TUGAS FARMAKOKINETIKA “ADME, Model Matematika, Kompartemen, Parameter Farmakokinetik, Aplikasi, dan Orde Reaksi”
Kelas C 2016
Hafiz Firnandi 260110160128
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN 2019
FARMAKOKINETIK ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Eksresi)
DEFINISI Farmakokinetik merupakan suatu proses pergerakan obat hingga mencapai kerja obat. Farmakokinetik pula bisa disebut sebagai nasib obat dalam tubuh. Farmakokinetik ini memiliki epmat proses yaitu Absorbsi, Distribusi, Metabolisme dan Ekskresi (Eliminasi).
Absorbsi Absorbsi merupakan suaru proses perpindahan partikel yang melewati membrane permeable. Perpindahan partikel ini dapat terjadi secara transpor pasif, transport aktif, dan pinositosis. Transport pasif biasa terjadi dengan cara difusi yaitu pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang rendah, sehingga pergerakan pertikel obat tidak memerlukan energi untuk menembus membran, sedangkan transport aktif membutuhkan pembawa karena pergerakannya melawan perbedaan konsentrasi. Pinositosis merupakan perpindahan partikel terjadi karena adanya proses menelan (Kee dan Hayes, 1996). Untuk sediaan oral, obat akan mengalami proses absorbsi ini agar mampu terdistribusi, sedangkan untuk sediaan intravena senyawa obat akan langsung terjadi proses distribusi.
Distibusi Distribusi merupakan proses penyebaran obat dengan bantuan angkutan, angkutan ini berupa darah. Obat akan terikat oleh bagian protein (utamanya albumin) dalam darah dan ikut beredar hingga mencapai target. Tingkat kekuatan ikatan antara obat dengan protein darah pun harus diperhatikan karena hanya obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan protein yang mambu menimbulkan efek farmakologis(Kee dan Hayes, 1996).
Metabolisme Metabolisme merupakan proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi di dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim (Hinz, 2005). Organ yang berperan penting dalam proses metabolisme adalah hati, bekerja dengan cara menginaktifkan dan mentransformasi obat menjadi metabolit yang bersifat polar, karena pada umumnya obat bersifat nonpolar sehingga akan sulit untuk dieliminasi dalam tubuh maka perlu dilakukannya metabolisme agar struktur obat menjadi
polar dan mampu tereliminasi dalam tubuh. Jika obat tidak tereliminasi akan memberikan efek toksik (Kee dan Hayes, 1996)..
Eksresi (Eliminasi) Eksresi merupakan proses pengeluaran zat sisa metabolisme, zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan tubuh akan dikeluarkan melalui organ eksresi (Shargel, 2012). Rute utama dari proses eliminasi obat yaitu melalui ginjal. Obat yang bebas, tidak berikatan dan yang bersifat polar, dan larut dalam air akan difiltrasi oleh ginjal. Faktor yang dapat mempengaruhi eksresi obat yaitu pH,pH urin berkisar dari 4,5 sampai 8. Urin yang berpH asam akan meningkatkan eliminasi obat yang bersifat basa lemah (Kee dan Hayes, 1996).
KEGUNAAN
Bidang farmakologi Dapat menentukan daerah kerja aktif suatu obat, menentukan hubungan antara kadar obat dalam tubuh dengan intensitas efek yang ditimbulkan.
Bidang farmasetika Dapat menentukan bioavailabilitas suatu senyawa aktif dari sediaan obat, membantu menentukan bentuk sediaan yang paling baik untuk dibuat.
Bidang farmasi klinik Untuk memilij rute pemberian obat yang paling tepat, menghitung aturan dosis yang tepat untuk setiap individu, untuk menyusun aturan dosis yang rasional, untuk membantu menerangkan mekanisme interaksi obat.
Bidang toksikologi Dapat membantu menemukan sebab-sebab terjadinya efek toksik dalam pemakaian suatu obat.
Bidang kimia medisinal Dapat membantu proses sintesis senyawa obat-obat baru yang lebih unggul.
PERAN MATEMATIK DALAM FARMAKOKINETIK 1. EKSPONEN DAN LOGARITMA a. EKSPONEN
Persamaan
Contoh :
N = bx
1000 = 103
Dimana : x = eksponen
Dimana : 3 adalah eksponen,
b = dasar
10 adalah dasar, dan
N = angka
1000 adalah angka yg merupakan
pangkat 3 dari
dasar 10. Dengan menggunakan “log”, N memiliki pengaruh terhadap penyederhanaan bilangan seperti penyederhanaan dengan dasar 10.
Hukum Eksponensial ax . ax = ax+y (ax)y = ax.y 𝑎𝑥 𝑎𝑦 1 𝑎𝑥 𝑦
= ax-y = a-x
√𝑎 = a1/y
b. LOGARITMA Persamaan
Contoh :
N = bx Logb N = x
100 = 102 log 100 = 2
Dengan basis 10
100 merupakan antilog dari 2
Logaritma natural (In) menggunakan dasar ex dengan nilai 2.718282. apabila dihubungkan dengan logaritma biasa, didapatkan persamaan sebagai berikut.
2.303 log N = In N Hukum Logaritma log ab = log a + log b
Logaritma 1 adalah nol
𝑎
log = log a - log b
Logaritma < 1 adalah negatif
log ax = x log a
Logaritma > 1 adalah positif
𝑏
𝑎
𝑎
- log 𝑏 = + log 𝑏
Hubungan antara eksponen dan logaritma, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
2. KALKULUS Digunakan
untuk
menganalisis
perpindahan
obat
secara
kuantitatif
dengan
menghubungkan konsentrasi obat dalam tubuh pada waktu. a. DIFERENSIAL Digunakan dalam pencarian laju dimana suatu variable kuantitas berubah. Jumlah obat dalam tubuh merupakan variabel kuantitas dan waktu merupakan variabel bebas. Sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah obat berubah dengan perubahan waktu.
Contoh : Suatu obat diletakan pada gelas yang berisi air sehingga obat melarut. Laju melarut obat ditentukan oleh laju difusi obat dari permukaan obat padat dan dinyatakan oleh persamaan Noyes-Whitney.
Laju pelarutan =
Dimana : d
dX DA = (C1 − C2 ) dt l
= perubahan
A = luas permukaan efektif obat
X
= obat X
l
t
= waktu
C1 = konsentrasi permukaan obat dalam
D
= koefisien difusi
= panjang lapisan difusi
lapisan difusi C2 = konsentrasi obat dalam larutan
Contoh : Waktu (jam)
Kadar Obat C dalam Plasma (µg/mL)
0
Penyelesaian : Konsentrasi
obat
12
menurun
µg/mL
1
10
Didapatkan,
2
8
dC
3
6
dt
4
4
Dan perubahan C
5
2
C = 12 − 2𝑡
=2
2
µg ⁄𝑚𝐿 /jam
dalam setiap
plasma jam.
b. INTEGRAL Integrasi merupakan kebalikan dari diferensiasi. Integral ( ʃ ) merupakan penjumlahan.
Contoh : y = ax memiliki integrasi ʃ ax • dx Apabila x ditetapkan dan diberi batas dari a sampai b, maka akan menjadi integral terbatas dengan penjumlahan area dari x = a sampai x = b.
Figure 1 Integrasi y = ax atau ʃ ax • dx
Integral terbatas dari suatu fungsi dapat diibaratkan dengan jumlah area dibawah grafik. Biasanya digunakan rumus trapesium untuk menghitung area dibawah kurva (AUC) obat dalam plasma-waktu. Rumus trapesium menganggap titik-titik data berada pada suatu fungsi linier. Apabila titik-titik data tersebar secara luas, maka lengkung dari garis akan menyebabkan kesalahan dalam memperkirakan area. Area antara jarak tiap waktu dapat dihitung dengna rumus berikut ini.
𝑡
[𝐴𝑈𝐶]𝑡𝑛𝑛−1 =
𝐶𝑛−1 + 𝐶𝑛 (𝑡𝑛 − 𝑡𝑛−1 ) 2
Dimana : [AUC] = area dibawah kurva tn
= waktu pengamatan dari konsentrasi obat Cn
tn-1
= waktu pengamatan sebelumnya dati konsentrasi obat Cn-1
Contoh : Waktu (jam)
Kadar Obat dalam Plasma (µg/mL)
0.5
38.9
1.0
30.3
2.0
18.4
3.0
11.1
4.0
6.77
5.0
4.10
Figure 2 Kurva eliminasi obat dalam plasma setelah pemberian injeksi secara intravena
Total AUC dari 1 sampai 4 jam diperoleh dari penjumlahan tiap area antara dua jarak waktu yang berurutan. Penyelesaian : 𝑡
𝑡
𝑡
𝑡
[𝐴𝑈𝐶]𝑡41 = [𝐴𝑈𝐶]𝑡21 + [𝐴𝑈𝐶]𝑡32 + [𝐴𝑈𝐶]𝑡43 𝑡
[𝐴𝑈𝐶]𝑡41 =
30.3+18.4 2
(2 − 1) +
18.4+11.1 2
(3 − 2) +
11,1+6,77 2
(4 − 3)
𝑡
[𝐴𝑈𝐶]𝑡41 = 24.35 + 14.75 + 8.935 𝑡
[𝐴𝑈𝐶]𝑡41 = 48.035 µg jam/mL Pada suatu waktu area dibawah kurva diekstropolasikan sampai t = ∞, didapatkan persamaan sebagai berikut.
[𝐴𝑈𝐶]𝑡𝑡∞ = 𝑛
𝐶𝑝𝑛 𝑘
Dimana : Cpn = konsentrasi plasma terkahir pada tn k
= slop yang diperoleh dari bagian akhir kurva
Apabila ditulis dalam bentuk lengkap untuk menghitung AUC dari t = 0 sampai t = ∞, sebagai berikut. ∞ [𝐴𝑈𝐶]∞ 0 = 𝑆 [𝐴𝑈𝐶]𝑡𝑛−1 +
𝐶𝑝𝑛 𝑘
3. GRAFIK Pada umumnya, harga variable bebas (x) diletakkan pada garis datas dalam suatu bidang atau pada absis (sumbu x), sedangkan harga variable tergantung diletakkan pada garis tegak dalam bidang atau pada ordinat (sumbu y). Harga-harga biasanya diatur menaik dari kiri ke kanan dan dari bawah ke atas.
Dalam farmakokinetika, waktu merupakan variabel bebas dan digambar pada absis, sedangkan konsentrasi merupakan variabel tergantung dan digambar pada ordinat. Terdapat dua jenis kertas grafik, yaitu kertas grafik Cartesian/Koordinat Rektangular dan kertas grafik semilog.
Grafik Semilog
Grafik Cartesian
a. PENCOCOKAN KURVA Terdapat beberapa hubungan antara variable x dan y, seperti dosis obat vs efek farmakologis yang merupakan fungsi yang berkesinambungan dari x dan y. Dibuat hipotesis mengenai hubungan tersebut kemudian dibentuk persamaan empiris yang menggambarkan hipotesis tersebut.
Variabel fisiologis tidak terlalu berhubungan secara linier, tetapi memungkinkan untuk mengatur data untuk menyatakan hubungan antar variabel sebagai garis lurus. Garis lurus ini berguna untuk memprediksikan dengan teliti harga-harga yang tidak diamati dalam percobaan. Berikut ini adalah persamaan garis lurus. y = mx + b Dimana : m = slop
b = intersep y Besarnya harga m menunjukan kecuraman kurva. Jika m mendekati nol, maka grafik menjadi horizontal. Apabila harga absolut m menjadi lebih besar, maka slop garis lebih mengarah ke atas atau ke bawah tergantung harga m apakah positif atau negatif.
Contoh : Persamaan : y = -15x + 7 Dimana
: slop = -15 intersep y = +7
Tanda negatif menunjukkan kurva miring ke bawah dari kiri ke kanan.
b. PENENTUAN SLOP i. GRAFIK REKTAGULER Harga slop ditentukan dari setiap dua titik yang ada pada kurva. Slop kurva sama dengan Δy/Δx, dimana 𝑆𝑙𝑜𝑝 =
𝑦2 − 𝑦1 𝑥2 − 𝑥1
Contoh : 𝑆𝑙𝑜𝑝 (𝑚) =
2−3 3−1
Intersep y = 3.5
y = mx + b y = - ½ m + 3.5
1
= −2
ii. GRAFIK SEMILOG Kertas semilog tersedia dengan satu, dua, tiga seri atau lebih dalam setiap lembar, tiap seri mewakili suatu angka dengan kenaikan 10x atau satuan log10 tunggal. Harga-harga y digambar pada skala logaritmik tanpa mengubah ke dalam logaritmanya, sedangkan harga-harga x digambar pada skala linier. Sehingga, dalam menentukan slop, harga y harus diubah ke logaritma. Slop sering digunakan untuk menghitung k, tetapan laju penurunan obat.
𝑆𝑙𝑜𝑝 = 2.3
(log 𝑦2 − log 𝑦1 ) In 𝑦2 − In 𝑦1 = 𝑥2 − 𝑥1 𝑥2 − 𝑥1 𝑘 = 2.3 𝑠𝑙𝑜𝑝
4. ORDE REAKSI Laju reaksi diartikan sebagai kecepatan terjadinya suatu reaksi kimia. Laju reaksi ditentukan melaliui percobaan dengan cara mengukur obat A dalam jarak waktu yang ditetapkan. Obat A Obat B
Bila jumlah obat A berkurang dengan
Apabila jumlah obat B bertambah dengan
bertambahnya waktu (reaksi searah
bertambahnya waktu, maka dinyatakan
tanda panah), maka dinyatakan sebagai:
sebagai:
−
𝑑𝐴 𝑑𝑡 +
𝑑𝐵 𝑑𝑡
Orde reaksi menunjukakan cara konsentrasi obat atau pereaksi mempengaruhi laju suatu reaksi kimia. a.
Orde Nol Apabila jumlah obat A berkurang
dalam suatu jarak waktu tetap (t), maka laju hilangnya obat A dinyatakan sebagai: 𝑑𝐴 = −𝑘0 𝑑𝑡
𝐴 = −𝑘0 𝑡 + 𝐴0 𝑦 = 𝑚𝑥 + 𝑏 𝐶 = −𝑘0 𝑡 + 𝐶0 Dimana : A0 k0
= jumlah obat A pada t = 0 = tetapan laju reaksi orde nol (mg/menit)
Contoh : Ditimbang 10g obat dan dilarutkan dalam 100ml air. Dilakukan sampling dan didapat data sebagai berikut: Kadar Obat (mg/ml) Waktu (jam) 100
0
95
2
90
4
85
6
80
8
75
10
70
12
Penyelesaian : 𝐶 = −𝑘0 𝑡 + 𝐶0
Maka, 90 = -k0 (4) + 100
C0
= 100;
t=0
C
= 90;
t = 4jam
k0 = 2.5 mg/ml Atau, 𝑚𝑔 ⁄𝑚𝑙 𝑚𝑔 𝑘0 = = 2.5 ⁄𝑚𝑙 /𝑗𝑎𝑚 2 𝑗𝑎𝑚 5
b. Orde Satu Apabila jumlah obat A berkurang dengan laju yang sebanding dengan jumlah obat A tersisa, maka laju hilangnya obat A dinyatakan sebagai:
𝑑𝐴 = −𝑘𝐴 𝑑𝑡 𝐼𝑛 𝐴 = −𝑘𝑡 + 𝐼𝑛 𝐴0 𝐴 = 𝐴0 𝑒 −𝑘𝑡 In = 2.3 log log 𝐴 =
−𝑘𝑡 2.3
+ log 𝐴0
𝑑𝐶 = −𝑘𝐶 𝑑𝑡 𝐼𝑛 𝐶 = −𝑘𝑡 + 𝐼𝑛 𝐶0 𝐶 = 𝐶0 𝑒 −𝑘𝑡 In = 2.3 log log 𝐶 =
−𝑘𝑡 2.3
+ log 𝐶0
y = mx + b
Dimana : A0
= jumlah obat A pada t = 0
k
= tetapan laju reaksi orde satu (/jam)
y
= log A atau log C
m
= -k/2.3
c. Waktu Paruh Menyatakan waktu yang diperlukan untuk sejumlah obat atau konsentrasi obat untuk berkurang menjadi separuhnya. Orde Satu 𝑡1/2 =
Orde Nol
0.693
𝑡1/2 =
𝑘
t ½ = konstan
0.5 𝐴0 𝑘
t ½ = berubah, sebanding dengan jumlah awal dan berbanding terbalik dengan tetapan laju reaksi
5. HUBUNGAN GARIS KONSENTRASI DENGAN WAKTU Contoh : Drug
Time
Log Drug
(hr)
Concentration
100.00
0
2.00
50.00
4
1.70
25.00
8
1.40
12.50
12
1.10
6.25
16
0.80
3.13
20
0.50
Concentration (mg/mL)
Drug Concentration
Time
Log Drug
(hr)
Concentration
24
0.20
(mg/mL) 1.56
Diketahui
: Dari data di atas, didapatkan grafik hubungan log konsetrasi vs waktu. Didapatkan suatu garis lurus yang menyatakan reaksi orde satu dengan waktu paruh reaksi orde satu adalah konstan yang didapat dari dua titik mana pun yang menunjukkan penurunan kadar obat 50%. t ½ = 4 jam Ditanyakan
Penyelesaian
: Tetapan laju reaksi 𝑘
: Terdapat dua cara, yaitu𝑆𝑙𝑜𝑝 = − 2.3 = −𝑘 =
2.3 (log 50 − log 100) 4−0 = 0.173/ 𝑗𝑎𝑚 𝑡1/2 =
𝑘=
0.693 𝑘
0.693 0.963 = 𝑡1 4 2
= 0.173/
(log 𝑦2 −log 𝑦1 ) 𝑥2 −𝑥1
6. KOMPARTEMEN a. Model Kompartemen Menggambarkan proses distribusi dan eliminasi obat dalam tubuh dengan menganggap bahwa obat dapat masuk dan meninggalkan tubuh. Karena kompleksitas tubuh, kinetika obat dalam tubuh dinyatakan melalui suatu kompartemen yang berhubungan satu dengan lain secara reversibel. Kompartemen bukan merupakan daerah fisiologis/anatomi nyata tetapi dianggap sebagai suatu jaringan atau kelompok jaringan yang mempunyai aliran darahh dan afinitas obat serupa. Dalam tiap kompartemen, obat dianggap terdistribusi secara merata dan pencampuran obat dalam suatu kompartemen dianggap berlangsung secara cepat dan homogen, sehingga konsentrasi obat mewakili konsentrasi rata-rata dan masing-masing molekul obat memiliki kemungkinan yang sama dalam meninggalkan kompartemen. Tetapan laju digunakan untuk menyatakan semua proses laju obat masuk dan keluar dari kompartemen. Model merupakan suatu sistem yang terbuka karena obat dieliminasi dari sistem tersebut.
Berikut ini adalah beberapa model kompartemen. Penggambaran model ini memiliki tiga kegunaan, yaitu:
Persamaan diferensial
yang
menggambarkan
perubahan konsentrasi obat
Gambaran nyata dari
laju proses
Banyaknya
farmakokinetika diperlukan
terapan yang untuk
menggambarkan proses secara memadai.
Parameter yang diperlukan untuk menggambarkan : i. model I
: Volume Kompartemen dan Tetapan Laju Eleminasi (k)
ii. model IV : Volume Kompartemen 1 dan 2 dan Tetapan Laju Reaksi (untuk ka, k, k12, dan k21)
b. Model Mammilary Merupakan suatu sistem yang berhubungan erat dengan estimasi jumlah obat dalam berbagai kompartemen sistem setelah obat dimasukkan ke dalam suatu kompartemen tertentu. Model ini terdiri atas satu atau lebih kompartemen yang mengelilingi suatu kompartemen sentral. Kompartemen sentral mewakili plasma dan jaringan yang perfusinya tinggi dan secara cepat berkesetimbangan dengan obat. Elimininasi obat terjadi dari kompartemen sentral karena organ yang terlibat dalam elimininasi obat seperti ginjal dan hati. Pada model kompartemen dua, obat bergereak antara kompartemen sentral/plasma ked an dari komparteme jaringan. Dalam model ini, jumlah total obat daam tubuh secara sederhana merupakan penjumlajan obat yang ada dalam kompartemen sentral ditambah obat yang ada dalam kompartemen jaringan. Sehingga seseorang dapatt mengestimasi jumlah obat yang tinggal dalam tubuh dan jumlah obat yang dieliminasi dari tubuh pada waktu.
c. Model Caternary Model ini terdiri dari kompartemen-kompartemen yang bergabung satu dengan yang lain menjadi satu deretan kompartemen.
PARAMETER KECEPATAN ABSORBSI (KA) a. Definisi : keseluruhan lau absorbsi sistemik obat dari suatu bentuksediaan padat yang diberikan secara oral mencakup sejumlah proses laju, termasuk pelarutan obat, motilitas saluran cerna, aliran darah, dan transport obat melewati membrane kapiler kedalam sirkulasi sistemik. Laju absorbsi obat menyatakan hasil dari keseluruhan proses ini. Pemilihan suatu model baikdengan basorbsi orde pertama atau orde nol pada umumnya dilakukan secara empiris (Shargel et al, 2012). b. Perhitungan kuantitatif : Absorpsi obat peroral ke dalam tubuh manusia selalu dianggap mengikuti kinetika order pertama, seperti halnya absorpsi pada ekstravaskular lainnya, maka dapat dituliskan : (Nasution, 2015). …………(1)
Kecepatan absorbsi = ka . Aa Ka =
konstanta kecepatan absorpsi
Aa =
jumlah obat yang akan diabsorpsi.
Kekuatan penggerak absorpsi = perbedaan konsentrasi obat pada absorption site (Ca) dengan konsentrasi obat tak terikat di dalam darah arteri (Cu). Kecepatan absorpsi = p . A (Ca – Cu) ..………(2) p = konstanta permiabilitas A = Luas permukaan saluran pencernaan. Distribusi dan eliminasi obat yang telah diabsorpsi untuk menjamin supaya nilai Cu jauh lebih kecil dari Ca, sehingga persamaan (2) dapat ditulis menjadi: Kecepatan absorpsi = p . A . Ca..................……(3) Bila diasumsikan bahwa volume cairan pada absorption site (Va) selalu konstan, maka persamaan (3) dapat ditulis sebagai berikut: Kecepatan absorbsi =
𝒑. 𝑨 𝑽𝒂
.𝑨
………………. (4)
Dapat dilihat bahwa kecepatan absorpsi mengikuti reaksi order pertama dimana konstanta kecepatan absorpsi ditentukan oleh : 1. konstanta permiabilitas obat, 2. luas area saluran pencernaan, serta 3. volume cairan pada absorption site. Pada persamaan (1), kecepatan absorpsi masih mengikuti reaksi order pertama. Hal ini disebabkan karena disolusi merupakan fungsi dari luas permukaan partikel terlarut yang menurun secara eksponensial. Sebagai mana pada proses reaksi order pertama lainnya, absorpsi obat dapat digambarkan dalam waktu paruh. t1/2 absorbsi =
0,693 𝑘𝑎
Bila persamaan (1) diintegralkan, maka : Aa = F . Dose . e-ka . t keterangan : Aa
: jumlah obat yang akan diabsorpsi.
F
: Ketersediaan hayati
Dose
: dosis
Ka
: kecepatan absorbsi
t
: waktu (Nasution, 2015).
Penentuan tetapan laju absorbsi Oral
metose residual 𝐴=
𝐹. 𝐾𝑎. 𝐷0 𝑉𝐷. (𝑘𝑎 − 𝑘) (Shargel., et al, 2012).
Penentua Ka dengan menggambar persen obat tidak terabsorbsi versus waktu (metode wagner-nelson) Fraksi obat yang terabsorbsi pada setiap waktu
𝑨𝒃 𝑪𝒑 + 𝑲. [𝑨𝑼𝑪] ̥ ͭ = 𝑨𝒃~ 𝒌. [𝑨𝑼𝑪] ̥͂ (Shargel., et al, 2012).
Fraksi obat yang tak terabsorbsi pada setiap waktu 𝟏−
𝑨𝒃 𝑪𝒑 + 𝑲. [𝑨𝑼𝑪] ̥ ͭ =𝟏− 𝑨𝒃~ 𝒌. [𝑨𝑼𝑪] ̥͂ (Shargel., et al, 2012).
c. Contoh soal dan penyelesaiannya : Consentrasi obat dalam darah pada berbagai wactu. Dengan anggapan bahwa obat mengicuti satu modle compartemen satu, dapatcan Ca. Cn-1 = 6,28 , Cn = 6,11. n=6
Jawaban : AUC diperciracan dengan rumus trapesium. [AUC]tn = Cn-1 + Cn (tn-tn-1) tn-1
2
= 6,82 + 6,11 (6-5) = 6,20
CLEARENS (CL) a. Definisi Clearance total merupakan volume obat per satuan waktu (misalnya ml/menit) yang dikeluarkan oleh tubuh (Nasution, 2015).
b. Perhitungan kuantitatif Cleareance (bersihan): (Nasution, 2015).
-
Clearance Total (Cl)
-
Clearance Renal (ClR)
-
Clearance Extra Renal (ClER)
Clearance Total (Cl)
Ada 2 cara yang dapat digunakan untuk menghitung nilai clearance obat, yaitu: (Nasution, 2015). 1. Menghubungkan kecepatan eliminasi obat dengan konsentrasi obat di dalam plasma Cl = kV 2. Menghubungkan dosis dengan Luas Daerah Dibawah Kurva (LDDK) atau Area Under the concentration-time Curve (AUC)
Ao = Dosis = Cl x A U C
Clearance Renal (ClR) dan Clearance Ekstrarenal (KER) K = kR + kER KR = Konstanta kecepatan eliminasi renal. KER = konstantan kecepatan eliminasi ekstrarenal. dAu
= KR. A , A = jumlah obat di dalam tubuh.
dt Karena, A = Ao e –kt dAu
= KR. Ao e –kt
dt In dAu/dt = (InkR . Ao ) – kt *Intercept = kR . Dosis k = kR + kER kER = k – kR
Clearance renal: ClR = kR . V Clearance ekstrarenal: ClER = kER . V Keterangan : KR = Konstanta kecepatan eliminasi renal. KER = konstantan kecepatan eliminasi ekstrarenal. (Nasution, 2015). c.
Contoh Soal dan penyelesaiannya :
Bila suatu obat dengan dosis 250 mg diberikan secara intravena dan diperoleh konsentrasi obat di dalam plasma. pada saat t = 0 adalah 25 mg / liter. Delapan jam kemudian konsentrasi obat di dalam plasma menurun menjadi 6.25 mg/liter. Hitunglah: a. waktu paruh obat (t1/2) b. clearance ( Cl )
Jawab: a. Perhitungan waktu paruh obat Diketahui C = 6,25 mg / l, Co = 25 mg / liter dan t = 8 jam, C = Co . e-kt 𝑘𝑡
log C = log Co 2,303 8𝑘
log 6,25 = log 25 2,303 k = 0,17 jam-1 t1/2 =
b.
0,693 𝑘
= 0,693/0,17jam-1 = 4,08 jam
Perhitungan clearance obat D Cl = kV: V =
C
250 mg
o = 25 mg / liter = 10 liter
Cl = 0,17 jam -1 x 10 liter = 1,7 liter jam-1
VOLUME DISTRIBUSI (VD) a. Definisi : Volume distribusi (Vd) merupakan volume yang menunjukkan distribusi suatu obat. Bila volume distribusi semakin besar, maka distribusinya semakin luas (Batubara 2008). b. Perhitungan kuantitatif Pada suntikan intravena, berlaku rumus:
Vd =
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐶0
Obat dipertahankan dalam kompartemen vascular bila nilai Vd < 5 L. nilai tersebut menunjukkan bahwa obat terbatas pada bagian cairan ekstraseluler, lain halnya dengan volume distribusi besar (Vd > 15 L), hal ini menunjukkan distribusi terjadi di seluruh cairan tubuh total, atau konsentrasi di jaringan tertentu. Volume distribusi ini digunakan untuk menghitung bersihan obat (Neal, 2005). c. Contoh Soal dan penyelesaiannya : seorang pria diberikan obat secara intravena dengan dosis 1000 mg. Konsentrasi cuplikan (Cp) pada waktu t seperti berikut ini (sistem kompartemen satu) T (jam)
Cp (µg/mL)
2
100
4
67
6
45 Hitunglah volume distribusi dari obat tersebut! Jawab:
Vd =
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐶0 Nilai C0 harus diketahui terlebih dahulu, maka digunakan rumus : 𝑡
Log Cp = log C0 – [(k . 2,303)] (ln C1 – ln C2)
Log Cp = log C0 – [(
Log 100 = log C0 – [(
𝑡2−𝑡1
𝑡
). 2,303)]
(ln 100 – ln 67) 4−2 2
Log 100 = log C0 – [0,2 . 2,303]
2
). 2,303)]
Log 100 = log C0 – 0,17 2 = log C0 – 0,17 Log C0 = 2,17 C0 = 147,9 mg/L Maka. Vd = Vd =
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐶0
=
1000 𝑚𝑔 147,9 𝑚𝑔/𝐿
= 6,76 L
KECEPATAN ELIMINASI a. Definisi : Konstanta kecepatan eliminasi merupakan salah satu parameter metabolisme dan eliminasi obat. mengaplikasikan
Konstanta kecepatan eliminasi ditentukan
konsep
persamaan
orde reaksi. Dalam
hal
dengan
ini
tubuh
dianggap mengikuti model satu kompartemen terbuka dengan asumsi bahwa:
tubuh merupakan suatu system yang homogen
obat masuk ke dalam sirkulasi darah, tanpa proses absorpsi
distribusi obat berlangsung dengan cepat dan homogen
eliminasi obat merupakan proses reaksi order pertama
(Nasution,
2015).
b. Perhitungan Kuantitatif Dengan
demikian
kecepatan
eliminasi obat
berbanding
lurus
dengan jumlah obat di dalam tubuh sebagaimana dijelaskan berikut ini:
Setelah kesetimbangan dicapai, kecepatan eliminasi adalah sebagai berikut:
Perubahan jumlah obat di dalam tubuh dapat dituliskan dengan persamaan (3).
Bila persamaan (3) diintegralkan, maka akan diperoleh persamaan (4) dan (5):
Setelah
obat diberikan secara intravena, jumlah obat di dalam tubuh
saat t = 0 (Ao) adalah sama dengan dosis obat. Persamaan (5) dapat disederhanakan menjadi persamaan (6).
Persamaan
(6)
menunjukkan
konsentrasi
obat
di
dalam
tubuh
menurun secara eksponensial setelah diberikan secara intravena bolus seperti tertera pada Gambar 3.1.
(Nasution, 2015). c. Contoh Soal dan Penyelesaian Suatu obat diberikan secara intravena bolus sebanyak 100 mg kepada pasien dengan t1/2= 8 jam; Cl = 2 1iter/ jam. Hitunglah konsentrasi obat pada saat t = 0 (Co) dan konstanta kecepatan eliminasi (k).
(Nasution, 2015).
MAINTENANCE DOSE a. Definisi Maintenance dose merupakan sejumlah obat yang diberikan dengan tujuan untuk dapat menjaga kadar obat dalam tubuh pada periode tertentu. Adapun tuhuan dari maintenance dose adalah dosis pemeliharaan untuk mempertahankan kadar obat dalam darah agar tetap menghasilkan efek terapetik (Nasution, 2015). b. Perhitungan Kuantitatif Dosis pertahanan atau maintenance dose (MD) yang harus diberikan untuk mempertahankan konsentrasi tunak harus sama dengan jumlah obat yang hilang pada satu interval yaitu
Ketersediaan hayati obat ekstravaskular, berbeda antara yang satu dengan lainnya karena perbedaan sifat fisika kimia obat dan faktor fisiologi. Biasanya nilai ketersediaan hayati obat yang diberikan secara ekstravaskular adalah lebih kecil dari 1. Jadi, agar segera dicapai jumlah maksimum steady state, maka faktor ketersediaan hayati (F) harus dimasukkan ke dalam perhitungan dosis muatan sebelum obat diberikan kepada pasien menggunakan persamaan berikut:
(Nasution, 2015).
c. Contoh Soal dan Penyelesaian Hitunglah loading dose dan maintenance dose theophylline yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mempertahankan konsentrasi di dalam darah sebesar 10 mcg/ml. Diketahui volume distribusi(V) = 0,5 1iter/kg ; t1/2 = 8 jam.
(Nasution, 2015).
WAKTU PARUH a. Definisi Waktu paruh dalam plasma adalah waktu dimana konsentrasi obat dalam darah (plasma) menurun hingga separuh dari nilai seharusnya. Secara definitif, waktu paro eliminasi adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik berkurang menjadi separonya. Nilai parameter ini merupakan terjemahan praktis. Waktu paruh penting untuk menentukan frekuensi pemberian obat per hari agar tercapai konsentrasi obat dalam plasma yang diinginkan. Nilai t1/2 ini banyak digunakan untuk memperkirakan berbagai kondisi kinetik, misalnya kapan obat akan habis dari dalam tubuh, kapan sebaiknya dilakukan pemberian ulang (interval pemberian), kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai keadaan tunak (steady state) pada pemberian berulang, dan sebagainya (Shargel, 2005). b. Perhitungan Kuantitatif t1/2=
0,693 x Vd Cl ln2
atau t1/2= Kel (Shargel, 2005) c. Contoh Soal dan Penyelesaian Seorang sukarelawan dengan berat badan 70 kg diberi antibiotika dosis intravena dan konsentrasinya dalam serum ditentukan pada 2 jam dan 5 jam setelah pemberian. Konsentrasinya berturut turut 1.2 dan 0.3 µg/ mL. Berapa t½ biologic obat ini, bila dianggap kinetika eliminasinya mengikuti orde kesatu ? Dik
:
BB = 70 Kg t1 = 2 jam,
t2 = 5 jam
C1 = 1.2 µg/ mL, C2 = 0.3 µg/ Ml Dit : t½ pada orde satu
Jawab 𝒕½ =
𝑡½ =
: 0.693 ( 𝑡2 − 𝑡1 ) ln 𝐶1 − 𝐶2 0.693 ( 5 − 2 ) 2.079 = = 𝟏. 𝟒𝟗𝟗 𝒋𝒂𝒎 ln 1.2 − ln 0.3 0.1823 − (−1.204) (Wagner,
1971) KETERDIAAN HAYATI (BIOAVAILABILITAS) a. Definisi Ketersediaan hayati atau bioavailabilitas merupakan persentase dan kecepatan suatu zat aktif dalam produk obat yang tersedia atau yang dapat mencapai ke sirkulasi sistemik dalam bentuk aktif, setelah pemberian produk obat dan diukur konsentrasinya dalam darah yang dibandingkan terhadap waktu atau dapat pula diukur melalui ekskresinya dalam urin (BPOM RI, 2005). Terdapat dua macam bioavailabilitas suatu obat, yaitu sebagai berikut: 1. Bioavailabilitas absolut
adalah bioavalabilitas
yang dipakai untuk
menggambarkan fraksi dosis obat dalam mencapai sirkulasi sistemik sebanyak 100% yaitu bila dibandingkan dengan sediaan intravena yang bioavailabilitasnya 100% 2. Bioavailabilitas relative adalah biovailabilitas suatu obat yang rute pemberiannya biasannya melalui rute oral, bioavalibilitas obat oral akan berkurang akibat adanya absorpsi yang tidak sempurna serta adanya metabolisme lintas pertama / pass first effect. (Shargel dan Yu, 2005). b. Perhitungan Kuantitatif 1. Area Under Curve (AUC)
AUC merupakan area dibawah kurva antara konsentrasi obat dengan waktu sebagai ukuran dari konsentrasi obat yang utuh dan tidak berubah mencapai sirkulasi sistemik. 𝑭𝑫
AUC = 𝑲𝑽𝒅 (Makoid, 2000).
2. Bioavailabilitas Absolut Bioavailabilitas absolut diukur dengan cara membandingkan antara bioavailabilitas suatu produk dengan bioavailsabilitas secara intravena. BA absolut = F =
[𝑨𝑼𝑪]𝒑𝒐 [𝑨𝑼𝑪]𝒊𝒗
x
𝒅𝒐𝒔𝒆 𝒊𝒗 𝒅𝒐𝒔𝒆 𝒑𝒐
(Makoid, 2000). 3. Bioavailabilitas Relatif (BA Relatif) Bioavailabilitas relatif merupakan ketersediaan zat aktif obat dalam sistemik dari suatu produk obat yang dibandingkan pada standar yang telah diketahui atau dengan kata lain ketersediaan formulasi obat yang dibandingkan pada ketersediaan formula standar yang umumnya berupa larutan dari obat murni kemudian dievaluasi dalam studi cross over. Bioavailabilitas relatif yang berasal dari dua produk obat dengan rute pemberian dan dosis yang sama digunakan persamaan berikut: BA relative =
[ 𝐀𝐔𝐂 ]𝐀 [ 𝐀𝐔𝐂]𝐁
Jika dosisnya berbeda maka harus adanya koreksi dosis yang dibuat, sesuai dengan persamaan berikut : BA relative =
[𝑨𝑼𝑪]𝑨/ 𝒅𝒐𝒔𝒊𝒔 𝑨 [𝑨𝑼𝑪]𝑩/𝒅𝒐𝒔𝒊𝒔 𝑩
(Makoid, 2000). c. Contoh Perhitungan
Bioavailabilitas suatu obat dipelajari pada 12 sukarelawan, tiap sukarelawan menerima 1 tablet oral mengandung 200 mg obat, 5 ml larutan air murni mengandung 200mg obatatau injeksi intarvena bolus tunggal mengandung 50 mg obat. Sampel plasma diperoleh secara berkala sampai 48 jam setelah pemberian obat, kemudian ditetapkan konsentrasinya. AUC rata-rata (0-48 jam) dinyatakan dalam tabel dibawah. Dari data ini hitung : a. bioavailabilitas relative tabletdibandingkan dengan larutan oral b. bioavailabilitas absolut obat dari tablet
Produk Obat
Dosis (mg)
AUC (µg jam / ml)
Simpangan Baku
Tablet Oral
200
89,5
19,7
Larutan Oral
200
86,1
18,1
Injeksi i.v bolus
50
37,8
5,7
Jawab : a. Bioavailabilitas relative tablet diperhitungkan tanpa penyesuaian dosis dengan rumus sebagai berikut : BA relative =
89,5 86,1
= 1,04 atau 104%
b. Bioavailabilitas absolut obat dari tablet dihitung dengan penyesuaian dosis dengan menggunakan rumus sebagai berikut : F = Bioavailabilitas absolut =
89,5 / 200 86,1/50
= 0,592 atau 59,2% (Shargel,et al.,2012)
DOSIS AWAL / LOADING DOSE a. Definisi
Loading Dose (LD) merupakan dosis awal yang dapat diberikan kepada pasien dengan tujuan kadar atau konsentrasi obat tercapai dengan cepat, sehingga bisa memberikan efek terapeutik. Loading dose dipakai untuk mencapai kadar atau konsentrasi obat yang CSS atau keadaan dimana kecepatan masuknya obat sama dengan kecepatan keluarnya obat. CSS (Concentration Steady-State) akan tercapai setelah 4 -5 kali t1/2 (Makoid, 2000).
b. Perhitungan Kuantitatif
Gambar kurva antara waktu dengan konsentrasi obat dalam plasma dengan pemberian loading dose dan tanpa loading dose
Dari kurva diatas dapat dibandingkan bahwa tanpa adanya pemberian dosis awal atau loading dose (garis d) tidak adanya kenaikan kecepatanwaktu terhadap konsentrasi obat sedangankan pada pemberian loading dose terjadi kenaikan waktu tercapainya konsentrasi obat (garis a, b dan c). Terdapat dua persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung loading dose (LD) yaitu : DL = Css x Vd
DL = Jika digabungkan maka menjadi
𝑹 𝒌
Css =
𝑹 𝑽𝒅 𝒙 𝒌
Keterangan : DL: Loading dose (mg) Css : Consentration steady state / plateau / tunak (mg/ml) R : laju infus (mg/jam atau ml/jam) Vd : Volume distribusi (ml atau liter) k : konstanta elminiasi ( /jam) (Makoid, 2000). c. Contoh Perhitungan Nyonya Rosma 35 tahun dengan berat badan 65kg diberi 4 infus antibiotik. Menurut literature t1/2 dari obat ini adalah 7 jam dan volume distribusinya 23,1% dari berat badan. Css obat 10 mcg/ml. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Css 95% tanpa pemberian loading dose dan berapa loading dose untuk antibiotik ini? Jawaban : Vd = 23,1% x 65 kg = 15,015 L Css = 10 mcg/ml t1/2 = 7 jam
Sesuai tabel diatas untuk mencari waktu Css 95% adalah 4,32 x t1/2 maka : t untuk Css 95% tanpa loading dose = 4,32 x t1/2 = 4,32 x 7 = 30,24 jam loading dose = Css x Vd = 10 mcg/ml x 15.015 ml = 150.150 mcg = 150 mg (Makoid, 2000).
APLIKASI Melalui data absoprsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi tersebut mempunyai peran penting dalam aplikasi farmasi klinis, diantaranya adalah untuk penentuan dosis pemakaian obat, penentuan frekuensi pemakaian obat, penentuan dosis ganda, penentuan infus intra vena, dan penyesuaian dosis jika terjadi kerusakan renal maupun hepar. a. Penentuan dosis pemakaian Dosis suatu obat diperkirakan dengan tujuan dapat memberikan kadar terapeutik obat yang diinginkan dalam tubuh. Obat akan memberikan efek terapi jika kadar obat dalam plasma sudah mencapai area terapi yaitu diatas MEC (minimum effective concentration) dan dibawah MTC (minimum toxic concentrstion). Penentuan dosis obat ditentukan dari data kadar obat dalam plasma dengan mencari nilai konsentrasi maksimum obat dalam plasma (C max), waktu yang diperlukan untuk mencapai C max (t max), dan profil pelepasan obatnya (AUC). b. Penentuan frekuensi pemberian obat Obat merupakan senyawa xenobiotika yaitu senyawa yang dalam keadaan normal tidak diperlukan oleh tubuh. Oleh karena itu obat dalam badan akan mengalami proses metabolisme dan ekskresi. Akibatnya kadar obat dalam plasma akan menurun. Penurunan kadar obat dalam plasma akibat metabolisme dan ekskresi akan menjadikan respon terapi turun. Penentuan kapan seseorang itu harus minum lagi obat dapat ditentukan dengan melihat nilai t ½ eliminasi obat dan nilai clearance obat. c. Pengaturan dosis ganda Banyak obat diberikan dalam suatu aturan dosis ganda untuk memperpanjang aktivitas terapeutik. Kadar plasma obat ini harus dipertahankan di dalam batas yang sempit untuk mencapai efektivitas klinik yang maksimal. Secara ideal suatu aturan dosis untuk tiap obat ditetapkan untuk memberikan kadar plasma yang benar tanpa fluktuasi dan akumulasi obat yang berlebihan. Untuk obat-obat tertentu, seperti antibiotik, dapat ditentukan kadar efektif minimum yang diinginkan. Obat-obat lain dengan indeks terapi sempit, seperti
digoksin dan fenitoin, memerlukan batasan kadar plasma terapeutik minimum dan konsentrasi plasma non-toksis maksimum. Dalam memperhitingkan suatu aturan dosis ganda, kadar plasma yang diinginkan harus dikaitkan dengan suatu respon terapeutik. Untuk memperkirakan kadar obat dalam plasma selama pemberian dosis ganda, parameter-parameter farmakokinetik diperoleh dari kurva kadar plasmawaktu yang didapat melalui dosisi tunggal. Dengan parameter-parameter ini, dan mengetahui tentang ukuran dosis dan jarak waktu pemberian memungkinkan untuk memperkirakan kurva kadar plasma-waktu yang lengkap atau kadar plasma pada setiap waktu setelah dimulainya pengaturan dosis (Shargel, 2005). d. Pengaturan infuse intravena Pemberian obat secara intravena memberikan beberapa keuntungan diantaranya obat mudah diberikan ayitu melalui infuse bersama-sama dengan cairan iv, laju infuse dapat dengan mudah diatur sesuai kebutuhan penderita, dan ketiga adalah infuse konstan mencegah fluktuasi puncak dan palung kadar obat dalam darah. Setelah beberapa saat obat akan mencapai konsentrasi tunak yaitu suatu keadaan dimana laju obat yang meninggalkan tubuh sama dengan laju obat yang masuk dalam tubuh. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar tunak dalam darah terutama tergantung pada waktu-paruh eliminasi (Shargel, 2005). Farmakokinetika berperan dalam pengaturan kecepatan tetesan cairan infus. Jika obat diberikan dengan laju yang tinggi akan diperoleh kadar tunak yang lebih tinggi tetapi waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan tunak tetap sama. e. Penyesuaian dosis Ginjal merupakan organ yang enting dalam pengaturan kadar cairan tubuh, keseimbangan elektrolit, dan pembuangan metabolit-metabolit sisa dan obat dari tubuh. Kerusakan atau degerasi fungsi ginjal akan mempunyai pengaruh pada farmakokinetika obat. Ganguan elektrolit dan cairan dalam tubuh sehubungan dengan kegagalan ginjal dapat menyebabkan perubahn pada volume distribusi obat (Shargel, 2005)
Ekskresi ginjal merupakan rute terbesar eliminasi untuk beberapa obat. Obat-obat yang larut dalam air mempunyai berat molekul rendah atau mengalami biotransformasi secara lambat oleh hati akan dieliminasi dengan sekresi ginjal. Sementara itu, proses fabrikasi obat tidak melihat fisiologis pasien secara khusus. Misalnya fabrikasi paracetamol, dibuat dengan dosis 500 mg dan 250 mg. maka tugas apotekerlah yang kemudian melakukan penyesuaikan dosis apabila pasiennya mengalami serosis hati. Begitu juga pada obat-obat yang meiliki rasio ekstraksi renalnya tinggi sementara pasien mengalami gagal ginjal. Farmakokinetika sangat berperan penting dalam menentukan penyesuaian dosis ini. Fungsi kerja ginjal dapat dilihat dari nilai clearance yaitu volume darah yang dapat dibersihkan dari obat dalam satu satuan waktu. Penyesuaian dosis obat kemudiaan didasarkan atas nilai clerence obat tesrsebut.
DAFTAR PUSTAKA Batubara, P. L. 2008. Farmakologi Dasar edisi II. Jakarta: Lembaga Studi. Badan Pengawas Obat Dan Makanan. 2005. Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta : BPOM RI. Hinz, B. 2005. Bioavailability of Diclofenac Pottassium at Low Doses. Germany: Department of Experimental and Clinical Pharmacology and Toxicology. Kee, J.L., dan E.R. Hayes. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC. Makoid, M.C., Vuchetich, P.J and Banakar, U.V. 2000. Basic Pharmacokinetics 1st Edition. Paksitan : Virtual University Press. p. 91-92, 103. . Nasution, A. 2015. Farmakokinetik Klinik. Medan : USU Press. Neal, M. J. 2005. Farmakologi Medis Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga. Shargel, et al. 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan,Edisi 5. Surabaya: Universitas Airlangga Press. Wagner, J. G., 1971, Biopharmaceutics and Relevant Pharmacokinetics, Edisi I, 98-157, Drug Intellegen Publication, Hamilton.