280993879-infeksi-luka-operasi.docx

  • Uploaded by: puspitawd
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 280993879-infeksi-luka-operasi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,557
  • Pages: 9
LAPORAN PENDAHULUAN INFEKSI LUKA OPERASI

1. Definisi Infeksi luka operasi (ILO) atau Surgical Site Infection (SSI) merupakan salah satu komplikasi pasca bedah dan infeksi nosokomial yang paling sering terjadi pada pasien bedah. Survei oleh WHO menunjukkan 5-34 % dari total infeksi nosokomial adalah ILO (Singhal, 2008). Penelitian di Vietnam dilaporkan insiden ILO 10,9% dari 697 pasien. Pembedahan abdomen terbukti berisiko 4,46 kali mengalami ILO dibanding jenis tindakan bedah lainnya (Nguyen, 2001). Infeksi luka operasi adalah infeksi lokal yang berkaitan langsung dengan tindakan bedah, timbul dalam waktu 30 hari pasca-bedah selama pasien dirawat di rumah sakit, ditandai terdapat sekret purulen, abses, atau selulitis pada luka operasi, dan dapat disertai komplikasi akibat infeksi luka operasi, yaitu adhesi, fistel, prolaps stoma, leakage anastomosis, burst abdomen, dan perforasi (Dayton, 2004). Infeksi pada tempat operasi merupakan salah satu komplikasi utama operasi yang dapat meningkatkan morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan penderita di rumah sakit (Bruce, 2001). Di Amerika Serikat, 38% dari seluruh infeksi nosokomial adalah ILO. Survei WHO menunjukkan bahwa angka kejadian ILO di dunia berkisar antara 5% sampai 34%. Sekitar 77% dari kematian pasien pascaoperasi di rumah sakit di seluruh dunia diperkirakan berhubungan dengan ILO (Singhal, 2008).

2. Etiologi Penelitian faktor risiko ILO pasca-bedah pada anak di Spanyol dengan meneliti variabel usia, jenis kelamin, lama perawatan pra-bedah, kategori luka operasi, lama operasi, penggunaan antibiotik profilaksis, lama penggunaan kateter vena sentral, lama penggunaan kateter vena perifer, lama penggunaan kateter urin, lama penggunaan ventilator, jumlah diagnosis, dan jenis operasi. Terdapat hubungan bermakna antara variabel tersebut dengan ILO kecuali dengan variable usia, jenis kelamin, lama perawatan pra-bedah, penggunaan antibiotik profilaksis, dan penggunaan ventilator (Cassanova, 2006). Jenis operasi emergensi juga terbukti sebagai salah satu faktor risiko ILO. Penelitian di Pakistan melaporkan prevalens ILO pasca-laparotomi emergensio lebih tinggi dibanding pasca laparotomi elektif (Murtaza, 2010). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi (faktor resiko) terjadinya ILO antara lain sifat operasi (derajat kontaminasi operasi), nilai ASA (American Society of Anesthesiologists), komorbiditas diabetes mellitus, suhu pra-operasi, jumlah lekosit dan lama operasi (Hsiao, 1996). Sumber infeksi dapat berasal dari udara, alat bedah dan dokter bedah, kulit penderita, visera, dan darah. Mikroba atau bakteri dapat berpindah dari suatu

tempat ke tempat lain melalui perantara. Pembawa kuman ini dapat berupa hewan, misalnya serangga, manusia, atau benda yang terkontaminasi, seperti peralatan bedah. Jadi, dalam hal ini alat bedah, personel, dan dokter bedah merupakan pembawa potensial untuk memindahkan bakteri (Sjamsuhidajat dan Jong, 2004). Tubuh

manusia

diperkirakan

menyimpan

1014

mikroorganisme.

Miroorganisme tersebut dapat dilepaskan ke dalam jaringan pada saat pembedahan, kontaminasi akan semakin diperberat ketika terdapat perforasi pada organ (misalnya peritonitis akibat perforasi divertikular). Infeksi setelah operasi disebabkan oleh penyebab primer atau sekunder (Bailey, 2013). 

Klasifikasi Penyebab Infeksi Primer : Terdapat pada host dan didapatkan dari sumber endogen (contohnya infeksi luka akibat kontaminasi dari perforasi appendix)



Sekunder atau eksogen : Didapatkan dari luar tubuh seperti buruknya proses aseptik dan cuci tangan yang tidak baik

3. Patofisiologi Normalnya mikroorganisme tidak dapat menimbulkan infeksi pada jaringan oleh karena terdapatnya permukaan kulit intak yang menghalangi. Pertahanan ini dapat rusak akibatkan trauma atau pembedahan. Selain pertahanan mekanik tersebut, terdapat mekanisme perlindungan lainnya, yakni (Bailey, 2013) : 

Kimia : pH asam lambung



Humoral : antibitotik, komplemen, dan opsonin



Selular : sel fagosit, makrofag, sel PMN, dan limfosit

Respon tubuh dapat terganggu oleh keadaan malnutrisi, keadaan ini dapat dikenali secara klinis dari adanya penurunan berat badan yang cepat. Kelainan metabolik seperti diabetes mellitus, uremia dan ikterik. Selain itu AIDS merupakan pendukung terjadinya infeksi dan respon penyembuhan luka yang buruk (Bailey, 2013). Kemungkinan timbulnya ILO juga ditentukan oleh sifat patogen dari mikroorganisme dan besarnya lokasi inokulum bakteri. Jaringan yang terlepas, dead space yang luas atau hematoma merupakan hasil dari teknik operasi yang buruk. Alat yang digunakan dalam operasi juga berpengaruh dalam menimbulkan ILO. Benang sutra seharusnya tidak digunakan untuk menutup kulit karena jenis benang ini dapat menimbulkan abses pada jahitan (Bailey, 2013). Faktor yang mempengaruhi timbulnya ILO     

Respon host Virulensi dan Inokulum agen infektif Vaskularitas Adanya jaringan mati Antibiotik

Mekanisme utama yang mendasari terjadinya ILO adalah kandungan oksigen yang rendah pada jaringan yang mati pada luka pascabedah (Mangram, 1999). Pada suatu studi kohort terhadap 149 pasien dengan gula darah yang tidak terkontrol yang menjalani reseksi kolorektal ditemukan ILO lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan pasien dengan gula darah yang terkontrol (Pramugyono, 2004). Suhu sangat berpengaruh terhadap terjadinya ILO. Hipotermia dapat merusak fungsi imun dan terjadi vasokonstriksi kulit dan mengurangi aliran darah ke tempat operasi, dan selanjutnya akan meningkatkan resiko ILO. Lama operasi berbanding lurus dengan resiko infeksi luka dan memperberat resiko akibat jenis kontaminasi. Culver dkk menyatakan bahwa operasi yang berlangsung lebih dari persentil ke-75 dari suatu prosedur, dianggap sebagai operasi lama (Erdani, 2008).

4. Manifestasi Klinis Infeksi luka dapat dijelaskan sebagai invasi dari mikroorganisme ke jaringan yang kemudian memicu timbulnya kerusakan lokal dan mekanisme pertahanan sistemik. Hal tersebut kemudian menimbulkan selulitis, limfangitis, abses, dan bakterimia. Infeksi pada luka operasi kebanyakan merupakan infeksi superfisial atau superficial surgical site infection (SSSI). Jenis lainnya yakni infeksi dalam (infeksi pada lapisan muskulofasial yang lebih dalam) dan infeksi pada organ (seperti abses abdominal setelah kebocoran anastomosis) (Bailey, 2013). Manifestasi ILO dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni mayor dan minor. ILO mayor merupakan luka dengan pus yang keluar secara spontan dalam jumlah yang signifikan atau luka yang membutuhkan tindakan operasi untuk pengeluaran pus. Pasien kemungkinan mengalami tanda-tanda sistemik seperti takikardi, demam dan peningkatan jumlah leukosit. Infeksi luka operasi minor dapat disertai pus atau cairan serosa tapi tidak mengalami tanda sistemik (Bailey, 2013). Manifestasi Klinis yang Terlokalisir Abses Abses ditandai dengan adanya hangat (calor), kemerahan (rubor), nyeri (dolour), dan pembengkakan (tumor). Selain itu juga dapat terjadi function laesa. Organisme piogenik biasanya Staphylococcus aureus menyebabkan nekrosis jaringan dan supurasi. Abses mengandung material yang bersifat hiperosmotik di dalam cairan. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan dan menyebabkan nyeri. Abses luka dapat menghilang secara sempurna namun terkadang membutuhkan drainase melalui pembedahan. Kebanyakan abses yang berhubungan dengan luka operasi timbul setelah hari ke 7-10 (Bailey, 2013).

Selulitis dan Limfangitis

Selulitis merupakan infeksi jaringan non supuratif. Tanda klinis seringkali terjadi seperti demam. Hal ini terjadi akibat adanya pelepasan toksin ke dalam sirkulasi. Limfangitis merupakan bagian dari proses yang serupa dengan manifestasi bercak kemerahan nyeri pada jaringan limfatik yang terinfeksi. Limfangitis seringkali disertai dengan nodus limfa yang teraba nyeri (Bailey, 2013).

Manifestasi Klinis yang Sistemik Sindroma Inflamasi Sistemik Sindroma inflamasi sistemik (SIS) merupakan manifestasi dari sepsis, walaupun sindroma ini juga dapat disebabkan oleh trauma multipel, luka bakar atau pankreatitis tanpa infeksi. Pada SIS terjadi pelepasan sitokin dan neutrofil yang memicu terjadinya demam, takikardi, dan takipneu. Neutrofil yang teraktivasi akan melekat pada endotel vaskular organ penting dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular, selanjutnya terjadi kerusakan seluler sehingga membuat organ menjadi disfungsional (Sindroma Disfungsi Multipel Organ). Dalam bentuk yang lebih parah, dapat berkembang menjadi Gagal Organ Multipel. Pada keadaan ini terjadi gangguan respirasi, kardiak, intestinal, ginjal dan hepar bersamaan dengan kegagalan sirkulasi (Bailey, 2013).

5. Penatalaksanaan Luka bedah mengalami stres selama masa penyembuhan. Stres akibat nutrisi yang tidak adekuat, gangguan sirkulasi, dan perubahan metabolisme akan meningkatkan risiko lambatnya stres fisik. Regangan jahitan akibat batuk, muntah, distensi, dan gerakan bagian tubuh dapat mengganggu lapisan luka. Perawat harus melindungi luka dan mempercepat penyembuhan. Waktu kritis penyembuhan luka adalah 24 sampai 72 jam setelah pembedahan. Jika luka mengalami infeksi, biasanya infeksi terjadi 3 sampai 6 hari setelah pembedahan. Luka bedah yang bersih biasanya tidak kuat menghadapi stres normal selama 15 sampai 20 hari setelah pembedahan. Perawat menggunakan teknik aseptik saat mengganti balutan dan merawat luka. Drain bedah harus tetap paten sehingga akumulasi sekret dapat keluar dari dasar luka. Observasi luka secara terus-menerus dapat mengidentifikasi adanya tanda dan gejala awal terjadinya infeksi. Klien lansia terutama berisiko mengalami infeksi luka pascaoperatif, sehingga perawat preoperatif menurunkan risiko ini dengan cara memberi lingkungan yang aman dan asuhan keperawatan yang komprehensif (Potter, 2006).

1. Pembersihan Luka (AHCPR, 1994) Proses pembersihan luka terdiri dari memilih cairan yang tepat untuk membersihkan luka dan menggunakan cara-cara mekanik yang tepat untuk memasukkan cairan tersebut tanpa menimbulkan cedera pada jaringan luka. Pertama-tama mencuci luka dengan air yang mengalir,

membersihkan dengan sabun yang lembut dan air, serta dapat memberikan antiseptik yang dibeli di luar apotik (Potter, 2006). 2. Balutan Menggunakan balutan yang tepat perlu disertai pemahaman tentang penyembuhan luka. Apabila balutan tidak sesuai dengan karakteristik luka, maka balutan tersebut dapat mengganggu penyembuhan Luka (Erwin-Toth dan Hocevar, 1995; Krasner, 1995; Motta, 1995). Balutan juga harus dapat menyerap dirainase untuk mencegah terkumpulnya eksudat yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri dan maserasi di sekeliling kulit akibat eksudat luka (Potter, 2006). a. Tujuan pembalutan 1. Melindungi luka dari kontaminasi mikroorganisme. 2. Membantu hemostasis. 3. Mempercepat penyembuhan dengan cara menyerap drainase dan untuk melakukan debredemen luka. 4. Menyangga atau mengencangkan tepi luka. 5. Melindungi klien agar tidak melihat keadaan luka (bila luka terlihat tidak menyenangkan). 6. Meningkatkan isolasi suhu pada permukaan luka. 7. Mempertahankan kelembaban yang tinggi diantara luka dengan balutan. (Potter, 2006). b. Jenis-jenis balutan Balutan terdiri dari berbagai jenis bahan dan cara pemakaiannya (basah dan kering). Balutan harus dapat digunakan dengan mudah, nyaman, dan terbuat dari bahan yang mempercepat penyembuhan luka. Pedoman klinik dari ACHPR (1994) dapat membantu memilih jenis balutan yang sesuai dengan tujuan perawatan luka (Potter, 2006). Rekomendasi Balutan dari AHCPR 1994 : 1. Gunakan balutan yang dapat menjaga dasar luka tepat lembab. Balutan basa-kering hanya boleh digunakan untuk debridemen dana jangan menggunakan balutan yang dilembabkan oleh salin secara terusmenerus. 2. Gunakan penilaian klinik untuk memilih jenis balutan luka lembab yang sesuai untuk ulkus. Penelitian terhadap beberapa jenis balutan luka lembab menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hasil akibat penyembuhan dekubitus. 3. Pilih balutan yang menjaga permukaan kulit yang utuh (periulkus) di sekitarnya tetap kering sambil menjaga dasar luka tetap lembab. 4. Pilih balutan yang dapat mengontrol eksudat tetapi tidak menyebabkan desikasi dasar luka. 5. Saat memilih jenis balutan, pertimbangkan waktu yang dimiliki oleh pemberian perawatan.

6. Hilangkan daerah luka yang mati dengan cara mengisi seluruh rongga dengan bahan balutan. Hindarkan pembalutan yang berlebihan. 7. Monitor balutan yang terdapat di dekat anus, karena keutuhan balutan sulit dijaga.(Potter, 2006) 3. Kondisi Stabil Jika kondisi klien stabil (misalnya setelah operasi atau tindakan) perawat mengkaji luka untuk menentukan kemajuan penyembuhan luka yang dialami oleh klien. Jika luka tertutup balutan dan dokter belum meminta untuk menggantinya, perawat tidak boleh menginspeksi luka secara langsung kecuali jika perawat mencurigai adanya komplikasi serius pada luka. Pada situasi seperti itu perawat hanya menginspeksi balutan dan semua drain eksternal. Jika dokter memutuskan untuk mengganti balutan, dokter akan mengkaji luka minimal 1 kali sehari. Saat sedang mengganti balutan, perawat menghindarkan terbuang atau terangkatnya dari yang ada di bawahnya. Karena penggantian balutan dapat menimbulkan nyeri, pemberian analgesik 30 menit sebelum melakukan tindakan dapat membantu mengurangi nyeri klien. 4. Sterilisasi Kecepatan penyembuhan luka tergantung dari steril permukaan kulit selama proses pembersihan luka sebelum pembalutan dan kecepatan membunuh mikroorganisme pada pemberian teknik antiseptik. Saifuddin (2005) selama sekurang-kurangnya 20 menit untuk instrumen tidak terbungkus, 30 menit untuk instrumen terbungkus. Dengan demikian berdasarkan uraian di atas betadine-alkohol yang paling efektif, karena kecepatan membunuh bakteri membutuhkan waktu 10-20 menit untuk betadine, 10-15 menit untuk alkohol. Sedangkan betadine-savlon memerlukan waktu membunuh kuman 10-20 menit untuk betadine, 20-30 menit untuk savlon. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa betadine-alkohol memerlukan waktu rentang membunuh bakteri 10-20 menit, sedangkan betadine-savlon 10-30 menit sebelum pembalutan. Luka dalam kondisi pembalutan sudah dinyatakan steril, karena sesuai dengan tujuan pembalutan yaitu salah satunya melindungi luka dari kontaminasi mikroorganisme.

5. Komplikasi a. Komplikasi dini 1. Infeksi Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.

2. Perdarahan Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan. 3. Dehiscence dan Eviscerasi Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, ,multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum kolagen meluas di daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.

b. Komplikasi Lanjut 1. Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan intervensi bedah. 2. Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang – kadang nyeri. Parut hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar satu tahun, sedangkan keloid tidak. 3. Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut. 4. Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, beban tekan, radiasi ringan dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara

halus, diberikan beban tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka. (Yusuf, 2009)

REFERENSI Bruce J, Russel EM, Mollinson J, Krukowski ZH. The Meassurement and monitoring of surgical adverse events. Health Tech Assesss 2001;5:1-194. 2. Cassanova J, Herruzo R, Di’ez J. Risk factors for surgical site infection in children. Infect Control Hosp Epidemiol 2006;27:709-15. Dayton MT. Surgical complications. Dalam: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, penyunting. Sabiston Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice.Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h. 297-325. Erdani F, Penilaian kualitas pelayanan bedah pada penderita yang menjalani laparotomi emergensi di Rumah Sakit Dr. Mohhamad Hoesin berdasarkan metode prediksi angka kematian P- POSSUM, Departemen Ilmu Bedah, FK UNSRI/ RS Dr. Mohhamad Hoesin Palembang. 2008. Hsiao WC, et al, Incisional hernia after laparotomy: Prospectif randomized betweenearly absorbable and late absorbable suture material, department of Surgery, National Chen Kung University Hospital, Taiwan, Republic of China, 1996. 9. Mangram AJ, Horan TC, Pearson ML, Silver LC, Jarvis WR. Guideline for prevention of surgical site infection. Minnesota. 1999 Mohann, et al, laparotomy emergency in WRH Hospital, Pokara, Nepal, 1999 in www.healthnet.org. Murtaza B, Saeed S, Sharif MA. Postoperative com- plications in emergency versus elective laparotomies at a peripheral hospital. J Ayub Med Coll Abbottabad 2010;22:42-7. Nguyen D, MacLeod WB, Phung DC. Incidence and predictors of surgical site infections in Vietnam. Infect Control Hosp Epidemiol 2001;22:485-92. Pramugyono, Penerapan POSSUM/P-POSSUM pada pasien trauma abdomen yang dilakukan laparotomy eksplorasi di IRD RSUP Dr Sarjito Jogjakarta, Bagian Ilmu Bedah FK UGM/RS Sarjito Jogjakarta, 2004. Singhal H, Kaur K, Zammit C. Wound Infection. eMedicine Specialties, General Surgery,Wounds. Article Last Updated: Aug 21, 2008 Williams NS, Bulstrode CJK, O’connell PR. Bailey & Love’s Short Practice of Surgery.

CRC Press. Florida. 2013 Sjamsuhidayat. De Jong

Pelaihari, Februari 2019

Preseptor Klinik,

Ners Muda,

(Nurul Mutia, S.Kep)

More Documents from "puspitawd"

Mini Cex Puspita.docx
November 2019 23
Daftar Pustaka.docx
November 2019 14
Kasus 1 Disaster.docx
November 2019 21
Form Mtbs.pdf
November 2019 11