Peningkatan Postmortem dalam Suhu Inti Tubuh Betapa Bisa Tidak Akuratnya Kita tentang Waktu setelah Perhitungan Kematian Abstrak: Peningkatan postmortem dalam suhu inti tubuh merupakan sebuah fenomena yang populer dalam praktik forensik. Terlepas dari hal ini, kasus hipertermia yang valid tercatat jarang dilaporkan dalam literatur forensik, dan hal ini masih tidak jelas seberapa sering hipertermia postmortem terjadi dan pada kasus yang mana kita dapat memprediksinya. Dalam praktik forensik sehari-hari, aliran standar pendinginan tubuh tentu diharapkan, dan prediksi suhu inti tubuh norma pada saat meninggal digunakan untuk menghitung ulang waktu kematian menggunakan metode Henssge. Peningkatan suhu inti tubuh yang tidak terduga bisa sangat mengacaukan perhitungan waktu semenjak kematian pada periode postmortem awal. Kami menunjukkan kasus langka kematian bukan karena kekerasan di rumah sakit dengan catatan peningkatan suhu inti tubuh yang benar-benar tidak biasa setelah kematian, meskipun suhu tubuh sesaat sebelum kematian itu norma. Dalam kasus contoh ini, pendinginan “standar” pada tubuh mulai hingga 4 jam setelah kematian. Kata kunci: waktu setelah kematian, periode postmortem, hipertermia postmortem
Metode yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan interval postmortem adalah mengukur suhu rektum postmortem dan perhitungan kembali menggunakan metode Henssge, dilengkapi dengan penilaian livores dan rigor mortis. Estimasi ini mungkin tampak rumit selama periode postmortem awal karena peningkatan abnormal suhu inti tubuh setelah kematian. Berdasar literatur, hipertermia postmortem terjadi hampir pada 10%
kematian
akibat
kekerasan.
Catatan
mengenai
hipertermia
postmortem membutuhkan pengukuran yang benar pada suhu inti tubuh lebih awal setelah kematian atau pencatatan pendinginan tubuh yang lambat secara abnormal yang tidak berkorelasi dengan durasi periode
postmortem. Pantauan pendinginan tubuh yang tepat pada praktik forensik itu sulit adanya, dan kasus hipertermia postmortem yang dijelaskan cukup sporadis. Sebaliknya, kondisi yang cocok untuk pemantauan suhu, serta pendinginan tubuh setelah kematian, adalah di rumah sakit, terutama di unit perawatan intensif (ICU). Dalam tulisan ini, kami menyajikan kasus kematian yang diperkirakan di rumah sakit, dengan suhu tubuh yang terukur dan terekam dengan baik sebelum kematian dan pada periode postmortem awal. Peningkatan suhu tubuh yang tidak biasa setelah kematian telah didokumentasikan, meskipun suhu tubuh sesaat sebelum kematian hampir normal.
Laporan Kasus Seorang pria berusia 69 tahun dengan defibrilator kardioverter implan (St. Jude Medical Promote+, Sylmar, Calif) dan riwayat medis kardiomiopati melebar, penyakit jantung iskemik, dan gagal jantung kronis dipindahkan ke rumah sakit ketika kondisinya memburuk. Dia dirawat di rumah sakit di ICU dalam keadaan gagal jantung terminal dengan indikasi terapi basal. Dia dinyatakan meninggal 10 hari setelah masuk. Dua hari sebelum kematiannya, ia diberikan diagnosis infeksi kulit pada kaki bagian bawahnya (erisipelas) yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes. Suhu aksila diukur dua kali sehari selama dirawat di rumah sakit menggunakan termometer klinis (bebas merkuri). Suhu aksilanya adalah 37,5°C di malam hari sebelum kematian dan 37,6°C pada pukul 6:00 pagi keesokan paginya ketika suhu terakhir yang diukur sebelum kematiannya dicatat. Suhu yang lebih tinggi tidak dicatat selama rawat inap. Kematian pada pukul 7 pagi disebabkan oleh penyakit jantung, dan pada saat itu, suhu tubuh tampaknya berada dalam kisaran yang diharapkan. Berdasar pada hukum Ceko, jenazah harus tetap di bangsal rumah sakit selama 2 jam setelah kematian. Dalam hal ini, suhu sekitar di ruang rumah sakit adalah 20°C. Satu jam setelah kematian, perawat mulai memindahkan tubuhnya ke Departemen Patologi. Mereka memperhatikan kulit jenazah
yang luar biasa hangat, dan seorang dokter dipanggil kembali ke kamar rumah sakit untuk memverifikasi kematiannya lagi. Catatan pertama suhu tubuh postmortem tercatat dalam 1,5 jam setelah kematian dan memuncak pada 40,1°C. Hebatnya, staf medis memiliki kekhawatiran tentang pembakaran tubuh secara spontan dan berusaha mendinginkan tubuhnya dengan larutan beku yang diletakkan di dekat pangkal paha. Setelah itu, staf medis mengukur suhu aksila dalam interval 30 menit. Suhu tubuh kemudian menurun ke tingkat seperti sebelum kematian: 2 jam setelah kematian, suhu aksila 39,9°C; 2,5 jam setelah kematian menjadi 39,9°C; 3 jam setelah kematian berubah jadi 39,3°C; 3,5 jam setelah kematian suhu berubah ke 38,7°C; dan 4 jam setelah kematiannya suhu menjadi 37,6°C. Catatan ini ditunjukkan pada Gambar 1, dengan asumsi kenaikan linear dalam suhu selama periode awal yang tidak terukur. Kasus ini dirujuk ke ahli
patologi
forensik,
dan
otopsi
medikolegal
diperlukan
untuk
mengklarifikasi penyebab kematian dan untuk menjelaskan hipertermia postmortem. Otopsi dilakukan 27 jam setelah kematian dan mengungkap seorang pria berkulit putih dengan tinggi 186 cm dan berat 90 kg. Hipostasis postmortem dari warna ungu kemerahan intensif diamati pada bagian punggung tubuh; rigor mortis sepenuhnya dikembangkan. Yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan eksternal adalah perubahan trofik kulit pada tungkai bawah, yang ditandai dengan hiperpigmentasi lanjut. Tidak ada tanda kekerasan eksternal yang teridentifikasi. Pemeriksaan internal menunjukkan 300 mL efusi pleura di rongga pleura dan 150 mL efusi perikardial. Defibrilator kardioverter dikeluarkan dari jaringan subkutan di daerah subklavikula kiri, bersama dengan elektroda yang dimasukkan secara benar dari rongga jantung. Ulasan postmortem dari perangkat tidak menampilkan aritmia yang signifikan sebelum kematian. Jantung diperbesar dan melebar, berukuran 20x16x5 cm dan berat 915 g. Myocardium berwarna kekuningan dengan fibrosis dan membawa banyak bekas luka subendokardial. Iskemia akut otot
jantung
tidak
terdeteksi
selama
pemeriksaan
makroskopis.
Aterosklerosis arteri koroner sudah dalam keadaan lanjut. Otopsi organ-
organ internal lainnya mengungkapkan edema paru-paru, kemacetan kronis di hati, dan kista ginjal. Penyebab kematian secara makroskopis dinilai gagal jantung. Pemeriksaan histologis jantung menunjukkan kongesti akut, fibrosis interstitial, hipertrofi dan atrofi kardiomiosit, variasi nuklir, tidak adanya
nekrosis
kardiomiosit,
dan
kurangnya
infiltrat
inflamasi.
Pemeriksaan mikrobiologis dari kerokan pada kulit tungkai bawah menunjukkan tidak ada yang aneh. Analisis kadar alkohol dalam darah dan pemeriksaan toksikologi lainnya tidak diminta karena rawat inap 10 hari sebelumnya.
Pembahasan Suhu inti tubuh hidup normal pada umumnya 37,2°C, dengan fluktuasi antara 36,7°C dan 37,7°C. Setelah kematian, suhu inti tubuh 37,2°C atau lebih tinggi setelah suhu tinggi (interval rata-rata 2 jam) menunjukkan hipertermia postmortem. Studi eksperimental sebelumnya yang mencatat pengukuran suhu rektal pada periode postmortem awal didasarkan pada tubuh orang yang baru meninggal (dengan waktu kematian yang diketahui) dan suhu sekitar yang konstan. Menurut literatur tentang medikolegal, hipertermia postmortem bukanlah fenomena yang unik. Peningkatan postmortem awal pada suhu rektal dilaporkan pada tahun 1985 oleh Hutchins, dan Muggenthaler dkk. melaporkan hipertermia pada saat kematian pada 18 dari 84 kasus dalam studi pendinginan rektal postmortem. Demierre dkk. mencatat suhu inti tubuh meningkat pada 10% dari kasus kematian dengan kekerasan dalam sebuah penelitian representatif dari 744 kasus. Banyak kemungkinan yang menjadi penyebab dari hipertermia postmortem telah dibahas dalam literatur terdahulu. Hipertermia dapat terjadi akibat proses patologis atau dari kelebihan panas di dalam tubuh. Banyak penulis telah menerbitkan kasus hipertermia postmortem yang berhubungan dengan patologi perimortem. Intoksikasi dan overdosis obat sering dilaporkan sebagai penyebab hipertermia postmortem. Sebaliknya, hipotermia lebih sering dikaitkan dengan pecandu alkohol kronis atau pecandu narkotika. Insiden kekerasan yang mengakibatkan trauma serebral yang tersembunyi, trauma otak dengan hipoksia serebral, poltrauma, dan kematian akibat sesak napas juga disebutkan sebagai kemungkinan penyebab peningkatan suhu tubuh setelah kematian. Kenaikan suhu dubur yang disebabkan oleh listrik dikeluarkan dalam kasus kematian oleh arus tegangan rendah dalam studi eksperimental oleh Haedrich dkk. Infraksi miokardial, kanker, infeksi, dan demam dari berbagai penyebab dapat menghasilkan kondisi patologis sebelum kematian yang dapat mengakibatkan suhu inti tubuh meningkat pada saat kematian.
Kondisi lain yang populer terkait dengan peningkatan suhu tubuh inti ratarata adalah delirium tereksitasi. Hipertermia bahkan dianggap sebagai bukti pendukung yang kuat untuk diagnosis kematian mendadak yang disebabkan oleh delirium tereksitasi. Secara
umum,
kenaikan
spontan
suhu
tubuh
setelah
kematian
diinterpretasikan sebagai surplus jangka pendek dari produksi panas dari proses metabolisme postmortem yang terjadi bersamaan dengan metabolisme jaringan dan bakteri yang berkelanjutan dan kehilangan panas yang tidak cukup. Dalam kasus kami, erisipelas pada tungkai bawah bisa menjadi penjelasan yang dapat diterima tentang peningkatan suhu tubuh setelah kematian; namun, ini tidak ditunjukkan dalam spesimen autopsi. Tidak ada faktor patologis atau lingkungan lainnya yang bisa menjelaskan kenaikan suhu tubuh yang tidak normal setelah kematian.
KESIMPULAN Di sini, kami telah menyajikan kasus kematian karena penyakit jantung yang terdeteksi di rumah sakit dengan hipertermia postmortem yang tercatat secara tepat. Fenomena hipertermia postmortem sudah dikenal luas dalam praktik forensik, tetapi masih belum sepenuhnya jelas seberapa sering itu terjadi dan dalam kasus-kasus tertentu kita dapat menemukan hipertermia postmortem. Namun, suhu inti tubuh dubur setelah kematian diukur di tempat kejadian sebagai bukti forensik itu sangat penting, yang harus dikumpulkan dengan cepat sebelum mulai menyamakan dengan suhu lingkungan. Biasanya, pendinginan tubuh secara umum dilakukan dalam praktik forensik rutin. Seperti yang diilustrasikan oleh kasus kami, perubahan suhu tubuh bisa sangat tidak biasa dan tidak terduga dan mengacaukan informasi estimasi forensik waktu setelah kematian pada periode postmortem awal.