ciri khas yang membedakan cervical I adalah tulang ini tidak memiliki corpus. Sehingga digambarkan adanya arkus anterior dan arkus posterior. Pada masing – masing arkus anterior terdapat fovea artikularis yang berhubungan dengan condilus occipitalis dan menghubungkan cervical I dengan cervical II adalah facies artikularis posterior dengan artikularis superior cervical II.
7
Gambar 2.3 : Vertebrae Cervical I 2. Cervical II Vertebrae cervical II sering juga disebut dengan sebutan axis yang ditandai oleh adanya epistropheus. Ciri lain yang terdapat pada cervical II ini adalah adanya dens atau processus odontoid.
Gambar 2.4 : Vertebrae Cervical II
8
3. Cervical III – VI Untuk vertebrae cervicalis ketiga sampai dengan keenam memiliki struktur dan bentuk yang sama. Pada processus tranversus dari vertebrae cervicalis ketiga – keenam terdapat lubang
yang
disebut
foramen
tranversarium.
Foramen
tranversarium ini merupakan tempat yang dilalui oleh arteri dan vena vertebralis. Pada vertebra cervicalis ketiga – keenam mempunyai tiga buah lubang yaitu satu foramen vertebrae dan dua foramen tranversarium. Processus spinosus yang dimiliki vertebrae cervicalis ketiga – keenam cukup pendek dan diujung processus spinosus terpecah menjadi dua belahan ( Bontrager, 2005 : 292 ).
Gambar 2.5 : Vertebrae Cervical III – VI
9
4. Cervical VII Ruas vertebrae cervicalis VII berada pada perbatasan antara daerah cervical dan thorax dari ruas tulang belakang dan dapat dikatakan sebagai tulang belakang tarnsisi karena mempunyai bentuk yang khas bila dibandingkan dengan tulang belakang lainnya. Processus spinosus yang dimiliki oleh os. Prominens paling panjang dari vertebrae cervicalis yang lain.
Gambar 2.6 : Vertebrae Cervical VII B. Soft Tissue Leher 1. Faryng Faring adalah bagian dari sistem pencernaan yang terletak posterior ke rongga hidung, mulut dan posterior laring. Oleh karena itu dibagi menjadi hidung, mulut dan bagian laring : Nasofaring, Orofaring dan Laryngopharynx. Faring meluas dari dasar tengkorak ke perbatasan inferior kartilago krikoid ( sekitar tingkat C6 vertebrae ), di mana ia
10
menjadi terus menerus dengan kerongkongan. Aspek unggul berkaitan dengan tulang sphenoid,
oksipital dan aspek posterior
fasia prevertebral dan otot serta tulang enam bagian atas serviks. Faring adalah tabung fibromuskular dilapisi oleh selaput lendir.
Gambar 2.7 : Anatomi Faryng a. Nasofaring Nasofaring merupakan faring yang terletak dibelakang hidung mulai dari dasar tenggorokan hingga dasar anak tekak atau uvula. Bagian depan menyambung terus dengan dengan lubang hidung belakang. Dibagian belakang terdapat suatu kumpulan jaringan limfa yang dikenal dengan jaringan adenoid. Pada dinding samping faring terdapat dua lubang untuk saluran eustachius yang menghubungkan nasofaring dengan telinga bagian tengah.
11
b. Orofaring
Orofaring merupakan faring yang terletak dibelakang rongga mulut, yaitu dari uvula hingga epiglotis. Meskipun orofaring memungkinkan
udara
beredar
di
dalamnya,
struktur
ini
sebenarnya merupakan bagian dari sistem pencernaan. Pada dinding sampingnya terdapat tonsil, setiap tonsil terletak diantara selaput mulut depan dan belakang.
c. Laringopharynx
Laringo faring terletak dibagian belakang orofaring diruas vertebra servikal keenam. Laringo faring merupakan saluran terakhir dari saluran pernapasan atas.
2. Laring Laring (tenggorokan) terletak didepan bagian terendah faring yang memisahkannya dari kolumna vertebra. Berjalan dari faring sampai ketinggian vertebrae servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya. Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligamen dan membran. Yang terbesar diantaranya ialah tulang rawan tiroid, dan disebelah depannya terdapat benjolan subkutaneas yang dikenal sebagai jakun, yaitu disebelah depan
12
leher Laring terdiri atas dua lempeng atau lamina yang bersambung di garis tengah. Di tepi atas terdapat lekukan berupa V. Tulang rawan krikoid terletak dibawah tiroid, berbentuk seperti cincin mohor dengan mohor cincinnya disebelah belakang ( ini adalah tulang rawan satu-satunya yang berbentuk lingkaran lengkap). Laring dilapisi jenis selaput lendir yang sama dengan yang di trakea, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi sel epitelium berlapis. Pita Suara terletak disebelah dalam laring, berjalan dari tulang rawan tiroid di sebelah depan sampai dikedua tulang rawan aritenoid. Dengan gerakan dari tulang rawan aritenoid yang ditimbulkan oleh berbagai otot laringeal, pita suara ditegangkan atau dikendurkan. Dengan demikian lebar sela-sela anatara pita-pita atau rima glotis berubah-ubah sewaktu bernapas dan berbicara. Suara dihasilkan karena getaran pita yang disebabkan udara yang melalui glotis. Berbagai otot yang terkait pada laring mengendalikan suara, dan juga menutup lubang atas laring sewaktu menelan.
13
Gambar 2.8 : Anatomi Laring 3.
Trakea Trakea atau batang teggorokan kira-kira 9 cm panjangnya. Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis kelima dan ditempat ini bercabanf menjadi dua bronkus (bronki). Trakea tersusun atas 16 sampai 20 lingkaran tak sempurna lengkap berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah belakang trakea; selain itu juga memuat beberapa jaringan otot. Trakea dilapisi selaput lendir yang terdiri atas epitelium bersilia dan sel cangkir. Silia ini bergerak menuju keatas ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir-butir halus lainnya yang turut masuk bersama dengan pernapasan dapat dikeluarkan. Trakea servikalis yang berjalan melalui leher disilang oleh istmus kelenjar tiroid, yaitu belahan kelenjar yang melingkari sisi-sisi trakea. Trakea torasika berjalan melintasi
14
mediastenum di belakang sternum menyentuh arteri inominata dan arkus aorta. Usofagus terletak dibelakang trakea.
Gambar 2.9 : Anatomi Trakea
4.
Kelenjar Thyroid Kelenjar thyroid mempunyai dua lobus dan struktur yang kaya vaskularisasi serta lobus terletak disebelah lateral trakea tepat di bawah laring dan dihubungkan dengan jembatan jaringan tyroid yang disebut isthmus dan terletang pada permukaan anterior trakea. Secara mikroskopik tyroid terutama terdiri atas folikel steroid yang masing – masing
menyimpan
materi
koloid
dibagian
pusatnya,
folikel
memproduksi, menyimpan dan mensekresi kedua hormon utama T3 ( triodotironin ) dan T4 ( tiroksin ). Jika kelenjar secara aktif mengandung folikel yang besar dan masing – masing mempunyai jumlah koloid yang disimpan dalam jumlah besar sel – selnya, maka sel – sel
15
parafolikular mensekresi hormon kalsitonin. Hormon ini dan hormon lainnya mempengaruhi metabolisme kalsium. 5.
Oesofagus Kerongkongan atau esofagus adalah bagian dari sistem pencernaan yang mengarah dari mulut ke perut. Kadang-kadang disebut tenggorokan, itu adalah lorong berotot yang dimulai pada tenggorokan, atau faring. Terletak antara trakea dan tulang belakang, melewati bawah melalui diafragma dan berakhir di sfingter esofagus bagian bawah, pembukaan cincin otot ke ujung atas perut.
2.1.2 Fisiologi 1. Laring Laring atau kotak suara merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas
bagian atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung,
dengan bagian atas lebih besar dari pada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid dan laring terdiri dari empat komponen dasar anatomi yaitu tulang rawan , otot intrinsik dan ektrinsik serta mukosa. Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang yaitu tulang hioid yang terbentuk seperti U yang permukaan atasnya di hubungkan dengan lidah , mandibula dan tengkorak oleh tendom dan otot – otot.
16
2. Faring Pharynx atau faring merupakan organ berbentuk corong sepanjang 15 cm yang tersusun atas jaringan fibromuscular yang berfungsi sebagai saluran pencernaan dan juga sebagai saluran pernafasan. Pharynx terletak setinggi bassiscranii ( bassis occipital dan bassis sphenoid ) sampai cartilage cricoid setinggi Vertebrae Cervical VI. Bagian terlebar dari pharynx terletak setinggi os. Hyoideum dan bagian tersempitnya terletak pada pharyngoesophageal
junction.
Pharynx
sebagai
organ
pencernaan
menghubungkan antara cavum oris dan oesophagus. Sedangkan sebagai organ pernafasan berfungsi untuk menghubungkan antara cavum nasi dan laryinx. 3. Trakea Trakea merupakan organ sistem pernafasan bagian bawah yang terletak di bawah laring, bentuknya menyerupai pipa yang tersusun memanjang ke bawah dan berbatasan dengan percabangan bronkus. Pada manusai panjang trakea mencapai 4 inchi ( 10 – 12 cm ) dengan ukuran diameter 2 cm. Didingn trakea tersusun atas tulang rawan yang menyerupai huruf C ( C – shape ), terdiri dari 16 – 20 cicin tulang rawan. Bagian belakang dari tulang rawan berbatasan dengan oesofagus yang dihubungkan oleh serabut otot polos trakea.
17
2.1.3 Patologi Beberapa jenis patologi yang ditemukan pada Soft Tissue Leher antara lain : 1. Disfagia Disfagia adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan kesulitan menelan, biasanya dikarenakan oleh rusaknya kemampuan esophagus untuk mengangkut makanan padat maupun cair. Disfagia terjadi ketika ada masalah pada saraf-saraf pengendali atau struktur-struktur yang ikut serta dalam proses penelanan. Contohnya, lidah yang lemah dapat membuat lidah mengalami kesulitan untuk memindahkan makanan yang ada di dalam mulut untuk kemudian dikunyah. Ada dua tipe disfagia yang utama : Disfagia Esofageal dan Disfagia Orofaringeal. Tipe yang paling umum adalah Disfagia Esofageal yang biasanya terjadi karena melemahnya
otot-otot
di
dalam
esofagus
sedangkan
Disfagia
Orofaringeal seringkali merupakan akibat kerusakan atau melemahnya saraf-saraf dan otot-otot yang berfungsi untuk membantu proses menelan. Disfagia berat dapat menyebabkan pneumonia, infeksi paru-paru dan bahkan kematian prematur apabila seseorang menghindari makan dan minum karena takut tidak dapat menelan makanan tersebut, yang dapat menyebabkan rasa nyeri dan tidak nyaman. 2. Struma Nodusa Struma nudosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinis teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda – tanda
18
hypertiroidisme. Struma nodosa atau struma adenomatosa, terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi yodium. Struma emdemik ini dapat dicegah dengan substitusi yodium. Di luar daerah endemik, struma nodosa karena insufisien yodium struma nodosa ditemukan secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya umumnya multifaktor. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut, dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin dan biasanya penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipo atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur – angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan dileher. Sebagian penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walapun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos ( trakea pedang ). Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah
19
kontralateral dan pendorongan demikian tidak mengakibatkan gangguan pernafasan.
Penyempitan
yang
berarti
menyebabkan
gangguan
pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar. Biasanya
struma,
adenomatosa
benigna
walaupun
besar
tidak
menyebabkan gangguan neurologik, muskuloskeletal, vaskuler atau menelan karena tekanan atau dorongan. Keluhan yang ada ialah rasa berat dileher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga tiroid terasa berat karena terfiksasi pada trakea. Hipertiroidi jaringan ditemukan pada struma adenomatosa. Sekitar 5% dari struma nodosa mengalami keganasan. Tanda keganasan ialah setiap perubahan bentuk, perdarahan lokal, dan tanda penyusupan di kulit, rekurens, trakea atau esofagus. Benjolan tunggal dapat berupa nodul koloid, kista tunggal, adenoma tiroid jinak atau karsinoma tiroid. Nodul ganas lebih sering ditemukan pada laki muda. Struma nodosa lama biasanya tidak dapat dipengaruhi dengan supresi hormon tiroid ( TH ) atau pemberian hormon tiroid. 3. Laringitis Radang pada laring. Radang pada laring. Penderita serak atau kehilangan suara. Penyebabnya antara lain karena infeksi, terlalu banyak merokok, minum alcohol atau banyak bicara.
20
4. Faringitis Radang pada faring akibat infeksi oleh bakteri Streptococcus. Tenggorokan
sakit dan tampak berwarna merah, rasa haus dan kering
pada tenggorokan, kadang bersamaan dengan pembesaran tonsil. Penderita hendaknya istirahat dan diberi antibiotik. 5. Sinusitis Radang pada sinus. Sinus letaknya di daerah pipi kanan dan kiri batang hidung. Biasanya di dalam sinus terkumpul nanah yang harus dibuang melalui operasi. 6. Difteri Penyumbatan oleh lendir pada rongga faring yang dihasilkan oleh infeksi kuman difteri. 7. Rinitis Umumnya disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Juga dapat terjadi karena reaksi alergi terhadap perubahan cuaca, serbuk sari, dan debu. Produksi lendir meningkat. 8. Influenza (flu) Penyakit yang disebabkan oleh virus influenza. Gejala yang ditimbulkan antara lain pilek, hidung tersumbat, bersin-bersin, dan tenggorokan terasa gatal. Pada keadaan flu berat dapat dijumpai keadaan sesak nafas. Bahkan sekarang flu dari hewan sudah mampu menulari manusia dan
21
varian viru flu yang semakin beragam ( flu burung, flu babi, swine flu, flu Singapore dsb ). 9. Asma Merupakan suatu penyakit penyumbatan saluran pernapasan yang disebabkan alergi terhadap rambut, bulu, debu, atau tekanan psikologis. Asma bersifat menurun. Alergi / hipersensitivitas ini menyebabkan penyempitan bronkus sehingga jalan nafas menyempit dan menyebabkan bunyi waktu bernafas ( mengi ). 10. Asidosis Kenaikan kadar asam karbonat dan asam bikarbonat dalam darah, sehingga pernapasan terganggu. 11. Kanker Laring Kanker Laring adalah keganasan pada pita suara, kotak suara (laring) atau daerah lainnya di tenggorokan. Kanker di laring hampir selalu merupakan karsinoma sel skuamosa. Ia kanker yang biasa terjadi pada perokok.
22
2.2 Teknik Pemeriksaan 2.2.1 Persiapan pemeriksaan Pasien a.
Persiapan pasien 1. Pasien ganti baju dan melepaskan benda – benda yang dapat mengganggu gambaran radiograf. 2. Petugas menjelaskan prosedur pemeriksaan kepada pasien. 3. Eksposi dilakukan pada saat pasien mengucapkan “ ahh “.sehingga lidah terdorong ke bawah ( dasar cavum oris ) dan tidak menghalangi gambaran atlas, axis dan untuk fiksasi agar mandibula tidak bergerak.
b. Persiapan Alat dan Bahan 1. Pesawat sinar – X. 2. Kaset dan film sesuai yang dibutuhkan 18 x 24 cm dan 24 x 30 cm. 3. Marker untuk identifiksasi radiograf. 4. Grid atau bucky. 5. Alat fiksasi bila diperlukan. 6. Alat pengolah film.
23
2.2.2 Proyeksi Pemeriksaan A. Teknik Pemeriksaan Vertebrae Cervical a. Proyeksi AP ( Anteroposterior )
Gambar 3.0 : Proyeksi AP Axial 1. Posisi Pasien
: Pasien supien atau erect, tangan disamping tubuh.
2. Posisi Obyek
: Atur MSP dan CR pada midline meja. Atur kepala sedemikian hingga bidang occlusal ke base of skull tegak lurus meja / kaset. Garis dari tip mandibula ke mastoid tips sejajar dengan arah penyudutan.
3. Central Ray
: 15 – 20º cephalad
4. Central Point
: Pada C4 (Lower margin dari thyroid cartilage )
5. FFD
: 100º cm
6. Respirasi
: Tahan nafas
24
Gambar 3.1 : Proyeksi AP Axial 7. Kriteria Radiograf a. Mandibula superposisi dengan C1 – C2. b. Penyudutan ke arah cephalad bertujuan untuk memperlihatkan intervertebral disk secara jelas. c. Proc. Spinosus berjarak sama dengan vertebrae. b. Proyeksi Lateral
Gambar 3.2 : Proyeksi Lateral
25
1. Posisi Pasien
: Pasien ercet atau duduk
2. Poisis Obyek
: Atur MCP pada CR dan midline pada meja kaset, bahu diturunkan dan dagu di tengadakan.
3. Central Ray
: Horizontal tegak lurus kaset.
4. Cental Point
: Pada bagian C4 ( cervikal 4 )
5. FFD
: 100º cm
Gambar 3.3 : Proyeksi Lateral 6. Kriteria Radiograf a. Tampak ketujuh cervical dan setidaknya sepertiga dari T1. b. Leher diektensikan sehingga mandibula tidak tumpang tindih atlas atau axis. c. Tampak superposisi atau hampir superimposed dari mandibula. d. Tidak ada rotasi atau kemiringan cervical spine yang ditunjukan oleh sendi zygapophyeal yang terbuka.
26
e. C4 ditengah radiograf. f. Tampak detil tulang dan jaringan lunak. c. Proyeksi Anterior Oblique atau PA Oblique ( LAO atau RAO )
Gambar 3.4 : Proyeksi PA Oblique 1.
Posisi Pasien : Pasien tiduran atau berdiri dengan membelakangi tabung X – ray
2.
Posisi Obyek : Atur cervical pada pertengahan CR dan meja atau kaset,
lengan
disamping
tubuh
atau
jika
recumbent posisi tangan untuk mempertahankan posisi. Rotasi kepala dan tubuh 45º, dagu ekstensi. 3.
Central Ray : 15 - 20º caudad
4.
Central Point : C4 ( Upper margin dari tyroid cartilage )
5.
FFD
: 100º cm
6.
Respirasi
: Tahan nafas
27
Gambar 3.5 : Proyeksi PA Oblique 7.
Kriteria Radiograf a. Terbukanya foramina intervertebralis dari vertebrae cervical pertama dan kedua sampai vertebrae cervical ketujuh dan T1. b. Terbuka diskus space intervertebralis. c. Tulang occipital tidak superposisi dengan axis. d. Tampak ketujuh cervical dan vertebra thoracic pertama. e. Mengangkat dagu dan menjulurkan rahang menyebabkan mandibula tidak overlap dengan vertebra cervical pertama dan kedua.
28
d. Proyeksi Posterior Oblique atau AP Oblique ( LPO dan RPO )
Gambar 3.6 : Proyeksi Oblique atau AP Oblique ( LPO dan RPO ) 1. Posisi Pasien
: Pasien dalam posisi terlentang atau tegak menghadap tabung X – ray.
2. Posisi Objek
:
Atur cervical pada pertengahan CR dan meja atau kaset. Lengan disamping tubuh atau jika recumbent
posisi
tangan
untuk
mempertahankan posisi. Rotasi kepala dan tubuh 45º, dagu ekstensi. 3. Central Ray
: 15 - 20º cephalad
4. Central Point
: C4 ( Upper margin dari thyroid cartilage )
5. FFD
: 100º cm
6. Respirasi
: Tahan nafas
29
Gambar 3.7 : Proyeksi Oblique atau AP Oblique ( LPO dan RPO ) 7. Kriteria Radiograf a. Foramina intervertebralis membuka pada gambaran dari C2 – C3 ke C7 – T1. b. Ukuran dan kontur foramina sama. c. Dengan mengangkat dagu sehingga tidak menyebabkan overlapping pada atlas dan axis. d. Tulang occipital tidak superposisi dengan axis. e. Tampak keseluruhan vertebrae C1 – C7 dan T1. B. Teknik Pemeriksaan Soft Tissue Leher a. Pemeriksaan Low kV Teknik 1. Soft Tissue menurut Suhartono , 2003 Pemeriksaan Low kV Teknik adalah suatu pemeriksaan untuk memperlihatkan struktur jaringan lunak ( soft tissue ) dengan
30
menggunakan teknik kV rendah untuk menghasilkan struktur jaringan lunak. 2. Soft Tissue menurut Bryan , !993 Menurut pendapatnya bahwa untuk mendapatkan gambaran soft tissue dapat dilakukan dengan mengurangi 15 – 20 kV pada penggunaan kV normal dan untuk obyek yang tebal dilakukan dengan eksposi yang lama. b. Tujuan Low kV Teknik Tujuan penggunaan kV rendah pada pemeriksaan jaringan lunak dengan menggunakan kV rendah bertujuan supaya struktur – struktur kecil dari organ tersebut dapat terlihat dengan jelas. c. Keuntungan Low kV Teknik 1.
Dapat memperlihatakan jaringan tubuh dengan baik dan menghasilkan densitas yang rendah, seperti otot dan lemak.
2.
kV yang digunakan dapat dikurangi sekitar 10 – 20 kV dari kondisi normal.
d. Kerugian Low kV 1.
Pesawat yang memiliki mA namun diharapkan panas yang ditimbulkan pada tabung dapat ditekan sampai pada balas tertentu.
31
2.
Dosis radiasi yang mengenai pasien tinggi karena penggunaan mAs yang tinggi.
C. Pemeriksaan Teknik Radiografi a. Proyeksi AP Larynx dan Pharynx
Gambar 3.8 : Proyeksi AP Larynx dan Pharynx
1.
Posisi Pasien : Pasien Supien atau erect
2.
Posisi Objek :
a.
Tempatkan MSP tubuh pada pertengahan garis grid
b.
Atur tepi atas kaset setinggi auricle
c.
Apabila pasien berdiri berat tubuh dibebankan pada kedua kaki
d.
Atur kedua bahu simetris
e.
Letakkan pertengahan kaset setinggi C4 atau jakun
f.
Kepala hiperekstensi dan pandangan lurus kedepan
32
3.
Central Ray : Tegak lurus kaset
4.
Central Paint : Pada Vertebrae Cervical 4
5.
FFD
: 100 º cm
6.
Ekspose
: Pada saat pasien melakukan ponasi “E”
Gambar 3.9 : Proyeksi AP Larynx dan Pharynx
7.
Kriteria Radiograf
a.
Semua bagian larynx dan pharynx terlihat jelas.
b.
Tidak overlap pada larynx dengan mandibula.
c.
Leher tidak rotasi.
d.
Atur densitas radiografi pada gambaran dari struktur pharyngolaryngeal.
33
b. Proyeksi Lateral Larynx dan Pharynx
Gambar 4.0 : Proyeksi Lateral Larynx dan Pharynx
1. Posisi Pasien :
a.
Erect atau duduk menyamping pada salah satu sisi.
b.
Atur bagian anterior temporomandibular joint tepat ditengah grid.
2. Posisi Objek :
a.
Atur kedua bahu simetris
b.
MSP di pertengahan kaset
c.
Atur daerah Larynx dan Pharynx di pertengahan kaset
d.
Tepi atas kaset setinggi dengan auricle
e.
Tekan bahu dan letakkan tangan pada posterior tubuh
f.
Pandangan lurus kedepan
34
3. Central Ray
: Horizontal tegak lurus terhadap kaset.
4. Central Point
: Pada Vertebrae Cervical 4.
5. FFD
: 100 ͦ cm.
6. Ekspose
: Pada saat pasien ponasi “E”.
Gambar 4.1 : Proyeksi Lateral Larynx dan Pharynx 7. Kriteria Radiograf
a. Terlihat soft tissue pada structur pharyngelaryngeal. b. Tidak ada superposisi trachea terhadap bahu. c. Tidak terjadi superposisi bahu dengan larynx. d. Superimpose bayangan mandibular. e. Gambaran udara pada pharynx dan larynx.
35
c. Proyeksi AP Trachea
Gambar 4.2 : Proyeksi AP Trachea
1.
Posisi Pasien : Erect perpendicular dengan kepala posterior dan bahu sejajar tegak lurus
2.
Posisi Objek :
a. MSP perpendicular dengan grid. b. Istirahatkan dagu dengan acanthiomeatal perpendicular dengan kaset. c. Batas atas kaset 3-4 cm di bawah MAE
3.
Central Point : Thoracal 1 sampai 2
4.
Central Ray : Perpendicular dengan kaset
5.
FFD
: 100 ͦ cm
36
Gambar 4.3 : Proyeksi AP Trachea
6.
Kriteria Radiograf a. Tampak udara pada larynx dan tracea dari cervical 3 – thoracal 4 tervisualisasi pada cervical 5 b. Terlihat vertebra cervicalis sampai vertebra thoracalis
d. Proyeksi Lateral Trachea
Gambar 4.4 : Proyeksi Lateral Trachea
37
1. Posisi pasien
: Posisi pasien Duduk atau erect.
2. Posisi Objek
:
a.
Letakkan anterior larynx dan trachea sejajar pada cervikal dan vertebra thorakal
b.
Rotasikan shoulder ke posterior dengan kedua lengan tangan ke bawah, letakkan tangan dibelakang tubuh
3. Central Point
: Pada Vertebrae Cervical 6 atau Vertebrae Cervical 7 (diantara pertengahan prominent di tiroid dan jugular notch)
4. Central Ray
: Tegak lurus dengan kaset : 150 – 180 ͦ cm
5. FFD 6. Ekspose
: Inspirasi pelan-pelan
Gambar 4.5 : Proyeksi Lateral Trachea 7. Kriteria Radiograf a. Soft tissue struktur pharyngolaryngeal.
38
b. Area dari nasopharynx ke bagian teratas paru – paru. c. Area spesifik terlihat jelas tidak ada superposisi pada trachea. 2.2.3 Proteksi Radiasi a.
Dasar - dasar Proteksi Radiasi Proteksi Radiasi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan teknik kesehatan lingkungan yaitu tentang proteksi yang perlu diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang dari kemungkinan negatif sebagai akibat dari pemakaian radiasi pengion.
b.
Falsafah Proteksi radiasi Falsafah proteksi radiasi disebut juga dengan tujuan proteksi radiasi. Tujuan dari proteksi radiasi adalah sebagai berikut : 1. Mencegah terjadinya efek non stokastik yang membahayakan. 2. Meminimalkan terjadinya efek stokastik hingga ke tingkat yang cukup rendah yang masih dapat diterima oleh individu dan lingkungan di sekitarnya. 3. Menyakinkan bahwa pekerjaan atau kegiatan yang berkaitan dengan penyinaran radiasi dapat dibenarkan. a. Proteksi radiasi terhadap pasien, diantaranya : 1. Pemeriksaan sinar-X hanya dilakukan atas permintaan dokter. 2. Membatasi luas lapangan penyinaran. 3. Menggunakan faktor eksposi yang tepat, serta memposisikan pasien dengan tepat sehingga tidak terjadi pengulangan foto.
39
4. Menggunakan laed apron dan gonad shield pada waktu pemeriksaan. b. Proteksi radiasi terhadap petugas, diantaranya : 1. Petugas
menjaga
jarak
dengan
sumber
radiasi
saat
pemeriksaan. 2. Selalu berlindung dibalik tabir proteksi sewaktu melakukan eksposi. 3. Jika tidak diperlukan, petugas tidak berada di area penyinaran. 4. Jangan mengarahkan tabung ke arah petugas. 5. Petugas menggunakan alat ukur radiasi personal (film badge) sewaktu bertugas yang setiap bulannya dikirimkan ke BPFK (Balai Pengaman Fasilitas Kesehatan) guna memonitor dosis radiasi yang diterima petugas. c. Proteksi radiasi terhadap masyarakat umum, diantaranya : 1. Sewaktu penyinaran berlangsung, selain pasien jangan ada yang berada di daerah radiasi (kamar pemeriksaan). 2. Ketika penyinaran berlangsung pintu kamar selalu tertutup. 3. Tabung sinar-X diarahkan ke daerah aman (jangan mengarah ke petugas/ruang tunggu). 4. Perawat/keluarga
yang
terpaksa
berada
dalam
kamar
pemeriksaan sewaktu penyinaran wajib menggunakan Lead Apron.
40
2.2.4 Pengolahan Film Pengolahan film di instalasi radiologi RSUD Dr. Soedirman Kebumen menggunakan system pengolahan film secara digital yaitu dengan menggunakan CR (Computer Radiografi). Computer radiografi merupakan sistem atau proses untuk mengubah sistem analog pada konvensional radiografi menjadi digital radiografi. Proses pengolahan ini dimulai dengan pemasukan data input pasien yang meliputi (nama pasien, umur, jenis kelamin, tech ID di isi dengan nama radiogafer yang jaga, depertement poliklinik atau ruangan pengirim, dokter pengirim, kaset ID, proyeksi pemeriksaan, posisi pasien, posisi kaset), setelah semua data diketik kaset di submit dan dimasukkan, secara otomatis dan menggunakan kemampuan digital CR memproses bayangan latent dari imaging plate dengan system laser. Setelah gambar muncul di monitor komputer selanjutnya di beri marker dan di atur kontras dan ketajaman gambarnya, setelah semua di atur gambar lalu di print dengan pengaturan jumlah film dan ukuran film yang sesuai proyeksi pemeriksaan.
41
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 2.3 Paparan Kasus 2.3.1 Identitas Pasien Nama
: Ny , S
Umur
: 71 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Kebumen
No. RM
: 294252
No. Roentgen
: 120251
Tanggal Pemeriksaan
: 05 Desember 2015
Pemeriksaan
: X – Foto Soft Tissue Leher AP dan Lateral
Diagnosa
: Disfagia
2.3.2 Riwayat Pasien Pada tanggal 05 Desember 2015 sekitar pukul 10.00, Ny. S datang ke instalasi Radiologi dengan diantar oleh perawat membawa surat permintaan rontgen pemeriksaan Soft Tisu leher. 2.3.3 Tata Laksana Pemeriksaan a. Persiapan alat Alat yang digunakan untuk pemeriksaan Soft Tissue Leher pada indikasi Disfagia di Instalasi Radiologi RSUD Dr, Soedirman Kebumen, yaitu :
42
1. Pesawat X – ray Merk
: Shimadzu
No. Seri tabung
: M 100 HK
Kv maksimum
: 150 KV
mA
: 630 mA
2. Film 24 x 30 cm 3. Marker R dan L 4. Plaster b. Pelaksanaan Pemeriksaan 1) Proyeksi AP ( anterioposterior ) 1.
Posisi Pasien : Pasien tiduran di brankart.
2.
Posisi Objek : a. Atur MCP pada pertengahan. b. Kedua tangan disamping tubuh dan atur bahu agar simetris. c. Kepala pasien di ektensi.
3.
Central Ray
: 15 - 20º cephalad .
4.
Central Point
: C4 ( Lower margin dari thyroid cartilage ).
5.
FFD
: 100 cm.
6.
Faktor Eksposi : a. Kv
: 46
b. mAs
: 12
43
2) Proyeksi Lateral 1. Posisi Pasien : a. Pasien tiduran dimeja brankat. b. Kepala pasien diganjal dengan alat pengganjal. 2. Posisi Objek a.
:
Atur MCP pada pertengahan kaset yang dipasang vertikal disamping objek.
b.
Kedua bahu diturunkan agar simetris.
c.
Dagu ditengadakan semaksimal mungkin.
3. Central Ray
: Horisontal tegak lurus kaset.
4. Central Point : C4 ( upper margin dari thyroid cartilage ). 5. FFD
: 100 cm
6. Faktor Eksposi : a.
Kv
: 46
b.
mAs
: 12
Proteksi radiasi ketika melakukan pemeriksaan Soft Tissue Leher pada pasien diantaranya membatasi lapangan penyinaran, pemilihan faktor eksposi dengan tepat dan tidak melakukan pengulangan, sedangkan bagi radiografer saat melakukan ekspose berada di balik tabir atau bilik, dan bagi orang lain atau keluarga pasien berada diluar kamar pemeriksaan dan pintu di tutup agar tidak ada yang masuk ketika
44
melakukan ekspose. Selanjutnya film diproses dengan menggunakan CR ( computer radiografi ). c.
Pengolahan Film Pengolahan film di instalasi radiologi RSUD Dr. Soedirman Kebumen menggunakan system pengolahan film secara digital yaitu dengan menggunakan CR (Computer Radiografi). Proses pengolahan ini dimulai dengan pemasukan data input pasien yang meliputi (nama pasien, umur, jenis kelamin, tech ID di isi dengan nama radiogafer yang jaga, depertement poliklinik atau ruangan pengirim, dokter pengirim, kaset ID, proyeksi pemeriksaan, posisi pasien, posisi kaset), setelah semua data diketik kaset di submit dan dimasukkan, secara otomatis dan menggunakan kemampuan digital CR memproses bayangan latent dari imaging plate dengan system laser. Setelah gambar muncul di monitor komputer selanjutnya di beri marker dan di atur kontras dan ketajaman gambarnya, setelah semua di atur gambar lalu di print dengan pengaturan jumlah film dan ukuran film yang sesuai proyeksi pemeriksaan.
45
d. Gambaran Radiograf Berdasarkan pemeriksaan radiologi di atas di dapatkan gambaran radiology seperti di bawah ini.
Gambar 4.6 : Gambaran hasil pemeriksaan Radiologi Ny. S. 2.3.4 Hasil Bacaan Penyempitan laring karena adanya penebalan diding laring aspek posterior. 2.4 Pembahasan Berdasarkan radiograf yang telah diperoleh mengenai pemeriksaan Soft Tissue Leher di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Soedirman Kebumen adalah secara umum pemerikaan Soft Tissue Leher menggunakan proyeksi Antero Posterior (AP) dan proyeksi Lateral karena dengan proyeksi ini sudah dapat menampakkan kelainan yang dicurigai yaitu penyakit Disfagia oleh Dokter spesialis Dalam,
46
selain itu dengan proyeksi ini pasien merasa lebih nyaman dan aman sehingga penyakit yang dialami tidak bertambah parah. Menurut penulis jika dilihat dari teori, maka proyeksi yang dapat memberikan radiograf yang lebih jelas mengenai pemeriksaan Soft Tissue Leher adalah proyeksi AP dan proyeksi lateral dengan menggunakan Low kV Teknik karena dengan menggunakan Low kV Teknik dapat memberikan informasi mengenai kelainan yang dicurigai dan pada gambaran radiografnya akan terlihat lebih jelas mengenai struktur jaringan lunak. Keuntungan dari pemeriksaan Soft Tissue Leher dengan menggunakan proyeksi AP dan proyeksi Lateral dengan menggunakan Low kV Teknik ini dapat memperlihatakan jaringan tubuh dengan baik seberapa besar keparahan penyakit yang diderita oleh pasien dan alternatif pengobatan yang akan dijalani oleh pasien. Kerugian dari pemeriksaan ini adalah tinggi karena penggunaan mAs yang tinggi.
47
Dosis radiasi yang mengenai pasien
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 2.5 Kesimpulan Dari laporan diatas yang berjudul “ Teknik Pemeriksaan Radiograf Soft Tissue Leher pada kasus Disfagia di RSUD Dr Soedirman Kebumen” dapat diambil kesimpulan bahwa pemeriksaan Soft Tissue Leher dengan kasus Disfagia ini hanya dilakukan dengan proyeksi anteroposterior dan lateral tanpa menggunakan proyeksi tambahan, karena dari dua proyeksi tersebut sudah bisa menampakan didiagnosa yang di inginkan.
2.6 Saran Sebaiknya pemeriksaan Soft Tissue Leher pada kasus Disfagia menggunakan Low kV teknik agar dapat digambarkan jaringan lunak Soft Tissue secara informative dan tepat.
48
DAFTAR PUSTAKA Bontrager, Kenneth L. Textbook of radiographic positioning and related anatomy / Kenneth L. Bontrager, John P. Lampignano ; new photography by James C. Winters. – 8th ed. Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama 2002.
49
LAMPIRAN
A. Surat Permintaan Rontgen
50