27. Perubahan Kulit Pada Gigitan Dan Sengata1.docx

  • Uploaded by: Sartika Ayu Ningsih
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 27. Perubahan Kulit Pada Gigitan Dan Sengata1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,786
  • Pages: 27
PERUBAHAN KULIT PADA GIGITAN DAN SENGATAN

SKABIES, MACAM-MACAM TUNGAU DAN PEDIKULOSIS Epidemiologi Skabies merupakan infestasi pada kulit manusia yang disebabkan penetrasi dari obligat parasit tungau manusia Sarcoptes scabiei varhominis ke dalam epidermis. Tungau skabies merupakan artropoda dari ordo Acarina yang pertama kali diidentifikasi pada tahun 1600, tetapi tidak dikenali sebagai penyebab erupsi kulit sampai tahun 1700. Diperkirakan lebih dari 300 juta orang di dunia terinfeksi oleh tungau skabies. Skabies mempengaruhi semua kelas sosioekonomi, dengan wanita dan anak-anak teinfeksi secara tidak proposional. Cenderung lebih banyak prevalensi pada daerah pedesaan,terutama pada daerah padat penduduk. Ditemukan bukti musiman, dengan lebih banyak kasus didiagnosis pada musim dingin daripada musim panas. Insidensi skabies meningkat dalam 2 dekade terakhir, dan ditemukan wabah besar dalam rumah jompo, penjara, dan bangsal rumah sakit. Transmisi dari tungau terjadi melaui kotak langsung, walaupun tungau skabies dapat hidup diluar kulit manusia selama 3 hari, dan oleh sebab itu beberapa infeksi dapat terkena fomite. Etiologi dan Patogenesis Tungau skabies memiliki 4 pasang kaki dan memiliki ukuran dengan diameter 0.3 mm. Oleh sebab itu, tidak mudah dilihat dengan mata telanjang. Tungau tidak dapat terbang atau lompat; dia hidup dalam siklus hidupnya selama 30 hari didalam epidermis. Tungau betina menggali terowongan ke dalam styratum korneum dalam 20 menit dan meletakkan 3 telur per hari. Telur akan pecah setelah 4 hari, dan larva akan bermigrasi ke permukaan kulit dan menjadi matang dan dewasa. Setelah 2 minggu, tungau jantan dan betina berkopulasi, dan setelah itu tungau betina akan menggali terowongan pada stratum korneum. Tungau jantan lebih kecil daripada tungau betina, terlepas dari kulit dan mati. Angka rata-rata dari tungau yang memiliki host kurang dari 20, kecuali pada “crusted scabies” (yang sebelumnya dikenal sebagai Norwegian scabies), yang mana sebuah host akan memiliki jutaan tungau. Individu dengan virus HIV, orang tua, dan orang-orang yang mengkonsumsi obat-obat imunosupresan memiliki resiko terjadinya crusted scabies ini, walaupun telah dilaporkan pada orang-orang pribumi Australia yang imunokompeten. Temuan Klinis Setelah paparan awal dari tungau skabies, gatal dan ruam dapat terjadi dalam 6-8 minggu. Paparan berikutnya dari tungau dapat menyebabkan gatal dan ruam dalam beberapa hari , kemungkinan disebabkan sensitisasi sebelumnya terhadap tungau skabies. Gatal terasa sangat berat dan memburuk pada malam hari. Lesi berupa kemerahan, berskuama, terkadang papul 1

berkrusta dan nodul dan tempat tersering adalah daerah interdigital, pinggir jari, bagian volar dari lengan dan lateral telapak tangan, siku, aksila, skrotum, penis, labia dan areola pada wanita. Eritema yang difus pada batang tubuh dapat terjadi; dan menunjukkan reaksi hipersensitif pada antigen tungau. Lesi patognomonik adalah terowongan yang kecil, seperti benang, linear dengan panjang 1 – 10 mm dan terowongan ini disebabkan pergerakan tungau pada stratum korneum. Terowongan paling jelas dilihat pada stratum korneum pada daerah interdigital, pergelangan tangan dan siku. Walaubagaimanapun, sangat sulit menemukannya pada kasus-kasus awal, ataupun setelah pasien memiliki lesi ekskoriasi. Identifikasi terowongan dapat dilakukan dengan menggosokkan sebuah marker black felt-tip pada area infeksi. Setelah tinta yang berlebih dihapus dengan alchol pad, terowongan akan muncul lebih gelap daripada kulit sekitarnya akibat akumulasi tinta pada terowongan. Pada anak <2 tahun, wajah dan kulit kepala dapat terinfestasi dimana pada dewasa kasus ini jarang terjadi. Eritema sampai nodul yang gatal pada aksila dan panggul pada anak-anak dan skrotum pada laki-laki, diperkirakan daerah hipersensitif terhadap tungau. Nodul ini dapat menetap sampai beberapa minggu setelah eradikasi yang berhasil dari infeksi tungau. Vesikel dan bula dapat timbul, terutama pada telapak tangan dan jari. Pada crusted scabies, plak hiperkeratotik dapat muncul difus pada daerah telapak tangan dan telapak kaki dengan penebalan dan distrofi dari kuku kaki dan kuku tangan. Pada kulit sekitarnya dapat terlihat xerosis yang difus. Gatal dapat bervariasi dan dapat tidak terjadi pada tipe ini. Lebih dari jutaan populasi tungau pada kulit dan ini sangta menular dan dapat menjadi sumber dari pejangkitan pada fasilitas-fasilitas kesehatan. Diagnosis defenitif tegak dari identifikasi mikroskopik dari tungau skabies, telur ataupun butirbutir feses (sybala). Ini dikerjakan dengan meneteskan setetes minyak mineral pada terowongan dan di kerok secara longitudinal dengan pisau skalpel nomor 15 sepanjang teronwongan, harus berhati-hari agar tidak berdarah. Kerokan kemudian diletakkan pada objek glass untuk kemudia diperiksa.Metode diagnostik lainnya adalah dengan dermoskopi yang dapat digunakan untuk memeriksa tungau secara in vivo. Metode polymerase chain reaction telah diutarakan dimana DNA dapat ditemukan pada sisik pada kulit. Biopsi kulit juga dapat digunakan sebagai diagnostik dimana tungau skabies dapat ditemukan secara transeksi pada stratum korneum.

2

Diagnosis Banding

Komplikasi Infeksi impetigo sekunder merupakan komplikasi umum dan memberikan respon baik pada antibiotik oral maupun topikal, tergantung daripada luasnya pioderma. Bagaimanapun, limfangitis dan septikemia dapat terjadi, khususnya pada crusted scabies. Glomerulonefritis post streptococcal dapat terjadi sebagai hasil dari pioderma yang diinduksi oleh skabies yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes. Prognosis Jika dibiarkan tidak diobati, kondisinya dapat bertahan selama beberapa tahun. Pada individu imunokompeten, jumlah tungau dapat meningkat sepanjang waktu. Pengobatan Terdapat banyak pengobatan pada skabies yang memiliki tingkat efektifitas yang berbeda-beda. Faktor-faktor yang menentukan pengobatan mana yang digunakan adalah usia dari pasien, harga obat, keparahan dari erupsi, dan jika pengobatan sebelumnya tidak berhasil. Pada dewasa, skabisida topikal diaplikasikan pada seluruh permukaan kulit kecuali wajah dan kulit kepala, dengan perhatian khusus pada daerah intertriginosa, daerah genitalia, daerah periungual, dan belakang telinga. Pada anak-anak dan pasien-pasien dengan crusted scabies, wajah dan kulit kepala juga diobati. Kepada pasien harus diinformasikan bahwa setelah selesai pengobatan dengan skabisidal, ruam dan gatal dapat menetap selama 4 minggu kemudian; jika tidak, mereka akan mengira bahwa pengobatan tidak berhasil, kemudian menggunakan pengobatan skabisidal secara berlebihan dan tidak sesuai. Steroid topikal, antihistamin, dan jika diperlukan steroid sistemik, dapat diberikan untuk meringankan gatal dan ruam begitu pasien menyelesaikan terapi. Obat oral namun sangat efektif yang diketahui saat ini adalah ivermectin. Obat ini ditemukan pada tahun 1970 pada fermentasi air kaldu dari actinomycetes Streptomyces avermitilis. Secara 3

struktural mirip dengan antibiotik makrolid, namun tanpa aktivitas antibakterial. Saat ini Administrasi Obat dan Makanan Amerika Serikat menyetujui terapi stadium intestinal dari onchocerciasis dan strongiloides, tetapi tidak disetujui untuk terapi skabies. Aktifitasnya terhadap tungau skabies disebabkan oleh afinitasnya yang tinggi terhadap ion gluminated-gated klorida ditemukan pada sistem saraf perifer pada invertebrata. Ivermectin menghalangi transmisi channel melewati sinaps saraf yang menggunakan asam γ-aminobutirat. Hasilnya adalah paralisis dan kematian parasit invertebrata. Pada mamalia, reseptor-reseptor ini terbatas pada sistem saraf pusat dan pada keadaan normal obat ini tidak melewati sawar otak. Kondisi yang mengganggu sawar otak menyebabkan obat masuk ke sistem saraf otak. Oleh sebab itu, obat tidak boleh digunakan pada anak-anak yang lebih muda dari 5 tahun atau dengan berat badan kurang dari 15 kg, atau selama masa kehamilan atau menyusui, walaupun telah ada laporan dari penggunaan ivermectin pada anak-anak yang lebih muda dan selama masa kehamilan tanpa efek yang merugikan. Ada beberapa laporan mengenai efektifitas dari ivermectin pada penanganan skabies. Dosis yang biasa digunakan 200 μg/kg; biasanya dosis diulangi dalam 10 sampai 14 hari, tetapi dosis optimal dari skabies belum ditemukan. Suatu studi klinis membandingkan ivermectin dan topikal permetrin 5% mengungkapkan dosis tunggal dari ivermectin rata-rata kesembuhan 70%, kemudian meningkat 95% dengan dosis kedua 2 minggu kemudian. Aplikasi tunggal dari permetrin menyembuhkan lebih dari 98% dari pasien.sediaan topikal dari 1% ivermectin terlihat efektif pada studi klinis awal, namun tidak tersedia secara komersial. Pada crusted scabies, kombinasi dari ivermectin dan topikal antiskabisidal sering digunakan tergantung pada beratnya infeksi, dan beberapa penanganan dapat digunakan untuk mengeliminasi infeksi. Efek samping dari ivermectin biasanya ringan dan sementara; bagaimanapun, telah dilaporkan efek samping yang jarang yaitu hipotensi, edema laring dan ensefalopati. Ditemukan satu laporan kasus meningkatnya angka kematian pada pasien di panti jompo yang diterapi dengan ivermectin. Studi berikutnya tidak mengkonfirmasi penemuan ini. Pencegahan Individu yang berkontak dekat dengan orang yang terinfeksi harus diterapi dengan skabisidal topikal. Pengobatan harus diarahkan untuk mencegah penyebaran skabies, karena individu tersebut dapat mempunyai tungau skabies selama masa inkubasi yang asimtomatik. Sebagai tambahan, untuk mencegah reinfeksi dengan fomite, seprei, sarung bantal, handuk dan baju-baju yang digunakan selama 5 hari harus dicuci dan dikeringkan dengan panas, atau di dry-clean. Karena tungau dapat hidup sampai 3 hari diluar kulit, karpet harus di vakum. Binatang peliharaan tidak perlu diterapi karena mereka tidak mengandung tungau skabies manusia. TUNGAU LAINNYA Walaupun tungau skabies merupakan tungau yang paling sering mengenai manusia, tungau lainnya telah dilaporkan untuk menyebabkan penyakit juga. Tungau berada pada kelas 4

Arachnida, ordo Acarina (juga termasuk kutu), dan bersama dengan tungau skabies yang memiliki 8 kaki, biasanya dengan cefalothorak yang bergabung. Kebanyakan dari tungau pada manusia terbagi menjadi 3 subordo: trombidiformis, mesostigmata dan sarcoptiformis. Mereka diklasifikasikan menurut host alami nya atau habitat. Tungau Folikel Demodex sp. merupakan penghuni yang umum pada unit pilosebaseus manusia. Tungau ini ditemukan pada folikel dari wajah, kulit kepala dan dada bagian atas. D.folliculorum hominis tinggal di dalam folikel rambut, dan D.brevis pada infundibulum glandula sebasea. Prevalensi infestasi Demodex sp. meningkat sesuai dengan umur. Infestasi biasanya tidak terperhatikan, namun ketika tungau dalam jumlah besar, mereka berperan dalam reaksi kulit supuratif ataupun granulomatosa menyerupai folikulitis dengan supurasi, rosasea ataupun dermatitis perioral. Tungau Makanan Beberapa spesies dari tungau menginfestasi makanan yang tersimpan dan bahan organik lainnya. Tungau makanan yang paling umum adalah tungau pada biji-bijian (Acarus siro), tungau keju (Tyrolichus casei) dan tungau pada jamur (Tyrophagus putrescentiae). Semuanya sulit dilihat, biasanya panjang kurang dari 0,5 mm dan lebih atau kurang dan tembus pandang dengan bagian mulut dan appendiks lebih gelap. Kontak yang lama dengan makanan yang terinfestasi tungau dapat menghasilkan dermatitis yang ringan yang disebut baker’s itch atau grocer’s itch, atau dapat menyebabkan asma dan alergi debu. Mereka tidak menggigit manusia. Tungau Jerami Tungau jerami, pyemotes ventricosus dan P.tritici, dapat menyebabkan epidemik dari dermatitis selama masa panen dan setelah panen pada jerami dan biji-bijian tertentu. Gigitan menyebabkan ruam seperti dermatitis, meluassampai ke seluruh tubuh dan disertai dengan gatal, berkeringat, demam, sakit kepala, dan bahkan muntah pada kasus yang berat. Mereka menguntungkan karena mereka memakan larva dari cacing pada gandum, beras, kumbang pada lumbung padi, dan pestisida lainnya. Tungau Panen Terdapat beberapa spesies tungau yang ada pada genus Trombicula yang dapat mengganggu manusia secara langsung, terutama selama musim panas dan musim gugur. Larva merah dari Trombicula, dengan panjang kurang dari 0,5 mm,menghisap limfa dan darah dari manusia, yang biasa dikenal dengan chiggers. Eurotrombicula alfreddugesi dan E.splendidus dapat dilihat di Amerika Serikat. Spesis lainnya dari genus Neotrombicula telah diidentifikasi sebagai penyebab dermatitis pada manusia, dan Leptotrombidium sp. telah dilaporkan sebagai vektor dari Rickettsia tsutsugamushi, penyebab tifus scrub.

5

Tungau Debu Tungau debu sangat kecil, tembus pandang, secara umum panjangnya kurang dari 0,2 mm, dan sulit dilihat dengan mata telanjang. Mereka memakan kulit dan debris organik lainnya yang merupakan debu yang terdapat pada rumah dan tempat kerja. Tungau ini tidak mengganggu, namun tubuh mereka dan ekskreta mereka memiliki peran pada asma berat dan alergi pada manusia, dan hipersensitivitas tipe lambat terhadap tungau ini memiliki peran terhadap terjadinya dermatitis atopik. Dengan membersihkan rumah secara rutin, termasuk tempat tidur dan matras, dapat menurunkan angka infestasi tungau debu ini. Tungau Unggas Dermatitis akibat tungau unggas jarang dijumpai pada pekerja kantor, ibu rumah tangga, pekerja yang berkontak dengan unggas dan burung. Biasanya dapat ditelusuri untuk kontak dengan ayam atau burung dara ( atau kemudian sering bersarang pada jendela yang memiliki air-conditioner) tetapi juga disebabkan oleh banyak spesies burung lainnya (termasuk parkit). Dermanyssus gallinae dan D.avium ektoparasit unggas yang paling sering, dan hanya sementara menginfestasi manusia, Tungau burung menghisap darah dan telah dijelaskan sebagai “peram[pok malam” yang menggigit kemudian lari. Masifestasi yang paling umum adalah papul yang gatal, terkadang dengan ini hemoragik yang berlokasi pada permukaan yang terpapar, vesikel, papul urtikaria, dan dermatitis juga disebutkan. Tungau Binatang Tungau tikus tropis Ornithonyssus bacoti mencari makan pada manusia walaupun tikus ada, menyebabkan gigitang yang sakit, gatal yang terus menerus dan dermatitis. Mereka adalah vektor dari endemik/murin tifus. Mereka sulit dilihat, berwarna merah cerah sampai hitam dengan tanda putih, yang dapat dilihat pada dinding di ruang bawah tanag, dapur, kamar mandi dimana dapat ditemukan tikus. Tungau jaduh dari host nya setelah menghisap darah dan dapat bertahan hidup selama beberapa hari tanpa makan. Tungau tiokus rumah, Liponissoids sanguineus, biasanya ditemukan pada tikus, dapat berpindah dari tikus ke dinding. Dapat menjadi vektor untuk rickettsialpox. Cheyletiella sp. merupakan tungau yang sering dijumpai pada anjing dan kucing, dan telah digambarkan sebagai ketombe berjalan. Tungau ini sangat menular dan ditemukan banyak laporan dari penyakit akibat tungau ini pada manusia; dalam rumah tangga dengan binatang yang terinfestasi, sebanyak 20% dari pemiliknya juga terinfestasi. Tungau ini tidak biasanya ditemukan pada manusia karena mereka tidak dapat membuat terowongan atau bereproduksi pada host ini. Ini yang digambarkan sebagai tindakan gigit dan lari.Lesi seperti gatal, papul eritema atau papulovesikel, urtikaria, atau vesikobula ataupun erosi ekskoriasi dapat ditemukan pada lengan bawah, payudara dan perut dan daerah lain yang telah mengalami kontak langsung dengan binatang yang terinfestasi.

6

Pada binatang peliharaan dapat terjadi gejala simtomatik atau dapat menunjukkan bukti gatal. Tanda patognomonik yang mendekati adalah adanya seboroik sikka pada dorsal ( skuama putih dan kering) ataupun lesi anular berkrusta. Doagnosis tergantung pada tungau yang teridentifikasi atau telur dari kulit, dapat diperoleh dari mengumpulkannya dengan menggunakan isolasi (selotape) dan memeriksa skuama dibawah mikroskop. Pengobatan dari binatang peliharaan oleh dokter hewan dapat membersihkan binatang dan pemiliknya. Kudis akibat Sarcoptes scabiei var. caninum dan kudis kucing (Notoedes cati) dapat menginfeksi manusia dengan dermatosis berupa pruritus dengan ekskoriasi dan krusta. Mengobati binatang peliharaan dapat membersihkan manusia juga. PEDICULOSIS Pediculosis Kapitis ( Kutu Kepala) EPIDEMIOLOGI Kutu kepala dan rambut dapat bervariasi dalam satu spesies tunggal, namun dapat dipikirkan oleh kebanyakan ahli biologi dapat hibridasi atau kawin dalam keadaan khusus. Terminologi yang paling tepat saat ini adalah Peduculus humanus var. humanus (kutu badan) dan P.humanus var.capitis (kutu kepala). Infestasi kutu kepala terjadi diseluruh dunia dan paling sering pada anak usia sekolah. Laporan sebelumnya diperkirakan 6 sampai 12 juta infestasi terjadi setiap tahun di Amerika Serikat pada anak-anak usia 8-12 tahun, walaupun ini sering diremehkan, memberikan pasien pengobatan tanpa melaporkan kepada petugas kesehatan. Kutu menyebar dengan kontak fisik yang dekat, juga dengan berbagi tutup kepala, sisir, sikat rambut, dan bantal. Kutu kepala mengenai berbagai tingkat sosial dan etnik, walaupun di Amerika Serikat, insiden lebih sedikit diantara Afrika Amerika. ETOLOGI DAN PATOGENESIS Kutu dewasa memiliki panjang 1 sampai 2 mm, memanjang, rata dorsoventral dan tidak bersayap. Kutu kepala memiliki tiga pasang kaki bercakar yang disesuaikan untuk menggenggam rambut dan dapat berjalan mencapai 23 cm per menit. Larva kutu, disebut nimfa atau instar, terlihat seperti miniatur dari kutu dewasa. Seekor kutu dewasa harus makan dari menghisap darah sebelum kopulasi. Kutu betina dapat memproduksi 5 sampai 10 telur per hari selama masi hidupnya 30 hari. Kutu khususnya bertahan hanya 1 sampai 2 hari bila jauh dari kulit kepala walaupun pada kondisi yang menguntungkan dan dapat bertahan hidup sampai 4 hari bila jauh dari kulit kepala. Telur dapat bertahan sampai 10 hari bila jauh dari kulit kepala. TEMUAN KLINIS Pedikulosis kapitis biasanya terbatas pada kepala dengan telur paling sering ditemukan pada regio oksipital dan retroaurikular. Walaupun pasien dapat asimtomatik, gejala yang paling umum adalah gatal dan anak sekolah sering menggaruk kepala mereka yang menuntun pada diagnosis. Pruritus dipercaya merupakan hasil dari reaksi hipersensitifitas terhadap saliva yang dihasilkan dari kutu selama makan. Bahan feses dari kutu juga memiliki kontribusi. Terkadang mungkin ditemukan krusta berdarah yang kecil yang mengindikasikan

7

bahwa kutu telah makan dari menghisap darah. Sebagai tambahan terhadap pruritus, dapat juga ditemukan ekskoriasi dan limfadenopati, konjungtivitis juga dapat diamati. Tungau yang hidup bertempat pada proksimal kulit kepala karena telur bergantung pada kehangatan dan kelembaban untuk inkubasi. Sehingga jarak telur dari kulit kepala sepanjang batang rambut merupakan bukti dari infestasi. Ketika semua telur jauh dari kulit kepala (contohnya lebih dari 1 cm), hal ini menunjukkan bahwa infeksi tidak aktif lagi dan bahwa telur ini tidak subur. Menemukan kutu dewasa yang hidup, imatur, nimfa, dan/atau telur yang viabel mengkonfirmasi diagnosis. Sisir rambut halus yang telah diberi air dan kondisioner memberikan hasil yang positif dan lebih sedikit false positif daripada pemeriksaan kulit kepala secara tradisional. DIAGNOSIS BANDING

KOMPLIKASI Infeksi bakteri sekunder dapat terjadi, terutama karena ekskoriasi. PROGNOSIS Bila tidak diterapi, infestasi kutu kepala dapat menetap selama bertahun-tahun. PENGOBATAN Pedikulisid merupakan terapi yang paling efektif untuk kutu kepala. Secara umum, pedikulisid tidak dapat digunakan pada anak-anak kurang dari 2 tahun. Untuk menilai kemampuan ovisidal yang berubah-ubah dan kurangnya pemenuhan kepatuhan pasien, sangat beralasan untuk merekomendasikan pengulangan pengobatan dalam 7 sampai 10 hari untuk membunuh nimfa yang menetas. Wet combing melibatkan menyisir secara sistematis selama basah, rambut yang telah diberi kondisioner dengan sisir bergigi rapat setiap 3 sampai 4 hari selama 2 minggu. Karena kutu tidak dapat bergerak oeh air, membasahi rambut mempermudah pembersihan kutu melalui sisiran. Penutupan atau metode sufokasi seperti dengan menggunakan petroleum jelly atau mayones, telah digunakan untuk penanganan kutu kepala selama bertahun-tahun. Walaupun studi 8

sebelumnya telah gagal untuk mendemostrasikan angka penyembuhan rata-rata, suatu agen baru (Cetaphil pembersih (berlabel Nuvo lotion)) tampak menjanjikan. Pada oenambahan, bukti baru mengindikasi sarung telur berisi komponen proteinaseus daripada komponen spesifik chitin, seperti yang dipikirkan sebelumnya. Dengan pene terhadap pengetahuan ini perhatian telah berubah terhadap agen yang dapat melapisi kutu dan telur secara efektif selagi mencegah pembentukan ataupun degradasi sarung telur. Agen oral menawarkan keuntungan yang potensial dari proses pencernaan secara langsung oleh kutu selama menghisap darah. Pada teori, hal ini menurunkan kebutuhan dari aplikasi yang luas dari substansi kimia untuk meningkatkan absorbsi oleh kutu dan oleh karena itu menurunkan resiko dari toksisitas. Ivermectin telah menunjukkan aktifitas sistemik terhadap kutu kepala dan harus dipertimbangkan sebagai terapi alternatif.

KEGAGALAN DAN RESISTENSI Satu-satunya bukti yang pasti dari kegagalan terapi adalah adanya organisme dewasa. Kegagalan terapi harus dicurigai bila kutu hidup masih ditemukan 12 sampai 24 jam setelah pengobatan. Kemungkinan terjadinya kegagalan terapi mencakup perubahan dalam formulasi, dilusi dari pediculisid pada konsentrasi yang tidak efektif ketika diaplikasikan pada rambut basah, aplikasi dosis subterapeutik ataupun durasi dalam, atau reinfestasi dari kontak yang tidak diobati. Resistensi terhadap obat telah menjadi perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Walaupun kegagalan terapi memiliki kontribusi terhadap resistensi, pemeriksaan dari populasi yang resisten telah terungkap pada berbagai mekanisme yang berbeda. Mutasi berhubungan dengan penurunan resistensi dipercaya mempengaruhi domain berulang yang dijaga secara kuat pada gen channel sodium merujuk kepada resistensi permetrin. Mekanisme lainnya diidentifikasi termasuk resistensi berdasar glutation-S-transferase (penyebab dichlorodiphenyltrichloroethane dan pyrethroid resisten) dan resisten yang berdasarkan monooksigenase (meningkatnya metabolisme 9

obat yang mungkin diatasi oleh agen yang sinergis seperti piperonil butoksida). Pola resistensi tampak mengikuti pola penggunaan obat menjelaskan variasi pada pengamatan resistensi melampaui batas geografis. Pengobatan harus disesuaikan pada pola resistensi lokal dan availabilitas dari agen. Petunjuk pengobatan di masa depan diharapkan menggunakan pengetahuan mengenai mekanisme yang tersebut di atas dalam pengembangan agen alternatif atau agen kombinasi. PENCEGAHAN Seluruh anggota rumah tangga dari yang terkena harus diperiksa. Walaupun beberapa dokter menyarankan pengobatan terhadap seluruh anggota keluarga, yang lainnya merekomendasikan pengobatan hanya terhadap individu yang terkena saja. Setelah terapi, individu yang diterapi harus mengenakan pakaian yang bersih, dan baik pakaian maupun tempat tidur dan peralatan tidur harus dicuci dan dibersihkan dengan menggunakan siklus panas; untuk pakaian yang tidak dapat dicuci, haris di dryclean, atau disimpan pada daerah yang hangat dan tertutup selama 2 minggu. Sisir dan sikat rambut harus dicuci dengan air panas, atau ditutupi dengan pediculisid terlebih dahulu, selama 10 sampai 15 menit. Lantai, tempat bermain dan perabot harus di vakum dengan hati-hati untuk menghilangkan rambut yang ditambati oleh telur yang viable. Fumigasi terhadap organisme yang hidup tidak berpengaruh. Kebijakan “no nits” membutuhkan pengecualian dari sekolah dan penanganan terhadap anak yang hanya terinfestasi telur mungkin berlebihan. Pedikulosis Korporis (Tungau Badan) EPIDEMIOLOGI Pedikulosis korporis merupakan suatu penyakit kemiskinan, yang ditemukan hampir secara khusus diantara orang yang miskin, tuna wisma, dan kelompok orang yang hidup dalam lingkungan yang ramai dengan kondisi yang tidak sehat, seperti pengungsi dan, pada saat perang, para militer-pasien-pasien ini terutama terlihat pada rumah sakit perkotaan. Tidak ada predileksi dari kutu badan untuk ras, umur atau jenis kelamin. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Kutu badan atau P.humanus var. humanus kira-kira 30% lebih besar daripada kutu rambut, namun memiliki morfologi yang sama. Masa hidup dari kutu badan rata-rata 18 hari dan selama masa ini kutu betina dapat memproduksi 270 sampai 300 telur. Infestasi biasanya ditransmisikan dari pakaian ataupun tempat tidur yang terkontaminasi. Kutu badan dapat bertahan pada lapisan baju tanpa menghisap darah sampai 3 hari. Setelah paparan, ketidakmampuan untuk mencuci atau mengganti pakaian akan menyebabkan infestasi menetap. TEMUAN KLINIS Terkadang, sebuah makula serulae (bercak biru muda), sebuah makula berwarna biru keabua-abuan, dapat terlihat, khususnya pada daerah dimana pakaian ketat, seperti pada ikat pinggnag, atau pada bokong dan paha. Dijumpai pruritus yang asimtomatik atau ringan, lesi yang mirip memar, dengan diameter kira-kira 1,5 cm dan sering dengan punctum sentral. Lebih umum, satu-satunya tanda kutu badan adalah ekskoriasi, sering berbentuk linear dan

10

terutama pada batang tubuh. Pigmentasi setelah inflamasi dapat terlihat pada kebanyakan kasus kronis. Kutu dewasa jarang terlihat kecuali pada infestasi yang berat. Diagnosis dibuat dari pemeriksaan secara dekat pada lapisan pakaian, khususnya pada lapisan dimana telur berada. Pakaian dapat diguncang diatas sebuah kertas, dimana kutu dapat terlihat pada kertas. DIAGNOSIS BANDING

KOMPLIKASI Ekskoriasi dapat mengakibatkan infeksi sekunder oleh S.aureus, S.pyogenes, dan bakteria lainnya. Di seluruh dunia, kutu badan dapat berperan sebagai vektor R.prowazekii dan Bartonella quintana. Pada daerah miskin di perkotaan, kutu badan berperan sebagai vektor untuk B.quintana yang dapat menyebabkan demam dan endokarditis. Transmisi terjadi ketika terkontaminasi butiran feses pada tempat gigitan yang digaruk atau kulit yang ekskoriasi. PROGNOSIS bila tidak diobati, pedikulosis korporis dapat menetap selama bertahun-tahun. PENGOBATAN Karena kutu bereproduksi pada pakaian dan bukan pada kulit, mandi, pencucian atau membuang pakaian yang terinfestasi, dan pemulihan higienis yang memadai dapat menyembuhkan infestasi. Peralatan tidur juga harus dicuci dengan air panas, direbus, atau dibuang. Bahan wool dan yang tidak dapat dicucu dapat di dry clean atau disetrika di rumah, dengan perhatian khusus pada setiap lapisan. Beberapa dokter mempercayai bahwa, setelah pengaturan yang sesuai pada pakaian, pasien harus diobati dari kepala sampai kaki dengan aplikasi tunggal krim permetrin 5%, dibiarkan selama 8 – 10 jam kemudian dibilas bersih. PENCEGAHAN Merawat kain dengan pembasmi kuti dengan dasar permetrin dapat membantu untuk mencegah infestasi.

11

Pedikulosis Pubis EPIDEMIOLOGI Kutu pubis yang paling sering merupakan penyakit menular seksual dan sekitar 30% dari pasien memiliki bersama dengan penyakit menular seksual. Transmisi juga dilaporkan dapat terjadi melalui pakaian, handuk dan peralatan tidur yang terkontaminasi. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Kutu pubis atau Pthirus pubis merupakan genus dan species yang terpisah pada famili Pthiridae. Istilah yang umum kutu kepiting merupakan penjelasan yang paling baik untuk membedakan morfologi, badan berbetuk agak bundar seperti kepiting. Kutu pubis memiliki panjang 0.8 – 1.2 mm. Dengan penggunaan pinggir yang bergerigi pada cakar pertama, kutu pubis dapat berpindah sampai 10 cm per hari. Seperti yang disebutkan pada namanya, kutu ini paling sering ditemukan pada daerah pubis, walaupun individu yang berbulu pada daerah paha, batang tubuh, dan perianal juga dapat terlibat. Kadang-kadang, janggut, kumis, dan bahkan bulu mata dapat terlibat. Infestasi pada bulu mata dan pinggir kulit kepala terjadi pada anak-anak, mungkin disebabkan oleh kontak dengan orang tua yang terinfestasi. Meinking dan Taplin melaporkan sebanyak 60% dari tuna wisma memiliki kutu kepiting ini pada daerah badan selain daerah berambut. Masa hidup kutu kepiting ini 2 minggu dan selama waktu ini kutu betina dapat memproduksi sekitar 25 telur. Kutu kepiting dewasa dapat hidup diluar tubuh manusia selama 36 jam. TEMUAN KLINIS Seperti semua pedikulosis, pasien biasanya memiliki pruritus. Makula serulae (makula biru muda), sering ditemukan pada paha atau batang tubuh, dan bisa terjadi seperti pada pedikulosis korporis. Diagnosis biadanya dibuat oleh pasien itu sendiri, sering menemukan kutu pada daerah pubis. Ketika kutu itu sendiri tidak dapat ditemukan, telur mungkin dapat diidentifikasi pada daerah dekat dasar rambut. Seperti pada pedikulosis kapitis, waktu infestasi dapat diperkirakan dari jarak telur ke permukaan kulit. Diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskopik dari rambut yang dicabut untuk mengidentifikasi telur. Telur yang kosong mengindikasikan infestasi sebelumnya. DIAGNOSIS BANDING

12

KOMPLIKASI Infeksi sekunder yang disebabkan oleh ekskoriasi dapat menyebabkan limfadenitis lokal dan demam. PROGNOSIS Pada pasien yang tidak diobati, infestasi pedikulosis pubis dapat menetap bertahun-tahun. PENGOBATAN Terapi topikal sama seperti pada pedikulosis kapitis. Preparat harus diaplikasikan pada seluruh daerah yang terinfestasi, dengan perhatian khusus pada regio pubis dan perianal dan daerah berambut yang berdekatan. Kegagalan yang paling sering adalah mengobati hanya pada daerah pubis pada individu yang berambut: pedikulisid harus diaplikasikan pada paha, batang tubuh, dan regio aksila karena kutu dapat berinfestasi pada daerah ini juga. Pasangan seksual harus diobati secara serentak, tetapi anggota keluarga lainnya tidak perlu diobati jika tidak ditemukan bukti infestasi.

KEGAGALAN PENGOBATAN Kegagalan pengobatan biasanya diakibatkan kegagalan untuk mengikuti instruksi, mengabaikan untuk menobati pasangan seksual, atau reinfestasi. Pasien dengan sindroma HIV/AIDS cenderung untuk memiliki infestasi yang berat oleh pedikulosis pubis dan tidak respon terhadap pengobatan konvensional. Gatal yang menetap dapat disebabkan oleh iritasi dari pedikulisid (biasanya akibat penggunaan yang berlebihan) atau kecemasan pasien. Parasitofobia sering terjadi setelah infestasi dan sulit untuk ditangani.

13

GIGITAN DAN SENGATAN ARTROPODA Gigitan dan sengatan artropoda merupakan penyebab yang signifikan dari morbiditas di sleuruh dunia. Walaupun banyak serangan artropoda menghasilka perubahan kulit yang ringan, dan sementara, sekuele yang lebih berat baik lokal maupun sistemik dapat terjadi, termasuk racun yang bnerakibat fatal maupun reaksi anafilaktik. Artropoda juga sebagai vektor dari banyak penyakit sistemik. Kelas medis yang signifikan dari artropoda yang non-akuatik adalah Arachnida, Chilopoda, Diplopoda dan Insekta.

14

HISTOPATOLOGI Banyak gigitan artropoda menghasilkan pola reaksi histologi yang sama. Pada fase akut, terdapat superfisial dan dalam, perivaskular dan infilotrat inflamasi interstisial, yang berbentuk baji. Infiltrat biasanya bercampur dalam komposisi dengan limfosit dan eusinofil yang berlimpah, walaupun neutrofil dan histiosit juga dapat terlihat. Neutrofil menonjol pada reaksi dari kutu loncat, nyamuk, semut api, dan laba-laba coklat. Selain infiltrat superfisial yang paling menonjol, dapat terlihat spongiosis, terkadang dengan progresi ke bentuk vesikel atau nekrosis epidermis. Daerah ekskoriasi biasanya diakibatkan oleh efek garukan, dan berkembang menjadi parakeratosis, eksudat, dan infiltrat dermis dengan beutrofil dan limfosit yang berlimpah. Walaupun tidak sering terlihat pada histologi, insekta atau bagian insekta, termasuk terowongan tungau skabies, telur, feses, atau bagian mulut dari tungau, dapat terlihat. Lesi kronis, yang sering terjadi ketika bagian dari artropoda tertahan pada kulit, dapat menyebabkan penampakan pseudolimfomatosa. PRINSIP PENGOBATAN Morbiditas dari gigitan dan sengatan artropoda bervariasi sesuai dengan spesies yang menyebabkan cedera. Walaupun temuan klinis dan pengobatan pada spesies yg spesifik akan didiskusikan lebih lanjut, terdapat banyak prinsip pengobatan umum yang dapat diaplikasikan. Luka lokal adalah penting pada serangan artropoda. Luka harus dibersihkan dan bagian artropoda manapun, termasuk alat penyengat, harus disingkirkan secepatnya. Pasien yang tidak nyaman harus di ketahui alamatnya, dan dapat membuthkan modalitas pengobatan yang bervariasi, termasuk penggunaan es, aplikasi kortikosteroid topikal dan antipruritus, suntikan anestesi lokal, dan, lebih jarang, penggunaan analgesia sistemik. Pengukuran yang mendukung untuk keracunan sistemik dan reaksi alergi, termasuk anafilaktik dapat dilakukan jika diperlukan. Infeksi sekunder harus ditangani dengan antibiotik yang sesuai, dan gigitan dari beberapa spesies artropoda yang hidup di darat membutuhkan profilaksis tetanus. Envenomasi yang berat dari spesies tertentu, mungkin membutuhkan pemberian antivenin. Hipersensitifitas yang didokumentasikan pada beberapa spesies dapat diobati dengan imunoterapi desensitasi. Kewaspadaan terhadap penyakit yang ditularkan melalui artropoda disebabkan oleh beberapa spesies juga penting. DIAGNOSIS BANDING

15

ARACHNIDA Kelas Arachnida terdiri dari 3 ordo dari kepentingan medis: Araneae (laba-laba), Acarina (kutu dan tungau) dan Scorpiones (kalajengking). Arachnida dibedakan secara anatomi dari artropoda lainnya karena tidak adanya sayap atau antena dan adanya 4 pasang kaki dan 2 bagian tubuh. Larva kutu, yang hanya memiliki 3pasang kaki, merupakan pengecualian. Araneae Laba-laba merupakan anggota dari karnivora dari kerajaan animalia yang menggunakan jaring dan venom untuk menangkap dan membunuh mangsanya. Di Amerika Serikat, 3 genus spesies yang menggigit dan beracun pada manusia: Latrodectus, Loxosceles, dan Tegeneria. Pusat Pengendalian Racun dari Asosiasi Amerika melaporkan lebih 15,000 gigitan laba-laba di Amerika Serikat pada 2004. Pada tahun yang sama, hanya 1 yang mati akibat venom dari labalaba di Amerika Serikat. LATRODECTUS Anggota dari genus Latrodectus, atau widow spider, sering berwarna hitam dan sedikit merah, berbentuk seperti jam pasir pada daerah perutnya. Walaupun ada lebih dari 20 spesies dari widow spider, L.mactans, black widow spider Selatan, adalah yang paling umum dan terkenal jahat di Amerika Serikat dan dapat ditemukan di semua daerah namun paling sering pada daerah utara dari negara.Widow spider lainnya yang ditemukan di Amerika Serikat meliputi L.various (black widow Utara), L.hesperus (black widow Barat), L.bishopi (widow berkaki merah) dan L.geometricus (bown widow). Anggota dari genus Latrodectus tidak agresif, Perangkap laba-laba memutar jaring-jaring pada daerah yang dilindungi dan menunggu mangsa mereka. Menggigit manusia seringnya secara tidak sengaja atau setelah diprovokasi. Jaringjaring khususnya ditemukan pada sudut pintu, jendela, dibawah tumpukan kayu, di garasi dan gudang, dan bagian bawah dari gua. Jaring-jaring juga dapat ditemukan disekitar dudukan toilet, sebuah lokasi yang dapat menyebabkan gigitan pada genitalia. Temuan Klinis. Gigitan dari black widow spider (L.mactans), yang biasanya sakit, biasanya hanya mengakibatkan manifestasi dermatologis yang ringan. Dalam 30 menit pertama, eritema lokal, piloereksi, dan keringat dalam muncul pada tempat gigitan. Sensasi dari mati rasa ataupun nyeri dapat terjadi beberapa saat setelah gigitan. Urtikaria dan sianosis dapat terjadi pada tempat gigitan. Black widow venom dapat mengandung neurotoksin α-latrotoxin, yang berperan dengan membuka channel ion pada presinaptik saraf terminal, oleh sebab itu menyebabkan pelepasan yang ireversibel dari asetilkolin pada ujung saraf motorik dan katekolamin pada ujung saraf adrenergik. Karenanya, gigitan black widow dapat menyebabkan nyeri kram perut yang menyiksa dan spasme otot yang mungkin menyerupai akut abdomen. Tanda dan gejala yang lain meliputi sakit kepala, parestesia, nausea, vomitus, hipertensi, lakrimasi, salivasi, kejang, gemetar, gagal ginjal akut, dan terkadang; paralisis, untungnya, kematian jarang terjadi. Berdasarkan spektrum gejala, gigitan black widow dapat di misdiagnosis dengan reaksi penarikan obat, apendisitis, meningitis ataupun tetanus. 16

Penatalaksanaan. Walaupun banyak gigitan widow spider hanya memerlukan penanganan lokal, reaksi yang lebih serius membutuhkan hospitalisasi. Pada pasien-pasien tersebut meningkat resiko untuk komplikasi yang lebih serius termasuk orang muda, orang tua, dan mereka dengan penyakit dasar kardiovaskular. Pengobatan saat ini untuk envenomasi black widow spider, termasuk kalsium glukonas 10 mg intra vena, analgetik narkotik, relaksan otot, dan benzodiazepin. Antivenin L.mactans disediakan dari serum equin juga tersedia. Sebagai tambahan, tampak reaksi silang yang efektif dari antivenin untuk spesies L.mactans lainnya. Keuntungan dari antivenin dalam mengobati komplikasi dari gigitan black widow harus ditimbang terhadap kemungkinan raksi alergi terhadap antivenin. Pasien juga harus mengikuti imunisasi tetanus. LOXOSCELES Anggota dari genus Loxoscele juga disebut recluse spiders (laba-laba pertapa) atau fiddle-back spiders, merupakan laba-laba yang tidak agresif, dengan ciri tanda coklat tua pada cephalothoraks dalam bentuk biola. Laba-laba pertapa coklat, L.reclusa, merupakan yang paling sering ditemukan dari genus ini dan yang paling banyak pada Amerika Tenggara dan Baratdaya. Anggota lainya meliputi L.deserta (padang pasir), L.rufesense (Mediterania), L.kaiba (Grand Canyon), dan L.arizonica (Arizona). Laba-laba pertapa, dinamakan demikian, karena mereka sering mencari tempat berlindung pada daerah yang tidak terganggu seperti kamar mandi, loteng, dan tempat menyimpanan pakaian atau alat-alat tidur. Mereka menggigit bila merasa terancam atau terprovokasi, seperti apabila seseorang sedang meletakkan pakaian yang berisi laba-laba. Temuan Klinis. Gigitan dari laba-laba pertapa coklat (L.reclusa) bervariasi dari ringan, reaksi lokal sampai nekrosis ulseratif yang berat, suatu reaksi yang diketahui sebagai arachnidisme nekrotik. Setelah menggigit, eritema sementara akan terbentuk dengan papul atau vesikel pada bagian tengahnya. Tanda “merah, putih dan biru” dari gigitan laba-laba pertapa ditandai dengan daerah seperti biola pada tengah dikelilingi oleh lingkaran kulit yang pucat yang lebih lanjut oleh kulit yang pucat oleh area asimetris yang besar. Dalam persentasi yang kecil pada beberapa kasus, luka awal dapat berkembang menjadi nekrosis, yang biasanya dimulai 2 atau 3 hari setelah gigitan, dengan bentuk eschar terjadi diantara hari ke lima dan ke tujuh. Biasanya luka yang dalam terbentuk. Reaksi gigitan dapat menyebabkan bentuk yang mirip dengan pioderma ganggrenosum atau eritema migrans dari penyakit Lyme. Antrax pada kulit dan luka bakar kimiawi bisa telah keliru didiagnosis dari gigitan laba-laba pertapa coklat. Kemungkinan mendiagnosis telah menunjukkan perkembangan pada pengujian sensitif imunosorben terkait enzim untuk Loxosceles telah tersedia untuk aplikasi klinis. Venom dari laba-laba pertapa coklat mengandung berbagai protein, termasuk sfingomielinase D, esterase, hialuronidase, dan alkali fosfatase, yang memiliki kontribusi terhadap penghancuran jaringan. Sfingomielinase D, merupakan komponen utama untuk venom, memotong sfingomielin untuk membentuk cermade-1-fosfatase dan kolin dan juga hidrolizeslysofosfatidilkolin untuk memproduksi asam lisofosfatidik. Asam lisofosfatidik kemudian mencetuskan respon preinflamasi yang menyebabkan aggregasi platelet dan meningkatnya permeabilitas vaskuler. 17

Sfingomielinase D juga dapat menginduksi hemolisis yang dimediasi oleh komplemen. Gejala sistemik dapat timbul dalam 1 sampai 2 hari setelah envenomasi dan termasuk nausea, vomitus, sakit kepala, demam dan menggigil. Sekuele yang jarang namun serius dari gigitan laba-laba pertapa cokelat termasuk gagal ginjal, anemia hemolitik, hipotensi, koagulasi intravaskular diseminata. Penatalaksanaan. Langkah-langkah pengobatan umum untuk gigitan laba-laba pertapa cokelat termasuk membersihkan tempat gigitan dan aplikasi kompres dingin. Pasien juga membutuhkan analgetik untuk mengendalikan nyeri. Antibiotik juga bermanfaat untuk mengurangi infeksi sekunder bakteri dari tempat gigitan. Kompres hangat dan latihan berat dihindari. Meskipun antivenin Loxosceles telah dikembangkan dan digunakan pada Amerika Selatan, ditemukan sedikit bukti yang mendukung efektifitasnya, khususnya efek lokal terhadap kulit. Sejumlah modalitas terapi telah dikemukakan, termasuk oksigen hiperbarik, dapson, kortikosteroid sistemik dan intralesi, kolkisin, dan difenilhidramin. Walaubagaimanapun, sebuah studi yang menggunakan kelinci sebagai model untuk membandingkan dapson, kolkisin, triamsinolon intralesi, dan difenilhidramin menunjukkan tidak ada efek pada ukuran eskar dari semua medikasi ini. Penyembuhan luka nekrotik secara perlahan, terkadang melebihi beberapa bulan, dan dapat membutuhkan bedah eksisi dan rekonstruksi untuk menutup defek yang terjadi. Intervensi bedah harus ditunda sampai luka stabil. TEGENARIA Tegenaria agrestis, laba-laba hobo atau “laba-laba rumah yang agresif”, merupakan penyebab terutama pada nekrotik arachnidisme di Barat daya Pasifik,Amerika Serikat dan dapt dijumpai di daerah dari Alaska sampai Utah. Meskipun spesies Loxosceles tidak sering dijumpai pada daerah geografis yang sama, gigitan dari laba-laba hobo ini sering disalahkan terhadap gigitan laba-laba pertapa cokelat. Laba-laba ini berwarna cokelat dengan pola tulang ikan berwarna abu-abu. Laba-laba hobo khususnya membangun jaringan berbentuk corong dalam ruang penjelajahannya, bawah tanah, tumpukan kayu, dan semak. Kebanyakan laba-laba hobo menggigit selama bulan Juli sampai September ketika kebanyakan laba-laba beracun jantan mencari pasangan. Temuan Klinis. Efek kulit lokal setelah envenomasi oleh laba-laba hobo, dapat bervariasi dari ringan sampai berat, dan mirip dengan yang disebabkan oleh laba-laba pertapa cokelat. Gigitan awal tidak nyeri. Indurasi dan parestesia dari gigitan dapat terbentuk dalam 30 menit. Daerah eritema yang besar dapat terbentuk disekitar lokasi lesi. Bentuk vesikel muncul dalam 36 jam pertama. Bentuk eschar dapat terjadi pada beberapa kasus, dengan nekrosis dan kehancuran pada jaringan. Penatalaksanaan. Luka biasanya menyembuh dalam beberapa minggu. Gejala sistemik yang paling umum setelah gigitan laba-laba hobo adalah sakit kepala yang berat, yang dapat menetap selama 1 minggu. Gejala lainnya meliputi fatig, nausea, vomitus, diare, parestesia, dan kelemahan ingatan. Walaupun jarang, kematian dapat terjadi disebabkan oleh efek sistemik, termasuk anemia aplastik. 18

TARANTULA Tarantula merupakan laba-laba pribumi pada daerah tertentu di Amerika Serikat dan juga di jaga sebagai hewan yang eksotis. Tarantula merupakan anggota dari famili Theraphosidae dan di selimuti oleh rambut dan lebih besar daripada laba-laba lainnya, dengan panjang kaki mencapai 12 inci pernah dilaporkan pada beberapa spesies. Tidak seperti laba-laba beracun yang telah didiskusikan sebelumnya, gigitan tarantula gigitan tarantula secara umum hanya menunjukkangejala lokal yang ringan. Bagaimanapun, reaksi yang lebih serius dapat disebabkan oleh rambut pada perut laba-laba. Ketika terancam, tarantula menggosok kaki belakangnya bersaan dalam sebuah gerakan yang mengibaskan rambutnya hingga jatuh. Rambutrambut ini dapat tertancap pada kulit atau mata. Respon kulit terhadap sekitar rambut mulai dari ringan, pruritus lokal sampai reaksi granulomatosa.sekuele okular dari tancapan rambut pada sekitar kornea dapat menyebabkan konjungtivitis dan keratouveitis sampai granuloma kornea dan korioretinitis. Walaupun reaksi kutaneus dapat diobati dengan kortikosteroid topikal, terlibatnya okular memerlukan evaluasi oftalmologi. Kalajengking Ordo Scorpion (kalajengking) terdiri dari arachnida pada daerah daratan, pal;ing umum pada daerah tropis atau daerah kering, termasuk Barat daya Amerika Seikat, Afrika Utara, Meksiko dan daerah Timur Tengah. Makhluk malam ini mencari tempat berlindung dibawah batu dan kulit pohon selama siang hari. Seperti arachnida lainnya, kalajengking umumnya pemalu dan menyengat manusia hanya bila merasa terganggu. Walaupun mampu menghasilkan luka lokal yang signifikan, berpotensi serius, sampai mematikan, komplikasi kardiovaskular yang menyertai sengatan kalajengking merupakan perhatian utama. Kalajengking yang menarik perhatian terutama di Amerika Serikat adalah Centruroides exilicauda (dahulu disebut C.sculpturatus), yang sengatannya berpotensi fatal. Spesies Centruroides memiliki sebuah punggung kecil pada dasar dari alat penyengat, sebuah ciri yang dapat membedakan mereka dari spesies kalajengking lainnya. TEMUAN KLINIS Sengatan kaljengkin biasanya menyebabkan reaksi langsung, tajam, dan nyeri terbakar. Hal ini dapat diikuti dengan mati rasa yang meluar ari tempat sengatan. Kelenjar limfe regional membengkak, dan jarang dijumpai ekimosis dan limfangitis. Racun C. exilicauda mengandung neurotoksin yang kuat, dapat menyebabkan spasme otot, nistagmus, pandangan kabur, salivasi yang berlebihan, kesulitan bernafas, edema pulmonal, dan miokarditis. Bayi dan anak-anak memiliki kecenderungan untuk komplikasi yang serius. PENATALAKSANAAN Keracunan ringan dari kalajengking hanya membutuhkan pengobatan yang simtomatik, termasuk analgetik dan kompres es lokal. Sengatan kalajengking pada anakanak, terutama bila diidentifikasi oleh C.exilicauda, harus dihospitalisasi untuk monitoring lebih dekat terhadap pernafasan, jantung dan status neurologis. Antivenin spesifik adalah pengobatan pilihan untuk keracunan berat. Studi menunjukkan bahwa antivenin C.exilicauda aman, dengan insidensi rendah terhadap reaksi anafilaktik berikut infus dan suatu onset yang cepat terhadap

19

pemulihan gejala. Walaupun serum penyakit sering setelah infus antivenin, hal ini dapat sembuh sendiri dan dapat ditangani dengan antihistamin dan kortikosteroid. ACARINA Ordo Acarina terdiri dari kutu dan tungau. Kutu merupakan anggota yang paling banyak, dengan hampir mendekati 800 spesies yang diketahui. Mereka sangat penting diseluruh dunia sebagai vektor dari penyakit sistemik, mampu menularkan virus, riketsia, spirochaeta, bakteri dan parasit ke manusia. KUTU Kutu dibagi menjadi 2 famili: Ixodidae (kutu keras) dan Argasidae (kutu lembut). Kutu keras bertanggung jawab untuk kebanyakan kasus yang berhubungan dengan kutu. Kutu melewati beberapa tahap selama siklus hidupnya, termasuk telur, larva, nimfa, dan dewasa, dan memerlukan makan darah untuk transisi antara tiga tahap terakhir. Kutu dibedakan dengan tungau dengan adanya hipostom berduri, yang dimasukkan ke dalam kulit untuk menghisap darah. Kutu memakan darah dari berbagai host vertebrata termasuk burung, reptil, da mamalia. Kutu keras dewasa mampu makan beberapa ratus kali dari berat tubuh sebelum makan ketika mengambil darah dan dapat bertahan hidup selama beberapa bulan tanpa makan. Ketika mencati host yang cocok, kutu keras menunjukkan kebiasaan yang unik yang disebut “questing” dimana kutu merayap ke tepian daun atau rumput dan menahan sepasang kaki depannya untuk menangkap host yang lewat. Manusia biasanya terinfestasi akibat kontak dengan rumput tinggi atau sikat yang memiliki kutu yang belum makan atau dengan hubungan mereka dengan hewan domestik seperti kucing atau anjing. Kutu tertarik oleh bau atau keringat, warna putih, dan panas tubuh. Sekali mereka berada pada host, kutu dapat menghabiskan selama 24 jam mencari tempat yang terlindungi untuk makan, seperti lipatan kulit atau garis rambut. Waktu makan kutu berjarak dari 2 jam sampai 7 hari dimana kutu akan terlepas dari tubuh ketika telah membesar. Banyak spesies kutu yang berbeda bertanggung jawab terhadap reaksi lokal gigitan dan transmisi penyakit pada host manusia. Di Amerika Serikat, Ixodes scapularis (kutu rusa atau kuku berkaki hitam), Dermacentor andersoni (kutu kayu Amerika), D.variabilis (kutu anjing Amerika), I.pacificus (kutu berkaki hitam Barat), dan Amblyomma americanum (kutu Lone Star) adalah yang paling sering. Pada belahan bumi Timur I.ricinus (kutu kacang atau kutu domba) dan I.persulcatus (kutu Taiga). Diantara penyakit yang ditularkan oleh kutu adalah Penyakit Lyme, ehrlichiosis, babesiosis, demam daerah Pegunungan Rocky, demam kutu Colorado, Demam Q dan tularemia. Temuan Klinis. Mayoritas gigitan kutu terjadi pada musim semi dan musim panas, mempertimbangkan siklus hidup dari kutu. Gigitan kutu biasanya tidak nyeri, dimana kutu memasukkan bahan anestesi dan antikoagulan ketika menggigit. Seringnya, seseorang tidak mengetahui bahwa ia telah digigit namun akan merasakan serangan kutu ketika menggaruk atau mandi. Gigitan kutu dapat menyebabkan bentuk granuloma tubuh asing, reaksi terhadap racunyang dimasukkan dan sekresi saliva, dan respon hipersensitifitas. Jarang, reaksi 20

hipersensitifitas tipe lambat terjadi dengan demam, gatal, urtikaria. Papul merah biasanya terlihat pada tempat gigitan dan dapat berkembang menjadi bengkak yang terlokalisir dan eritema. Respon seluler terhadap gigitan dapat menyebabkan indurasi dan nodulasi setelah beberapa hari. Reaksi foreign-body dapat terjadi ketika bagian mulut tertahan pada kulit setelah pelepasan kutu secara tidak sempurna. Granuloma akibat gigitan kutu yang kronis dapat menjadi masalah diagnosis selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Paralisis kutu merupakan komplikasi yang berpotensi mematikan dari infestasi kutu dan dipikirkan disebabkan oleh neurotoksin didalam sekresi saliva kutu. Penyakit dimulai dengan sakit kepala dan malaise, dan berkembang secara cepat menjadi paralisis akut lower motor neuron asendens, mirip dengan sindroma Guillain-Barre, yang dapat menyebabkan gagal nafas dan kematian. Beberapa spesies kutu dapat menyebabkan paralisis tik, termasuk D.andersoni, D.variabilis dan A.americanum. Secara khusus, onset gejala terjadi selama 4 sampai 6 hari setelah serangan kutu. Gejala menurun ketika kutu dilepaskan dari pasien. Tindakan suportif, termasuk ventilasi mekanik, mungkin diperlukan sampai gejala selesai. Penatalaksanaan. Setelah paparan, kulit harus diperiksa untuk kutu dan kemudian menghilangkan mereka sebelum mereka mulai makan dan beresiko menularkan penyakit. Sekali kutu telah memasukkan hipostomnya ke dalam kulit, itu harus dukeluarkan dengan paksa. Walaupun banyak metode disarankan untuk menghilangkan kutu, metode fisik, seperti pelan, dengan mantap menarik kutu, mungkin yang paling aman dan paling bermanfaat. Bagian kutu yang tertinggal harus dihilangkan secara bedah jika diperlukan untuk mencegah perkembangan granuloma akibat benda asing. Profilaksis antibiotik masih konroversi. Walaupun beberapa bukti bahwa profilaksis dapat mencegah terjadinya penyakit Lyme dan penyakit yang ditularkan oleh vektor lainnya pada daerah tertentu. Pada daerah dimana terjadi endemik penyakit Lyme yang tinggi, keuntungan dari terapi profilaksis dapat menurunkan resiko, terutama pada kasus dimana kutu telah menempel pada host dalam jangka waktu yang panjang dan secara akurat menjadi vektor dari penyakit Lyme borreliosis. Pada kasus-kasus ini, penulis menyarankan pemberian doksisiklin oral. CHILOPODA DAN DIPLOPODA Kelas artropoda yaitu Chilopoda dan Diplopoda tersusun dari Centipedes dan Millipedes. Centipedes dan Millipedes merupakan artropoda daratan dengan bagian tubuh yang banyak. Centipedes Centipedes, yang memiliki satu pasang kaki pada setiap bagian tubuhnya, merupakan karnivora malam hari yang menghasilkan gigitan yang sangat sakit dengan sepasang cakar yang beracun. Spesies Scolopendra ditemukan diseluruh barat daya Amerika Serikat dan dapat menyerang ketika habitatnya terganggu. Sebagai tambahan dari nyeri yang berat dan eritema setelah gigitan, keringat lokal, edema, infeksi sekunder dan ulserasi dapat terlihat. Juga dilaporkan proteinuria, iskemia koroner akut, dan miokard infark setelah gigitan centipedes. 21

Penenganan terdiri dari analgetik, termasuk injeksi anestesia lokal, antihistamin dan profilaksis tetanus. Antibiotik mungkin dibutuhkan untuk infeksi sekunder. Millipedes Millipedes yang memiliki dua pasang kaki setiap bagian tubuh, biasanya makan dari bahan tanaman yang hidup dan mati. Mereka memiliki sedikit cakar beracun juga gigitan dan sengatan. Bagaimanapun, millipedes memiliki kelenjar repugnatorial pada kedua sisi dari segmen dan dapat mengeluarkan bahan beracun jika terancam.cairan berminyak, kental dapat menyebabkan diskolorasi kecokelatan pada kulit dan dapat bertahan selama berbulan-bulan dan terasa terbakar dan berlepuh. Reaksi berat biasa terlihat pada spesies tropis. Beberapa spesies dapat menyemprotkan racun beberapa inci. Hal ini mengakibatkan berbagai lesi mata termasuk edema periorbital, diskolorasi periorbital, konjungtivitis dan keratitis. Walaupun evaluasi oftalmologi dapat dipertimbangkan untuk paparan pada mata, melalui pencucian yang segera dengan sabun dan air biasanya cukup adekuat untuk kontak pada kulit. INSEKTA Kelas insekta berisi beberapa ordo yang penting dalam bidang medis: Anoplura (kutu), Diptera (lalat, nyamuk), Coleoptera (kumbang), Hemiptera (Kissing bug), Siphonaptera (kutu loncat), Hymenoptera (semut, lebah, tawon), Lepidoptera (kupu-kupu dan ngengat). Insekta dapat dibedakan dari artropoda lainnya dengan adanya 3 bagian tubuh, sepasang mata, sepasang antena, dan 6 kaki. Diptera Ordo Diptera, atau lalat, memiliki beberapa famili yang penting: Culicidae (nyamuk), Ceratopogonidae (nyamuk yang menggigit), Tabanidae (lalat kuda atau lalat rusa), Psychodidae subfamili Phlebotominae (lalat pasir), dan Glossinidae (lalat tsetse). Tidak hanya kesemua ini menyebabkan kerusakan pada kulit dengan gigitan mereka, tetapi mereka juga, secara kolektif, bertanggung jawab terhadap transmisi banyak penyakit di seluruh dunia daripada artropoda lainnya. Famili Culicidae terdiri dari 2000 spesies nyamuk, banyak yang merupakan penyebar penyakit, beberapa genus nyamuk, termasuk Anopheles, Culex, dan Aedes, berperan sebagai vektor malaria, demam kuning, demam dengue, virus ensefalitis, filariasis, termasuk virus West Nile, yang menyebabkan meningoensefalitis arbovirus terbesar yang pernah dicatat di Amerika Utara. Karena nyamuk jantan kekurangan tusukan pada bagian mulut, nyamuk betina menyebabkan semua gigitan pada manusia. Gigitan nyamuk menyebabkan bentuk bercak yang gatal dan lesi papular, yang terbentuk akibat respon terhatap iritasi dari sekresi saliva yang dimasukkan oleh nyamuk untuk mencegah koagulasi. Gigitan nyamuk dapat menyebabkan urtika, vesikel, eksim, ataupun gambaran eksematosa. Reaksi gigitan biasanya menghilang dalam beberapa hari.

22

Lalat yang menggigit lainnya termasuk lalat hitam, lalat kuda, lalat tsetse dan lalat pasir. Lalat hitam merupakan famili dari Simulidae merupakan vektor onchocerciasis dan tularemia. Di dalam famili Tabanidae, spesies Tabanus (lalat kuda) juga berperan sebagai vektor untuk tularemia, dan spesies Chrysops (lalat rusa) bertanggung jawab terhadap transmisi filariasis Loa loa dan tularemia. Miasis kutaneus disebabkan oleh deposisi larva lalat kedalam kulit yang utuh atau luka yang terbuka oleh beberapa spesies, termasuk Dermatobia hominis (botfly manusia). Sejumlah spesies dari lalat pasir juga menyebarkan penyakit dengan spesies Phlebotomus mentransmisikan leismaniasis dan spesies Lutzimyia menyebarkan bartonellosis. Spesies Glossima sebagai vektor tripanosomiasis Afrika. Gigitan Diptera harus dibersihkan secara menyeluruh dengan sabun dan air untuk menghindarkan infeksi sekunder. Steroid topikal dan antihistamin sistemik dapat digunakan untuk mengendalikan gatal. Reaksi alergi yang jarang harus ditangani dengan giat. Miasis kutaneus paling baik diobati dnegan eksisi lokal dari larva dan melibatkan jaringan sekitar. Antihistamin cetirizine atau ebastine diminum untuk profilaksis dosis tunggal 10 mg telah dipelajari dalam sebuah studi dapat menurunkan bentuk bercak dan berikut gatal yang disebabkan gigitan lalat. Hemiptera Ordo Hemiptera meliputi 2 famili: Cimicidae, yang termasuk Cimex lectularius (hama bed bug), dan Reduviidae, yang termasuk didalamnya spesies Triatoma (kissing bug). Walaupun kebanyakan anggota dari ordo ini adalah herbivora, kedua famili ini merupakan parasit pada manusia. REDUVIIDAE Kissing bug, atau serangga pembunuh, berada dalam famili Reduviidae dan dibedakan dengan adanya bentuk triangular pada bagian belakangnya yang bertemu dengan membran sayap. Semua hama Reduviid makan dari darah. Kebanyakan spesies Reduviidae ditemukan di Amerika Serikat dengan beberapa spesies Berlokasi di Afrika,Asia, dan Eropa. Kissing bug dinamakan demikian karena predileksi gigitan mereka dekat dengan bibir. Setelah makan dari menghisap darah, Reduviid berputar untuk defekasi secepatnya. Tripanosoma diinokulasikan ketika korban setelah itu menggaruk feses yang terinfeksi ke dalam luka.

Meskipun serangga reduviid ini makan di malam hari, dan memangsa binatang pengerat, selama terbang, mereka terbang ke arah cahaya dari rumah. Walaupun gigitan defensif dari Reduviid terasa sakit, gigitan tidak sakit saat makan dari reduviid terjadi hanya pada saat host tertidur, karena menghisap darah memerlukan beberapa menit untuk selesai. Gigitan dihubungkan dengan papular, urtika, dan reaksi bula. Proporsi yang kecil dapat berkembang generalisata, reaksi alergi

23

akut yang menyebabkan korban terbangun karena tanda dan gejala anafilaksis. Gigitan defensif dapat menyebabkan reaksi kulit lokal yang berat, termsuk nekrosis dan ulserasi. Siphonaptera Kutu loncat termasuk ordo Siphonaptera. Insekta kecil yang menghisap darah ini tidak memiliki sayap dan dapat lompat mencapai ketinggian 18 cm. Anggota famili Pulicidae terutama adalah kutu loncat tikus (Xenopsilla cheopis dan X.brasiliensis), menularkan plak bubo (Yersinia pestis). Anggota lainnya dari famili ini juga dapat menularkan penyakit, termasuk kutu loncat kucing (Ctenocephalides felis), sebagai vektor plak bubo dan endemik tifus (Rickettsia prowazekii). Gigitan kutu loncat menyebabkan iritasi yang minimal pada kulit individu yang tidak sensitif, biasanya tampak papup urtikaria berkelompok atau berbentuk linear, ditemukan pada tungkai bawah. Pada individu yang sensitif, sering pada anak-anak, antigen saliva dapat menyebabkan papular urtika, suatu reaksi yang ditandai dengan adanya papul yang gatal kronis pada area yang terkena. Reaksi bula terhadap kutu lonvat juga dapat terbentuk pada individu yang hipersensitif. Terapi topikal konservatif dengan kortikosterois dan antipruritus, bersamaan dengan antihistamin biasanya cukup untuk kebanyakan gigitan kutu loncat. Antibiotik diperlukan untuk infeksi sekunder. Sekali infestasi kutu loncat terjadi, eradikasi yang menyeluruh terhadap insekta diperlukan untuk m,encegah gigitan tambahan. Famili Tungidae terdiri dari kutu loncat tropis yang disebut Tunga penetrans (kutu loncat pasir, jigger) yang merupakan etiologi dari tungiasis, suatu infestasi yang disebabkan penetrasi kutu loncat betina kedalam kulit manusia. Lesi dpat terjadi pada kaki, biasanya pada daerah platar. Tungiasis dapat menyebabkan nyeri, pruritus, dan infeksi sekunder bakteri, dan terkadang amputasi dari jempol. Kematian akibat tetanus juga pernah dilaporkan. Pilihan terapi term,asuk eksisi bedah dari area yang terinfeksi atau membunuh kutu loncat betina dengan cryoterapi atau preparat topikal. Profilaksis tetanus disarankan, antibiotik sistemik juga digunakan bila dibutuhkan. Hymenoptera Ordo hymenoptera terdiri dari famili Apidae dan Bombidae (lebah), Vespidae (tawon) dan Formicidae (semut). Banyak anggota ordo ini memiliki glandula racun yang digunakan untuk bertahan atau berburu. Di samping reaksi kulit lokal, sengatan hymenoptera merupakan masalah penting karena insidens yang tinggi dan kemampuan untuk menyebabkan reaksi anafilaktik yang fatal. Semua sengatan Hymenoptera disebabkan oleh insekta betina melalui ovipositor (organ tubuh serangga yang berfungsi sebagai peletak telur) yang dimodifikasi atau alat peletak telur. Kebanyakan sengatan heminoptera terjadi ketika sarang atau insekta tersebut terancam. Sengatan 24

lebah madu terjadi dengan ovipositor yang berduri, yang menyebabkan tertusuk ke dalam kulit. Lebah madu mati setelah menyengat karena mengeluarkan isi perutnya sendiri untuk mengeluarkan kantung racunnya yang berpasangan. Penyengat harus dipindahkan dengan secepatnya setelah menyengat karena perlengketan dengan otot-otot dapat melanjutkan pemompaan racun ke dalam kulit. Jika memungkinkan, penyengat seharusnya tidak diremas selama proses pemindahan dengan jari atau pencepit sebagai racun tambahan dapat dimasukkan ke dalam korban. Satu metode pemindahan adalah dengan mengikis tepi dari pisau tumpul daru pisau mentega sepanjang kulit pada sebuah sudut yang paralel ke permukaan. Hal ini akan mengeluarkan penyengat dan mengurangi masuknya racun tambahan. Hymenoptera lainnya memiliki sedikit duri penyengat dan dapat menyengat berulang-ulang. Semut api (Solenopsis invicta), berasal dari Brazil, merupakan spesies yang agresif yang berada pada Amerika Serikat Tenggara. Racun Solenopsis mengandung nonproteinase, faktor hemolitik dikenali sebagai dialkilpiperidin, solenopsin D, yang mencetuskan degranulasi sel mast. Semut api sering menyerang secara berkelompok. Sengatan mereka terlihat dalam bentuk inflamasi yang berat, reaksi bercak dan kemerahan yang menjadi pustul yang steril dan dapat berkembang menjadi nekrosis dan skar yang terlokalisir. Individu yang sensitif dapat mengalami reaksi bula yang mengikuti sengatan. Ketika menyerang, semut cenderung untuk menggigit daging dengan rahang mereka yang kuat dan kemudian berputar dan menyengat dalam pola yang sirkuler, yang menyebabkan lesi berbentuk cincin. MANIFESTASI KLINIS Sengatan Hymenoptera secara khusus menghasilkan nyeri dan terbakar dengan cepat, diikuti dengan pembentukan sebuah reaksi eritema, lokal dan kuat dengan pembengkakan dan urtika. Reaksi khusus ini terhadap sengatan Hymenoptera biasanya menghilang dalam beberapa jam. Bagaimanapun, reaksi lokal yang lebih berat dapat terjadi, termasuk pembengkakan yang meluas pada tempat gigitan dan indurasi yang memanjang selama 1 minggu. Respon imun yang diperantarai seljuga terlibat pada reaksi ini. Reaksi sistemik generalisata terhadap sengatan hymenoptera terjadi kira-kira 0.4 sampai 3 persen dari pasien. Reaksi anafilaksis dapat terjadi sebagai urtikaria yang generalisata, angioedema dan bronkospasme. PENATALAKSANAAN Terapi dari sengatan Hymenoptera dibentuk oleh beratnya penyakit. Reaksi kulit lokal yang ringan membutuhkan pembersihan lokal, aplikasi es, dan kemungkinan injeksi anestesi lokal untuk mengatasi nyeri. Difenhidramin lokal dan parenteral dapat menolong mengendalikan urtikaria dan gatal. Anafilaksis dapat ditangani dengan epinefrin subkutan (0.5 ml dari pengenceran 1:1000). Individu yang hipersensitif terhadap hymenoptera selalu membawa suntukan yang berisi epinefrin untuk administrasi darurat. Terapi desensitisasi harus dipertimbangkan untuk pasien manapun dengan skin tes kulit epidermis yang positif terhadap racun hymenoptera dan sejarah anafilksis yang disebabkan oleh sengatan. Lepidoptera

25

Ordo Lepidoptera merupakan ordo kedua terbesar yang terdiri dari 100,000 spesies ulat, ngengat dan kupu-kupu. Diperkirakan 100 – 150 spesies pada ordo ini diperkirakan menghasilkan lepidopterisme, suatu terminasi kata untuk menggambarkan keseluruhan efek medis yang disebabkan ulat, ngengat dan kupu-kupu. Bebrapa teori mengenai mekanisme lepidopterisme telah diajukan, termasuk iritasi mekanis oleh rambut (setae), injeksi racun melalui rongga setae, dan hipersensitifitas yang diperantarai sel pada rambut. Penyebab yang paling terkenal dari erusisme atau dermatitis ulat adalah Liymantria dispar (ulat ngengat Jipsi). Kontak kulit dengan bulu dari ulat dapat menyebabkan dermatitis pruritik yang ditandai dengan papul eritema yang multipel yang sering tersusun dalam lapisan linear. Bulu yang dihembuskan oleh angin dapat menyebabkan keratokonjungtivitis dan gejala pernafasan. Megalopyge opercularis (ulat kucing), yang dapat memasukkan racun melalui bulu yang mirip suntikan, dapat menyebabkan nyeri sengatan yang berat, dapat dapat menyebabkan pola purpura seperti rel kereta pada tempat sengatan. Spesies lainnya yang menyebabkan lepidopterisme di Amerika Serikat termasuk Automeris (ngengat io), Euproctis stimulate (ngengat berekor cokelat), dan Hemerocampa pseudotsugata (ngengat Douglas-firtussock). Pengobatan untuk lepidopterisme secara simtomatik. Antihistamin sistemik, preparat topikal yang mengandung mentol dan kamfor, dan kostikosteroid topikal potensi sedang sampai tinggi dapat digunakan untuk menangani pruritus. Steroid sistemik menguntungkan untuk reaksi yang berat. Nyeri yang menetap disebabkan oleh sengatan dari ulat kucing membutuhkan analgetik narkotik oral atau parenteral. Setae yang tertanam dapat dihilangkan dengan pengupasan menggunakan selotape. PENCEGAHAN Beberapa langkah sederhana dapat diambil untuk mengurangi kejadian gigitan artropoda. Gigitan laba-laba dapat dikurangi dengan menggunakan sarung tangan ketika bekerja pada garasi, bawah tanah atau ketika memanipulasi tumpukan kayu atau tumpukan sampah. Pada daerah endemik kalajengking, disarankan mengibaskan pakaian atau sepatu sebelum mengenakannya. Mengenakan pakaian yang sesuai dan menghindari garukan dengan sikat yang besar dapat membantu menghindarkan gigitan kutu. Warna terang dan bau-bauan buatan seperti parfum, yang menarik nyamuk dan insekta terbang lainnya, merupakan cara penghindaran yang baik pada malam musim panas. Pada daerah tropis, alas kaki yang sesuai dapat mencegah tungiasis. Infestasi dari daerah hidup artropoda, termasuk kutu loncat dan bedbug, sulit dieliminasi dan membutuhkan pembasmi yang profesional. Pembasmi kimia juga bermanfaat untuk mencegah gigitan artropoda. Beberapa pembasmi kimia yang berbeda telah dipelajari, termasuk N,N-dietil-3-metil-benzamid (DEET, dietiltoluamid), picaridin (KBR 3203) dan p-mentana-3,8-diol (minyak eucaliptus). Pembasmi yang paling efektif untuk semua gigitan serangga, termasuk nyamuk adalah DEET, yang tersedia dalam banyak produk dalam konsentrasi sampai 100 persen. Secara umum, sebuah produk mengandung 26

10-30 % DEET yang adekuat untuk melindungi semua aktifitas luar rumah, dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari DEET menyebabkan perlindungan yang lebih lama. Walaupun DEET memiliki keamanan yang baik, dilaporkan ensefalopati dapat terjadi, terutama pada anak, setelah paparan kimiawi. Untuk alasan ini, hanya produk dengan DEET dengan konsentrasi kurang dari 10% yang aman bagi anak-anak.

27

Related Documents


More Documents from "laili sofiah"