276595835-sindrom-kardiorenal.docx

  • Uploaded by: Yoga Prabawa
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 276595835-sindrom-kardiorenal.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,439
  • Pages: 32
BIOMARKER PENEGAKAN DIAGNOSIS SINDROM KARDIORENAL dr. Ida Ayu Pradnya Paramita, S.Ked1 1

Program Pendidikan Dokter Spesialis, Departemen Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali. Abstrak Terdapat konsensus bahwa sindrom kardiorenal (CRS) didefinisikan sebagai gangguan jantung dan ginjal yang ditandai dengan disfungsi akut atau kronis pada satu organ sehingga dapat menyebabkan disfungsi akut atau kronis pada organ lainnya. Pasien dengan CRS mengalami peningkatan angka rawat inap serta kejadian mortalitas. Biomarker tidak hanya bersifast sebagai prediktif pada gagal jantung atau penyakit ginjal, tetapi juga berguna dalam mengidentifikasi disfungsi jantung pada penyakit ginjal dan cedera ginjal pada gagal jantung. Dengan demikian, mereka dapat diterapkan untuk mengidentifikasi pasien dengan CRS dan bahkan menilai prognosis dan memandu terapi pada pasien ini. Namun saat ini studi tentang biomarker baru saja dimulai pada CRS. Studi masa depan sangat penting untuk mengamati biomarker saat ini dan menemukan biomarker baru dalam CRS untuk meningkatkan diagnosis, terapi, dan prognosis CRS. Kata kunci: biomarker, sindrom kardiorenal. PENDAHULUAN

Terdapat suatu konsensus yang menyebutkan bahwa sindrom kardiorenal (cardiorenal syndrome; CRS) dapat didefinisikan sebagai gangguan jantung dan ginjal yang terjadi baik secara akut ataupun disfungsi secara kronis pada satu organ, yang berujung terhadap disfungsi akut atau kronis pada organ lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, CRS terdiri dari 5 sub tipe, diantaranya: A) Tipe 1 (sindrom kardiorenal akut), gagal jantung akut yang mengarah terhadap terjadinya cidera ginjal akut yang dimediasi oleh sistem hemodinamik, humoral, hormonal, dan faktor imun; B) Tipe 2 (sindrom kardiorenal kronis), gagal jantung kronis mengarah pada penyakit ginjal kronis yang dimediasi oleg adanya curah jantung rendah, hipotensi kronis, peningkatan tekanan vena, inflamasi subklinis, disfungsi endotel, dan percepatan terjadinya aterosklerosis; C) Tipe 3 (sindrom renokardiak akut), cidera ginjal akut akan mengarah kepada gagal jantung akut yang dimediasi oleh adanya vasokonstriksi, ekspansi volume, pesinyalan humoral, abnormalitas pada elektrolit, ketidakseimbangan koagulasi, aktivasi system RAAS (renin-angiotensin-aldosterone system), dan sistem saraf simpatis; D) Tipe 4 (sindrom kardiorenal kronik) gagal ginjal kronis yang berujung terhadap terjadinya gagal jantung kronik yang dimediasi sebelumnya oleh anemia, malnutrisi, kelebihan Na-H2O, racun uremia, abnormalitas pada Ca/P, dan inflamasi kronik; sedangkan E) Tipe 5 (sindrom kardiorenal sekunder), merupakan suatu kondisi sistemik yang mengarah terjadinya disfungsi pada jantung dan ginjal secara simultan yang dimediasi oleh adanya perubahan hemodinamik, aktivasi neurohormonal, dan perubahan pada respon imun dan metabolisme. Mengingat prosesnya yang kompleks, terapi pada sindrom kardiorenal menjadi sulit. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat tentang patofisiologi sindrom ini diperlukan untuk memberikan alasan yang rasional untuk strategi penatalaksanaan dari CRS.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Berdasarkan data dari NHLBI (The National Heart, Lung, and Blood Institute) tahun 2004 di Amerika

Serikat,

mengajukan

definisi

sederhana

tentang

sindrom

kardiorenal

(CRS/Cardiorenal syndrome) yakni suatu penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh penurunan fungsi jantung.1-7 Kimmenade dkk. telah menyatakan keadaan ini sebagai "cardiorenal syndrome". Terminologi ini lazim digunakan dalam dekade terakhir namun belum ada definisi yang dapat diterima secara umum terutama bagi kalangan ahli jantung dan ahli ginjal sehingga Scrier (2007) membedakan istilah antara "cardiorenal syndrome" yaitu penurunan fungsi ginjal yang terjadi pada gagal jantung sedangkan penurunan fungsi jantung akibat gagal ginjal disebut sebagai "renocardiac syndrome". Mengingat fungsi ginjal antara lain mengatur garam dan cairan maka penurunan fungsinya akan menyebabkan terganggunya pengobatan terhadap gagal jantung. Definisi ini tidak dapat menjelaskan semua bentuk korelasi antar organ ginjaljantung. Defenisi yang disepakati, diperlukan untuk menjelaskan koeksistensi gangguan jantung dan ginjal dan untuk mengidentifikasi perjalanan waktu interaksi jantung-ginjal.6 Secara umum sindrom kardiorenal oleh Ronco dkk. (2008) didefinisikan sebagai suatu kondisi baik akut ataupun kronik dimana jantung ataupun ginjal gagal mengkompensasi gangguan fungsinya dan berdampak pada gangguan fungsi organ lainnya ataupun akibat sekunder dari penyakit sistemik yang mengganggu keduanya sehingga terjadi siklus lingkaran berbahaya yang menyebabkan kegagalan sistem sirkulasi. Peningkatan beban pengisian jantung berhubungan dengan meningkatnya tekanan vena ginjal. Tekanan perfusi ginjal sebanding dengan tekanan arteri rata-rata dikurangi tekanan atrium kiri sebagai indeks tekanan vena ginjal. Peningkatan tekanan vena sentral menunjukkan terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus yang selanjutnya menyebabkan retensi air dan sodium dan terjadi juga stimulasi terhadap renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS). Oleh karena itu peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan kanan tidak hanya mengganggu cardiac output namun juga menyebabkan disfungsi ginjal dengan meningkatnya tekanan vena ginjal. Selain itu peningktan adenosin juga dapat menyebabkan

penurunan GFR dengan cara vasodilatasi arteriol efferen glomerulus dan vasokontriksi arteriol afferen gromerulus. 2.2 Klasifikasi Ronco dkk, membuat klasifikasi sindrom kardiorenal berdasarkan mekanisme patofisiologi yang mendasari kegagalan fungsi jantung dan ginjal (Tabel 1). Klasifikasi tersebut memfokuskan pada 2 aspek yaitu durasi (onset akut atau kronik), dan urutan kejadian (didahului gagal ginjal atau didahului gagal jantung, atau terjadi simultan akibat penyakit sistemik).2,8 Tabel 1. Klasifikasi sindroma kardiorenal (CRS) menurut Ranco dkk berdasarkan konferensi konsesus Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI)2,8 Tipe I

Sindrom Acute Cardio-renal

Patofisiologi Penurunan fungsi jantung akut (acute cardiogenic shock atau

ADHF-acute

coronary

syndrome/ACS)

yang

menyebabkan acute kidney injury (AKI) II

Chronic Cardio-renal

Penurunan fungsi jantung kronis (gagal jantung kongestif) yang menyebabkan penyakit ginjal kronis(PGK)

III

Acute Reno-cardiac

Penurunan

fungsi

ginjal

akut

(iskemik

atau

glomerulonefritis) menyebabkan gangguan jantung akut (aritmia,iskemia,infark) IV

Chronic Reno-cardiac

Penurunan

fungsi

ginjal

kronis

(iskemik

atau

glomerulonefritis kronik) menyebabkan gangguan jantung kronis (LVH/left ventricular hypertrophy, gagal jantung) V

Secondary Cardiorenal

Kondisi sitemik (diabetes mellitus, sepsis) menyebabkan gangguan kedua organ

A) Tipe I Sindrom Kardiorenal Akut Perburukan akut fungsi jantung (seperti pada syok kardiogenik akut atau gagal jantung dekompensasi akut) yang menyebabkan acute kidney injury (AKI).8 Ini adalah sindrom perburukan fungsi ginjal (worsening renal function/WRF) yang menyebabkan terjadinya gagal jantung akut (acute heart failure/AHF) dan/atau sindrom koroner akut (acute

3

coronary syndrome/ACS). Antara 27-40% dari pasien yang dirawat inap karena penyakit gagal jantung dekompensata (ADHF) dapat terkena acute kidney injury (AKI). Kebanyakan pasien dengan kondisi ini mengalami mortalitas dan morbiditas yang tinggi dan meningkatkan lamanya rawat inap.7 B) Tipe II Sindrom Kardiorenal Kronik Abnormalitas kronik fungsi jantung (seperti pada gagal jantung kronik) yang secara progresif memperburuk fungsi ginjal dan potensial untuk menyebabkan penyakit ginjal kronik.

8

Kasus ini banyak ditemukan dan sekitar 63% pasien yang dirawat terdapat

Congestive Heart Failure (CHF)7 C) Tipe III Sindrom Renoardiak Akut Perburukan akut fungsi ginjal (seperti pada iskemik ginjal akut atau glomerulonefritis) yang menyebabkan gangguan jantung akut (misalnya gagal jantung, aritmia, iskemia). Subtipe ini mengacu pada kelainan pada fungsi jantung sekunder terhadap AKI.7,8 D) Tipe IV Sindrom Renokardiak Kronik Penyakit ginjal kronik (seperti pada penyakit glomerular kronik atau penyakit interstisial kronik) yang berperan dalam penurunan fungsi jantung, hipertrofi jantung, dan/atau meningkatnya risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Subtipe ini mengacu pada penyakit atau disfungsi jantung yang terjadi sekunder akibat penyakit ginjal kronis. Dalam studi terakhir, sebuah hubungan eksponensial antara keparahan disfungsi ginjal dan

risiko

semua

penyebab

kematian

menghasilkan

bahwa

kematian

akibat

kardiovaskular merupakan lebih dari 50% dari keseluruhan kematian.7,8 E) Tipe V Sindrom Kardiorenal Sekunder Kondisi-kondisi sistemik (seperti pada diabetes mellitus, sepsis) yang secara simultan menyebabkan disfungsi jantung dan ginjal. Meskipun subtipe ini tidak memiliki disfungsi organ primer dan/atau sekunder, mengacu pada situasi dimana kedua organ secara bersamaan terkena penyakit sistemik, baik akut atau kronis. Contohnya termasuk sepsis, sistemik lupus eritematosus, diabetes mellitus, amiloidosis, atau kondisi peradangan kronis. 7,8 Liang dkk (2008) membuat definisi CRS berdasarkan gambaran kliniknya. Menurut mereka apakah penyebab awalnya organ ginjal atau jantung, gambaran kliniknya dapat berupa gagal 4

jantung yang disertai dengan penurunan fungsi ginjal, memburuknya fungsi ginjal saat dilakukan pengobatan pada acute decompensated heart failure (ADHF) atau resistensi terhadap terapi diuretik akibat penurunan fungsi ginjal. Mereka membuat klasifikasi definisi seperti tercantum pada Tabel 2.2,9 Tabel 2. Definisi dan Klasifikasi Sindroma Kardiorenal (CRS menurut Liang dkk) tahun 2008.6 Cardiorenal Failure (ADHF)

Ringan : Gagal jantung + eGFR 30-59 cc/menit/ 1.73 m2 Sedang : Gagal jantung + eGFR 15-29 cc/menit/ 1.73 m2 Berat : Gagal jantung + eGFR <15 cc/menit/ 1.73 m2

Perburukan fungsi ginjal saat

Kenaikan kadar kreatinin serum > 0,3 mg/dl atau> 25 %

pengobatan untuk ADHF

dari kadar asalnya

Resistensi Diuretik

Resistensi terhadap terapi diuretik, walaupun telah diberikan : - >80 mg furosemid / 6 jam - > 240 mg furosemid / hari - Infus furosemid secara kontinu - Kombinasi terapi diuretik (loop diuretic + tiazide + aldosterone antagonist)

2.3 Epidemiologi Sindroma kardiorenal ditandai dengan interaksi jantung-ginjal yang signifikan yang bekerja sama dalam patofisiologi terbentuknya sindrom ini. Penjelasan mengenai epidemiologi interaksi jantung-ginjal, dikelompokkan berdasarkan subtipe CRS, merupakan langkah awal yang penting menuju pemahaman keseluruhan penyakit untuk setiap subtipe CRS dan penting dalam menentukan adanya kesenjangan dalam pengetahuan dan membantu sebagai acuan desain penelitian-penelitan berikutnya.7 Bukti-bukti epidemiologi interaksi antara ginjal dan jantung pada awalnya banyak diperoleh dari populasi gagal ginjal terminal. Penyakit kardiovaskular sangat mudah ditemukan pada populasi tersebut. Pada saat memulai dialisis, sebanyak 40% diketahui menderita penyakit jantung koroner, sedangkan gangguan fungsi dan struktur ventrikel kiri ditemukan pada 85%.

5

Lebih dari 50% penderita dialisis meninggal karena penyakit kardiovaskular. Mortalitas tersebut 10 – 30 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Bahkan sebagian besar penderita penyakit ginjal kronik derajat 3 atau 4 meninggal karena penyakit kardiovaskular sebelum mencapai gagal ginjal terminal.10 Hubungan antara gangguan fungsi ginjal dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular bahkan sudah terlihat pada disfungsi ginjal yang lebih ringan. Sebuah penelitian epidemiologi berskala besar melibatkan lebih dari 1 juta orang yang diikutsertakan selama rata-rata hampir 3 tahun ditemukan setiap gradasi penurunan estimasi laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate = GFR) dibawah 60 ml/menit berhubungan dengan peningkatan risiko kematian, kejadian kardiovaskular, dan lamanya perawatan di rumah sakit.11 Dari sudut lain, Forman dkk (2004) melaporkan terjadinya perburukan fungsi ginjal pada pasien yang dirawat oleh karena gagal jantung. Yang menjadi kriteria perburukan fungsi ginjal adalah kenaikan kadar kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dl bila dibandingkan dengan kadar awal. Perburukan fungsi ginjal terjadi pada 27% dari pasien yang dirawat dan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk pula. Smith dkk (2006) mengadakan meta-analisis dan review kepustakaan, mereka melaporkan bahwa dari 80.098 pasien dirawat karena gagal jantung didapatkan 63% diantaranya mengalami perburukan fungsi ginjal, tingkat perburukan fungsi ginjal sebanding dengan peningkatan angka kematian. Untuk setiap kenaikan kadar kreatinin serum sebesar 0,5 mg/dl terjadi peningkatan angka kematian sebesar 15%. Interaksi antar organ tidak hanya terjadi pada kasus-kasus kronis. Suatu penelitian kohort prospektif The Cardiovascular Health Study dilakukan oleh Mittalhenkle dkk (2008) melaporkan terjadinya gagal ginjal akut sebesar 3,9% pada penderita penyakit kardiovaskular. Chittineni dkk (2007) melaporkan angka kejadian yang lebih tinggi yaitu 21% kasus gagal ginjal akut pada penderita yang dirawat disebabkan gagal jantung . Sebaliknya penelitian United States Renal Data System (USRDS) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2001 dan 2003 terjadi kematian mendadak akibat henti jantung (cardiac arrest) sebesar 32 % pada pasien hemodialisis baik diluar rumah sakit atau selama menjalani dialisis (81%).6 1. Sindroma Kardiorenal Akut (tipe I) Sebuah studi telah mempelajari acute kidney injury (AKI) karena memburuknya fungsi jantung. Kebanyakan penelitian adalah retrospektif, sekunder, dan / atau post hoc analisys 6

(desain penelitian yang me-review dari berbagai data), atau uji klinis terapi obat. Istilah 'WRF' (worsening renal function) digunakan untuk menggambarkan akut dan / atau subakut terhadap perubahan fungsi ginjal pada pasien ADHF atau ACS. Insidensi kasus ini diperkirakan kisaran antara 19-45%, rentang ini disebabkan oleh variasi dari definisi WRF, dari pengamatan waktu-risiko dan populasi yang diteliti. Kebanyakan penelitian telah menemukan bahwa WRF / AKI di ADHF / ACS telah terjadi di awal atau memang sudah ada sebelum pasien datang ke rumah sakit. Pada ADHF dan ACS, proses terjadinya WRF / AKI telah dikaitkan dengan semua penyebab dan mortalitas kardiovaskular, lama rawat inap, peningkatan relaps, mempercepat progresivitas terjadinya CKD derajat 4-5 dan biaya kesehatan yang tinggi. Dua penelitian juga telah menunjukkan hasil buruk yang terus berlanjut terlepas dari apakah WRF / AKI adalah sementara atau menetap dan perubahan akut bahkan kecil SCr (0,3 mg/dL), bisa meningkatkan risiko kematian, bendungan pada pembuluh vena mungkin merupakan faktor penting pendorong pada pasien dengan ADHF. Pada pasien yang dirawat di ICU dengan ADHF, WRF dikaitkan dengan tekanan vena sentral yang besar. Temuan ini tampak jelas di seluruh spektrum tekanan darah sistemik, tekanan kapiler paru, indeks jantung, dan tingkat filtrasi glomerulus.7 2. Sindroma Kardiorenal Kronik (tipe II) Penyakit jantung kronis dan CKD sering terjadi bersamaan, dan sering susah untuk membedakan penyakit yang mana terjadi lebih dulu. Studi yang menggunakan data yang besar masih susah membedakan antara tipe 2 dan tipe 4 dari CRS. Namun demikian, antara 45-63,6% pasien dengan CHF disertai CKD. Hasil penelitian sebelumnya pada PJK menghasilkan perubahan adaptif pada perfusi ginjal dan aktivasi neurohormonal. Dalam sebuah penelitian terhadap 1102 pasien dewasa dengan penyakit jantung koroner, lebih dari 50% memiliki bukti disfungsi ginjal, dan 9% memiliki eGFR < 60 mL/min/1.73 m2. Disfungsi ginjal yang diamati di antara pasien PJK ada juga ditemukan cacat jantung secara anatomi. Sebuah tantangan lebih lanjut dalam menggambarkan epidemiologi tipe 2 CRS adalah bahwa pasien mungkin termasuk transisi antara tipe 1 dan tipe 2 CRS pada berbagai waktu tertentu. 7

7

3. Sindroma Renokardiak Akut (tipe III) Penjelasan tentang epidemiologi sindroma renokardiak akut adalah sedikit menantang karena beberapa alasan: (1) heterogenitas yang cukup besar dalam kondisi predisposisi, (2) metode yang berbeda untuk mendefinisikan AKI, (3) risiko dasar variabel untuk pengembangan disfungsi jantung akut (yaitu meningkatkan kerentanan pada individu dengan sub-klinis penyakit kardiovaskular), dan (4) kegagalan banyaknya studi klinis tentang AKI untuk menyimpulkan kejadian disfungsi kardiak akut sebagai akibat dari AKI. Kriteria RIFLE (Risk, Injury, Failure, Loss of kidney function, and End-stage kidney Disease), harus digunakan untuk menentukan AKI pada suatu penelitian epidemiologi. Contoh tipe 3 CRS bisa menjadi ACS, aritmia, atau AHF setelah timbulnya AKI atau setelah glomerulonefritis akut atau akut kortikal nekrosis. Toxaemia, cairan dan retensi, mediator humoral, dan gangguan elektrolit, semuanya dapat menyebabkan disfungsi akut jantung. Kasus lain, bedah jantung yang terkait AKI (CSA-AKI), dimana AKI berkontribusi untuk kelebihan (overload) cairan dan untuk perkembangan disfungsi jantung laten. Insiden CSA-AKI telah dilaporkan antara 0,3-29,7%, berbagai macam kejadian yang dikaitkan dengan definisi yang berbeda. Namun, tantangan dalam memahami epidemiologi tipe 3 CRS adalah insidensi dan terkait faktor risiko gagal untuk mempertimbangkan inisiasi CSA-AKI.7 4. Sindroma Renokardiak Kronik (Tipe IV) Beberapa studi observasional telah mengevaluasi angka kejadian kardiovaskular dan hasil pada populasi CKD yang dipilih. Penyakit jantung pada pasien CKD adalah umum dan jantung-spesifik angka kematian 10–20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan usia dan populasi non-CKD. Beberapa studi observasional telah menemukan peningkatan dalam prevalensi CVD dan gagal jantung (HF), bersama dengan risiko tinggi kejadian jantung berikutnya terkait dengan tingkat penurunan fungsi ginjal. Jadi CKD kemungkinan mempercepat risiko dan pengembangan CVD. 7 5. Sindroma Kardiorenal Sekunder (tipe V)

8

Ada data terbatas pada epidemiologi CRS sekunder (tipe 5) karena jumlah besar potensi berkontribusi kondisi sistemik akut dan kronis. Dengan demikian, perkiraan kejadian, identifikasi risiko, dan hasil terkait untuk tipe 5 CRS dapat berubah terhadap waktu. Beberapa penyakit sistemik kronis (misalnya diabetes mellitus, hipertensi, amiloidosis) memungkinkan dapat memenuhi definisi untuk CRS tipe 5. Sebuah kondisi prototipikal yang dapat menyebabkan jenis CRS tipe 5 adalah sepsis. Sepsis sering terjadi dan insidensinya meningkat, dengan mortalitas diperkirakan antara 20-60%, Sekitar 11-64% pada pasien sepsis mengakibatkan terjadinya AKI yang dikaitkan dengan mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi. Kelainan pada fungsi jantung juga umum terjadi akibat sepsis. Data observasional telah menemukan 30-80% dari pasien sepsis telah meningkatkan troponin spesifik jantung, yang sering berhubungan dengan berkurangnya fungsi ventrikel kiri, AKI dan cedera/disfungsi miokard yang pada sepsis berat/syok septik sangat sering terjadi, namun masih kurangnya studi integratif dan epidemiologi

yang

dapat

menjelaskan patofisiologinya, insidensi, identifikasi risiko, dan hasil terkait. 7 2.4 Patofisologi Pada kondisi fisiologis GFR dipertahankan tetap konstan dalam rentang tekanan darah yang tinggi oleh mekanisme autoregulasi yang terutama berada dalam pembuluh darah afferent dan efferent glumerulus. Bila terjadi penurunan cardiac output, tekanan darah dapat turun dibawah rentang yang dapat dikompensasi oleh mekanisme autoregulasi tersebut. Kondisi ini akan diikuti oleh hipoperfusi, hipofiltrasi dan kemudian iskemia ginjal. Menurunnya perfusi ginjal akan mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dengan dilepaskannya renin yang akan meningkatkan perubahan angiotensin I oleh angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II yang kemudian akan menyebabkan vasokonstriksi sistemik dan retensi natrium di ginjal, sehingga terjadi peningkatan volume sirkulasi efektif.12,13 Pada gagal jantung, respons fisiologik tersebut tidak hanya mengaktivasi sistem RAA, tetapi juga meyebabkan efek spiral negatif berupa aktivasi sistem saraf simpatik, disfungsi endotel, inflamasi, dan gangguan keseimbangan reactive oxygen/nitric oxide.

9

Berbagai sistem yang teraktivasi tersebut akan berinteraksi membentuk lingkaran setan yang akan mempercepat penurunan fungsi ginjal dan fungsi jantung lebih lanjut. 12,13 Mekanisme disfungsi ginjal pada penderita gagal jantung sangat kompleks dan sangat mungkin beberapa faktor bekerja pada penderita yang sama. Mengenal faktor-faktor yang terlibat pada masing-masing penderita dan mengeliminasinya bila mungkin merupakan komponen yang penting dalam tatalaksana sindrom kardiorenal. 12 A) Sindom Kardiorenal Akut (Tipe I) Sindrom kardiorenal tipe I ditandai oleh perburukan akut fungsi jantung yang menyebabkan jejas ginjal akut (acute kidney injury=AKI). Sindrom kardiorenal tipe I sering terjadi. Sebagian besar penderita gagal jantung yang dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung akut de novo atau dekompensasi akut gagal jantung kronik seringkali mempunyai kondisi pre-morbid disfungsi ginjal yang menjadi predisposisi terjadinya AKI. 12 Kepentingan klinik dari masing-masing mekanisme tampaknya berbeda untuk masingmasing penderita (misalnya pada penderita syok kardiogenik dan edema paru akut), dan berbeda pula untuk masing-masing keadaan (misalnya pada gagal jantung akut akibat regurgitasi mitral akut dan dekompensasi akut akibat ketidakpatuhan berobat). 8,12 AKI yang terjadi pada gagal jantung akut tampak lebih berat pada penderita dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang terganggu, dan penurunan fungsi ginjal tersebut secara konsisten menjadi faktor risiko independen mortalitas penderita gagal jantung akut. Pengaruh independen tersebut menunjukkan bahwa penurunan akut fungsi ginjal pada gagal jantung akut bukan semata-mata karena dari beratnya penyakit tetapi juga berhubungan dengan percepatan jejas kardiovaskular melalui aktivasi jaras-jaras neurohormonal, imunologis, dan inflamasi. 12 Pada sindrom kardiorenal tipe I terjadinya AKI berhubungan dengan penurunan perfusi ginjal. Disamping itu terjadi pula penurunan respons terhadap diuretik akibat fenomena fisiologik yang disebut diuretic braking (semakin menghilangnya efek diuretik yang terjadi sekunder akibat retensi natrium pasca pemberian diuretik). 8,12

10

Diagnosis dini AKI pada sindrom kardiorenal tipe I maupun tipe III sangatlah penting. Pada kedua kondisi tersebut penanda klasik seperti peningkatan kadar kreatinin sudah menunjukkan kondisi yang terlambat, dan hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk mencegah dan melindungi ginjal dari kerusakan lebih lanjut. Penemuan berbagai biomarker AKI untuk diagnosis dini sindrom kardiorenal masih terus dikembangkan. 8,12 B) Sindrom Kardiorenal Kronik (Tipe II) Sindrom kardiorenal tipe II ditandai oleh abnormalitas kronik fungsi jantung (misalnya pada gagal jantung kronik) yang menyebabkan penyakit ginjal kronik progresif. Perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung kronik berhubungan dengan outcome yang buruk dan bertambahnya lama perawatan di rumah sakit.12 Mekanisme yang mendasari perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung kronik berbeda dibandingkan pada gagal jantung akut. Pada gagal jantung kronik telah terjadi penurunan perfusi ginjal dalam jangka panjang, dan seringkali disertai predisposisi penyakit mikrovaskular dan makrovaskular. Walaupun sebagian besar penderita dengan GFR yang rendah juga berada pada kelas fungsional NYHA yang rendah, tidak terdapat bukti konsisten yang menghubungkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan GFR. Estimasi GFR pada penderita gagal jantung kronik dengan fungsi ventrikel kiri yang baik dapat tidak berbeda dibanding penderita dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang terganggu.12 Patofisiologi disfungsi ginjal pada gagal jantung kronik belum sepenuhnya dipahami. Kondisi tersebut tidak dapat diterangkan semata-mata akibat hipoperfusi. Sebuah penelitian hemodinamik invasif pada gagal jantung kronik tidak menemukan hubungan antara berbagai variabel hemodinamik pada pemeriksaan kateter arteri pulmonal dengan kadar kreatinin serum. Satu-satunya variabel yang berhubungan adalah peningkatan tekanan atrium kanan, menunjukkan kemungkinan peran kongesti ginjal dalam perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung kronik.12 Pada sindrom kardiorenal kronik terdapat abnormalitas neurohormonal dengan produksi berlebih mediator-mediator vasokonstriktif (epinefrin, angiotensin, endotelin) dan perubahan sensitivitas dan/atau pelepasan faktor-faktor vasodilator endogen (peptida natriuretik, oksida nitrat). Farmakoterapi yang digunakan dalam pengelolaan gagal jantung dapat turut memperburuk fungsi ginjal. 8,12 11

Peran patogenik defisiensi absolut atau relatif eritropoietin terhadap terjadinya anemia pada penderita gagal jantung tahap lanjut mungkin bukan semata-mata disebabkan oleh gagal ginjal. Terdapat bukti bahwa aktivasi reseptor eritropoietin di jantung dapat mencegah terjadinya apoptosis, fibrosis, dan inflamasi.12 C) Sindrom Renokardiak Akut (Tipe III) Sindrom renokardiak akut ditandai oleh perburukan fungsi ginjal akut (AKI, iskemia, atau glomerulonefritis) yang menyebabkan disfungsi jantung akut (gagal jantung, aritmia, iskemia). Sindrom kardiorenal tipe III lebih jarang ditemukan dibanding tipe I, mungkin disebabkan belum diteliti secara lebih sistematik. 8,12 AKI dapat mempengaruhi jantung melalui beberapa cara. Kelebihan cairan berperan dalam terjadinya edema paru. Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia dan henti jantung. Uremia dapat mempengaruhi kontraktilitas miokard melalui akumulasi faktorfaktor depresan miokard dan perikarditis. Kondisi asidemia mempunyai efek inotropik negatif dan bersama imbalans elektrolit meningkatkan risiko aritmia. Iskemia ginjal sendiri dapat mempresipitasi aktivasi inflamasi dan apoptosis pada tingkat jantung. 12 Kondisi khusus yang berkaitan dengan sindrom renokardiak akut adalah stenosis arteri renalis bilateral. Penderita dengan kondisi ini rentan mengalami gagal jantung akut atau dekompensasi akut disebabkan oleh disfungsi diastolik yang berhubungan dengan kenaikan tekanan darah akibat aktivasi berlebih aksis RAA, disfungsi ginjal dengan retensi garam dan air, dan iskemia miokard akut disebabkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat vasokonstriksi perifer yang terus menerus. Blokade angiotensin yang dibutuhkan dalam pengelolaan hipertensi dan gagal jantung pada penderitapenderita tersebut akan menyebabkan penurunan GFR dan perburukan fungsi ginjal. 8,12 D) Sindrom Renokardiak Kronik (Tipe IV) Sindrom kardiorenal tipe 4 ditandai oleh kondisi CKD primer (penyakit glomerulus kronik) yang berperan dalam menurunnya fungsi jantung, hipertrofi ventrikel, disfungsi diastolik, dan/atau peningkatan risiko kejadian kardiovaskular (gambar 5). 8,12 Pada penderita CKD terdapat peningkatan kadar plasma biomarker spesifik seperti troponin, dimetilarginin asimetrik, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1, homosistein,

12

peptida natriuretik, protein reaktif C, protein serum amiloid A, dan ischemia-modified albumine. Hal ini menggambarkan hubungan antara inflamasi kronik, infeksi subklinik, percepatan aterosklerosis, interaksi jantung-ginjal, dan penyakit kardiovaskular dan ginjal. 8,12 Secara patofisiologik interaksi kardiorenal kronik dipengaruhi oleh denominator yang sama yaitu inflamasi, keseimbangan antara nitric oxide/reactive oxygen species, sistem saraf simpatik, dan sistem RAA, yang bersama-sama dengan interaksi hemodinamik antara jantung dan ginjal bertanggung-jawab terhadap progresifitas penyakit melalui mekanisme umpan-balik, sehingga urutan kejadian pada kondisi sindrom kardiorenal kronik (tipe II dan tipe IV) menjadi tidak penting. 8,12 Disamping terapi spesifik untuk gagal jantung kronik dan gagal ginjal kronik, tatalaksana sindrom kardiorenal tipe II dan tipe IV pada prinsipnya tidak berbeda, yaitu dengan seoptimal mungkin menghambat interaksi konektor-konektor kardiorenal tersebut. 8,12 E) Sindrom Kardiorenal Sekunder (Tipe V) Sindrom kardiorenal tipe V ditandai oleh kombinasi disfungsi jantung dan ginjal yang disebabkan penyakit sistemik kronik atau akut. 8,12 Informasi sistematik tentang sindrom kardiorenal tipe V masih terbatas. Pemahaman tentang bagaimana kombinasi gagal jantung dan gagal ginjal dapat memberi pengaruh yang berbeda dibanding kombinasi kegagalan pada organ lain juga masih terbatas. Walaupun demikian telah diketahui bahwa beberapa penyakit kronik dan akut seperti sepsis, diabetes, amiloidosis, lupus eritematosus sistemik, dan sarkoidosis dapat mempengaruhi organ jantung dan ginjal secara simultan, dan penyakit yang mengenai salah satu organ dapat berdampak pada organ lainnya, demikian pula sebaliknya. Beberapa kondisi seperti diabetes dan hipertensi dapat berperan pula pada sindrom kardiorenal tipe II dan tipe IV. 8,12 Pada kondisi akut seperti pada sepsis berat dapat terjadi jejas ginjal akut dan juga depresi miokard. Mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan-perubahan tersebut masih belum dipahami sepenuhya tetapi diduga berkaitan dengan pengaruh faktor nekrosis tumor (TNF) dan mediator-mediator lain pada kedua organ. Depresi fungsi miokard dan keadaan curah jantung yang inadekuat dapat menurunkan fungsi ginjal seperti yang terjadi pada sindrom kardiorenal tipe I, dan terjadinya AKI dapat mempengaruhi fungsi 13

jantung seperti yang terjadi pada sindrom kardiorenal tipe III. Iskemia ginjal yang terjadi kemudian dapat menginduksi jejas miokardial lebih lanjut membentuk lingkaran setan yang akan mencederai kedua organ (Gambar 1). 8,12

Gambar 1. Interaksi Jantung dan Ginjal.

14

Gambar 2. Patofisiologi dan Definisi dari Ke-5 Tipe Sindroma Kardiorenal dikutip dari Ronco dkk (2010) Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa pada CRS terdapat dua aspek penting. Pertama adalah urutan keterlibatan organ dan yang kedua adalah sinyal. Aspek penting lainnya adalah kerangka waktu di mana gangguannya kronis atau akut. Dalam semua kasus, ada saat-saat di mana pencegahan adalah mungkin dilakukan. Pada waktu yang berbeda, peran penting dimainkan oleh teknik pencitraan dan biomarker memungkinkan dokter untuk membuat diagnosis dini, menetapkan tingkat keparahan penyakit, dan berpotensi memprediksi hasil. Flowchart ini menjelaskan serangkaian kondisi yang menunjukkan bahwa pasien bisa bergerak dari satu jenis CRS ke CRS jenis yang lain (Gambar 2). 2.5 Diagnosis Kelompok konsensus IQDI membahas tentang peran biomarker dalam diagnosis dari CRS. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan biomarker ke dalam diagnosis berbagai tipe CRS, terutama yang berhubungan dengan AKI daripada penyakit jantung akut. Berikut biomarker jantung dan ginjal serta pemeriksaan yang menunjang CRS:7 1. Peptida Natriuretik dan Gagal Jantung B-type natriuretic peptide (BNP dan NT-proBNP) ditetapkan sebagai alat diagnostik dalam ADHF dan merupakan prediktor independen terhadap kejadian kardiovaskular dan mortalitas secara keseluruhan dalam penyakit kritis, ACS, dan HF stabil. Peptida natriuretik (NP) meningkat pada pasien dengan CRS (tipe I) di mana AKI terjadi sebagai konsekuensi dari ADHF. Selain itu, mereka telah menunjukkan utilitas prognostik pada pasien dengan berbagai tahap insufisiensi ginjal, menunjukkan aplikasi potensial dalam jenis CRS tipe II dan IV. Meskipun banyak studi sebelumnya mendukung kegunaan dari BNP dalam diagnosis dan manajemen pasien HF, hubungan antara BNP, fungsi ginjal, dan tingkat keparahan HF kurang jelas.7 2. Biomarker Cedera Ginjal a. Neutrophil gelatinase-associated lipocalin Neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) tampaknya menjadi salah satu penanda awal cedera ginjal iskemik atau nefrotoksik pada percobaan hewan dan juga telah terdeteksi dalam darah dan urin manusia pada AKI. Dalam penelitian terbaru,

15

pengukuran tunggal dari NGAL dari urin bisa mendeteksi AKI, dengan sensitivitas dan spesifisitas 90 dan 99. NGAL dapat digunakan sebagai penanda awal WRF selama pengobatan ADHF.7 b. Cystatin C Cystatin C tampaknya merupakan prediktor yang lebih baik pada fungsi glomerulus dari pada kreatinin serum pada pasien dengan CKD. Dalam AKI, ekskresi cystatin C telah ditunjukkan untuk memprediksi kebutuhan RRT lebih awal daripada kreatinin. c. Kidney injury molecule-1 Kidney injury molecule-1 (KIM-1) adalah protein yang terdeteksi dalam urin setelah gangguan iskemik atau nefrotoksik pada sel-sel tubulus proksimal. KIM-1 dari urin tampaknya sangat spesifik untuk AKI iskemik dan bukan untuk pra-ginjal azotemia, CKD, atau nefropati. 7 d. N-asetil-b-(D) glucosaminidase N-asetil-b-(D) glucosaminidase adalah enzim lisosomal ditemukan di sel-sel tubulus proksimal. N-asetil-b-(D) glucosaminidase telah terbukti berfungsi sebagai penanda cedera ginjal, mencerminkan khususnya kerusakan tubular. Hal ini tidak hanya ditemukan dalam konsentrasi kemih yang meningkat pada AKI dan CKD, tetapi juga pada pasien diabetes, pasien dengan hipertensi esensial, dan HF.7 e. Interleukin-18 Interleukin-18 (IL-18) merupakan sitokin pro-inflamasi yang terdeteksi dalam urin setelah kerusakan akut iskemik tubular proksimal, sensitivitas dan spesifisitas yang baik untuk AKI iskemik dengan AUC > 90% dengan peningkatan 48 jam sebelum kenaikan serum kreatinin. Dari biomarker yang disajikan di atas, NGAL (urin dan plasma) dan C Cystatin yang paling mungkin untuk diintegrasikan ke dalam praktek klinis dalam waktu dekat. Uji klinis akan diperlukan untuk melihat apakah identifikasi awal AKI dan penggunaan algoritma pengobatan khusus berdasarkan tanda tersebut akan memperbaiki prognosis. 7 f. Bioimpedance vector analysis Ada suatu kesepakatan bahwa Bioimpedance vector analysis (BIVA) dapat berkontribusi untuk menjelaskan definisi yang lebih baik dari status hidrasi pasien. Kombinasi NGAL dan BNP dapat digunakan untuk merencanakan strategi pemberian

16

cairan. Dengan cara ini, pasien dapat dijaga dengan ketat hidrasi yang adekuat dalam pencegahan perburukan fungsi ginjal dan jantung 7 2.6 Pemeriksaan Pencitraan (Imaging) Teknik pencitraan memiliki peran tambahan sehubungan dengan biomarker laboratorium pada CRS. Pencitraan mungkin meningkatkan, memperluas, dan memperbaiki kemampuan kita untuk menghitung kerusakan ginjal dan menilai fungsinya. Pada pasien yang dicurigai CRS, sebaiknya menghindari penggunaan media kontras iodinasi jika tidak benar-benar diperlukan. Kedepannya, diharapkan penelitian harus diarahkan studi eksperimental yang menerapkan teknik pencitraan molekular (seperti MRI/magnetic resonance imaging, MRS/magnetic resonance spectroscopy, PET/positron emission tomography, dll) untuk mencari penanda spesifik untuk diagnosis dan evaluasi tingkat keparahan berbagai jenis CRS. Juga di masa depan, teknik non-invasif pencitraan perlu diperbaiki untuk mengukur aliran darah ginjal. Data tersebut kemudian dapat dikorelasikan dengan biomarker jantung dan ginjal dan yang paling penting untuk merencanakan terapi berkelanjutan yang dirancang dalam pengoptimalan aliran darah ginjal dan akhirnya menjaga fungsi ginjal. Adapun tipe 1 CRS, kongesti vena dan CVP (central vein pressure) yang tinggi tampaknya dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal dan independen terkait dengan semua penyebab kematian dalam spektrum yang luas dari pasien dengan penyakit kardiovaskular. 2.7 Penatalaksanaan Penderita dengan gangguan fungsi ginjal tidak secara adekuat terwakili dalam penelitianpenelitian klinik acak berskala besar pada gagal jantung, sehingga sebagian besar rekomendasi terapi lebih bersifat empirik.12 Pengelolaan penderita gagal jantung dengan gangguan fungsi ginjal dapat menjadi sulit disebabkan fungsi kedua organ tersebut sangat bergantung pada volume sirkulasi. Secara garis besar sasaran pengobatan adalah mencapai status volume yang normal tanpa memperberat disfungsi ginjal, dan menerapkan seoptimal mungkin terapi yang secara evidence-based bermanfaat pada gagal jantung maupun disfungsi ginjal. Sampai saat ini

17

tidak ada strategi yang secara konsisten efektif. Langkah-langkah berikut dapat digunakan dalam pendekatan pengelolaan penderit diantaranya:12 1. Identifikasi dan antisipasi gangguan dan perburukan fungsi ginjal 2. Optimalisasi terapi gagal jantung 3. Evaluasi struktur ginjal 4. Optimalisasi terapi diuretik 5. Terapi lain 1. Identifikasi dan Antisipasi Gangguan dan Perburukan Fungsi Ginjal Gangguan fungsi ginjal yang ditandai oleh penurunan GFR kurang dari 60 mL/menit merupakan prediktor yang kuat untuk terjadinya dampak yang buruk pada penderita gagal jantung, bahkan nilai prognosis tersebut relatif lebih kuat dibanding penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Penurunan GFR tidak selalu disertai peningkatan kadar kreatinin serum, bahkan sebagian besar penderita dengan gangguan fungsi ginjal mempunyai kadar kreatinin serum dalam rentang relatif normal. Penilaian fungsi ginjal yang didasarkan pada pemeriksaan kadar kreatinin serum menyebabkan sebagian besar gangguan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung tidak terdeteksi secara klinis. Mengingat perannya yang penting, penilaian GFR sebaiknya secara rutin dilakukan sebagai bagian dalam evaluasi dan tatalaksana penderita gagal jantung. 12 Secara akurat GFR dapat ditentukan dengan pemeriksaan klirens inulin atau marka radionuklida, tetapi mengingat pemeriksaan tersebut tidak praktis, nilai GFR dapat diperkirakan dengan menggunakan formula Cockfoft-Gault atau Modified Diet in Renal Disease (MDRD). Berlainan dengan penilaian disfungsi ginjal yang lebih akurat ditentukan dengan pemeriksaan GFR, terjadinya perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung yang dirawat di rumah sakit ditandai oleh peningkatan kadar kreatinin serum lebih dari 0,3 mg/dl atau lebih dari 25% kadar awal. Walaupun setiap peningkatan kadar kreatinin serum berhubungan dengan outcome yang lebih buruk, tetapi perbedaan tersebut baru bermakna pada peningkatan lebih dari 0,3 mg/dl. Faktor-faktor risiko yang secara konsisten mempengaruhi terjadinya perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung adalah usia lanjut, hipertensi, diabetes dan terdapat gangguan fungsi ginjal

18

sebelumnya. Faktor-faktor lain yang potensial adalah penggunaan dosis besar diuretik loop, dan penggunaan diuretik thiazide. Perburukan fungsi ginjal tidak berhubungan bermakna dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri, cardiac index, resistensi vaskular sistemik, dan kondisi low-output (hipotensi). Perburukan fungsi ginjal lebih sering ditemukan pada penderita-penderita dengan presentasi klinik retensi cairan (edema paru, peningkatan tekanan vena jugular). Dalam menghadapi

penderita

dengan

disfungsi

kardiorenal

adalah

penting

untuk

mengidentifikasi faktor-faktor yang potensial reversibel seperti hipotensi, dehidrasi, penggunaan inhibitor ACE atau penyekat reseptor angiotensin (angiotensin receptor blocker/ARB), penggunaan non-steroid anti inflamasi drugs (NSAID), dan stenosis arteri renalis. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah penilaian status volume, cardiac output dan kemungkinan terdapatnya penyakit ginjal intrinsik. Kondisi hipovolemia harus diatasi sebelum terjadi kerusakan ginjal lebih lanjut. Perfusi ginjal harus dijaga dengan mempertahankan tekanan darah sistolik > 80 mmHg dan tekanan arterial rata-rata > 50 mmHg. Fungsi ginjal akan membaik sejalan dengan perbaikan cardiac output dan perfusi ginjal. Bila disfungsi ginjal menetap walaupun telah dilakukan perbaikan status volume, cardiac output dan resistensi vaskular sistemik, perlu dipertimbangkan adanya penyakit ginjal intrinsik yang mendasari.

Terapi yang dipandu dengan pemantauan tekanan

pembuluh darah kapiler pulmonal tidak terbukti lebih unggul dibanding pemantauan secara

klinis

dalam

memperbaiki

outcome

penderita

gagal

jantung

tahap

lanjut.Penggunaan kateter arteri pulmonal mungkin diperlukan pada penderita sindrom kardiorenal yang berat untuk mengoptimalkan hemodinamik, memandu terapi gagal jantung lebih agresif, memfasilitasi keputusan untuk memulai terapi ginjal pengganti, atau dalam membuat keputusan untuk memulai terapi paliatif gagal jantung kronik. 12 Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi hipervolemik dibanding hipoperfusi ginjal akibat penurunan cardiac output atau penurunan volume intravaskuler akibat penggunaan diuretik berlebih. Bendungan vena yang ditandai oleh peningkatan tekanan vena sentral merupakan penyebab yang paling kuat untuk terjadinya perburukan fungsi ginjal. Sebaliknya cardiac index saat masuk maupun perbaikan cardiac index dengan

19

terapi medik intensif selama perawatan hanya sedikit berpengaruh terhadap fungsi ginjal. Sampai saat ini masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa terapi yang spesifik bertujuan menurunkan tekanan vena sentral akan memperbaiki disfungsi ginjal dan outcome penderita gagal jantung, walaupun demikian hal tersebut perlu dipertimbangkan dalam strategi tatalaksana gagal jantung. 12 2. Optimalisasi Terapi Gagal Jantung Inhibisi pada sistem renin-angiotensin-aldosteron telah diketahui merupakan bagian penting dalam tatalaksana gagal jantung. Berbagai penelitian acak terkontrol berskala besar menunjukkan bahwa obat-obat tersebut secara bermakna meningkatkan harapan hidup penderita. Akan tetapi evidence-based manfaatnya pada penderita gagal jantung dengan gangguan fungsi ginjal sangat terbatas. Penggunaan inhibitor ACE atau ARB biasanya berhubungan dengan penurunan ringan fungsi ginjal yang ditandai oleh peningkatan kadar kreatinin dan penurunan GFR. Penurunan fungsi ginjal tersebut semakin nyata pada

penderita

disfungsi

ginjal.

Kekhawatiran

akan semakin

memburuknya fungsi ginjal disertai risiko hipotensi dan hiperkalemia menyebabkan banyak klinisi menghindari atau menghentikan penggunaan inhibitor ACE atau ARB pada penderita disfungsi ginjal. Akan tetapi sebuah meta-analisis tentang penggunaan inhibitor ACE dalam hubungannya dengan peningkatan kadar kreatinin menunjukkan bahwa penderita yang mengalami peningkatan kadar kreatinin setelah pemberian inhibitor ACE adalah kelompok penderita yang justru mendapat manfaat paling besar dari penggunaan obat tersebut.12 Untuk mengurangi risiko perburukan fungsi ginjal, penggunaan inhibitor ACE sebaiknya dimulai dengan dosis rendah. Bila terjadi perburukan fungsi ginjal perlu dinilai kemungkinan penyebab lain seperti diuresis yang berlebihan, hipotensi persisten, atau penggunaan obat lain yang nefrotoksik termasuk NSAID. Bila kadar kreatinin meningkat tajam dan penderita menunjukkan intoleransi ekstrim terhadap inhibitor ACE, perlu dipertimbangkan kemungkinan stenosis arteri renalis bilateral. Pada kondisi ini penggunaan inhibitor ACE atau ARB harus dihentikan. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan inhibitor ACE pada penderita disfungsi ginjal dapat menghambat perburukan fungsi ginjal dan memperbaiki outcome kardiovaskular. Oleh karena itu obat ini

20

sebaiknya tetap diberikan walaupun terjadi peningkatan kadar kreatinin, asalkan fungsi ginjal tidak terus memburuk dan tidak terjadi hiperkalemia. Peningkatan kadar kreatinin sampai dengan 30% yang stabil dalam 2 bulan berhubungan dengan efek renoprotektif jangka panjang. Perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung yang terjadi selama perawatan di rumah sakit sebagian besar tidak disebabkan oleh inhibitor ACE. Pada penderita yang mengalami vasodilatasi berlebih, mungkin diperlukan penurunan dosis atau penghentian sementara penggunaannya, tetapi mengingat efek jangka panjang yang menguntungkan baik pada gagal jantung maupun disfungsi ginjal, penggunaan inhibitor ACE atau ARB sebaiknya tidak dihentikan atau segera diberikan kembali.12 Tidak ada patokan kadar kretinin yang mutlak untuk menghentikan penggunaan inhibitor ACE atau ARB, tetapi pada kadar kreatinin diatas 2,5 mg/dl penggunaannya harus dengan pemantauan ketat. Pada penderita dengan kadar kreatinin diatas 5 mg/dl mungkin dibutuhkan hemofiltrasi atau dialisis untuk mengontrol retensi cairan dan mengatasi uremia. Proporsi penderita disfungsi ginjal yang mendapat terapi modifikasi risiko kardiovaskular yang memadai jauh lebih rendah dibanding populasi umum. Kurang dari 50% penderita disfungsi ginjal mendapat kombinasi aspirin, penyekat beta, inhibitor ACE, dan statin setelah suatu serangan infark miokard. Sebuah penelitian kohort prospektif menunjukkan penggunaan inhibitor ACE dan penyekat beta pada penderita gagal jantung yang disertai disfungsi ginjal berhubungan dengan penurunan mortalitas yang sebanding dengan penderita tanpa gangguan fungsi ginjal. Penggunaan antagonis aldosteron pada penderita gagal jantung dengan disfungsi ginjal harus dilakukan dengan hati-hati. Bila indikasinya telah terpenuhi, yaitu pada penderita gagal jantung simptomatik berat dengan fraksi ejeksi yang rendah, penambahan antagonis aldosteron pada regimen inhibitor ACE/ARB dan penyekat beta berhubungan dengan peningkatan kesintasan penderita gagal jantung. Untuk menghindari kejadian hiperkalemia yang mengancam jiwa, obat ini sebaiknya tidak diberikan bila kadar kreatinin > 2,5 mg/dl atau kadar kalium > 5,0 mmol/l. Walaupun sampai saat ini tidak ada panduan dengan evidence-based yang kuat untuk terapi gagal jantung pada penderita disfungsi ginjal, tampaknya penderita dalam populasi tersebut akan memperoleh manfaat yang sama bila dikelola dengan panduan tatalaksana gagal jantung untuk populasi umum, walaupun diperlukan pemantauan yang lebih ketat. 12 21

3. Evaluasi Struktur Ginjal Pemeriksaan ultrasonografi ginjal dapat digunakan untuk mengevaluasi ukuran ginjal, adanya obstruksi atau penyakit ginjal struktural. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk mengidentifikasi penyebab anatomik gangguan fungsi ginjal yang potensial reversibel. Pencitraan Doppler digunakan bila terdapat kecurigaan stenosis arteri renalis. Bila diperlukan pemeriksaan angiografi atau pencitraan resonansi magnetik yang menggunakan kontras, rasio risiko–manfaatnya harus dipertimbangkan dengan seksama mengingat kemungkinan perburukan fungsi ginjal.12 4. Optimalisasi Terapi Diuretik Diuretik memegang peran penting dalam tatalaksana gagal jantung yang disertai disfungsi ginjal. Manfaatnya dalam memperbaiki simptom telah disepakati secara luas, walaupun tidak pernah dievaluasi melalui penelitian-penelitian acak klinik berskala besar. Pada kondisi gagal jantung dan disfungsi ginjal kurva respons-dosis diuretik akan terpengaruh. Selain diperlukan penambahan dosis untuk menghasilkan respons diuresis yang memadai, juga akan terjadi penurunan respons maksimum yang dapat dicapai, menciptakan keadaan resistensi diuretik relatif yang dikenal sebagai “braking phenomenon”, yaitu kondisi toleransi jangka pendek terhadap pemberian diuretik. 12 Peningkatan dosis dan penurunan respons diuretik akan bertambah sejalan dengan progresifitas gagal jantung. Sesuai beratnya penyakit, dosis maksimum diuretik untuk masing-masing penderita berbeda, dan penambahan dosis diatas dosis maksimum tidak akan menambah respons diuresis lebih lanjut. Penggunaan diuretik memerlukan kecermatan. Dosis yang digunakan harus memadai untuk mengatasi kelebihan cairan dan memperbaiki simptom tanpa menyebabkan efek yang kurang menguntungkan. Penggunaan diuretik, terutama dosis besar diuretik loop diketahui berhubungan dengan perburukan fungsi ginjal, meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan mortalitas penderita gagal jantung. Hal ini diantaranya disebabkan efek diuretik dalam menstimulasi sistem RAA. Stimulasi sistem RAA tersebut merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya resistensi diuretik. Resistensi diuretik merupakan salah satu ciri sindrom kardiorenal, dan menjadi indikator prognosis yang buruk penderita gagal jantung kronik. Kombinasi antara perburukan fungsi ginjal, volume overload, dan resistensi diuretik,

22

menyebabkan tatalaksana sindrom kardiorenal menjadi sulit, dan sampai saat ini terapi yang efektif sangat terbatas. Definisi resistensi diuretik telah disebutkan sebelumnya. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi diuretik diantaranya adalah dosis yang tidak adekuat, asupan garam berlebih, gangguan absorbsi intestinal, menurunnya ekskresi diuretik dalam urine, peningkatan reabsorbsi natrium pada nefron yang tidak sensitif terhadap diuretik, dan penggunaan NSAID. Kurva respons-dosis diuretik tidak linier, sehingga natriuresis tidak akan terjadi sampai ambang ekskresi obat tercapai. Dengan demikian bila respons diuresis tidak terjadi dengan pemberian furosemide 20 mg, menaikkan dosisnya menjadi 40 mg akan lebih efektif dibanding meningkatkan frekuensinya. 12 Diuretik thiazide akan menghambat reabsorbsi natrium di tubulus distal, sehingga bila dikombinasi dengan diuretik loop diharapkan akan memberi respons diuresis lebih baik. Kombinasi ini perlu pemantauan ketat karena dapat menyebabkan hiponatremia dan hipokalemia berat. Diuretik thiazide tidak efektif bila klirens kreatinin < 30 ml/menit. Pada penderita gagal jantung yang berat sering terjadi gangguan perfusi intestinal, penurunan motilitas intestinal, dan edema mukosa yang akan menyebabkan absorbsi obat terganggu. Absorbsi furosemid oral pada keadaan edema hanya sekitar 50%. Untuk menghasilkan respons diuresis yang adekuat mungkin diperlukan penambahan dosis atau menggantinya dengan obat yang diabsorbsi lebih baik yaitu bumetanide atau torsemide. Untuk memperbaiki respons diuresis dapat pula diberikan diuretik intravena dalam jangka pendek. Respons inadekuat dengan pemberian diuretik oral seringkali reversibel setelah kelebihan cairan diatasi. 12 Pemberian diuretik loop dengan infus intravena kontinyu dapat mempertahankan kecepatan penghantaran obat ke tubulus renal dan mencegah reabsorbsi natrium lebih konsisten. Pemberian diuretik loop dengan infus kontinyu pada penderita gagal jantung menghasilkan respons diuresis lebih adekuat dengan efek samping yang lebih rendah dibanding pemberian bolus intravena. Apabila berbagai upaya tersebut tidak berhasil mengatasi resistensi diuretik, perlu dipertimbangkan untuk melakukan ultrafiltrasi.12

23

5. Terapi lain Terdapat berbagai terapi lain untuk mengatasi sindrom kardiorenal, beberapa diantaranya telah ditinggalkan dan beberapa masih dalam penelitian. a. Dopamin dosis rendah12 Dopamin dosis rendah pernah digunakan secara luas di seluruh dunia untuk mencegah atau mengobati AKI dan dipakai untuk meningkatkan produksi urine pada penderita gagal jantung yang refrakter terhadap diuretik loop. Dopamin terutama akan menstimulasi reseptor-reseptor dopaminergik yang menyebabkan vasodilatasi renal dan peningkatan aliran darah ginjal. Dopamin juga menyebabkan natriuresis melalui efek langsungnya pada fungsi sel tubular ginjal. Terdapat 2 meta-analisis, tinjauan sistematik dan penelitian klinik acak yang mengevaluasi peran dopamin dosis rendah dalam mencegah perburukan fungsi ginjal. Semua penelitian tersebut sampai pada kesimpulan yang sama yaitu dopamin dosis rendah tidak mencegah terjadinya AKI, kebutuhan untuk dialisis, atau kematian. Efek protektif dopamin pada ginjal tidak terbukti, bahkan dapat menginduksi AKI pada penderita normo dan hipovolemik. Dopamin juga dapat menurunkan aliran darah mukosa gaster, menekan sekresi dan fungsi hormon-hormon pituitari anterior termasuk menginduksi hipotiroid, dan dapat menumpulkan ventilatory drive. Dengan berbagai bukti yang kuat tersebut, penggunaan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal pada berbagai keadaan termasuk pada gagal jantung tidak lagi dianjurkan. b. Kombinasi furosemide – manitol12 Manitol bila diberikan secara intravena akan segera difiltrasi oleh glomerulus kedalam cairan tubulus menyebabkan efek diuresis osmotik. Manitol dapat meningkatkan aliran darah intrarenal melalui efeknya terhadap produksi prostaglandin dan bertindak sebagai penangkap radikal bebas selama reperfusi ginjal. Sebuah penelitian terhadap 100 penderita AKI pasca operasi jantung menunjukkan pemberian larutan mengandung 500 cc manitol 20% dan 1000 mg furosemide yang diberikan dalam waktu 30 – 60 menit, dengan disertai pemberian dopamin dosis rendah dapat mendorong terjadinya diuresis pada AKI fase oligurik atau anurik pasca operasi. Bila diberikan dini yaitu dalam 6 jam

24

setelah onset AKI, kombinasi ini dapat memperbaiki fungsi ginjal dan menurunkan kebutuhan dialisis. Beberapa penelitian berskala kecil yang mengevaluasi pemberian manitol untuk mencegah atau mengatasi AKI menunjukkan hasil yang bertentangan. Dapat terjadi efek samping berupa gangguan elektrolit, hipovolemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sampai saat ini tidak ada bukti kuat tentang manfaat manitol dalam tatalaksana AKI sehingga penggunaannya harus dibatasi. c. Kombinasi furosemide – albumin12 Penderita dengan kadar albumin yang rendah dapat resisten terhadap pemberian diuretik. Pemberian kombinasi albumin dan furosemide pada kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi diuretik yang mencapai nefron proksimal dan memperbaiki diuresis. Penelitian pada penderita sindrom nefrotik maupun pada sirosis hepatis menunjukkan pemberian kombinasi albumin dan furosemid tidak memperbaiki respons diuresis, sehingga penggunaannya untuk tujuan memperbaiki resistensi diuretik pada kondisi hipoalbuminemik tidak dianjurkan. d. Kombinasi furosemide – natrium hipertonik12 Pemberian infus larutan natrium hipertonik (hypertonic saline solution=HSS) akan menyebabkan kenaikan konsentrasi NaCl ekstraseluler dengan cepat sehingga terjadi kenaikan tekanan osmotik, ekspansi volume plasma, mobilisasi cairan ekstravaskular ke intravaskular, dan bertambahnya aliran darah ginjal. Pemberian secara simultan furosemide dosis tinggi akan mengoptimalkan efek diuresis dan mengatasi resistensi diuretik. Penelitian acak tersamar ganda pada 94 penderita gagal jantung tahap lanjut mendapatkan bahwa pemberian dua kali per hari infus furosemide 500–1000 mg yang dilarutkan dalam 150 cc NaCl hipertonik (1,4% – 4,6%) dan diberikan dalam 30 menit selama 4 – 6 hari, disertai diet normosodium (2,8 gr natrium/hari), secara signifikan berhubungan dengan pencapaian berat kering yang lebih cepat, penurunan konsentrasi plasma B-type natriuretic peptide (BNP) lebih cepat, perawatan di rumah sakit yang lebih singkat, dan menurunkan insiden perawatan kembali dalam 30 hari. Pada followup selama hampir 3 tahun, insiden perawatan kembali penderita yang mendapat HSS sebesar 47% (25 dari 53 penderita), sedangkan penderita yang mendapat perawatan biasa sebesar 80% (43 dari 54 penderita). Mortalitas penderita yang mendapat HSS juga

25

lebih rendah. Efek langsung intratubuler pemberian natrium hipertonik akan melampaui pengaruh retensi natrium pasca diuretik sehingga akan mengurangi “braking phenomenon”. Disamping itu peningkatan volume intravaskular dan kadar natrium yang lebih tinggi pada tubulus distal akan menghambat sistem RAA. Walaupun tampaknya memberi harapan, pemberian natrium hipertonik atau asupan garam yang lebih bebas pada penderita gagal jantung masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Terapi ini dapat dipertimbangkan pada penderita sindrom kardiorenal yang tidak berhasil diatasi dengan terapi lain. e. Nesiritide12 Nesiritide adalah rekombinan peptida natriuretik tipe B manusia. Mekanisme kerjanya terutama sebagai vasodilator sistemik dan pulmonal yang kuat. Obat ini dengan cepat dan konsisten menurunkan tekanan pengisian jantung dan mengurangi tekanan kapiler pulmonal. Disamping itu obat ini mempunyai efek natriuresis dan diuresis, serta menghambat norepinefrin, endotelin-1, dan aldosteron. Sebuah meta-analisis dari 5 penelitian acak terkontrol berskala besar menunjukkan penggunaan nesiritide pada dekompensasi akut gagal jantung secara signifikan meningkatkan risiko perburukan fungsi ginjal. Terjadinya perburukan fungsi ginjal mungkin berkaitan dengan dosis yang digunakan. Nesiritide mempunyai efek jangka pendek yang menguntungkan, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan efek jangka panjang dan dosis yang memadai pada dekompensasi akut gagal jantung. f. Ultrafiltrasi12 Ultrafiltrasi (UF) telah menjadi salah satu modalitas terapi pada gagal jantung tahap lanjut untuk mengendalikan kelebihan cairan yang tidak dapat diatasai dengan terapi medik. UF merupakan metode yang efektif, cepat dan relatif aman dalam memperbaiki simptom kongesti. Disamping itu UF tidak mempengaruhi aktivitas neurohormonal seperti yang terjadi pada pemberian diuretik.

Sebuah penelitian prospektif yang

membandingkan UF dengan pemberian diuretik pada 200 penderita dekompensasi akut gagal jantung menunjukkan bahwa UF menghasilkan penurunan berat badan dan mengurangi kelebihan cairan lebih besar. UF juga berhubungan dengan 50% reduksi insiden perawatan kembali di rumah sakit. Tidak ada perbedaan dalam perbaikan

26

simptom, kualitas hidup, kelas fungsional NYHA, kadar kreatinin, kadar BNP, atau mortalitas pada kedua kelompok. Penggunakan UF lebih dini (sebelum pemberian diuretik) untuk mengatasi resistensi diuretik pada penderita gagal jantung berhubungan dengan lama perawatan dan angka perawatan kembali di rumah sakit yang lebih rendah. Dampak jangka panjang, dampak ekonomi, ketersediaan sarana, dan kompleksitas pemakaiannya telah membatasi penggunaan UF sebagai terapi lini pertama pada penderita gagal jantung tahap lanjut yang disertai resistensi diuretik. g. Antagonis vasopressin12 Arginine vasopresin atau hormon antidiuretik, diproduksi oleh hipotalamus dan disekresikan melalui lobus posterior kelenjar pituitari sebagai respons terhadap kondisi hiperosmolar, deplesi volume intravaskular, angiotensin II, dan perangsangan simpatetik. Vasopresin mempunyai sedikitnya 3 subtipe reseptor yaitu V1a, V2, dan V3. Reseptor V1a ditemukan di sel-sel otot polos vaskular dan di ginjal, memediasi terjadinya vasokonstriksi dan produksi prostaglandin pada konsentrasi vasopresin yang tinggi. Reseptor V2 ditemukan di tubulus kolekting ginjal, memediasi terjadinya resorpsi air di ginjal melalui insersi kanal-kanal aquaporin-2 ke membran luminal, dan juga melepaskan faktor von Willebrand dan faktor VIII dari endotel vaskular. Reseptor V3 ditemukan di kelenjar pituitari, bertanggung jawab dalam menstimulasi sekresi hormon adrenokortikotropin. Pada gagal jantung terjadi penurunan volume darah arterial efektif akibat cardiac output yang rendah. Hal ini akan menyebabkan baroreseptor sinus karotis mengirimkan sinyal ke hipotalamus sehingga terjadi peningkatan kadar vasopressin. Penghambatan reseptor vasopresin V1a akan meningkatkan cardiac output, menurunkan resistensi vaskular perifer, menurunkan tekanan darah arterial rata-rata, dan menghambat hipertrofi kardiomiosit. Sedangkan penghambatan reseptor V2 akan menyebabkan aquaresis sehingga terjadi peningkatan konsentrasi natrium dan menurunkan preload jantung. Terdapat 2 antagonis vasopresin yang sedang dalam penelitian intensif yaitu antagonis reseptor V1a/V2 conivaptan, dan antagonis reseptor V2 spesifik tolvaptan. Pada penelitian acak tersamar ganda, pemberian conivaptan intravena pada penderita gagal jantung tahap lanjut secara bermakna menurunkan preload, meningkatkan produksi urine, dan meningkatkan kadar natrium. Penelitian pada 254 penderita gagal jantung kelas fungsional I – III NYHA 27

menunjukkan kombinasi tolvaptan oral dengan furosemide dapat meningkatkan volume urine, menurunkan osmolalitas urine, meningkatkan natrium serum, dan memperbaiki edema. Manfaat antagonis vasopresin dalam pengobatan gagal jantung tahap lanjut dan sindrom kardiorenal masih dalam penelitian. h. Antagonis adenosine12 Kadar adenosin plasma meningkat sejalan dengan progresifitas gagal jantung. Antagonis reseptor adenosin A1 berpotensi memperbaiki fungsi ginjal dan mengatasi resistensi diuretik pada penderita gagal jantung melalui mekanisme penghambatan pada jaras umpan balik tubuloglomerular. Penelitian pada penderita gagal jantung menunjukkan pemberian antagonis reseptor adenosin A1 dapat mempertahankan fungsi ginjal, dan secara simultan meningkatkan respons terhadap diuretik loop. Manfaat antagonis reseptor adenosin A1 dalam mencegah perburukan fungsi ginjal dan mengatasi resistensi diuretik masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

28

BAB III KESIMPULAN

Berbagai derajat gangguan fungsi ginjal diketahui berhubungan dengan berbagai gangguan fungsi jantung, demikian pula sebaliknya. Interaksi tersebut, atau dikenal sebagai disfungsi kardiorenal, akan saling memperburuk fungsi masing-masing organ dan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Sindroma kardiorenal (CRS) pertama kali secara resmi didefinisikan pada konferensi konsensus acute dialysis quality iniatitve (ADQI) pada tahun 2009, dibuat dalam usaha untuk mengelompokkan berbagai hubungan antara kondisi akut dan kronis pada penyakit jantung dan ginjal. Istilah CRS digunakan untuk mengidentifikasi penyakit jantung dan ginjal baik itu akut maupun kronis, disfungsi salah satu organ dapat menyebabkan disfungsi akut atau kronik organ lainnya. Prevalensi sindrom kardiorenal belum dapat ditentukan mengingat keberagaman definisi yang digunakan. Berdasarkan berbagai penelitian dapat dikatakan bahwa prevalensinya cukup besar. Patofisiologi sindrom kardiorenal belum sepenuhnya dipahami, faktor-faktor hemodinamik, neurohormonal, inflamasi, stres oksidatif, disfungsi endotel, dan kemungkinan faktor-faktor lain, diduga turut berperan dalam terjadinya perburukan fungsi ginjal dan jantung. Kelompok konsensus IQDI membahas tentang peran biomarker dalam diagnosis dari CRS. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan biomarker ke dalam diagnosis berbagai tipe CRS, terutama yang berhubungan dengan AKI daripada penyakit jantung akut. Diagnosis CRS dibuat oleh konsesus IQDI yang membahas peran biomarker dalam penegakan berbagai tipe CRS, terutama lebih banyak yang berhubungan dengan ginjal daripada jantung. Berbagai biomarker tersebut adalah B-type natriuretic peptide (BNP dan NT-proBNP), Neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL), Cystatin C, Kidney injury molecule-1 (KIM-1), Nasetil-b-(D) glucosaminidase, dan Interleukin-18. Bioimpedance vector analysis (BIVA) dapat berkontribusi untuk menjelaskan definisi yang lebih baik dari status hidrasi pasien. Teknik pencitraan memiliki peran tambahan sehubungan dengan biomarker laboratorium

29

pada CRS, yang akan meningkatkan, memperluas, dan memperbaiki kemampuan kita untuk menghitung kerusakan ginjal dan menilai fungsinya. Sampai saat ini belum ada panduan tatalaksana gagal jantung pada penderita dengan disfungsi ginjal yang berdasarkan bukti-bukti kuat (evidence-based). Langkah-langkah berikut dapat digunakan dalam pendekatan pengelolaan penderita yaitu identifikasi dan antisipasi gangguan dan perburukan fungsi ginjal, optimalisasi terapi gagal jantung, evaluasi struktur ginjal, optimalisasi terapi diuretik, dan terapi lain. Walaupun demikian penderita tampaknya akan memperoleh manfaat yang sama bila dikelola dengan panduan tatalaksana gagal jantung untuk populasi umum, asalkan dengan pemantauan lebih ketat. Tatalaksana sindrom kardiorenal menjadi sulit disebabkan terbatasnya pengetahuan tentang mekanisme yang mendasarinya, dan terbatasnya pilihan terapi yang tersedia. Sampai saat ini tidak ada terapi efektif yang telah disepakati.

30

DAFTAR PUSTAKA 1. C. Ronco, P.McCullough, S. D. Anker et al., “Cardio-renal syndromes: report fromthe consensus conference of the acute dialysis qualityinitiative,” European Heart Journal, vol. 31, no. 6, pp. 703–711, 2010. 2. K. Damman and J. M. Testani, “The kidney in heart failure: An update,” European Heart Journal, vol. 36, no. 23, pp. 1437–1444, 2015. 3. J. W. Pickering, M. P. Than, L. Cullen et al., “Rapid Rule-out of Acute Myocardial Infarction With a Single High-Sensitivity Cardiac Troponin T Measurement Below the Limit of Detection: A Collaborative Meta-analysis,” Annals of Internal Medicine, vol. 166, no. 10, pp. 715–724, 2017. 4. S. Takashio, T. Nagai, Y. Sugano et al., “Persistent increase in cardiac troponin T at hospital discharge predicts repeat hospitalization in patients with acute decompensated heart failure,” PLoS ONE, vol. 12, no. 4, Article IDe0173336, 2017. 5. S. L. Seliger, S. N. Hong, R.H. Christenson et al., “High-Sensitive Cardiac Troponin T as an Early Biochemical Signature for Clinical and Subclinical Heart Failure: MESA (MultiEthnic Study of Atherosclerosis),” Circulation, vol. 135, no. 16, pp. 1494–1505, 2017. 6. Roesli RM, Martakusumah AH. Sindroma Kardio Renal. FK UNPAD/ RS dr Hasan Sadikin Bandung : Subbag Ginjal Hipertensi, Bag Ilmu Penyakit Dalam. 7. Ronco C, et al. Cardio-renal syndromes: report from the consensus conference of the Acute Dialysis Quality Initiative. European Heart Journal. 2010;31, 703-7011. 8. Ronco C, Haapio M, House AA, Anavekar N, Bellomo R. Cardiorenal syndrome. J Am Coll Cardiol 2008;52:1527-39. 9. Liang KV, Williams AW, Greene EL, Redfield MM. Acute decompensated heart failure and the cardiorenal syndrome. Crit Care Med 2008;36(Suppl 1):S75-88. 10. Schiffrin EL, Lipman ML, Mann JFE. Chronic kidney disease: effects on the cardiovascular system. Circulation 2007;116:85-97. 11. Go AS, Chertow GM, Fan D, McCullock CE, Hsu CY. Chronic kidney disease and the risks of death, cardiovascular events, and hospitalization. N Engl J Med 2004;351:1296305.

31

12. Hidayat S. Interaksi Kardiorenal: Implikasi Terapi. Dep Cardiology & Vascular Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2010.

Diakses tanggal 27 April 2012 di

http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=354. 13. Bongartz LG, Cramer MJ, Doevendans PA, Joles JA, Braam B. The severe cardiorenal syndrome: Guyton revisited. Eur Heart J 2005;26:1115-40

32

More Documents from "Yoga Prabawa"